Anda di halaman 1dari 4

Edisi Agustus 2011 Tahun I Jendela Pembangunan Daerah

lebih dekat

Mengalir Seperti Air


ama tak terdengar kabar, setelah sempat bertugas di Ditjen Bangda tahun 2000-2001, H. Tursandi Alwi rupanya terus melanjutkan pengabdiannya di berbagai tempat dan posisi penting, bukan hanya dalam lingkup Kementerian Dalam Negeri, tapi juga Ring-1, selama hampir 4 th sebagai Sekretaris Wakil Presiden RI. Pernah merasakan berbagai jabatan dari mulai camat, wakil walikota, penjabat gubernur di Gorontalo, Lampung dan Kalsel, hingga Dirjen dan Kepala Badan Litbang (hanya lurah yang belum pernah), Pak Tursandi merasa apa yang telah dicapainya ini jauh dari bayangannya semasa kecil. Ungkapan mengalir seperti air, kiranya sangat tepat menggambarkan filosofi dan perjalanan hidup kakek bercucu dua-lebih ini. Namun beliau bukan sekadar ikut arus air, melainkan juga seorang pembelajar yang gigih. Meski telah mengecap APDN dan IIP, di tengah kesibukannya sebagai birokrat, beliau tak keberatan menjadi mahasiswa lagi di S1 Fakultas Hukum dan S2 Manajemen. Saya itu suka orang yang mau sekolah. Mantan ajudan saya sewaktu menjadi penjabat gubernur semuanya saya dorong ambil S2, katanya di sela wawancara dengan Buletin Jendela di kantor Sekretariat Wakil Presiden. Apa aktivitas Bapak saat ini? Aktivitas saya sehari-hari, yang pertama adalah sebagai anggota Timtelstra (Tim Telaahan Strategis) dengan tugas-tugas khusus dari Wakil Presiden. Yang kedua, sebagai peneliti utama bidang politik dan pemerintahan Indonesia. Saat ini saya ditugaskan oleh Menteri Dalam Negeri sebagai koordinator kelompok ahli untuk ikut membahas, bersama pakar-pakar lain, penyusunan delapan RUU bidang penyelenggaraan pemerintahan daerah dan bidang politik. Kedelapan RUU itu adalah revisi UU 32/2004, RUU tentang Pilkada, RUU tentang Desa, revisi UU 22/ 2007, revisi UU 2/2008, revisi UU 10/2008, revisi

Drs. H. Tursandi Alwi, SH, MM

16

| Media Informasi Ditjen Bina Pembangunan Daerah

Jendela Pembangunan Daerah Tahun I Edisi Agustus 2011

UU 27/2009, dan RUU tentang Keistimewaan DIY. Kemudian kegiatan lainnya, saya menjadi komisaris di PT Angkasa Pura II. Sebagai komisaris, saya mengawasi dan memberikan nasihat kepada Direksi PT AP II. Perusahaan ini mengelola 12 bandara di belahan barat. Sewaktu di Bangda dulu, apa yang paling berkesan bagi Bapak? Di Bangda saya tidak lama lho. Tapi saya bersyukur bahwa saya sempat, sebagai tangan kanan Mendagri, untuk mengoordinasikan perencanaan pembangunan daerah melalui Rakorbang dan Rakornas. Dulu perencanaan pembangunan daerah itu masih merupakan wilayah kewenangan Ditjen Pembangunan Daerah. Bappenas dan K/L lain ikut kita. Jadi dalam perencanaan pembangunan daerah itu, kita bisa lebih mewarnai dan menyinergikan antara pembangunan pusat dan pembangunan daerah. Dulu, sektor itu (departemen lain) kalau mau ke daerah dan bicara pembangunan daerah, tidak pe-de kalau tidak didampingi orang Bangda. Dan orang daerah juga tidak melayani. Kemudian, dulu Kepala Bappeda Provinsi tidak bisa diangkat kalau tidak ada pertimbangan atau rekomendasi dari Dirjen Bangda atas nama Mendagri. Tapi mungkin sekarang ini regulasi dan undang-undangnya sudah berubah, saya tidak mengikuti lagi. Sekarang pembangunan daerah bukan core (kewenangan pokok) Bangda lagi. Apakah mungkin core itu dikembalikan ke Bangda? Hal itu harus dimulai dari undang-undang induk, yaitu revisi UU 32/2004. Peluangnya ada. Namun itu juga tergantung kebijakan politik pimpinan. Asalkan bisa dicarikan rujukan yang meyakinkan pimpinan, mungkin bisa. Tapi selain itu ada UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Itu kan pegangan Bappenas. Menurut Bapak, bagaimana dinamika pembangunan daerah saat ini? Sekarang ini pembangunan daerah merupakan konsekuensi logis dari era otonomi daerah, karena memang daerah lebih tahu kebutuhan mereka. Kalau mereka merancang sendiri, itu bagus. Cuma harus tetap merujuk pada dokumen rencana pembangunan yang lebih tinggi. Itulah yang harus dikawal oleh Ditjen Bina Bangda, supaya pembangunan daerah tetap sinergis dengan kebijakan pusat. Calon kepala daerah kan seringkali punya visi-misi yang mengawang-awang, tapi mereka tidak tahu bahwa potensi daerahnya sebenarnya banyak. Peran Bangda bagaimana ya? Ini dampak lain dari demokratisasi. Dia harus mencari

visi dan misi yang dapat meyakinkan masyarakat agar memilih dia. Tapi sebenarnya rujukan visi dan misi itu tidak boleh lepas dari RPJM. Ada aturannya tentang ini. Cuma dia boleh cuplik prioritas mana yang dia unggulkan. Dalam rangka memilih prioritas itu dia pragmatis. Jangka pendek, karena kan cuma lima tahunan. Satu hal yang menarik, Pak, daerah itu kebanyakan mintanya infrastruktur, seperti gedung, jembatan, jalan, dan kurang bisa memperkirakan kebutuhan jangka panjang. Bagaimana menurut Bapak? Infrastruktur itu merupakan kebutuhan dasar, walaupun kelihatannya memang agak pragmatis. Masyarakat penginnya yang sekarang. Tapi harusnya kalau kepala daerahnya cerdas, itu kan ada rujukannya. RPJM itu tetap harus jadi rujukan mereka. Makanya sosialisasi tentang RPJM itu penting ke daerah, supaya daerah tahu SOP tentang bagaimana aplikasi dari RPJM, sehingga mereka sadar bahwa ada untungnya kalau disinergikan dengan pembangunan nasional. Ini yang disebut teori partisipasi; begitu merasa ada kepentingan bagi yang bersangkutan, tanpa diminta pun akan ikut. Di situ peranan Bangda; mungkin sudah dilakukan, tapi harus lebih intens dengan pola yang lebih sederhana agar RPJM lebih mudah dipahami. Sekarang tentang pribadi, Pak. Dari semua yang telah Bapak raih, apakah ini sesuai dengan cita-cita Bapak waktu kecil? Rasanya dulu waktu kecil saya tidak punya cita-cita. Orang kampung kok. Saya biarkan seperti air mengalir saja. Saya pun tidak pernah nguber-nguber jabatan. Jadi kayaknya karena Tuhan kasihan pada saya, orang sudah susah dari kecil, makanya dikasih macam-macam, jadi camat, wakil walikota, dirjen, penjabat gubernur, sampai Sekretaris Wakil Presiden. Saya tidak pernah membayangkan memperoleh semua itu. O ya, dulu sewaktu di IIP, cita-cita saya ingin jadi camat. Kemudian saya pernah ingin jadi walikota, tapi tidak tercapai. Tahunya malah jadi penjabat gubernur. Apa kunci kesuksesan Bapak? Saya ini orang birokrat asli. Saya mencintai pekerjaan saya. Bagi saya jabatan itu bukan untuk dimiliki. Jangan menganggap jabatan itu kita yang punya. Sebab begitu dia lepas, saya tidak merasa ada yang hilang. Waktu jadi gubernur, saya tidak pernah pakai tanda pangkat, kecuali ada kunjungan Menteri, Wapres, atau Presiden. Itu cara saya agar begitu pangkat ini hilang, saya tidak akan kehilangan. Sewaktu jadi gubernur, saya tidak pernah tinggal di kamar tidur utama gubernur di rumah jabatan, atau menggunakan voriders, kata orang mobil ngiung-ngiung. Saya tanamkan di dalam diri saya jangan sampai saya merasa memiliki terhadap jabatan. Tapi saya cintai pekerjaan yang diberikan atasan dan Tuhan kepada saya. Begitu saya lepas dari suatu jabatan, saya tidak mau sama sekali masuk ke sana lagi. Selesai di Bangda, sudah. Begitu

Media Informasi Ditjen Bina Pembangunan Daerah |

17

Edisi Agustus 2011 Tahun I Jendela Pembangunan Daerah

juga di Balitbang, Sospol, dll. Saya tidak mau mengganggu irama di sana. Masih adakah cita-cita atau obsesi yang ingin Bapak raih selanjutnya? Sebagai manusia tentu masih. Tetapi saya tidak ngoyo. Biarlah seperti air mengalir. Prinsip saya satu: Hidup ini sudah ada yang mengatur. Catat itu. Tanggal ini, bulan ini, hari ini, jam ini, kamu jadi apa, itu ada di aturan sana. Kita tidak tahu. Bagaimana selanjutnya? Yang jelas saya tetap mengerjakan apa yang ditugaskan atasan dengan maksimal, berdoa, dan pasrah kepada Allah Swt. Kalau sudah pensiun nanti, Pak? Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu. Paling-paling momong cucu. Saya tidak ada bakat untuk dagang, tani, atau politik. Ada yang ngajak-ngajak ke politik, saya tidak mau. Dan memang belum bisa karena saya masih PNS. Tak ada bakat saya di politik, walaupun pernah jadi Dirjen Sospol. Saya tidak mau memaksakan bakat. Saya akan nikmati hidup saya seperti air mengalir. Jadi tidak ada target-target, karena saya anggap apa yang saya peroleh ini sudah sangat luar biasa dan tidak pernah saya bayangkan. Apakah Bapak punya hobi tertentu, yang mungkin Bapak tekuni sekarang ini? Hobi saya golf. Dulu tenis. Tapi pada tahun 2003 saya berhenti ketika ada teman main saya meninggal dunia di lapangan tenis. Dari umur juga, waktu itu saya sudah 53 tahun. Akhirnya sejak 2003 saya pindah ke golf. Saya main golf itu biasanya Jumat pagi, kecuali ada tugas, dan terutama hari Sabtu dan Minggu. Kalau kata orang itu permainan mahal, tidak, tergantung pergaulan. Kan kita pemain undangan (sambil tertawa, red). Apakah Bapak mengikuti suatu komunitas/organisasi tertentu? Kalau ada, bagaimana peran Bapak dalam komunitas tersebut? Saya tidak aktif di organisasi, kecuali MIPI (Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia) dan Ikatan Alumni IIP. Saya jadi penasihat. Di lingkungan tempat tinggal juga tidak. Saya tinggal di komunitas Betawi di daerah Lebak Bulus. Komunikasi

dengan tetangga, RT, RW, alhamdulillah bagus. Dan mereka tahunya saya camat, karena jabatan camat itu begitu melekat bagi orang Betawi. Boleh cerita tentang keluarga Bapak saat ini? Saya menikah 25 November 1979. Setelah itu saya bisa langsung jadi wakil camat, sebab di Pemda DKI kalau mau jadi camat harus ada istri biar ada PKK-nya. Istri saya yang jadi wakil ketua TP PKK Kecamatan pada usia 21 tahun. Waktu disuruh pidato, nangis dia. Maklum keluaran ASMI. Maka saya yang buatkan pidatonya. Anak saya empat sebetulnya, tiga perempuan dan satu laki-laki, tapi yang laki-laki meninggal. Saya punya menantu dua. Yang bungsu belum menikah, masih kuliah di UI. Anak yang pertama kerja di Pemda DKI, suaminya di Kemendagri. Mereka sudah punya anak dua, laki-laki semua. Yang nomor dua kerja di BRI, suaminya di Bank Mandiri. Sekarang baru hamil 4 bulan. Jadi cucu saya dua lebihlah. Yang dua itu lelaki semua, umur 3 dan 1 tahun. Anak saya kan perempuan semua, wah happy banget saya. Sering bertemu dengan cucu, Pak? Anak sekarang ini begitu menikah tidak mau lagi tinggal dengan kita. Jadi kalau ingin ketemu cucu, misalnya kemarin saya pulang dari Singapura, saya cari oleh-oleh yang menarik biar bisa mancing cucu main ke rumah. Sekarang saya tinggal bertiga dengan Ibu dan Rahmah (anak bungsu). Itu pun rupanya di UI dia banyak tugas, jadi pulang kuliah sudah hilang di kamar. Ada pesan-pesan untuk pembaca Buletin Jendela? Cintai pekerjaan dan jangan merasa memiliki jabatan.[]

BIODATA Nama Tempat tgl lahir Istri Anak Pendidikan Pekerjaan : Drs. H. Tursandi Alwi, SH, MM : Lampung Barat, 14 Oktober 1950 : Grace Martono Tursandi : Sulastri, Rukmini, Rahmah : APDN, IIP, FH Universitas Tarumanagara (S1), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (S2 Magister Manajemen) : - Anggota Timtelstra Wakil Presiden, - Peneliti Utama Bidang Politik dan Pemerintahan Dalam Negeri, - Komisaris PT Angkasa Pura II

18

| Media Informasi Ditjen Bina Pembangunan Daerah

Jendela Pembangunan Daerah Tahun I Edisi Agustus 2011

Perjalanan Karier

ursandi Alwi memulai pengabdiannya sebagai PNS pada tahun 1969 di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Tak lama kemudian dia langsung menjalani tugas belajar di APDN Palembang. Tamat APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) tahun 1973, dia kembali dan menjadi kepala Humas Kabupaten OKU. Karena termasuk 10 besar di APDN, tidak sampai setahun dia dikirim ke IIP (Institut Ilmu Pemerintahan), tamat tahun 1976 sebagai lulusan termuda, bersama Ryaas Rasyid. Selepas dari IIP, Tursandi kembali ke OKU, namun tidak diberi jabatan apa-apa oleh bupati yang kebetulan pamannya. Lalu dia minta izin untuk pindah ke Jakarta. Kata pamannya, silakan ke gubernur. Dia pun menghadap Gubernur Sumsel, waktu itu Asnawi Mangku Alam. Mulanya tidak boleh, tapi ketika diketahui belum menikah, Gubernur mengizinkan. Di Jakarta, Tursandi Alwi mendapat tempat di Biro Kepegawaian Departemen Dalam Negeri. Enam bulan kemudian, dia dipindah ke Pemda DKI Jakarta di Direktorat I Pemerintahan. Pada 1979 ada telex dari Mendagri bahwa lulusan IIP semuanya harus jadi camat. Maka diproseslah dia jadi wakil camat Pulogadung. Namun begitu ketahuan belum ada istri, namanya pun dicoret. Akhirnya dia mencari istri, dan bertemulah dengan Grace Martono, mahasiswi semester terakhir di ASMI (Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia). Mereka menikah pada tanggal 25 November 1979. Setelah punya istri, Tursandi pun langsung diangkat menjadi wakil camat Taman Sari. Pada tahun 1983, dia dipromosikan sebagai camat Grogol-Petamburan, dalam usia 32 tahun. Konon katanya, dialah camat termuda di DKI, atau malah seIndonesia. Setelah lima tahun, dia dipindah lagi jadi camat Kebon Jeruk. Sudah 11 tahun jadi camat dan capek karena sering dipanggil polisi sebagai PPAT terkait urusan peralihan hak atas tanah, tiga tahun setelah itu dia menghadap Walikota minta berhenti jadi camat. Permohonannya diterima, dan dia diangkat menjadi Asisten Umum Kantor Walikota. Sembilan bulan kemudian, dia diusulkan menjadi Sekretaris Kota Jakarta Barat. Lima tahun lebih dia jadi Seko, sementara teman-teman seangkatannya ada yang

sudah jadi wakil walikota. Setelah itu dia pun diangkat jadi Wakil Walikota Jakarta Pusat tahun 1996. Kemudian dia menjadi Asisten Tata Praja (Astapraja) DKI Jakarta selama dua tahun lebih. Kariernya melonjak setelah itu. Pada tahun 1999, tiba-tiba Tursandi Alwi langsung naik menjadi Dirjen Sospol Depdagri. Ketika menteri berganti, dia dipindahkan menjadi Dirjen Pembangunan Daerah, tahun 2000 sampai 2001. Sewaktu jadi Dirjen Bangda, dia sempat merangkap sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo. Tidak lama di Bangda, dia dipindah ke Badan Litbang sebagai Kepala Badan selama lima tahun. Selama jadi Kaban Litbang, dia sempat pula jadi Penjabat Gubernur di Lampung dan Kalimantan Selatan. Dari Badan Litbang, dia diangkat menjadi Sahli (Staf Ahli) Bidang Pemerintahan. Entah bagaimana ceritanya, dia dipanggil Pak Jusuf Kalla ke rumahnya. Hampir satu jam diceramahi tentang tugas kantor wakil presiden, dia diminta kesiapannya sebagai Sekretaris Wakil Presiden. Jawabannya waktu itu cuma tiga kata: Alhamdulillah, terima kasih, insya Allah. Pada 28 April 2007 dia dilantik sebagai Sekretaris Wakil Presiden. Tugas itu dijabatnya hingga tahun 2010, saat usianya 60 tahun. Namun dia masih berkantor di Seswapres, karena untuk sementara ditugaskan sebagai anggota Tim Telstra Wapres bersama Pak Sofian Djalil, Sarwono Kusuma Atmaja, dan Abdillah Toha. Dikira sudah pensiun, rupanya sebagai peneliti utama bidang politik dan pemerintahan Indonesia (sesuai Kepres 58 tahun 2011), H. Tursandi Alwi baru akan purnabakti sebagai PNS pada 1 November 2015. Perjalanan karier yang panjang dan unik sebagai birokrat, telah menarik minat Kompas untuk menerbitkan buku biografinya. Saat ini buku tersebut sedang disusun oleh S. Sinansari Ecip, seorang penulis dan wartawan senior. []

Media Informasi Ditjen Bina Pembangunan Daerah |

19

Anda mungkin juga menyukai