Anda di halaman 1dari 15

STRUKTUR KEILMUAN PESANTREN

Studi Komparatif antara Pesantren Tebuireng Jombang dan


Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta

Ringkasan Laporan Hasil Penelitian Tahun 2002


Ketua Peneliti: Sembodo Ari Widodo, M. Ag.
Anggota Peneliti: Mahmud Arif, M. Ag., dan Ahmad Warid, M.Ag.
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Editor & Peringkas: Masykur Afuy

PENDAHULUAN

Epistemologi dapat diartikan sebagai salah satu cabang filsafat yang mengkaji
tentang sumber, susunan, metode-metode dan validitas pengetahuan.[1]
Epistemologi sebagai cabang filsafat ini merupakan suatu upaya rasional untuk
menimbang dan menemukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam
interaksinya dengan diri, lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Sedang struktur
keilmuan merupakan suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif, normatif dan
kritis. Evaluasi yang dimaksud, adalah sesuatu yang bersifat menilai terhadap
suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat dan teori pengetahuan yang
dibenarkan atau memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara nalar.
Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur kenalaran bagi kebenaran
pengetahuan. Sedangkan, kritis berarti banyak mempertanyakan dan menguji
kenalaran baik cara ataupun hasil kegiatan manusia mengetahui.[2]

Epistemologi juga dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang


keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pngetahuan.[3]
Berdasarkan pengertian tersebut, epistemologi dapat dijadikan dua kategori,
yaitu: epistemologi klasik dan epistemologi kontemporer. Epistemologi klasik
adalah epistemologi yang menekankan aspek sumber dari ilmu pengetahuan.
Sedangkan, epistemologi kontemporer adalah epistemologi yang menekankan
pembahasan pada bagaimana proses, prosedur dan metodologi digunakan
untuk memperoleh ilmu pengetahuan.[4]

Dengan dua pengertian tersebut epistemologi telah memberikan andil dan


perspektif dalam pendidikan, yang berkenaan dengan peletakan dasar pemikiran
mengenai kurikulum dan dasar-dasar keilmuan serta metodologi
pembelajarannya. Karenanya, epistemologi dapat dimasukkan ke dalam wilayah
analisis mengenai jaringan nalar keilmuan pada berbagai lembaga-lembaga
pendidikan, termasuk dunia pendidikan Islam. Dengan demikian, apabila
epistemologi dikaitkan dengan masalah pendidikan, maka epistemologi akan
bersentuhan dengan masalah kurikulum, terutama dalam hal penyusunan dasar-
dasar epistemologi kurikulum.[5] Dalam struktur ini termasuk juga epistemologi
buku-buku teks yang digunakan, metode pengajaran dan segala proses
keilmuan terdapat dalam lembaga pendidikan.

Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai watak


utama, yaitu sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena,
pesantren memiliki tradisi keilmuan yang berbeda dengan tradisi keilmuan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, seperti madrasah atau sekolah.[6] Salah
satu ciri utama pesantren sebagai pembeda dengan lembaga pendidikan lain,
adalah pengajaran kitab kuning, kitab-kitab Islam klasik yang ditulis dalam
bahasa Arab baik yang ditulis oleh para tokoh muslim Arab maupun para pemikir
muslim Indonesia.[7]

Dengan demikian, selama ini ranah epistemologi atau struktur keilmuan[8] Islam
pesantren bisa dikatakan belum mendapatkan perhatian khusus dari para ilmuan
muslim. Yang ada hanya sebatas keterkaitan antara struktur keilmuan dengan
kurikulum atau kitab kuning atau hanya sekedar menyebutkan dan
mengungkapkan isinya secara global, tidak sampai pada struktur nalar keilmuan
kitab kuning yang paling fundamental. Dalam konteks ini, penelitian ini dibangun
dengan mengambil sampel pesantren Tebuireng Jombang dan Mu’allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.

*****

Atas pemikiran di atas, masalah penelitian ini difokuskan pada tiga masalah.
Pertama, bagaimana dasar-dasar filosofis-teologis penyeleksian kitab-kitab
diajarkan pada kedua pesantren itu? Kedua, bagaimana pemetaan struktur
keilmuan dalam nalar bayâni, ‘irfâni dan burhâni pada kedua pesantren tersebut?
Ketiga, bagaimana hubungan metodologis antara nalar materi dan metode
pengajaran pada kedua pesantren tersebut? Untuk itu, penelitian ini
menggunakan kerangka teoretik strukturalisme, yang dalam hal ini pemetaan
nalar keilmuan bayâni, ‘irfâni dan burhâni yang telah digagas oleh al-Jabiri
dianggap representatif untuk membongkar struktur keilmuan yang ada di
pesantren. Penelitian ini ditujukan untuk mencari hubungan antara materi dan
corak nalar dan metode pengajaran pada kedua pesantren tersebut.

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian literatur (library research)


dan penelitian lapangan (field research). Untuk mengumpulkan literatur, peneliti
menggunakan metode dokumentasi. Sementara itu, untuk mengumpulkan data
di lapangan peneliti menggunkan metode observasi, wawancara dan diskusi.
Selanjutnya, peneliti menganalisis literatur/data dengan metode komparatif untuk
mengungkap lebih dalam persamaan dan perbedaan struktur nalar kedua
pesantren tersebut dan keterkaitan nalar keilmuan dengan metodologi
pengajarannya.

Fenomena Kitab Kuning


Pesantren Tebuireng dan Mu’allimin Muhammdiyah

Kitab kuning sebagai kurikulum pesantren ditempatkan pada posisi istimewa.


Karena, keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus ciri pembeda antara
pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Pada pesantren di
Jawa dan Madura, penyebaran keilmuan, jenis kitab dan sistem pengajaran kitab
kuning memiliki kesamaan, yaitu sorogan dan bandongan. Kesamaan-kesamaan
ini menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultur dan praktik-praktik
keagamaan di kalangan santri.[9]

Secara keseluruhan kitab kuning yang diajarkan dalam pesantren dapat


dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu: nahwu dan sharaf, fiqh, ushul
fiqh, tasawuf dan etika, tafsir, hadits, tauhid, tarîkh dan balaghah. Teks kitab-kitab
ini ada yang sangat pendek, ada juga yang berjilid-jilid. Pengelompokan kitab
kuning ini dapat digolongkan dalam tiga tingkat, yaitu: kitab tingkat dasar, kitab
tingkat menengah dan kitab tingkat atas.

Selain itu, berdasarkan periode pengarang (mushanif) sebelum atau sesudah


abad ke-19 M, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua: Pertama, al-
Kutub al-Qadîmah, kitab klasik salaf. Semua kitab ini merupakan produk ulama
pada sebelum abad ke-19 M. Ciri-ciri umumnya adalah: 1] Bahasa pengantar
seutuhnya bahasa klasik, terdiri atas sastra liris (nadzam) atau prosa liris
(natsar). 2] Tidak mencantumkan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru,
tanda tanya dan sebagainya. 3] Tidak mengenal pembabakan alinea atau
paragraf. Sebagai penggantinya adalah jenjang uraian seringkali disusun dengan
kata kitâbun, bâbun, fashlun, raf’un, tanbîh dan tatimmatun. 4] Isi kandungan
kitab banyak berbentuk duplikasi dari karya ilmiah ulama sebelumnya. Kitab
sumber diperlukan sebagai matan, yang dikembangkan menjadi resume
(mukhtashar atau khulâshah), syarah, taqrîrat, ta’liqât dan sebagainya. 5]
Khusus kitab salaf yang beredar di lingkungan pesantren si pengarang harus
tegas berafiliasi dengan madzhab sunni, terutama madzhab arba’ah.
Sedangkan, kitab salaf yang pengarangnya tidak berafiliasi dengan madzhab
sunni hanya dimiliki terbatas oleh kyai sebagai studi banding.

Kedua, al-Kutub al-‘Ashriyyah. Kitab-kitab ini merupakan produk ilmiah pada


pasca abad ke-19 M. Ciri-cirinya, adalah: 1] Bahasanya diremajakan atau
berbahasa populer dan diperkaya dengan idiom-idiom keilmuan dari disiplin non-
syar’i. Pada umumnya karangannya berbentuk prosa bebas. 2] Teknik penulisan
dilengkapi dengan tanda baca yang sangat membantu pemahaman. 3]
Sistematika dan pendekatan analisisnya terasa sekali dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan umum pada zamannya. 4] Isi karangan merupakan hasil studi
literer yang merujuk pada banyak buku dan seringkali tidak ada keterikatan
dengan paham madzhab tertentu.[10]

Pada pesantren Tebuireng kitab yang diajarkan meliputi sebelas bidang kajian:
al-Qur’an, tafsir, hadits, ilmu hadits, bahasa Arab, tauhid/aqidah, akhlak, tasawuf
dan mantiq. Kitab-kitab kuning yang digunakan berdasarkan pola tingkatan.
Pada tingkat dasar kitab yang digunakan masih bersifat elementer dan relatif
mudah dipahami. Misalnya, ‘Aqîdah al-‘Awwâm (tauhid), Safînah al-Najâh (fiqh),
Washâya al-Abnâ’ (akhlak) dan Hidâyah al-Shahibyân (tajwid). Pada tingkat
menengah kitab yang digunakan, yaitu: Matan Taqrîb, Fath al-Qarîb dan Minhâj
al-Qawîm (fiqh), Jawâhir al-Kalâmiyyah dan al-Dîn al-Islâmî (tauhid), Ta’lîm al-
Muta’allim (akhlak), ‘Imrithi dan Nahwu al-Wâdhih (nahwu), al-Amtsilah al-
Tashrîfiyyah, Matan al-Binâ’ dan Kaelani (sharaf) serta Tuhfah al-Athfâl, Hidâyah
al-Mustafid, Musyid al-Wildân dan Syifâ al-Rahmân (tajwid).

Pada tingkat atas kitab yang digunakan, yaitu: Jalâlayn (tafsir), Mukhtâr al-
Hadîts, al-Arba’în Nawâwi, Bulûgh al-Marâm dan Jawâhir al-Bukhâri (hadits),
Minhâj al-Mughîts (musthalah hadits), Tuhfah al-Murîd, Husûn al-Hamîdiyyah,
‘Aqîdah Islâmiyyah dan Kifâyah al-‘Awwâm (tauhid), Kifâyah al-Akhyâr dan Fath
al-Mu’în (fiqh), Waraqat al-Sulâm (ushul fiqh), Alfiyyah Ibnu Mâlik, Mutammimah,
‘Imrithi, Syabrawi dan al-‘Ilal (nahwu dan sharaf) serta Minhâj al-‘Âbidîn dan
Irsyâd al-‘Ibâd (tasawuf/akhlak). Yang paling menarik, pada pesantren ini kitab al-
Munawwarah digunakan sebagai pelajaran mantîq (logika formal), yang berisi
logika Aristoteles dan lainya.[11]

Pada Mu’allimin Muhammadiyah kitab yang diajarkan hanya meliputi sembilan


bidang kajian: Al-Qur’an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadits, bahasa Arab, aqidah,
akhlak, fiqh dan ushul fiqh.[12] Kitab-kitab kuning yang digunakan, antara lain:
Tafsîr Qurtubî, Tafsîr Ibnu Katsîr, Tafsîr Jalâlayn, Musnad Ahmad, Mushannaf
‘Abd al-Razaq, Majma’ al-Zawâ’id karya Haitsami dan al-Mu’jam al-Kabîr karya
Ibnu Katsir.[13] Dalam kurikulum bahasa Arab, kitab-kitab kuning yang digunakan
adalah al-Jurûmiyyah dan al-Mutammimah. Al-Qur’an dan hadits hanya
digunakan sebagai muthâla’ah.[14]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kajian keilmuan Islam, kitab kuning
khususnya, di Pesantren Tebuireng lebih luas cakupannya daripada di Mu’allimin
Muhammadiyah. Adalah suatu ironi, adanya pelajaran mantîq pada Pesantren
Tebuireng, akan tetapi pada Mu’allimin Muhammadiyah pelajaran mantîq tidak
diajarkan, padahal Muhammadiyah terkenal dengan rasionalitasnya, yang nota
bene KH. Ahmad Dahlan adalah seorang penggemar mantîq. Diakui juga bahwa
semenjak berdirinya hingga saat ini, pesantren Tebuireng senantiasa
menggunakan kitab kuning sebagai materi pelajaran dalam kurikulum.
Pertimbangan Teologis-Epistemologis: Penyeleksian Kitab

Pengajaran kitab-kitab kuning pada pesantren Tebuireng tampak sulit diprediksi


kapan selesai diajarkan kepada para santrinya. Karena, isi kitab-kitab itu sangat
banyak, tebal, beratus-ratus, meski ada pula yang tipis. Misalnya, kitab
Mutammimah (nahwu) yang tipis, diajarkan pada Madrasah Aliyah kelas I hingga
kelas 2.[15] Berdasarkan pertimbangan teologis-epistemologis fenomena ini
tidak dapat dilepaskan dari prinsip pesantren Tebuireng yang memiliki kaitan
dengan ideologi Nahdlatul Ulama (NU). Ideologi NU yang mempunyai tradisi,
bahwa materi ‘aqîdah, syarî’ah dan ilmu bersambung dengan ulama-ulama
klasik, khususnya lingkaran madzhab Syafi’i. Oleh karena itu, kitab-kitab kuning
yang diajarkan merupakan upaya menyambung tradisi Islam klasik, yang
dianggap mata rantainya sampai Rasullullah SAW.

Sedangkan, pada Mu’allimin Muhammadiyah secara epistemologis keilmuan


Islam diberikan kepada para santri bukan merupakan transfer ilmu-ilmu klasik
yang tertulis dalam kitab-kitab kuning, akan tetapi mengajarkan kitab berarti
menyampaikan isi yang terkandung dalam kitab. Pemikiran ini banyak
mempengaruhi para intelektual untuk menyusun materi keilmuan Islam. Oleh
karena itu, materi pelajaran tersusun dalam bentuk muqarrar. Bentuk ini lebih
mudah dan praktis bagi santri dalam mempelajari keilmuan Islam secara ketat
dan diprediksi dapat diselesaikan dalam satu cawu.[16]

Secara teologis pengajaran keilmuan Islam didasarkan pada doktrin


Muhammadiyah yang menjargonkan al-Rujû’ ilâ al-Qur’ân wa al-Hadîts al-
Maqbûlah. Di samping, doktrin dalam Muqarrar al-‘Aqîdah bertendensi
membasmi bid’ah, khurafat dan takhayul. Dengan demikian, tak mengherankan
pertimbangan penyeleksian kitab-kitab yang digunakan, didasarkan pada
semangat untuk mencetak kader dan mubâligh yang mumpuni dalam ‘aqîdah
dan sekaligus dapat membawa misi Muhammadiyah dalam berdakwah amar
ma’ruf nahi munkar.

Struktur Nalar Kitab-kitab Pesantren

Kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Tebuireng dan Mu’allimin


Muhammadiyah, apabila menggunakan klasifikasi keilmuan Hassan Hanafi,
dapat dikelompokkan menjadi keilmuan naqlî dan keilmuan naqli-’aqlî. Keilmuan
naqlî termasuk keilmuan kebahasaan, sedangkan keilmuan naqli-’aqlî termasuk
keilmuan keagamaan. Oleh karena itu, produk keilmuan yang diajarkan pada
kedua pesantren hanya pada dataran menggunakan kadar penalaran
interpretatif, elaboratif dan justifikatif. Dengan kata lain, proses penalaran
diarahkan pada pemaknaan teks, penguraian makna dan penegasan ulang
makna teks.

Meskipun sama-sama bercirikan penalaran tekstual, perbedaan mendasar


antara keduanya terletak pada pola penalaran tekstual yang dirujuk. Jika pada
pesantren Tebuireng lebih mengembangkan pola penalaran tekstual madzhabi,
maka Mu’allimin Muhammadiyah lebih mengembangkan pola penalaran tekstual
non-mandzhabi. Yang dimaksud madzhabi adalah pola penalaran yang diikat
oleh produk pemikiran ulama tertentu sebagai sebuah aliran. Karenanya, bukan
berarti kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren Mu’allimin Muhammadiyah
sama sekali menafikan pemikiran ulama terdahulu, melainkan pemikiran ulama
terdahulu (salaf) hanya sekedar dirujuk untuk mendasari pemahaman terhadap
makna al-Qur’an dan al-Hadits.[17] Pesantren Tebuireng memiliki struktur
keilmuan yang madzhabi, sehingga variasi pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits
yang dikembangkan juga tetap dalam koridor madzhab.[18]
Struktur nalar kitab-kitab kedua pesantren mengakui otoritas sebagai salah satu
sumber pengetahuan atau kebenaran. Otoritas yang dimaksud adalah pendapat
ulama atau ahli (expert) yang dinilai otoritatif dalam kaitannya dengan
pemahaman maksud al-Qur’an dan al-Hadits. Pun demikian, terdapat perbedaan
antara keduanya. Pesantren Mu’allimin cenderung menjadikan otoritas sebagai
rujukan konfirmatif bagi pemaknaan dan pemahaman al-Qur’an dan al-
Hadits.[19] Sedangkan, pesantren Tebuireng cenderung memposisikan otoritas
sebagai kerangka pemahaman dan rujukan otoritatif (referential authority)
terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Bahkan, seringkali tidak diungkap secara
eksplisit pijakan al-Qur’an atau al-Haditsnya, seperti dalam kitab-kitab syarh
yang diajarkan di pesantren Tebuireng.[20] Dengan demikian, kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren Mu’allimin tampak mengikuti tradisi keilmuan Modern dan
masa Klasik, sedangkan pada pesantren Tebuireng tampak mengikuti tradisi
keilmuan abad Pertengahan dan sedikit merujuk pada masa Klasik, dengan
kitab-kitab kuningnya.[21]

Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa struktur keilmuan pesantren


Mu’allimin didominasi oleh nalar “bayâni-burhâni.” Ideologi utama
Muhammadiyah, yaitu purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (kembali ke al-
Qur’an dan al-Hadits serta tajdîd). Ideologi ini merupakan misi dan visi yang
diemban oleh pesantren Mu’allimin Muhammadiyah. Karena itu, implikasi
epistemologis dari determinasi purifikasi menjadikan struktur keilmuan pesantren
Mu’allimin Muhammadiyah cenderung bayâni. Dengan kata lain, keteguhan
memegangi preskripsi teks normatif telah memunculkan pola penalaran istidlâli
atau istinbâthi. Pola penalaran ini selalu mempresentasikan secara sirkuler
analisis tekstual, yang bertolak dari dan bermuara pada teks. Oleh karena itu,
cepat berkembang penilaian bid’ah dan khurafat terhadap pemikiran inovatif
dalam lingkup aqidah dan fiqh. Sebagai konsekuensi dari tipologi rasionalitas
tersebut, logika dan filsafat tidak diajarkan pada pesantren ini. Yang diajarkan
adalah rasionalitas bayâni yang bernalar burhâni. Rasionalitas semacam ini tidak
akan memposisikan rasio pada posisi independen-otonom dalam relasinya
dengan teks wahyu. Karena, rasio difungsikan sebagai pendamping wahyu agar
tidak terjadi distorsi pemahaman dan penafsiran. Rasio sekadar berfungsi
sebagai instrumental metodologis bagi penalaran teks.

Sedangkan, pesantren Tebuireng didominasi oleh nalar “bayâni-‘irfâni.” Pada


pesantren Tebuireng, akar historis tradisi keilmuan ala al-Ghazali[22] yang lebih
mendapatkan apresiasi di dunia pesantren menjadi faktor penentu dominannya
struktur nalar bayâni-‘irfâni dalam matra intelektual keagamaan pesantren
Tebuireng. Dunia pesantren seperti ini memiliki dimensi metafisis, spiritual-
keagamaan para santri.[23] Corak nalar ini memungkinkan lestarinya
kepemimpinan kharismatik kyai. Hanya saja, seiring dengan derap modernisasi,
pesantren pelan-pelan mengalami pergeseran dan perubahan. Dengan
demikian, pembentukan tata nilai ditentukan oleh hukum fiqh dan adat kebiasaan
kaum sufi sebagaimana diungkap oleh Abdurrahman Wahid.[24] Tentunya,
implikasi metodologis keilmuan ini adalah dominasi model pemikiran deduktif-
dogmatis agama dibanding model pemikiran induktif-rasional faktual[25]

Hubungan Metodologis
Nalar Materi dan Metode Pengajaran

Dalam dunia pesantren Tebuireng, metode pengajaran materi keagamaan Islam


dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1] Metode sorogan. Metode ini digunakan
untuk mengajarkan materi dalam kitab-kitab kuning. Dalam praktiknya, santri
membaca kitab secara bergantian, kemudian kalau terjadi kekeliruan kyai atau
ustâdz membetulkannya. 2] Metode bandongan atau weton. Metode ini
digunakan oleh kyai atau ustâdz untuk menerangkan arti kitab-kitab kuning
kepada santrinya dengan cara kyai atau ustâdz membaca kitab. Dalam
praktiknya, santri hanya mencatat apa yang diterangkan kyai atau ustâdz. 3]
Metode ceramah. Metode ini biasanya digunakan untuk menjelaskan materi di
dalam lingkungan madrasah atau sekolah. Dalam praktiknya, materi
disampaikan secara lisan oleh seorang guru atau ustâdz kepada murid atau
santrinya dan terkadang ada tanya jawab antara guru dan murid. 4] Metode
diskusi. Metode ini biasanya digunakan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau
kegiatan ilmiah untuk memahami kitab-kitab kuning. misalnya, kitab Fath al-
Qarîb dan Kifâyah al-Akhyâr.[26]

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kitab-kitab kuning yang


diajarkan pada pesantren Tebuireng cenderung bernalar bayâni dan ‘irfâni, yang
disampaikan dengan menggunakan metode pengajaran yang bercorak bayâni.
Misalnya, materi tasawuf. Lain dengan materi mantiq, yang materinya bercorak
burhâni, namun diajarkan secara bayâni. Oleh karena itu, adalah keliru apabila
ada anggapan bahwa setiap materi bernalar bayâni diajarkan secara bayâni atau
materi bernalar ‘irfâni diajarkan secara ‘irfâni atau materi bernalar burhâni
diajarkan secara burhâni. Yang terjadi di pesantren Tebuireng, adalah baik materi
bernalar bayâni, ‘irfâni maupun burhâni tetap diajarkan secara bayâni.

Dalam dunia pesantren Mu’allimin Muhammadiyah, umumnya metode


pengajaran yang digunakan adalah metode ceramah. Kecuali, pada bidang
bahasa Arab dan bahasa Inggris, metode pengajaran yang digunakan adalah
metode langsung (al-tharîqah al-mubâsyirah) dan metode kompetensi atau
aktivitas.[27] Metode langsung digunakan untuk mengajarkan materi bahasa
Arab di mana dalam praktiknya ustâdz meneriakkan langsung kosa kata-kosa
kata bahasa Arab dan kemudian santrinya langsung menirukannya. Metode ini
cenderung bernalar ‘irfâni. Sementara itu, metode kompetensi tersebut
digunakan untuk mengajarkan bahasa Inggris, yang praktisnya santri dituntut
aktif-kreatif mendemonstrasikan kemampuan-kemampuan berbahasanya baik
secara lisan maupun tulis dan kemudian ustâdz hanya sekadar memberikan
instruksi. Metode ini merupakan sebuah metode lompatan dari nalar ‘irfâni ke
nalar burhâni. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa materi keislaman
berada dalam dominasi nalar bayâni yang diajarkan secara metodologis
menggunakan nalar bayâni juga. Kecuali, materi bahasa Arab yang bayâni,
diajarkan dengan ‘irfani dan berkembang ke arah burhâni.

PENUTUP

Berdasarkan pada uraian-uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa baik pada


pesantren Tebuireng maupun Mu’allimin Muhammadiyah kerangka keilmuannya
didominasi oleh nalar bayâni, naqlî dan tekstual. Meski demikian, kerangka
epistemologinya atau struktur fundamental keilmuannya tidak sama, karena
masing-masing pesantren ini tidak bisa dilepaskan dari pemikiran ideologis
keagamaan masing-masing organisasi. Selanjutnya, struktur kelimuan itu
berimplikasi terhadap bangunan nalar materi atau kurikulum yang ada di kedua
pesantren dan juga terhadap nalar metode pengajarannya.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa NU secara ideologis ingin


mempertahankan pemahaman Islam yang berakar dari tradisi pemikiran di
kalangan Syafi’iyah, atau pengikut madzhab empat, walaupun dalam praktiknya,
banyak bersandar pada madzhab Syafi’i yang diyakininya bersambung pada
sahabat dan selanjutnya berujung ke Rasulullah. Dalam kerangka pemikiran
epistemologinya menjadi bertumpu pada kitab-kitab klasik di lingkungan
Syafi’iyah, meskipun ada yang sedikit merujuk langsung pada nash, qiyâs, dan
al-aqâ’id al-ushûliyyah. Karenanya, dalam praktik pendidikan, pada pesantren
Tebuireng, materinya menjadi bertumpu pula pada kitab-kitab klasik di kalangan
Syafi’iyah. Dengan kata lain, masih didominasi oleh kuasa salaf, dan ini adalah
bagian dari sistem pemikiran bayâni.

Sementara itu, Muhammadiyah secara ideologis ingin memahami Islam secara


puritan-rasional, langsung merujuk pada sumbernya yang utama, al-Qur’an dan
al-Hadits, kemudian penalaran rasional, ijmâ’ dan qiyâs. Kerangka pemikiran ini
berimplikasi pada kurikulum atau materi-materi yang diajarkan pada Mu’allimin
Muhammadiyah, yaitu dengan menyusun materi sendiri yang penuh dengan
taburan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits dengan sedikit dibumbuhi pemikiran
rasional. Demikian juga, materinya diprogram sedemikian rupa sehingga sejalan
dengan keinginan Muhammadiyah dalam mencetak kader-kadernya yang
mempuni dalam agama dan kemuhammadiyahan. Kerangka berpikir ini juga
didominasi oleh sistem berpikir ala bayâni.

Kaitan antara nalar materi dengan nalar metode pengajaran, dapat dipahami
bahwa materi Islam pada Mu’allimin Muhammadiyah berada dalam dominasi
nalar bayâni yang diajarkan secara metodologis menggunakan nalar bayâni pula.
Karena, metode ceramah masih mendominasi dalam proses belajar
mengajarnya, kecuali materi bahasa Arab yang bercorak bayâni namun diajarkan
secara ‘irfâni. Belakangan ini dikembangkan ke arah nalar metode burhâni. Hal
ini berbeda dengan yang terjadi pada pesantren Tebuireng. Pada pesantren
Tebuireng struktur keilmuannya adalah bayâni, ‘irfâni dan burhâni diajarkan
dengan metode bernalar bayâni, atau dengan pemulaan burhâni tapi pada
ujungnya bermuara pada bayâni lagi.

Dengan demikian, ada sebuah refleksi yang perlu diperhatikan dalam penelitian.
Karena, wilayah penelitian itu masih sangat terbatas, yaitu pada struktur
keilmuan pesantren dengan hasilnya sebagaimana yang telah disebutkan di
atas. Tentunya, ini bisa dijadikan prediksi untuk menatap masa depan keilmuan
Islam di Indonesia dan dunia pesantren khususnya. Apakah kita umat Islam, NU
dan Muhammadiyah khususnya, masih menginginkan model epistemologis
pendidikan seperti yang ada ini, atau ingin mengadakan perubahan yang lebih
dinamis-futuristis-rasional?

Kalau jawaban dari pertanyaan reflektif ini menjadi harapan kita, maka perlu
diadakan penelitian-penelitian lanjutan untuk mencari model epistemologi
pendidikan Islam lainnya, dengan sampel yang lain. Atau, kita mencari sampel di
luar wilayah Indonesia yang memungkinkan untuk ditemukan struktur keilmuan
Islam yang lebih rasional-futuristik seiring dengan derasnya arus Iptek yang
berbasis pada nalar rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’ân al-Karîm

Abdullah, M. Amin, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman


Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000.

____________, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah Pendidikan


Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas Budaya dan
Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu Pendidikan Islam,
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21 Pebruari 2000.

al-Abrasyi, Muhammad ‘Atiyah, Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Dar a-Fikr al-Arabi,


Kairo, t.t.
Abus, Abdul Gani, Fî al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1977.

Ali, H. B. Hamdani, Filsafat Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta, 1993.

Anshori, Endang Saifuddin, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran tentang Islam


dan Umatnya, Pustaka Salman ITB, Bandung, 1983.

Arifin, M., Filsafat Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta, 1994.

Arkoun, Mohammed, Târîkhiyyat al-Fikri al-‘Arabî al-Islâmî, Markaz al-Inma’ al-


Qaumi, Beirut, 1986.

Ashraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1989.

Al-Attas, Muhammad al-Naquib (Ed.), Aims and Objectives of Islamic Education,


King Abdul Aziz University, Jeddah, 1979.

_________, Konsep Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Pustaka Firdaus,


Jakarta, 1989.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium


Baru, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999.

_________, Jaringan Ulama Timur Timur dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Mizan,
Bandung, 1994.

Banardib, Imam, Filsafat Pendidikan Islam: Sistem dan Metode, Andi Offset,
Yogyakarta, 1994.

_________, Filsafat Pendidikan Islam: Suatu Tinjauan, Andi Offset, Yogyakarta,


1986.

_________, Dasar-dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif


Beberapa Teori Pendidikan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996.

_________ dan Sutari, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, Andi


Offset, Yogyakarta, 1986.

Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1995.

Brameld, Theodore, Philosophies on Education in Cultural Perspective, Holt,


Rinehart and Winston, New York ,1955.

Brubacher, John S., Modern Philosophies of Education, Tata McGraw-Hill


Publishing Company Ltd., New Delhi, 1978.

Bruinessen, Martin van, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana
Baru, LKiS, Yogyakarta, 1994.

_________, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di


Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.

Burr, John R., and Guldinger Milton, Philosophy and Contemporey Issues, Upper
Saddle River, New Jersey, 1995.
Butler, J.D., Four Philosophies and Their Practice in Education dan Religion,
Harper and Brothers, New York, 1951.

Cottingham, John, (ed.), Western Philosophy: An Anthology, Blackwell Publishers


Ltd., Oxford, 1996.

Dahlan, Dikdik L. Dkk., Pondok Pesantren Darul Arqam: Potret Sekolah Kader
Ulama Muhammadiyah, PB IKADAM, Bandung, 1996.

Daradjat, Zakiyah dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Ditjen Binbaga Islam, Depag RI
dan Bumi Aksara, Jakarta, 1991.

Dar, Bahir Ahmad, Etika Qur’an, terj. Yusuf Sobirin, Pustaka Litera antar Nusa,
Jakarta, 1993.

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996.

Departemen Agama RI, Pesantren: Profil Kyai, Pesantren dan Madrasah, Badan
Litbang Agma, Jakarta, 1981.

_________, Direktori Pondok Pesantren, Direktorat Jenderal Pembinaan


Klembagaan Agama, Jakarta, 2000.

Dhofier, Zakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pendangan Hidup Kyai,


LP3ES, Jakarta, 1982.

Fakhruddin, A.R., Muhammadiyah Abad XV Hijriyah, 70 Langkah ke Depan,


Harapan Melati, Jakarta, 1985.

_________, Mubaligh Muhammadiyah, Harapan Melati, Jakarta, 1985.

Grunber, Frederich C., Historical and Contempory Philosophies of Education,


Thomas Y. Crowell Company, New York, 1973.

Hanafi, Hassan, Dirâsat Falsafiyyat, Maktabah al-Anjilo al-Mishriyah, Kairo, 1987.

_________, Dirâsat Islâmiyyah, al-Anjilo al-Mishriyah, Kairo, 1987.

Haniefah, Abu, Upaya Mencari Cara yang Tepat: Bagaimana Menghadapi Santri
di Darul Arqam, PP. Darul Arqam Muhammadiyah Daerah Garut, Garut, 1987.

Harun, Luqman, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Pustaka Panjimas,


Jakarta, 1986.

Haryono, Abu Syam, Pendidikan Nahdlatul Ulama: Untuk Mengenal dan


Menghayati Perjuangan Nahdlatul Ulama, 3 Jilid, Cahaya Ilmu, Surabaya, 1981.

al-Jabiri, Muhammad Abed., Al-Turâts wa al-Hadâtsah: Dirâsah wa Munâqasyah,


Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, 1991.

_________, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyas,


Beirut, 1991.

_________, Bunyah al-‘Aql al-Arabî: Dirâsah Tahlîliyyah Naqdiyah li Nuzhûm al-


Ma’rifah fî al-Tsaqâfah al-‘Arabiyyah, Markaz Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah,
Beirut, 1992.
_________, Nahnu wa al-Turâts: Qirâ’ah Mu’âshirah fî Turâtsinâ al-Falsafi, Al-
Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Casablanca, 1986.

al-Jamali, Muhammad Fadil, Tarbyiyah al-Insân al-Jadîdi, Al-Syirkah al-Tunisiyah


li al-Tauzi, Tunis, 1967.

_________, Nahnu al-Tarbiyyah al-Mukîminah, Al-Syirkah al-Tunisiyah li al-Tauzi,


Tunis, 1977.

Jalal, Abdul Fattah, Azas-azas Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, Diponegoro,
Bandung, 1988.

al-Jumbulati, Ali, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. M. Arifin, Rineka Cipta,


Jakarta, 1994.

al-Kailani, Majid Irsan, Falsafatu al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Maktabah al-Hadi,


Mekah, 1988.

_________, Tathawwuru Mafhûmi al-Nadhariyyah al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah,


Maktabah Dar al-Turats, Madinah, 1987.

Karim, M. Rusli, Dinamika Islam di Indonesia: Suatu Tinjauan Sosial dan Politik,
Hanindita, Yogyakarta, 1985.

Kneller, George F., Movements of Thought in Modern Education, John Wiley &
Sons Inc., New York, 1984.

Knight, George R., Issues and Alternatives in Educational Philososphy, Andrews


University Press, Michigan, 1982.

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Al-Ma’arif,


Bandung, 1980.

_________, Manusia dan Pendidikan, Pustaka al-Husna, Jakarta, 1989.

Ma’arif, A. Syafi’i, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan


Pemikiran Islam dan Politik, Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000.

Machfoedz, Maksoem, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Yayasan


Kesatuan Timmah, Surabaya, t.t.

Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Paramadina, Jakarta, 1994.

_________, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998.

Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, “Menyemai Tunas Harapan


Umat,” Booklet.

_________, Buletin Jumpa Pula, Yogyakarta, 1981.

Manzur, Ibnu, Lisân al-‘Arab, Dar al-Mishriyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, Mesir,


1960.

Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung,


1980.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Masyhuri, H.A. Aziz, NU dari Masa ke Masa, NP, Jombang, 1983.

al-Maududi, Abu A’la, Towards Understanding Islam, WAMY, Pakistan, 1976.

Meyer, Adolph E., The Development of Education in The Twentieth Century,


Englewood Cliffs, N.J. Princes Hall Inc., Tokyo, 1949

Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Rake Sarasin,


Yogyakarta, 1996.

_________, Ilmu Pengetahuan dan Perubahan Sosial: Suatu Teori Pendidikan,


Edisi IV, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993.

Mulkan, Abdul Munir, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan dan Amal
Muhammadiyah, Percetakan Persatuan, Yogyakarta, 1990.

Munir, Abdul dan Ahmad Arwani Bauis, Pokok-pokok Ajaran NU dan Masa Depan
Umat, Ramadhani, Solo, 1989.

Mursi, Muhammad Munir, Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, Maktabah al-Nahdah al-


Mishriyah, Kairo, 1975.

al-Nadwi, Abu al-Hasan, Nahwa al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah al-Hurrah, al-Mukhtar


al-Islami, Kairo, 1974.

al-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat,


terj. Shihabuddin, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Nasr, Sayyed Hossein, Islamic Studies: Essays on Law and Society: The
Sciences and Philosophy and Sufism, Librairie Du Liban, Beirut, 1967.

__________, Science and Civilization in Islam, New American Library, New York,
1970.

Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Penerbit UI, Jakarta, 1982.

Oepen, Manfred dan Wolfgang Karcher (eds.), The Impact of Pesantren in


Education and Community Development in Indoensia, P3M, Jakarta, 1988.

Phasa, Musthafa Kamal dan Darban Adaby, Muhammadiyah sebagai Gerakan


Islam dalam Perspektif Historis dan Ideologis, LIPPI, Yogyakarta, 2000.

Pengurus Pusat Muhammadiyah, Anggaran Dasar Muhammadiyah, Persatuan,


Yogyakarta, 1990.

__________, Sistem Perkaderan Muhammadiyah, Persatuan, Yogyakarta, 1990.

__________, Petunjuk Pelaksanaan Program Pendidikan Muhammadiyah,


Persatuan, Yogyakarta, 1990.

__________, Keputusan No. 30/PP/1989, Qaidah Madrasah Mu’allimin


Muhammadiyah, Yogyakarta: 1989.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke arah Alam Filsafat, Bina Aksara, Jakarta,
1986.

Price, Kingsly, Education and Philosophical Thought, Allyn and Bacon Inc.,
Boston, 1962.

Prasodjo, Sudjoko dkk., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-
Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, LP3ES, Jakarta, 1982.

Quick, Robert Herbert, Essays on Educational Reformers, Littlefield, Adam &


CO., New Jersey, 1970.

Rahardjo, M. Dawam, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah,


P3M, New Jersey, 1985.

_________ (ed.), Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1974.

Salam, Solichin, KH. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indoensia, Djaja Murni,
Jakarta, 1963.

Smith, Samuel, Ideas of the Great Educators, Barnes and Noble Books, New
York, 1979.

Soekardi, Heru, Kyai Haji Hasyim Asy’ari, Depdikbud, Jakarta, 1980.

Suriasmantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994.

Sudarminta, J., Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat pengetahuan, Kanisius,


Yogyakarta, 2002.

al-Syaibani, Omar Muhammad al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, terj. Hasan


Langgulung, Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

Syam, Muhammad Noer, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan


Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1984.

Team PDP, Tebuireng dari Masa ke Masa, PP. Tebuireng, Jombang, t.t.

Wahid, Abdurrahman, Bunga Rampai Pesantren, Dharma Bakti, Jakarta, 1995.

_________, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren, LKiS, Yogyakarta,


2001.

Weber, Christian O., Basic Philosophies of Education, Holt Rinehart and Winston,
New York, 1970.

Wirjosukarto, Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran oleh


Pergerakan Muhammadiyah, UP Ken Mutia, New York, 1966.

_________ (ed.), KH. Mas Mansur: Pemikiran tentang Islam dan


Muhammadiyah, Hanindita, Yogyakarta, 1986.

_________, Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah dalam Pembangunan


Semesta, UP Ken Mutia, Malang, 1965.
Yacub, H.M., Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, Angkasa,
Bandung, 1985.

Yusuf, Slamet Efendi, Mohammad Ichwan Syam dan Masdar Farid Mas’ud,
Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Rajawali,
Jakarta, 1983.

Zaid, Nars Hamid Abu, Naqd al-Khitâb al-Dîn, Sina li al-Nasyr, Kairo, 1994.

_________, Al-Tafkîr fî Zamân al-Tafkîr, Sina li al-Nasyr, Kairo, 1994.

_________, Isykâliyyat al-Qirâ’at wa Âliyyât al-Ta’wîl, Al-Markaz al-Tsaqafi al-


Arab, Beirut, 1994.

_________, Al-Ittijâh al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsat fî Qadliyyat al-Majâz fî al-Qur’ân


inda al-Mu’tazilah, Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, Beirut, 1996.

al-Zurnuji, Syeikh, Ta’lîm al-Muta’allim, Al-Maktabah al-Mishriyah, Mesir, 1940.

Zemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986.

Zuhri, Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di


Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1979.

Majalah:

Muhammadiyah, Edisi 1 Januari 1922.

Muhammadiyah, Edisi 2 Januari 1976.

Muhammadiyah, Edisi 24 Januari 1931.

Muhammadiyah, Edisi 31 Januari 1931.

Muhammadiyah, Edisi 15 Agustus 1980.

Muhammadiyah, Edisi 18 September 1985.

Muhammadiyah, Edisi 22-23 Desember 1985.

Muhammadiyah, Edisi 16 Agustus 1996.

Muhammadiyah, Edisi 12 Juni 2000.

Muhammadiyah, Edisi 15 Agustus 2000.

Muhammadiyah, Edisi 16 Agustus 2000.

-----------------------------------------------------------------------
Endnotes:

[1] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (terj.) Soejono Soemargono,


(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 76; lihat juga Harold H. Titus dkk.,
Persoalan-persoalan Filsafat, (terj.) H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hlm. 20.
[2] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18-19.

[3] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 114.

[4] Amin Abdullah, “Epistemologi Pendidikan Islam: Mempertegas Arah


Pendidikan Nilai dalam Visi dan Misi Pendidikan Islam dalam Era Pluralitas
Budaya dan Agama,” dalam Makalah pada Seminar dan Lokakarya Ilmu
Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 21
Pebruari 2000, hlm. 1.

[5] Imam Banardib, Filsafat Pendidikan Islam: Sistem dan Metode, (Yogyakarta:
Andi Offset, 1994), hlm. 21.

[6] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,


(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 157.

[7] Pengertian kitab kuning seperti ini sengaja penulis melakukan mengingat
realitas di pesantren, bahwa kitab-kitab yang diajarakan di pesantren itu meliputi
karya-karya pemikir muslim Indonesia, seperti karya Syekh Nawawi Banten.

[8] Dalam penelitian ini pengertian epistemologi tersebut dijadikan pijakan dasar.
Karena itu, peneliti mengasumsikan epistemologi sebagai struktur keilmuan.

[9] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup


Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 51.

[10] Team BPS Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, 1992, hlm. 17.

[11] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang


Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 173.

[12] Wawancara dengan Drs. Setiadi, Pembantu Direktur I Bidang Akademik,


Tanggal 7 Mei 2002.

[13] Departemen Agama RI, Direktori Pondok Pesantren, (Jakarta: Direktorat


Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), hlm. 306.

[14] Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Laporan Direktur kepada PP


Muhammadiyah, Yogyakarta: 1986, hlm. 5.

[15] Kurikulum Takhashshush Madrasah Aliyah Tebuireng Tahun Pelajaran 2001-


2002.

[16] Wawancara dengan Drs. Setiadi, Pembantu Direktur I Bidang Akademik,


Tanggal 7 Mei 2002.

[17] Misalnya, pendapat Imam Syafi’i dikutip dengan disertai landasan al-Hadits,
dalam Muqarraru al-Fiqh, Jilid IV, Kelas IV, hlm. 23.

[18] Misalnya, dalam Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’în bi Syarhi Qurrati


al-‘Ayn, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), hlm. 25.

[19] Lihat Muqarrar al-Tafsîr, Jilid V, hlm. 45-46.


[20] Lihat Zainuddin al-Malibari, op.cit., hlm. 33-34; juga Syeikh al-Zurnuji, Ta’lîm
al-Muta’allim, (Mesir: Al-Maktabah al-Mishriyah, 1940), hlm. 23.

[21] Martin van Bruissen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 30.

[22] Lihat karya-karya al-Ghazali yang digunakan pada pesantren Tebuireng,


misalnya Bidâyat al-Hidâyah, Minhâj al-‘Âbidîn dan Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn.

[23] Benedict Anderson, “Bahasa Politik Indoensia,” dalam Yudi Latif (ed.),
Bahasa dan Kekuasaan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 128.

[24] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren,


(Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 19.

[25] Mastuhu, op.cit., hlm. 69.

[26] Wawancara dengan salah satu Pengurus Forum Diskusi Salaf, tanggal 3
Oktober 2002.

[27] Wawancara dengan Ta’mir Masjid, Ustadz Pengajar Bahasa Arab, Tanggal
24 November 2002.

Anda mungkin juga menyukai