Anda di halaman 1dari 7

CONTINUING MEDICAL CONTINUING EDUCATION CONTINUINGMEDICAL MEDICALEDUCATION EDUCATION

Akreditasi IDI 3 SKP

Perbandingan Stimulasi Barorefleks dan Denervasi Renal dalam Tata Laksana Hipertensi Resisten
Leonardo Paskah Suciadi, Augustine Purnomowati
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia

ABSTRAK Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tidak mencapai target walaupun pasien telah mendapat 3 agen antihipertensi atau lebih dengan kombinasi ideal, dosis optimal, dan didukung dengan kepatuhan berobat yang baik serta upaya perubahan gaya hidup secara rutin. Optimalisasi terapi merupakan masalah utama dalam tata laksana hipertensi pada populasi ini. Sejumlah studi klinis terakhir menunjukkan bahwa stimulasi barorefleks dan denervasi renal memiliki efikasi dan profil keamanan yang relatif baik sebagai penunjang terapi farmakologis dalam tata laksana hipertensi resisten. Kedua jenis terapi semi-invasif ini bekerja dengan menekan aktivasi saraf simpatis dalam regulasi tekanan darah. Kata kunci: Hipertensi resisten, stimulasi barorefleks, denervasi renal, aktivasi saraf simpatis

ABSTRACT Resistant hypertension is defined as blood pressure that remains above target of therapy in spite of concurrent use of at least 3 antihypertensive agents of different classes with ideal combination and optimal doses, supported by good patients compliance and sustained healthy lifestyle changes. Optimalization of therapy is the primary problem in the management of hypertension in this population. Recent clinical studies showed that baroreflex stimulation and renal denervation had good efficacy and tolerable safety profiles as adjuvant to pharmacological therapy in management of resistant hypertension. Both semi-invasive procedures work by decreasing symphatethic nerve activation in blood pressure regulation. Leonardo Paskah Suciadi, Augustine Purnomowati. Comparison Between Baroreflex Stimulation and Renal Denervation in the Management of Resistant Hipertension. Key words: Resistant hypertension, baroreflex stimulation, renal denervation, sympathetic nerve activation

PENDAHULUAN Hipertensi saat ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Sekitar 5 juta populasi dewasa di Amerika Serikat dan tidak kurang dari 1 milyar penduduk dunia dilaporkan menyandang hipertensi. Hipertensi menyebabkan 7,1 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia.1 Analisis oleh National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa hanya 53% penyandang hipertensi yang berobat berhasil mencapai target tekanan darah di bawah 140/90 mmHg.2 Angka tersebut tentu lebih kecil lagi pada populasi hipertensi dengan target tekanan darah lebih rendah, seperti pada penyandang diabetes melitus dan penyakit ginjal kronik. Sebagian besar pasien kelompok ini belum mendapat regimen terapi yang tepat, mendapat dosis
Alamat korespondensi email: be.bakerstreet@gmail.com

kurang optimal, kepatuhannya buruk, atau belum mengubah gaya hidup secara rutin. Sebagian lainnya adalah kasus hipertensi resisten, yang perlu dibedakan dari kelompok hipertensi tidak terkontrol tersebut.3 Hipertensi resisten sebenarnya dijumpai pada penderita hipertensi esensial sehingga penegakan diagnosisnya memerlukan eksklusi terlebih dulu terhadap kemungkinan sebab-sebab sekunder hipertensi (penyakit parenkim ginjal primer, stenosis arteri renalis, feokromositoma, dll.) maupun pseudohipertensi (white-coat hypertension dan penggunaan ukuran manset tidak tepat).4 Hipertensi resisten didefinisikan sebagai tekanan darah yang tidak mencapai target walaupun pasien telah mendapat 3 agen antihipertensi atau lebih dengan kombinasi

ideal, dosis optimal, dan didukung dengan kepatuhan berobat yang baik serta upaya perubahan gaya hidup secara rutin. Kombinasi ideal adalah penggunaan dua atau lebih agen antihipertensi yang berasal dari kelas dengan mekanisme kerja berbeda, yang salah satunya diuretik.3 Hipertensi resisten hampir selalu memiliki penyebab multifaktorial yang berkontribusi terhadap terjadinya resistensi terapi.3 Prevalensi hipertensi resisten belum jelas diketahui. Sebuah studi kohort, ALLHAT (antihypertensive and lipid-lowering treatment to prevent heart attack trial), melaporkan sekurang-kurangnya 15% kasus hipertensi resisten pada populasi studi.3 Populasi hipertensi resisten ini merupakan kelompok yang berisiko tinggi terhadap kejadian

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

87

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


kardiovaskuler karena hipertensi yang tidak terkontrol dalam jangka panjang umumnya sudah menimbulkan kerusakan target organ subklinis.3,4 Prognosis buruk juga ditemukan pada banyak subjek populasi ini yang memiliki komorbiditas berupa diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, sindrom metabolik, dan obstructive sleep apnea (OSA).3 Tata laksana optimal hipertensi resisten akan memberikan manfaat sangat besar dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler.3 Strategi konvensional tata laksana hipertensi resisten meliputi optimalisasi perubahan gaya hidup (berolahraga teratur, membatasi asupan garam, menurunkan berat badan, berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol), interupsi terhadap obat-obat yang dapat mengganggu kontrol tekanan darah (non-steroid anti-inflammatory drugs, preparat estrogen), dan terapi kondisi peningkatan katekolamin dalam sirkulasi (obstructive sleep apnea [OSA], stres).1,4 Berbagai pendekatan mutakhir tata laksana hipertensi resisten telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Stimulasi baroreseptor dan denervasi renal, berdasarkan laporan sejumlah penelitian, adalah dua jenis modalitas terapi yang menjanjikan untuk tata laksana hipertensi resisten. Kedua strategi semi-invasif ini akan dipaparkan dalam artikel ini. PERAN SISTEM SARAF SIMPATIS DALAM REGULASI TEKANAN DARAH Sistem saraf simpatis merupakan sistem saraf autonom yang hingga saat ini diketahui memiliki peran paling penting dalam regulasi tekanan darah.5 Banyak penelitian akhirakhir ini menunjukkan peran besar sistem saraf simpatis dalam patogenesis hipertensi esensial. Stimulasi simpatis pada arteri kecil dan arteriol akan menyebabkan vasokonstriksi sehingga meningkatkan resistensi vaskuler perifer secara total. Stimulasi simpatis pada sistem vena akan menimbulkan venokonstriksi sehingga meningkatkan aliran balik ke jantung, yang dalam keadaan fisiologis akan menyebabkan peningkatan preload, kontraktilitas jantung, dan isi sekuncup. Mekanisme ini terjadi melalui stimulasi reseptor -1 pada dinding pembuluh darah. Persarafan simpatis juga dapat menstimulasi jantung secara langsung, yaitu melalui perangsangan reseptor -1 yang akan meningkatkan kontraktilitas miokard (efek inotropik positif ) dan laju jantung (efek kronotropik positif ).5,6 Efek vasokonstriksi dan kardio-akselerasi yang disebabkan oleh stimulasi simpatis tersebut terjadi bersamaan sehingga tekanan darah dapat meningkat dengan cepat; contohnya adalah saat melakukan aktivitas fisik dan pada keadaan emosional (stres psikis, marah).5 Efek stimulasi persarafan simpatis terhadap peningkatan tekanan darah juga berkaitan dengan peningkatan aktivitas sistem reninangiotensin-aldosteron (renin-angiotensinaldosterone system, RAAS) yang menyebabkan retensi cairan dan natrium.6 Aktivitas saraf simpatis renal juga dapat menimbulkan vasokonstriksi renal. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa sistem saraf simpatis renal berinteraksi dengan RAAS dalam berbagai tingkatan untuk mengatur tonus vaskuler renal, sehingga berperan dalam regulasi jangka panjang tekanan darah. Stimulasi saraf simpatis renal akan meningkatkan kemampuan angiotensin II untuk menimbulkan vasokonstriksi sirkulasi renal. Mekanisme stimulasi saraf simpatis renal ini diduga terlibat dalam patogenesis hipertensi.7 Penelitian pada binatang dan manusia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sistem saraf simpatis berperan lebih besar dalam patogenesis hipertensi sistemik. Sistem saraf simpatis sebelumnya hanya dipertimbangkan berperan pada regulasi tekanan darah dalam jangka pendek, sedangkan ginjal merupakan regulator utama tekanan darah dalam jangka panjang.5,6 Pandangan renosentris ini telah menelurkan banyak modalitas terapi hipertensi yang bekerja menghambat RAAS (agen penyekat enzim ACE dan penyekat reseptor angiotensin) serta mengurangi volume intravasal (agen diuretik). Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan aktivitas simpatis pada populasi hipertensi; namun temuan ini juga dijumpai pada populasi normotensi, terutama yang memiliki riwayat keluarga hipertensi.8 Peningkatan stimulasi simpatis tampaknya tidak selalu menimbulkan hipertensi pada populasi umum. Aktivitas simpatis yang meningkat sering dijumpai pada populasi obesitas dan lanjut usia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stimulasi simpatis berdampak lebih besar terhadap kenaikan tekanan darah pada kedua populasi tersebut jika dibandingkan dengan populasi umum.9 Peningkatan aktivitas simpatis pada kedua populasi tersebut disebabkan oleh kombinasi perubahan regulasi autonom sentral, gangguan barorefleks, dan perubahan komposisi tubuh. OSA juga berkontribusi terhadap peningkatan aktivitas simpatis dan tekanan darah pada obesitas.8 REFLEKS BARORESEPTOR DAN REGULASI TEKANAN DARAH Refleks baroreseptor berperan sebagai sistem umpan balik negatif dan dapar perubahan tekanan darah.6 Refleks tersebut bekerja melalui mekanisme lengkung barorefleks yang terdiri atas sistem aferen (baroreseptor pada jantung, paru, arkus aorta, dan sinus karotis), jalur sentral polisinaps di batang otak, serta eferen autonom di jantung, pembuluh darah perifer, dan ginjal.10 Kenaikan tekanan darah akan meningkatkan laju tembak baroreseptor melalui sistem saraf pusat dan memacu refleks vagal yang akan menghambat efek simpatis ke jantung (penurunan frekuensi denyut jantung) dan pembuluh darah perifer (vasodilatasi).6,10 Tekanan darah berbanding lurus dengan curah jantung dan resistensi perifer, sehingga kedua refleks vagal tersebut akan menurunkan tekanan darah. Efek pendaparan tekanan darah oleh barorefleks terjadi sangat cepat; latensi antara stimulasi barorefleks dengan onset penurunan frekuensi denyut jantung kurang dari 0,5 detik, sedangkan latensi terhadap perubahan resistensi vaskular (vasodilatasi) sekitar 1,5 detik.6 Barorefleks sudah lama diketahui berperan dalam mekanisme regulasi jangka pendek yang cepat terhadap perubahan tekanan darah.10 Kemampuan perangsangan sinus karotis dalam menstimulasi barorefleks dan menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung juga sudah lama digunakan dalam praktik klinis untuk terminasi takikardia supraventrikular melalui penekanan pada area sinus karotis.6 Pada keadaan sebaliknya, yaitu penurunan tekanan darah, reseptor barorefleks akan menyebabkan penurunan laju tembak ke sistem saraf pusat (baroreceptor unloading) sehingga terjadi dominansi simpatis yang

88

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


menimbulkan peningkatan frekuensi denyut jantung, vasokonstriksi perifer, peningkatan sekresi adrenalin dari medula adrenal, dan perangsangan RAAS. Hasil akhirnya berupa peningkatan tekanan darah. Mekanisme ini sering dijumpai pada kasus hipotensi akut.6 Sejumlah penelitian menunjukkan penurunan distensibilitas pembuluh darah di area baroreseptif (kekakuan pembuluh darah) akan berdampak pada penurunan sensitivitas baroreseptor.11 Kasus demikian sering dijumpai pada populasi lanjut usia dan aterosklerosis yang berdampak pada penumpulan refleks baroreseptor dan dominansi simpatis dalam regulasi tekanan darah, sehingga berkontribusi terhadap tingginya prevalensi hipertensi pada populasi tersebut.6,11 Populasi penyandang hipertensi esensial kronis juga menunjukkan adanya gangguan barorefleks, terutama refleks kontrol terhadap frekuensi denyut jantung. Sensitivitas barorefleks terhadap tonus vasomotor simpatis pada populasi ini masih berfungsi baik meskipun respons barorefleks tersebut berada pada tekanan arteri yang lebih tinggi (resetting).10 Refleks baroreseptor bekerja pada rentang set point tertentu yang dipengaruhi oleh tekanan darah sistemik (tekanan rerata arteri).6 Sejumlah penelitian menunjukkan adanya pergeseran ambang tekanan untuk berfungsinya barorefleks pada kasus hipertensi esensial kronis, seiring dengan peningkatan tekanan darah rerata.11 Kondisi adaptasi demikian dikenal sebagai baroreflex resetting yang kronis. Baroreflex resetting mengindikasikan adanya gangguan sensitivitas barorefleks pada kasus hipertensi esensial kronis.10,11 Sejumlah mekanisme dipertimbangkan sebagai penyebab terjadinya resetting pada kasus hipertensi kronis, antara lain kerusakan baroreseptor, penurunan distensibilitas dinding pembuluh darah pada area baroreseptif, perubahan proses coupling antara reseptor dengan dinding pembuluh darah, dan perubahan properti intrinsik reseptor itu sendiri (faktor genetik).11 Fenomena resetting tersebut dapat terjadi pada sistem aferen, sistem saraf pusat, ataupun sistem eferen pada lengkung barorefleks.10 Sejak ditemukannya fenomena baroreflex resetting ini, barorefleks dinilai hanya berperan pada regulasi tekanan darah jangka pendek saja, sementara regulasi jangka panjang lebih dikaitkan dengan sistem renal.6 Perdebatan perihal peran barorefleks dalam regulasi tekanan darah jangka panjang kembali muncul akhir-akhir ini. Berbagai penelitian dengan modulasi elektrik dan mekanik terhadap arkus barorefleks menunjukkan bahwa karakteristik baroreflex resetting tersebut bersifat reversibel dan tidak sempurna. Fluktuasi ini mengindikasikan adanya proses kontinu barorefleks dalam mengkontradiksi peningkatan tekanan darah pada kasus hipertensi kronis. Bukti lain menunjukkan masih adanya kemampuan barorefleks yang telah mengalami resetting dalam menekan RAAS pada populasi hipertensi.10 Sejumlah data tersebut menunjukkan barorefleks berpotensi memainkan peranan besar dalam regulasi tekanan darah jangka panjang. Disfungsi barorefleks diduga berperan dalam patogenesis hipertensi esensial.11 Terapi dengan agen antihipertensi jangka panjang, tidak bergantung pada jenis agennya, dapat memperbaiki fungsi barorefleks dan memulihkan resetting sehingga dapat mencegah terjadinya remodeling ventrikular dan vaskular lebih lanjut pada kasus hipertensi kronis.10 STIMULASI BARORESEPTOR SEBAGAI TATA LAKSANA HIPERTENSI RESISTEN Konsep dasar stimulasi baroreseptor memandang baroreseptor sebagai sebuah generator eksternal yang mentransmisikan sinyal melalui kawat listrik ke alat penerima dengan elektroda yang ditempatkan pada persarafan sinus karotis. Adanya sinyal saraf simpatis yang kontinu tersebut akan ditangkap dan diinterpretasikan oleh sistem saraf pusat sebagai peningkatan tekanan darah yang konstan, mencetuskan umpan balik ke sentral berupa penurunan aktivitas simpatis yang selanjutnya menurunkan tekanan darah.12 Berbagai studi awal pada binatang dan manusia terkait metode ini menunjukkan hasil yang relatif konsisten, berupa penurunan tekanan darah yang bermakna, tidak hanya sebentar, tetapi untuk jangka panjang.13 Namun, antusiasme terhadap efikasi metode ini sempat mereda karena banyaknya keterbatasan teknis prosedur tersebut.12 Efek samping prosedur yang banyak dilaporkan berupa kerusakan saraf sinus karotis saat prosedur bedah dan potensi sinyal listrik bocor dari elektroda yang ditanamkan.13 Kemajuan teknologi terkini memberi solusi untuk berbagai kendala teknis tersebut. Saat ini, salah satu perusahaan farmasi di Amerika Serikat telah mengembangkan pendekatan mutakhir untuk sistem aktivasi barorefleks karotis, yaitu perangkat generasi pertama yang dinamakan Rheos, yang telah didukung efikasinya oleh beberapa studi klinis, dan perangkat generasi kedua yang dinamakan Barostim neo, yang uji klinisnya sedang berlangsung saat ini (Gambar 1).13,14

Gambar 1 Sistem Stimulasi Barorefleks Rheos (kiri) dan Barostim Neo (kanan)

Rheos menyerupai alat pacu jantung, terdiri atas 3 komponen: generator sinyal elektrik, dua buah elektroda sinus karotis bilateral, dan sistem pemrograman Rheos. Generator sinyal elektrik menggunakan daya baterai dan memiliki sistem sirkuit yang menghantarkan energi aktivasi 1-7,5 V.14 Parameter-parameter stimulasi, yang meliputi amplitudo tegangan, frekuensi, dan durasi impuls, dapat diprogram secara eksternal. Energi aktivasi dibangkitkan dari generator dan dihantarkan ke sinus karotis bilateral melalui kabel dan elektroda, mencetuskan stimulasi serabut saraf baroreseptor di dalam sinus karotis yang selanjutnya menstimulasi barorefleks (Gambar 2).13

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

89

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


Prosedur bedah untuk menanamkan perangkat Rheos di dalam tubuh dilakukan dengan anestesi umum. Pada hari prosedur, pasien melewatkan dosis pagi agen antihipertensi. Tahap pertama prosedur meliputi induksi anestesi dan pemajanan bifurkasio karotis, dilanjutkan dengan pemetaan sinus karotis di setiap sisi leher dengan mengidentifikasi lokasi pada sinus karotis yang efek penurunan tekanan darahnya paling optimal jika distimulasi.14 Elektroda kemudian ditanam di lokasi tersebut pada masing-masing sisi leher. Generator sinyal ditanam di bawah kulit (subkutan) pada di daerah infraklavikular kanan, untuk membedakan dengan lokasi penanaman alat pacu jantung atau defibrilator yang umumnya di daerah infraklavikular kiri. Elektroda masing-masing sinus karotis kemudian disambungkan ke generator sinyal melalui kabel yang ditanam subkutan. Prosedur tersebut umumnya berlangsung kurang dari 1 jam. Agen antihipertensi dilanjutkan sesuai jadwal pasca-prosedur. Pada hari ke-1 atau ke-2 pasca-prosedur, sistem diaktifkan dan parameter diprogram sesuai target tekanan darah.12 DENERVASI RENAL SEBAGAI MODALITAS TATA LAKSANA HIPERTENSI RESISTEN Ginjal disarafi oleh serabut saraf simpatis post-ganglionik yang berakhir pada tunika adventisia arteriol eferen dan aferen, aparatus jukstaglomerular, dan sistem tubulus renal. Penelitian pada binatang dan manusia menunjukkan bahwa peningkatan sinyal eferen akan menimbulkan vasokonstriksi renal, penurunan aliran darah renal, peningkatan pelepasan renin, dan retensi natrium. Peningkatan sinyal aferen, seperti pada penyakit parenkim ginjal, memiliki keterkaitan dengan aktivitas simpatis melalui mekanisme umpan balik negatif pada pusat vasomotor di sistem saraf pusat.15 Aktivasi saraf simpatis renal ini diduga memainkan peran penting dalam patogenesis hipertensi.7,15 Upaya intervensi terhadap aktivitas simpatis renal telah dilakukan sejak tahun 1950-an berupa denervasi secara bedah (splanknisektomi subdiafragmatika).24 Tindakan invasif tersebut memberikan hasil memuaskan, berupa penurunan tekanan darah secara bermakna pada kasus hipertensi maligna.15 Prosedur ini memiliki morbiditas dan mortalitas perioperatif yang tinggi disertai komplikasi jangka panjang berupa hipotensi postural, impotensi, sinkop, dan gangguan saluran cerna, sehingga menjadi tidak popular dan ditinggalkan.15,16 Berbagai efek samping tersebut disebabkan oleh penggunaan teknik bedah kuno yang tidak secara spesifik mengenai saraf simpatis renal.16 Perkembangan teknologi kedokteran dalam satu dekade terakhir memungkinkan upaya denervasi saraf simpatis renal secara invasif minimal dan lebih efektif, yaitu dengan teknik ablasi radiofrekuensi transkateter. Prosedur denervasi renal modern ini menggunakan kateter khusus yang dimasukkan ke arteri femoralis dan ditujukan ke kedua arteri renalis. Energi radiofrekuensi diarahkan ke permukaan endoluminal arteri renalis sehingga menimbulkan kerusakan selektif saraf simpatis renal.16 Perangkat sistem denervasi renal yang beredar di pasaran saat ini beragam, meliputi 5 perangkat yang telah mendapatkan lisensi Eropa: Medtronic Symplicity Renal Denervation System, ReCor Medical Paradise, Covidiens One Shot Renal Denervation Device, St. Jude Medical EnligHTN, dan Vessix Vascular V2 System.17 Kebanyakan studi klinis penting tentang denervasi renal menggunakan sistem denervasi renal Medtronic-Symplicity, termasuk studi Symplicity HTN-1 dan Symplicity HTN-2. Perangkat utama sistem MedtronicSymplicity berupa sebuah kateter fleksibel dan generator radiofrekuensi (Gambar 3).13 Prosedur denervasi meliputi pendekatan kateter endovaskuler untuk merusak saraf simpatis renal menggunakan energi radiofrekuensi melalui elektroda di ujung kateter. Akses kateter melalui arteri femoralis dan kateterisasi lumen arteri renalis menggunakan panduan 6F atau 8F. Kateter Symplicity kemudian dihubungkan ke generator radiofrekuensi, dan dosis ablasi multipel diberikan pada masing-masing arteri renalis. Dosis ablasi dimulai dari distal arteri renalis, kemudian kateter ditarik 5 mm ke proksimal dan dirotasi (pola heliks) pada dosis berikutnya. Prosedur ini dilanjutkan hingga 4-6 dosis ablasi pada masing-masing arteri renalis dan mengenai seluruh lingkaran lumen arteri.18,19 Pemberian masing-masing dosis ablasi berlangsung sekitar 2 menit, sehingga durasi total prosedur ablasi kurang dari 60 menit. Selama prosedur, suhu di ujung kateter (50-70 C) dan energi radiofrekuensi (maksimal 8 watt) dipantau terus-menerus. Prosedur pemanasan sistematis tersebut akan mengablasi saraf simpatis di tunika adventisia

Gambar 2 Prosedur stimulasi barorefleks

Perangkat generasi kedua sistem stimulasi baroreseptor, Barostim neo, hanya terdiri atas sebuah elektroda kecil (unilateral) serta stimulator yang lebih kecil dan lebih canggih. Pengembangan teknis ini membuat prosedur pemasangan menjadi lebih singkat, terapi lebih efisien, dan baterai lebih tahan lama. Saat ini, Barostim neo sudah mendapatkan lisensi Eropa dan digunakan pada praktik klinis pengelolaan pasien hipertensi di beberapa negara Eropa.14

Gambar 3 Komponen sistem denervasi renal Medtronic-Symplicity. (a) Kateter fleksibel. (b) Generator radiofrekuensi

90

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


kedua arteri renalis.14 Prosedur dikerjakan hanya dalam sedasi ringan dan analgesia. Saat ablasi, umumnya pasien merasa tidak nyaman di perut atau pinggang, tetapi dapat ditoleransi dengan pemberian analgesik.19 Pemantauan tekanan darah dilakukan pascaprosedur. Mayoritas pasien akan mengalami penurunan tekanan darah secara bertahap dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan. Pengaturan regimen antihipertensi diperlukan sesuai dengan respons terapi. Sekitar 15% pasien yang diterapi dengan denervasi renal tidak responsif tanpa sebab jelas. Keluhan nyeri pasca-prosedur sangat jarang dijumpai.19 Seleksi pasien merupakan tahap penting dalam menentukan keberhasilan prosedur. Beberapa kriteria inklusi yang pernah dikemukakan antara tekanan darah sistolik saat diukur di klinik >160 mmHg atau rerata tekanan sistolik harian >150 mmHg (pada pasien diabetes melitus tipe 2, tekanan darah sistolik di klinik >150 mmHg atau rerata harian >140 mmHg), tergolong kasus hipertensi resisten (kemungkinan ketidakpatuhan berobat, hipertensi sekunder, white-coat hypertension disingkirkan), laju filtrasi ginjal >45 mL/menit/1,73 m2, serta anatomi arteri renalis yang sesuai (panjang >20 mm, diameter >4 mm tanpa stenosis bermakna atau abnormalitas lainnya).18,19 PERBANDINGAN STIMULASI BARORESEPTOR DAN DENERVASI RENAL DALAM TATA LAKSANA HIPERTENSI RESISTEN Stimulasi baroreseptor dan denervasi renal bertujuan mengurangi kendali saraf simpatis dalam regulasi tekanan darah. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan efikasi yang menjanjikan dengan efek samping minimal pada kedua prosedur tersebut dalam tata laksana kasus hipertensi resisten. Efikasi sistem Rheos pada tata laksana hipertensi terungkap melalui beberapa uji klinis pada manusia, antara lain pernah dilaporkan dalam Device-Based Therapy of Hypertension Trial (DEBuT-HT), sebuah studi kelayakan prospektif non-acak multisenter di Eropa.20 Pemantauan pada 45 subjek hipertensi resisten menunjukkan penurunan tekanan darah rerata sebesar 21/12 mmHg pada 3 bulan pasca-prosedur dan mencapai 33/22 mmHg pada pengamatan 2 tahun pascaprosedur. Efek samping terkait prosedur relatif dapat ditoleransi, ditemukan pada 8 subjek dan meliputi hanya 1 kejadian serius berupa angioedema. Efek samping yang ditakutkan, berupa kerusakan serius arteri karotis maupun kejadian sinkop pasca-prosedur, tidak dijumpai pada uji klinis tersebut. Uji klinis acak dan tersamar ganda pertama dan terbesar terkait sistem Rheos pada tata laksana hipertensi resisten adalah Rheos Pivotal Trial. Saat ini, studi klinis tersebut memasuki fase III. Studi ini dirancang untuk menilai efikasi penurunan tekanan darah sistolik dan profil keamanan sistem Rheos pada tata laksana hipertensi resisten.21 Sebanyak 265 subjek dari 49 pusat layanan kesehatan diacak dengan pola 2:1 dan perangkat Rheos ditanamkan ke pasien. Grup A terdiri atas pasien yang menerima terapi stimulasi barorefleks 1 bulan setelah perangkat ditanam. Grup B memulai terapi stimulasi barorefleks 6 bulan setelah randomisasi. Rerata penurunan tekanan darah sistolik setelah 6 bulan terapi adalah 16 29 mmHg untuk Grup A dan 9 29 mmHg untuk Grup B (p=0,08). Proporsi subjek yang mencapai target tekanan darah sistolik <140 mmHg pada 6 bulan pasca-prosedur secara bermakna lebih tinggi pada Grup A dibanding Grup B (p=0,005). Persentase pencapaian target tekanan darah pada kedua grup melebihi 50% pada bulan ke-12 (p=0,70).29 Dari studi ini, peneliti menyimpulkan bahwa terapi stimulasi barorefleks dengan sistem Rheos terbukti efektif menurunkan tekanan darah pada penyandang hipertensi resisten. Kelemahan sistem Rheos, seperti yang dilaporkan pada uji klinis tersebut, terletak pada profil keamanannya, khususnya terkait prosedur penanaman perangkat yang belum terlalu memuaskan. Analisis keamanan terkait prosedur pada studi tersebut menunjukkan angka bebas efek samping hanya 74,8%, belum mencapai target standar (82%) prosedur penanaman alat pacu jantung dan defibrilator. Efek samping terkait prosedur yang paling sering dijumpai adalah cedera saraf sementara maupun permanen dengan gejala sisa berupa parestesia, disfonia, maupun disfagia.21 Profil keamanan angka bebas efek samping terkait perangkat (87,2%) maupun sistem stimulasi baroreseptor (91,7% pada grup A dan 89,3% pada grup B) memenuhi kriteria standar (72%).29 Teknologi baru dengan prosedur invasif minimal terus dikembangkan untuk memperbaiki teknik penanaman perangkat serta profil keamanan terkait prosedur. Bukti klinis pertama tentang efikasi dan keamanan prosedur denervasi renal menggunakan ablasi radiofrekuensi dipublikasikan tahun 2009.22 Studi non-acak tersebut melibatkan 50 pasien hipertensi resisten di sejumlah pusat layanan kesehatan di Eropa dan Australia. Endpoint primer penelitian ini adalah penurunan tekanan darah dan profil keamanan prosedur, sedangkan endpoint sekundernya meliputi pengaruh prosedur terhadap kadar norepinefrin yang dilepaskan oleh ginjal dan fungsi renal. Pemantauan pasien dilakukan hingga 12 bulan pasca-prosedur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur denervasi renal mengurangi norepinefrin yang dilepaskan dari ginjal sebesar (rerata) 47% disertai penurunan tekanan darah secara progresif dan konsisten, mencapai 27/17 mmHg pada akhir pemantauan di bulan ke12. Efek samping prosedur meliputi 1 kasus diseksi arteri renalis pre-ablasi radiofrekuensi, tanpa sekuele serius.22 Studi ini menunjukkan bahwa prosedur denervasi renal trans-kateter terbukti efektif menurunkan tekanan darah pada kasus hipertensi resisten dengan efek samping minimal. Keterbatasan studi meliputi tidak adanya grup kontrol dan sampel yang kecil. Penelitian efikasi dan keamanan prosedur denervasi renal trans-kateter lebih lanjut adalah Symplicity HTN-1, yang merupakan kelanjutan (perluasan ukuran kohort dan waktu pemantauan) dari studi klinis di atas. Metodologi studi masih bersifat tidak acak dan melibatkan 153 pasien hipertensi resisten dari 19 pusat layanan kesehatan di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Karakteristik subjek: usia rerata 57 tahun, 39% wanita, 31% penyandang diabetes, 22% pengidap penyakit jantung koroner, tekanan darah rerata 176/98 mmHg, dan laju filtrasi glomerulus rerata 83 mL/menit/1,73 m2. Studi ini mengeksklusi subjek dengan laju filtrasi glomerulus <45 mL/menit/1,73 m2. Pemantauan tekanan darah pasca-prosedural dilakukan pada bulan ke-1, 3, 6, 12, 18, dan 24. Hasil penelitian menunjukkan prosedur denervasi renal transkateter menurunkan tekanan darah secara bermakna pada pasien hipertensi resisten, dan efek positif ini konsisten ditemukan hingga 2

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

91

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


tahun pemantauan pasca-prosedural, dengan besar penurunan tekanan darah mencapai 32/14 mmHg.18 Efek samping prosedural berupa 4 kasus komplikasi akut, yaitu 3 kasus pseudoaneurisma femoral di daerah insersi kateter dan 1 diseksio arteri renalis, semuanya dapat ditangani tanpa sekuele.18 Efek samping jangka panjang tidak ditemukan pascaprosedural. Keterbatasan studi ini meliputi jumlah sampel yang masih relatif kecil, tidak adanya grup kontrol, dan penurunan tekanan darah merupakan hasil pengukuran di klinik, bukan tekanan darah ambulatorik.15 Studi klinis Symplicity HTN-2 merupakan pengembangan studi Symplicity HTN-1 sebelumnya, bertujuan melihat efikasi terapi dan efek samping prosedur denervasi renal trans-kateter. Studi prospektif dan multisenter internasional ini adalah studi klinis acak pertama tentang denervasi renal untuk terapi hipertensi resisten. Symplicity HTN-2 mengikutsertakan 106 pasien hipertensi resisten dengan tekanan darah sistolik lebih dari 160 mmHg, atau lebih dari 150 mmHg pada penyandang diabetes melitus, yang dikelompokkan ke dalam grup terapi (52 orang) dan grup kontrol (54 orang). Tujuan utama penelitian adalah memantau tekanan darah sistolik 6 bulan pasca-prosedural. Pada akhir studi, 94% subjek (49 orang) dari grup terapi menunjukkan penurunan tekanan darah sebesar 32/12 mmHg. Penurunan tekanan darah serupa tidak ditemukan pada grup kontrol. Komplikasi terkait prosedur maupun alat dilaporkan tidak berbeda bermakna antara kedua grup. Pada akhir studi, tim peneliti menyimpulkan bahwa denervasi renal trans-kateter dapat dilakukan secara aman dan terbukti efektif menurunkan tekanan darah pasien hipertensi resisten.23 Sejumlah keterbatasan studi ini adalah tidak adanya evaluasi terhadap kasus hipertensi sekunder dan white-coat hypertension prestudi, penurunan tekanan darah pada akhir studi masih merupakan hasil pengukuran di klinik, bukan tekanan darah ambulatorik, dan generalisasi hasil studi karena mayoritas subjek penelitian (97%) adalah ras Kaukasia.15 Saat ini, studi klinis Symplicity HTN-3 sedang berlangsung dan berada pada tahap pengumpulan subjek. Studi kohort prospektif tersamar tunggal ini mengikutsertakan lebih banyak subjek penelitian dibanding studi-studi Symplicity terdahulu, melibatkan lebih dari 500 pasien dari 60 pusat layanan kesehatan di Amerika Serikat.17 Endpoint primer penelitian adalah tekanan darah sistolik 6 bulan pasca-prosedur. Endpoint sekunder berupa rerata tekanan darah ambulatorik selama 24 jam. Data ini penting untuk mengklarifikasikan adanya perbedaan antara pembacaan tekanan darah di klinik dan tekanan darah ambulatorik, seperti yang selama ini dinilai sebagai kelemahan studi Symplicity HTN-1 dan HTN-2.17 Studi ini juga ditujukan untuk menganalisis manfaat dan keamanan prosedur pada berbagai populasi etnis.14 SIMPULAN Stimulasi barorefleks dan denervasi renal merupakan dua jenis terapi intervensi yang menjanjikan dalam tata laksana hipertensi resisten. Kedua jenis terapi ini bertujuan menekan peran aktivitas simpatis dalam regulasi tekanan darah. Studi klinis yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa stimulasi barorefleks maupun denervasi renal terbukti efektif sebagai penunjang terapi farmakologis dalam tata laksana hipertensi resisten. Stimulasi barorefleks dengan sistem Rheos memerlukan penelitian lebih lanjut karena studi klinis yang ada belum menunjukkan profil keamanan seperti yang diharapkan. Penelitian di masa mendatang akan difokuskan pada penyempurnaan teknik operasi dan implantasi elektroda pada sinus karotis, yakni ditanam unilateral, bukan bilateral, guna meminimalkan risiko prosedural. Denervasi renal memiliki efikasi dan profil keamanan yang baik berdasarkan studi klinis Symplicity HTN-1 dan HTN-2. Konsistensi efikasi dan efek samping prosedur denervasi renal dalam tata laksana hipertensi resisten akan diuji pada studi Symplicity HTN-3 yang sedang berlangsung. Penelitian lebih lanjut diindikasikan untuk menilai efikasi maupun risiko jangka panjang (>2 tahun) kedua jenis terapi intervensi tersebut. Penambahan jumlah subjek penelitian dan perluasan karakteristik dasar pasien diperlukan agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan penggunaannya bagi berbagai populasi pasien.

DAFTAR PUSTAKA 1. National Institutes of Health. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. US: The Committee; 2004. p. 1. 2. 3. Hajjar I, Kotchen TA. Trends in prevalence, awareness, treatment, and control of hypertension in the United States, 1988-2000. JAMA. 2003;290(2):199-206. Calhoun DA, Jones D, Textor S, Goff DC, Murphy TP, Robert D, et al. Resistant hypertension: Diagnosis, evaluation, and treatment: A scientific statement from the American Heart Association Professional Education Committee of the Council for High Blood Pressure Research. Hypertension. 2008;51:1403-19. 4. The Task Force for the Management of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). 2007 Guidelines for the management of arterial hypertension. Journal of Hypertension. 2007;25:1105-87. 5. Hall JE. Nervous regulation of the circulation and rapid control of arterial pressure. In: Guyton AC, Hall JE, editors. The textbook of medical physiology. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 20415. 6. 7. Levick JR. Control of blood vessels: Extrinsic control. In: Jevick JR, editor. An introduction to cardiovascular physiology. 3rd ed. London: Arnold; 2000. p. 279-98. Dubinion JH, Mi Z, Jackson EK. Role of renal sympathetic nerves in regulating renovascular responses to Angiotensin II in spontaneously hypertensive rats. J Pharmacol Exp Ther. 2006;317:1330-6. 8. 9. Joyner MJ, Charkoudian N, Wallin BG. A sympathetic view of the sympathetic nervous system and human blood pressure regulation. Exp Physiology. 2008;93:715-24. Seals DR, Bell C. Chronic sympathetic activation: Consequences and cause of age-associated obesity? Diabetes. 2004;53:276-84.

10. Albaghdadi M. Baroreflex control of long-term arterial pressure. Rev Bras Hipertens. 2007;14:212-25. 11. Trasher TR. Baroreceptors, baroreceptor-unloading, and the long-term control of blood pressure. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol. 2005;288:819-27.

92

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


12. Papademetriou V, Doumas M, Faselis C, Tsioufis C, Douma S, Gkaliagkousi E, et al. Carotid baroreceptor stimulation for the treatment of resistant hypertension. International Journal of Hypertension. 2011;10:1-5. 13. Alnima T, Leeuw PW, Kroon AA. Baroreflex activation therapy for the treatment of drug-resistant hypertension: New developments. Cardiol Res Pract. 2012;10:1-7. 14. Sakellaris N, Misailidou M. Interventional therapies for resistant hypertension. Hospital Chronicles. 2012;7(1):128-35. 15. Thomas G, ShishehborMH, Braco EL, Nally JV. Renal denervation to treat resistant hypertension: Guarded optimis. Clevel Clin J Med. 2012;79(7):501-10. 16. Huqi A. Interventional therapy for resistant hypertension: New hopes and old concerns. Heart Metab. 2011;50:36-8. 17. Mafeld S, Vasdev N, Haslam P. Renal denervation for treatment-resistant hypertension [Internet]. 2012 [cited 2013 Jul 21]. Available from: http:// www.medscape.com/ viewarticle/775538. 18. Symplicity HTN-1 Investigators. Catheter-based renal sympathetic denervation for resistant hypertension: Durability of blood pressure reduction out to 24 months. Hypertension. 2011;57:911-7. 19. The Joint UK Societies. Consensus statement on renal denervation for resistant hypertension. London: The Committee; 2012. 20. Scheffers IJM, Kroon AA, Schmidli J, Jordan J, Tordoir JJM, Mohaupt MG, et al. Novel baroreflex activation therapy in resistant hypertension: Results of a European multi-center feasibility study. JACC. 2010;56(15):1254-8. 21. Bisognano JD, Bakris G, Nadim MK, Sanchez L, Kroon AA, Schafer J, et al. Baroreflex activation therapy lowers blood pressure in patients with resistant hypertension. JACC. 2011;58(7):76573. 22. Krum H, Schlaich M, Whitbourn R, Sobotka PA, Sadowski J, Bartus K, et al. Catheter-based renal sympathetic denervation for resistant hypertension: A multicentre safety and proof-ofprinciple cohort study. Lancet. 2009;373(9671):1275-81. 23. Bertog SC, Sobotka PA, Sievert H. Renal denervation for hypertension. JACC. 2012;5(3):249-58.

CDK-213/ vol. 41 no. 2, th. 2014

93

Anda mungkin juga menyukai