Anda di halaman 1dari 19

MODEL PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN ANAK SEKOLAH (PMT-AS) PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI WILAYAH KABUPATEN TANGERANG Erry

Yudhya Mulyani, Idrus Jusat, Dudung Angkasa3, Nur Muizzah4 Department of Nutrition Faculty of Health Sciences, Esa Unggul University Jln. Arjuna Utara No.9 Tol Tomang Kebun Jeruk, Jakarta 11510 erry.yudhya@esaunggul.ac.id Abstrak Pemberian Makanan Tambahan (PMT) merupakan salah satu komponen penting Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK). Anak sekolah merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Perbedaan lokasi juga membuat hasil alam atau sumber daya alam berbedabeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pemberian makanan tambahan anak sekolah dasar (PMT-AS) di wilayah Kabupaten Tangerang dengan memanfaatkan hasil alam/sumber daya alam yang terdapat di lingkungan sekitar. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan uji organoleptik pada model PMTAS, uji Anova dan uji Cochran q pada daya terima/tingkat kesukaan model PMT-AS yang diberikan untuk tiga sekolah di wilayah tersebut. Untuk daya terima model PMT-AS ditemukan adanya perbedaan yang bermakna menurut tingkat kesukaan panelis dari tiga kelompok model PMT-AS untuk ketiga sekolah (p<0,05). Model PMT-AS yang paling disukai dari kelompok model PMT-AS sekolah pertama adalah risoles ubi kuning, untuk sekolah kedua adalah lontong mie, dan sekolah ketiga adalah kroket singkong. Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini dapat meningkatkan tumbuh kembang dan ketahanan fisik, mendorong minat dan kemampuan, meningkatkan prestasi belajar anak sekolah dasar serta dapat menambah nilai/manfaat dari sumber daya alam di lingkungan sekitar sekolah sebagai bahan baku pembuatan model PMT-AS. Keywords: model PMT-AS, daya terima, anak sekolah dasar

Pendahuluan Program gizi pada kelompok anak sekolah memiliki dampak luas yang tidak saja pada aspek kesehatan, gizi dan pendidikan masa kini tetapi juga secara langsung mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Anak sekolah merupakan sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat. Kecepatan pertumbuhan anak di rentang usia ini merupakan kecepatan genetis masing-masing anak, yang juga dipengaruhi faktor lingkungan, terutama makanan. Hasil dari perbedaan proses pertumbuhan mengakibatkan ada anak yang berbadan pendek dan ada yang tinggi. Komposisi tubuh anak setelah umur 5 tahun mulai berubah. Perbedaan komposisi tubuh anak perempuan dengan anak laki-laki mulai tampak berbeda. Tubuh anak perempuan lebih banyak lemak, sedangkan tubuh anak laki-laki lebih banyak otot. Disisi lain, sebagian besar waktu anak usia ini banyak dimanfaatkan dengan aktivitas di luar rumah, yakni sekitar 3-6 jam di sekolah, beberapa jam untuk bermain, berolahraga, dan sebagainya, sehingga anak memerlukan energi lebih banyak. Waktu yang lebih banyak digunakan bersama teman ini dapat mempengaruhi jadwal makan anak, bahkan terhadap pola makannya. Belum lagi karena pola makan salah di umur sebelumnya yang masih terbawa di usia ini; misal, anak lebih suka jajan, makanan kurang serat, suka makan dan minum yang manis, dan

sebagainya. Akibatnya anak kurang mendapatkan pola makan ber-Gizi Seimbang dan aman, sehingga berdampak pada berat badan (BB) yang rendah karena kurang gizi dan sering sakit. Dapat pula terjadi akibat asupan energi berlebih selalu makan dan minum yang padat energi sehingga anak mengalami masalah obesitas (kegemukan). Kegemukan pada anak erat berkaitan dengan munculnya penyakit-penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah serta diabetes, dan bisa terjadi pada umur dewasa muda. Frekuensi makan adalah 3 atau lebih kali per hari, tetapi harus dengan menu lengkap. Kebanyakan anak usia sekolah di daerah perkotaan sudah melaksanakan sarapan secara rutin. Akan tetapi didaerah pedesaan misalnya di Gianyar Bali masih terdapat 83% anak sekolah tidak sarapan. Menurut data RISKESDAS 2010 di propinsi Banten masih terdapat anak usia 6-12 tahun yang berstatus gizi pendek (15,1%) dan kurus (9,5%). Sementara itu, dapat dilihat bahwa menurut jenis kelamin, prevalensi kependekan pada anak laki-laki lebih tinggi (36,5%) daripada anak perempuan (34,5%). Sedangkan menurut tempat tinggal, prevalensi anak kependekan di perkotaan (29,3%) lebih rendah dari anak di pedesaan (41,5%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kekurusan, terlihat pada anak laki-laki lebih tinggi (13,2%) daripada anak perempuan (11,2%). Selain itu, dari observasi yang dilakukan pada sekolah dasar di daerah lokasi penelitian juga memiliki perbedaan karakteristik berdasarkan letak lokasinya. Sekolah pertama (SDN Tegal Angus) dan sekolah kedua (MI Nurul Hidayah 2 Kronjo) termasuk ke dalam wilayah pedesaan, sedangkan sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti 1) berada di wilayah perkotaan. Maka berdasarkan perbedaan lokasi ketiga sekolah tersebut, hasil alam atau sumber daya alam dari ketiga sekolah tersebut juga berbeda-beda. Untuk hasil alam yang bisa didapat dari lingkungan sekitar sekolah SDN Tegal Angus tersebut antara lain dari hasil pertanian dan nelayan, karena sebagian besar penduduk di sekitar sekolah tersebut berprofesi sebagai petani dan nelayan. Potensi alam yang dapat dilihat dari daerah di lingkungan sekitar sekolah tersebut antara lain seperti beras, singkong, ubi jalar, untuk hasil sayuran berupa kangkung, bayam, caisim, lacing-kacangan seperti kacang panjang, labu air, taoge, sawi. Untuk hasil hewani antara lain seperti ikan dan daging ayam. Untuk hasil buahbuahan antara lain seperti pisang, pepaya, melon, mangga, ini semua didapat dari lingkungan sekitar ataupun membeli dari luar daerah Tegal Angus. Untuk hasil alam yang bisa didapat dari lingkungan sekitar sekolah MI Nurul Hidayah 2 Kronjo ini sama seperti di SDN Tegal Angus, yaitu dari hasil pertanian dan nelayan, karena sebagian besar penduduk di sekitar sekolah ini juga berprofesi sebagai petani dan nelayan. Potensi alam yang dapat dilihat dari daerah di lingkungan sekitar sekolah ini antara lain seperti beras, untuk umbi-umbian jarang terdapat karena sebagian besar warga jarang ada yang bertanam umbi. Untuk sayuran kebanyakan seperti kacang panjang, untuk sayuran daun-daunan jarang didapat dari lingkungan sekitar sekolah, biasa didapat dari daerah di luar lingkungan sekolah. Untuk hasil hewani kebanyakan warga di sekitar lingkungan sekolah yang memiliki tambak, dan ikan yang dihasilkan sebagian besar yaitu ikan bandeng, juga ada daging ayam dari beberapa warga yang memeliharanya. Untuk hasil nabati seperti tahu, tempe, dan oncom juga mudah didapat di lingkungan sekitar sekolah, karena ada juga beberapa warga yang membuka usaha pengolahan kedelai. Sedangkan untuk SDN Mekar Bakti 1 hasil alamnya tidak terlihat di lingkungan sekitar sekolah ini, karena tidak ditemukan area persawahan ataupun perkebunan milik warga dan juga letaknya yang berada di dalam komplek perumahan. Tetapi bahan-bahan makanan mudah

didapat karena dekat dengan pasar modern (supermarket) dan juga akses yang mudah untuk menuju pasar tersebut, sehingga warga tidak kesulitan untuk mendapatkan bahan makanan. Untuk pembuatan model PMT-AS di ketiga sekolah ini disesuaikan dengan bahan pangan atau potensi alam yang dapat dimanfaatkan dari ketiga daerah tersebut. Masing-masing sekolah atau daerah dibuatkan 3 jenis PMT-AS yang berbeda-beda dengan total 9 jenis PMT-AS, yang nantinya akan diujikan terlebih dahulu. Selanjutnya setelah diujikan, dari ketiga jenis PMT-AS pada masing-masing daerah tersebut, didapatkan PMT-AS jenis mana yang paling disukai oleh panelis, sehingga pada akhirnya akan didapat satu jenis PMT-AS unggulan dari masing-masing daerah, dengan total 3 jenis PMT-AS dari ketiga daerah tersebut. Untuk sekolah pertama yaitu SDN Tegal Angus, model PMT-AS yang akan dibuat adalah nugget tempe, klepon ketan hitam, dan risoles ubi kuning. MI Nurul Hidayan 2 Kronjo akan dibuatkan schotel tempe, kue mata roda, dan lontong mie. Sedangkan untuk SDN Mekar Bakti 1 akan dibuatkan cake singkong, nagasari ayam, dan kroket singkong. Masing-masing contoh PMT-AS ini telah dilakukan modifikasi pada bahan utama pembuatnya, sehingga dapat menaikan kandungan gizinya. Melihat prevalensi data diatas dan hasil observasi lapangan yang dilakukan kiranya perlu dilakukan pemberian makanan tambahan pada anak sekolah dasar dengan memanfaatkan hasil alam atau sumber daya alam yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan tumbuh kembang dan ketahan fisik, mendorong minat dan kemampuan serta meningkatkan prestasi belajar anak sekolah dasar, serta dapat menambah nilai/manfaat dari sumber daya alam di lingkungan sekitar sekolah sebagai bahan baku pembuatan model PMT-AS. Karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pemberian makanan tambahan anak sekolah dasar (PMT-AS) dengan memanfaatkan hasil alam/sumber daya alam sekitar di wilayah Kabupaten Tangerang. Metode Penelitian Data dalam penelitian ini menggunakan data primer dengan melakukan uji eksperimen untuk mendapatkan model PMT-AS, pengambilan data melalui kuesioner uji citarasa/ uji organoleptik. Populasi dan sampel penelitian adalah anak usia sekolah dasar yang berusia 6-12 tahun yang berasal dari kelas 4 dan 5 dari tiga sekolah dasar berbeda di Propinsi Banten yang berjumlah 120 orang. Sekolah tersebut adalah SDN Tegal Angus, MI Nurul Hidayah 2 Kronjo, dan SDN Mekar Bakti 1. Tetapi dalam uji pendahuluan yang dilakukan, panelis yang digunakan adalah panelis terlatih (staff dan dosen pengajar di Fikes Universitas Esa Unggul) yang dipilih secara acak sebanyak 5 panelis. Sedangkan untuk uji organoleptik utama panelis yang digunakan adalah siswa kelas 3, 4 dan 5 sekolah dasar (masing-masing sebanyak 82 orang, 65 orang, dan 35 orang) sebagai panelis semi terlatih, dan juga guru (6 orang) sebagai panelis terlatih, yang berasal dari SDN Grogol 2 yang berlokasi di sekitar wilayah Universitas Esa Unggul. Variabel yang dianalisa adalah skor warna, aroma, rasa, tekstur, dan tingkat kesukaan dari model PMTAS tersebut. Data dianalisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran masing-masing skor dari uji pendahuluan dan analisis bivariat digunakan untuk melihat perbedaan daya terima panelis terhadap PMT-AS yang diujikan. Perbedaan daya terima PMT-AS dilihat dengan uji one way anova dan uji cochran q. Skor dari uji pendahuluan dan uji organoleptik utama dengan analog visual scale serta uji cochran q dilakukan untuk mengetahui model PMT-AS yang paling disukai.

Hasil dan Pembahasan Uji pertama yang dilakukan adalah uji pendahuluan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada konsentrasi berapa PMT-AS tersebut disukai oleh panelis. Setelah diketahui, maka PMTAS pada konsentrasi tersebutlah yang nantinya akan diujikan pada uji organoleptik yang utama. Konsentrasi PMT-AS tersebut terdiri dari campuran bahan utama dengan bahan modifikasi sebanyak 15%, 30%, dan 45%. Untuk sekolah pertama (SDN Tegal Angus) PMT-AS yang akan dibuat adalah nugget tempe, klepon ketan hitam, dan risoles ubi kuning. Untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah 2 Kronjo) PMT-AS yang akan dibuat adalah schotel tempe, kue mata roda, dan lontong mie. Sedangkan untuk sekolah yang ketiga (SDN Mekar Bakti 1) PMT-AS yang akan dibuat adalah cake singkong, nagasari ayam, dan kroket singkong. Resep asli dari masingmasing PMT-AS ini didapatkan dari daftar resep kudapan yang telah dikembangkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar tahun 2011 yang telah telah diujicobakan di Laboratorium Pengolahan Makanan Program Studi Tata Boga Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga Fakultas Tehnik Universitas Negeri Jakarta. Dari resep dasar tersebut kemudian dilakukan modifikasi. Berikut ini adalah perbandingan konsentrasi dari modifikasi bahan utama pada masing-masing PMT-AS. Tabel 1. Konsentrasi Penambahan Bahan Modifikasi Model PMT-AS untuk Sekolah 1, Sekolah 2, dan Sekolah 3 Jumlah Penambahan Penambahan Bahan Modifikasi PMT-AS Sekolah 1 Tipe 1 (15%) Tipe 2 (30%) Tipe 3 (45%) Tempe 15% 30% 45% Ubi Kuning 15% 30% 45% Ketan Hitam 15% 30% 45% Jumlah Penambahan Penambahan Bahan Modifikasi PMT-AS Sekolah 2 Tipe 1 (15%) Tipe 2 (30%) Tipe 3 (45%) Tempe 15% 30% 45% Ubi Merah 15% 30% 45% Mie 15% 30% 45% Jumlah Penambahan Penambahan Bahan Modifikasi PMT-AS Sekolah 3 Tipe 1 (15%) Tipe 2 (30%) Tipe 3 (45%) Singkong 15% 30% 45% Singkong 15% 30% 45% Singkong 15% 30% 45% Hasil yang didapat dari uji pendahuluan pada PMT-AS di sekolah pertama (SDN Tegal Angus) ini adalah untuk nugget tempe didapati bahwa konsentrasi yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 3 (konsentrasi 45%), untuk risoles ubi kuning yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 2 (konsentrasi 30%), dan untuk klepon ketan hitam terjadi masalah pada saat proses uji, sehingga yang bisa diujikan adalah konsentrasi 100% dimana semua bahan utama diganti dengan ketan hitam (Tabel 2). Untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah 2 Kronjo), hasilnya diketahui bahwa untuk schotel tempe konsentrasi yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 1 (konsentrasi 15%), untuk kue mata roda ubi merah yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 2 (konsentrasi 30%), dan untuk lontong mie yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 1 (konsentrasi 15%) (Tabel 2). Sedangkan untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti 1), hasilnya diketahui bahwa untuk cake singkong konsentrasi yang paling disukai oleh panelis

adalah tipe 2 (konsentrasi 30%), untuk nagasari ayam yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 1 (konsentrasi 15%), dan untuk lontong mie yang paling disukai oleh panelis adalah tipe 2 (konsentrasi 30%) (Tabel 2). Berdasarkan hasil uji pendahuluan ini maka PMT-AS dengan konsentrasi terpilih inilah yang selanjutnya akan diujikan pada uji organoleptik utama. Modifikasi yang dilakukan pada nugget dengan bahan tempe didasari karena hampir semua anak menyukai nugget dan sebagian besar jajanan yang ada di sekolah dasar terdapat penjual nugget. Namun mereka belum tahu bagaimana rasa nugget tempe. Ini merupakan salah satu siasat memasukkan zat gizi protein nabati ke dalam penganan. Begitu juga dengan schotel tempe. Selain mengandung antioksidan, tempe juga mengandung vitamin B12 yang hanya terdapat dalam produk hewani. Demikian pula proteinnya, tak kalah dari susu maupun daging. Untuk modifikasi risoles ubi kuning, biasanya bahan kulit risoles terbuat dari campuran tepung terigu dengan telur, tetapi dalam penelitian ini tepung terigu dimodifikasikan dengan ubi kuning. Begitu juga dengan model PMT-AS mataroda ubi merah dimana bahan utama dimodifikasi dengan ubi merah. Selain karena tumbuhan ubi jalar terdapat di daerah sekitar sekolah tempat penelitian, ubi jalar juga mempunyai manfaat untuk kesehatan selain dari rasanya yang enak. Dan untuk model PMT-AS klepon ketan hitam telah dilakukan modifikasi dengan menambahkan ketan hitam pada campuran bahan pembuat klepon yaitu tepung beras. Beras ketan hitam merupakan versi ketan dari beras hitam. Untuk modifikasi lontong mie, biasanya bahan dasar pembuat lontong adalah beras, dalam penelitian ini dilakukan modifikasi dengan menggunakan mie. Modifikasi dengan menggunakan mie karena mie disukai berbagai kalangan, harga terjangkau dan rasanya yang enak. Sedangkan untuk model PMT-AS cake singkong, nagasari ayam, dan kroket singkong, masing-masing dari bahan utama pembuatnya dimodifikasi dengan singkong. Saat ini tentu singkong bisa diolah menjadi berbagai makanan yang lezat. Contohnya keripik singkong, singkong keju, bahkan kue berbahan dasar singkong. Tentu manfaat singkong akan lebih maksimal bila diolah dengan dikukus atau direbus. Tabel 2. Skor Hasil Uji Pendahuluan Model PMT-AS untuk Ketiga Sekolah pada Panelis Terlatih
Nugget Tempe T1 (15%) 220 Sekolah 1 300 220 340 300 Total 1380 T1 (15%) 382 Sekolah 2 393 308 302 107 Total 1492 T2 (30%) 230 330 290 330 280 1460 Schotel Tempe T2 (30%) 313 402 247 272 195 1429 T3 (45%) 309 406 191 280 268 1454 T3 (45%) 250 340 370 280 250 1490 Risoles Ubi Kuning T1 (15%) 140 320 290 280 320 1350 T1 (15%) 273 329 138 342 390 1472 T2 (30%) 220 310 350 300 330 1510 T2 (30%) 358 374 422 276 198 1628 T3 (45%) 170 280 400 260 330 1440 Lontong Mie T1 (15%) 368 276 328 341 184 1497 T2 (30%) 246 252 360 273 123 1254 T3 (45%) 202 300 281 256 63 1102 315 379 273 262 109 1338 T3 (45%) Klepon Ketan Hitam 100% -

Mata Roda Ubi Merah

Cake Singkong T1 (15%) 319 Sekolah 3 286 296 383 387 Total 1671 T2 (30%) 366 320 308 360 359 1713 T3 (45%) 307 312 315 373 264 1571 T1 (15%) 375 352 367 363 317 1774

Nagasari Ayam T2 (30%) 328 336 365 366 330 1725 T3 (45%) 188 325 360 316 372 1561

Kroket Singkong T1 (15%) 310 339 334 389 251 1623 T2 (30%) 358 336 370 305 406 1775 T3 (45%) 318 317 337 395 320 1687

Dari modifikasi yang dilakukan pada model PMT-AS, beberapa diantaranya adalah dengan melakukan penambahan tempe sebagai bahan modifikasi. Pada tempe terjadi peningkatan nilai gizi kurang lebih 2 kali lipat setelah kedelai difermentasi menjadi tempe, seperti kadar vitamin B2, vitamin B12, niasin, dan asam pantotenat. Bahkan hasil analisis, gizi tempe menunjukkan kandungan niasin sebesar 1.13 mg/100 gram berat tempe yang dapat dimakan. Karena kadar niasin pada kedelai hanya berkisar 0,58 mg, tempe, dapat dikonsumsi dalam tiga bentuk utama. Selain itu dari sebuah penelitian diketahui bahwa bubur tempe ternyata sangat bermanfaat untuk memperpendek masa diare dan meningkatkan berat badan setelah diare. Bubur tempe yang diproduksi oleh pabrik maupun dari tempe tradisional dapat mengurangi gejala lebih baik dibandingkan dengan formula kedelai. Tempe lebih mudah dicerna karena kandungan asam lemak bebas, peptida, dan asam amino yang tinggi. Proses peragian tempe menghasilkan vitamin B. Kecuali itu selama proses produksinya terjadi pengurangan jumlah rafinose dan stakiose, sehingga keluhan kembung yang disebabkan kedua zat tersebut telah berkurang. Berdasarkan penelitian, Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah 2,39 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare akut. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Dani Yustiardi (2009) di Bogor, Prevalensi anemia pada anak usia sekolah dasar diperoleh sebesar 25% (berdasarkan pengukuran kadar Hb darah). Suplementasi tempe terbukti mempunyai pengaruh yang signifikan pada perbaikan status kesehatan anak, yang dicirikan oleh adanya peningkatan kadar Hb darah maupun berat badan anak pada akhir perlakuan. Suplementasi tempe juga terbukti lebih efektif dibanding perlakuan nonsuplementasi tempe dalam meningkatkan berat badan anak. Sedangkan pada resep modifikasi risoles ubi merah, diketahui bahwa ubi jalar sangat kaya akan antioksidan. Semakin pekat warnanya, semakin banyak kandungan antioksidannya. Uji jalar mempunyai beragam warna, ada yang berwarna ungu, merah, kuning pucat atau putih. Warna tergantung pada jenisnya, jenis tanah, iklim serta mineral. Merah pertanda kaya akan betakaroten. Kita mengenal ada beberapa jenis ubi jalar, yang paling umum adalah ubi jalar putih. Selain itu ada juga yang ungu maupun merah. Sekalipun disebut ubi jalar merah, sebenarnya warna daging buahnya adalah tidak merah, tapi kekuningan hingga jingga alias orange. Dibanding ubi jalar putih,tekstur ubi jalar merah memang lebih berair dan lebih lembut. Rasanya tidak semanis yang putih padahal kadar gulanya tidak berbeda. Ubi jalar putih mengandung 260 mkg (869 SI) betakaroten per 100 gram, ubi merah yang berwarna kuning

emas tersimpan 2900 mkg (9675 SI) betakaroten, ubi merah yang berwarna jingga 9900 mkg (32967 SI). Makin pekat warna jingganya. makin tinggi kadar betakarotennya yang merupakan bahan pembentuk vitamin A dalam tubuh. Kandungan kimia pada ubi jalar adalah protein, lemak, karbohidrat, kalori, serat, abu, kalsium, fosfor, zat besi, karoten, vitamin B1, B2, C, dan asam nikotinat. Tabel 3. Kandungan Gizi Berbagai Jenis Ubi

Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1981, (Suismono, 1995)

Untuk modifikasi model PMT-AS klepon ketan hitam, bahan pangan ini kaya akan pati, serat alami yang terkandung dalam kulit ari ketan hitam dipercaya dapat membersihkan saluran pencernaan, tiamin atau biasa disebut vitamin B1 (terutama pada bagian aleuron) mampu membantu menghindari gangguan pada sistem saraf dan jantung, protein, mineral, air, dan lemak essensial yang sangat penting untuk perkembangan otak. Selain itu, ketan hitam hitam juga mempunyai manfaat lain seperti mampu menurunkan kadar gula dan kolesterol darah, sehingga sangat bermanfaat untuk mencegah diabetes mellitus dan penyakit lain yang berhubungan dengan kolesterol, seperti aterosklerosis, penyakit jantung dan stroke. Warna hitam pada ketan hitam mengandung fenol, katekin, kuersetin sebagai zat antikanker. Selain itu, ketan hitam dapat berfungsi sebagai antioksidan, sehingga membantu memperlambat penuaan. Ketan hitam membantu pembentukkan sel darah merah sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh terhadap beberapa penyakit. Tabel 4. Daftar Komposisi Zat Gizi Berbagai Jenis Beras (Per 100 gram)

Untuk penggunaan mie dalam model PMT-AS lontong mie, didasari karena di setiap sekolah pasti ada pedagang yang menjajakan mie instan untuk jajanan anak-anak. Tidak jarang juga anak-anak sekolah ini yang lebih menyukai makan mie dibandingkan dengan beras (nasi). Sebenarnya jika dilihat dari kandungan gizinya, nasi bukanlah makanan yang tidak bisa digantikan oleh makanan lain. Dilihat dari kandungannya, dalam 100 g nasi terkandung sekitar 28,62 g karbohidrat dan kalori sebesar 130,7 kkal. Jumlah karbohidrat yang hampir sama bisa kita peroleh dengan memakan makanan berkarbohidrat tinggi lain, seperti roti, mie, kentang ataupun ubi jalar. Selain itu anak-anak lebih menyukai makanan instan atau fast food yang banyak mengandung karbohidrat dan vetsin sebagai penyedap rasa. Kebiasaan makan yang sering menyantap makanan siap saji akibat gencarnya iklan dan ajakan teman yang dapat mempengaruhi status gizi anak karena makanan instan seperti mie instan ini cenderung rendah serat, rendah vitamin serta mineral, tetapi tinggi kalori, lemak, garam natrium serta kolesterol. Karena itulah pemilihan bahan modifikasi pembuat lontong ini menggunakan mie, agar untuk menaikan kandungan gizinya. Untuk modifikasi model PMT-AS untuk sekolah ketiga yang semuanya menggunakan singkong, dipilih karena manfaat yang terkandung didalamnya. Dilansir dari Nutrition and You, singkong memiliki jumlah kalori dua kali lipat dibandingkan kentang. Maka tak salah jika singkong menjadi salah satu makanan pokok sebagai sumber karbohidrat. Dalam 100 gram singkong, mengandung 160 kalori, sebagian besar terdiri dari sukrosa. Singkong lebih rendah lemak dibandingkan sereal dan kacang-kacangan. Walaupun begitu, singkong memiliki kandungan protein yang tinggi dibandingkan ubi, kentang dan pisang. Singkong kaya akan vitamin K yang memiliki peran dalam membangun masa tulang. Sehingga konsumsi singkong dapat menurunkan risiko osteoporosis. Selain itu, vitamin K akan melindungi dan berperan penting dalam pengobatan pasien Alzheimer dengan membatasi kerusakan saraf di otak. Umbi yang lezat ini merupakan sumber dari vitamin B kompleks dan kelompok vitamin seperti folates, thiamin, piridoksin (vitamin B-6), riboflavin, dan asam pantotenat. Riboflavin berperan dalam pertumbuhan tubuh dan memproduksi sel darah merah untuk mengurangi anemia, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi belajar pada anak. Selain itu, singkong merupakan sumber mineral yang penting bagi tubuh, antara lain seng, magnesium, tembaga, besi, dan mangan. Selain itu, singkong memiliki jumlah kalium yang cukup sebagai komponen penting pembentukan sel tubuh dan mengatur tekanan darah. Sebuah penelitian seperti dilansir Affleap menunjukkan manfaat singkong sebagai penurun kadar kolesterol jahat dalam darah. Tidak hanya itu, singkong juga dapat menurunkan kadar trigliserida dan menjadi sumber serat yang bagus. Tak heran jika singkong dapat menurunkan risiko penyakit jantung, stroke, kanker usus besar dan membantu mengendalikan diabetes. Dengan catatan, singkong diolah dengan cara kukus atau rebus. Selanjutnya, untuk hasil analisis bivariat dari skor mutu uji organoleptik pada model PMT-AS untuk ketiga sekolah, dari gambar 1. dapat terlihat bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik untuk kelompok model PMT-AS di sekolah pertama (SDN Tegal Angus), paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (nugget tempe). Rata-rata skor warna PMT-AS jenis C lebih tinggi 20,19 dibandingkan PMT-AS jenis A. Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 2. terlihat bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (schotel tempe). Rata-rata skor warna PMT-AS jenis C lebih

tinggi 14,45 dibandingkan PMT-AS jenis A. Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 3. menunjukkan bahwa rata-rata skor warna pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (nagasari ayam). Rata-rata skor warna PMT-AS jenis C lebih tinggi 14,53 dibandingkan PMT-AS jenis B. Setelah dilakukan uji One way Anova, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor warna PMT-AS untuk sekolah pertama, yang ditunjukkan oleh nilai F=11,042 dan p=0,000 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor warna PMT-AS jenis A dan jenis B (p=0,001), serta skor warna PMT-AS jenis A dan jenis C (p=0,000). Untuk sekolah kedua, hasil uji juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor warna PMT-AS, yang ditunjukkan oleh nilai F=8,712 dan p=0,000 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor warna PMT jenis A dan jenis C (p=0,000). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor warna PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=6,595 dan p=0,002 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor warna PMT jenis A dan jenis C (p=0,010) serta PMT jenis B dan jenis C (p=0,003).

Gambar 1. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna PMT-AS di SD 1 (SDN Tegal Angus)

Gambar 2. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna PMT-AS di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 3. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Warna PMT-AS di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Untuk skor aroma PMT-AS dari ketiga kelompok model untuk tiga sekolah tersebut, terlihat dari gambar 4. rata-rata skor aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis B (klepon ketan hitam), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (nugget tempe). Rata-rata skor aroma PMT-AS jenis B lebih tinggi 2,61 dibandingkan PMT-AS jenis A. Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 5. terlihat bahwa rata-rata skor aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMTAS jenis A (schotel tempe). Rata-rata skor aroma PMT-AS jenis C lebih tinggi 13,77 dibandingkan PMT-AS jenis A. Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 6. menunjukkan bahwa rata-rata skor aroma pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (nagasari ayam). Rata-rata skor aroma PMT-AS jenis C lebih tinggi 13,35 dibandingkan PMT-AS jenis B. Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor aroma PMT-AS untuk sekolah pertama, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor aroma PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=0,855 dan p=0,428 dimana p>0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor aroma PMT-AS pada ketiga jenis PMT-AS tersebut. Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor aroma PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=8,682 dan p=0,000 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor aroma PMT-AS jenis A dan jenis B (p=0,008) serta PMT-AS jenis A dan jenis C (p=0,000). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor aroma PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=6,363 dan p=0,002 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor aroma PMT-AS jenis A dan jenis B (p=0,011) serta PMT-AS jenis B dan jenis C (p=0,004).

Gambar 4. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Aroma PMT-AS di SD 1 (SDN Tegal Angus)

Gambar 5. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Aroma PMT-AS di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 6. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Aroma PMT-AS di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Untuk skor rasa pada ketiga kelompok model PMT-AS untuk tiga sekolah tersebut, terlihat dari gambar 7. rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik model PMT-AS sekolah pertama paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (klepon ketan hitam). Rata-rata skor rasa PMT-AS jenis C lebih tinggi 9,07 dibandingkan PMT-AS jenis B. Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 8. terlihat bahwa rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (schotel tempe). Rata-rata skor rasa PMT-AS jenis C lebih tinggi 11,67 dibandingkan PMT-AS jenis A. Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 9. menunjukkan bahwa rata-rata skor rasa pada penilaian mutu organoleptik untuk PMT SD 3 paling tinggi terdapat pada PMT jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (nagasari ayam). Rata-rata skor rasa PMT-AS jenis C lebih tinggi 12,97 dibandingkan PMT-AS jenis B. Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor rasa PMT-AS, hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor rasa PMT-AS pada sekolah pertama yang ditunjukkan oleh nilai F=2,559 dan p=0,082 dimana p0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor rasa PMT-AS pada ketiga jenis PMT-AS tersebut. Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor rasa PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=6,310 dan p=0,002 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor rasa PMT-AS jenis A dan jenis C (p=0,001). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor rasa PMTAS yang ditunjukkan oleh nilai F=6,310 dan p=0,002 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor rasa PMT-AS pada jenis A dan jenis B (p=0,040), serta PMT-AS jenis B dan jenis C (p=0,007).

Gambar 7. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT-AS di SD 1 (SDN Tegal Angus)

Gambar 8. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT-AS di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 9. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Rasa PMT-AS di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Untuk skor tekstur pada ketiga kelompok model PMT-AS untuk tiga sekolah tersebut,

terlihat dari gambar 10. rata-rata skor tekstur PMT-AS sekolah pertama pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (nugget tempe). Rata-rata skor tekstur PMT-AS jenis C lebih tinggi 28,86 dibandingkan PMT-AS jenis A. Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 11. terlihat bahwa rata-rata skor tekstur pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (schotel tempe). Rata-rata skor tekstur PMT-AS jenis C lebih tinggi 20,51 dibandingkan PMT-AS jenis A. Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 12. menunjukkan bahwa rata-rata skor tekstur pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis A (cake singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis C (kroket singkong). Rata-rata skor tekstur PMT-AS A lebih tinggi 4,69 dibandingkan PMT-AS C.

Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor tekstur PMT-AS, hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor tekstur PMT-AS sekolah pertama yang ditunjukkan oleh nilai F=30,685 dan p=0,000 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor tekstur PMT-AS jenis A dan jenis B (p=0,000), serta skor tekstur PMT-AS jenis A dan jenis C (p=0,000). Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor tekstur PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=2,587 dan p=0,077 dimana p>0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor tekstur PMT-AS pada ketiga jenis model tersebut. Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada skor tekstur PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=2,587 dan p=0,077 dimana p>0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor tekstur PMT-AS pada ketiga jenis model tersebut.

Gambar 10. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tekstur PMT-AS di SD 1 (SDN Tegal Angus)

Gambar 11. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tekstur PMT-AS di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 12. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tekstur PMT-AS di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Selanjutnya untuk skor tingkat kesukaan pada ketiga kelompok model PMT-AS, untuk sekolah pertama terlihat dari gambar 13. rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (risoles ubi kuning), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (klepon ketan hitam). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis C lebih tinggi 13,54 dibandingkan PMT-AS jenis B. Sedangkan untuk sekolah kedua (MI Nurul Hidayah), dari gambar 14. terlihat bahwa rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (lontong mie), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis A (schotel tempe). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis C lebih tinggi 8,49 dibandingkan PMT-AS jenis A. Untuk sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti), dari gambar 15. menunjukkan bahwa rata-rata skor Tingkat Kesukaan pada penilaian mutu organoleptik paling tinggi terdapat pada PMT-AS jenis C (kroket singkong), sedangkan yang paling rendah terdapat pada PMT-AS jenis B (nagasari ayam). Rata-rata skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis C lebih tinggi 13,16 dibandingkan PMTAS jenis B. Setelah dilakukan uji One way Anova pada skor Tingkat Kesukaan PMT-AS ini, untuk sekolah pertama hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=4,654 dan p=0,011 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis B dan jenis C (p=0,015). Untuk sekolah kedua, hasil uji menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=4,243 dan p=0,015 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis A dan jenis C (p=0,021). Sedangkan untuk sekolah ketiga, uji statistik One way Anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada skor Tingkat Kesukaan PMT-AS yang ditunjukkan oleh nilai F=5,954 dan p=0,003 dimana p<0,05. Hasil uji Post Hoc Bonferroni juga menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor Tingkat Kesukaan PMT-AS jenis A dan jenis B (p=0,014) serta PMT-AS jenis B dan jenis C (p=0,007). Untuk tingkat kesukaan panelis, selain menggunakan uji One way Anova digunakan juga uji Cochran Q. Hasil uji untuk sekolah pertama (SDN Tegal Angus), menunjukkan bahwa hasil perhitungan statistik Cochrans Q= 7,22 dan nilai signifikansi = 0,027 < 0,05, seh ingga dapat

disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT-AS tersebut, dengan jenis yang paling disukai adalah PMT-AS jenis C atau risoles ubi kuning. Untuk hasil uji model PMT-AS sekolah kedua, didapati bahwa nilai Cochrans Q= 31,182 dan nilai signifikansi = 0,000 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT-AS tersebut, dengan jenis yang paling disukai adalah PMT-AS jenis C atau lontong mie. Sedangkan untuk sekolah ketiga, didapati bahwa nilai Cochrans Q= 2,817 dan nilai signifikansi = 0,245 > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna pada tingkat kesukaan panelis terhadap ketiga jenis PMT-AS tersebut, tetapi jenis yang paling disukai adalah PMT-AS jenis C atau kroket singkong.

Gambar 13. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT-AS di SD 1 (SDN Tegal Angus)

Gambar 14. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT-AS di SD 2 (MI Nurul Hidayah 2)

Gambar 15. Penilaian Mutu Organoleptik Menurut Tingkat Kesukaan PMT-AS di SD 3 (SDN Mekar Bakti)

Kesimpulan dan Saran Menurut penilaian mutu skor uji organoleptik, ada perbedaan yang bermakna skor warna pada kelompok model PMT-AS sekolah pertama (SDN Tegal Angus), sekolah kedua (MI Nurul Hidayah 2) dan sekolah ketiga (SDN Mekar Bakti). Untuk skor aroma dapat disimplkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna skor aroma pada kelompok model PMT-AS sekolah pertama, dan ada perbedaan yang bermakna skor aroma pada kelompok model PMT-AS sekolah kedua dan ketiga. Untuk skor rasa dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna skor rasa pada kelompok model PMT-AS sekolah pertama dan ada perbedaan yang bermakna skor rasa pada kelompok model PMT-AS sekolah kedua dan ketiga. Pada skor tekstur disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor tekstur pada kelompok model PMT-AS sekolah pertama, serta tidak ada perbedaan pada sekolah kedua dan ketiga. Untuk tingkat kesukaan dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna skor tingkat kesukaan pada kelompok model PMT-AS sekolah pertama, sekolah kedua maupun sekolah ketiga. Dari kesembilan jenis PMT-AS, pada tiga kelompok model PMT-AS yang diperuntukkan bagi ketiga sekolah tersebut, risoles ubi kuning adalah model PMT-AS yang paling disukai oleh panelis kelompok sekolah pertama. Lontong mie adalah model PMT-AS yang paling disukai oleh panelis kelompok sekolah kedua. Sedangkan kroket singkong adalah model PMT-AS yang paling disukai oleh panelis kelompok sekolah ketiga. Berdasarkan penelitian ini, maka perlu dilakukan kembali uji daya terima dalam skala yang lebih besar pada penelitian di tahun ke-dua terhadap model PMT-AS yang telah dibuat dalam uji pendahuluan sebelumnya untuk penyempurnaan kedepannya. Daftar Pustaka 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Kemenkes RI. 2. Bharati P., Bharati S., et al. 2009. Growth and Nutritional Status of Preschool Children in India: rural-urban and gender differences. US National Library of Medicine National Institutes of Health. 33(1):7-21.

3. Dewi, S. (2010). Kecukupan Energi dan Protein Serta Sumbangan Energi dan Protein Makanan Jajanan pada Anak SD Negeri Kecamatan Medan Area Tahun 2010. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara. 4. Diastha. (2012). Makanan dan Kesehatan Nugget Tempe, diakses 29 November 2012 dari http://diesstha.blogspot.com/2012/11/nugget-tempe.html 5. Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar. (2011). Daftar Resep Kudapan 2011, diakses 14 Oktober 2012 dari http://pmtas.ditptksd.go.id/index.php?module=content&func =view&page=kudapan_daftar2011&menu=produk 6. Hardiansyah. 2004. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI. 7. Iniunik.web. (2011). 1001 Khasiat Manfaat Tempe (Sehat, Lezat, Murah & Super Food / Makanan Super Asli Indonesia), diakses 13 Desember 2012 dari http://www.iniunik.web.id/2011/06/1001-khasiat-manfaat-tempe-sehatlezat.html#axzz2Km46dz2r 8. Irwanto. (2012). Sosis Tempe dan Nugget Tempe Sebagai Alternatif Pemenuhan Gizi Keluarga yang Aman dan Murah, diakses 7 September 2012 dari http://justnoktah.blogspot.com/2012/09/sosis-tempe-dan-nugget-tempe-sebagai.html 9. Judiono, dkk. (2003). Gizi Anak Sekolah. Jakarta: Bina Dinnakes. 10. Jukes, Matthew. The Long-Term Impact of Preschool Health and Nutrition on Education. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University. 11. Kaziangan, H, Walque D, dan Alderman H. Educational and Health Impact of Two School Feeding Schemes: Evidence from a Randomized Trial in Rural Burkina Faso . Retrieved December 2008 from http://www.agecon.purdue.edu/news/seminarfiles/ BurkinaSchoolFeeding_12_01_08.pdf 12. Khasiat Alam. (2009). Khasiat Ubi Jalar, diakses 15 Desember 2012 dari http://biensnaturels.blogspot.com/2009/09/khasiat-ubi-jalar.html 13. Khor, Geok Lin. Micronutrient Status and Intervention Programs in Malaysia. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University. 14. Kristina, R. D. & Wirawanni, Y. (2012). Description of Habit of Consuming Instant Noodles in Children Age 7-12 Years Old Study in Kanisius State Elementary School in Tlogosari Kulon, Semarang. Journal of Nutrition College. 1:537-549. 15. Levinger, Beryl. School Feeding, School Reform, and Food Security: Connecting the Dots. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University. 16. Louicaides, C. A., Chedzoy, S. M., Bennetett, N. 2003. Differences In Physical Activity Levels Between Urban And Rural School Children In Cyprus, Oxford Journal. 19(2):138147. 17. Rosadi, A. (2012). Tetap Sehat Tanpa Makan Nasi? Bisa!, diakses 7 Februari 2012 dari http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/03/tetap-sehat-tanpa-makan-nasi-bisa-466998.html 18. Scribd.com. (2011). Kandungan Kacang Hijau dan Ketan Hitam, diakses 3 Januari 2012 dari http://www.scribd.com/doc/70908070/Kandungan-Kacang-Hijau-Dan-Ketan-Hitam 19. Sediaoetama, A. D. (2006). Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. 20. Sigman, Marian, Shannon E. Whaley, Charlotte G. Neumann, Nimrod Bwibo, Donald Guthrie, Robert E. Weiss, Li-Jung Liang, and Suzanne P. Murphy. Diet Quality Affects The

Playground Activities of Kenyan Children. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University. 21. Suhardjo, C. (2003). Berbagai cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. 22. Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. 23. Tomlinson, Mark (2007, March). School Feeding in East and Southern Africa: Improving Food Sovereignty or Photo Opportunity? Equinet Discussion Paper Number 46. Retrieved April 8, 2008 from http://www.equinetafrica.org/bibl/results.php? keywords=0&wherefrom=pub 24. Van Stuijvenberg, Martha E. Using the School Feeding System as a Vehicle for Micronutrient Fortification: Experience from South Africa. Food and Nutrition Bulletin, vol. 26, no.2 (supplement 2) 2005, The United Nations University. 25. Vemale.com. (2012). Manfaat Singkong, Jaga Kesehatan tulang Hingga Jantung, dikases 11 Februari 2012 dari http://www.vemale.com/kesehatan/14535-manfaat-singkong-jagakesehatan-tulang-hingga-jantung.html 26. WFP (2004). School Feeding Programs: Why They Should be Scaled Up Now 27. WFP (2004). Improving Food and Nutrition Security Through Food for Education Programs in Africa 2004. Retrieved April 8, 2008 from http://www.wfp.org/food_aid/school_feeding/LearnMore_Publications.asp?section=12&sub_ section=3 28. WFP, UNESCO and WHO (1999). School Feeding Handbook. Retrieved April 8, 2008 from http://portal.unesco.org/education/en/ev.phpURL_ID=36315&URL_DO=DO_TOPIC&URL _SECTION=201.html 29. WHO. Energy and Protein Requirements. World Health Organization, Geneva, 1985. (WHO Technical Report Series No. 724). 30. Wikipedia. (2012). Banten, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Banten 31. Yayasan Institut Danone. (2010). Sehat & Bugar Berkat Gizi Seimbang. Jakarta: PT Gramedia. 32. Yuniastuti, A. (2008). Gizi dan Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. 33. Yustiardi M, Dani. (2009). Pengaruh Suplementasi Tempe sebagai Sumber Protein Terhadap Kadar Haemoglobin dan Berat Badan pada Anak Usia Sekolah Dasar di Tamah Asuhan Anak Yatim dan Dhuafa Miftahul Jannah, Kota Bogor. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro: Semarang.

Anda mungkin juga menyukai