Anda di halaman 1dari 128

INDONESIA MENGAJAR

Indonesia Mengajar (IM) adalah gerakan sosial.

Frasa itu yang biasa mewakili definisi IM secara singkat. Mulai bergerak di

tahun 2010, beberapa orang mungkin sudah mendengar tentang IM, beberapa lagi

belum. Ada yang terlibat aktif di dalamnya. Ada yang terlibat tidak terlalu dalam.

Ada yang hanya mendengar dan menebak-nebak isi di dalamnya. Ada juga yang

baru mendengar dan tidak peduli dalamnya apa.

Jika kamu termasuk orang yang tidak peduli apa itu IM, kamu bebas untuk

memilih skip bab ini. Tak perlu merasa tak enak, aku juga pernah melakukannya

pada beberapa buku. Namun, jika kamu tertarik menyimak bagian kisahku dengan

IM, stay there please.

Kini, ketika hidup lebih mudah bagi warganet mendapatkan informasi, web IM

sudah lebih lengkap untuk memberimu informasi formal tentang IM. Media sosial

dan media massa bisa membantumu memahami seperti apakah dunia IM itu.

Sebut saja program Lentera Indonesia-nya Net TV atau laman kitabisa.com yang

rajin dimasuki kampanye IM. So, masyarakat bisa mendapatkan lebih banyak

kisah dan perspektif disana, sementara aku dalam tulisan ini hanya ingin

menceritakan pengalamanku di Landau Badai yang berawal dari perjalananku di

IM. Plus bumbu-bumbu opiniku tentangnya.

Dalam semesta IM, aku ada dalam bagian terlibat di dalamnya. Cukup dalam

untuk layak dikatakan keluarga IM, namun tidak begitu dalam untuk mengetahui

dapur keajaiban dalam organisasi itu. Mereka yang benar-benar tahu sedalam-

1
dalamnya IM, bisa kamu temui di kantornya yang sekarang ada di Senayan

Bawah. Kamu bisa bertemu officer, atau bahkan pendirinya. Mereka senang

berbincang dengan orang baru, mungkin denganmu juga.

Kesan Pertama IM

Aku mendapatkan informasi tentang IM di tahun 2011. Saat itu masih kuliah

tingkat dua. IM sedang rekrutmen Pengajar Muda Angkatan II dan mengadakan

sosialisasi ke kampus-kampus. Salah satu seniorku menceritakan mengenai IM,

kurang lebih ia menggambarkan IM sebagai program untuk merekrut sarjana

muda, jurusan apapun itu, untuk mengajar dan tinggal di suatu tempat yang

katanya pelosok selama satu tahun.

Seniorku berkata, "Saat diwawancara, kita akan ditanya. 'Kalau saat penugasan

ibumu sakit, apa yang akan kamu lakukan?' Soalnya kita diminta berkomitmen

agar tinggal selama satu tahun di tempat penugasan tanpa pulang. Kalau orangtua

kita meninggal, kita tetap tidak boleh pulang."

Nyatanya, itu hoax. Kalau ada keluarga inti kita meninggal dunia, tentu saja kita

bisa minta izin pulang. Hanya saja perjalanan yang jauh biasanya tidak

memungkinkan kamu untuk mengikuti prosesi penguburannya. Saat itu, meskipun

seniorku menceritakan dengan ekstrim mengenai IM, aku malah tergiur dengan

program semacam itu. Sebagai warga Parahyangan dari lahir hingga kuliah, maka

bisa tinggal di luar Jawa Barat tiba-tiba menjadi salah satu mimpiku.

Pekerjaannya juga hanya mengajar, aktifitas yang sudah aku lakukan sejak SMP,

yaitu mengajar anak SD mengaji. Alasan sederhana yang membuatku yakin bisa

melakukannya adalah karena rasanya aku mau dan aku bisa. Saat kamu

2
menemukan pekerjaan yang kamu yakini bahwa kamu mau dan kamu bisa,

kejarlah.

Mimpi itu datang selewat, sampai aku kembali mendengar kabar IM di tahun

2013 dalam publikasi Festival Gerakan Indonesia Mengajar (FGIM). Aku

langsung teringat perbincangan tentang program rekrutmen sarjana untuk dikirim

ke pelosok. Sudah pasti ini adalah organisasi yang sama karena saat itu belum

lazim lembaga-lembaga yang mencari sarjana untuk dikirim ke pelosok Negeri.

Atau mungkin sudah banyak tapi aku yang kurang update info. Meski baru

sekedar tertarik, namun aku sudah mulai memasukan progam IM ini pada goal list

selepas sarjana. By the way, aku belajar di jurusan Ilmu Keperawatan. Apakah

aku berniat menjadi perawat? Ya, tapi membuat list A to Z membuatku membuka

kemungkinan-kemungkinan lain yang akan kulakukan di masa depan. Let life

surprise you.

Saat itu yang kupikirkan bukan tentang heroisme pengabdian atau mewujudkan

janji kemerdekaan untuk mencerdaskan bangsa, aku hanya ingin mengetahui

Indonesia di belahan yang lain. Aku ingin tahu seperti apa tempat yang mereka

katakan pelosok dengan Bahasa dan kehidupan yang berbeda. Kapanpun itu,

dengan tujuan apapun nanti, setidaknya aku ingin menginjak tanah Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Kerjasama IM dengan Daerah Penempatan

Bagaimana IM memilih suatu daerah untuk dijadikan lokasi penugasan? Dari

sekian ratus kabupaten, kenapa hanya daerah ini, itu, dan lain-lain yang didatangi?

Itu adalah pertanyaan seksi yang sering kudapat tapi tidak bisa kujelaskan secara

3
pasti. Jawaban diplomatisnya, semua keputusan untuk memilih lokasi sudah

melalui assessment dan berbagai pertimbangan tim officer IM. Berdoa saja agar

IM masih terus mampu berlari dan menghampiri semua daerah di Indonesia.

Sedikit yang kutahu bahwa di awal persiapannya, officer IM akan datang ke

sebuah kabupaten untuk assessment dan membuka komunikasi dengan pemerintah

daerah. Dari Pemda akan kembali dikaji desa-desa mana saja yang akan didatangi

oleh IM. Terjadilah kerjasama yang dijalin IM dan Pemda untuk 5 tahun ke

depan. Kenapa 5 tahun? Karena setahun terlalu sebentar, 3 tahun sepertinya

tanggung, dan 5 tahun dianggap waktu yang pas untuk melihat perubahan tanpa

membuat sebuah desa bergantung pada kehadiran IM lagi.

Lima tahun kerjasama yang dijalin itu diwakili oleh Pengajar Muda (PM).

Seorang PM akan bertugas selama satu tahun, maka selama 5 tahun di sebuah

desa akan ada 5 orang PM yang datang silih berganti ke desa tersebut. Di tahun

pertama, officer akan mendampingi si PM pertama ke kabupaten, mengenalkan

PM kepada Kepala Desa/Kepala Sekolah untuk selanjutnya ia mesti mandiri dan

mengatasi adaptasinya sendiri. Untuk kadatangan PM ke-2 hingga ke-5 tidak

didampingi oleh officer, melainkan datang sendiri ke lokasi, bertemu dengan PM

sebelumnya, dikenalkan dengan orang-orang desa lalu mulai bertugas selama

setahun.

Kami, Pengajar Muda, diumpamakan sebagai bola utama dalam permainan biliar.

Sementara officer IM akan datang setahun sekali dalam kegiatan site visit di

tengah tahun ke kabupaten dan ke beberapa desa yang bisa dijangkau untuk

melaksanakan agendanya beberapa hari saja. Dengan skema seperti ini bisa

4
dibayangkan bahwa orang-orang desa hanya mengenal kami saja sebagai utusan

dari IM. Kami adalah wajah IM, juru bicaranya IM, dan apapun yang kami

lakukan akan dianggap sebagai bagian dari penugasan IM.

Dalam satu tahun, IM mengirim bola-bola biliarnya dalam dua gelombang. Yang

pertama akan berangkat di setiap bulan Desember dan disebut PM Ganjil karena

mereka adalah PM angkatan ke-1, 3, 5, 7, dan 9 untuk enam kabupaten.

Sementara gelombang selanjutnya berangkat di setiap bulan Juni dan disebut PM

Genap meliputi angkatan ke-2, 4, 6, 8, dan 10 untuk sepuluh kabupaten.

Dalam perjalanan ini, aku adalah PM angkatan ke-10 yang berangkat Juni 2015.

Istilah lainnya adalah Pelari Terakhir. Sampai akhirnya aku diterima jadi PM, aku

belum mengerti apa maksudnya Pelari Terakhir. Aku kira itu adalah simbol dari

pekerjaan kami yang harus dilakukan secara cepat, kalau bisa sambil berlari.

Macam Running Man. Tapi ternyata maksudnya adalah posisi kami diibaratkan

pelari terakhir dari pekerjaan estafet yang dilakukan di sebuah daerah selama 5

tahun. Baru ketika pelatihan aku tahu kalau aku adalah PM terakhir di satu daerah.

IM Tak Sesederhana yang Dibayangkan

Di awal mengenal IM, penjelasan dalam web-nya tidak selengkap sekarang.

Sampai aku mendaftar, bayanganku hanya sebatas aku akan tinggal di sebuah desa

selama setahun dan mengajar di SD. Sudah. Tapi ... jeng, jeng, saat pertama kali

diterima menjadi Pengajar Muda, aku dikirim sebuah email yang berisi tentang

outcome mapping.

Apa ini? Nggak mirip materi anak SD, deh? Bagaimana aku bisa menjadi bola

sodok mereka jika aku gagal memahami IM yang bergerak di ruang-ruang

5
kompleksitas sistem sosial? Sederhana di luar. Rumit di dalam. Pergerakan IM

adalah gerakan-gerakan yang sederhana, yang rasanya mudah dilakukan dan

siapapun bisa melakukannya; mengajar anak SD, tinggal di desa, membuat surat

semangat, berkorespondensi, mengirim buku, dan semacamnya. Tapi blue print-

nya lebih rumit dengan berbagai teori manajemen sosial. Kukatakan rumit karena

saat SMA aku masuk kelas IPA dan saat kuliah aku lebih banyak mempelajari

patofisiologi dan anatomi tubuh. Kini aku harus mempelajari teori dan praktik

sosial.

Diantaranya adalah Appreciative Inquiry. Prakteknya adalah bagaimana kita bisa

memunculkan potensi dan bakat seseorang atau sekelompok orang yang

bersumber dari mereka sendiri. Lebih mengutamakan Asset-Based daripada

Problem-Based. Itu definisi sederhanaku. Nyatanya kita diminta memahami

terlebih dahulu step by step dari define (mendefinisikan diri/komunitasnya)

discover (menemukan potensi atau hal-hal yang baik), dream (bayangkan apa

yang bisa terjadi), design (buat program dan perencanaannya), dan

destiny/delivery (menyajikan atau menciptakan mimpi dan desain yang sudah

dibuat).

Satu lagi yang sederhana namun tak mudah adalah membuat pertanyaan yang

tepat. Contoh pertanyaan yang kurang tepat:

"Cita-citamu mau jadi koki? Kok kamu nggak daftar Master Chef, sih?"

Dikatakan kurang tepat karena itu pertanyaan sempit yang terfokus pada Master

Chef. Memang kalau mau jadi koki, harus daftar Master Chef? Sementara

6
pertanyaan yang bisa dikatakan tepat adalah: "Kalau kamu ingin jadi koki,

menurutmu apa yang harus kamu lakukan?"

Komunikasi yang tepat memang jadi aset terbesar kami.

Selama satu tahun, sebagai Pengajar Muda, aku menerima beberapa pertanyaan

tentang IM. Dan juga setelahnya jika bertemu dengan orang yang tahu aku pernah

jadi PM. Jika kamu ingin FAQ dan jawaban versi IM, bisa dilihat di

https://indonesiamengajar.org/faq/. Sementara pertanyaan warga dan jawaban

versiku akan kuceritakan sendiri.

"IM itu program Pemerintah, ya?"

Pertanyaan itu tetap muncul meski IM sudah 5 tahun di daerah tersebut karena

saat aku bertugas salah satu founder dan face IM, Anies Baswedan, dipilih

menjadi Menteri Pendidikan. Jadi, kujelaskan pada mereka bahwa IM bukan

program Pemerintah. IM sebuah yayasan swasta dan Pak Anies adalah salah satu

pendiri yayasan. Dia memang membuat program SM3T di Kementerian, tapi IM

tetap bekerja sebagai sektor swasta.

"Kalau bukan program Pemerintah, terus digaji siapa?"

Sebagaimana umumnya yayasan, IM juga bekerjasama dengan beberapa

perusahaan/lembaga yang disebut mitra. Kerjasamanya bisa dalam bentuk apa

saja. Contohnya dengan bank untuk pembukaan rekening PM, dengan produk

susu yang dalam iklannya mengajak untuk donasi dengan 'shake to care', dengan

program teve untuk publikasi. Selain itu, IM juga membuka kesempatan kepada

setiap orang yang ingin berdonasi dengan nama Iuran Publik. Maka jika ditanya

PM digaji oleh siapa, jawabannya oleh rakyat Indonesia.

7
"Selesai tugas bisa diangkat jadi PNS, ya?"

Pertanyaan ini muncul karena kedatanganku bersamaan dengan sosialisasi

program SM3T yang setelah program bisa dipromosikan menjadi PNS. Perbedaan

lainnya antara IM dengan SM3T adalah IM sarjana segala jurusan dan program

yayasan, sementara SM3T khusus untuk sarjana Pendidikan dan dari program

Pemerintah. Jadi tidak ada pengaruhnya status kita sebagai alumni PM dengan

seleksi CPNS.

"Kalau tidak diangkat jadi PNS, lantas saat tugas selesai apa pekerjaan PM?"

Macam-macam. Kami kembali kepada kehidupan masing-masing. Karena PM

berasal dari disiplin ilmu yang berbeda-beda, maka pekerjaan PM selepas

penugasan pun bervariasi, dari mulai birokrat, pegawai pemerintah/swasta, NGO,

start up, perusahaan swasta/multi nasional, sampai yang bersekolah lagi di dalam

maupun luar negeri. Tidak ada keterikatan formal antara Indonesia Mengajar

dengan orang-orang yang pernah bertugas menjadi PM.

Pendekatan IM yang Unik

Sebagai sebuah gerakan yang objeknya adalah manusia, IM selalu melakukan

pembaruan dari strateginya. Ada saja ide-ide baru yang mereka keluarkan seakan

menyeimbangkan dengan sifat dasar manusia, unik dan adaptif. IM pun seringkali

mengeluarkan prinsip, amandemen, semboyan, atau bisa kukatakan sabda-sabda

yang mereka harapkan kami pegang. Beberapa ada yang cukup mudah

dipraktekkan, beberapa lagi abstrak dan ambigu, ada pula yang kontroversial

seperti amandemen untuk tidak jatuh cinta selama bertugas misalnya.

8
Saat ditugaskan ke daerah, ada empat penjelasan pendekatan program IM yang

bersifat holistik. Aku akan coba ceritakan satu persatu.

Mengirim orang, bukan uang/barang.

Ini penting. Waktu pelatihan, sih, aku merasa ini adalah sebuah prinsip yang biasa

dan mudah dilakukan. Toh jikalau IM tidak memberiku uang atau barang yang

dititip untuk warga desa, ya aku pun tidak akan kasih uang atau barang. Kita juga

bukan sinterklas yang bisa memberikan apapun yang mereka inginkan. Namun

beberapa kejadian di lapangan kadang membuatku meragu, saat rasa simpatiku

tergerak untuk memberikan uang/barang lalu aku menahannya, apakah itu lebih

karena prinsip IM tersebut atau pada akhirnya aku akan berpikir aku ini pelit.

"Buk, nanti jas hujannya buat aku, ya. Buat aku pakai menoreh ke ladang." Ujar

salah seorang warga saat aku berjalan-jalan di desa memakai jas hujan berwarna

biru muda.

Di lain waktu murid SMP-ku yang ukuran badannya memang sama denganku

berceloteh, "Buk, kalau nuan nanti pulang ke Jawa, baju-bajunya ada yang nda

dibawa aku mau ya, Buk."

"Kalau aku sandalnya saja, Buk." Siswi lain menimpali.

Mereka pun dengan senang hati akan menerima jika kamera dan ponselku tidak

akan kubawa. Aku tidak heran dengan permintaan mereka karena PM-PM

sebelumnya meninggalkan beberapa barang saat selesai penugasan. Alasannya

bisa karena berat, bukan barang yang mendesak untuk dibawa, dan sekalian untuk

kenang-kenangan orang desa. Ada salah seorang PM yang meninggalkan topi

9
kebun dan pelampungnya di rumah orangtua angkatnya. Kedua barang itu pun

digantung dan dipajang di rumah itu tanpa dipakai seakan barang keramat.

Kenang-kenangan lain pun biasanya diberikan dengan membuatkan seragam batik

untuk guru-guru di sekolah. Jadi saat guru memakai batik tersebut, dia akan

berkata, "Yang ini batik jamannya Pak ini .... Kalau jamannya Ibu itu batiknya

yang warna merah ... Kalau jamannya ..."

Kami datang ke sebuah daerah memang bukan dengan tujuan memberikan

kenang-kenangan dengan sebuah benda, tapi semangat memberikan pendidikan

terbaik yang ingin kami jejakkan. Tapi aku pun tak menyalahkan pemberian-

pemberian itu karena pada akhirnya aku pun melakukannya, memberikan batik

dan barang-barangku yang tak kubawa pulang. Kenapa? Mereka pun sebisa

mungkin ingin memberikan kenang-kenangan untukku meski hanya sehelai bulu

burung Ruai. Jika mereka memiliki barang berharga, aku yakin mereka juga ingin

memberikannya.

Di sisi lain, akan ada saat dimana uang memang harus keluar meski itu bukan

tanggung jawabmu. Terutama kalau sedang berlangsung O2SN (Olimpiade

Olahraga Siswa Nasional), dulu dikenal dengan nama Porseni. Mana mungkin aku

tega melihat anak-anak yang sudah panas-panasan bertanding mewakili sekolah

atau kecamatan, lalu mereka kehabisan air minum. Akhirnya pasti aku belikan

juga satu kardus air mineral.

Mengenai beri-memberi barang ini juga pernah jadi bahan diskusi WA Grup

Keluarga PM X ketika beberapa siswa di Bengkayang, Kalimantan Barat, muncul

dalam sebuah video untuk meminta seragam dan sepatu kepada Presiden Jokowi.

10
Kenapa diantara kita tidak terpikirkan melakukan hal itu? Karena selama tinggal

di desa, yang membuatku kasihan kepada anak-anak murid bukanlah perkara

seragam dan sepatu. Aku kasihan kalau mereka datang ke sekolah tapi gurunya

tidak ada. Aku kasihan kalau mereka dapat hukuman dengan cara ditampar. Aku

kasihan kalau mereka harus berhenti sekolah karena harus bekerja. Aku kasihan

pada anak yang tiap hari datang ke sekolah tapi dia tidak mengerti sedang belajar

apa.

Lalu apakah guru muda di Bengkayang itu salah karena telah memfasilitasi anak-

anak tersebut meminta barang? Aku tak akan menjawabnya sendiri. Ini bisa jadi

perdebatan panjang yang berakhir dengan seri. Aku senang telah mengkonfrontasi

pikiranmu untuk berpendapat meski hanya di dalam hati.

Melibatkan semua orang.

Himbauan lain yang senada dengan kalimat di atas adalah PM jangan menerapkan

konsep One Man Show, bersinar sendiri seperti Tamatoa di film Moana. Jangan

juga berharap lampu sorot akan terus mengarah pada PM. Kita hanya bola biliar

yang menjadi penghubung stik biliar untuk menyentuh para aktor utama. Dalam

istilah IM, kita menyebutnya 'aktor lokal'. Mereka adalah orang-orang yang perlu

menemukan sinarnya dan menjadi orang yang disorot dalam perkembangan

desanya.

Kata terlibat seringkali tersisip di untaian kalimat IM. Keterlibatan seseorang

dalam sebuah kegiatan, menciptakan rasa memiliki orang tersebut pada kegiatan

yang diikutinya. Itulah yang diharapkan saat akhirnya para aktor lokal percaya diri

untuk kelak membuat program itu sendiri tanpa keberadaan IM. Setelah

11
bergabung dengan IM, aku belajar bahwa kesuksesan sebuah program bukanlah

saat kegiatan tersebut terlaksana saja. Tapi seberapa mandirinya para aktor lokal

melaksanakan progam itu dan seberapa luas kolaborasi yang tercipta. Mantap.

Berfokus pada perubahan perilaku.

Kenapa harus berubah? Bagaimana kalau perilakunya sudah baik? Karena

manusia memang dekat dengan perubahan, maka setiap hal baik diharapkan

berubah semakin baik, hingga berubah kembali menjadi sesuatu yang tak

disangka bisa dia lakukan. Ketika ada yang melihat suatu daerah penempatan IM

dan dianggap lokasinya kok 'Kurang IM' karena tidak terlalu pelosok, dekat

ibukota, fasilitas dan gurunya mencukupi. Lalu kenapa IM tetap datang kesana?

Hey... selalu ada yang bisa diberdayakan dan dikembangkan sekecil apapun.

Selama daerah itu bukan Finlandia, kurasa aktivitas pendidikan terbaik tetap harus

dikembangkan.

Hal yang paling umum selain berbicara fasilitas pendidikan dan metode

pembelajaran adalah mengenai mental pendidikan, ada murid yang pesimis, kita

fokuskan agar dia optimis. Saat dia sudah optimis, kita dorong untuk melakukan

sesuatu. Saat dia sudah sukses melakukan sesuatu, dipancing terus agar bisa

melampaui hal-hal yang tak ia duga. Bisa jadi itulah dasar yang membuat seorang

anak hulu sungai Kapuas yang tinggal di hutan akhirnya bisa menjadi finalis

Kalbe Award dan berangkat ke Singapura.

Perilaku juga bisa benar-benar sesuatu yang terlihat dalam keseharian, seperti

merokok, terlambat datang ke sekolah, bolos, pacaran, ketidaksopanan,

12
menyepelekan pelajaran, dan hal-hal lain yang biasanya dianggap 'Ah kayak gitu

mah sudah biasa.' tapi sebenarnya bisa berubah lebih baik, kan.

Bekerja jangka panjang.

Lima tahun adalah waktu yang panjang. Bayangkan apa yang biasanya bisa

dicapai dalam lima tahun; seorang balita beralih menjadi anak-anak atau sepasang

kekasih akhirnya merencanakan menikah. Di semesta IM banyak capaian

dambaan yang diharapkan terjadi dalam lima tahun.

Dalam lima tahun itu, uniknya IM mengirim seorang PM bergantian selama

setahun sekali. Kenyataannya satu tahun memang cukup lama bagi seseorang

untuk tinggal di sebuah desa. Namun waktu satu tahun waktu yang cukup untuk

seseorang mengenal siklus kehidupan tahunan sebuah desa. Seorang PM akan

melewati berbagai perayaan tahunan, bermacam musim, dan satu tahun kehidupan

baik di sekolah maupun di masyarakat.

Sudah ada daerah-daerah yang purna didatangi 5 PM selama 5 tahun, salah

satunya daerah penugasanku yang berakhir di bulan Juni 2016. Lalu apa yang

terjadi pada mereka setelahnya? Seperti apa hubungan antara IM dengan daerah?

Selesai begitu sajakah?

Aku tahu dan percaya bahwa officer IM memiliki strategi sustainability untuk

daerah yang sudah ditinggalkan PM-nya. Namun dari kacamataku sendiri, jujur,

aku menyangka kalimat 'jangka panjang' bukanlah tentang jumlah waktu,

melainkan efek jangka panjang yang akan didapatkan oleh PM dan para aktor

lokal. Sesuatu yang akan terus membara di dalam dirinya, kenangan yang

mengubah hidupnya, dan berbagai pengalaman yang meng-upgrade jati dirinya.

13
Definisi Pengajar Muda

Indonesia Mengajar mengajak Anda yang memiliki semangat mengabdi dan cita-

cita tinggi untuk memberikan pendidikan yang baik bagi generasi penerus

Republik, dengan menjadi teman para pejuang pendidikan di berbagai penjuru

Indonesia. Kesempatan ini dibuka dengan kehadiran Anda selama setahun

menjadi Pengajar Muda. (https://indonesiamengajar.org/dukung-indonesia-

mengajar/jadi-pengajar-muda/)

Satu hal faktual yang aku sadari saat mendaftar menjadi Pengajar Muda (PM)

adalah kata 'selama setahun'. Apakah aku punya semangat mengabdi? Bercita-cita

tinggi memberikan pendidikan yang baik untuk generasi penerus? Aku sendiri

tidak berani mengiyakan. Jadi kalau ada yang ragu untuk mengikuti kegiatan

semacam ini karena alasan 'Ah, aku orang biasa. Aku tak tahu apa itu semangat

mengabdi. Aku tak yakin bisa memberikan pendidikan yang baik.' Well, tidak

pernah ada yang tahu dan yakin mengenai potensi dirinya jika dia tidak memulai

dengan kemauan dan keberanian untuk mencoba.

Memangnya apa itu mengabdi menurut KBBI?

meng.ab.di:

v menghamba; menghambakan diri; berbakti

Menurutku kata mengabdi dipilih karena kita memberikan segenap jiwa untuk

satu daerah yang motivasinya bukan balas budi. Berbeda jika aku tinggal dan

membuat program di desa sendiri, rasanya itu lebih cocok dikatakan kewajiban.

14
Lalu, apa itu berbakti atau berbuat bakti yang ada pada definisi mengabdi?

bak.ti

1.n pernyataan tunduk dan hormat; perbuatan yang menyatakan setia (kasih,

hormat, tunduk)

2.n memperhambakan diri; setia

Eratnya kata mengabdi dengan berbakti membuatku jadi menyimpulkan satu hal.

Keinginan kita mendaftarkan diri di program ini, dengan kesadaran penuh bahwa

kita akan dijauhkan dari tanah kelahiran. Jadi ini bukanlah bentuk pengabdian

pada satu desa atau satu lembaga, tapi mengabdi dan berbakti kepada Indonesia.

Kita secara sukarela bersedia dikirimkan ke sebuah tempat, kemanapun itu, karena

itu adalah bagian dari Indonesia.

PM itu Abdi Setahun

Abdi Setahun hanya julukan yang kubuat. Sesuai dengan kata mengabdi yang

kusebutkan sebelumnya. Mirip seperti pekerjaan Aparat Sipil Negara (ASN) yang

juga diberi julukan Abdi Negara. Kami mendapatkan imbalan finansial dari

pekerjaan ini, namun kami tetaplah seorang Abdi. PM adalah Abdi yang dituntut

lebih inisiatif, adaptif, memiliki kemampuan decision making yang baik, bisa

berkomunikasi efektif, dan pada akhirnya menguasai dimensi kepemimpinan.

Selama satu tahun, PM juga harus bisa mengabdikan diri untuk menjadi seseorang

yang mungkin baru baginya. Misalnya, aku yang terlahir dan besar di lingkungan

yang homogen lantas dikirim ke tempat yang heterogen, multietnis, dan multi

agama. Aku harus mengesampingkan pakem-pakem yang berseberangan dan bisa

meruncingkan perbedaan. Contoh lainnya, pengalaman seorang PM yang

15
sejatinya memiliki keyakinan sebagai seorang yang skeptis terhadap agama lalu di

lokasi penempatannya malah dipercaya menjadi seorang guru agama.

Di samping itu masih ada aturan IM yang tidak bisa kita sepelekan seperti tidak

keluar daerah penempatan selama setahun kecuali saat cuti dan tidak menerima

honor atau pekerjaan sampingan di luar IM.

Seorang Abdi memang harus mengesampingkan hal-hal individualis mengenai

dirinya, melupakan sesuatu yang hanya menguntungkan dunianya sendiri, dan

mau mengusahakan kemampuan maksimalnya untuk hal yang dia abdikan. Dalam

hal ini adalah cita-cita untuk memberikan pendidikan yang baik untuk generasi

penerus bangsa.

Menjadi PM Berarti Mau Belajar

Daftarlah menjadi Pengajar Muda, jika Anda memiliki kepedulian sosial serta

bisa mengedepankan jiwa kepemimpinan yang ditunjukkan dengan pengalaman

berorganisasi atau kegiatan lain. Semangat juang, kemampuan adaptasi yang

tinggi, menyukai tantangan dan kemampuan problem solving serta mampu

menghargai dan berempati terhadap orang lain adalah bekal penting yang perlu

dimiliki oleh seorang Pengajar Muda.

(https://indonesiamengajar.org/dukung-indonesia-mengajar/jadi-pengajar-muda/)

Seperti apakah itu kepedulian sosial? Saat kamu secara sukarela membagikan

berita orang yang membutuhkan donor darah, artinya kamu memiliki kepedulian

sosial. Setinggi apa dan setulus apa, penilaiannya bisa berbeda. Jangan pula

terjebak pada kalimat 'pengalaman berorganisasi' dengan berpikir bahwa hanya

para aktivis yang bisa menjadi PM. Jika kamu pernah tergabung dengan sebuah

16
kelas yang memiliki seorang ketua kelas dan kamu adalah staffnya, maka itu

sudah merupakan sebuah organisasi. Seefektif apa pengalaman organisasimu,

penilaiannya bisa berbeda.

Seperti tes psikologi yang kini sudah bisa kita pelajari dari internet, biasanya ada

instruksi kepada peserta untuk menggambar sebuah pohon, padahal sudah banyak

artikel yang membahas bagaimana cara menganalisa gambar pohon sehingga kita

bisa saja mengaturnya agar gambar pohon kita menunjukan kepribadian yang

bagus. Tapi bagaimana jika kepribadian dari gambar pohonmu, karena dibuat-

buat, jadi berbeda dengan kepribadian dari hasil tes psikologi numerik, misalnya.

Itu malah akan membuatmu dinilai jadi orang yang labil dan tidak menjadi diri

sendiri. Atau kamu berusaha menampilkan kepribadian yang tegas dan terstruktur

tapi ternyata yang dibutuhkan oleh IM bukanlah orang yang seperti itu.

Makanya kukatakan bahwa penilaiannya bisa berbeda. Seniorku yang memiliki

pengalaman organisasi lebih banyak dengan jabatan yang lebih tinggi pernah

mendaftarkan diri menjadi PM, namun bukan dia yang IM butuhkan. Ada juga

seorang mahasiswa S2 dengan nilai akademis yang sangat baik namun ternyata

dia juga bukan orang yang IM cari.

Menurutku IM hanya membutuhkan orang yang pas dan seimbang. Tak apa jika ia

memiliki nilai rata-rata dalam kepedulian sosial atau jiwa kepemimpinan, asalkan

ia memiliki kemampuan untuk belajar dan sangat adaptif. Terlalu idealis kadang

tak pas. Memiliki banyak ekspektasi juga tidak diharapkan. Bukan hanya latar

belakang, pengalaman, dan penghargaan yang dipertimbangkan, namun juga

17
kemampuanmu untuk membuka diri pada pengalaman dan pembelajaran yang

baru.

PM Adalah Wajah Indonesia

Syarat utama untuk menjadi Pengajar Muda adalah Warga Negara Indonesia,

belum menikah dan sehat secara fisik dan mental serta bersedia ditempatkan di

daerah terpencil selama satu tahun. Diwajibkan sudah lulus kuliah Strata 1 (S1)

dan terbuka untuk seluruh jurusan, diutamakan yang su dah berpengalaman

minimal satu tahun. Perihal usia, diutamakan di bawah 29 tahun dan memiliki

nilai akademis yang baik. (https://indonesiamengajar.org/dukung-indonesia-

mengajar/jadi-pengajar-muda/)

Dua syarat yang membuat PM memiliki tingkat keberagaman tinggi ialah Warga

Negara Indonesia dan sarjana seluruh jurusan. Dengan dua kategori itu, maka

berkumpullah manusia-manusia dengan berbagai macam logat dan warna kulit.

Masing-masing PM juga memiliki latar belakang pendidikan sarjana yang

berbeda-beda, rumpun eksakta, teknik, kesehatan, sosial, humaniora, dll. Dalam

segi kepribadian pun beragam, tidak semuanya ekstrovert, orang-orang introvert

banyak bergabung menjadi PM. Bahkan aku curiga bahwa IM punya formula

yang ingin mengumpulkan orang-orang dengan kepribadian yang berbeda.

Sementara bagi orang-orang di desa penempatan, PM adalah wajah ibukota.

Meski sebenarnya PM tersebut berasal dari Aceh atau Fak-Fak, mereka umumnya

akan tetap menganggap bahwa PM adalah utusan dari Jakarta. Di beberapa

daerah, dengan kehadiran orang luar seperti inilah yang membuat mereka masih

merasakan bahwa mereka adalah bagian dari Negara Indonesia.

18
"Orang-orang harus daftar jadi PM supaya punya kesempatan untuk merasakan

menjadi Indonesia yang sebenarnya." Ujar Kristian Patrasio, Pengajar Muda VI

Kabupaten Kapuas Hulu, dalam kampanye 'Kenapa Kamu Harus Jadi Pengajar

Muda'.

Selain Kris, ada juga sesama Pengajar Muda VI Kabupaten Kapuas Hulu yang

bernama Rifki Furqan, dia bercerita mengenai satu tahun yang bermakna selama

penugasannya. "Ada salah satu anak gue yang juara di tingkat nasional. Itu tidak

hanya membanggakan kita sebagai pengajar, punya kepuasan batin, tapi juga

kebanggaan satu kampung, kebanggaan suku mereka, dan juga kebanggaan bagi

diri dia sendiri yang bisa menjadi inspirasi buat dia nanti. Ketika menjadi

Pengajar Muda kita tinggal dengan orang lain. Kita tinggal di dalam komunitas

yang berbeda. Suku, agama, ras, geografis, itu semua menjadi tantangan yang

membuat kita menghadapi masalah sendiri dan membuat kita mengambil

keputusan secara kontekstual. Jadi, pelajaran yang paling penting buat gue

sekarang adalah beradaptasi sesuai dengan konteks, berpikir strategis, untuk

masalah ini harus pakai cara ini, dan apapun itu. Jadi nggak pakai sudut pandang

yang satu aja."

Satu Hari yang Menentukan

Layaknya kobaran api yang berawal dari satu percikan kecil. Kisah-kisah

menakjubkan diawali oleh sinyal-sinyal halus yang lewat melalui pikiran. Sedikit-

sedikit tertangkap jelas, hingga menimbulkan dilema untuk menentukan sebuah

keputusan besar. Hampir semua Pengajar Muda memiliki dilema tersendiri saat

memutuskan untuk membelokkan hidupnya pada dunia ini. Ada yang harus

19
bertentangan dengan keluarganya, berdebat di tempat kerjanya, dan juga tawar

menawar dengan mimpinya sendiri.

Siapapun bisa menjadi Pengajar Muda jika dia adalah seorang sarjana yang

berkewarganegaraan Indonesia, entah dia baru yudisium kemarin sore, atau

seorang pengangguran tanpa pengalaman kerja, apakah dia ternyata lulusan S2,

atau sudah bekerja dengan posisi yang bagus. Selama dia bisa melalui satu hari

yang menentukan.

Aku mengisi formulir daring Pengajar Muda di bulan Desember 2014, enam bulan

setelah lulus sarjana keperawatan. Seharusnya setelah lulus langsung daftar kuliah

Profesi Ners, tapi aku berencana menundanya selama enam bulan. Dalam masa

enam bulan itu, aku menjadi enumerator pada survey lapangan yang dilakukan

Badan Litbang Kesehatan Kemenkes dan kegiatan sosial lainnya. Sambil sesekali

terpikirkan untuk mencari kerja memakai ijazah Sarjana Keperawatan, tanpa

menjadi Ners. Itulah kenapa akhirnya di bulan keenam itu aku malah mengisi

formulir Pengajar Muda. Satu dari beberapa sinyal-sinyal halus yang lewat di

pikiranku.

Selanjutnya aku menjadi satu diantara banyaknya orang yang menjadi seorang

petaruh pada gambling-nya satu hari yang menentukan. Total seleksi PM ada

empat tahap; seleksi administrasi online, Direct Assesment (DA) selama satu

hari, Medical Check Up (MCU) selama satu hari, dan Pelatihan Intensif selama

dua bulan. Setelah semuanya terlewati barulah seseorang secara resmi menjadi

PM.

20
Ketika memutuskan untuk mengikuti DA Indonesia Mengajar, seharusnya aku

tengah melanjutkan pendidikanku di Program Profesi Ners (PPN), kalau tidak

mengikuti kuliah PPN, aku tidak bisa ikut Ujian Kompetensi Keperawatan dan

artinya aku belum dikatakan sebagai perawat. Jadi aku ini adalah Sarjana

Keperawatan yang bukan perawat. Kentang banget nggak, sih.

Biasanya mereka yang tidak melanjutkan kuliah PPN akan dikomentari, "Sayang

sekali sudah jadi sarjana keperawatan tapi tidak bisa menjadi perawat. Kalau tidak

jadi perawat, lantas mau kerja apa? Sayang banget ilmunya kalau diendapkan

begitu saja. Mau jadi apa dunia kesehatan kita kalau para sarjana keperawatan

tidak mau jadi perawat?"

Nah, apalagi jika jalannya belok dari sarjana keperawatan menjadi seorang aktivis

sosial. Semakin lah dikomentari, "Kalau memang suka dunia mengajar, kenapa

dulu tidak kuliah pendidikan saja? Kalau mau memberdayakan suatu desa, kenapa

bukan desa sendiri saja?"

Abaikan komentar-komentar itu. Semakin kita larut pada komentar orang lain,

maka kita semakin meragu untuk melakukan sesuatu. Padahal kata Michael

Useem, "Every move you make is scrutinized for its meaning, its performance, its

adequacy." Jadi, pergerakan apapun yang kamu lakukan akan selalu memiliki

makna se-absurd apapun itu.

Dan akhirnya aku memilih jalan paling sulit, paling panjang, dan paling gambling.

Aku maju terus dalam seleksi calon PM.

Pagi itu di Jakarta Selatan, aku dibonceng salah seorang kader PKK dari Cilandak

21
menuju lokasi DA. Agak gugup karena tak ingin terlambat, rasa gugupnya mirip

ketika hendak sidang skripsi.

Dalam satu hari kita melalui enam tahap assessment. Dimulai sekitar jam 8 pagi

dan selesai jam 4 sore. Tahap awal adalah mengisi beberapa psikotes yang umum

ditemui saat melamar pekerjaan. Setelahnya kami dibagi ke dalam kelompok kecil

berjumlah 6-7 orang. Assessment selanjutnya adalah introducing, ya,

memperkenalkan diri sendiri, dilanjutkan dengan forum group discussion, lalu

wawancara oleh 2 orang secara bergantian, simulasi mengajar dengan materi yang

sudah kita persiapkan, dan terakhir adalah analitical thinking.

Alurnya tidak sama untuk setiap kelompok kecil. Misalnya ketika kelompokku

sedang introducing dan FGD, kelompok yang lainnya sedang

wawancara. Assessment setiap tahun pun bisa jadi berubah, selepas penempatan

aku pernah sekali menjadi relawan assessor DA dan saat itu introducing digabung

dengan simulasi mengajar.

Dalam rimba sosial yang baru kita temui, komunikasi adalah jembatan terpenting

yang harus dikuasai. Menjadi diri sendiri sangat dibutuhkan

dalam assessment yang hanya satu hari ini, diri sendiri yang terbaik yang ingin

ditunjukkan untuk memberitahu inilah diri kita.

Hanya satu part assessment yang akan aku ceritakan, dan menurutku pengaruhnya

kuat untuk meloloskanku atau tidak, yaitu saat perkenalan. Tidak ada penjelasan

poin-poin apa saja yang perlu diperkenalkan, jadi kita harus berpikir sendiri apa

yang harus orang ketahui tentang kita. Tentu saja tidak jauh dari nama, alamat,

22
pendidikan, dan pekerjaan. Tapi karena ini adalah sebuah assesment, kita pun jadi

terbebani dengan bagaimana cara menyampaikannya.

"Siapa yang mau berkenalan pertama kali?" tanya assesor.

Krik. Krik. Krik.

"Tidak ada?" Ulangnya. "Yakin tidak ada yang mau jadi inisiator perkenalan?"

Aku tergiur tapi aku gugup setengah mati. Aku juga belum berpikir akan

mengatakan apa untuk perkenalan. Ng... paling aman kukatakan.

Halo, nama saya Sarah, asli sunda. Lahir di Tasikmalaya, besar di Kabupaten

Bandung dan Garut. Saya sarjana keperawatan yang bukan perawat.

Klise.

Kemudian seorang peserta mengangkat tangan dengan penuh percaya diri. Dari

awal aku melihatnya di lobi, dia sudah berkenalan dengan seluruh peserta DA, hal

yang tidak berani aku lakukan untuk menghindari kecanggungan. Aku lebih mahir

berbicara one by one daripada menjadi pusat perhatian. Aku hanya akan

berkenalan dengan orang yang ada di kanan dan kiriku.

Dia tampil dengan powerful, penuh percaya diri. Di awal sebelum perkenalan dia

tampil seperti seorang motivator dengan mengatakan sesuatu semacam, "Selamat

pagi putera-puteri terbaik bangsa. Saya yakin kalian yang hadir disini adalah ..."

Dst... apakah itu keren? Iya, tapi saranku jangan membuat orang lain

merasa insecure. Dalam assessment ini kamu tidak dituntut untuk terlihat hebat,

tapi hangat.

Ada lagi yang memperkenalkan diri dari sebuah daerah yang jauh dari ibukota,

sekolah di inpres, dan ayahnya sudah tiada. Sejujurnya aku tidak tahu arah

23
ceritanya kemana, tapi yang aku tahu IM bukan tempat untuk dikasihani tapi

sesuatu tentang inspirasi.

Hingga akhirnya tiba giliranku untuk berkenalan. Aku menceritakan bagian

hidupku yang terpenting, yang akhirnya membawaku ke tempat ini. Bercerita

layaknya kepada seorang kawan lama yang senang mendengar ceritamu.

"Dulu aku sekolah di Aliyah swasta di sebuah kampung yang muridnya sedikit

sekali, hanya belasan di satu kelas. Karena kurang ruang kelas, kakak angkatanku

belajar di perpustakaan. Sementara angkatanku di sebuah kelas yang dibagi dua,

diberi sekat berupa triplek, sebelah untuk angkatan kami yang dan sebelahnya lagi

untuk adik kelas kami. Jadi ketika kelas kami sedang hening, aku bisa

mendengarkan adik kelas yang sedang bergosip sambil cekikikan."

Aku berusaha untuk menceritakan hal ini sewajarnya. Tanpa mengeluh, tanpa

nada menyedihkan. Tidak merendahkan, dan juga tidak menjual kepiluan.

"Lantas aku berencana kuliah," lanjutku, "dan aku satu-satunya murid yang sibuk

daftar PMDK, USM beberapa kampus, dan SNMPTN. Tahun 2010, kan,

SNMPTN masih pakai ujian tulis. Temanku yang lain berencana melamar kerja ke

pabrik, menikah, mencari pekerjaan lain, atau kalaupun kuliah mencari yang

mudah dan murah. Aku gila-gilaan belajar karena aku ingin kuliah di kampus

Negeri. Sampai salah seorang saudaraku mengatakan, 'Mereka yang sekolahnya di

SMA Negeri dan bimbel saja belum tentu bisa masuk PTN, apalagi dari

sekolahmu ...'. Aku tahu maksudnya apa. Tapi aku berpikir tidak ada bedanya

sekolah dimanapun, dua tambah dua di kota hasilnya tetap sama dengan dua

tambah dua di desa. Maka aku terus belajar selepas UN hingga akhirnya aku lulus

24
SNMPTN di Unpad. Banyak yang bilang 'kok bisa?' Dan kujawab 'kenapa juga

harus ga bisa?'"

Aku kira kisah itu cukup. Tidak berlebihan. Maka aku melanjutkan dengan cerita

lain.

"Saat usiaku 17 tahun, tahun 2009, aku pertama kali membuat facebook. Di data

informasi ada isian cita-cita, saat itu aku berpikir semua kolom harus diisi, maka

aku berpikir apa ya cita-citaku? Apa hal yang ingin aku kerjakan di masa depan?

Lantas aku tulis; penulis, guru, dan aktivis. Aku rasa itu yang paling mungkin aku

lakukan nantinya. Ketika akhirnya aku kuliah di Keperawatan, aku mulai berpikir

ketiga cita-cita itu nggak sinkron dengan kuliahku, maka aku hapus dari

informasi facebook dan mulai melupakannya. Tapi entah kenapa selama kuliah

hal-hal yang aku lakukan tidak jauh dengan tiga hal itu. Aku kuliah, tapi separuh

waktuku aktif di BEM. Di BEM pun kegiatanku adalah menulis. Dan aku

mengajar di madrasah sambil membuka Rumah Baca. Itulah kenapa aku

mendaftarkan diri disini, karena lagi-lagi duniaku seakan sudah menemukan

magnetnya. Indonesia Mengajar punya akses ke semua magnet itu; menjadi

aktivis sosial, mengajar, dan bisa menuliskan cerita tentang sebuah desa asing

yang aku tinggali selama setahun nanti."

Dan itulah langkah awalku hingga bisa sampai pada saat ini, saat aku

mengisahkan padamu tentang Landau Badai.

ROMANSA PELATIHAN

Setelah dinyatakan lolos Direct Assesment, langkah selanjutnya adalah mengikuti

25
Tes Kesehatan di sebuah klinik yang sudah ditunjuk. Dan aku pun menunggu

beberapa minggu hingga akhirnya mendapatkan kabar untuk bergabung sebagai

Pengajar Muda di bulan April 2015. Cemas berbalut antusias. Takut namun juga

penasaran. Akan seperti apa petualangan ini jadinya. Di bulan itu juga aku melalui

ulang tahunku yang ke-23 dan memulai langkah pertama menjadi bagian dari

Indonesia Mengajar. Masa-masa ini menjadi bagian yang menakjubkan.

Menjadi Pengajar Muda angkatan 10 yang berjumlah 75 orang.

Di akhir April, pertama kali kami ber-75 dipertemukan di kantor Indonesia

Mengajar yang masih terletak di Jl. Galuh. Kami mengikuti seremoni sederhana,

perkenalan officer IM, dan kemudian dikirim ke tempat pelatihan di Wisma

Indosat dengan memakai bis dari Bluebird.

Wisma tempat pelatihan kami terletak di Jatiluhur, Purwakarta. Terdiri dari dua

barak, yang dibagi untuk laki-laki dan perempuan. Kamar mandi dan jemuran

terletak di bagian belakang masing-masing barak. Bagian depan barak laki-laki

difungsikan sebagai perpustkaan dan bagian depan barak perempuan sebagai

mushola. Dua ruangan tersebut dihubungkan oleh ruangan tempat meja

parasmanan di persiapkan dan pintu keluar utama. Di halaman terdapat meja

panjang dan meja bundar tempat kami makan atau bersantai dengan pemandangan

waduk jatiluhur yang tenang. Hanya berjarak beberapa meter dari barak, ada

lapangan olahraga yang kami pakai setiap pagi dan terdapat pula aula tempat kita

mengikuti materi pelatihan.

Beruntung bagiku yang Sunda tulen dan Jabar banget ini berada di Purwakarta.

Rasanya masih feel like home. Apalagi aku sering ke Purwakarta saat kakakku

26
tinggal setahun disini, ikut suaminya yang sedang mengikuti program internship

dokter. Tapi dengan kesundaanku ini, aku jadi diandalkan untuk beberapa

kegiatan yang perlu interaksi dengan warga asli Purwakarta. Misalkan saat tugas

pertama berkunjung ke rumah warga sekitar wisma, berkenalan, dan

mendapatkan insight dari pertemuan tersebut. Tentu saja warga asli disana lebih

nyaman diajak ngobrol dengan bahasa sunda atau tatakrama kesundaan.

Adalagi tugas fun day. Yeah, bersenang-senang saja menjadi tugas. Kami

diberikan waktu satu hari untuk pergi keluar dari Wisma. Kemanapun. Tapi

dengan misi foto-foto dan ada laporan keuangannya. Tugas itu membuatku jadi

juru bicara kelompokku untuk menghadapi tukang angkot, tukang bakso, dan

tukang lainnya. Juga saat kami diberi tugas untuk berangkat ke Kareumbi di

Cicalengka, Kabupaten Bandung, dengan waktu dan keuangan yang sudah

ditentukan. FYI, lebih dari separuh hidupku kuhabiskan di Cicalengka. Jadi aku

tahu benar jalan kesana. Meski berada di Kab. Bandung, tapi dari Purwakarta kita

tidak bisa memakai angkutan umum ke Bandung. Hal itu hanya akan membuat

kami berkeliling Bandung. Untuk sampai ke Cicalengka, kita harus pakai

angkutan arah Tasik atau Garut. Ini jadi kurang seru karena ada orang Cicalengka

di angkatan ini. Jadinya tidak ada peserta yang nyasar ke Bandung.

Semua romansa pelatihan sudah pasti berkesan. Nyanyi-nyanyi. Nari-nari. Lari-

lari. Hidup di barak dengan berkegiatan dari jam 5 pagi sampai jam 9

malam. No gadget. Aliran listrik dimatikan saat malam. Disepakati untuk tidak

keluar barak kecuali hari Minggu. Mengantuk saat materi ceramah dan mencuri

tidur di WC. Memikirkan ice breaking yang nggak

27
garing. Pre test, post test, brain storming, membuat presentasi dengan gambar,

dengan role play, dengan kertas buram, kemudian refleksi. Berminggu-minggu

hidup kami dihiasi oleh kertas buram, sticky note, masking tape, dan spidol

warna-warni.

Ada satu hal lagi yang menjadi ikon kehidupan pelatihan ini. Ada satu materi

mengenai feedback. Feedback adalah kemampuan kita memberikan respon

dengan tepat, positif, dan membangun. Ada dua tahapan di dalamnya, pertama

adalah memberikan feedback positif dimana kita perlu menyampaikan hal-hal

yang memang bagus dan baik. Kemudian dilanjutkan

dengan feedback for improvement, alih-alih menyebutnya negatif, maksudnya sih

agar sesuatu yang menurut kita kurang baik bisa kita sampaikan dengan tujuan

agar orang tersebut berkembang. Misalnya:

“Sar, aku senang deh kalau lihat kamu makan selalu tepat waktu, jadi nggak

kesiangan buat ikut ikut materi (feedback positif). Tapi kayaknya porsimu terlalu

banyak, ya, kamu jadi susah menghabiskannya. Kayaknya lebih baik kalau

mengambil porsi sedikit-sedikit, kalau kurang bisa menambah lagi.

(feedback for improvement).”

Ini lebih baik daripada kita pakai kalimat negatif, “Sar, kamu jangan buang-buang

makanan, dong. Aku lihat kalau kamu makan pasti nggak pernah habis. Kan

mubazir.”

Nah, di satu sesi kita pernah belajar untuk memberikan feedback kepada teman

yang lain dengan cara berpasang-pasangan. Poin dari feedback adalah hal baik dan

hal yang perlu ditingkatkan selama pelatihan dari diri teman kita. Ternyata sesi ini

28
menarik dan jadi malah ajang curhat selama pelatihan, kami jadi bisa berbagi

mengenai harapan dan kekhawatiran kami selama pelatihan. Namun karena

dibatasi waktu, maka panitia mengatakan bahwa feedback bisa dilanjutkan di

barak.

So, dengan dalih feedback inilah kami sering melihat dua orang berpasangan

mengobrol di lingkungan barak. Kalau sesama lelaki atau sesama wanita tentu

bisa bisa dilakukan di dalam barak. Tapi kalau sepasang lelaki dan wanita tengah

melakukan pemberian feedback, pilihannya adalah tempat terbuka. Entah di

perpustakaan, di meja makan, di teras barak, atau di sela-sela materi pelatihan.

Kadang jadi ambigu juga, sebenarnya pasangan ini tengah saling

memberikan feedback atau sedang proses PDKT. Duileh.

Trik PDKT melalui saling memberi feedback lebih populer daripada love box.

Apa lagi love box?

Jadi ada sekumpulan box kecil di dinding sebelum pintu keluar utama barak.

Masing-masing dari kami punya satu box disana untuk diisi orang lain,

ada box yang selalu menggembung karena banyak isinya sampai rusak,

ada box yang sampai akhir pelatihan masih terlihat utuh karena kurang sentuhan.

Itu box-ku kayaknya, deh. Dan ada lagi sesi namanya angel-I-don’t-know, dimana

selama pelatihan kamu punya satu orang yang harus kamu perhatikan secara

rahasia dan di sisi lain kamu juga diperhatikan oleh seseorang secara misterius. Di

akhir pelatihan baru terbongkar bahwa aku mendapatkan angel seorang wanita

dan orang yang aku perhatikan pun seorang wanita. Biasa aja, ya.

29
Lain lagi cerita mengenai adaptasi makanan. Menu di pelatihan itu enak-enak dan

bergizi. Setiap hari pasti ada sayur dan buah. Tapi ada satu masa di saat kita akan

mendapatkan menu sederhana. Nasi dan ikan asin, nasi dan jengkol, atau nasi dan

daun papaya. Saat itu pilihannya makan nasi dan jengkolnya, makan nasinya saja,

atau nggak makan sama sekali. Kupilih yang pertama. Sebenarnya ada teman

yang memiliki kecap dan abon tapi penasaran juga seperti apa rasanya makan

jengkol. Hasilnya adalah sekarang aku jadi suka jengkol. Cuma digoreng tanpa

bumbu pun aku makan. Pencapaian pelatihan yang fantastis.

Lalu ada adaptasi budaya. Ini proyek rahasia lainnya dari panitia. Meski begitu

sudah banyak yang menceritakannya dari mulut ke mulut atau melalui blog. Dan

akan kuceritakan sedikit disini. Adaptasi budaya adalah sesi dimana kamu akan

dihadapkan pada situasi yang baru, berbeda, dan beberapa hal yang membuat

mengernyit, kebingungan, menangis, berteriak, bahkan berkata kasar. Inti dari sesi

ini adalah, apa respon spontan kamu saat dihadapkan pada budaya yang berbeda,

sulit dimengerti, dan tidak ada yang bisa kamu lakukan selain … kebingungan.

Yep, ini adalah persiapan sebelum kita nyemplung dan bingung di tanah orang

nanti.

Kehidupan kita selama dua bulan bukan hanya di barak pelatihan, kok. Seperti

yang diceritakan sebelumnya bahwa kami punya tugas fun day, pelatihan fisik di

Kareumbi, Cicalengka, ada pula tugas praktek mengajar di salah satu SD di

Purwakarta, dan mengunjungi sekolah di Bandung, Semipalar dan Mutiara Bunda.

Tapi yang paling berkesan adalah pelatihan fisik di Ciwidey. Kami menjelajah

30
sesuai dengan kelompok penempatan dengan dibekali materi navigasi

sebelumnya.

Dengan baju hijau army, sepatu boots yang besar dan berat dan nggak ada yang

pas di kakiku, lengkap dengan ransel gunung yang harus dibawa sendiri. Kami

mendapatkan misi bersama teman satu penempatan kabupaten sebelum bersama-

sama di lokasi tugas nanti. Nama gunung yang kami jelajahi adalah gunung

Tikukur dan kami dibekali makanan untuk sampai di lokasi. Karena makanan

yang diberikan kepada kami terbatas dan masih ada 3 hari lagi di gunung, maka

kami sepakat untuk mengirit makanan yang ada.

Itu bukan ide bagus. Keesokan harinya, tanpa ampun, semua makanan yang ada di

tas kami disita. Entah itu makanan yang diberikan panitia atau yang kami bawa

dari barak seperti permen dan vitamin. Dengan teoritisnya kami diberi materi

mengenai tumbuhan apa saja yang bisa kami makan di hutan tersebut. Aku

menyimak, tapi yang sampai di ingatanku hanya begonia, pakis, dan jantung

pisang. Padahal banyak sekali yang diperkenalkan. Saat itu rasanya aku siap

memakan apapun yang ada di hutan.

Kita juga nggak difasilitasi tenda tapi membuat rumah-rumahan, apalah namanya,

dari kayu, dedaunan, dan rotan. So, kami membagi diri menjadi dua kelompok.

Yang satu membuat hunian, dan yang lainnya mencari makanan. Aku ikut tim

pencari makan. Itulah hari dimana melihat jantung pisang sama lezatnya dengan

melihat daging ayam. Di hari pertama tidak ada kesulitan untuk menemukan

tumbuhan yang bisa dimakan, tapi keesokan harinya kami jadi berebut dengan

31
kelompok lain karena rasanya semua tumbuhan di hutan itu sudah pindah ke perut

kami. Sampai kami pun terjun ke sungai untuk mencari ikan.

Saat itu aku merasakan masa-masa terberat dalam hidup hanya untuk mencari

sejumput tumbuhan yang padahal nggak enak-enak amat karena kita memasak

tanpa bumbu apapun. Aku nggak tahu wajahku sudah sepucat apa saat itu. Ada

perasaan siap tumbang di sela-sela langkah kaki, hanya saja ternyata tubuhku

lebih kuat daripada yang aku bayangkan.

Di tengah perut yang keroncongan, kekonyolan terjadi saat kita sorak-sorak

bergembira karena menemukan mentimun hutan. Bentuknya kecil dan rasanya

lebih manis dari mentimun yang biasa kumakan. Jadi kami makan sebanyak-

banyaknya saking laparnya. Eng, ing, eng … lalu perjalanan kami berikutnya

berubah menjadi siksaan karena aku lemas tiada tara. Ya, aku baru ingat kalau

mentimun memiliki efek menurunkan tekanan darah.

Seperti biasa, ada sesi refleksi di setiap materi. Aku ingat apa yang aku ucapkan

saat itu, yaitu rasa takjubku kepada diri sendiri karena ternyata aku sanggup

melalui semua hal-hal yang rasanya tidak mungkin. Jika sendirian, aku pasti

sudah menyerah. Tapi aku melihat yang lain tetap berjalan tegap dengan ransel

gunung kami yang berat dan sepatu boots yang kebesaran. Satu orang saja yang

tumbang, mungkin aku tergiur untuk menyerah juga. Dan aku tahu masing-masing

dari kami memberikan tenaga maksimal hingga limit.

Melimpah sekali materi di dalam pelatihan yang hanya dua bulan itu. Mulai dari

pedagogi, kepemimpinan, psikologi, budaya, dan banyak hal lainnya. Semuanya

berkesan. Kalau diceritakan satu-satu, tidak akan ada habisnya. Simulasi mengajar

32
yang membuat kelasku tawuran dengan kelas sebelah. Juga malam seni yang

membuatku belajar tarian Dayak. Atau Kegiatan Belajar dan Bermain yang

menyulap kita menjadi duta berbagai pulau di Indonesia di depan anak-anak SD

se-Purwakarta. Saat itu aku dapat kelompok pulau Maluku Utara dan sebelumnya

aku tidak tahu apa-apa tentang Maluku Utara.

Mengingat kompleksnya kehidupan kami di masa pelatihan, wajar jika ada yang

tidak bisa move on dari romansanya. Bahkan ada juga yang merasa masa pelatihan

lebih berkesan daripada masa penempatan. Menurutku semuanya berkesan dan

memiliki ruang memori tersendiri. Seperti halnya penempatan sebagai sekolah

kehidupan, masa pelatihan pun adalah miniatur kehidupan yang sama. Penuh

pelajaran, pengalaman, dan trik untuk mendapatkan hari-hari yang bermakna.

PERANTAUAN PERTAMA

Katanya orang Sunda tidak banyak yang merantau. Aku baru tahu itu justru saat

aku hendak merantau. Aku pikir hanya keluargaku saja yang tidak memiliki

prinsip untuk pergi merantau, alasannya karena tidak ada yang dicari di luar Jawa

Barat.

Lahir dan sekolah dari dasar, menengah, dan kuliah di Jawa Barat, jadi aku

berpikir bahwa aku pasti akan berkarir di tanah Sunda ini. Pendidikan, bisnis, dan

pemerintahan terpusat di pulau Jawa. Perairan, pegunungan, dan perbukitan pun

membentang luas untuk dijelajah. Lantas apa yang dicari di luar Jawa Barat? Dulu

aku tidak pernah mempertanyakan itu, hingga akhirnya aku akan pergi dan

33
sekarang aku tahu apa yang dicari, sebuah rasa syukur atas apa yang sudah

dimiliki. Sebuah rasa keterikatan dengan mereka yang berbeda suku dan budaya.

Konon katanya, sejak tragedi perang Bubat, muncul perintah dari kerajaan untuk

mengisolasi diri bagi orang Sunda. Sejak saat itu orang Sunda menciptakan zona

nyaman di areanya sendiri. Mungkin itulah kenapa orang Jawa Barat katanya

kreatif. Kita memang harus kreatif menciptakan dunia yang menyenangkan disaat

tengah berada dalam comfort zone. Adalagi istilah,

“Orang Sunda mah nunutur bujur indung.” Yang artinya, “Orang Sunda itu

mengikuti pantat ibunya.” Maksudnya, dia tidak akan pergi jauh-jauh dari ibunya.

Lagi-lagi, terjebak zona nyaman.

Ketika kuliah di Unpad, yang pada awalnya dibangun untuk pendidikan

masyarakat Jawa Barat, aku baru mengenal tentang kehidupan perantauan. Aku

memiliki sahabat yang berasal dari Bukittinggi dan aktif di Unit Pecinta Budaya

Minangkabau (UPBM), namanya Ria. Disaat aku pulang seminggu sekali karena

jarak antara Unpad dan rumahku hanya 1-2 jam perjalanan, sahabatku ini akan

tinggal di kosan meskipun libur selama seminggu. Ria hanya pulang ke kampung

halamannya selama dua tahun sekali. Dan satu hal yang paling mencolok dari

persahabatan kita adalah perbedaan Bahasa daerah. Ria hanya akan memakai

Bahasa minang di UPBM dan ketika aku melemparkan jokes berbahasa Sunda

kepadanya, itu tidak akan lucu karena untuk menjelaskan maksud dari jokes-nya

saja tidak mudah.

34
Maka, dua hal itulah yang aku antisipasi ketika akan merantau. Tidak pulang

seminggu sekali dan tidak memakai Bahasa sunda dalam keseharian. Aku pun

terbang ke tempat tugasku, Kalimantan Barat.

Apa rasanya saat mengetahui bahwa tempatku selama setahun adalah Kalimantan

Barat? Antusias, lantas menangis cemas. Bukan cemas karena akan pergi ke

Kalimantan, tapi cemas akan reaksi Mama saat mengetahui bahwa anak gadisnya

ini akan tinggal di Kalimantan selama satu tahun. Perantauan memang bukan

hanya perjuangan si perantaunya saja, namun perjuangan bagi orang-orang yang

ditinggalkan untuk merantau. Terlebih seorang ibu.

Hanya sedikit yang aku tahu tentang Kalimantan. Kata kuncinya; Hutan, orang

utan, dayak. Lalu muncul desas-desus mengenai ilmu you-know-what itu yang

hanya bisa kamu ketahui melalui orang pintar dengan mantra-mantra.

Aku tidak menampik hal-hal ghaib dan metafisika, tapi aku tidak percaya rumor

apalagi hoax. Dari desas-desus itu, yang tidak aku yakini adalah ketika ada orang

yang dengan mudahnya bisa mencelakaimu dengan ilmu you-know-what.

Analisaku adalah, (1) hanya hal-hal besar atau prinsipil yang bisa membuat orang

marah dan dendam hingga ingin mencelakakan kita, (2) jika ilmu itu benar

adanya, pasti atas sekehendak Allah dan aku selalu memohon Allah menjagaku,

(3) sebelum aku datang, sudah ada Pengajar Muda lain yang tinggal disana, dan

mereka pulang dengan selamat.

Sebelumnya, aku sering mendengar mengenai kerasnya suku Dayak yang

mayoritas tinggal di Kalimantan. Hal itu pernah jadi bahasan di program tv on the

spot dengan judul ‘Tujuh Suku di Indonesia yang Paling Ditakuti’. Tapi selain

35
suku Dayak, di Jawa Barat juga ada suku yang ditakuti yaitu suku Badui karena

terkenal akan debusnya dan kebal terhadap senjata tajam. Nyatanya, saat aku

berkunjung ke Desa Kanekes, tempat suku Badui berada, mereka amat ramah dan

tidak menyeramkan.

So, aku tidak menyimpan banyak ekspektasi dan imajinasi dengan daerah yang

akan aku datangi. Apakah aku bisa tinggal disana? Apakah aku bisa makan,

mandi, dan tidur dengan nyenyak? Bagaimana dengan akses transportasi dan

komunikasi? Ah, hanya satu yang menjadi keyakinanku, ‘Jika orang-orang desa

itu bisa bertahan hidup bertahun-tahun disana, maka aku pun pasti bisa hidup

disana selama setahun.’

DAYAK ENSILAT

Dayak Ulu Kapuas adalah sebutan untuk suku Dayak di Kapuas Hulu. Pernah

dengar sungai Kapuas? Sungai terpanjang di Indonesia. Nah, hulu sungainya ada

di Kabupaten ini, tempat dimana desa Landau Badai berada.

Beberapa sub suku Dayak meyakini bahwa mereka bermigrasi besar-besaran dari

Sanggau setelah legenda Tampun Juah, yaitu hukuman adat untuk Juah yang

menyukai saudara sepupunya atau sepupu satu kali. Jika kamu punya sepupu

dekat, anak kandung dari saudara kandung orangtuamu, itulah yang disebut

sepupu satu kali. Aku belum pernah mendapatkan cerita langsung mengenai

Tampun Juah, hanya membacanya di berbagai sumber tentang suku Dayak.

Sub suku dari Dayak Ulu Kapuas banyak bertebaran di Kapuas Hulu, salah

satunya adalah warga asli di sekitar sungai Ensilat yaitu Dayak Ensilat. Mereka

36
bermigrasi dari hilir sungai Kapuas dan mendiami hulu sungai Kapuas sebagai

penduduk asli Kapuas Hulu.

Di sekitar sungai Ensilat, beberapa kelompok sudah dipengaruhi oleh budaya

Melayu setelah agama Islam dari daerah Sintang masuk ke daerah ini. Ada

anggapan orang dulu mengenai suku dan agama, yaitu jika kamu memeluk agama

Islam maka kamu menjadi orang Melayu, tapi jika kamu tidak beragama Islam

maka kamu masih orang Dayak. Beberapa orang Dayak yang masuk Islam tidak

mudah untuk mengubah begitu saja kehidupannya menjadi orang melayu terutama

dalam hal bahasa, maka ada yang disebut sebagai Melayu Senganan yang menjadi

bahasa pemersatu antara sub-sub suku Dayak dengan Melayu.

Jika dalam struktur pemerintahan ada kepala desa, maka dalam adat kelembagaan

tertinggi adalah ketemenggungan dengan struktur kelembagaan adatnya adalah

temenggung, dewan adat desa, dan dewan adat dusun. Tugas temenggung adalah

mengatur angaran dasar rumah tangga ketemenggungan dan memutuskan perkara

adat yang tidak mampu diputuskan oleh ketua adat dusun maupun desa.

Jika ada permasalahan, maka diselesaikan di tingkat dusun terlebih dahulu. Jika

perkaranya tidak selesai, maka dinaikkan ke tingkat desa. Jika tidak terselesaikan

juga, maka perkara dinaikkan lagi ke tingkat Temenggung. Hal-hal yang diatur

dalam hukum adat adalah berladang, mencari madu, nuba, sumber air bersih, dan

hutan adat. Ada pula aturan adat terkait pranata sosial mencakup adat perkawinan,

adat kelahiran, adat kematian, adat salah basa/tata krama/sopan santun, dll.

Contoh pelanggaran hukum adat yaitu salah basa karena bergurau dengan

berlebihan yang membuat malu seseorang di depan umum, mengeluarkan kata-

37
kata yang tidak pantas seperti menghina, mengadu domba, membicarakan

kekurangan seseorang atau sejenisnya. Bayangkan hal itu diatur di tingkat desa,

tidak akan ada haters dan buzzer penebar kebencian yang bersarang di desa-desa

dan instagram gosip akan kehilangan kejayaannya.

Tapi hukum adat sudah jarang dipilih karena denda atau sanksinya lebih berat

daripada hukum pemerintahan. Pada akhirnya banyak pula yang memilih jalur

kekeluargaan untuk menjaga keharmonisan satu sama lain. Padahal banyak hal

dari kearifan lokal seperti hukum adat ini yang masih bisa menjaga kehidupan

manusia yang mulai tidak manusiawi. Asal tidak dinodai oleh keegoisan dan

keserakahan manusia saja.

LEGENDA LANDAU BADAI

Seperti Sangkuriang yang masyhur sebagai penyebab terbentuknya Tangkuban

Perahu dan Malin Kundang yang terkenal sebagai ikon kisah anak durhaka, maka

di Badai pun ada legenda yang terkenal sebagai asal mula desa Landau Badai.

Menurut legenda masyarakat Kalimantan, khususnya Melayu, Sungai Kapuas

dipercaya memiliki kerajaan alam gaib dengan makhluk penjaga yang disebut

Puaka. Ada yang mengatakan bahwa penjaga tersebut menyerupai buaya

berwarna kuning, buaya putih, dan buaya hitam. Ada juga yang mengatakan

bahwa puaka tersebut berbentuk ular yang sangat besar dan panjang. Seperti aliran

sunga Kapuas yang meluas, maka legenda itu pun mengalir hingga ke daerah

sungai Ensilat, tempat legenda Landau Badai bermula.

Pada zaman dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga dengan dua anak laki-laki

bernama Landau dan Badai. Keluarga kecil ini hidup dengan sederhana di pinggir

38
sungai Ensilat. Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka hendak pergi ke ladang,

Landau dan Badai merajuk karena tidak diperbolehkan ikut.

“Ayah, Ibu, kami mau ikut ke ladang!” Bujuk mereka.

Tetapi ayah dan ibu tidak memperbolehkan mereka untuk ikut. Untuk menghibur

kedua anaknya, sang ibu pun berkata, “Nak, nanti kalau ayah dan ibu sudah

sampai di ladang, ibu akan membawakan bunga berwarna merah dari ladang

untuk kalian. Bunga itu akan ibu hanyutkan di sungai. Nanti kalau kalian melihat

bunga tersebut, ambillah.”

Landau dan Badai pun mengiyakan dan melepas keberangkatan orangtuanya ke

ladang. Sambil menanti kepulangan ayah dan ibunya, kakak beradik tersebut

duduk di tepi sungai menanti bunga merah yang akan dihanyutkan sang ibu.

Mereka tak pernah meninggalkan sungai, dari mulai bermain disana dan

melakukan aktivitas seharian di sungai karena tak ingin melewatkan bunga dari

ibunya. Hingga akhirnya setangkai bunga berwarna merah merekah terlihat

hanyut di sungai.

“Kak, sepertinya itu bunga dari ibu.”

Mereka berdua pun berebutan berenang ke tengah sungai untuk mengambil

bunganya. Namun setelah didekati, ternyata bunga yang mereka ambil bukan

kiriman dari ibunya, melainkan jelmaan dari puaka yang menjaga Sungai Ensilat.

Puaka tersebut membuat mereka ketakutan dan dengan sekejap mata mereka

berdua menghilang ditelan sungai.

Ketika ibu dan ayah pulang dari ladang, mereka berdua merasa heran karena

Landau dan Badai tidak ada dirumah.

39
“Pak, dimana anak-anak kita? Sudah sore begini tapi belum pulang juga.”

“Entahlah, mungkin Landau dan Badai masih bermain. Nanti juga mereka akan

pulang.”

Namun sampai hari gelap, kedua anak mereka tidak terlihat. Ayah dan Ibu pun

mencari anak-anak mereka dan juga meminta bantuan warga. Mereka mulai

mencari di tepian sungai, karena ibunya telah berjanji akan mengirim bunga lewat

sungai.

“Landaaaauu! Badaaai! Landaau! Badaaai!” semua warga berteriak mencari.

Setelah berhari-hari mencari keberadaan Landau dan Badai, terdengar suara

jeritan seakan menyahut suara warga yang memanggil-manggil nama Landau dan

Badai. Warga pun mencari sumber suara yang ternyata terdengar dari dalam

tanah, di tepi Sungai Ensilat. Warga pun mulai mengambil inisiatif

untuk menggali tanah tersebut.

“Landau! Badai! Dimana kalian?” Warga kembali berteriak, kemudian terdengar

kembali suara jeritan dan warga pun mencoba menggali lagi. Akhirnya banyak

warga yang berkumpul di daerah tersebut hingga menginap untuk membantu

pencarian Landau dan Badai.

Galian mereka berpindah-pindah sesuai dengan suara jeritan yang terdengar.

Galian yang dibuat semakin dalam sehingga membentuk sebuah teluk. Sampai

akhirnya galian tersebut terhenti pada sebuah pohon yang sudah lama tumbang

dan telah terkubur oleh tanah. Warga melanjutkan galian pada pohon tersebut

karena terdengar suara jeritan yang bersumber dari dalam sana. Tanpa pikir

panjang mereka terus menggali dan tak disangka dari lokasi galian tersebut keluar

40
air berwarna merah. Persis seperti warna merah darah. Semakin pohon tersebut

ditebas, semakin banyak warna merah darah yang merembes melalui aliran

sungai. Warga pun terus menggali dan mencoba memanggil kembali, namun tidak

ada lagi suara jawaban berupa jeritan-jeritan.

Warga pun menyadari, seiring derasnya air berwarna merah darah yang keluar

dari galian, pencarian mereka sudah selesai. Ujung pencarian itu berhenti di

sebuah pohon tua yang akarnya sudah terkoyak. Kini lokasi penggalian warga itu

dikenal dengan nama Teluk Badai. Dan untuk mengenang tragedi pencarian kedua

anak tersebut, yang membuat banyak orang bermukim disana, mereka membuat

sebuah desa yang diberi nama Landau Badai.

LIMA PENGAJAR MUDA

Di Landau Badai tidak ada sumber listrik. Ada generator desa dari PNPM, namun

kami harus membeli sendiri minyaknya. Saat iuran warga sedang lancar, maka

generator akan dinyalakan dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Namun jika

iuran sedang macet atau generator sedang rusak, maka kami menikmati malam

bertabur bintang. Tidak segelap seperti di Baduy yang memang menolak memakai

listrik, di Badai beberapa rumah memiliki generator pribadi. Setidaknya rumah

Kepala Sekolah dan Kepala Desa hampir setiap malam menyalakan generator

pribadinya.

Pengajar Muda datang ke Landau Badai sejak Juni 2011. PM pertama sebagai

pembuka jalan antara IM dan warga Landau Badai adalah Surahmansah Said yang

datang ke Badai tahun 2011-2012, panggilannya Pak Surah, asli Makasar dan

41
perawakannya atletis. Menurut warga, tawanya menggelegar dan menular,

membuat yang lain tersihir untuk ikut tertawa dan betah berlama-lama ngobrol

dengannya. Dialah yang membuat halaman sekolah memiliki lapangan olahraga

yang bagus dan setiap sore ramai dengan anak-anak yang bermain dan

berolahraga. Kak Surah juga yang mengajak mereka membuat karnaval 17-an

yang meriah dan mengaktifkan kembali pramuka. Dia berhasil menghidupkan

Landau Badai.

Setelahnya ada Aryana Kusumaningrum di tahun 2012-2013, sering dipanggil

Kak Yana oleh murid-murid di Badai, dan dipanggil Nyitnyit oleh teman-

temannya. Di tahun inilah Landau Badai menjadi tuan rumah Porseni tingkat

Kecamatan. Suasananya meriah dan sampai sekarang event itu berkesan bagi

warga Landau Badai dan kegiatan pramukanya pun sangat dibanggakan oleh

anak-anak. Pembawaan Kak Yana yang tegas namun penyayang sangat berkesan

di hati mereka. Tak ada yang tidak menangis saat Kak Yana, maupun Kak Surah,

pergi meninggalkan desa. Warga selalu menceritakannya seakan itu adalah hari

paling berkabung sedesa Landau Badai.

Anna Minhatul Maula atau Kak Opi melanjutkan tugas Kak Yana di tahun 2013-

2014, dia berasal dari Jawa Barat sepertiku, tepatnya di Majalengka. Kak Opi

memiliki tantangan yang lebih berat karena banyak anak-anak dan warga masih

terbayang-bayang dengan sosok Kak Surah dan Kak Yana. Sementara itu tugas

PM dari tahun ke tahun berubah, ada tanggung jawab untuk menghubungkan

orang-orang di desa dengan jangkauan yang lebih luas, minimal dengan orang-

orang di Kabupaten. Itulah kenapa yang paling berkesan dari tahunnya Kak Opi

42
adalah anak-anak mengikuti Festival Danau Sentarum dan menampilkan Tari

Saman disana.

PM ke-4 yang berarti PM sebelum aku adalah Asep Ismail yang bertugas di tahun

2014-2015. Dia manusia paling kocak menurutku dan sangat diterima di semua

kalangan, baik anak-anak maupun orang tua. Semua kenangan tentangnya adalah

tawa saat pramuka, porseni, maupun saat bermain ke Gurung Inggud.

Dari keempat pendahuluku itu, aku hanya pernah bertemu dengan Asep di masa

transisi selama dua minggu. Namun aku hampir tahu kegiatan yang lainnya tanpa

bertemu mereka karena semua warga tidak akan pernah bosan menceritakannya

padaku. Dari mulai PM mana yang pernah kehilangan barang, PM mana yang bisa

berenang, pernah diajak kemana saja, pernah diberi apa saja, dan pernah ada

kejadian apa saja. PM yang ini digodain bapak itu, PM yang itu pernah bertengkar

dengan murid yang ini, dan semuanya yang sempat mereka ceritakan berulang-

ulang.

Sekejap, kadang, aku merasa terbebani saat mereka seolah berharap aku

melakukan sesuatu yang pernah dilakukan Kak Surah, atau seandainya aku seperti

Kak Yana, atau betapa rindunya mereka pada Kak Opi, dan kayaknya aku nggak

sekocak Asep. Tapi aku memang tidak datang untuk memenuhi ekspektasi semua

warga. Jika tidak begitu, aku tidak bisa menjadi diri sendiri dan sibuk menjadi apa

yang diharapkan oleh warga.

Semua PM pendahuluku menjadi wali kelas, kecuali Asep. Awalnya aku diberi

tahu Asep bahwa aku harus mengambil sedikit tanggung jawab di sekolah karena

tugasku di tahun ke-5 ini akan membuatku sering meninggalkan sekolah dan lebih

43
banyak berakifitas di ibukota, yaitu Putussibau. Namun sifat asertifku tidak

setegas itu, apalagi melihat wajah memohon para guru yang memintaku jadi wali

kelas.

Di Landau Badai ini ada SMP Satu Atap (Satap) yang dirintis ketika Kak Surah

datang. Dikatakan satu atap karena bangunan dan manajemennya masih

bergabung dengan SD. Jadi, di Landau Badai aku mengajar matematika dan IPA

untuk kelas 5 dan 6. Sesekali masuk kelas bawah jika gurunya sedang tidak ada.

Antara SD dan SMP Satap yang paling kekurangan guru adalah SMP. Maka di

SMP aku membantu mengajar Bahasa Inggris kelas 7, 8, dan 9, matematika kelas

8 dan 9, agama kelas 8, dan IPA kelas 9.

Delegasi tugas dari IM sebenarnya hanya mengajar SD. Tapi situasi di lapangan

mendorongku untuk menghabiskan banyak waktuku di SMP. Jika dilihat dari segi

kaderisasi, murid-murid di SMP adalah murid-murid SD saat PM terdahulu dan

mereka tumbuh belajar bersama PM. Misalnya, ketika tahunnya Kak Yana, dia

menjadi wali kelas anak-anak kelas 6 SD dan mereka digembleng oleh Kak Yana

untuk menghadapi UN SD. Ketika aku datang anak-anak itu sudah kelas 9 SMP

dan aku menjadi wali kelas mereka yang mana aku melanjutkan gemblengan Kak

Yana untuk mendampingi mereka menghadapi UN SMP. Ada keberlanjutan, kan.

Dari semua yang dialami warga, ada satu yang paling berkesan dan tidak sulit

diceritakan karena terekam dalam sebuah program tv. Di tahun penugasan Kak

Yana, ada salah satu mitra IM yang membuat program tv di lokasi penugasannya,

yaitu Lentera Indonesia. Di awal kemunculannya, Lentera Indonesia masih

dituliskan sebagai program acara yang bekerja sama dengan Indonesia Mengajar.

44
Tidak semua Pengajar Muda di seluruh penempatan punya kesempatan menjadi

pencerita di program Lentera Indonesia. Juga tidak semua desa penempatan

Indonesia Mengajar masuk ke dalam program tersebut. Landau Badai termasuk

desa yang memiliki kesempatan pernah dikenal oleh penonton Lentera Indonesia

di masa-masa awalnya yang masih berdurasi 1 jam. Melalui acara itulah aku

mengetahui informasi awal sebelum aku datang ke Landau Badai. Tayangan

tersebut ada di youtube dengan judul Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai.

Landau Badai dianggap sebuah pulau karena dikelilingi oleh aliran sungai Silat,

sungai Pengga, dan Gurun Inggud. Sesuai dengan defnisinya di KBBI, pulau

adalah tanah atau daratan yang dikelilingi air, baik itu laut, sungai, atau danau.

Jadi tidak salah ketika program tv Lentera Indonesia memberi judul Pulau Landau

Badai pada edisi menceritakan Pengajar Muda ke-4 di Landau Badai. Berikut aku

sadur narasi dari Ayu Theresia yang ditampilkan di program tersebut.

Pulau Kalimantan membentang luas. Roda kemajuan zaman membawa Bumi

Khatulistiwa ini terus berkembang meski masih ada juga sebagian daerah yang

tertinggal.

Landau Badai, desa di Kecamatan Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu,

Kalimantan Barat ini terletak di hulu sungai Silat, salah satu anak sungai Kapuas

di Kalimantan Barat. Kendaraan roda empat belum bisa menjangkau Landau

Badai. Mobil hanya bisa sampai Nanga Ngeri. Untuk mencapai Landau Badai,

hanya bisa melalui transportasi sungai. Bila cuaca bagus, warga menggunakan

sepeda motor dan menempuh jalan di perbukitan yang curam. Untuk penerangan

45
pun hanya mengandalkan genset. Listrik hanya menyala sejak jam 6 sore hingga

jam 10 malam.

Indonesia tidak kekurangan guru, namun distribusi guru yang tidak merata juga

menjadi persoalan pelik pendidikan di Negeri ini. Demi menjawab problem

inilah, Gerakan Indonesia Mengajar hadir pada tahun 2010. Mengirim sarjana ke

berbagai pelosok tanah air untuk mengisi kekurangan guru. Pengajar Muda akan

bertugas selama satu tahun di daerah penempatannya. Dan aku ditempatkan di

Kapuas Hulu yang tidak hanya menyalakan semangatku untuk terus belajar, tapi

juga memupuk rasa persaudaraan dan persahabatan. Suatu ikatan emosi yang

belum tentu aku alami kalau aku tidak pernah hidup di pelosok tanah air

Indonesia.

Di sungai Silat, aku biasa bermain dengan anak-anak Landau Badai. Aku

berusaha menjadi bagian dari mereka melalui alam Kapuas yang kaya. Di

sepanjang aliran sungai Silat, banyak warga melakukan mamay, yaitu tradisi

mendulang emas di tepi sungai. Rekan-rekan guru juga biasa menekuni profesi

mamay ini.

Bangunan sekolah telah direnovasi sejak tahun 2012. Namun, jumlah guru disini

masih kurang kaena kami juga harus menyelenggarakan pendidikan SMP Satu

Atap. Disini aku menjadi guru bantu bagi empat guru PNS dan tiga guru honor,

yaitu Bu Nurlela, Pak Ruslan, Pak Auzi, Pak Sarbi, Pak Ahmad, serta Bu Kokom

yang kami percayakan mengajar di SMP.

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

PERJALANAN MENUJU BADAI

46
Bercerita mengenai Landau Badai, baiknya kuceritakan dari perjalanan pertamaku

kesana.

14 Juni 2015.

Dari Jakarta, kami terbang menuju Pontianak, Kota Khatulistiwa yang panasnya

membuat ubun-ubunku cenat-cenut. Saat pertama kali datang kesana, cuaca

sedang buruk. Ketika turun dari pesawat, kawan-kawan dengan tegang bercerita

mengenai 45 menit yang menegangkan saat hendak landing karena pesawat hanya

berputar-putar saja menunggu saat yang tepat untuk turun. Aku hanya

mendengarkan dan mengatakan wah? iya? masa sih? karena dalam perjalanan

ragaku tertidur pulas. Itu perjalanan pertamaku menaiki pesawat dan aku

kehabisan energi setelah pelatihan yang padat.

Dari bandara Supadio Pontianak ada penerbangan menuju Kota Putussibau,

ibukota Kapuas Hulu. Nama bandaranya Pangsuma. Namun saat itu adalah

perjalanan pertama kami, jadi dengan alasan agar kami pernah merasakan

perjalanan darat, maka kami dijadwalkan menaiki bus. Perjalanan Pontianak-

Putussibau adalah perjalanan terjauhku menaiki bus yang bergoyang-goyang,

perpaduan antara bus yang sudah tua dan jalanan yang tak sempurna.

Di lintas selatan Kalimantan Barat ini, yang terkenal adalah jalanan di Sosok dan

Sanggau, bus tidak akan berhenti bergoyang dan membuatku terpental-pental. Itu

bukan kiasan karena badanku benar-benar naik turun menghantam jok. Dalam

keadaan tertidur pun aku masih bisa merasakan kepalaku dihentak-hentakkan, tapi

rasa lelah membuat mataku terpejam selama perjalanan.

47
Kami sempat berhenti untuk sholat dan makan di Rumah Makan Padang, yang

bisa dinobatkan sebagai rumah makan paling tersebar merata di Indonesia. Setara

Telkomsel kali, ya.

Kami berangkat dari Pontianak jam 1 siang dan sampai di Kota Putussibau pada

keesokan harinya jam 7 pagi. Kurang lebih delapanbelas jam dan sampailah kami

di Kota Putussibau, Kapuas Hulu.

Aku kira Jakarta adalah kota paling hot yang pernah aku singgahi. Ternyata

Putussibau lebih panas lagi. Apalagi buatku yang tinggal di Kabupaten Bandung.

Selama tinggal di tanah Kapuas, aku pernah merasakan suhu udara sampai 40

derajat Celsius. Seakan enggan hidup lagi, keluar terasa dibakar, di dalam rumah

terasa dipanggang.

Karena ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan di tingkat kabupaten, kami

harus ke Putussibau sebulan sekali. Maka selama setahun itu, berkali-kali aku

melalui skema perjalanan antara Putussibau-Landau Badai yang tak mudah.

Waktu tempuh satu kali perjalananku adalah 10 jam, jika dihitung sebulan sekali

aku melakukan perjalanan pulang dan pergi, maka selama setahun aku

menghabiskan 240 jam di jalanan.

Tujuh. Dua. Satu. Itu angka yang selalu kuulang jika Mama menelepon dan

menanyakan tentang perjalanan dari Putussibau ke Landau Badai. Setiap kali

menelepon, Mama menanyakannya berulang-ulang selama setahun. Aku bercerita

bahwa aku harus menaiki bus sejauh 190 km selama 7 jam. Menaiki motor di

jalanan desa selama 2 jam. Dan berakhir dengan 1 jam di atas perahu. Dengan

perjalanan seperti itu, aku harus menyisihkan paling tidak 1 juta rupiah untuk

48
perjalanan pulang-pergi. Itu sudah termasuk makan siang di Nanga Tepuai dan

jajan di Simpang Bongkong.

Aku selalu menaiki Bus Perintis setiap kali menuju Simpang Bongkong.

Berangkat jam 7 pagi, istirahat di Nanga Tepuai jam 12 siang, dan sampai di

Bongkong sekitar jam 2 siang. Saat berangkat dari Putussibau, kita sebaiknya

memesan tiket terlebih dahulu karena armadanya tidak banyak. Jika kamu terburu-

buru dan tidak sempat memesan tiket bus, berdoa saja pada hari itu tidak banyak

yang bepergian dan masih ada kursi yang kosong. Bus yang aku tumpangi adalah

trayek Putussibau-Sintang, kabupaten yang berdekatan dengan Kapuas Hulu. Dan

Simpang Bongkong terletak 20 km sebelum tugu perbatasan antara Kapuas Hulu

dan Sintang. So, desa penempatanku lebih dekat ke Sintang daripada Putussibau.

Yang berbeda ketika kita menaiki bus di Putussibau dengan di Bandung adalah

kamu akan melihat kantong plastik bergantungan di atas kepalamu. Kantong itu

sengaja disiapkan oleh pihak bus untuk penumpang yang muntah sepanjang jalan.

Mungkin karena perjalanan yang jauh, bau-bauan yang ramai menyerang hidung,

atau karena tranpsortasi bus adalah hal yang jarang bagi warga. Selain kantong

plastik, kamu juga akan melihat banyak helm digantung. Tandanya, jarak rumah

mereka dari jalan raya sangat jauh sehingga mereka harus membawa helm

kemana-mana karena setelah turun dari bus mereka akan menaiki motor.

Biasanya aku akan tertidur di separuh perjalanan hingga tiba di Nanga Tepuai

untuk makan siang. Disanalah aku akan turun, mencuci muka, dan makan

sebanyak-banyaknya karena perjalanan masih panjang. Dari Nanga Tepuai

menuju Simpang Bongkong, aku jarang tertidur kecuali jika dalam kondisi sangat

49
lelah. Terlebih lagi pemandangan di luar jendela hanya dikuasai pepohonan.

Hijau, hijau, dan hijau. Bukannya aku tak suka, tapi itu membuatku semakin

mengantuk dan tidak tahu sudah sampai mana. Jika berkendara di Bandung, aku

akan melihat plang-plang jalanan untuk mengetahui sudah sampai mana. Disini,

aku melihat pohon, pohon, dan pohon.

Ada satu yang paling aku sukai setiap kali menaiki Bus Perintis. Sopirnya orang

sunda, Men. Wuhuuu! Hal itu aku konfirmasi saat mengobrol dengan

kondekturnya yang ternyata asli dari Bogor. Tuh kan, orang Sunda juga ternyata

banyak yang merantau.

Menjadi kebahagiaan tersendiri saat menaiki bus di pedalaman Kalimantan dan

yang terdengar dari speaker bus adalah suara khasnya Ebiet G. Ade dan Nining

Meida. Borneo rasa Bandung! Dinaaa amparan sajadaah. Abdii sumujud

paaasrah. Beuh … diantara para penumpang yang memakai Bahasa Hulu, rasanya

aku ingin berteriak, “Hey, hey, aku tahu lagu ini loh? Kalian tahu, nggak? Nggak,

ya? Mau aku nyanyiin nggak? Ini lagu bagus loh.” Terus nge-rap. “Rumasa,

kuring rumasa, hirup di dunya, pinuh ku dosa, laku lampah sakahayang ….”

Aku tahu itu norak dan garing jadi nggak aku lakukan.

Jalanan lintas selatan dipenuhi dengan jembatan kayu kecil. Membuatku jadi

hapal rambu-rambu yang menunjukan sungai. Yang aku ingat di Bandung banyak

rambu-rambu dilarang stop dan dilarang parkir. Di sepanjang jalan ini kedua

rambu-rambu itu tidak ada sama sekali. Warga disini bukan hanya bisa parkir

dimanapun mereka mau karena lahannya luas, tapi setelah parkir pun mereka

jarang mencabut kunci motornya. Mereka sangat yakin tidak ada yang akan

50
mencuri motornya atau jika ada yang mencuri motor pun sejauh apa sih motornya

bisa dibawa kabur.

Setelah puluhan jembatan kayu, aku akan melalui sebuah jembatan besar,

dibawahnya mengalir aliran sungai Ensilat, salah satu anak sungai Kapuas. Dilihat

dari arah Putussibau, sebelah kiri adalah aliran sungai dari hulu dan sebelah kanan

adalah aliran sungai menuju hilir. Jika sudah melewati jembatan ini, tandanya bus

akan segera sampai di Simpang Bongkong dan aku akan mulai merapikan

pakaianku; jilbab berwarna gelap dengan motif bunga sakura, kaos dan outer

kebesaran, celana gunung yang juga kebesaran, dan sepatu merah muda yang

sudah kekuningan. Seluruhnya menjadi gaya favoritku setiap bepergian di Kapuas

Hulu.

Hanya ada dua warung di Simpang Bongkong, biasanya aku menunggu di warung

sekaligus rumah makan dan tempat cuci motor. Lebih ramai dan tempat duduknya

pun nyaman. Jika ingin diturunkan di warung ini, aku hanya perlu bilang, “Bang,

turun di kolam, ya.” Bukan artinya aku akan nyemplung ke kolam tapi maksudnya

berhenti di warung yang ada kolamnya.

Disinilah pertama kali aku bertemu dengan Kokom, yang kelak jadi saudara

angkatku, dia memboncengku saat pertama kali menuju Landau Badai. Seperti

yang tadi aku katakan, perjalanan ini masih panjang.

Pada saat kuliah, naik motor terlamaku adalah satu jam di atas motor, dari

Jatinangor menuju Lembang dibonceng oleh juniorku bernama Restu. Itupun

mampir dulu di UPI. Saat itu rasanya adalah naik motor terlelah karena aku

terbiasa tidur di perjalanan, sementara yang namanya naik motor membuatku

51
tidak bisa tidur nyenyak. Nah, perjalanan naik motor dari Bongkong menuju

Badai menjadi dua jam terlama dalam hidupku. Mungkin itu seperti jarak alun-

alun Bandung ke Lembang, tinggal lurus saja, tapi bedanya jalan disini adalah

jalan desa. Berbatu, berlubang, dan berdebu. Dan karena aku tengah menuju

daerah hulu yang berbukit-bukit, maka jalananpun menanjak dan menurun dengan

tajam. Saat musim hujan, ada beberapa titik luapan sungai yang membuatmu

harus mengangkut motor memakai kayu panjang atau dinaikkan ke dalam papan

yang sudah disiapkan warga, tentu ada biaya angkutnya.

“Di Jawa kamu pernah melihat jalanan yang seperti ini nggak, Sar?” tanya

Kokom.

Hanya orang Kalimantan yang mengatakan aku orang Jawa, maksudnya pulau

Jawa.

“Ada, sih. Tapi nggak sepanjang ini.” Jawabku sambil bergumam dalam hati, ya

Allah ini kapan sampainya. “Dan nggak securam ini tanjakannya.” Tambahku.

Ya, nun jauh di sebuah pedesaan di Kabupaten Garut sana, aku pernah punya

teman yang berasal dari Kamasri, di kaki gunung Kancil. Waktu itu jalan ke

Kamasri masih kecil dan menanjak, melewati perkebunan yang mirip hutan. Naik

motor disana kayak lagi main tril-trilan.

“Ya, beginilah jalan menuju desa kami, Sar, terpencil dan jauh dari keramaian,”

ujar Kokom kembali. “Tapi kalau kondisinya nggak seperti ini, kalian nggak akan

datang kesini, kan. Aku bersyukurnya disitu. Bisa bertemu kalian. Bisa mengenal

Indonesia Mengajar. Itu semua hal yang aku syukuri dari semua ini.”

52
Berkali-kali dia mengatakan bersyukur terhadap Indonesia Mengajar dan

pertemuan dengan Pengajar Muda, termasuk denganku, namun aku merasa bukan

siapa-siapa. Faktanya, aku belum melakukan apa-apa saat itu selain merepotkan

Kokom untuk menjemputku dengan motornya.

Ucapan Kokom itulah yang akhirnya membuatku berhenti bertanya-tanya dalam

hati mengenai ini kapan sampainya … desanya dimana, ya … ini kok hutan semua

… bukan berarti aku tidak menikmati perjalanan, ini hanya rasa cemas dan

antusias di perjalanan pertama. Di perjalanan kedua dan seterusnya, aku lebih

sering melamun dan berpikir mengenai rutinitasku di desa. Melalui hutan dengan

motor rasanya sudah biasa.

Selama perjalanan, motor yang aku tumpangi benar-benar berguncang. Ketika itu

aku memiliki benjolan di kepala karena jatuh di Putussibau. Benjolannya sebesar

bola kasti tepat di dekat ujung alis, aku mendapat perawatan di UGD dan di-

rontgen. Setelah diobati, seiring waktu benjolanku membaik. Lalu di Landau

Badai aku menemukan keanehan, benjolanku semakin mengempes namun sekitar

kelopak mataku lebam biru seperti korban KDRT. Ternyata guncangan di dalam

bus dan motor membuat cairan benjolanku memaksa turun ke area mata dan

membuatnya membiru. Aku jadi mengasihani dan menertawai diriku sendiri.

Perjalanan motor berhenti di desa sebelum Landau Badai, namanya Nanga Ngeri.

Kami berhenti disana karena akses darat dari Nanga Ngeri menuju Landau Badai

masih sulit dilalui. Itu artinya perjalanan berguncang naik turun sebelumnya

bukanlah apa-apa karena masih ada yang disebut 'sulit dilalui'.

53
Perjalanan terakhirku adalah menaiki sepit, diambil dari

kata speed atau speedboat. Tapi jangan bayangkan speedboat canggih yang biasa

ditemui di Kepulauan Seribu. Ini adalah perahu biasa yang dijalankan

menggunakan mesin generator. Seperti yang ada di film Tanah Surga Katanya.

Perahu yang menjemputku dari Nanga Ngeri adalah perahu Bapaknya Ayu, masih

saudaranya Kokom dan merupakan orangtua angkat partner-ku di Desa Nanga

Lungu.

Lagi-lagi ini adalah pengalaman pertamaku naik perahu di sungai. Sebelumnya

pengalamn naik perahuku hanya sebatas berwisata di pantai Pangandaran. Aku

masih ingat adrenalin saat perahu terangkat menerjang ombak Pangandaran.

Serasa menaiki Black Pearl di film Pirates of Carribean. Sementara di sungai

Ensilat, adrenalinnya adalah kami menaiki perahu melawan arus karena

perjalanan ini menuju hulu sungai. Jika sebelumnya aku digoyang di dalam bus

dan di atas motor, maka kini perahu menggoyangkanku di antara hutan-hutan

sungai Ensilat.

Sungai yang mengalir di kaki Bukit Sagu ini dihiasi pepohonan Sengkuang yang

tegap berdiri bagai prajurit penjaga alam. Namun, saat masih di hilir, terlihat

warna keruh dari pencemaran tambang emas. Ada beberapa titik pepohonan yang

juga terlihat gundul. Sisa perlakuan eksploitasi hutan dari perusahaan yang pernah

lama beroperasi disini. Tapi makin ke hulu, keheningan hutan dengan berbagai

suara binatang memberikan aura pedalaman yang kental.

Aku menjalani skema perjalanan tersebut selama beberapa bulan saja, karena jalan

darat dari Nanga Ngeri menuju Landau Badai mulai diperbaiki sehingga aku tak

54
perlu memakai perahu lagi. Toh aku tidak bisa berenang jika terbawa arus saat

mendorong perahu yang mogok. Saat itu terjadi, aku hanya diam di atas perahu

yang bergoyang melawan arus dan menerjang bebatuan di celah-celah Gurung

Ngeri, sementara yang lain turun untuk mendorong perahu. Like a princess and I

hate that.

Jadi, kusimpulkan bahwa perjalanan Putussibau menuju Landau Badai adalah

perjalanan yang dipenuhi oleh guncangan dan goyangan. Saat aku menuliskan ini

aku sendiri tidak menyangka bahwa aku pernah melalui perjalanan ini berkali-kali

selama satu tahun.

KEARIFAN LOKAL

Tepung Tawar

Hari-hari pertama Pengajar Muda diisi dengan agenda kandau (berkunjung) dan

pisah-sambut. Pak Salikin meminta maaf kepadaku karena acara pisah-sambut

tidak bisa meriah karena kedatanganku bertepatan dengan bulan Ramadhan. Tapi

menurutku itu sudah amat meriah karena seluruh warga desa hadir berkumpul di

rumah Pak Salikin.

Asep memberitahuku bahwa aku harus menyiapkan baju yang siap kotor. Nah loh,

mulai bertanya-tanya mau diapain. Yang terpikirkan hanya adat siraman, mungkin

aku akan disiram-siram. Tapi apapun itu yang jelas aku sudah siap. Seperti saat

melewati sesi adaptasi budaya waktu pelatihan.

Di setiap acara pisah-sambut, kami akan diberi kesempatan untuk berkenalan dan

memberikan kata sambutan. Sebelumnya, saat acara pisah-sambut di Kabupaten,

55
kami menampilkan profil kami dengan video. Berniat untuk menampilkan hal

yang unik, masing-masing dari kami menarikan tarian khas daerah kami sebelum

memperkenalkan diri dan aku menarikan lagu Cingcangkeling.

Mengenang keunikan perkenalan itu, aku memikirkan perkenalan yang berkesan.

Tapi aku tidak mungkin menari disini, tidak ada musik dan aku akan mati gaya.

Maka aku memilih untuk menyanyikan lagu tentang Kapuas Hulu yang baru aku

dengar beberapa hari.

"Laju, laju... perahu laju... mutar haluan hilir ke hulu. Rindu, rindu ... hatiku rindu

... ingat sungai Kapuas Hulu...."

Mereka menyambutku dengan tepuk tangan saat aku bernyanyi, rasanya gugup

dan wajahku memanas. Buru-buru aku menghentikan nyanyian dan mengatakan,

"Maaf aku baru hapal bait pertama saja." Setelah terkekeh kecil aku pun

memperkenalkan diri dan memberikan kata sambutan seadanya.

Dan di akhir acara ritual itu pun datang, namanya tepung-tawar. Tradisi menolak

bala yang menjadi bagian dari budaya melayu. Biasanya diadakan dalam acara

pernikahan, sunatan, syukuran, menyambut tamu, dan seperti kami, menyambut

PM yang datang.

Malam itu aku dipersilakan duduk dengan dua baskom di hadapan. Satu baskom

berisi cairan tepung beras, dan satunya lagi dedaunan. Dilengkapi dengan pisau

dapur. Seharusnya aku mulai was-was melihat ada pisau dalam ritual ini, tapi

mengingat aku bukanlah PM pertama dan PM sebelumnya pasti sudah melalui ini

maka aku hanya mengikuti instruksi dengan sigap.

56
Asep ikut duduk di sampingku dan mulailah antrian warga mengular menghampiri

kami. Satu persatu warga menyalamiku, mengambil dedaunan, menyelupkannya

pada air beras, dan dicipratkan padaku sambil berdoa. Setelahnya, pisau

disentuhkan ke bagian tubuhku. Hanya disentuh, beberapa hanya mendekatkannya

dengan tergesa karena antrian yang panjang.

Inilah salah satu pengalaman paling berharga dalam perantauan ini. Merasakan

ritual adat budaya Melayu ditambah suara musik Jepin yang menemani malam

pertamaku di Landau Badai.

Gawai Dayak

Sebelum gawai dipublikasikan sebagai padanan kata gadget, aku lebih dulu

mengenal kata gawai dayak. Jadi awalnya agak aneh saat sekarang orang-orang

menyebut kata gawai tapi bukan sedang membicarakan gawai dayak.

Kata gawai yang merupakan pembentuk kata pegawai memiliki arti kerja atau

pekerjaan, nah sementara itu sejarah gawai dayak memiliki hubungan dengan

pekerjaan sebagai petani karena pada sejarahnya gawai dayak adalah sebuah pesta

panen raya. Hubungan gawai dengan gadget? Yaah, itu biar dibahas orang lain.

Gawai adalah tradisi tahunan suku Dayak dan sudah jadi perayaan resmi sampai

tingkat pemerintah provinsi yang dikenal dengan nama Pekan Gawai Dayak

(PGD), tapi selama tinggal disana aku belum pernah menghadiri gawai Dayak

karena saat tinggal disana gawai dayak hanya diselenggarakan oleh setiap sub

suku dayak. Biasanya tingkat kecamatan yang menggabungkan desa-desa yang

berisi suku dayak. Gawai dayak tingkat kabupaten yang menggabungkan semua

57
suku dayak se-Kapuas Hulu baru mulai diselenggarakan bulan Juli 2018 oleh

Forum Ketemenggungan Kapuas Hulu. Berita baiknya lagi forum ini sedang

melakukan pembangunan Rumah Betang yang merupakan rumah adat suku

Dayak. Disana memang masih ada beberapa rumah betang yang dijadikan hunian,

beruntungnya aku pernah singgah di rumah betang Melapi dan Nanga Nyabau.

Kembali lagi ke gawai dayak. Aku memang tidak punya banyak cerita mengenai

gawai selain dapat dari kata orang. Katanya suka ada lomba-lomba permainan

khas dayak seperti pangkak gasing, katanya banyak tarian dan pertunjukan suku

dayak, katanya banyak pameran yang isinya mandau, sape, baju dayak, dan semua

yang dayak banget, dan kata-kata yang lainnya yang bisa juga ditemukan di mesin

pencari.

Intinya sih ya, gawai dayak adalah budaya bersyukur, budaya berkumpul, dan

budaya untuk menyadarkan kepemilikan akan apa yang harus dijaga, diantaranya

yang harus dijaga ya budaya itu sendiri. Dan juga menjaga keserasian

hubungannya dengan alam dan segala macam makhluk ciptaan Tuhan.

Belepus-lah, Nanti Kempunan!

Berada di tanah orang, dengan budaya berbeda, sudah pasti membuat toleransiku

meningkat. Termasuk dalam hal menerima mitos dan kepercayaan. Di Badai dan

beberapa desa lain, ada budaya belepus. Ada juga yang melafalkannya melepus.

Asal katanya adalah pusa, lalu beberapa mengatakan bepusa hingga ada yang

menyebutnya jadi belepus.

Oke, akan kujelaskan. Jadi, jika ada makanan atau minuman yang sudah tersaji di

depan kita dan kita tidak bisa memakan atau minumnya karena suatu alasan, maka

58
kita harus belepus dengan cara menyentuhkan telapak tangan kita pada makanan

tersebut. Ada pula yang mengatakan cukup menyentuh bagian bawah tempat

makannya saja.

Di pelajaran adab bertamu yang kudapatkan di madrasah, jika kita disuguhi

makanan atau minuman memang tidak boleh ditolak. Minimal diseruput lah.

Bahkan kalau makanan sudah tersaji padahal waktu sholat sudah datang maka

disarankan untuk makan terlebih dahulu. Mungkin itu juga keyakinan yang

awalnya mereka tahu, namun meluas dengan harusnya dilakukan belepus, kalau

tidak akan kempunan.

Kata kempunan dipakai seperti kata pamali. Ditujukan pada sesuatu pantangan

atas keyakinan dari leluhur, jika tidak diikuti kamu akan celaka. Jadi ada beberapa

kepercayaan bahwa kita akan mendapatkan musibah di perjalanan jika tidak

melakukan belepus. Hanya beberapa warga, terutama orang tua, yang masih

menjaga tradisi ini. Saat aku disuguhi makanan dan aku bilang sudah kenyang

atau sedang puasa, maka mereka akan bilang. "Belepuslah nanak kempunan."

Kerupuk Basah

Angkat ke danau pakai perahu

Ngigak ikan bersama-sama

Mau tahu pelabor khasku

Kerupuk basah yak meh namanya

- lagu kerupuk basah

59
Waktu tinggal di Kapuas Hulu aku belum hobi memasak, jadi aku belum pernah

mencoba membuat kerupuk basah sendiri. Tapi kalau ditanya apakah rasanya

enak, hmm menurut lidahku itu adalah makanan disana yang paling enak dan

bikin nagih.

Nama lokal dari kerupuk basah ini temet. Pertama kali dengar kerupuk basah itu

langsung terbayang seblak, kerupuk mentah yang dilayukan. Iya, nggak? Tapi

ternyata bentuknya nggak ada kerupuk-kerupuknya. Temet ini dikatakan kerupuk

basah karena ini adalah adonan kerupuk yang belum di-finishing. Untuk jadi

kerupuk, adonan tepung dan ikan belida atau toman akan dipotong bulat pipih,

dikeringkan, dan jadilah kerupuk mentah. Tapi karena hanya sampai pengukusan

saja jadi disebutlah kerupuk basah.

Meski temet sudah ada di beberapa kabupaten di Kalbar, tapi menurutku temet

Kapuas Hulu tetap juaranya. Ada banyak juga penjual temet yang biasa

mengemas untuk dikirim atau dibawa untuk oleh-oleh, tapi dengan catatan

packing-nya harus rapi karena temet baunya khas, bisa nggak dikasih izin masuk

kabin pesawat, loh.

MATA PENCAHARIAN

Nugal

Setahun menjadi Pengajar Muda rasanya tidak lengkap kalau belum pernah

ikut nugal dan aku berkesempatan untuk ikut nugal di ladang Pak Ahmad, salah

satu guru di SDN Landau Badai. Sore itu aku berangkat bersama Kokom. Hampir

60
menjelang magrib, jadinya suasana menuju ladang yang terletak di tengah hutan

sedikit horor.

Di sepanjang jalan aku melihat banyaktanah dengan bekas pembakaran. Katanya

itu adalah huma/ladang yang dipersiapkan untuk menanam padi. Pohon-pohon di

area ladang ditebang kemudian dibakar, namanya nunu huma. Mereka perlu

membakarnya untuk membersihkan ladang, lalu sisa pembakaran itu bisa menjadi

pupuk alami untuk menyiapkan ladang agar subur.

Kegiatan ini menjadi dilematis karena bencana kabut asap kemudian muncul di

akhir tahun 2015. Beberapa kali sekolah kami diliburkan karena tidak mungkin

beraktivitas di luar rumah. Jarak pandang hanya beberapa meter dan aku bisa

merasakan debu menyapu wajah. Ada 3 hal yang dianggal menjadi penyebab

utama kabut asap; pembakaran hutan oleh perusahaan sawit, pembakaran ladang

untuk bertani, dan kemarau panjang. Tapi aktivitas membakar ladang tidak

sebanding dengan perusahaan sawit saat membuka lahan. Di tahun 2016 spanduk

berisi peringatan untuk tidak membakar ladang terpasang di desa. Entah apakah

sekarang mereka masih membakar ladang atau tidak.

Setelah nunu huma, maka pemilik ladang bersiap untuk nugal. Kegiatan nugal ini,

meski untuk ladang pribadi, dilakukan beramai-ramai. Jadi beberapa hari

sebelumnya Pak Ahmad sudah mengumumkan tanggal berapa dia akan nugal, dan

berangkatlah puluhan warga di tanggal tersebut ke ladang Pak Ahmad. Muda, tua,

laki-laki, perempuan. Nugal ini dilakukan pagi sekali, maka kami menginap di

rumah kayu yang terletak di ladang Pak Ahmad. Malamnya kami membuat api

unggun. Kehangatannya meramaikan malam kami.

61
Pagi hari setelah sarapan yang dibuat oleh para ibu-ibu, kami memulai nugal.

Proses awal dari menanam padi. Bapak-bapak dan pemuda membawa tugal, kayu

yang ditajamkan, untuk membuat lubang pada tanah. Yang perempuan

menaburkan benih padi di lubang-lubang itu. Sesekali aku membantu menaburkan

benih padi. Sesekali aku sibuk dengan kamera untuk mengabadikan momen itu.

Agenda foto-foto selalu tak terlupakan. Di siang hari, foto-foto kami

menampilkan wajah penuh bekas arang nunu huma. Hasil dari keisengan tangan-

tangan jail yang juga jadi pertanda akhir dari nugal.

Noreh

Selain berladang, mayoritas mata pencaharian warga Badai adalah petani karet

atau penoreh. Di setiap ladang warga ditanami pohon karet. Di

dekat lanting terikat karung-karung berisi getah karet yang dibiarkan

mengambang di sungai agar tetap lembab. Di belakang rumah Kokom, ada tong

besar berisi getah karet. Hampir semua warga Badai tahu bagaimana

caranya menoreh.

Aku pernah mencoba menoreh saat ikut Kokom dan keluarga berladang. Memang

tidak mudah dan butuh keterampilan, tapi kegiatan menoreh ini membuatku jadi

mudah menjelaskan mengenai struktur tumbuhan pada anak-anak. Mereka sudah

familiar untuk menoreh kambium hingga mengeluarkan lateks.

Konon di tahun 2010 harga karet melejit hingga Rp 15.000/kg. Kenaikan harga

karet itu membuat banyak warga Badai yang mendadak kaya. Beberapa warga

ramai membeli alat elektronik baru atau motor baru dari hasil penjualan getah

62
karet. Tapi memasuki tahun 2012, harga karet menurun dari mulai Rp 8.000/kg

sampai ketika aku datang di tahun 2015 hanya dihargai Rp 3.000/kg. Itu adalah

harga yang dibayar oleh pengepul, warga tidak bisa menjual langsung ke pabrik

yang terletak di Sintang karena hasil panen yang terbatas, sementara pabrik hanya

menerima bahan olah karet dalam jumlah ton.

Jika kenaikan harga karet membuat warga mendadak kaya, maka turunnya harga

karet yang drastis membuat warga patah semangat. Entah apa pastinya penyebab

harga karet bisa terjun bebas, mungkin memang benar ada penurunan harga karet

di pasar global, mungkin juga benar bahwa kualitas getah karet di Indonesia mulai

menurun. Tapi mayoritas warga masih menggantungkan diri pada harga karet.

Beberapa ada yang mulai mencari usaha lain dari mulai berdagang hingga menjadi

pekerja di lahan sawit, namun menjadi penoreh adalah jati diri mereka dan

harapan akan stabilnya harga karet masih mereka pegang.

Ingin rasanya bisa memancing mereka agar bisa membuat inovasi lain dari bahan

olah karet, atau mengajak mereka menciptakan lahan pekerjaan baru. Tapi aku

bukan manusia serba bisa dan penuh ide. Berkebun saja aku tidak bisa. Kadang

aku bercuap-cuap di depan murid SMP bahwa suatu saat mereka bisa

memperbaiki sendiri kondisi perekonomian keluarga mereka dengan cara yang

lebih baik, atau menciptakan solusi dari keterbatasan listrik dan sinyal mereka.

Kadang rasanya seperti sales mimpi. Beberapa yang mendengarnya mungkin

terbuai, beberapa lagi mungkin merasa aku membual. Hmmm.

Nge-Jek

63
Selain bertani, menoreh, berdagang, dan menjadi pekerja sawit, ada satu mata

pencaharian lagi yang populer di Badai. Bekerja di tambang emas tradisional atau

menjadi pekerja dompeng. Orang-orang sering menyebutnya nge-jek. Aku nggak

terlalu yakin bagaimana penulisannya

Pencarian pegawai tambang emas ini dilakukan dari mulut ke mulut ketika ada

bos tambang emas yang sedang membutuhkan orang. Lebih seringnya lokasi

penambangan emas dilakukan di desa Lubuk Rubin, cukup dekat dari Badai. Ada

juga yang menambang sampai lokasi terjauh di hulu sungai Kapuas, Bungan Jaya.

Bahkan ada yang sampai pergi ke Sumatera untuk menjadi pekerja dompeng.

Di Badai, anak-anak sekolah biasa menghabiskan liburan kenaikan kelas

sambil nge-jek. Biasanya yang diperbolehkan untuk pergi nge-jek adalah mereka

yang baru lulus kelas 6 SD sampai anak SMP. Tugas mereka disana adalah

mencangkul, memindahkan batu besar, dan memegang semprotan. Mengenai hal

ini, aku pernah meminta Rudiman, anak murid kelas 9 SMP, untuk menuliskan

esai tentang pekerjaan sampingannya itu.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Oleh Rudiman

Kerusakan alam dan lingkungan kini sudah makin memprihatinkan. Seperti yang

terjadi di sekitar desaku yaitu desa Landau Badai. Salah satu penyebabnya

adalah penambangan emas secara ilegal. Kerugian yang disebabkan oleh

kegiatan ini beraneka ragam baik material maupun fisik.

Kerugian secara fisik berupa maraknya terjadi penyakit kulit, infeksi telinga,

infeksi mata, dan lain sebagainya. Penyakit ini pada umumnya disebabkan para

64
pekerja yang berada di dalam lubang galian terkena air yang sudah tercampur

dengan air raksa.

Kerugian secara material berupa maraknya lubang-lubang besar yang timbul

akibat bekas galian dan dalam waktu yang cukup lama tidak dapat kembali

seperti sediakala. Selain itu, bertambah banyaknya dataran rendah dan hutan

gundul terjadi karena biasanya masyarakat melakukan penambangan di lereng-

lereng, bukit, bahkan di atasnya. Penggundulan hutan sendiri terjadi karena ini

merupakan salah satu bagian dari proses kerja.

Proses penambangan yang pertama adalah melakukan penebangan pohon-pohon

di sekitar wilayah yang akan dijadikan tempat penambangan. Hal ini

dimaksudkan agar pada saat bekerja tidak ada yang membahayakan jiwa pekerja,

namun walaupun demikian tidak jarang terjadi kerugian jiwa seperti ditimpa

tanah, ditimpa dahan pohon besar yang sudah lapuk, dan berbagai macam faktor

lainnya yang bisa menyebabkan kerugian jiwa.

Ancaman bagi daerah yang berdekatan dengan wilayah penambangan adalah

semakin berkurangnya daratan, kurangnya wilayah pemukiman, dan akan lebih

mudah banjir dikarenakan hutan yang sudah gundul tidak direboisasi atau

dilakukan penanaman kembali. Sedangkan ancaman bagi pemuda-pemudi adalah

rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan karena sebagian besar

pemuda dan pemudi sebagai penentu masa depan bangsa di daerah ini putus

sekolah. Yang lebih memprihatinkan adalah banyak anak-anak usia sekolah

sudah mengikuti kegiatan penambangan baik usia SD, SMP, dan bahkan yang

terbanyak adalah SMA.

65
Di penambangan emas juga banyak pengaruh yang menjerumuskan kita ke hal-

hal negatif seperti merokok dan minum-minuman keras. Kebanyakan mereka yang

merokok dikarenakan merasa sudah bisa mendapat uang sendiri. Selain itu juga

pengaruh dari teman dan lingkungan.

Kemudian salah satu penyebab banyak warga yang lebih memilih menambang

emas adalah merosotnya nilai harga beli getah karet, yang menjadi andalan

utama masyarakat di desaku. Kalau dibandingkan antara menoreh dengan

menambang emas, saya pribadi khususnya lebih memilih menoreh dikarenakan

jika menoreh tidak banyak memakan tenaga dan waktu. Sebaliknya menambang

emas lebih banyak memakan tenaga dan waktu.

Kesimpulannya adalah menambang emas hanya mendapat sedikit keuntungan

namun mendatangkan banyak kerugian. Harapan ke depannya semoga para

penambang emas bisa menerapkan teknik lestari yaitu mengelola untuk

kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan mendatang. Selain itu juga

tetap memperhatikan keseimbangan dan kelestarian ekosistem alam dan

khususnya lingkungan di sekitar kita.

Dampak dari penambangan sendiri sudah dirasakan di desaku Landau Badai

karena kegiatan penambangan yang dilakukan di Hulu sungai Silat. Sampai-

sampai sekarang air di sungaiku seperti ada jadwalnya, yaitu Senin-Kamis itu

jadwalnya air keruh. Jumat-Minggu jadwalnya lumayan jernih. Yang

dikhawatirkan adalah masalah penyakit kulit yang diperkirakan akan melanda

warga Landau Badai beberapa tahun ke depan yang disebabkan mandi, minum,

dan mencuci di air yang sudah tercemar.

66
Naudzubillahi mindzalik!

Nuba

Nuba adalah kegiatan menangkap ikan saat sungai sedang surut-surutnya. Dalam

literatur Tiongkok, Nuba dikenal sebagai dewi kekeringan.

Nyatanya, nuba memang hanya bisa dilakukan saat musim kemarau panjang, atau

saat air sungai hanya sepinggang orang dewasa. Menurut warga,

disebut nuba karena mereka memakai tuba akar sebagai racun alami yang

ditebarkan ke sungai.

Tuba digeprek atau dihancurkan sampai halus lalu diperas airnya untuk nanti

ditenggelamkan ke sungai. Ekstrak tuba itu bisa membuat ikan mabuk hingga

mengambang di sungai dan mudah ditangkap. Katanya kegiatan itu tidak akan

membuat pencemaran di sungai karena bahan yang dipakai sangat alami.

Entahlah, aku belum terlalu memahami bahan-bahan alami disana.

Kegiatan nuba ini akan diawali di desa paling hulu dari aliran sungai Ensilat. Jika

menunggu aliran tuba sampai ke Badai, bisa jadi kita kehabisan, maka di hari

ketika nuba ramai dilaksanakan di Nanga Lungu, desa sebelah hulunya Badai,

kami pun beranjak kesana. Aku pergi bersama rombongan Pak Rojali, Kepala

SMPN Satap Landau Badai, dan beberapa murid SMP. Kebanyakan dari kami

membawa tombak dan jaring ikan. Bersamaan dengan rombongan dari desa yang

lebih hilir, kami ikut memenuhi sungai.

Saat itu rasanya tengah berlangsung hari raya sungai karena setiap meternya

dipadati orang yang berburu ikan. Lebih dari 3 desa warga yang datang mewakili.

Tujuanku sendiri kesana sebenarnya hanya menonton dari atas perahu dan

67
sesekali merecoki anak-anak yang mencari ikan. Aku tak ikut menceburkan diri

ke sungai karena akan kacau kalau tiba-tiba aku tenggelam.

Aku cukup beruntung bisa menyaksiksan tradisi nuba. Keempat pendahuluku

tidak ada yang pernah ikut nuba karena kemarau tak begitu panjang di tahun

mereka bertugas. Mereka tidak merasakan nuba, pun tidak merasakan kabut asap.

Ya, nuba adalah berkah lain dari kemarau panjang setelah musibah kabut asap

yang kami alami.

Pekerja Sawit

PT Sinar Mas sudah membuka lahan sawit di Kecamatan Silat Hulu. Kabarnya

desa Landau Badai sudah sering ditawari untuk tanahnya dibeli dan dijadikan

kebun sawit, tapi warga menolak. Kabarnya lagi ada negosiasi untuk warga yang

ingin menjadi pekerja sawit maka harus ikut mengupayakan perluasan kebun

sawit alias ada tanah yang bisa dibeli perusahaan.

Warga di desa lain yang sudah dikelilingi kebun sawit ada yang berpendapat

bahwa warga Badai tidak berpikir tentang keuntungan tanahnya dijadikan kebun

sawit. Dapat uang dari jual tanah, dapat juga pekerjaan di kebun sawit, pikir

mereka yang sudah menyerah dengan kebun karetnya.

Meskipun tanah Badai tidak tersentuh perusahaan sawit, ada beberapa warga

Badai yang menjadi pekerja sawit di desa lain. Hal itu membuat mereka harus

meninggalkan rumah berhari-hari karena jarak yang ditempuh tidak

memungkinkan untuk pulang pergi dalam sehari.

68
Di suatu kegiatan sosialisasi PTN untuk anak SMA, kami pernah mendatangi

SMA dimana desanya sudah dikelilingi kebun sawit. Lalu aku melempar

pertanyaan kepada mereka, "Jadi, untuk apa kalian sekolah? Jika untuk makan

kalian tinggal turun ke sungai, untuk mendapatkan nasi kalian tinggal pergi ke

ladang, dan untuk mendapatkan uang kalian tinggal bekerja di perusahaan sawit

atau tambang emas. Masih ada yang berpikir untuk melanjutkan sekolah?"

Aku tidak berekspektasi tinggi dengan respon mereka. Mungkin ada yang

mengiyakan bahwa tidak seharusnya mereka sekolah, toh mereka tinggal di desa

yang film motivasi semacam Laskar Pelangi bukan tontonan utama. Tapi ternyata

ada seorang siswa yang dengan tegas mengangkat tangannya.

"Itu memang benar, Kak. Ada tambang emas dan kebun sawit di sekeliling kami.

Tapi itu semua bukan milik kami. Kami punya ladang dan sungai untuk makan,

tapi hidup bukan hanya untuk makan. Uang bisa didapatkan dari bekerja untuk

orang lain, tapi ada yang lebih berharga dari itu semua, Kak. Yaitu ketika kami

punya bekal untuk otak kami, ketika sekolah bisa membuat kami pintar dan kami

bisa menjadi penguasa di tanah kami sendiri."

Yeah, itulah Boy.

TEMPAT WISATA

Di suatu pagi, aku dan anak-anak akan melakukan karyawisata. Kegiatan yang di

akhir pekan sekaligus menjadi wahana belajar dari alam. Kami menuju Gurung

Inggud, sebuah jeram kecil yang letaknya jauh di dalam hutan Landau Badai. Bu

Kokom, Pak Ruslan, dan Bu Nurlela juga turut mendampingi. Anak-anak begitu

bersemangat, meskipun jalan setapak yang kami lalui cukup jauh.

69
Setelah berjalan sekitar satu jam, akhirnya kami sampai juga di tujuan. Ketika

anak-anak beristirahat, aku mengajarkan kepada mereka perlunya menjaga

kelestarian lingkungan. Menurutku, ini penting, mengingat pengalaman bencana

banjir yang sering melanda desa beberapa tahun belakangan ini.

Anak-anak sangat riang, mengakrabkan diri dengan air Gurung Inggud yang

segar. Pak Ruslan pun turut larut dalam keceriaan anak-anak. Rupanya selain

mandi, ia juga asyik menjaring ikan di Gurung Inggud. Dengan belajar dari

alam, aku yakin kesadaran untuk menjaga kelestarian alam pada anak-anakku

akan tumbuh sejak dini.

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Gurung Inggud adalah ikon Landau Badai. Siapapun pendatang yang sedang

berkunjung ke Landau Badai, pasti akan dikenalkan kepada Gurung Inggud.

Airnya jernih dan banyak bebatuan besar dengan aliran sungai yang deras.

Berkali-kali aku bermain di Gurung Inggud, namun tidak berhasil membuatku

bisa berenang. Padahal ada dua target pribadiku yang ingin kucapai di Kapuas

Hulu. Bisa berenang dan bisa mengendarai motor. Tiga bulan di Kapuas Hulu,

aku bisa mengendarai motor. Tapi sampai setahun, aku tetap tidak bisa berenang.

Gurung Inggud sudah dimasukan sebagai objek wisata dalam program desa

Landau Badai. Masih perlu meningkatkan akses informasi dan transportasi untuk

mengenalkan Gurung ini. Saat satu tempat terkenal dengan objek wisatanya yang

layak dikunjungi, lokasi itu akan ramai dan keramaiannya akan meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Setidaknya orang yang main ke Gurung Inggud bisa jajan

es teh manis di Landau Badai, kan.

70
Lokasi wisata juga jadi perhatian khusus di tingkat kabupaten. Salah satu alasan

orang-orang belum familiar dengan nama Putussibau atau Kapuas Hulu adalah

karena jarang ada wisatawan yang datang kemari. Tidak banyak media yang

memberitakan tentang kota ini. Mereka yang datang biasanya dilatarbelakangi

penelitian atau acara penjelajahan. Saat kami mendapatkan tamu yang datang

untuk menjadi pemateri pun kami tidak punya banyak pilihan tempat untuk

mengajak mereka jalan-jalan.

Pilihan utama untuk menikmati pemandangan Kapuas Hulu adalah Taman Alun,

tepi sungai Kapuas di bawah jembatan yang menghubungkan Putussibau Utara

dan Selatan. Konon di tepi sungai ini tumbuh pohon Sibau dan menjadi muasal

kota ini dinamakan Putussibau, yaitu tempat pohon Sibau yang terputus oleh

sungai Kapuas. Tempat ini juga dikenal sebagai alun-alun kota.

Lokasi wisata lainnya adalah Mupa Kencana "Danau Piang Kuak" yang biasa

kami sebut Danau Mupa. Satu-satunya tempat di Kapuas Hulu yang menyediakan

Bebek Engkol, flying fox, dan fasilitas outbond lainnya. Tempat ini pernah kami

pakai saat pelatihan bersama guru-guru di Kapuas Hulu.

Kalau mencari spot yang instagramable dan Kalimantan banget pilihannya adalah

rumah adat melayu yang dikelola oleh MABM (Majelis Adat Budaya Melayu)

dan rumah betang. Di Putussibau masih ada rumah betang yang difungsikan untuk

hunian yaitu Rumah Betang Melapi Patamuan yang ditempati oleh Suku Dayak

Taman, sementara rumah betang untuk tempat wisata baru mulai dibuat pada

tahun 2018. Bentuk rumah betang ini juga bisa kalian temui di TMII, sih.

71
Jika memiliki waktu yang cukup untuk menjelajahi Kapuas Hulu, maka banyak

danau, riam, sungai, gurung, hutan yang bisa didatangi seperti Taman Nasional

Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum. Jaraknya cukup jauh dari

Putussibau dan akan membuat kepayahan jika hanya merencanakan perjalanan

satu hari pulang pergi. Oh ya, Danau Sentarum ini dikenal memiliki keunikan

sebagai danau yang akan mengering seperti padang rumput saat musim kemarau

tiba.

Di sisi lain, temanku selalu berpendapat bahwa keindahan alam di Kapuas Hulu

tidak selalu baik jika dijadikan objek wisata. Dengan resiko pencemaran dan

kerusakan alam yang akan terjadi saat banyak manusia yang datang kemari, hal itu

tidak setimpal dengan keuntungan pariwisatanya.

Menurutku disanalah seni tinggal di Bumi dengan manusia sebagai pemeran

utamanya. Segala hal yang dihadirkan di dunia ini memang menjadi tempat

manusia belajar. Jika pembukaan objek wisata baru malah membuat kesalahan

bagi manusia, maka sejatinya manusia harus terus belajar berbuat benar. Dan itu

tidak akan berhenti selama Bumi berputar. Pertanyaannya adalah mungkin nggak,

sih, manusia akan sadar? Apa mungkin mereka berhasil mendapat pelajaran?

Bisakah manusia konsisten berbuat baik?

KAPUAS BEKANDAU

Berbicara antara pedesaan dan Putussibau bukan hanya jauh dari segi jarak,

namun juga fasilitas dan informasi yang diterima. Beberapa desa di Kapuas Hulu

masih disebut pedalaman karena memang jarak dari satu desa ke desa lainnya

72
saling berjauhan. Maka menjadi penyambung lidah dan penyampai kisah dari desa

ke Putussibau menjadi bagian dari kebiasaan kami.

Dalam format kegiatan, kami pun mengajak beberapa masyarakat di Putussibau

untuk mengunjungi daerah-daerah penugasan kami. Tim ini diberi nama

Penggerak Pendidikan Kapuas Hulu dan kegiatannya bernama Kapuas Bekandau.

Beberapa diantaranya ada Aday, Awick, Beni, Oddy, Wandi, Novi, Nella, dll dari

Putussibau Art Community (PAC), ada Yetry dari pegawai pemerintah, Pak Dede,

Bu Dina, Pak Fahmi, dll dari Guru Figur, dan juga Kak Dwi dari SD IT Insan

Mulia Putussibau. Dalam perjalanannya, anggota dan simpatisan penggerak ini

bertambah. Bahkan ada kegiatan Kapuas Bekandau yang diikuti oleh Ibu Bupati

beserta anaknya dan Kepala Dinas Pendidikan.

Bekandau adalah bahasa hulu dari berkunjung. Dalam acara kandau ini ada dua

kegiatan utama, pertama adalah Kelas Inspirasi seperti yang sudah pernah di

adakan di kota-kota besar. Profesi yang ditampilkan di depan anak-anak adalah

musisi dari Putussibau Art Community (PAC), polisi, tentara, dan pegawai

pemerintah. Di beberapa tempat juga ikut hadir tenaga kesehatan bahkan pelukis.

Kegiatan kedua adalah sharing positif yang tujuannya adalah berbincang dengan

orang-orang penting di desa seperti kepala desa, kepala adat, kepala sekolah,

kepala komite, sesepuh, dan tokoh desa lainnya. Sharing ini juga diikuti dengan

pemberian buku-buku yang disalurkan oleh para penggerak.

Total ada sepuluh desa penempatan PM yang didatangi oleh Penggerak

Pendidikan Kapuas Hulu. Dari proyek perjalanan ini aku hanya ikut mendatangi

beberapa desa saja. Diantaranya ke Desa Semalah yang berada di Kecamatan

73
Selimbau, melewati Danau Sentarum yang mengering saat kemarau dan meluap

saat penghujan. Di Semalah aku sempat menjadi guru tamu di kelas 5 yang isinya

hanya 7 orang. Berbeda dengan Desa PB Penai di Kecamatan Silat Hilir. Desa

yang mayoritas warganya keturunan Dayak Cina ini memiliki sekolah dengan

jumlah murid yang banyak, satu kelas muridnya bisa puluhan. Berdekatan dengan

Penai, aku ikut perjalanan ke Dusun Sungai Putat. Sebuah dusun yang masih

berupa hutan dan dikelilingi kebun sawit dengan jumlah rumah yang tidak

banyak.

Tempat lain yang kudatangi adalah Nanga Lauk. Dialiri langsung oleh Sungai

Kapuas di pinggir desanya, jalanan Nanga Lauk memakai gertak kayu untuk

keperluan mengambil air, mandi, mencuci, menaruh sampan, dan untuk tempat

memancing ikan. Jadi selama di Nanga Lauk kita sama sekali tidak berjalan di

atas tanah melainkan di atas kayu yang dibangun langsung di atas sungai Kapuas.

Suasana yang sama yang aku dapatkan di Semalah dan Jongkong. Tapi Jongkong

bukan desa penempatan PM, aku pernah kesana karena mendampingi kontingen

MTQ Silat Hulu di tahun 2015.

Akhirnya tiba giliran Landau Badai yang didatangi oleh rombongan Kapuas

Bekandau. Jauh-jauh hari sebelumnya aku sudah menyiapkan anak-anak dan

warga desa untuk menampilkan hal terbaik yang mereka punya, seperti keahlian

tari anak-anak untuk membuka Kelas Inspirasi dan pertunjukan musik Jepin untuk

menemani kegiatan sharing positif.

Di hari Bekandau, aku menunggu para penggerak dan teman-teman PM di Nanga

Dangkan, Silat Hulu, sembari menjemput Pak Polisi dan Babinsa yang akan ikut

74
mengisi Kelas Inspirasi. Sore itu hujan turun tanpa jeda, jalanan desa licin dan

becek. Menjelang magrib datanglah kabar sebuah truk pengangkut pasir terjebak

di jembatan kayu menuju Landau Badai. Truk itu membuat mobil tidak mungkin

bisa lewat, sementara rombongan dari Putussibau direncanakan memakai mobil

sampai Landau Badai.

Rombongan Kapuas Bekandau dari Putussibau sampai di Nanga Dangkan saat

hari sudah gelap. Pada saat itulah aku harus melakukan decision making dengan

cepat. Apakah aku akan meminta warga desa menjemput kami naik perahu

dengan resiko air sungai meluap karena hujan, ataukah kami menginap saja di

Dangkan dan berangkat besok subuh, atau aku harus mencari warga Dangkan

yang bisa mengantarkan kita menaiki motor?

Aku memilih yang ketiga, karena menaiki perahu malam hari dari Dangkan

hingga Badai terlalu beresiko, ada riam yang cukup sulit dilalui bahkan saat cuaca

sedang baik, menginap pun tidak ada bedanya jika ternyata besoknya truk itu

belum bisa dipindahkan. Apalagi waktu yang kami miliki tidak banyak untuk

menghabiskan waktu bersama warga desa.

Maka malam itu juga kami berangkat dengan enam motor, menerobos hujan dan

gelapnya malam. Di siang hari saja perjalanan ini sangat menantang, maka malam

itu aku membuat para tamuku kerepotan, salah satu motor bahkan hampir

terjungkal saat melewati tanjakan yang curam. Yeah, sorry ... but this is jungle

guys.

Kami mendatangi Nanga Lungu terlebih dahulu, menginap semalam dan keesokan

paginya melakukan kegiatan Kelas Inspirasi dan Sharing Positif bersama warga

75
Nanga Lungu. Selepas makan siang kami menaiki perahu menuju Landau Badai.

Disambut dengan anak-anak sekolah yang berbaris sepanjang jalan dengan

pakaian rapi. Hei, itu bukan ideku tapi para tamu yang datang cukup tersanjung

dengan sambutan itu.

Kegiatan Kelas Inspirasi berpusat di sekolah dengan rumah Bu Nur

sebagai basecamp. Di Kelas Inspirasi, Pak Polisi mengajarkan beberapa rambu-

rambu penting dan juga wawasan mengenai kepolisian, Babinsa mengajarkan

PBBAB, dan teman-teman PAC mengenalkan lagu Anak Bintang. Lagu yang

dibuat sebagai wujud kolaborasi antara Aday, warga Kapuas Hulu dan Ketua

PAC, dengan Kak Lisa, Pengajar Muda 10 yang juga koordinator PM Kahul.

Seperti ini lirik ajaibnya.

Aku yang bergerak

Mewujudkan asa di realitas

Menantang semua khayalan

Menyisihkan resah

Dia yang percaya

Dunia itu seluas mimpi-mimpinya

Yang selalu jujur dan berharap

Esok kan bahagia

Cahaya senja temaram

Teras aku dan dia bercerita

Bersama bintang lewati malam

76
Menertawakan kehidupan

Berdegup hatiku

Kami anak bintang

Sisi gelap malam

bersinar yang terang

bermimpi lalui lelap

Kami tak pernah lelah

Menyinari dirimu

Menantang seisi dunia

Tuk berani melangkah

Kami anak bintang

Malamnya kami berkumpul dengan warga di rumah Pak Salikin sebagai Kepala

Desa. Awick sebagai perwakilan penggerak memberikan dua buah dus besar

berisi buku yang kemudian dikelola oleh Kokom sebagai perpustakaan desa

bernama Badai Baca. Kami bercengkrama hingga malam, ditemani iringan musik

jepin, kami belajar menarikan tarian belangkah hingga tengah malam dan

mengakhiri hari dengan menginap di rumah Pak Salikin.

Keberadaan para penggerak di Landau Badai tidak sampai 24 jam, namun kesan

kedatangan mereka akan berbekas dan selalu menarik untuk diceritakan berulang-

ulang. Bukan lagi tentang kedatangan Pengajar Muda sebagai bintangnya, tapi

sesama warga Kapuas Hulu dari Putussibau yang datang mengunjungi warga

Badai. Bahkan warga Nanga Dangkan saja sering berseloroh, "Saya orang sini,

77
tapi tidak pernah ke Landau Badai. Kamu yang dari Jawa mau jauh-jauh ke hulu

sana. Bingung juga saya kalau kesana mau ngapain, tidak ada saudara."

Dan itulah misi Kapuas Bekandau ini, menjadikan sesama warga Kapuas Hulu

bersaudara.

PARA KEPALA

Aku sangat bangga di salah satu desa terpencil di Republik ini kampiun-kampiun

Pendidikan terus hadir, tumbuh, dan beraksi nyata. Mereka berkarya dengan

tulus, bekerja dalam sunyi, meski langka apresiasi dan jauh dari publikasi.

“Pertama saya datang ini, kan, seingat saya pertama rumah penduduk ... waktu

itu belum nyampe 20 rumah mungkin. Masih hutan semua. Termasuk sekeliling

sekolah ini masih hutan.”

Pak Ruslan adalah guru yang paling lama mengajar di sekolah kami. Dia bukan

warga asli desa ini. Ia mulai mengajar di Landau Badai sejak tahun 1984. Pak

Ruslan juga pernah menjadi Kepala Sekolah hingga akhirnya dia digantikan oleh

Kepala Sekolah yang baru. Sekarang, setelah hampir 30 tahun, Pak Ruslan masih

tetap setia mengajar disini.

“Cuma sekarang ... sudah puluhan tahun sekarang ini, karena sudah berkeluarga

disini, kan. Jadi kebetulan juga ada lah sedikit untuk tambahan, kebun, nambah-

nambah hasil daripada gaji. Betah lah disini. Kalau Pemerintah mengizinkan

sampai pensiun pun saya tetap disini.”

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Pak Ruslan adalah legenda pendidikan di Landau Badai. Beliau adalah salah satu

pengajar pertama saat sekolah baru dibuka di Badai. Bersama Pak Sem, yang kini

78
mengabdi dan tinggal di Nanga Lungu, mereka bersosialisasi dan mengenalkan

mengenai pentingnya pendidikan kepada warga Badai. Masa dimana orang-orang

masih harus diyakinkan tentang pentingnya bersekolah dan para orang tua cukup

membayar dengan padi dan jagung.

Saat Pak Ruslan menjadi pendatang baru di Badai sebagai guru muda, kondisi

desa pastilah jauh lebih terpencil dari pada saat aku datang. Tidak ada banyak

kesempatan untuk bolak-balik ke kampung halamannya di Nanga Tepuai. Namun

kenyamanan yang ditawarkan Landau Badai membuat Pak Ruslan betah tinggal di

tengah hutan ini. Pak Ruslan pun menjadi Kepala Sekolah terlama di SDN 05

Landau Badai dan seiring waktu berlalu ia menikah dengan warga Landau Badai

dan tinggal di Badai hingga sekarang.

Menjadi Kepala Sekolah di Kapuas Hulu bukanlah suatu jabatan yang banyak

diidam-idamkan. Pasalnya jika seseorang mau menjadi Kepala Sekolah, ia harus

bersedia ditempatkan dimana pun. Sementara itu beban kerja Kepala Sekolah

selalu berhadapan dengan keterbatasan yang ada, diantaranya mengurusi

administrasi ke Dinas Pendidikan. Jadi mereka yang menjadi Kepala Sekolah di

bagian hulu atau bagian terdalam hutan memiliki banyak tantangan. Satu contoh

kecil saja mengenai Dapodik (Data Pokok Pendidikan) online, tantangannya

bukan hanya listrik dan sinyal yang sulit didapat, kadang masih harus ada berkas

yang dibawa ke Dinas Pendidikan dan sang Kepala Sekolah harus melewati

perjalanan yang tidak mudah.

Setelah Pak Ruslan, kepemimpinan SDN 05 Landau Badai dipegang oleh Pak

Sussardi yang berasal dari Silat Hilir. Saat Kak Surah dan Kak Yana bertugas

79
disana, mereka ditemani oleh Pak Sus yang tinggal di sebuah rumah khusus guru

di Badai. Pak Sus sering diceritakan sebagai sosok pemimpin yang demokratis

dan humoris, mau belajar dan sangat mendukung kegiatan PM di Badai. Dia juga

bekerja keras ketika menghadapi penilaian akreditasi sekolah dan terbukti dengan

pencapaian akreditasi B untuk SDN 05 Landau Badai. Pencapaian yang tidak

mudah untuk sebuah sekolah di hulu sungai.

Tak lama Pak Sus bekerja dan tinggal di Landau Badai, dia digantikan oleh Pak

Kamarudin atau Pak Udin. Dia juga berasal dari Nanga Tepuai, namun tidak

membawa keluarganya tinggal di Landau Badai. Dia pun hanya bertahan dua

tahun sebagai Kepala Sekolah. Ketika aku bertugas, Pak Udin sedang dalam

proses pemindahan.

Setelah beberapa bulan kekosongan jabatan Kepala Sekolah, ditunjuklah Bu

Nurlela sebagai Plt. Kepala Sekolah.

Sama seperti para pendahulunya, Bu Nur bukanlah warga asli Landau Badai

maupun Silat Hulu. Bu Nur berasal dari Kecamatan Selimbau dan datang ke

Landau Badai pada tahun 1992. Dari pertama beliau diangkat sebagai guru hingga

aku datang kesana, Bu Nur mengajar di Landau Badai dan tidak pernah

dipindahtugaskan. Ia sudah seperti warga Badai, berkeluarga, memiliki rumah dan

ladang di Badai. Bu Nur adalah orang tua angkat Kak Yana dan kisahnya

diabadikan dalam Lentera Indonesia.

Aku bersyukur memiliki rumah kedua di Landau Badai. Selama satu tahun disini

aku tinggal Bersama Bu Nurlela, rekan guru yang sudah kuanggap ibuku sendiri.

Bu Nur dan keluarganya menerima kehadiranku disini dengan tulus. Ia menjadi

80
teman bagiku dari bersenda gurau sampai membahas hal-hal serius bersama. Bu

Nur pun sudah menganggap aku anaknya sendiri.

“Kalau menurut saya Aryana tinggal dengan saya itu adalah rezeki yang tak bisa

.. tak dapat dinilai lah bagi saya. Ya, alhamdulillah lah dia bisa tinggal dengan

saya, bisa mengangap saya sebagai orang tua dia juga.”

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

MERAYAKAN PERBEDAAN

Selain sungai Silat, satu aliran sungai yang lebih kecil juga mengalir di tengah-

tengah perkampungan Landau Badai. Sungai Pengga namanya. Sungai ini

membelah desa menjadi dua dusun. Yakni dusun Sumbermaju dan Dusun Nanga

Pengga. Ada sekitar 200 kepala keluarga di Landau Badai, dua pertiganya tingal

di Dusun Sumbermaju. Semua warga Dusun Sumbermaju adalah pemeluk agama

Islam, sedangkan Dusun Nanga Pengga dihuni oleh sekitar 40 kepala keluarga.

Warga Dusun Nanga Pengga seratus persen katolik.

Anak-anakku yang berasal dari dua dusun sudah terbiasa dalam keberagaman.

Untuk memupuk rasa cinta terhadap perbedaan, sekolah kami menerapkan jam-

jam khusus untuk berdoa. Tiap pagi sebelum memulai pelajaran di sekolah. Siswa

muslim melakukan sholat dhuha bersama-sama di surau dekat sekolah.

Siswa katolik di sekolah kami lebih dari 20 orang. Setiap pagi, sebelum memulai

pelajaran, mereka juga selalu membaca injil, dan berdoa bersama. Seminggu

sekali, mereka dikumpulkan dalam satu kelas, dari kelas 4 hingga kelas 8 untuk

mendapatkan pelajaran agama Katolik. Seorang warga Dusun Nanga Pengga

81
sukarela menjadi guru agama bagi murid-murid Landau Badai yang beragama

Katolik. Namanya Pak Mateus.

"Menjaga kebersamaan, toleransi, berteman dengan baik, bergaul dengan baik,

dan tidak membeda-bedakan. Itulah tujuan utama kita." Jelas Pak Mateus.

Umumnya pertemanan anak-anakku dari dua dusun baru terjalin saat mereka

duduk di kelas 4 SD. Di Nanga Pengga ada sebuah sekolah kecil, namun hanya 3

kelas. Sehingga, ketika naik ke kelas 4, anak Nanga Pengga akan meneruskan

sekolah di SDN 5 Landau Badai.

Begitu pula pertemanan yang terjadi antara Rudiman dan Oka dari Sumbermaju.

Kedua muridku ini bersahabat dengan Very dan Gema dari nanga Pengga sejak

kelas 4 SD. Biasanya setiap hari Minggu, mereka akan bermain bersama setelah

Very dan Gema mengikuti ibadat di gereja.

"Akrab, kalau kesini nggak pernah berkelahi," kata Rudiman. "Terus kemana-

mana bareng, terus kita sering ke Nanga Pengga kalau setiap hari Minggu.

Rasanya lebih akrab. Satu desa lah."

Alam Bumi Kapuas yang kaya memberi banyak kesempatan bagi mereka untuk

bermain bersama menjalin persaudaraan. Dari anak-anak inilah, aku belajar

kearifan hidup yang utama tentang cinta kasih bahwa perbedaan adalah

anugerah yang semestinya harus kita rayakan.

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Melihat pertemanan dan keseharian mereka saat itu, membuatku mengingat

pengalaman diri sendiri. Aku tumbuh dalam lingkungan homogen, sunda dan

muslim, kami pernah memiliki penghuni kamar sewa beragama Kristen, namanya

82
Mas Bambang dari Jawa dan bekerja di pabrik karet di dekat rumah. Aku ingat

sering diminta mengantarkan makanan untuk Mas Bambang dan pernah

menemukan Al-Kitab di kamarnya.

"Jangan dipegang kitabnya. Kita nggak boleh pegang kitab agama lain."

Seseorang di rumahku melarang. Saat itu aku masih SD dan itu pengalaman

pertamaku bersinggungan dengan non muslim. Dan aku hanya bisa menebak-

nebak alasan pelarangan memegang kitab milik Mas Bambang.

Bertemu dengan suku melayu, aku merasa sudah seperti keluarga. Menurutku

wajah melayu tidak jauh berbeda dengan wajah orang-orang di pulau Jawa. Jadi

rasanya tidak ada yang asing saat aku bertemu muka dengan warga Landau Badai.

Melihat Manda, anaknya Pak Is Mantri Desa, mengingatkanku kepada

keponakanku sendiri dan itu membuat kami akrab seperti tante dan keponakan

betulan. Melihat bapaknya Kokom, aku teringat ayah temanku yang bernama Pak

Husein. Melihat Pak Salikin, Kepala Desa Landau Badai, malah mirip kepala

sekolahku saat SD.

Merasa hangat di tengah warga Melayu, aku ternyata perlu beradaptasi dengan

warga suku Dayak di Nanga Pengga yang memiliki kekhasan sendiri. Mereka

tidak banyak bicara dan dusunnya lebih sepi, tapi ketika sudah berlama-lama di

Pengga muncul juga sifat kekeluargan dan perasaan diterima disana.

Di Minggu pagi aku pernah duduk di teras rumah pendeta Nanga Pengga yang

berseberangan dengan Gereja Katolik Paroki Santo Yohanes Penginjil. Tanpa

pengeras suara, doa-doa nyanyian mereka menggema merdu penuh kedamaian. Di

suatu malam, aku juga pernah singgah di Gereja Persekutuan Sidang Kristus

83
(GPSK) Nanga Lungu, duduk di perpustakaan gereja dan terdengar seorang

pengkhotbah sedang berbicara.

Tanpa menjadi Pengajar Muda, dua pengalaman itu tidak akan pernah aku

rasakan. Bahkan bertahun-tahun setelah bertugas dari sana pun aku sama sekali

tidak pernah bersinggungan dengan gereja. Aku tahu selalu ada perdebatan

tentang boleh tidaknya muslim memasuki gereja atau boleh tidaknya berteman

baik dengan non muslim. Bagiku pribadi ada tiga prinsip saat menjalani

kehidupan bersama warga non muslim; tidak membuat kita melakukan sesuatu

yang haram, masih menunjukan jati diri keislaman kita, dan tidak membuat orang

lain menganggap kita menyetujui ajaran agama lain.

Di Nanga Pengga, rumah yang sering aku kunjungi adalah rumah Jean, murid

kelas 7 yang sangat cerdas, cantik, dan sopan. Bisa dibilang Jean adalah murid

favoritku, oh mungkin tepatnya sosok remaja yang aku kagumi. Dia punya gaya

komunikasi yang baik, tidak berlebihan, tidak begitu pemalu. Pada acara Kapuas

Bekandau dia memberanikan diri mengajak bicara Pak Polisi secara pribadi,

bercerita mengenai mimpi-mimpinya. Guru-gurunya kadang kewalahan dengan

sikap kritisnya, yang menurutku proporsional. Dia tidak menyebalkan dengan

pertanyaan-pertanyaannya itu. Prestasinya sangat baik dan dia pernah menjadi

juara lomba catur di Kapuas Hulu. Jean tidak akan pernah terlupakan. Ah, jadi

kangen Jean.

Rumah anak murid lainnya yang sering kudatangi adalah Jupari, murid kelas 9

yang memiliki banyak potensi namun kurang percaya diri. Di awal aku mengajar,

Jupari masih murid dengan kepintaran rata-rata. Lama kelamaan dia mulai

84
menunjukan kegigihannya dan akhirnya bisa masuk juara tiga di kelasnya.

Keahlian utamanya ada pada sepak bola. Di setiap pertandingan, dia selalu jadi

bintangnya. Seperti pada saat melawan Nanga Lungu dan dia mencetak dua gol.

Setelahnya setiap dia berpapasan denganku, Jupari akan berteriak, "Buk, dua gol,

Buk!"

Kemudian ada rumah Pak Mateus, guru pelajaran agama Katolik di SMP Satap.

Di awal tahun kedatanganku, Pak Mateus berhenti menjadi guru agama. Kami pun

berusaha mencari penggantinya dan terjadi kekosongan di beberapa kali

pertemuan pelajaran agama Katolik. Biasanya setiap giliran pelajaran agama,

murid-murid yang beragama Katolik dikumpulkan di satu kelas untuk

mendapatkan materi agama Katolik. Sementara kelas 7, 8, dan 9 yang muslim

belajar di kelas masing-masing.

Pada satu hari aku pernah salah masuk kelas, aku kira kelas yang kumasuki berisi

anak kelas 8 yang muslim tapi ternyata isinya adalah murid-murid Katolik yang

tidak sedang melakukan apa-apa karena tidak ada guru. Aku kaget dan meminta

maaf karena salah masuk, tapi Jean dan beberapa murid lainnya malah merengek

padaku.

"Buk, masuk kelas kami jak lah, Buk. Semabak belajar apa jak meh. Bayah kami

disuruh catat manah."

"Aok, Buk. Kami dah berapa pertemuan nesik ada guru."

Aku tak kuasa menolak. Mereka memintaku untuk mengajar di kelas mereka,

terserah belajar apa, yang jelas jangan disuruh mencatat terus. Sudah beberapa

pertemuan mereka tidak ada guru. Begitu kata mereka.

85
"Aok meh. Nanak tunggu kejap. Ibuk ka meri tugas dulu ke kelas lain." Sahutku

yang berarti aku meminta mereka menunggu sembari aku memberi tugas kepada

kelas yang lain.

Mereka bersorak tanda senang, sementara aku langsung memutar otak apa yang

akan aku ajarkan di jam pelajaran agama di depan murid-murid Katolik ini. Jadi,

beberapa menit selanjutnya aku mematung di depan mereka sambil membuka-

buka buku agama Katolik. Mungkin kalau aku membaca buku ini sehari

sebelumnya, aku bisa membayangkan apa yang bisa kusampaikan hari ini. Tapi

skiming yang kulakukan hari itu tidak membantuku, jadi aku berimprovisasi.

"Oke, hari ini kita akan belajar mengenai sejarah agama," ujarku mantap. Sesuai

peraturan yang kami sepakati, selama proses belajar mengajar kami menggunakan

Bahasa Indonesia. Setelahnya kuberi mereka permainan yang akhirnya membuat

mereka tebagi ke dalam beberapa kelompok.

"Sekarang masing-masing dari kelompok buat 3 pertanyaan yang kalian ingin tahu

tentang sejarah agama. Silakan berdiskusi dengan teman satu kelompok kalian

selama sepuluh menit."

Beberapa tampak bersemangat, beberapa lagi kebingungan dan hanya diam saja.

Selalu begitu dalam interaksi kelompok. Kutinggalkan mereka berdiskusi

sementara aku mengisi materi di kelas lain. Sepuluh menit yang kuberikan telah

habis dan aku mengumpulkan semua pertanyaan dalam beberapa carik kertas.

Kupilih beberapa pertanyaan yang sama dan, tentu saja, bisa kujawab. Seperti

kenapa ada banyak agama di dunia, apakah di semua agama ada surga, neraka,

iblis, dan malaikat, juga apa perbedaan Islam dan Kristen.

86
Pertanyaan sederhana yang jawabannya berat. Dan tugas pertama seorang guru

tentunya adalah brain storming, membiarkan mereka mencoba menjawab sendiri

pertanyaannya. Tidak perlu berekspektasi jawaban-jawaban mereka akan kritis

bak seorang filsuf. Belajar adalah proses ketidaktahuan dan keingintahuan.

Kuyakin kelak mereka akan mendapatkan jawaban-jawabannya sendiri dalam

proses pembelajaran kehidupan.

Setelah mengulas beberapa pertanyaan, maka sesi terakhir adalah refleksi. Dibuka

dengan pertanyaan, "Apa yang kalian dapatkan dari materi hari ini?" dan ditutup

dengan tugas minggu depan yaitu mempersiapkan presentasi mengenai agama

mereka. Setiap kelompok memilik materi yang berbeda. Ada yang harus

mempresentasikan mengenai sakramen, ada tentang gereja, ada tentang pendeta,

dan ada tentang cara ibadah.

Bagi mereka, presentasi itu tidak sulit karena mereka menjelaskan mengenai

agama mereka sendiri. Aku katakan pada mereka bahwa yang aku nilai bukanlah

keakuratannya karena untuk hal ini mereka lebih tahu daripada aku. Yang aku

nilai justru kemampuan mereka untuk menjelaskan sesuatu kepadaku yang tidak

tahu apa-apa.

Ini adalah salah satu pelajaranku dalam mengajar bahwa ada saat dimana kita

tidak lebih tahu daripada anak murid. Jadi tugas seorang guru bukan hanya

memberi tahu apa yang muridnya tidak tahu, guru juga bisa hanya menjadi

fasilitator, orang yang mendampingi murid untuk mengeluarkan apa yang mereka

tahu, apa yang mereka bisa, hingga murid tidak hanya terpaku pada hal-hal yang

87
diberi tahu gurunya atau diajari gurunya. Ia bisa menjadi bagian terbaik dari

dirinya bukan kopian gurunya.

LANGKAH MENARI

Selama tinggal di Landau Badai, aku sangat kagum dengan kekayaan alam dan

budayanya. Melalui tarian, aku ingin murid-muridku memiliki kebanggaan pada

kebudayaan Bumi Kapuas. Sejak hari pertama kedatanganku di Landau Badai,

aku terkejut karena anak-anakku ternyata memiliki pengetahuan yang sangat

minim tentang budayanya. Salah satunya ketidaktahuan mereka tentang lagu Cik

Cik Periok yang berasal dari Kalimantan Barat.

Anak-anak kemudian kukenalkan lagu Cik Cik Periok. Aku melengkapi lagu ini

dengan gerak tari yang kukreasikan sendiri. Seminggu sekali, kami berlatih tari

Cik Cik Periok. Anak-anak mengusulkan sendiri kostumnya dari bahan alam.

Setelah mengumpulan dedaunan dari hutan Landau Badai, anak-anak meracik

sendiri kostumnya. Mereka biasa menggunakan daun pisang sebagai bahan baju.

Daun resam sebagai penghias kepala. Daun jambu maskotong sebagai penghias

bawahan. Serta buah jambu maskota sebagai kalung atau gelang.

Upayaku melatih tarian kepada anak-anak ternyata disambut antusias oleh

warga. Sudah beberapa kali anak-anakku tampil untuk menghibur warga Landau

Badai, khususnya saat acara penyambutan tamu dari jauh yang datang ke desa.

Semua jenis tarian yang menjadi ekstrakulikuler di sekolah pasti ditampilkan.

Mulai dari Cik Cik Periok, tarian Dayak, hingga tarian khas Melayu Kalimantan

yaitu Belangkah maksud ke dalam daftar acara.

88
Budaya Landau Badai yang kaya, khususnya tarian adatnya, sebagian besar

hanya dikuasai oleh orang-orang tua. Aku berharap, dengan mengenalkan anak-

anak kebudayaan mereka sendiri aka nada regenerasi, penerus, dan pelestari

kebudayaan Landau Badai. Inilah cara sederhana yang bisa kulakukan agar

anak-anakku dapat mencintai budayanya sendiri. Merekalah pemilik masa depan,

pelestari budaya kita.

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Kak Yana dan Kak Opi dikenal sebagai seorang penari. Kak Yana mengajarkan

tarian Cik Cik Periok sementara Kak Opi mengajarkan tari Saman. Aku bukan

penari profesional, hanya pernah menari ketika SD di acara pentas kenaikan kelas,

acara keagamaan, dan panggung-panggung tingkat desa. Tapi aku suka melihat

tarian dan aku ingin anak-anak Landau Badai menari di acara 17-an.

Pencapaianku ternyata tidak sebatas membuat mereka menari, namun juga

mengenalkan mereka pada kabaret. Yes, I love kabaret so much. Aksi panggung

yang selalu kutunggu setiap acara kenaikan kelas di sekolahku dulu. Kami berlatih

setiap sore selama kurang lebih dua minggu.

Kabaret kami sederhana. Diceritakan Fahmi, anak kelas 5, yang sedang tertidur

dibangunkan oleh Biki, anak kelas 6, dengan lagu Bangun Tidur-nya Mbah Surip.

Biki mengajak Fahmi untuk keliling Indonesia. Mereka berangkat dari

Kalimantan dan melihat tarian Cik Cik Periok yang ditarikan oleh anak kelas 8.

Lalu mereka terbang ke pulau Sumatera dan melihat tarian Tak Tong Tong yang

disajikan oleh anak kelas 6 SD. Perjalanan berlanjut ke pulau Jawa dan melihat

anak kelas 5 perempuan menarikan medley tarian Betawi, Sunda, dan Jawa. Lalu

89
ke pulau Papua dengan tarian Yamko Rambe Yamko dan Apuse dari kelas 4

SD.Kemudian di pulau Sulawesi ada anak kelas 5 laki-laki menarikan tari Rasa

Sayange.

Pada perjalanan terakhir, mereka kembali ke pulau Kalimantan. Secara bersama-

sama semua penari dan pemain menarikan lagu Ampar-Ampar Pisang dan juga

tari Belangkah dengan musik yang dimainkan langsung oleh para pemusik desa.

Di akhir kabaret, terbangunlah Fahmi dan menyadari bahwa perjalanan tadi adalah

mimpi, namun mimpi tersebut sangat berkesan dan membuatnya semakin

mencintai Indonesia dengan banyak tariannya yang indah.

Sepertinya itulah salah satu pencapaian pribadiku selama di Landau Badai.

Melihat anak-anak muridku menari tarian daerah. Darimana aku bisa melatih

mereka tarian yang begitu banyak? Dari youtube. Aku mengumpulkan beberapa

musik dan video selama aku di Putussibau karena hal itu tidak mungkin dilakukan

di desa yang tidak ada tower BTS dan sumber listrik. Untuk buka google saja

hampir mustahil.

Saat itu, ketika aku melatih mereka menari, mungkin mereka menganggapku

seorang penari profesional atau seorang guru tari yang bisa menciptakan berbagai

gerakan tari-tarian. Padahal tidak sama sekali. Begitulah, menjadi guru bukan

hanya tentang seberapa ahli atau seberapa bisa kita di bidang tersebut. Tapi juga

kemampuan kita untuk belajar sesuatu yang baru dan memfasilitasi agar hal yang

baru tersebut sampai kepada murid-murid kita. Dalam dimensi kepemimpinan, ini

namanya applied learning.

MENJADI ORANG BAIK

90
Keahlian yang baru kupelajari saat menjadi guru adalah bagaimana caranya

menasehati. Memang lebih mudah menasehati orang yang berusia lebih muda dari

kita karena akan minim perdebatan, tapi bukan berarti menasehati anak kecil itu

mudah hanya dengan memarahi, menakut-nakuti, atau menghukumnya.

Salah satu anak kelas 5 SD pernah kuajak bicara di ruang guru karena sering tidak

masuk sekolah hingga berminggu-minggu. Setelah mendengar jawaban-jawaban

pendeknya, kusimpulkan dia memang malas pergi ke sekolah. Ada saja alasan

yang dia utarakan, mulai dari sepatunya basah, adiknya tidak ada yang mengasuh,

dan sebagainya. Dia pernah tidak naik kelas, mungkin itu penyebabnya, tapi dia

tahu bahwa semakin sering dia bolos maka semakin besar kemungkinan wali

kelas tidak menaikannya lagi. Herannya dia mengatakan bahwa tidak apa-apa dia

tidak naik kelas lagi.

Tidak ada semangat dan motivasi untuk bersekolah dalam dirinya, karena sulit

mengubah apa yang ada di dalam dirinya, maka kucoba mengubah yang ada di

sekitarnya. Anak ini pendiam dan tidak memiliki teman dekat, jadi aku

memberikan tantangan kepada anak-anak kelas 5 lainnya untuk mendekatinya dan

mengajaknya bermain, baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya.

Setidaknya jika dia tidak tertarik belajar, harusnya bermain bisa jadi motivasinya

untuk berangkat sekolah dan sedikit demi sedikit ilmu yang diberikan di kelas

tetap sampai kepadanya. Bukankah begitu cara anak-anak menyerap ilmu baru,

lewat bermain sambil belajar. Melalui hal-hal yang ia sukai dengan perasaan yang

gembira.

91
Lain lagi dengan cerita anak-anak yang bertengkar. Pertanyaan yang selalu

kuajukan saat melerai anak-anak yang bertengkar adalah, "Kamu senang lihat

temanmu kesakitan?"

Aku percaya di tengah emosi mereka yang masih sulit dikendalikan, ada perasaan

empati yang bisa dipelihara. Bukan untuk menghakimi atau membuatnya merasa

bersalah, tapi untuk membuatnya berpikir bahwa membuat temannya kesakitan

bukanlah hal yang menyenangkan.

Biasanya anak-anak masih bisa dituntun dan difasilitasi untuk berdamai. Tapi

mengatasi anak remaja dengan egonya yang besar tidak semudah itu. Aku pernah

mendapatkan anak kelas 8 memukul temannya hingga berdarah. Saat itu aku

tengah mengajar di kelas 7 dan tiba-tiba terdengar teriakan dari kelas 8 dan

beberapa siswa perempuan berhamburan keluar. Dua orang murid laki-laki terlibat

perkelahian. Sebut saja Al dan Ef.

Aku menghentikan pelajaran di kelas 7 dan membawa Al yang berdarah ke ruang

guru. Ada Bu Ita disana. Aku memberikan pengobatan sederhana tanpa bicara,

hanya Bu Ita yang sibuk bertanya dan mengomeli murid tersebut. Dan dari

omelan panjang dan jawaban singkat itu aku menangkap beberapa poin.

Beberapa hari sebelumnya Ef pernah berulah dan membuat gurunya yang

bernama Bu Endang menangis. Ef dan mayoritas anak kelas 8 menjadi bahan

perbincangan di sekolah karena sikap beberapa diantara mereka yang kurang

menghormati guru.

Dan kejadian perkelahian itu berawal saat Al dan Ef bercanda namun Al

mengatakan sesuatu yang membuat Ef tersinggung.

92
"Pantas saja guru-guru tidak suka sama kamu. Kelakuanmu seperti itu. Kamu

bikin jelek nama kelas 8 saja. Sampai bikin guru menangis kemarin."

Kurang lebih itulah yang dikatakan Al dan membuat Ef emosi dan memukulnya.

Selesai mengobati Al, aku meninggalkan Al di kantor bersama Bu Ita dan kini

giliran mendengarkan penjelasan dari Ef. Aku tidak bisa membawanya ke kantor

karena hanya ingin bicara berdua dengannya. Kupilih tangga di teras kelas 8

untuk mengajaknya bicara.

Awalnya Ef menunjukan sikap penolakan ketika kuklarifikasi penyebab

pertengkarannya. Dia hanya berpaling dan tidak banyak bicara, pun tidak

menunjukan perasaan bersalah. Sampai akhirnya aku memilih straight to the

point.

"Kamu tersinggung saat Al mengatakan guru-guru tidak menyukaimu?"

Raut mukanya berubah, mungkin tidak menyangka aku akan menebak isi hatinya.

Ef pun mengangguk sambil membuang muka.

"Tapi kamu tahu kan kalau kejadian hari ini bisa membuatmu makin tidak disukai

oleh orang lain?"

Ef terdiam, bergumul dengan perasaannya.

"Kamu sadar kan ini akan jadi masalah di sekolah?"

Tak kusangka dia pun menangis tersedu. Dalam bahasa hulu dia meracau.

"Aku tidak suka dibilang sebagai anak nakal, Bu. Aku juga tidak bermaksud

membuat Bu Endang menangis. Aku diolok-olok terus. Aku tidak suka."

"Tidak ada anak yang nakal," Ujarku. "Kamu juga tidak. Kamu hanya tidak tahu

bagaimana caranya jadi anak baik. Atau ... kamu tahu tapi tidak mau."

93
Ef kini menatapku, "Aku mau, Bu. Tapi Al membuatku marah."

"Tapi kamu juga tidak suka melihat Al berdarah, kan?" tanyaku. "Di dunia ini

akan ada banyak orang, banyak hal, yang membuat kita marah. Kamu harus

belajar cara menghadapinya. Bukan menghadapi Al, tapi menghadapi

kemarahanmu sendiri."

"Kalau Al nggak bilang hal-hal kaya gitu, saya juga nggak akan marah, Bu."

Aku menghela napas. Kesal. Tipikal orang yang egonya sedang rapuh adalah

menyalahkan orang lain dan melindungi egonya sendiri. Saat itu aku tidak sedang

melihat Ef yang bengal dan suka petantang-petenteng di kelas. Aku melihat Ef

yang tersakiti dan butuh pengakuan. Dia yang ingin melakukan apa yang dia

inginkan, tapi juga kebingungan akan dampak yang dia ciptakan.

"Hei, Ef... Tahu tidak, waktu seumuranmu Ibu pernah membuat guru marah

sampai guru itu tidak masuk kelas selama 2 minggu." Ungkapku, Ef menatapku

tak percaya.

"Aku tahu rasanya jadi sorotan satu sekolah karena punya masalah dengan guru.

Dianggap sebagai pembuat onar. Tapi kesalahan kita itu bukan karena sering

bermasalahnya, tapi karena tidak bisa menghadapi masalah itu."

Aku memberi jeda. Membiarkan Ef mencerna kalimatku.

"Kamu membuat orang lain marah, itu bisa terjadi pada setiap orang. Kita kan

tidak bisa menahan orang lain untuk marah atau menangis. Tapi saat orang marah

dan menangis karena kita, disitulah kamu harus bertindak. Meminta maaf,

mengakui kesalahan, memperbaiki keadaan."

94
"Orang lain membuatmu marah, bukan berarti kamu boleh menyerangnya.

Katakan pada Al bahwa kamu tidak suka apa yang dia katakan. Tapi kamu juga

harus sadar bahwa saat kamu membuat Bu Endang menangis dan kamu berulah

sebagai bagian dari kelas delapan, teman-temanmu termasuk Al sudah merasakan

marah terlebih dulu sama kamu. Jadi, yang Al katakan bahwa kamu pembuat

masalah, itu benar, hanya saja kamu tidak menyukai kata-kata itu."

Ef tampak tak nyaman, "Yang lain juga suka berulah. Kenapa hanya aku yang

dianggap pembuat masalah?"

"Kamu mau jadi orang baik atau tidak?"

Ef diam.

"Memang begitu caranya jadi orang baik. Saat berbuat salah, banyak yang

mengingatkan. Yang ingin kamu berubah lebih baik juga bukan cuma kami, tapi

Allah, melalui teguran-teguran dari kami. Sekarang tinggal kamunya, mau

menjalaninya atau tidak. Minta maaflah sama Al. Selalu ada saatnya dimana kamu

harus minta maaf meskipun kamu belum merasa bersalah, atau meski kamu

merasa lawanmu yang lebih bersalah. Maaf itu bukan tentang apa kesalahan kita,

atau siapa yang kesalahannya lebih besar. Maaf itu adalah cara kamu untuk

memperbaiki keadaan. Memperbaiki diri. Siapapun yang salah."

Dan sesi ceramah itu berakhir dengan surat panggilan untuk orang tua wali Ef. Itu

adalah kali pertama dan terakhir aku memanggil orang tua siswa sebagai sanksi

dari kejadian perkelahian di sekolah.

Ada permusuhan, ada juga percintaan. Tipikal kisah remaja tidak jauh dengan

romansa jatuh cinta. Di penjuru manapun, desa atau kota, anak-anak maupun

95
dewasa, jatuh cinta adalah menu utama kehidupan. Diantaranya jatuh cinta yang

melibatkan identitas pacaran. Tak terkecuali murid-muridku di Badai. Untungnya

pacaran di usia SD masih menjadi hal yang tabu disana, meski ada lempar-

lemparan guyon untuk memasangkan temannya atau saling cari perhatian antara

murid lelaki dan perempuan, namun semuanya masih sebatas perilaku bocah.

Memasuki jenjang SMP, beberapa dari mereka sudah berani terbuka dan

berpacaran. Selalu ada kesalahpengertian bahwa jika seseorang menyukai lawan

jenis, dan orang itu juga balas menyukai maka berarti mereka harus berpacaran.

Jika berpacaran dengan teman satu kelas atau satu sekolah, alasan mereka adalah

agar menjadi motivasi untuk datang ke sekolah.

Beberapa anak SMP yang berpacaran selalu aku interogasi dari mulai mencoba

memahami isi pikiran mereka tentang kenapa sih harus punya pacar sampai apa

yang mereka lakukan ketika berpacaran. Beberapa diantara mereka hanya

mengatakan punya pacar sebagai teman SMS-an dan sesekali ketemuan untuk

hanya ... ya, hanya bertemu saja. Mengobrol cekikikan dan bagi yang bermodal

jalan-jalan di desa pakai motor. Maklum saja, tidak ada ceritanya disini pacaran

sambil jalan-jalan ke mall, makan di kafe, atau nonton ke bioskop.

Di suatu hari sekolah dihebohkan dengan suatu kasus. Beberapa anak perempuan

tingkat SMP ketahuan nongkrong tengah malam di sekolah bersama pemuda dari

desa lain. Berpasang-pasangan. Tengah malam. Gedung kosong. Sontak hal itu

bukan hanya menjadi kehebohan satu sekolah, tapi juga satu desa. Anak

perempuan berusia SMP ini memang memiliki tinggi dan bentuk badan yang

dewasa, lebih tinggi dan lebih berisi daripada aku sendiri.

96
Mereka hanya beberapa dari banyaknya siswi perempuan di Badai. Masih banyak

anak gadis rumahan yang hanya keluar saat sekolah dan pergi berladang. Tapi

kehidupan di desa juga tidak sepolos yang ditayangkan di teve. Seperti halnya

anak muda kebanyakan, beberapa dari mereka memiliki dorongan untuk tampil

dan dilihat orang. Meniru apa yang dipakai oleh anak muda yang ada di teve.

Mana ada, sih, sekarang sinetron anak sekolah tanpa mempertebal muka dan alis

mata, ya itulah yang mereka lihat dan mereka tiru.

Kejadian itu membuat para guru dan perangkat desa menerapkan jam malam bagi

anak-anak muda. Tidak boleh lagi ada yang berkeliaran di luar rumah lepas listrik

mati. Sementara sanksi bagi anak-anak yang ketahuan bermain tengah malam di

sekolah dikembalikan kepada orang tua masing-masing.

Hal itu bukan sesuatu yang paling membuat para guru terpukul. Ada hal lainnya

yang terjadi pada salah satu murid kebanggaan kami. Dia adalah murid yang

pintar dan ambisius. Di hari terakhir Ujian Nasional, muridku ini mengeluh sakit

perut yang luar biasa. Dia dibawa ke Pustu Landau Badai dan saat melalui

pemeriksaan, melihat kondisi perut dan tidak adanya tanda penyakit lain, Pak Is

bertanya.

"Kamu lagi hamilkah?"

Murid tersebut tak menjawab.

"Jujur sama saya. Kamu tidak bisa membohongi saya."

Lalu dia menangis sebagai tanda mengiyakan. Pertanyaan-pertanyaan lain pun

muncul, sudah berapa bulan? Siapa bapaknya? Siapa saja yang sudah tahu?

Dia adalah murid yang pintar, selalu mendapatkan ranking 2 sejak SD hingga

97
SMP. Berprestasi hingga tingkat provinsi dalam perlombaan catur. Beberapa

bulan menjelang Ujian Nasional, aku memang sering melihatnya lebih murung

dan pendiam. Nilai-nilainya juga turun drastis dan dia selalu tidak antusias di

dalam kelas. Belakangan aku tahu bahwa orang tuanya sering tidak ada di rumah

karena harus bekerja di perkebunan sawit. Maka dia sering menerima tamu laki-

laki di rumahnya.

Aku tidak pernah bertemu dengannya lagi selepas UN. Dia memaksakan

mengikuti UN hingga selesai dan langsung dibawa berobat ke Sintang. Beberapa

saat setelah itu dia dinikahkan dengan pacarnya yang juga masih SMP. Mereka

sama-sama tidak melanjutkan sekolah dan menjadi sepasang suami istri di usia

yang begitu muda.

PORSENI (O2SN)

Di masa sekarang, atau di perkotaan, mungkin sudah jarang menyebutkan kata

porseni. Namanya sekarang sudah menjadi O2SN, Olimpiade Olahraga Siswa

Nasional. Tidak ada seninya karena perlombaan seni sudah dikhususkan menjadi

FLS2N, Festival Lomba Seni Siswa Nasional. Tapi dalam kisah ini mari kita

menyebutnya porseni saja. Sama seperti sebutan yang dikenal di Badai.

Anggaplah aku cupu. Selama 12 tahun masa pendidikan, aku belum pernah

meghadapi porseni bidang olahraga, paling banter porseni Depag cabang cerdas

cermat atau lomba mata pelajaran. Sekarang lomba mata pelajaran namanya jadi

OSN, Olimpiade Sains Nasional. Jadi aku benar-benar nol besar dengan hal-hal

berbau olahraga.

98
Di Porseni SD, aku hanya diminta bantuan menjadi pendamping lomba menyanyi.

Sementara di Porseni SMP, aku menjadi pembimbing lomba story telling. Tapi

aku sesekali tetap mengikuti latihan dan perlombaan di cabang olahraga, terutama

badminton dan sepak bola. Dari sinilah aku menyadari bahwa sepak bola, entah

itu tingkat desa hingga internasional, selalu menyajikan drama.

Ada satu peraturan dalam Porseni yang selalu dianggap peraturan semu, yaitu usia

pemain tidak boleh lebih dari 12 tahun. Hal itu perlu diperhatikan karena di SD

Landau Badai saja ada murid kelas 6 SD yang berusia 17 tahun. Jadi, kalau semua

usia boleh main, asal statusnya murid SD, maka bisa jadi akan ada anak SD yang

melawan remaja berusia 17 tahun.

Sebulan sebelum pelaksanaan, perwakilan guru sekecamatan Silat Hulu

berkumpul, semua sepakat dengan peraturan itu. Tapi tepat sehari sebelum

pembukaan Porseni beredar kabar bahwa Porseni di kecamatan Silat Hulu

membolehkan siswa di atas usia 12 tahun untuk mengikuti Porseni. Nah, drama

pun dimulai.

Alasannya begini: Ternyata dari kabupaten tidak akan mengadakan lomba sepak

bola dan voli. Jadi dua lomba itu tidak dinilai di kecamatan, maka Porseni tingkat

kecamatan ini ya main saja terserah mau menurunkan siapa. Kalau ada anak

berusia di atas 12 tahun mau main, ya boleh sajalah, kasihan kalau dilarang.

Begitu katanya.

Kami, guru-guru di Badai, tahu kabar tersebut dari guru di Nanga Lungu. Antara

percaya, nggak percaya, dan juga jengkel. Aku menelepon orang yang

berkepentingan dalam keputusan ini, menanyakan mengenai kabar tersebut dan

99
ternyata benar bahwa dia sudah mengizinkan anak yang berusia di atas 12 tahun

untuk ikut bertanding dalam Porseni. Saat aku memprotes dan mengajukan

ketidaksetujuanku, dia menjawab.

“Kenapa harus tidak setuju? Lomba ini kan tidak dinilai. Anggap saja ini

turnamen persahabatan, tidak perlu ngotot-ngototan sama peraturan. Hanya dua

cabang ini saja yang saya perbolehkan semua usia untuk ikut main. Alasannya

jelas, ini bukan cabang olahraga yang akan diikutkan di tingkat kabupaten.”

“Tapi kan sudah ada keputusan bersama, Pak, waktu rapat tempo hari kalau kita

tidak membawa anak yang berusia di atas 12 tahun. Untuk apa saat itu ada rapat di

kecamatan kalau akhirnya kita tidak perlu taat peraturan yang sudah dibuat?”

“Yaa peraturan bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Ini kan saya baru

mendapatkan Juknis dari kabupaten kemarin, jadi wajar lah kalau ada perubahan.”

“Perubahannya nggak harus mendadak seperti ini, Pak. Kan kepanitiaan sama

peraturan yang kita buat kemarin hasil musyawarah, ya baiknya kalau ada

perubahan dimusyawarahkan lagi.”

“Nah, itu juga yang saya bilang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sudah

tidak mungkin lah kita rapat-rapat lagi. Yang dari hulu sana harus turun pakai

perahu habis berapa ratus ribu. Makanya saya informasikan saja melalui SMS.”

“Tapi tidak semua sekolah dapat informasinya, Pak. Kami saja tahu kabar ini dari

Nanga Lungu. Padahal Landau Badai sama Nanga Lungu sinyalnya lebih bagus di

Badai, tapi bisa sampai nggak dapat kabar. Apalagi sekolah-sekolah yang lain.”

100
“Yaa, untuk yang itu saya mohon maaf. Memang sinyal kita suka ada kendala lah.

Tapi kan sekarang Badai sudah tahu, ya sudah dari Badai turunkan saja anak-anak

yang besar. Kan tidak ada masalah.”

“Tapi kami maunya ikut peraturan yang sudah disepakati. Kami nggak mau

menurunkan anak-anak yang besar.”

“Itu hak bapak ibu guru disana lah.”

Lalu telepon berpindah kepada Bu Nur, Kepala Sekolah kami. Bu Nur berbicara

cepat dalam bahasa hulu, terlihat kekecewaan dari nada bicara dan raut mukanya.

Namun masih bisa dia tahan karena yang dia ajak bicara di telepon adalah

atasannya. Meski begitu, Bu Nur masih berani mengatakan bahwa dia bisa saja

menarik seluruh kontingen Badai untuk tidak mengikuti Porseni.

Ternyata Bu Nur tidak main-main dengan ancamannya. Selepas obrolan di

telepon itu, Bu Nur masih saja menimbang-nimbang apakah akan

memberangkatkan anak-anak atau tidak. Secara pribadi, sebagai Kepala Sekolah,

tidak ada ruginya jika tidak mengikutkan sekolahnya dalam Porseni. Tidak ada

kewajiban dan tidak akan ada sanksi. Tapi Bu Nur tentu saja tak ingin

mengecewakan anak didiknya yang sudah berlatih berminggu-minggu untuk

Porseni. Terlebih, anak bungsunya pun mengikuti cabang olahraga bulu tangkis.

Tapi situasi ini memang menjengkelkan. Dari tahun ke tahun, sudah jadi

penegasan khusus bahwa Porseni hanya boleh diikuti oleh murid yang berusia di

bawah 12 tahun. Lalu selalu ada celah kecurangan, entah dari akta lahir yang

keliru, atau anak SD berbadan bongsor yang diragukan usianya.

101
Porseni adalah satu-satunya ajang bergengsi antar sekolah di Silat Hulu.

Membawa pulang banyak piala adalah kebanggaan dan cenderung menjadi

ambisi, bukan hanya untuk para atletnya, tapi juga guru dan Kepala Sekolahnya.

Bahkan ada jokes untuk satu sekolah yang terkenal selalu menurunkan murid-

murid berbadan besar, lalu dikomentari, “Anak-anak berbadan besar itu sudah

bertahun-tahun tidak naik kelas. Sudah drop out mereka. Kepala sekolahnya cuma

panggil mereka untuk ikut Porseni saja.”

Ternyata benar, kami melihat murid-murid yang sebesar gurunya di lokasi

Porseni. Di tahun 2015 itu, lokasi Porseni Silat Hulu diadakan di Desa Riam

Tapang. Desa paling ujung di Silat Hulu dan itu berarti desa paling hulu di aliran

sungai Ensilat. Di atasnya Riam Tapang adalah bukit yang mengalirkan sungai

Ensilat dan di baliknya adalah hutan dan pegunungan yang berbatasan dengan

Bukit Raya di Kalimantan Tengah. Hutannya luas sekali kalau dilihat di Google

Map.

Sebelumnya aku merasa Riam Tapang adalah sebuah desa misterius karena selalu

disebut-sebutkan sebagai desa paling ujung yang sulit ditempuh perjalanannya.

Jika lewat darat, maka kita harus memutar ke kecamatan sebelah itupun dengan

jalan hutan. Jika lewat sungai, maka kita akan berlawanan arah dengan arus deras

dan bertemu bebatuan besar. Riam sendiri memiliki arti aliran air yang deras di

sungai, hampir seperti air terjun tetapi rendah sekali.

Aku merasakan keduanya. Datang ke Riam Tapang melalui sungai dengan perahu

yang membawa kontingen Landau Badai. Pulangnya, aku ikut dengan Pak Sarbi

102
menaiki motor melewati hutan, memutar ke jalan lintas Selatan Kapuas Hulu,

bertemu dengan Simpang Bongkong dan menuju Landau Badai.

Malam hari sebelum pertandingan, panitia mengadakan technical meeting.

Membahas segala hal peraturan dan agenda Porseni sampai selesai, namun satu

hal yang membuat pertemuan malam itu bergairah adalah pembahasan mengenai

peraturan usia anak yang diizinkan bermain dalam pertandingan sepak bola dan

bola voli. Pembahasan itu membuat para Kepala terbagi ke dalam 4 kelompok;

- Mereka yang membawa anak usia di atas 12 tahun dan akan mengajak mereka

bermain dengan alasan kasihan.

- Mereka yang membawa anak usia di atas 12 tahun hanya untuk berjaga-jaga dan

membantu menjalankan perahu. Diajak main oke, tidak juga tidak apa-apa.

- Mereka yang tidak membawa anak usia di atas 12 tahun dan menolak pemain

lain yang berusia di atas 12 tahun.

- Mereka yang tidak membawa anak usia di atas 12 tahun dan tidak ikut

pertandingan sepak bola maupun voli.

Kontingen Landau Badai termasuk ke dalam kelompok yang ketiga dan secara

keras menolak anak usia di atas 12 tahun dimainkan. Bu Nur begitu vokal

menyuarakan aspirasi dan kekecewaannya, meski dia adalah Kepala Sekolah

perempuan dan orang-orang yang menentangnya adalah Bapak-Bapak. Hal itu

tidak membuat Bu Nur gentar, bahkan saat dia sudah berteriak-teriak tapi tidak

diizinkan bicara, dia memilih berdiri dan tetap melanjutkan orasinya. Sungguh

Wonder Woman-nya Landau Badai kala itu.

103
Sesekali aku membisiki Bu Nur atau Pak Sarbi untuk memberikan masukan

mengenai pandangan atau opini yang bisa diberikan. Awalnya aku tidak memilih

banyak bicara di forum karena aku ingin hal ini menjadi proses yang dialami oleh

mereka para Kepala dan aku juga merasa Bu Nur sudah cukup menjadi

bintangnya Landau Badai. Namun melihat spirit argumentasi beberapa orang

terlalu egois, aku pun memilih berbicara.

“Aku rasa kita harus ingat kalau tujuan diadakannya Porseni ini adalah bagian dari

pendidikan anak-anak didik kita. Bagaimana agar mereka bisa belajar sportif,

memiliki mental dan fisik yang baik, dan juga sebagai ajang persahabatan dengan

sekolah lain. Dari peraturan yang kita buatlah awal dari pembelajaran sportifitas

anak-anak. Keputusan memang ada di forum, saya hargai itu. Tapi sekarang ini,

anak-anak didik kita, sudah tahu ada masalah mengenai aturan usia yang awalnya

tidak boleh jadi boleh secara mendadak dan sepihak. Menurut Bapak-Bapak dan

Ibu-Ibu, apa yang mereka lihat dari kejadian ini? Apa yang mereka pelajari dari

hal ini?”

Mereka pasti tahu aku bukan warga asli Silat Hulu dan mereka juga pasti sadar

kalau aku begitu tidak suka dengan perdebatan panjang malam itu. Siapapun tidak

suka. Mereka yang ingin anak usia 12 tahun dimainkan, berharap tidak ada

perdebatan, ya sudah tinggal main saja. Mereka yang tidak ingin anak usia 12

tahun dimainkan, pun berharap tidak ada berdebatan, ya sudah sesuai aturan awal

saja. Hampir deadlock. Sampai akhirnya ada salah satu usulan, aku lupa dari

siapa, saat anak-anak di bawah 12 tahun bermain maka lawannya tidak boleh ada

anak yang besar. Tapi jika satu sekolah yang membawa anak besar melawan

104
sekolah yang membawa anak yang besar bermain, maka mereka boleh

menurunkan anak yang besar itu.

Rasanya adil dan mudah dilakukan, tapi kenyataannya tidak. Pertandingan

pertama Landau Badai begitu memukau. Lawan yang kami hadapi sama-sama tim

U-12 dan pemain sepak bola Landau Badai bisa dibilang yang paling

diperhitungkan di Silat Hulu. Bahkan mereka yang badannya kecil dengan kaos

sepak bola yang kebesaran berhasil menggocek bola dan memberikan umpan

dengan baik.

Tapi pertandingan kedua layaknya pertunjukan gladiator. Aku datang terlambat

karena baru saja menonton pertandingan bulu tangkis yang jaraknya cukup jauh

ditempuh dengan jalan kaki. Ketika aku datang, mereka tengah berbaris untuk

bersalaman, lalu peluit ditiup. Ada kejanggalan, 3 atau 4 orang dari tim lawan

tingginya melebihi aku. Mukanya boros mirip mahasiswa yang sedang stres

karena skripsi. Berapa usianya?

Aku memutari lapangan mencari rekan guru dan menanyakan apakah mereka

sudah mengecek usia-usia tim lawan dan mereka bilang ‘sepertinya sudah oleh

panitia’. Aku tidak ingin mencari masalah dan berusaha menikmati jalannya

pertandingan. Tapi tidak bisa. Perlu kukatakan bahwa saat itu adalah pertandingan

sepak bola paling mengerikan yang pernah kutonton. Tinggi anak didikku hanya

sepinggang lawannya. Aku berusaha meneriaki mereka agar jangan takut, meski

aku pun takut melihatnya. Di menit-menit pertama mereka masih tegar, berusaha

buas, dan bermain seperti ketika mereka bermain dengan pemuda-pemuda di

105
Badai. Tapi kompetisi menjadikan lawan mereka lebih buas. Satu gol kebobolan,

disusul gol selanjutnya.

Lapangan tempat kiper Badai becek digenangi air. Saat gol kesekian mulai

menyerang gawang kami, terjadi kemelut di dekat gawang, lawan yang badannya

tinggi menendang-nendang bola di tengah cipratan air. Entah apa lagi yang

tertendang olehnya selain bola. Namun beberapa anak didik kami tersungkur

dengan seluruh badan dipenuhi lumpur. Gol kembali dari lawan. Tim kami

terjatuh, bukan hanya fisik namun juga mental. Mereka menangis di tengah

lumpur. Anak-anak kecil berbadan kurus dengan kaos sepak bola yang kebesaran,

menangisi permainannya.

Pak Sarbi sebagai pelatih Badai memasuki lapangan, dia menghampiri anak

didiknya yang tidak berhenti menangis. Wasit menghampirinya, tak ada emosi

kemarahan yang keluar dari Pak Sarbi, dia menahannya dan memutuskan untuk

walk out. Tak banyak yang tahu bahwa beberapa saat setelahnya Pak Sarbi

menangis melihat anak didiknya tertunduk sepanjang perjalanan pulang.

Saat itu aku tak langsung pulang. Rasanya aku tidak bisa lagi membangkitkan

semangat anak-anak karena emosiku tak terbendung lagi dan aku harus

meluapkannya. Itulah pertama kali dan sekali-kalinya aku marah pada warga asli

Kapuas Hulu. Aku mendatangi Ketua Panitia sendirian karena aku tak ingin yang

lain tahu kemarahanku. Aku tidak menuntut apapun kepadanya, aku hanya

mengatakan betapa kecewanya aku pada sistem yang sudah dia pimpin.

Hal yang paling kukesalkan adalah saat keluar pembelaan bahwa hal seperti ini

sudah biasa dalam perlombaan, akan selalu ada yang tidak puas dalam sebuah

106
pertandingan, dan menerima protes dari berbagai pihak sudah menjadi resiko bagi

panitia sebuah perlombaan dan pertandingan. Seakan apa yang terjadi pada

kekecewaanku adalah hal yang biasa.

Saat itu kukatakan padanya bahwa aku tidak berbicara tentang perlombaan atau

pertandingan, aku berbicara mengenai kebijaksanaan dan kempimpinannya. Aku

pun pulang masih dalam kondisi kesal, bahkan beberapa atlet berbadan tinggi

yang berpapasan denganku pun kena semprot.

"Badan udah segede anak SMA, mau saja disuruh lawan anak SD," omelku saat

itu.

Dari awal aku memang bukan malaikat. Aku juga tidak sedang menjadi ibu peri

yang bertugas menghibur hati yang bersedih. Tapi hanya hal itulah dalam

sepanjang tahun sesuatu yang benar-benar membuatku mengeluarkan amarah.

BADAI MENGAJAR

Di mataku, Kokom adalah sosok pemudi yang istimewa. Dia pintar, enerjik,

sederhana, dan bercita-cita mulia membangun Landau Badai. Usia Kokom baru

20 tahun, setelah menamatkan SMA dua tahun lalu Kokom tidak melanjutkan

kuliah.

“Saya belum bisa melanjutkan kuliah karena Abang saya masih kuliah, jadi saya

tidak bisa egois menuruti keinginan saya atau kemauan saya. Ya, saya mencoba

bersabar dengan belajar bekerja, mencari uang sendiri, dan ikut membantu orang

tua membiayai Abang saya kuliah.”

Melihat pertemananku yang begitu akrab dengan Kokom, membuat Kepala

Sekolah-ku mengajaknya untuk bergabung menjadi pengajar di sekolah kami.

107
Alhamdulillah, sekarang Kokom menjadi guru kelas tujuh dan delapan di SMP

Satu Atap Landau Badai.

“Saya berpikirnya begini, orang jauh dari Jawa, dari luar Kalimantan, kok mau

ngajar ke daerah kami. Kok saya sebagai putera daerah, walaupun

pendidikannya masih minim, kok nggak memberi Pendidikan kepada adik-adik

saya sendiri.”

“Saya sebagai putera daerah pengen di Landau Badai ini pendidikannya harus

lebih maju daripada yang lain. Tanpa pendidikan, kita tidak bisa apa-apa.”

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Banyak romantisme di setiap kisah Pengajar Muda, kenangan dengan anak murid,

keluarga angkat, guru-guru, atau warga sekitar. Bagiku, Kokom adalah ketiganya,

dia adalah bagian dari sekolah, bagian dari keluarga angkat, dan juga bagian dari

keseharian bersama warga.

Dari tayangan Lentera Indonesia itu aku mengantongi informasi awal mengenai

Kokom. Kurasa dia akan menjadi orang yang paling aku andalkan selama di

Badai. Aku tak berekspektasi banyak, cukup dia bisa menjadi sumber informasiku

karena sudah mengenal Indonesia Mengajar sejak lama. Namun ternyata Kokom

lebih bersinar daripada yang aku bayangkan. Orang yang kukira bisa menjadi

lampu senterku di kegelapan ternyata dia adalah mataharinya.

Kokom memiliki kepribadan ekstrovert dan senang berinteraksi. Alih-alih

menunggu orang lain menyapanya, dia lebih suka menyapa lebih dulu orang yang

ditemuinya. Pembawaannya riang dan ceria, sehingga yang bisa teringat darinya

adalah tawa renyahnya saat berbincang. Saat diwawancarai tim Lentera Indonesia,

108
dia berusia 21 tahun dan belum kuliah karena harus ikut bekerja membiayai kuliah

abangnya. Ketika aku datang, dia seusia denganku yaitu 23 tahun. Abangnya

sudah selesai kuliah dan ikut mengajar di SMP Satap Landau Badai, sementara

Kokom mendaftarkan diri menjadi mahasiswa di Universitas Terbuka sambil tetap

mengajar.

Selain aku, dia adalah pemegang jam pelajaran terbanyak di SMP. Meski masih

lulusan SMA, namun dia berani memegang mata pelajaran Matematika dan IPA

untuk kelas 7 dan 8. Tak jarang kami berdiskusi mengenai dua mata pelajaran itu

atau saling menggantikan jika yang lain tengah tak bisa mengajar. Tubuh Kokom

kurus kecil, sama sepertiku. Karena ukuran badan kami nyaris sama, kami

dibilang kembar. Ditambah kami selalu terlihat bersama. Membuatku hapal apa

yang ia suka dan tidak ia suka. Apa yang bisa membuatnya kecewa, bingung, dan

marah. Pun mimpi dan angan-angannya.

“Hei, Kembaran. Apa kabar?” Sapanya tiap kami bertemu di pagi hari. Aku

memang tidak setiap hari menginap di rumahnya, aku lebih senang menginap di

banyak rumah. Rumah Bu Nur, rumah murid kelas 6 atau 5, rumah murid anak-

anak SMP. Setiap rumah yang kutumpangi biasanya murid perempuan, yang

paling sering adalah rumah Melsa, Dini, Lala, Satiah, Tari, Winda, dan beberapa

murid lainnya. Itulah kenapa meski status keluarga angkatku adalah keluarga

Kokom, namun aku bisa ada dimana saja.

Selain senang mengobrol, Kokom senang belajar. Dia sering memintaku

mengajarkannya Bahasa Inggris meski akhirnya selalu tidak selesai karena

109
waktku tak banyak. Kadang-kadang dia kekanak-kanakan, tapi di lain waktu dia

bisa berpikir kritis dan dewasa. Bisa aku katakan bahwa ada mental PM di dalam

dirinya. Entah karena dia pernah berinteraksi secara intens dengan PM, atau

memang dia memiliki potensi itu dalam dirinya dan muncul ketika dia melihat

sosok seorang PM. Apapun itu, bisa kukatakan bahwa Kokom adalah gadis desa

yang bermental kota.

KOKOM KE LAMPUNG

Di suatu pekan di Putussibau, aku dan teman-teman yang berlokasi di Kapuas

Hulu berdiskusi mengenai kegiatan Forum Komunikasi Penggerak Daerah

(FKPD) yang akan dilaksanakan di Kab. Tulang Bawang Barat, Lampung. Akan

ada perwakilan penggerak daerah dari semua kabupaten tempat PM bertugas dan

kami harus menentukan 4 orang yang akan mewakili Kapuas Hulu. Ada banyak

nama yang diajukan, mulai dari orang pemerintahan daerah, guru di Kapuas Hulu

yang mengikuti kegiatan inisiatif PM dan Dinas Pendidikan bernama Guru Figur,

perwakilan komunitas, hingga penggerak yang berada di desa.

Aku terpikirkan untuk mengajukan Kokom, tapi aku khawatir kegiatan ini terlalu

berat dan terlalu membebani baginya. FKPD ini mempertemukan perwakilan

kabupaten, sementara dia baru bersinar di desa saja. Untuk aktif di tingkat

kabupaten bukannya tidak bisa, tapi jarak dan kondisi bisa menghambatnya.

Seperti saat pelatihan Guru Figur di Putusibau, satu hal yang aku sesali adalah

tidak memaksa Kokom ikut kegiatan Guru Figur. Saat itu aku terhambat 3 hal,

ketua panitia tidak mengizinkan guru honorer menjadi Guru Figur, kegiatan GF

bertepatan dengan Porseni Kabupaten yang mana membuat Kokom sibuk di

110
kontingen, dan saat kegiatan GF aku bertugas di kegiatan komunitas lainnya yaitu

Youth Camp Leadership. Padahal pelatihan dan koneksi di Guru Figur akan

sangat bermanfaat untuknya.

Kembali pada diskusi kami mengenai FKPD di depan sebuah jendela kaca sebagai

papan tulis. Diskusi ini selalu kami namakan ‘galai’ bukan rapat, yang artinya

‘tidur-tiduran’, secara harfiah kita memang diskusi sambil santai. Saat itu temanku

yang mengenal Kokom karena bertugas di Nanga Lungu mengajukan namanya

dengan presentasinya yang menggebu mengenai Kokom. Ya, kadang aku tidak

menyadari hal-hal hebat dari Kokom karena keseharianku bersamanya. Dia penuh

percaya diri, tapi aku juga pernah melihatnya saat pesimis dan rapuh pada

mimpinya. Dia memang penuh semangat dan antusias, tapi aku juga tahu saat-saat

dimana dia malas dan pasrah akan apa yang terjadi. Tapi dia memang bersinar.

Akhirnya setelah saling lempar tanggapan, kami memutuskan Kokom masuk

sebagai salah satu perwakilan Kapuas Hulu di FKPD. Selanjutnya menjadi

tugaskulah untuk menyampaikan hal tersebut kepada Kokom dan memberikan dia

briefing tentang apa itu FKPD dan perannya disana.

Kokom terpilih karena dia warga asli Kapuas Hulu, mengenal Indonesia Mengajar

dan aktif bersama PM, dan profilnya pun sudah dikenal oleh IM melalui kisah

inspiratif di buletin Kabar IM. Maka itulah saatnya dimana aku menjelma sebagai

seorang motivator yang mencoba membawanya untuk menyadari akan potensi

yang dia miliki. Aku tidak menuntutnya untuk memberikan inspirasi dari Kapuas

Hulu, karena caranya menginspirasi adalah menjadi diri sendiri dan dia sangat

mampu dalam hal itu.

111
Hari keberangkatan pun tiba. Aku ikut mengantar Kokom. Kami berpamitan pada

beberapa warga yang juga saudara Kokom. Sementara ibunya Kokom, yang kami

panggil Umak, membisikkan doa mirip sebuah sajak saat akan melepas

keberangkatannya.

Assalamualaikum

Ibuku Bumi

Bapakku langit

Saudaraku angin

Semua sanak saudara

Aku semua

“Itu doa orang zaman dulu kalau mau pergi jauh.” Tambah Umak.

Kokom pun berangkat menginjak tanah Sumatera. Ia mengikuti setiap sesi dalam

FKPD dan menanti sesi makan malam bersama Menteri Pendidikan saat itu, Anies

Baswedan. Selama di TBB, rombongan Kapuas Hulu menginap di rumah salah

satu SKPD disana, jarak dari rumah tempat menginap hingga lokasi kegiatan

cukup jauh sehingga mereka perlu berkendara sekitar satu jam setiap pagi dan

malamnya.

Malam dimana harusnya mereka bertemu dengan Anies Baswedan, sebuah

insiden menimpa rombongan Kapuas Hulu. Mobil yang mereka tumpangi

mengalami kecelakaan tunggal yang membuat penumpangnya mengalami luka

ringan, termasuk Kokom. Meski diwarnai insiden, namun sepulangnya dari

FKPD, Kokom tetap membawa optimisme dengan niatannya membuka Rumah

Baca yang ia beri nama “Badai Baca”.

112
Kokom pun tetap berkata, “Terima kasih, ya. Kalau bukan karena kalian, aku

tidak akan berangkat ke Lampung. Kenalan dengan orang-orang dari seluruh

Indonesia. Bertemu dengan orang-orang dari Indonesia Mengajar. Itu semua

pengalaman yang tidak akan pernah aku lupakan.”

Lagi. Dia berkata seakan aku berjasa. Padahal aku tidak melakukan apa-apa selain

menyuruhnya pergi dan mengecek kegiatannya melalui SMS.

BERTEMU PAK MENTERI

Empat bulan kemudian, kisah perjalanan Kokom berlanjut. Kru Lentera Indonesia

menghubungi Kak Aryana, Pengajar Muda sebelumnya, untuk meminta kontak

Kokom. Jadi di ulang tahun NET TV, Lentera Indonesia hendak membuat episode

khusus yang bercerita mengenai refleksi perjalanan Lentera Indonesia. Sebagai

wajah dari refleski mereka, dipilihlah dua orang narasumber yang pernah

ditampilkan dalam episode Lentera Indonesia sebelumnya.

Dipilihlah Kokom dari jantung Borneo dan seorang remaja yang putus sekolah

dan bekerja sebagai pemulung. Kesamaan dari mereka berdua adalah tema

pendidikan dan tetap bersinar dalam kegelapan. Maksudnya dalam situasi yang

orang-orang anggap gelap, suram, dan tidak ada harapan.

Tiga tahun berlalu, mereka masih ingat dengan sosok gadis Badai ini. Seperti

kebetulan yang terencana dengan apik, kru tersebut mengatakan, “Nanti kami

akan mempertemukan Kokom dengan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan.”

Setelah kekecewaan yang dipendam Kokom karena gagal bertemu Pak Anies di

Lampung, kesempatan itu datang tanpa terduga. Bahkan dalam pertemuan ini,

Kokom bertemu secara pribadi dengan Pak Anies, bukan sebagai audiens yang

113
mendengar pidatonya. Ditambah lagi pertemuan ini diabadikan dalam sebuah

tayangan tv.

Saat itu kukatakan padanya, “Mereka datang karena kamu. Aku tahu betul

setangguh apa dirimu. Gadis desa yang memiliki mental juara memang tidak akan

bisa menyembunyikan sinarnya.”

Pada akhirnya ia memang harus tahu keistimewaan dalam dirinya. Bukan tugasku

lagi untuk menyinari Landau Badai, namun sudah menjadi tugas para aktor lokal

untuk menemukan sinar dalam dirinya untuk tanah lahirnya sendiri.

Perjalanan Kokom ke Jakarta, bertemu dengan Anies Baswedan, dan

memberdayakan rumah bacanya diabadikan dalam tayangan youtube berjudul,

“Lentera Indonesia – Kisah Perjuangan Pengajar Muda di Landau Badai”. Itu

bukan kisahku, itu kisah Kokom. Karena dialah Pengajar Muda sesunguhnya di

Landau Badai. Tangguh dan bersinar.

MENGENAL RUDIMAN

Banyak anak penuh bakat yang aku temui di Landau Badai, salah satunya adalah

anak muridku di kelas enam, Rudiman. Rudiman adalah tipe anak multitalenta. Ia

cerdas, rajin, mahir dalam bidang olahraga dan seni. Jika ada kompetisi siswa,

Rudiman bisa tampil menjadi wakil sekolah kami untuk semua bidang itu.

“Dokter … saya mau jadi dokter.” Jawab Rudiman tegas. “Saya ingin

mempertahankan nyawa-nyawa orang yang sakit. Jangan sampai meninggal.”

Orangtua Rudiman bekerja sebagai penoreh karet di lahan kecil. Bagi ayah

ibunya, Rudiman adalah harapan bagi masa depan mereka. Kakak-kakak

Rudiman tidak ada yang bersekolah tinggi, hanya tamatan SD dan SMP.

114
“Memang cita-cita Rudiman itu dia bilang mau jadi dokter. Tapi harapan saya

sebagai Bapak, karena saya bukan orang yang mampu, andai kata dia itu bisa

jadi guru atau mantri pun saya sudah merasa alhamdulillah. Itupun kalau

pemerintah ada perhatian, karena kalau mengharapkan saya apalah ada saya,

kan.”

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, Kak Yana adalah wali kelas

Rudiman dkk saat kelas 6 SD dan aku menjadi wali kelas mereka saat mereka

kelas 9 SMP. Di desa, kami memanggilnya Man tapi sekarang dia dikenal dengan

nama Rudi. Semoga dia bisa seinspiratif Rudy Habibie.

Rudi pernah bercerita bahwa saat kelas 6 dia ditawarkan oleh Kak Yana untuk

melanjutkan sekolah ke sebuah pesantren, namun saat itu Rudi masih ragu. Jika

Kak Yana saja tertarik untuk membuat Rudiman merantau, bagaimana denganku?

Saat pertama kali melihat Rudiman di tayangan Lentera Indonesia 2013, aku

terkesan dengan sorot matanya yang fokus, penuh percaya diri, dan tidak terlihat

canggung. Tidak heran kalau dia anak perkotaan, tapi kan bukan. Aku yakin ada

hubungannya dengan pembawaan diri Kak Yana sebagai panutannya.

Di hari pertama aku datang ke sekolah, saat itu tengah diadakan pembukaan

pesantren kilat di bulan Ramadhan, aku bertemu dengan Rudiman di teras

sekolah.

“Oh, jadi ini Rudiman si calon dokter?” Sapaku sambil menyalaminya.

“Aamin.” Jawabnya sambil tertawa. Saat itu dia sudah besar, lebih tinggi dan

dengan suara yang lebih berat.

115
Aku memasuki kelas untuk menyapa para calon muridku untuk pertama kalinya.

Satu kelas itu diisi oleh anak-anak muslim dari SD hingga SMP, sementara anak-

anak katolik di kelas lain bersama Pak Mateus.

Hanya sedikit yang aku sampaikan, perkenalan singkat, ice breaking, beberapa

games, kisah Nabi dan aku juga bertanya kepada mereka ice breaking apa saja

yang pernah diajarkan oleh Kak Surah, Kak Yana, Kak Anna, dan Kak Asep. Lalu

aku menemukan sorot mata itu, diantara tatapan-tatapan polos lainnya yang

kadang berkedip malu, atau berkeliaran menatap temannya yang lain, sorot mata

Rudiman yang fokus menyimak tampak mencolok. Ia seakan tengah mencerna,

menilai, atau menyaring informasi yang menurutnya berharga dariku. Tak

diragukan lagi, Rudiman adalah murid yang akan mudah mendapatkan perhatian

guru.

Di suatu siang aku berkunjung ke rumah Rudiman yang terletak di sekitar

perbatasan antara Sumber Maju dan Nanga Pengga. Dengan sigap dia menaiki

pohon kelapa sebagai suguhan untukku. Bertiga bersama Kokom, kami

berbincang di teras rumahnya.

“Jadi, mata pelajaran apa yang kamu sukai?” tanyaku.

“Fisika.” Jawabnya yakin. Di SMP hanya ada mata pelajaran IPA, namun guru

IPA-nya pasti menjelaskan mengenai cabang ilmu biologi, kimia, dan fisika.

“Kalau baca buku, kamu hobi nggak?” tanyaku lagi.

“Buku?” Rudi menimbang. “Aku suka baca buku Fisika.”

116
Aku tertawa. Tak banyak anak yang akan mengatakan buku fisika sebagai buku

bacaan favoritnya, namun keberadaan buku bacaan yang minim di Badai sudah

pasti membuatnya tak mengenal banyak jenis buku.

“Kalau bacaan seperti biografi tokoh atau novel motivasi pernah baca nggak? Aku

punya buku Negeri 5 Menara kalau kamu mau baca.”

Mungkin dia tidak menyadari bahwa buku tersebut adalah awal dari brain

storming yang aku lakukan kepadanya mengenai perantauan. Kisah mengenai

anak lulusan SMP di Sumatera yang merantau ke pulau Jawa. Awalnya Rudi

selalu tampak tak antusias jika aku bertanya tentang kemungkinannya merantau.

Di suatu kesempatan malah dia pernah menjawab dengan diplomatis.

“Buat apa aku pergi jauh-jauh ke pulau Jawa tapi desaku masih begini saja. Kalau

bukan kami, tidak ada lagi yang akan mau memajukan desa kami.”

Saat itu dia mengungkapkan cita-citanya, selain dokter, dia juga ingin menjadi

kepala desa. Tepatnya adalah dokter yang dipercaya untuk menjadi kepala desa.

Ada dua hal yang mungkin mendorongnya tertarik mengurus desa, pertama, dia

sering terlibat dengan kegiatan desa termasuk menjadi Ketua Remaja Mesjid yang

mana perlu perizinan kepala desa ketika menyelenggarakan kegiatan. Kedua, dia

sering bergaul dengan orang tua dan sudah mulai memahami pembicaraan

mereka, baik yang berbau politis maupun sosial.

Aku punya capaian lain dalam benakku saat itu. Dia tidak hanya akan menjadi

kepala desa, menurutku dia bisa menjadi seorang bupati. Apalagi jika benar

nantinya terjadi pemekaran di Kapuas Hulu. Namun hal itu tidak aku sampaikan

117
karena aku bukan sales mimpi-mimpinya. Dia akan mengetahui sendiri seberapa

jauh dia akan terbang nantinya.

DARI BADAI KE BANDUNG

Beberapa bulan setelah obrolan itu, saat dia sudah menyelesaikan buku yang aku

pinjamkan dan menonton film-film motivasi yang aku rekomendasikan, dia

bertanya kepadaku. “Pesantren Gontor itu jauh, ya? Susahkah masuk kesana?”

Aku tersenyum. Rudi sudah tertarik dengan sekolah di luar Kalimantan.

Sayangnya saat itu aku tidak bisa banyak memberinya informasi karena aku pun

tidak tahu seperti apa pesantren Gontor. Aku hanya memberikannya bayangan

mengenai kehidupan pesantren yang pernah aku jalani di Bandung.

Tidak ada lagi perbincangan serius mengenai pesantren Gontor. Aku mencoba

realistis dan tidak ambisius. Masa depan Rudi akan ditopang oleh mimpi-

mimpinya sendiri, bukan mimpiku. Rasanya memang sempurna jika Rudi benar-

benar bisa menjadi santri di Gontor, tapi aku tahu effort yang akan aku keluarkan

untuk bisa menjadikannya nyata harus optimal. Seperti effort yang kuberikan saat

mendorong kedua murid kelas 6 SD, Biki dan Arya, untuk mengikuti seleksi SMP

Smart Ekselensia. Dari mulai mengurus rapor mereka yang tidak lengkap,

berbicara dengan orang tua, memberikan les khusus untuk tes tulis, hingga

mengusahakan mereka mengikuti seleksi di Pontianak. Pada akhirnya mereka

tidak lolos seleksi dan aku tidak kaget karena aku tahu persaingannya ketat dan

mereka tidak seambisius itu untuk lolos seleksi. Memang akan berbeda rasanya

ketika ambisi itu datang dari dalam diri sendiri, dibandingkan datang dari orang

lain.

118
Itulah kenapa di hari-hari setelahnya fokusku tidak terlalu condong pada sekolah

Rudiman. Aku yakin dia memiliki jalan baik, dengan atau tanpa merantau. Meski

di benakku, setiap kali mendidik Rudiman, selalu ada godaan untuk

menjerumuskannya agar merantau. Entahlah, menurutku dia harus merantau. Dan

aku tahu dia mampu untuk itu. Kadang rasanya seperti melihat diriku sendiri pada

diri Rudiman.

Menjelang akhir tahun 2015, selepas Rudi dan kawan-kawannya tengah bermain

takraw di halaman rumah tempatku tinggal, dia tiba-tiba mengajakku berbicara

mengenai pendapatnya mengenai sekolah.

“Aku pikir aku tidak akan cocok di pesantren,” ujarnya padaku. “Aku harus bisa

membiayai sekolahku sendiri nanti. Tapi bukan hanya itu, kan, aku juga harus

bisa membiayai hidupku sendiri. Jadi sekolah di SMA lebih masuk akal karena

aku jadi bisa bekeja sepulang sekolah atau di akhir pekan.”

Kurang lebih itulah yang dia katakan dalam bahasa hulu, bahasa sehari-harinya

yang sudah kumengerti saat itu. Tapi lebih mudah menceritakannya dengan

bahasa Indonesia. Intinya dia mencoba realistis tentang biaya hidupnya. Bekerja

mencari uang sudah biasa dia lakukan sejak kelas 6 SD. Mulai dari ikut bertani

karet, berburu, sampai menjadi pekerja harian di tambang emas.

Banyak dari warga Badai mulai dari anak-anak kelas 6 SD hingga bapak-bapak

pergi ke desa yang sedang ada proyek tambang emas disana. Lamanya bisa 2

minggu hingga sebulan saat mereka tengah libur sekolah. Rudi selalu menyimpan

rapi uang hasil pekerjaannya. Setelah dirasa cukup, dia akan membeli barang-

barang yang dia perlukan. Rudi bisa membeli ponsel dan motor bekas dari hasil

119
pekerjaanya di tambang. Motor yang mungkin hanya dia yang mengerti cara

pakainya. Jika ada kerusakan, Rudi akan memperbaiki motornya sendiri. Aku

sendiri pernah melihat lakban putih mengelilingi dasbor motor Rudi.

Dalam obrolan sore itu aku memastikan kesiapan Rudi untuk merantau. Meski

belum ada rencana yang pasti tentang perantauannya. Tidak terkonsep seperti

dalam urutan discovery - dream - design - destiny. Namun aku tahu kami ada di

level ambisi yang sama. Kuberi tahu padanya bahwa tugasnya hanya tiga. Belajar

private denganku setiap malam, meminta pendapat dan izin orang tuanya tentang

rencananya merantau, dan menyiapkan fisik, mental, dan materi semampunya.

Tugasku mencari sekolah dan tempat tinggal untuknya.

Bandung adalah kota yang pas. Pendidikannya bagus, tuntutan adaptasinya tidak

seekstrim ibu kota, budaya kami tidak begitu beda, dan banyak keluargaku tinggal

di Bandung. Sekolah Negeri adalah pilihan yang tepat. Rudi memiliki Kartu

Indonesia Pintar, meski saat itu aku tidak tahu apa fungsinya, dan aku yakin

Sekolah Negeri lebih toleransi terhadap biaya pendidikan. Setidaknya seorang

murid tidak akan dikeluarkan hanya karena berstatus kurang mampu.

Tapi dimana?

Dari situlah aku baru membuat strategi. Kusebar kisah Rudiman di kitabisa.com

dan juga broadcast. Di web kitabisa.com sebenarnya sangat potensial dan

beberapa donatur merespon, namun karena aku bergerak sendiri dan sinyal di desa

kurang oke maka bisa dikatakan hasilnya tidak optimal. Dari hasil broadcast,

beberapa teman merespon, dari mulai teman yang bekerja di Rumah Zakat hingga

penerima beasiswa Dompet Dhuafa. Namun yang paling konkret adalah respon

120
dari kakak iparku, Kang Ahmad, dia adalah pendiri sekaligus Ketua Yayasan

Lizikri.

Akhirnya dengan Yayasan Lizikri lah Rudiman berjodoh. Sekolah yang dia

tempati adalah SMKN 6 Bandung, awalnya dia mendapatkan biaya sekolah tetap

dari seorang donatur di Bekasi. Rudi mendapatkan peringkat ketiga di sekolah,

nilai-nilainya bagus termasuk bahasa Sunda. Asumsiku, jangankan Rudiman,

mereka yang tinggal di Bandung pun tetap akan kesulitan dengan pelajaran bahasa

Sunda.

Aku tidak kaget saat dia dengan percaya dirinya menyatakan ingin menjadi Ketua

OSIS. Bahkan di hari masa orientasinya, Rudiman sudah dikenal karena berani

berbicara dan maju ke depan. Di hari selanjutnya dia terpilih menjadi Ketua

Kelas. Kemampuan adaptasinya tinggi dan itu yang aku harapkan sejak pertama

membawanya ke Bandung. Seluruh keluargaku mengagumi sikap sopan dan

rajinnya Rudiman. Dia tidak malu saat diajak berjualan seblak di tengah

kemacetan Nagreg. Dia juga selalu berinisiatif sholat di mesjid dan berani

menyapa orang yang ada di mesjid.

Saat baru beberapa hari di Bandung, di bulan Ramadhan, dia sholat magrib di

mesjid. Aku menyuruhnya makan, namun dia menjawab, “Sudah makan tadi di

mesjid.” Entah mesjid mana, entah ditawari oleh siapa.

Suatu hari juniorku di Unpad juga pernah bertanya padaku, “Teh, anak didik

Teteh yang Teteh bawa dari Kalimantan itu tinggal di Cinunuk, ya?”

“Iya, tahu dari mana?”

121
“Temanku cerita katanya lagi sholat di mesjid ketemu anak SMA namanya

Rudiman. Mereka ngobrol dan Rudiman cerita tentang Teteh.”

Aku tertawa. “Iya, dia memang suka datang ke mesjid dan ngobrol dengan orang

baru.”

Maka aku tidak pernah meragukannya. Cemas, tentu saja ada. Takut dia salah

membuat keputusan. Takut dia salah menilai. Takut pikirannya tersesat. Tapi dia

akan selalu melalui proses belajar dan aku tidak melulu harus menuntunnya.

Kembali pada keyakinanku ketika membawanya, menurutku dia harus merantau

dan aku tahu dia mampu untuk itu.

PAMIT

Sungguh, aku tak dapat menerka bagaimana masa depan akan membawa hidup

anak-anak Landau Badai. Sedikit yang aku bisa, membuat mereka dapat memiliki

cita-cita, membuat mereka bangga mengungkapkan harapan mereka sendiri. Ah,

aku tak sabar menunggu ketika rambutku perlahan memutih, sepuluh, atau

duapuluh tahun lagi, mimpi-mimpi mulia mereka akan tergenapi.

Aku bersyukur Tuhan telah mengizinkanku menjelajahi alam raya hutan

Kalimantan. Disini sejujurnya aku tidak mengajar, aku justru belajar. Aku hanya

mengambil satu peran kecil dari proses hidup manusia di Landau Badai bernama

belajar. Dari mereka semua, aku belajar tentang ketulusan yang sejati. Karena ini

bukanlah tentang diriku, tetapi tentang mereka, tentang Landau Badai.

Aliran air sungai silat menandai pengalaman penting dalam hidupku. Bukan

hanya pengalaman mengajar, tapi pengalaman hidup berdampingan merayakan

perbedaan dalam keragaman.

122
Republik ini hadir dengan janji kemerdekaan, yaitu melindungi, memajukan

kesejahteraan, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Janji ini harus ditunaikan

oleh kita semua.

(Lentera Indonesia, Pulau Landau Badai - Aryana Kusumaningrum, 2013)

Hari-hari terakhir menjelang penarikan adalah dilema. Ada perasaan risau karena

akan menuju kehidupan lain yang berbeda dengan keseharian di Badai. Ada

perasaan sukacita karena akan kembali bertemu dengan keluarga dan sahabat. Ada

pula rasa haru saat menyadari bahwa raga ini akan meninggalkan hal-hal yang

sudah dijalani setahun belakangan. Tak lagi akan menyusuri jalanan desa dari

ujung ke ujung. Berjalan dari rumah ke sekolah melintasi rumput yang meninggi.

Atau menikmati malam yang gelap, tanpa listrik, tanpa sinyal.

Perpisahan selalu lekat dengan air mata. Meski begitu aku tidak bisa berbohong

bahwa aku merasa lega karena akan segera purna tugas. Bukan rasa bahagia

karena akan meninggalkan Badai, melainkan sebuah rasa lega bahwa aku bisa

melalui sepanjang tahun ini tanpa mengeluh, tanpa mengaduh. Bahwa aku bisa

berterimakasih kepada takdir yang mengantarkanku menjadi bagian dari Landau

Badai. Tak ada hal yang ditakutkan dan dikhawatirkan benar-benar terjadi setahun

ini. Meski bukan berarti aku tak berkonflik.

Ada pula perasaan cemas, akan seperti apa mereka mengingatku? Hal-hal apa

yang akan mereka ceritakan tentangku di kemudian hari? Kesan dan kenangan apa

yang tertinggal dalam benak mereka mengenai Pengajar Muda terakhir ini?

Apakah aku telah berhasil menjadi PM? Apakah aku sudah benar melakukan apa

yang IM cita-citakan? Apakah aku mengecewakan orang lain? Apakah aku sudah

123
melakukan kesalahan yang tidak aku ketahui, atau sesuatu yang aku lewatkan

tanpa aku sadari?

Jadwal kepulanganku di awal Juni menjadi perbincangan warga selama sebulan

terakhir. Setiap orang yang kutemui akan terselip kata-kata pra-perpisahan dari

mereka.

“Ooowayay… Buk Sarah pagi dah balek ke Jawa agik. Anang kelupa arung kami

bah Buk.” Yang berarti, Bu Sarah nanti sudah pulang ke Jawa lagi. Jangan lupa

sama kami ya, Bu.

Dan sebuah perpisahan pun dipersiapkan dengan acara dangdutan yang akan

diadakan di halaman sekolah. Acara dangdutan itu sekaligus menjadi ajang

perpisahan murid-murid SD dan SMP yang sudah berada di tahun terakhir.

Namun yang paling mengharukan tentu saja perpisahan yang diselenggarakan

sekolah.

Aku tak akan menangis. Itu yang aku yakini saat hari perpisahan dan memberi

sambutan terakhir. Tapi entah kenapa aku tercekat saat mengatakan satu kalimat,

“Kawanku pernah berkata … katanya jika sudah di Jawa nanti, jangan lihat ke

bawah sungai. Karena …”

Rasa haru menyerangku tiba-tiba, ada kesedihan yang menyerang kala

membayangkan suatu saat aku akan mengenang saat-saat tinggal disini.

“Karena … karena nanti kamu akan rindu Sungai Kapuas.” Air mataku merembes

memaksa keluar. Aku akhirnya menangis.

Momen itu ternyata bukan momen tersedih. Ada lagi hal yang membuatku

menangis hingga tersedu. Di akhir acara, anak-anak kelas 9 SMP dan kelas 6 SD

124
berputar menyalami guru-guru disusul oleh adik kelas mereka yang juga

menyalami guru-guru dan para seniornya.

Sulit menahan air mata di tengah situasi sendu hari itu. Apalagi saat tiba giliran

Jean menyalamiku. Tanpa ditahan dia memelukku erat sambil menangis tanpa

henti, memintaku untuk tidak pergi, memohon agar aku tetap tinggal, dan terus

menangis seperti orang yang tengah patah hati. Lain lagi dengan Jupari, si kuda

hitam ini sibuk menghapus air matanya, campur aduk antara mengatakan terima

kasih, meminta doa, dan berharap aku tidak melupakannya. Dia tidak bisa

memelukku seperti yang dilakukan Jean, namun aku tahu dia merasakan patah

hati yang sama. Banyak pelukan. Banyak air mata. Ucapan terima kasih dan

permohonan untuk tetap saling memberikan kabar.

Dalam perjalanan terakhirku menuju Simpang Bongkong, Kokom tidak banyak

bicara. Kami sama-sama benci perpisahan. Seakan tak tahu lagi bagaimana

mengungkapkan perasaan. Tak cukup seribu kata untuk menggambarkan rasa

terima kasih kami pada semesta yang telah mempertemukan. Kokom pun hanya

berujar, “Aku masih ingat saat pertama kali melihatmu di Bongkong. Kamu

menggendong tas ransel besar dan memakai sepatu olahraga. Aku pikir gayamu

oke sekali.”

“Aku rasa gayaku memang oke.” Sahutku sambil tertawa.

Kita memilih tawa untuk perjalanan akhir ini.

"Selain baju yang kukenakan saat pertama kita bertemu, apalagi yang akan kamu

ingat tentangku?"

125
"Semuanya, Sar. Mana mungkin aku lupa sama kembaranku." Jawabnya, menutup

perjalanan terakhirku meninggalkan Badai.

Di setiap perjalanan akan selalu ada yang aku bawa dan aku tuju. Banyak yang

kubawa; persahabatan, persaudaraan, kasih, dan cinta dalam berbagai bentuk. Dan

aku membawanya bersama tujuan baru di perjalanan hidupku.

PASCA PENUGASAN

Kami berkumpul kembali di ibukota. Tujuhpuluh lima Pelari Terakhir yang sudah

purna tugas dikumpulkan di sebuah wisma di Jakarta. Disinilah puncak keresa han

yang aku rasakan saat mempertanyakan kepada diri sendiri, apakah aku sudah

berhasil menjadi Pengajar Muda? Apakah aku sudah menjadi bola billiard yang

dimaksudkan IM? Meski kami selalu diingatkan bahwa tidak ada PM yang gagal,

tapi kerisauan itu tetap terlintas setelah kita kembali pada suasana bertujuhpuluh

lima. Seakan menyadarkan kita bahwa setahun kemarin terjadi dengan maksud

dan tujuan.

Namanya Orientasi Pasca Penugasan. Tidak dipilih kata evaluasi, laporan, atau

monitoring. Aku tidak tahu persis kenapa kata orientasi yang dipilih, namun

asumsiku hal itu dipilih karena mereka merasa satu tahun yang kami lalui adalah

milik kami. Tidak ada evaluasi, atau hasil kerja yang mereka tuntut. Mereka

hanya ingin cerita dari kami. Dan tujuan lain dari OPP adalah mengorientasi

kehidupan kami berikutnya setelah setahun bertugas.

Tentu saja OPP ini tidak berpusat pada kehidupan kami. Mereka, para officer dan

beberapa founder, ingin mendengarkan cerita kami selama di desa. Bahkan mitra

IM pun hadir untuk mendengarkan cerita kami. Berbagai perusahaan dari yang

126
populer sampai yang dikenal memiliki sistem rekrutmen yang sulit. Para alumni

yang sudah bekerja pun berdatangan dari sektor Pendidikan, pemerintahan, NGO,

start up, maupun para pemburu beasiswa. Kartu nama bertebaran dari para alumni

dan mitra IM.

Pada saat sesi bersama salah seorang founder, kami diberikan sebuah petuah,

bahwa ada tiga hal yang menjadi pegangan dirinya saat mencari sebuah pekerjan.

Pertama adalah aspek intelektual, pekerjaan apapun yang dipilih sebisa mungkin

bisa membuat intelektualitas kita meningkat. Kedua adalah aspek sosial, dimana

pekerjaan kita bisa membuat dampak sosial kepada masyarakat. Dan yang ketiga

adalah aspek finansial, seberapapun idealisnya kita mencari pekerjaan, salah satu

tujuannya tetap untuk memenuhi kebutuhan finansial kita.

Selain itu, ia juga menjelaskan mengenai sektor di dunia pekerjaan yang akan

kami temui, yaitu sektor birokrasi, sektor pemerintahan, sektor bisnis, dan yang

lainnya seperti sektor Pendidikan dan sosial. Sang founder pun mendorong kami

untuk memenuhi sektor birokrasi karena sektor tersebut selalu yang paling

dihindari tapi sebenarnya paling berpengaruh dan membutuhkan orang-orang

seperti kami.

Seperti kami? Seperti apa? Ada tiga hal yang aku rasa saat itu menggambarkan

kami. Anak muda. Orang baik. Alumni PM. Kami yang muda dimana suatu saat

bisa menjadi tua. Kami yang saat itu dianggap orang baik mungkin suatu saat

akan mengalami dilema di persimpangan moral. Dan kealumnian kami sebagai

PM suatu saat tidak akan lagi memiliki tendensi apa-apa. Sejatinya OPP ini

127
mengembalikan kami menjadi diri sendiri, dengan tujuan yang kami pilih sendiri

secara sadar.

128

Anda mungkin juga menyukai