Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS LONGSORAN BATU DENGAN METODE PROYEKSI STEREOGRAFI Oleh: Prihananto Setiadji Jurusan/Program Studi Teknik Pertambangan Universitas

Cenderawasih Papua Abstrak Kejadian longsor merupakan peristiwa alam yang sering dijumpai pada daer ah yang memiliki morfologi berbukit-bukit atau pegunungan dengan material berupa tanah atau batuan. Penyebab longsor dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : 1) Faktor alami, seperti curah hujan, kondisi tanah dan batuan, kegempaan dan kemi ringan lereng (topografi); 2) Faktor manusia, seperti penggunaan lahan pada lere ng bukit terjal, pengupasan dan pengundulan hutan. Longsoran batuan termasuk jar ang terjadi, sehingga teknik atau analisis longsoran belum banyak dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini menyajikan satu analisis yang dipandang sedarhana dan memadai untuk mengetahui mekanisme dan karakteristik longsoran batu di Kota Jaya pura. Analisis yang digunakan adalah analisis dengan metode stereografi. Pengola han data menggunakan program StereoPro Stereographic Projection Version 1.00. Ha sil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain : 1) penafsiran yang cukup ba ik terhadap mekanisme longsoran yang diperlihatkan dalam bentuk model longsoran di tiga lokasi penelitian; 2) teridentifikasi karakteristik massa batuan yang ef ektif menyebabkan longsor; 3) daerah disekitar Kampung Nafri yang tersusun oleh batunapal dari Formasi Makats sangat rentan terhadap longsor batu. I. Pendahulua n 1.1. Latar Belakang Longsoran (landslide) merupakan bencana alam yang sering t erjadi pada daerah yang berbukitbukit atau pegunungan, seperti di Kota Jayapura dan sekitarnya. Material yang longsor dapat berupa tanah, batuan atau tanah dan batuan. Penyebab longsor antara lain : curah hujan yang tinggi, kondisi tanah da n batuan yang rentan, kegempaan yang kuat, dan kemiringan lereng yang besar. Dis amping itu, akibat peran manusia yang berkaitan dengan penggunaan lahan yang tid ak tepat, pengupasan dan penggundulan hutan, serta pemotongan lereng untuk pembu atan jalan dan pemukiman. Peristiwa longsoran yang banyak terjadi adalah longsor an tanah. Jenis longsoran ini kerap kali terjadi pada awal musim hujan dan menim bulkan kerugian yang sangat besar bagi manusia karena memiliki dimensi yang sang at luas. Seperti longsoran tanah telah terjadi di Kota Jayapura, pada awal tahun 2008. Kejadian longsor di komplek RS Dok II telah menelan korban 9 orang mening gal dunia dan lebih dari 3 rumah rusak berat. Longsoran batu termasuk jarang ter jadi, namun kejadiannya musti diperhitungkan karena tak kalah merusak atau merug ikan bagi manusia beserta aktivitasnya. Seperti longsoran batu di kampung Nafri, Polimak dan skyline yang sering menjadi menghambat bagi jalur transportasi. Tek nik analisis longsoran batu belum banyak dilakukan. Teknik analisis yang sering dilakukan adalah untuk longsoran tanah yang cenderung mahal dan memerlukan fasil itas laboratorium yang memadai dalam rangka menentukan sifat-sifat fisik dan mek anis tanah. Dalam upaya meminimalkan kerugian yang timbul akibat longsoran batu di Kota Jayapura maka dilakukan penelitian longsoran dengan metode stereografi y ang dipandang lebih sederhana dan [1]

memadai untuk mengetahui mekanisme dan karakteristik longsoran batu. Melalui met ode stereografi akan tergambar hubungan antar bidang-bidang diskontinuitas dan a rah pergerakan serta kemiringan massa batuan. Bidang diskontinuitas batuan yang merupakan bagian yang lemah sehingga mudah hancur dan bergerak. Teknik analisis ini telah dikembangkan oleh ahli teknik (engineer) dalam merancang kestabilan le reng pada tambang terbuka. 1.2. Lokasi Penelitian Secara administratif lokasi pe nelitian berada di Kotamadya Jayapura dan secara geografis diantara 2 35 08 2 37 58 LS dan 140 37 49 140 42 39 BT. Letak lokasi penelitian seperti pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Lokasi penelitian [2]

II. TINJAUAN UMUM 2.1. Tinjauan Longsoran Longsoran adalah pergerakan masa tanah atau batuan sepanjang bidang gelincir atau suatu permukaan bidang geser. Massa batuan adalah kondisi material dan bidang-bidang diskontinuitas yang dimiliki ba tuan (Bieniawski, 1989). Penyebab-penyebab longsoran diantaranya (Highway Resear ch Board, 1978, dalam Bandono dan Sadisun, 1997), yaitu : a. Berkurangnya kekuat an geser material pembentuk lereng akibat : i. Erosi, baik yang disebabkan oleh aliran sungai, hujan maupun perbedaan suhu. ii. Pergerakan alami dari lereng aki bat pergeseran bidang longsor maupun akibat penurunan (setlement). iii. Aktifita s manusia, antara lain : o Penggalian dasar lereng o Pengrusakan sruktur penahan tanah o Penggundulan tanaman pada lereng. b. Bertambahnya tegangan geser pada l ereng akibat : i. Kondisi alam ii. Aktifitas manusia iii. Gempa atau sumber geta ran lainnya iv. Pemindahan material di sekeliling dasar material longsoran v. Ti mbulnya tekanan tanah lateral Vernes (1958, dalam Verhoef, 1994) membagi faktorfaktor penyebab longsoran menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor yang menyebabk an kenaikan tegangan dan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan kekuatan geser tanah. Jenis longsoran menurut Vernes D. J. (1978, dalam Bandono dan Sadisun, 1 997) dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok, yaitu : jatuhan, robohan, longsoran, pancaran lateral, aliran, dan kombinasi (Tabel 2.1) Tabel 2.1. Klasifikasi long soran berdasarkan Vernes(1978) TYPE MATERIAL ENGINEERING SOIL BEDROCK Predominan tly Coarse Predominantly fine Rock fall Debris fall Earth fall Rock topple Debri s topple Earth topples few units many units Rock slump Debris slide Earth slide Rock block ebris block slide slides Earth block slides Rock spread Debris spread Earth spread Rock flows Earth flow (Soil Debris flow (deep creep) creep) Combin ation of two or more principal types of movement TYPE OF MOVEMENT Falls Topples Slide Rotational Translational Lateral spread Flo ws Complex Dalam kasus kestabilan lereng yang tersusun oleh batuan, prinsip dasar yang perl u diperhatikan adalah kerapatan (frekuensi), orientasi dan kekuatan bidang disko ntinu pada massa batuan (Price, [3]

1979). Kekuatan material dapat menghasilkan lereng yang lebih besar menjadi stab il, tetapi jika lereng tersebut memiliki bidang-bidang diskontinu, maka bidang t ersebut penting untuk diperhatikan, seperti tergambar pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Mekanisme longsoran blok yang memiliki kekar terbuka. Bidang-bidang diskontinuitas yang memotong massa batuan akan menghasilkan blok. Blok umumnya m asih tersambung dengan massa batuannya. Blok yang terpisah akan membentuk kekar yang terbuka (opened joint fracture). Jika air hujan atau air permukaan mengisi bukaan ini , maka akan menambah tekanan di kedua sisinya. Tekanan air amat terga ntung pada situasi bukaan kekar, meskipun ukuran kecil tetapi dalam daerah yang luas maka tekanan air akan sangat berpengaruh terhadap kestabilan lereng. 2.2. P royeksi Stereografi Proyeksi stereografi adalah gambaran dua dimensi atau proyek si dari permukaan sebuah bola sebagai tempat orientasi geometri bidang dan garis (Ragan, 1985). Proyeksi ini hanya menggambarkan geometri kedudukan atau orienta si bidang dan garis, sehingga hanya memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan geometri (besaran arah dan sudut) saja. Analisis geometri struktur geologi atau bidang-bidang diskontinu menerapkan prinsip-prinsip proyek si stereografi menggunakan bantuan stereonet, berupa Wulf Net, Schmidt Net, Equa l Area Net, Polar Net dan Karlbeek Counting Net. Proyeksi stereografi merupakan proyeksi yang didasarkan pada perpotongan bidang atau garis dengan suatu bidang proyeksi yang berupa bidang horizontal yang melalui sebuah bola. Bidang ini akan berbentuk lingkaran, disebut lingkaran primitive (Gambar 2.2). Lingkaran primit if merupakan proyeksi yang kedudukannya (dip = 0). Oleh sebab itu, penentuan pro yeksi dip untuk bidang dimulai pada lingkaran luar, dan dip 90o terletak pada pu sat lingkaran. Untuk menentukan kemiringan bidang yang dip-nya antara 0 90o, mak a proyeksinya akan berbentuk busur yang jari-jarinya lebih besar dari jari-jari lingkaran primitif, sehingga disebut lingkaran besar atau great circle, atau ste reogram. Untuk struktur bidang yang vertical, maka proyeksinya akan berupa garis lurus yang melalui pusat lingkaran primitive. [4]

Gambar 2.2. Komponen proyeksi stereografi. Disamping lingkaran primitive dan lin gkaran besar, terdapat juga lingkaran kecil yang merupakan perpotongan antara bi dang permukaan bola dengan bidang yang tidak melalui pusat bola. Lingkaran kecil ini berfungsi untuk memplot arah jurus bidang, atau bearing suatu garis. III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertuju an: a. Untuk mengetahui faktor-faktor dan mekanisme penyebab longsoran batu yang berada di sekitar Kota Jayapura; b. Untuk menerapkan metode proyeksi stereograf i dalam menjelaskan karakteristik longsoran batu. 3.2. Manfaat Penelitian Manfaa t yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain : a. Sebagai bahan pengem bangan materi ajar (kuliah) untuk matakuliah geologi struktur, mekanika batuan, dan geologi teknik di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih; b. Se bagai bahan perencanaan dan pertimbangan bagi penanganan teknis terhadap bahaya longsoran (terutama longsoran batu) dalam rangka upaya mitigasi bencana bagi Kot a Jayapura dan sekitarnya. [5]

IV. METODE PENELITIAN Data dikumpulkan dari pengukuran langsung di lapangan pada 3 lokasi terpilih (Gambar 1.1). Data yang dikumpulkan berupa: data arah dan kem iringan (orientasi), kerapatan (frekuensi), bukaan (opening) dan dimensi (ukuran ) dari bidang-bidang diskontinuitas seperti kekar, sesar dan lapisan batuan. Lok asi pengukuran ditentukan dengan Global Positioning System (GPS) dan selanjutnya diplot di atas peta topografi. Pengukuran topografi diperlukan untuk menentukan dimensi lereng yang lebih detail. Data orientasi dianalisis dengan menggunakan proyeksi stereografi untuk memperoleh pola dan arah umum bidang diskontinu. Data orientasi digambar sebagai kontur dengan kerapatan 10% dalam stereonet kutub (e qual area) lower hemisphere sebagai media untuk memperoleh sebaran dan pola sert a menentukan arah dan kemiringan bidang-bidang diskontinu. Pengolahan data mengg unakan program stereoPro Stereographic Projections Version 1.00 (Walter, 1997). Hasil analisis proyeksi stereografi selanjutnya dikombinasi dengan metode ortogr afi, yaitu dengan menggunakan penampang yang diukur dan digambar dari kondisi ri il di lapangan, sebagai media menggambarkan pola dan arah bidang-bidang diskonti nu. Penafsiran mekanisme longsoran dilakukan berdasarkan besaran jarak, sudut, p ola dan arah bidang-bidang diskontinu yang tergambar dalam penampang dari masing -masing lokasi. Hasil penafsiran dianggap sebagai model mekanisme longsoran bagi setiap jenis batuan. Skema metodologi penelitian ditunjukan oleh diagram alir s eperti pada Gambar 4.1. berikut ini : Gambar 4.1. Diagram alir metodologi penelitian. [6]

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Longsoran batu telah terjadi di beberapa tempa t di Kota Jayapura, yaitu 1. Polimaks, Entrop, Skylane, Waena dan Nafri. Dari ke empat lokasi ini terpilih 3 lokasi yang berdasarkan informasi geologi dari Peta Geologi Lembar Jayapura (Suwarna dan Noya, 1995) memiliki jenis batuan dan umur batuan yang berbeda. Perbedaan ini akan memberi pengaruh terhadap distribusi bid angbidang diskontinuitas sehingga dapat memberi gambaran mekanisme dan karakteri stik longsoran batu di setiap lokasi. Batuan di lokasi Entrop tersusun oleh batu gamping yang terkekarkan, berlapis dan sedikit bergelombang (terlipat), Gambar 5 .1. Batuan ini merupakan bagian dari Formasi Nubai (Tomn) yang berumur Eosen Mio sen Akhir. Batuan di lokasi Waena tersusun oleh batuan beku ultrabasa (um) yang terkekarkan dan tersesarkan dan merupakan batuan yang berumur paling tua yang di jumpai di daerah penelitian (praTersier), Gambar 5.2. Batuan di lokasi Nafri ter susun oleh batunapal dari Formasi Makats (Tmm) yang berumur Miosen Tengah Miosen Akhir. Batuan ini berlapis baik dan telah mengalami perlipatan dan tersesarkan secara kuat (Gambar 5.3). Gambar 5.1. Singkapan batugamping (Formasi Nubai/Tomn) di lokasi jalan kantor Wa likota Jayapura (Entrop) Gambar 5.2. Singkapan batuan beku ultrabasa (um) yang berada di lokasi pengukura n tepi jalan raya Waena. [7]

Gambar 5.3. Singkapan batunapal (Formasi Makats) berlapis baik di lokasi Kampung Nafri Pergerakan batuan pada bidang miring terjadi disepanjang bidang-bidang di skontinuitas yang ada di dalam massa batuan. Pergerakan tersebut dapat dideteksi dengan baik berdasarkan orientasi bidang diskontinuitas. Orientasi diukur secar a langsung dilapangan dengan menggunakan kompas geologi. Data dikumpulkan dari s ingkapan yang telah dibuat oleh manusia maupun hasil longsoran. Data yang telah dikumpulkan berupa data orientasi (jurus dan kemiringan), kerapatan, bukaan dan dimensi dari bidang-bidang diskontinuitas (kekar, sesar dan lapisan). Data selen gkapnya disajikan dalam Lampiran A. Jumlah kekar dan sesar yang terukur sangat b anyak dan bervariasi. Untuk menentukan arah umur kekar dan sesar yang dijumpai d i setiap lokasi maka data diolah dengan program StereoPro. Data diolah dengan di agram mawar (rose)dan proyeksi stereografi menggunakan polar equal area dan diag ram kontur, hasil selengkapnya seperti pada Lampiran B. Hasil pengolahan data se luruhnya secara ringkas ditampilkan pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1. Hasil pengolahan data pengukuran lapangan dari masing-masing lokasi. Lokasi Koordinat Lintang (S) Bujur (E) 2o 35 75" 140 37 49" 34 56 7 - 10 215 219 / 69 262 / 67 17,14 0,63 12,75 x x o Waena Entrop 2o 35 08" 140 38 97" 255 75 12 - 15 245 229 / 80 228 / 85 14,13 0,47 5,2 x x o Nafri 2o 37 58" 140o 42 39" 150 50 30 - 40 199 185 / 83 x 21,15 1,43 11,61 89 20 Arah Penampang (N E) o Sudut Lereng ( ) Tinggi Lereng (m) Arah Umum (N E) Kekar Tarik (N E) Kekar Gerus (NE/plunge) Sesar (NE/plunge) Panjang Kekar (cm) Lebar Bukaan (cm) Kerapatan kekar (cm) Lapisan Batuan Strike (N..E) Dip (o) Keterangan : (x) = tidak ada data pengukuran. [8]

5.2. Pembahasan Hasil pengolahan data kekar memperlihatkan orientasi arah yang s ama antara kekar tarik dan kekar gerusnya. Hal ini dapat terjadi karena sulitnya membedakan kedua jenis kekar di lapangan. Pola kesejajaran yang umumnya dijumpa i pada kekar tarik sering sudah terpotong-potong sehingga menyerupai pola kekar gerus. Hasil pengolahan kekar tarik yang menggunakan diagram mawar ternyata hamp ir sama dengan hasil pengolahan kekar gerus yang menggunakan diagram kontur pada proyeksi stereografi. Sesar secara khusus dijumpai pada lokasi Entrop dan Waena . Pengolahan data sesar dikerjakan proyeksi stereografi untuk dapat memperlihatk an orientasi bidang sesar secara jelas. Orientasi sesar di lokasi Waena memperli hatkan arah relatif barat timur (N 262o E/ 67o) dan di lokasi Entrop berarah bar at daya timur laut (N 228o E/ 85o). Perlapisan batuan yang baik hanya dijumpai p ada lokasi Nafri. Orientasi perlapisan cenderung barat timur dengan arah kemirin gan rendah ke selatan. Arah umum sesar dan perlapisan berbeda dengan arah umum k ekar di masing-masing lokasi. Arah bidang kutub di Entrop adalah N 229o E/83o, W aena adalah N 240o E/ 67o dan Nafri adalah N 165 E/ 44. Berdasarkan hasil analisis ini maka arah bidang kutub di Nafri relatif searah dengan trend atau azimuth si ngkapan. Posisi ini seperti ini kurang menguntungkan bagi tingkat kestabilan mas sa batuan. Hubungan bidang-bidang diskontinuitas dan bidang kutub memberikan per bedaan pada mekanisme dan karakteristik longsoran batu di masing-masing lokasi. Gambaran penampang di setiap lokasi yang diperoleh dari hasil analisis proyeksi stereografi diperlihatkan seperti Gambar 5.4. 5.6. Mekanisme longsoran batu yang terjadi di Kota Jayapura secara umum lebih dikendalikan oleh kehadiran kekar, t erutama yang dihasilkan oleh gaya-gaya kompresif seperti kekar gerus. Jenis keka r ini cenderung lebih destruktif dan mengurangi kekuatan massa batuan. Orientasi kekar yang searah dengan lereng atau tebing menyebabkan tingkat kestabilan lere ng menjadi rendah dan batuan akan cenderung mudah bergerak. Pada kasus longsoran batu di Nafri, karakteristik batunapal yang berlapis dengan kemiringan yang ren dah (meskipun tidak searah dengan kemiringan lereng) dan kekar yang relatif seja jar dengan spasi dan ukuran yang cukup panjang menjadi sangat tidak stabil menah an beban yang berada di bagian atas. Longsor batu sangat sering terjadi di daera h ini dibandingkan dengan daerah Entrop dan Waena. Meskipun demikian tidak menut up kemungkinan longsoran batu juga dapat terjadi di kedua daerah ini, terutama p ada lereng yang letaknya berlawanan dengan arah penampang. Massa batuan beku cen derung lebih stabil dibandingkan dengan massa batugamping. Batuan beku relatif t ahan terhadap proses pelapukan dan pola bidang diskontinuitas (kekar) tidak bany ak berubah, sehingga hancuran batu dapat saling mengunci. Batugamping mudah meng alami larut oleh asam (air hujan) sehingga pola bidang diskontinuitas cenderung berubah, mengakibatkan kekuatan dan daya gesek batuan berkurang. Longsor pada ba tuan beku lebih banyak dihasilkan oleh perbedaan tingkat pelapukan batuan, terut ama pada zona campuran antara fragmen batuan dengan material lapuk lanjut. Mater ial lapuk mudah terbawa (transported) oleh air sehingga fragmen dapat ikut berge rak. Longsor batu menjadi efektif pada massa batuan yang memiliki karakteristik, antara lain : 1) kekar yang dominan adalah kekar gerus dengan arah kemiringan r elatif sejajar atau searah dengan kemiringan lereng (tebing); 2) sudut lereng le bih dari 40 dan tinggi lebih dari 10 m, serta tersusun oleh material batuan yang lunak atau telah lapuk lanjut; 3) bukaan antar bidang diskontinuitas relatif bes ar (lebih dari 1 cm) dan tidak terdapat pengisi sehingga air berperan dalam meni ngkatkan tekanan pada celah; 4) massa batuan tersusun oleh material yang relatif seragam (equigranular). [9]

Gambar 5.4. Orientasi kekar, sesar dan lapisan batugamping pada penampang lereng di Entrop. Gambar 5.5. Orientasi kekar dan lapisan batunapal yang sangat rentan (mudah long sor) pada penampang tebing di Nafri. Dari ketiga lokasi longsor batu di Kota Jay apura dapat diketahui bahwa daerah Nafri menjadi lokasi yang sangat rentan terha dap longsor batu dibandingkan daerah Entrop dan Waena. Daerah Entrop dan Waena m enjadi cukup rentan, jika kondisi massa batuan telah berubah secara signifikan, baik oleh proses pelapukan, pelarutan maupun orientasi bidang-bidang diskontinui tas terhadap kemiringan lereng. [10]

Gambar 5.6. Orientasi sesar dan kekar pada batuan beku ultrabasa yang cukup stab il pada penampang tebing/lereng di Waena. VI. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan penafsiran dengan menggunakan meto de proyeksi stereografi maka longsoran batu di Kota Jayapura dapat disimpulkan m enurut mekanisme dan karakteristiknya, sebagai berikut : a. Mekanisme longsoran batu lebih dikontrol oleh kekar, terutama kekar-kekar gerus yang orientasinya se arah dengan kelerengannya. b. Longsor batu pada massa batuan yang memiliki karak teristik, antara lain : 1) dominan kekar gerus yang se-orientasi dengan tebing; 2) sudut lereng lebih dari 40, tinggi lereng dari 10 m, dan tersusun oleh materia l batuan yang lunak atau telah lapuk lanjut; 3) lebar bukaan antar bidang diskon tinuitas relatif besar dan tidak terdapat pengisi sehingga air berperan dalam me ningkatkan tekanan pada celah; 4) massa batuan tersusun oleh material yang relat if seragam (equigranular). c. Daerah yang sangat rentan terhadap longsoran batu berada disekitar Kampung Nafri dengan batuan penyusun berupa batunapal dari Form asi Makats. ACUAN Bandono, dan Sadisun, I.A., 1997, Pengantar Geologi Teknik, Kumpulan Edara n Praktikum, Lab. Geologi Teknik ITB, Bandung. Bieniawski, Z.T., 1989, Engimeeri ng Rock Mass Classification, John Wiley & Sons, New York. Price, D.G., 1979, Sit e Investigation Rock Slope Engineering, Lecture Notes, Bangkok. Ragan, D.M., 198 5, Structural Geology, John Wiley & Sons, New York. Suwarna, N., dan Noya, Y., 1 995, Peta Geologi Lembar Jayapura (Peg. Cycloops), Pusat Penelitian dan Pengemba ngan Geologi, Bandung. Walter, M., 1997, Stereographic Projection Version 1.00, StereoPro Programme. Verhoef, P.N.W., 1994, Geologi untuk Teknik Sipil, Penerbit Erlangga, Jakarta. [11]

Anda mungkin juga menyukai