n
i
Mi Mpi Mi
1
| / ) ( |
dengan Mi menunjukkan kadar air percobaan, Mpi sebagai kadar air
hasil penghitungan dengan persamaan GAB, dan n adalah jumlah data.
Nilai MRD < 5 menunjukkan model isotermi sorpsi dapat
menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan cukup tepat. Nilai 5
< MRD <10 menyatakan keadaan yang agak tepat dan MRD > 10
menggambarkan keadaan yang tidak tepat.
3. Penelitian Utama
Formulasi produk IMF dilakukan dengan pengaturan kadar air
formula awal dan penggunaan humektan. Metode produksi yang
digunakan adalah moist infution yaitu bahan-bahan seperti pada
formulasi awal ditambah air sampai tidak menyebabkan rasa haus dan
mudah ditelan. Besarnya jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui
dari persamaan isotermi sorpsi formulasi awal. Berdasarkan kurva
isotermi sorpsi formula awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air
pada a
w
tertentu. Selisih antara nilai kadar air pada aw tertentu
berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar air awal menunjukkan
jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Bahan yang telah
dicampur air kemudian ditambah humektan untuk menurunkan nilai a
w
menjadi 0.6 0.8. Tahap selanjutnya adalah pencetakan dan
pengemasan. Skema diagram alir proses produksi dapat dilihat pada
Gambar 8.
Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan gliserol. Jumlah
humektan yang ditambahkan ke dalam produk harus mampu mencapai
kisaran a
w
produk akhir 0.6 0.8.
Penentuan jumlah humektan dilakukan menggunakan persamaan
Grover dengan rumus:
a
w
= 1.04 0.1(E
o
) + 0.0045 (E
o
)
2
dimana E
o
= E
i
/ m
i
E
i
adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun (protein = 1.3,
karbohidrat = 0.8, lemak = 0, gula = 1) dan m
i
adalah kadar air dalam
gram air per gram bahan. Nilai E
i
pada gliserol sebesar 4,0 dan nilai E
i
pada sorbitol sebesar 2,0.
Hasil perhitungan jumlah humektan yang
diperoleh dengan persamaan Grover diaplikasikan pada proses
produksi IMF. Batas pemakaian sorbitol maksimal adalah 50 g/hari
sedangkan batas pemakaian gliserol adalah sampai tidak menimbulkan
aftertaste pahit.
Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik meliputi kemudahan
ditelan, aftertaste pahit, dan kesukaan keseluruhan produk. Hasil uji
organoleptik adalah formula terpilih diantara tiga formula yang
direncanakan.
Karakterisasi produk akhir dilakukan pada formula terpilih uji
organoleptik. Karakterisasi produk akhir meliputi analisis proksimat
akhir, pengaruh humektan pada kurva isotermi sorpsi, dan analisis
mikrobiologi produk (total mikroba dan kapang-khamir).
Gambar 8. Diagram alir proses produksi IMF dengan teknik moist infution
Bahan-bahan formulasi awal
Dicampur sampai
homogen
Formula awal
Ditambah air mineral
(air telah direbus
sampai suhu + 80
o
C)
Diaduk sampai
homogen
Dicicipi
Tidak
haus/mudah
ditelan
Haus/tidak
mudah
ditelan
Ditambah humektan
sampai a
w
+ 0.6-0.8
Dicampur sampai
homogen
Cek dengan
a
w
meter
Dicetak dan
dikemas
Produk IMF
Cek dengan
a
w
meter
4. Metode Analisis
b. Analisis Proksimat
a.1. Kadar air metode oven (SNI 01-2981-1992)
Cawan aluminium kosong yang bersih dikeringkan dalam
oven bersuhu + 105-110
o
C selama 1 jam, kemudian didinginkan
dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Dua gram
sampel dimasukkan ke dalam cawan lalu dioven pada suhu 105-
110
o
C selama tiga jam. Sampel kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi sampai mencapai
bobot konstan. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air (% bk) = (W
1
+ W
2
) W
3
x 100
(W
3
W
1
)
Kadar air (% bb) = (W
1
+ W
2
) W
3
x 100
W
2
Keterangan :
W1 = bobot cawan aluminium kosong (g)
W2 = bobot sampel (g)
W3 = bobot cawan dan sampel setelah dikeringkan (g)
a.2. Kadar abu (SNI 01-2981-1992)
Cawan porselen dibakar dalam tanur selama 15 menit
kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan yang telah dingin
ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang di dalam cawan
lalu diabukan di dalam tanur bersuhu 550
o
C hingga diperoleh
abu berwarna putih dan beratnya tetap. Penghitungan :
Kadar abu (% bb) = W
2
x 100
W
1
Keterangan :
W
1
= bobot sampel (g)
W
2
= bobot abu (g)
a.3. Kadar protein metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995)
Sampel sebanyak + 0.2 gram (kira-kira membutuhkan 3-10
ml HCl 0.01/0.02 N) ditimbang dan dimasukkan dalam labu
Kjeldahl lalu ditambahkan 1.9 + 0.1 g K
2
SO
4
, 40 + 10 mg HgO,
2.0 + 0.1 ml H
2
SO
4
, dan beberapa butir batu didih. Sampel
didestruksi (dididihkan) selama + 1.5 jam sampai menjadi jernih
lalu didinginkan. Isi labu Kjeldahl tersebut (cairan hasil
destruksi) ditambah aquades lalu dipindahkan ke dalam alat
destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga
dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian ditambahkan 10 ml
NaOH-Na
2
S
2
O
3
dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H
3
BO
3
dan 2 tetes indikator
(metil merah : metil biru = 2:1) sampai kurang lebih 50 ml.
Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N
sampai larutan berubah warna menjadi abu-abu. Prosedur yang
sama juga dilakukan untuk penetapan blanko. Penghitungan :
Kadar N (%) = (Vs Vb) x C x 14.007 x 100 %
bobot sampel
Kadar protein (%) = % N x 6.25
Keterangan :
Vs = volume HCl untuk titrasi sampel (ml)
Vb = volume untuk titrasi blanko (ml)
C = konsentrasi HCl (N)
a.4. Kadar lemak (SNI 01-2981-1992)
Sebanyak 1-2 g sampel dibungkus kertas saring dan ditutup
kapas bebas lemak. Sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat
ekstraksi soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak
yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Ekstraksi
dilakukan dengan pelarut heksana selama + 6 jam. Heksana
didestilasikan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven
bersuhu 105
o
C lalu didinginkan dan ditimbang. Pengeringan
dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Penghitungan :
Kadar lemak (% bb) = W
2
x 100 %
W
1
Keterangan :
W
1
= bobot sampel (g)
W
2
= bobot lemak (g)
a.5. Kadar karbohidrat by difference
Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (air + abu + protein +
lemak) (% bb)
c. Analisis nilai a
w
dengan a
w
meter
Analisis dengan a
w
meter dilakukan untuk mengetahui nilai a
w
aktual pada produk. Pengukuran dilakukan dengan a
w
meter merek
Shibaura. Pengukuran dimulai dengan mengkalibrasi alat a
w
meter
dengan garam jenuh NaCl yang memiliki nilai a
w
0.75. Selanjutnya
dilakukan pengujian nilai a
w
pada sampel uji. Sampel yang diuji
berukuran 3-5 gram. Nilai a
w
terbaca pada saat alat menunjukkan nilai
a
w
yang tetap atau complete test.
Gambar 9. Alat a
w
meter Shibaura Electronics WA-360
d. Uji organoleptik (Meilgaard et. al., 1999)
Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penilaian
konsumen terhadap produk. Uji yang dilakukan adalah uji rating
hedonik dan uji rating atribut kemudahan ditelan dan aftertaste pahit
menggunakan skala 1-7. Uji rating hedonik termasuk dalam uji afektif
sedangkan uji rating atribut dapat digolongkan pada multisample
difference test : rating approach. Pengujian menggunakan 25 orang
panelis dari lingkungan kampus IPB. Kuesioner pengujian dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Pengujian rating hedonik dan uji rating terhadap masing-masing
atribut dilakukan tanpa membandingkan antar sampel. Pengujian
dilakukan di dalam ruangan khusus uji organoleptik yang berisi 10
booth dengan tipe pintu rounding door. Data yang diperoleh kemudian
ditabulasikan dan dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA).
e. Analisis total mikroba dan kapang-khamir (Modifikasi SNI 01-
3751-2006)
Analisis mikrobiologis dilakukan terhadap formula terpilih dari
uji organoleptik. Pengujian ini dilakukan tiap minggu sekali selama
satu bulan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis total mikroba
(TPC) dengan menggunakan plate count agar (PCA) dan total kapang-
khamir menggunakan acidified potato dextrose agar (APDA). APDA
merupakan PDA yang diasamkan dengan penambahan asam tartarat
10%. Analisis mikrobiologi mengacu pada SNI 01-3751-2006 yaitu
cara uji cemaran mikroba pada tepung terigu. Hal ini dikarenakan
produk pangan darurat ini berbahan baku tepung.
Sampel uji yang berupa padatan ditimbang 10 gram kemudian
ditempatkan dalam plastik steril dan ditambahkan larutan fisiologis
NaCl 0.85% sebanyak 90 ml. Larutan ini kemudian dihomogenisasi di
dalam alat stomacher selama satu menit. Larutan ini merupakan
larutan konsentrasi 10
-1
. Pemupukan dilakukan sampai 10
-5
. Metode
yang digunakan adalah cawan tuang, yaitu agar steril dituangkan ke
dalam cawan yang telah berisi sampel pada tingkat pengenceran
tertentu. Cawan yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi selama
dua hari di dalam inkubator suhu 37
o
C untuk total mikroba dan 25
o
C
untuk kapang-khamir. Cawan diinkubasi dalam posisi terbalik. Pada
analisis total mikroba, dipilih cawan yang menunjukkan jumlah koloni
antara 25-250 sedangkan pada analisis kapang khamir dipilih cawan
dengan jumlah koloni 10-150.
Penghitungan koloni total mikroba :
N = C a
[(1.n1) + (0.1.n2)] x d
Keterangan :
N = total koloni per ml atau gram sampel
C = jumlah koloni yang dapat dihitung
n1 = jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2 = jumlah cawan pada pengenceran kedua
d = tingkat pengenceran pertama saat mulai penghitungan
Penghitungan koloni total kapang-khamir :
N = rata-rata jumlah koloni x faktor pengenceran
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISASI BAHAN BAKU UNTUK FORMULASI PRODUK
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk pangan darurat ini
adalah tepung ubi jalar, tepung pisang, dan tepung kacang hijau. Ketiga
tepung ini merupakan tepung masak atau tepung instan. Hidayah (2002)
mengatakan bahwa perbedaan dasar dari proses pembuatan tepung kacang
hijau instan dan non instan adalah pada tahap pematangan atau pengukusan
sebelum proses pengeringan sehingga kacang hijau dalam keadaan telah
matang pada saat pengeringan. Tepung instan yang digunakan dalam
formulasi ini dibuat dari bahan-bahan yang telah dimasak sampai matang
(dikukus) sebelum dikeringkan (ditepungkan). Tepung instan dapat langsung
dikonsumsi tanpa dimasak lebih lanjut. Masing-masing tepung berukuran 80
mesh.
Tepung ubi jalar berwarna putih agak kecoklatan karena menggunakan
ubi jalar putih dan memiliki aroma khas ubi. Warna kecoklatan ini dapat
disebabkan oleh reaksi pencoklatan. Ubi jalar mentah jika dibiarkan kontak
dengan udara luar akan berubah kecoklatan akibat adanya aktivitas enzim
polifenolase (Syarif dan Halid, 1993). Namun reaksi pencoklatan enzimatis
dapat dihambat salah satunya dengan pemanasan. Selain itu, ubi jalar juga
memiliki kandungan gula yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26 % (Tsou et.
al., 1989). Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya
meningkat bila dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan
Holloway, 1988 di dalam Sulistiyo, 2006). Tingginya kandungan gula ini
kemungkinan juga menyebabkan tepung ubi jalar yang terbuat dari ubi jalar
putih berwarna agak kecoklatan akibat reaksi pencoklatan atau karamelisasi.
Tepung ubi jalar ini memiliki nilai kadar air sebesar 4.78 %bk.
Tepung pisang berwarna coklat muda dan memiliki aroma khas pisang
(amil asetat). Pisang yang digunakan untuk membuat tepung ini adalah jenis
pisang uli. Pisang uli merupakan jenis plantain, yaitu pisang yang perlu
dimasak terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Tepung pisang ini dibuat dari
pisang uli yang telah dikukus sampai matang. Pisang secara umum
mengandung senyawa fenol yang memberikan sensasi rasa astringent pada
pisang muda dan dapat menyebabkan reaksi pencoklatan enzimatis (John dan
Marchal, 1995). Pisang uli mentah berwarna putih kekuningan, tetapi setelah
dikukus sampai matang berubah menjadi kuning kecoklatan sehingga
menghasilkan tepung pisang yang berwarna coklat muda. Kadar air tepung
pisang adalah sebesar 3.76 %bk.
Tepung kacang hijau dibuat dari kacang hijau yang telah dihilangkan
kulit arinya yang berwarna hijau dengan cara merendam kacang hijau dalam
air selama satu malam sehingga kulit arinya mudah lepas atau dapat juga
menggunakan kacang hijau kupas kulit komersial sehingga lebih efisien
waktu. Tepung kacang hijau berwarna kuning karena kacang hijau yang telah
hilang kulit arinya berwarna kuning. Permasalahan yang timbul dari tepung
kacang hijau ini adalah masih terdapatnya bau langu kacang hijau sehingga
agak mengganggu karakteristik sensorinya. Tepung kacang hijau memiliki
kadar air sebesar 4.20 %bk. Penampakan masing-masing tepung tersaji pada
Gambar 10.
Gambar 10. Tepung yang digunakan sebagai bahan baku
Ingridien lain yang digunakan dalam formulasi ini adalah susu bubuk,
konsentrat protein kedelai, gula, dan minyak goreng. Susu bubuk dan
konsentrat protein kedelai berfungsi sebagai sumber protein. Susu bubuk yang
dipakai adalah susu bubuk fullcream dengan pertimbangan efek sensori yang
dihasilkannya yaitu lebih berasa creamy dan manis. Susu merupakan satu-
satunya bahan hewani yang diizinkan untuk digunakan sebagai ingridien
dalam produksi pangan darurat, namun penggunaanya tidak boleh berlebihan
dan tidak boleh dijadikan sebagai sumber karbohidrat meskipun susu
mengandung gula (laktosa). Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat
mengkonsumsi susu sapi karena adanya efek lactose intolerance pada
beberapa orang.
Konsentrat protein kedelai yang digunakan dalam formulasi ini adalah
jenis konsentrat protein kedelai instan yaitu dapat langsung dikonsumsi tanpa
pemasakan lebih lanjut. Gula berperan sebagai pencita rasa manis, sesuai
dengan target rasa produk, sebagaimana dijelaskan oleh Zoumas et. al. (2002),
bahwa pangan darurat dianjurkan memiliki cita rasa manis. Gula yang
digunakan berupa gula pasir (sukrosa) kristal yang dihaluskan. Penghalusan
ini bertujuan mempermudah percampuran bahan.
Minyak di dalam komposisi formula digunakan sebagai sumber lemak.
Sumber lemak di dalam komposisi pangan darurat hendaknya berupa lemak
nabati dan tidak boleh menggunakan lemak hewani, seperti lemak babi (lard),
lemak sapi (tallow), dan produk turunannya (Zoumas et. al. 2002). Minyak
yang digunakan dalam formulasi ini adalah minyak goreng atau minyak
kelapa sawit.
B. PENENTUAN KOMPOSISI FORMULA AWAL PRODUK
Proses formulasi awal produk dilakukan untuk mendapatkan formulasi
awal produk sesuai dengan standar nutrisi pangan darurat 2100 kkal/hari atau
233 kkal/bar dan sifat sensori rasa produk. Produk yang diharapkan memiliki
rasa manis. Menurut Drewnoski (1997) di dalam Zoumas et. al. (2002), flavor
yang paling mudah diterima oleh sebagian besar populasi yang beragam di
dunia ini adalah rasa manis. Prototipe produk mengacu pada kue-kue
tradisional Indonesia yaitu kue satu dan bakpia pathuk (isi kacang hijau) atau
makanan ringan komersial yang terbuat dari tepung kedelai dan buah-buahan
kering (fruit soy bar).
Penghitungan formulasi dan nilai kecukupan nutrisi dihitung
berdasarkan nilai makronutrien yang terdapat pada Daftar Komposisi Bahan
Pangan yang dikembangkan oleh Prawiranegara (1989) tetapi pada konsentrat
protein kedelai instan yang tidak terdapat pada daftar tersebut dilakukan
analisis proksimat sendiri untuk mengetahui komposisi nutrisinya. Komposisi
nutrisi susu bubuk mengacu pada daftar nutrisi yang terdapat pada kemasan
produk. Daftar nilai makronutrien bahan-bahan yang digunakan dalam
formulasi pangan darurat ini terdapat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai makronutrien ingridien yang digunakan dalam formulasi
Bahan
Makronutrien (g/100 g bobot solid)
Protein Lemak KH
Ubi jalar putih
a
5.7143 2.2222 88.5714
Pisang uli
a
4.8900 0.4890 93.3985
Kacang hijau
a
24.6667 1.3333 69.8889
Konsentrat protein kedelai
b
88.8421 0.8842 5.8842
Susu bubuk fullcream
c
29.0187 24.4368 38.5643
Gula
a
0 0 99.3658
Minyak kelapa sawit
a
0 100 0
Keterangan :
a
= berdasarkan data DKBM dengan konversi bobot solidnya
b
= hasil analisis proksimat
c
= berdasarkan data pada label kemasan produk
Penghitungan formulasi menggunakan prinsip kesetimbangan massa
dengan bantuan Microsoft excel. Prototipe produk yang diharapkan memiliki
nilai protein 7.98.1 gram, lemak 9-11.7 gram, dan karbohidrat 23-35 gram
per bar dengan asumsi tiap bar sama dengan 50 gram solid. Nilai kalori total
didapatkan dari jumlah makronutrien bahan yang digunakan dalam formulasi
dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Tiap gramnya
karbohidrat dan protein memiliki kalori sebesar 4 kkal sedangkan lemak 9
kkal (Prawiranegara, 1989). Formulasi dasar produk dan prediksi kecukupan
persyaratan nutrisi dapat dilihat pada Tabel 12 dan Tabel 13.
Tabel 12. Formulasi dasar produk pangan darurat
FORMULA BAHAN %
Ubi Jalar
Tepung ubi jalar
Susu bubuk fullcream
Konsentrat protein kedelai
Gula
Minyak goreng
39.22
16.67
13.73
13.73
16.67
Pisang
Tepung pisang
Susu bubuk fullcream
Konsentrat protein kedelai
Gula
Minyak goreng
42.27
19.59
9.28
15.46
13.40
Kacang Hijau
Tepung kacang hijau
Gula
Minyak goreng
64.70
17.65
17.65
Tabel 13. Prediksi kecukupan nutrisi pangan darurat dari ketiga formula
Formula
Ubi Jalar
Formula
Pisang
Formula
Kacang Hijau
Protein (g/bar) 9.6357 7.9970 7.9804
Lemak (g/bar) 10.8661 9.2387 9.2549
Karbohidrat (g/bar) 27.8037 31.4747 31.3787
Total Kalori/bar (kkal) 247.5527 241.0231 240.7303
Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa formula dengan bahan baku tepung
kacang hijau tidak menggunakan konsentrat protein kedelai dan susu bubuk
sebagai tambahan ingridien sumber protein. Hal ini dikarenakan hanya dengan
menggunakan tepung kacang hijau sudah mencukupi nilai kecukupan protein,
yaitu 7.9 8.1 gram/bar. Kacang hijau merupakan jenis kacang-kacangan
yang tinggi kandungan proteinnya. Produk dengan bahan baku tepung ubi
jalar dan tepung pisang perlu ditambahkan ingridien sebagai sumber protein
karena kedua bahan tersebut rendah kandungan proteinnya.
C. ISOTERMI SORPSI AIR BAHAN BAKU DAN FORMULA AWAL
Penentuan kurva isotermi sorpsi bahan baku digunakan untuk melihat
stabililitasnya dan perkiraan pola isotermi sorpsi dari formula awal sedangkan
isotermi sorpsi formula awal digunakan untuk mengetahui jumlah air yang
ditambahkan dalam produksi IMF.
IMF dapat diproduksi dengan cara tradisional dan modern. Proses
produksi IMF modern dapat dilakukan dengan dua cara yaitu adsorpsi dan
desorpsi. Pengolahan tipe adsorpsi menggunakan bahan kering yang kemudian
dikontrol proses pembasahannya sedangkan pada tipe desorpsi, bahan
dimasukkan ke dalam larutan yang mempunyai tekanan osmosis lebih tinggi
sampai diperoleh keseimbangan pada tingkat a
w
yang diinginkan
(Robson,1976). Pada kedua proses tersebut, terdapat hubungan antara
kandungan air dengan nilai a
w
yang digambarkan dengan grafik isotermi
sorpsi dan persamaan matematis (Troller, 1989).
Pembuatan kurva isotermi sorpsi diawali dengan penentuan kadar air
kesetimbangan pada berbagai RH pada suhu + 30
o
C. Masing-masing bahan
mengalami kesetimbangan pada rentang waktu yang berbeda, yaitu sekitar 4
14 hari. Data pengukuran kadar air masing-masing bahan tersaji pada
Lampiran 1.
Isotermi sorpsi tepung ubi jalar, tepung pisang, tepung kacang hijau, dan
ketiga formula awal memperlihatkan model yang sama yaitu berbentuk
sigmoid atau seperti huruf S. Bentuk kurva isotermi sorpsi yang demikian
merupakan bentuk yang umum ditemui pada bahan pangan. Tipe kurva
isotermi sorpsi yang berbentuk sigmoid ini menurut Bell dan Labuza (2000)
disebabkan oleh pengaruh akumulatif dari kombinasi efek koligatif, efek
kapiler, dan interaksi permukaan solid dengan air.
Bahan dari formula awal yang dianalisis isotermi sorpsinya terbatas pada
bahan baku masing-masing produk. Tepung ubi jalar, tepung pisang dan
tepung kacang hijau dalam masing-masing formula memiliki presentasi yang
lebih tinggi dibanding bahan-bahan yang lainnya yaitu sebesar 39.22%,
42.27%, dan 64.70%. Hal ini mengacu pada Adawiyah (2006) yang
melakukan penelitian terhadap isotermi sorpsi model pangan dan komponen
penyusunnya. Penelitian tersebut menghasilkan pola isotermi sorpsi model
pangan berbentuk sigmoid menyerupai pola sorpsi pati dan kasein yang
prosentasenya lebih tinggi dibanding bahan lainnya dan tidak tampaknya
pengaruh gula pada pola isotermi sorpsi model pangan dikarenakan
proporsinya yang kecil. Bentuk kurva isotermi sorpsi gula dapat dilihat pada
Gambar 11 yang memperlihatkan patahan tajam pada nilai a
w
0.84.
Gambar 11. Kurva isotemi sorpsi sukrosa (Adawiyah, 2006)
Bahan yang berada pada RH tinggi (80-90%) ditumbuhi kapang sebelum
mencapai titik kesetimbangan. Pada saat kapang telah tumbuh, bobot bahan
menjadi naik-turun tidak stabil. Kapang pada tepung ubi jalar mulai tumbuh
pada RH 83.8 sedangkan pada tepung kacang hijau dan tepung pisang dimulai
pada RH 91.2. Pertumbuhan kapang pada pengukuran isotermi sorpsi formula
dimulai pada RH 83.8 pada masing-masing formula. Hal ini mungkin
disebabkan lebih kompleknya bahan yang terdapat pada formula, seperti susu
bubuk, konsentrat protein, dan gula. Fardiaz (1992) menyebutkan bahwa
nutrisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
mikororganisme. Nutrisi yang diperlukan dalam pertumbuhan
mikroorganisme adalah sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energi, dan
faktor pertumbuhan yaitu vitamin dan mineral. Contoh pertumbuhan kapang
pada tepung dan formula dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kapang (spot berwarna gelap) pada pengukuran isotermi sorpsi
tepung ubi jalar (kiri) dan formula kacang hijau (kanan)
Data hubungan kadar air (M) dengan nilai a
w
dari kurva isotermi sorpsi
yang telah diperoleh kemudian diubah dalam persamaan matematis model
GAB. Persamaan GAB tersebut adalah :
m =
) 1 )( 1 (
. . .
Ckaw kaw kaw
aw mo k C
+
............................................... (6)
dengan m = kadar air basis kering (%), mo = kadar air monolayer (%), a
w
=
aktivitas air, C dan k merupakan konstanta persamaaan GAB.
Pembuatan kurva isotermi sorpsi dengan model GAB ini dimulai dengan
membuat plot hubungan kuadratik antara a
w
/M dan a
w
. Persamaan GAB
tersebut di atas diubah menjadi persamaan polinomial ordo dua atau
persamaan kuadratiknya dengan a
w
/M sebagai ordinat dan a
w
sebagai absis
seperti terlihat pada persamaan (7). Kurva hubungan kuadratik tepung dan
formula awal dapat dilihat pada Gambar 13.
M
aw
=
mo
k
(
C
1
-1)a
w
2
+
mo
1
(1-
C
2
)a
w
+
Ckmo
1
...................... (7)
Persamaan kuadratik yang diperoleh dapat disederhanakan menjadi:
Y = X
2
+ X + .................................................................... (8)
dengan
Y =
M
aw
, X=a
w
,
=
mo
k
(
C
1
-1), =
mo
1
(1-
C
2
), dan =
Ckmo
1
.................. (9)
Substitusi , , dan dengan nilai persamaan kuadratik yang diperoleh
menghasilkan nilai konstanta C dan k serta nilai kadar air monolayer (mo).
Nilai k merupakan konstanta faktor koreksi dari molekul multilayer sedangkan
C menunjukkan konstanta Gunggenheim (Liovonen dan Ross, 2002) atau
menurut Adawiyah (2006) nilai C berhubungan dengan energi adsorpsi. Mo
merupakan nilai kadar air monolayer. Daerah monolayer berada pada kisaran
RH 0-20% (Syarief et. al., 1989). Nilai-nilai parameter persamaan GAB tersaji
pada Tabel 14.
Gambar 13. Hubungan Kuadratik a
w
dan a
w
/M dari tepung (kiri) dan formula
(kanan) ubi jalar, pisang, dan kacang hijau (atas-bawah)
y = -0,1686x
2
+ 0,1813x + 0,0092
R
2
= 0,9627
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
aw
a
w
/
M
y = -0,2814x
2
+ 0,2617x + 0,0496
R
2
= 0,94
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
aw
a
w
/
M
y = -0,3981x
2
+ 0,3598x + 0,0286
R
2
= 0,9776
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8
aw
a
w
/
M
y = -0,2738x
2
+ 0,2423x + 0,0092
R
2
= 0,9617
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8
y = -0,2192x
2
+ 0,2412x + 0,0378
R
2
= 0,8878
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
0,10
0,12
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
aw
a
w
/
M
y = -0,2003x
2
+ 0,2136x + 0,0007
R
2
= 0,9756
0,00
0,01
0,02
0,03
0,04
0,05
0,06
0,07
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00
aw
a
w
/
M
Tabel 14. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB
Tepung
K. Hijau
Formula
K.Hijau
Tepung
Ubi Jalar
Formula
Ubi Jalar
Tepung
Pisang
Formula
Pisang
k 0.8898 0.9159 1.0853 1.0232 0.9349 0.8068
C 24.1477 7.7426 26.2674 14.2949 328.4014 9.9091
Mo 5.0589 2.8374 3.8129 2.3905 4.6531 3.3091
MRD 3.79 3.18 5.03 2.85 4.42 6.98
Kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar agak berbeda dari tepung kacang
hijau dan pisang. Bentuk kurva isotermi sorpsi tepung ubi jalar landai sampai
mencapai nilai a
w
sekitar 0.3-0.6. Pada nilai a
w
tersebut tepung ubi jalar
mengalami kenaikan kadar air yang tidak terlalu tinggi tetapi pada a
w
0.8-0.9
nilai kadar ainya naik cukup tinggi. Kurva yang berbentuk landai ini hampir
menyerupai kurva isotermi sorpsi gula (Gambar 11), tetapi tidak terjadi
patahan tajam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan gula dalam
ubi jalar yang cukup tinggi yaitu sekitar 15.26% (Tsou et. al., 1989).
Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya meningkat bila
dibandingkan dengan ubi jalar mentah (Bradbury dan Holloway, 1988 di
dalam Sulistiyo, 2006).
Kurva isotermi tepung kacang hijau memiliki bentuk yang hampir sama
dengan tepung pisang. Hal ini diduga karena kedua bahan tersebut
mengandung karbohidrat (pati) dalam jumlah tinggi. Ubi jalar juga
mengandung pati dalam jumlah cukup tinggi tetapi menurut Bradbury dan
Holloway (1988) di dalam Sulistiyo (2006), pemasakan dapat menghidrolisis
pati sehingga terjadi peningkatan maltosa.
Kurva isotermi bahan baku dapat digunakan untuk mengetahui
stabilitasnya selama penyimpanan dan berhubungan dengan rencana
pengemasan. Parameter stabilitas bahan berdasarkan kurva isotermi sorpsi
terutama terletak pada nilai kadar air monolayer (mo). Menurut Bell dan
Labuza (2000) pada kebanyakan produk pangan kering, kadar air monolayer
menunjukkan kadar air kritis yang dapat juga diasosiasikan dengan nilai a
w
kritis.
Penurunan kualitas produk terjadi seiring dengan peningkatan kadar air
di atas kadar air monolayernya. Hal ini berarti jika produk memiliki kadar air
di atas kadar monolayernya maka produk akan lebih cepat mengalami
penurunan kualitasnya. Pada kebanyakan produk pangan kering, kenaikan
nilai a
w
sebesar 0.1 dapat menurunkan umur simpan produk 2-3 kalinya.
Namun dikarenakan kondisi lingkungan dan proses produksi yang bervariasi,
penyimpanan dapat ditoleransi pada kondisi 1% di atas kadar air
monolayernya (Bell dan Labuza, 2000).
Berdasarkan pengukuran isotermi sorpsi bahan baku dapat diketahui
masing-masing nilai kadar air monolayernya. Tabel 14 menunjukkan bahwa
tepung ubi jalar memiliki kadar air monolayer sebesar 2.39% bk. Nilai ini
lebih rendah dibandingkan kadar air awalnya yaitu sebesar 4.78% bk. Tepung
kacang hijau dan tepung pisang masing-masing memiliki nilai kadar air
monolayer di bawah nilai kadar air awalnya yaitu sebesar 5.06% bk dan
4.65% bk sedangkan kadar air awalnya masing-masing adalah 4.20%bk dan
3.76% bk.
Gambar 14 memperlihatkan kurva isotermi sorpsi formula awal
memiliki pola yang hampir sama dengan pola kurva isotermi sorpsi bahan
bakunya tetapi letaknya lebih rendah. Hal ini dikarenakan pada formula
terdapat penambahan minyak goreng. Adanya minyak ini cenderung
menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat air (Adawiyah, 2006).
Selain itu juga dapat dilihat bahwa tidak tampaknya pengaruh gula pada
masing-masing pola kurva isotermi sorpsi formula awal.
Masing-masing bahan memperlihatkan bahwa nilai kadar air monolayer
dan konstanta C pada formula lebih rendah dibanding tepung tunggalnya
sedangkan nilai k formula tidak terlalu berbeda dengan tepung tunggalnya.
Menurut Adawiyah (2006) adanya penambahan minyak pada model pangan
menurunkan jumlah dan energi pengikatan air pada lapis monolayer. Nilai
MRD atau ketepatan model pada masing-masing pengukuran isotermi sorpsi
menunjukkan nilai kurang dari 10% atau dapat dikatakan memiliki ketepatan
cukup tinggi.
Gambar 14. Kurva isotermi sorpsi bahan baku dan formula dalam data
percobaan dan data prediksi dengan persamaan GAB (a) basis
tepung ubi jalar, (b) basis tepung pisang, (c) basis tepung kacang
hijau
0
10
20
30
40
50
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
aw
k
a
d
a
r
a
i
r
(
%
b
k
)
percobaan
tep.ubi jalar
GAB tep.ubi
jalar
percobaan
formula ubi
jalar
GAB formula
ubi jalar
0
5
10
15
20
25
30
35
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
aw
k
a
d
a
r
a
i
r
(
%
b
k
)
percobaan
tep.pisang
GAB
tep.pisang
percobaan
formula pisang
GAB formula
pisang
0
5
10
15
20
25
30
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
aw
k
a
d
a
r
a
i
r
(
%
b
k
)
percobaan
tep.k.hijau
GAB
tep.k.hijau
percobaan
formula k.hijau
GAB formula
k.hijau
c
b
a
D. PENENTUAN JUMLAH AIR YANG DITAMBAHKAN DALAM
FORMULASI
Produksi IMF dilakukan dengan teknik pembuatan IMF metode moist
infution, yaitu campuran bahan-bahan kering dikontrol proses pembasahannya
(Robson, 1976). Proses pembasahan dilakukan dengan menambahkan air pada
campuran bahan-bahan kering. Jumlah air yang ditambahkan dapat diketahui
dari kurva isotermi sorpsi formula. Berdasarkan kurva isotermi sorpsi formula
awal dapat diketahui nilai perkiraan kadar air pada a
w
tertentu. Selisih antara
nilai kadar air pada a
w
tertentu berdasarkan kurva isotermi sorpsi dengan kadar
air awal menunjukkan jumlah air yang akan ditambahkan pada formula. Air
yang digunakan untuk produksi IMF ini merupakan air mineral yang telah
dipanaskan sampai mencapai suhu + 80
o
C.
1. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Ubi Jalar
Penambahan jumlah air pada formula ubi jalar mengacu pada kurva
isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti terlihat pada Gambar 14.
Penambahan air direncanakan sampai a
w
produk sekitar 0.8-0.9. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pada a
w
0.8-0.9 kadar air produk cukup tinggi
sehingga produk yang dihasilkan nantinya tidak menyebabkan haus, seret,
dan susah ditelan.
Jumlah air yang ditambahkan pada formula ubi jalar diperoleh dari
interpolasi kurva isotermi sorpsi formula ubi jalar seperti pada Gambar 14,
yaitu pada a
w
0.8 diperoleh nilai kadar air 12.9752% bk dan pada a
w
0.9
diperoleh nilai kadar air 30.0410% bk. Nilai kadar air ini merupakan nilai
kadar air perkiraan. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air awal
formula yaitu sebesar 5.3408% bk dan kadar air yang ingin dicapai pada
produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada produk,
yaitu pada a
w
0.8 ditambahkan air sebesar 0.0763 gram H
2
O/gram bobot
solidnya dan pada a
w
0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar 0.2470
gram H
2
O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur dengan air
tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas (dilakukan
penulis). Pengujian ini meliputi kemudahan ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik subjektif menyatakan bahwa pada a
w
0.8 produk masih bersifat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan
susah ditelan. Produk yang ditambah air sampai mencapai nilai a
w
0.9
terlihat terlalu lembek sehingga sulit dicetak dan menempel pada langit-
langit mulut ketika dikonsumsi.
Kedua produk yang telah dicoba ternyata memberikan hasil yang
tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Oleh karena itu dicobakan
lagi penambahan air pada kisaran a
w
0.84-0.88. Hasil produk yang sesuai
kriteria yaitu mudah ditelan dan mudah dicetak diperoleh pada nilai a
w
0.88 yaitu dengan penambahan air sebanyak 0.1848 gram H
2
O/gram bobot
solidnya dengan perkiraan kadar air totalnya sebesar 23.8254 % bk.
2. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Pisang
Prosedur yang sama juga dilakukan pada tepung pisang. Jumlah air
yang ditambahkan mengacu pada kurva isotermi sorpsi formula pisang dan
penambahan air dilakukan sampai a
w
produk mencapai kisaran 0.8-0.9.
Jumlah air yang ditambahkan pada formula pisang diperoleh dari
interpolasi kurva isotermi sorpsi formula seperti pada Gambar 14 yaitu
pada a
w
0.8 diperoleh nilai kadar air 8.8425 % bk dan pada a
w
0.9
diperoleh nilai kadar air 11.6387 % bk. Kadar air awal formula pisang
adalah 6.1233 % bk. Berdasarkan nilai kadar air ini dapat dihitung jumlah
air yang ditambahkan dalam formula pisang. Jumlah air yang ditambahkan
pada produk dengan nilai perkiraan a
w
0.8 adalah sebesar 0.0272 gram
H
2
O/gram bobot solidnya dan pada a
w
0.9 jumlah air yang ditambahkan
sebesar 0.0551 gram H
2
O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah
dicampur dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif
terbatas (dilakukan penulis) dengan atribut pengujian sama seperti formula
ubi jalar yaitu kemudahan ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa pada a
w
0.8 produk
bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan susah
ditelan serta teksturnya masih mirip formula awalnya. Produk yang
ditambah air sampai mencapai nilai a
w
0.9 juga masih menunjukkan
karakteristik yang hampir sama dengan produk yang ditambah air sampai
a
w
0.8. Oleh karena penambahan air sampai a
w
0.9 masih menunjukkan
sifat produk yang free flowing dan sulit ditelan maka dilakukan
penambahan air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi
sorpsinya. Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai
diperoleh tekstur produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak.
Hasil percobaan menunjukkan jumlah air yang harus ditambahkan untuk
memenuhi kriteria tersebut adalah sebesar 0.2133 gram H
2
O / gram bobot
solidnya.
3. Prototipe dengan Bahan Baku Tepung Kacang Hijau
Penambahan air pada formula kacang hijau juga dilakukan dengan
cara yang sama. Jumlah air yang ditambahkan mengacu pada kurva
isotermi sorpsi formula kacang hijau pada kisaran a
w
0.8-0.9.
Kurva isotermi sorpsi formula kacang hijau dapat dilihat pada
Gambar 14. Nilai kadar air pada a
w
0.8 adalah sebesar 10.1374 % bk dan
15.7153 % bk pada a
w
0.9. Nilai kadar air ini merupakan nilai kadar air
perkiraan pada produk. Selanjutnya dengan mempertimbangkan kadar air
awal formula yaitu sebesar 5.1912 % bk dan kadar air yang ingin dicapai
pada produk maka diperoleh jumlah air yang akan ditambahkan pada
produk yaitu pada a
w
0.8 ditambahkan air sebesar 0.0495 gram H
2
O/gram
bobot solidnya dan pada a
w
0.9 jumlah air yang ditambahkan sebesar
0.1052 gram H
2
O/gram bobot solidnya. Bahan yang telah dicampur
dengan air tersebut kemudian diuji organoleptik secara subjektif terbatas
(dilakukan penulis). Karakteristik pengujian ini meliputi kemudahan
ditelan dan dicetak.
Hasil pengujian organoleptik menunjukkan bahwa pada a
w
0.8
produk bersifat sangat free flowing atau tidak menyatu dengan baik dan
susah ditelan. Demikian halnya dengan produk yang ditambah air sampai
mencapai nilai a
w
0.9. Produk tersebut masih bersifat free flowing, tidak
bisa menyatu dengan baik, mudah rapuh, dan susah ditelan. Oleh karena
penambahan air sampai a
w
0.9 masih menunjukkan sifat produk yang
belum memenuhi kriteria yang diharapkan maka dilakukan penambahan
air secara manual atau tidak mengacu pada kurva isotermi sorpsinya.
Penambahan air dilakukan sedikit demi sedikit sampai diperoleh tekstur
produk yang kompak, menyatu, dan mudah dicetak. Hasil menunjukkan
jumlah air yang harus ditambahkan untuk memenuhi kriteria tersebut
adalah sebesar 0.2166 gram H
2
O/gram bobot solidnya.
E. PENENTUAN JUMLAH DAN JENIS HUMEKTAN
Tahap selanjutnya dalam proses produksi paroduk pangan darurat
debgan teknologi IMF ini adalah aplikasi humektan. Penggunaan humektan
dimaksudkan untuk menurunkan nilai a
w
produk sampai pada kisaran nilai a
w
IMF tetapi kadar air produk tetap terjaga sehingga menghasilkan produk yang
masih cukup basah.
Bahan yang telah dicampur dengan air selanjutnya ditambah humektan
dengan konsentrasi tertentu. Humektan yang digunakan adalah sorbitol dan
gliserol. Penggunaan humektan dalam produk merupakan penggunaan single
humectant atau kedua humektan digunakan terpisah. Menurut Sloan et. al.
(1976), pada penggunaan single humectant dapat dipilih metode pencampuran
kering atau larutan. Penelitian ini mengaplikasikan humektan dengan cara
pencampuran kering.
Aplikasi humektan menggunakan model persamaan Grover. Persamaan
Grover dapat diterapkan pada kisaran a
w
0.43-0.91 dengan nilai simpangan
sebesar 6.8%. Persamaan Grover menghasilkan prediksi data a
w
model
campuran pangan yang lebih baik dibanding persamaan Ross (Adawiyah,
2006). Keunggulan persamaan Grover adalah memperhitungkan komposisi
masing-masing komponen yang digunakan di dalam model campuran. Bell
dan Labuza (2000) menggunakan persamaan Grover untuk memprediksi a
w
daging yang ditambahkan glikol sebagai humektan dan memprediksi jumlah
humektan yang digunakan untuk menurunkan a
w
daging tersebut.
Persamaan Grover biasa dipakai untuk memprediksi a
w
produk
berdasarkan komposisi bahan penyusunnya. Persamaan ini banyak diterapkan
pada produk confectionery (Taoukis et. al., 1999). Bentuk persamaan Grover
adalah
a
w
= 1.04 0.1(E
o
) + 0.0045 (E
o
)
2
dimana,
E
o
= E
i
/ m
i
E
i
adalah konstanta Grover untuk bahan penyusun. Beberapa nilai E
i
yang sudah diketahui diantaranya protein 1.3, karbohidrat (pati) 0.8, lemak 0,
sukrosa 1. m
i
menunjukkan kadar air dalam gram air per gram bahan (Bell dan
Labuza, 2000). Menurut Adawiyah (2006) penambahan minyak di dalam
model pangan cenderung menurunkan kemampuan padatan untuk mengikat
air di daerah monolayer. Oleh karena itu dilakukan modifikasi pada koefisien
E
i
minyak menjadi -1.
Perkiraan nilai a
w
dengan persamaan Grover membutuhkan data bobot
masing-masing komponen. Oleh karena itu pada masing-masing formula
dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui nilai komposisi aktualnya
meskipun sebelumnya telah diketahui komposisinya menurut penghitungan
kesetimbangan massa. Hasil analisis proksimat ketiga formula tersebut dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Komposisi aktual formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau
Komponen
Ubi Jalar Pisang Kacang Hijau
% BB % BK % BB % BK % BB % BK
Kadar air
Kadar abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
5.07
2.23
21.39
16.43
54.88
5.34
2.35
22.53
17.31
57.80
5.77
2.52
18.69
14.14
58.88
6.12
2.67
19.83
15.01
62.49
4.94
1.61
18.37
15.29
59.79
5.19
1.69
19.32
16.08
62.89
Aplikasi humektan ini diharapkan dapat menurunkan a
w
produk hingga
mencapai 0.7-0.8. Pemakaian sorbitol menggunakan sorbitol cair. Sorbitol cair
tidak berwarna (jenih), agak kental, dan tidak berbau. Sorbitol tergolong
GRAS tetapi asupan tiap harinya dibatasi karena konsumsi yang berlebihan
dapat menyebabkan efek laksatif atau diare. Batas konsumsi sorbitol adalah 50
gram/hari (Caloriecontrol, 2006). Sorbitol mempunyai konstanta persamaan
Grover (E
i
) sebesar 2.0.
Gliserol merupakan humektan yang dapat juga berperan sebagai
plasticizer. Gliserol yang digunakan merupakan gliserol food grade. Gliserol
juga tidak berwarna (jenih) dengan kekentalan yang lebih tinggi dibanding
sorbitol cair. Gliserol tergolong food additive GRAS dengan nomor 21 CFR
182.1320. Kekurangan gliserol adalah aftertaste pahit pada pemakaian dengan
konsentrasi tinggi. Oleh karena itu batas penggunaan konsentrasi gliserol pada
produk ini selain telah mencapai nilai a
w
yang diharapkan juga ditentukan oleh
aftertaste pahit yang ditimbulkannya. Konstanta Grover untuk gliserol adalah
4.0.
Pemakaian sorbitol ditentukan pada konsentrasi 5% dan 10%. Asumsi
yang digunakan adalah berat produk per bar adalah 50 gram solid dengan
ukuran saji 10 bar per hari. Dengan demikian jumlah konsumsi maksimal
sorbitol sekitar 50 gram/hari sehingga tidak menyebabkan efek laksatif.
Pemakaian gliserol dicoba mulai dari konsentrasi yang rendah dengan melihat
nilai a
w
yang dihasilkan dan aftertaste pahitnya.
Tabel 16. Prediksi a
w
pada penambahan sorbitol dan gliserol dari setiap
formula dengan persamaan Grover
Formula
Sebelum
ditambah
humektan
Sorbitol (%) Gliserol (%)
5 10 2 4 6 8
Ubi jalar 0.851 0.811 0.773 0.819 0.788 0.759 0.731
Pisang 0.862 0.826 0.791 0.833 0.804 0.777 0.752
K.hijau 0.850 0.813 0.778 0.820 0.792 0.765 0.739
Berdasarkan Tabel 16 tersebut dapat dilihat nilai prediksi a
w
produk
dengan penambahan sorbitol atau gliserol. Penambahan sorbitol dalam
konsentrasi 5% mampu menurunkan a
w
produk sampai dibawah 0.85 dan
penggunaan konsentrasi 10% dapat menurunkan a
w
sampai nilai dibawah 0.8.
Dengan demikian dipilih produk dengan penambahan sorbitol konsentrasi
10% untuk diuji lebih lanjut. Nilai a
w
ubi jalar sebelum ditambah sorbitol
sebesar 0.851 dan setelah ditambah 10% sorbitol turun menjadi 0.773. Produk
formula pisang yang memiliki nilai a
w
awal sebelum penambahan humektan
sebesar 0.862 turun menjadi 0.791. Demikian halnya produk formula kacang
hijau dengan nilai a
w
awal sebelum ditambah humektan 0.85 turun menjadi
0.778. Tekstur produk yang telah ditambah sorbitol tampak lebih menyatu,
kompak, tidak rapuh, dan terasa lebih manis.
Jumlah gliserol yang ditambahkan pada produk dimulai dari 2% - 8%.
Berdasarkan penghitungan dengan persamaan Grover diperoleh data
penurunan nilai a
w
yang cukup signifikan. Nilai a
w
tanpa penambahan gliserol
pada formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah 0.851, 0.862, dan
0.850. Pada setiap penambahan konsentrasi gliserol dilakukan pencicipan
terhadap ketiga produk dengan atribut kritis aftertaste pahit. Penambahan
gliserol pada konsentrasi 2% menghasilkan nilai a
w
0.819 , 0.833, dan 0.820
untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Aplikasi 2% gliserol belum
menunjukkan adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Jumlah 4% gliserol
menghasilkan nilai a
w
0.788, 0.804, dan 0.792 untuk formula ubi jalar, pisang,
dan kacang hijau. Hasil pencicipan produk dengan konsentrasi 4% gliserol
juga menunjukkan belum adanya aftertaste pahit pada ketiga formula. Dengan
demikian dicobakan konsentrasi penambahan gliserol yang lebih tinggi yaitu
6%. Konsentrasi 6% gliserol menghasilkan nilai a
w
sebesar 0.759, 0.778, dan
0.765 untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau. Penambahan 6%
gliserol pada formula pisang dan kacang hijau menunjukkan adanya aftertaste
pahit sedangkan formula ubi jalar belum menunjukkan aftertaste pahit. Oleh
karena itu pada formula ubi jalar dicobakan konsentrasi 8% gliserol dan
menghasilkan nilai a
w
sebesar 0.731 dengan rasa normal atau belum
menunjukkan aftertaste pahit..
Data hasil penambahan gliserol menunjukkan bahwa pada konsentrasi
6% gliserol sudah terdeteksi aftertaste pahit pada formula pisang dan kacang
hijau. Oleh karena itu jumlah gliserol yang ditambahkan pada formula pisang
dan kacang hijau adalah sebesar 4%.
Penambahan gliserol pada formula ubi jalar menunjukkan bahwa sampai
pada konsentrasi 8% belum terdeteksi aftertaste pahit. Hal ini kemungkinan
karena tingginya kandungan gula pada tepung ubi jalar sehingga dapat
menutupi aftertaste pahit yang disebabkan gliserol. Produk formula ubi jalar
jika dilihat nilai penurunan a
w
nya maka pada konsentrasi 4% a
w
yang
diperoleh sudah cukup rendah dan memenuhi kriteria a
w
IMF. Oleh karena itu,
pada formula ubi jalar juga dipilih konsentrasi 4% gliserol yang akan diuji
lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk efisiensi penggunaan humektan.
Tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran a
w
dengan a
w
meter
untuk melihat a
w
aktualnya. Pengukuran dengan a
w
meter ini juga sebagai
verifikasi prediksi a
w
dengan persamaan isotermi sorpsi GAB dan persamaan
Grover. Nilai a
w
aktual hasil pengukuran dengan a
w
meter dapat dilihat pada
Tabel 17.
Tabel 17. Hasil pengukuran a
w
aktual ketiga formula dengan a
w
meter
Formula
Ubi Jalar
Formula
Pisang
Formula
Kacang Hijau
Tanpa humektan 0.771 / 29.7
o
C 0.822 / 30.6
o
C 0.853 / 30.2
o
C
Sorbitol 10 % 0.772 / 29.9
o
C 0.835 / 30.6
o
C 0.832 / 30.2
o
C
Gliserol 4 % 0.737 / 30.2
o
C 0.804 / 30.6
o
C 0.815 / 30.3
o
C
Hasil pengukuran a
w
produk tanpa humektan dengan a
w
meter (a
w
aktual
tanpa humektan) menunjukkan nilai yang agak berbeda dengan nilai prediksi
baik dengan persamaan isotermi sorpsi GAB ataupun dengan persamaan
Grover. Nilai a
w
prediksi formula ubi jalar dengan persamaan GAB adalah
0.88 dan dengan persamaan Grover adalah 0.851 sedangkan pengukuran nilai
a
w
aktualnya adalah 0.771. Prediksi a
w
formula pisang tanpa humektan dengan
persamaan GAB menunjukkan nilai a
w
lebih besar dari 0.9 dan dengan
persamaan Grover adalah 0.862 sedangkan pengukuran a
w
aktualnya bernilai
0.822. Nilai a
w
prediksi formula kacang hijau tanpa humektan dengan
persamaan GAB juga menunjukkan nilai lebih besar dari 0.9 sedangkan
dengan persamaan Grover memiliki nilai a
w
sebesar 0.850. Nilai a
w
prediksi
dengan persamaan Grover pada formula kacang hijau tidak berbeda jauh
dengan nilai a
w
aktualnya yaitu 0.853.
Pengukuran a
w
aktual pada formula ubi jalar tanpa dan dengan
penambahan humektan menunjukkan nilai yang lebih kecil dari nilai
prediksinya dengan persamaan Grover. Formula ubi jalar dengan penambahan
10% sorbitol memiliki nilai a
w
aktual sebesar 0.772 dan penambahan 4%
gliserol menghasilkan nilai a
w
aktual sebesar 0.737.
Nilai a
w
aktual formula pisang dengan penambahan 10% sorbitol lebih
besar dibandingkan dengan nilai a
w
prediksinya sedangkan formula dengan
penambahan 4% gliserol mempunyai nilai a
w
aktual 0.804 yang sama dengan
nilai prediksinya yaitu 0.804. Formula kacang hijau dengan penambahan
sorbitol memiliki nilai a
w
0.832. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai
prediksi yaitu 0.778. Nilai a
w
formula kacang hijau yang ditambah 4% gliserol
adalah 0.815 tidak berbeda jauh dengan nilai prediksi yaitu sebesar 0.792.
Perbedaan antara nilai a
w
aktual dengan a
w
prediksi persamaan Grover
mungkin disebabkan oleh penghitungan persamaan Grover yang kurang tepat.
Pada penghitungan prediksi a
w
dengan persamaan Grover terdapat konstanta
Grover untuk nilai protein, lemak, gula, dan pati sedangkan pada penelitian
tidak dilakukan analisis total pati dan total gula pada formula. Penghitungan
total pati pada formula menggunakan selisih total karbohidrat (karbohidrat by
difference) dengan total sukrosa yang ditambahkan pada formula sedangkan
total gula dihitung berdasarkan jumlah sukrosa yang ditambahkan dalam
formulasi. Adanya perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan nilai a
w
aktual dengan a
w
prediksi persamaan Grover.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai a
w
aktual tersebut dapat dilihat
bahwa pada formula ubi jalar dan pisang dengan penambahan sorbitol
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan a
w
produk tanpa humektan pada
masing-masing formula. Nilai a
w
produk dengan penambahan sorbitol
seharusnya lebih rendah dibanding a
w
produk tanpa humektan karena adanya
humektan dapat menurunkan a
w
bahan. Oleh karena itu produk yang akan
diuji lebih lanjut adalah produk yang menggunakan gliserol sebagai humektan.
Produk yang ditambah gliserol menunjukkan penurunan a
w
yang cukup
signifikan dan nilainya memenuhi kisaran a
w
IMF. Produk masing-masing
formula kemudian dicetak dengan bentuk persegi dan mempunyai dimensi 5 x
5 x 2 cm dengan bobot 50 gram solid. Penampakan produk dapat dilihat pada
Gambar 15.
Gambar 15. Penampakan produk IMF formula kacang hijau, ubi jalar, dan
pisang (kiri-kanan)
F. UJI ORGANOLEPTIK
Uji sensori secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu uji pembedaan
(discrimination test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif (affective
test) (Meilgaard, et al., 1999). Uji pembedaan digunakan untuk menentukan
perbedaan yang nyata diantara sampel. Uji deskriptif digunakan untuk
menentukan intensitas perbedaan diantara sampel sedangkan uji afektif
digunakan untuk mengukur sikap subjektif panelis tehadap suatu produk
berdasarkan alat sensorinya.
Uji organoleptik yang akan dilakukan terhadap produk pangan darurat
ini adalah uji rating atribut dan uji rating hedonik. Uji rating atribut termasuk
dalam multisample difference test : rating approach sedangkan uji rating
hedonik termasuk dalam uji afektif kuantitatif. Uji rating dapat menggunakan
skala pengukuran 5, 7, atau 9. Pengujian ini menggunakan skala 7. Pengujian
ini menggunakan 25 panelis tidak terlatih yang diambil dari lingkungan
kampus IPB Bogor. Data hasil pengujian organoleptik (Lampiran 4) diolah
menggunakan program SPSS 13 dengan uji Anova dan uji lanjut Duncan pada
taraf nyata 0.05. Uji lanjut Duncan dilakukan apabila hasil uji Anova
menunjukkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0.05. Penyajian sampel uji
dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Penyajian sampel dalam uji organoleptik
1. Uji Rating Atribut
Uji rating atribut meliputi kemudahan ditelan dan aftertaste pahit.
Atribut kemudahan ditelan digunakan untuk melihat tingkat kemudahan
produk dapat ditelan atau dengan kata lain seberapa banyak air yang
dibutuhkan untuk menyertai konsumsi. Hal ini berdasarkan kriteria produk
pangan darurat yaitu tidak membutuhkan banyak air untuk menyertai
konsumsi. Pengukuran pada uji rating kemudahan ditelan menggunakan
skala 7 dengan angka 1 menunjukkan sangat sulit ditelan dan angka 7
sangat mudah ditelan.
Hasil yang diperoleh pada uji rating terhadap atribut kemudahan
ditelan menunjukkan bahwa ketiga formula berbeda nyata. Hal ini
ditunjukkan dari nilai signifikansi sebesar 0.000. Oleh karena ketiga
formula berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji
Duncan menunjukkan bahwa formula pisang dan kacang hijau berada pada
kolom subset yang sama sedangkan formula ubi jalar berada pada kolom
subset yang berbeda. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata antara
formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini berbeda nyata
dengan formula ubi jalar dalam hal kemudahan ditelan. Nilai kemudahan
ditelan untuk formula pisang dan formula kacang hijau adalah sebesar 4.08
dan 3.92. Nilai ini menyatakan panelis memberikan penilaian netral
terhadap kemudahan ditelan bagi kedua formula tersebut. Nilai
kemudahan ditelan formula ubi menunjukkan angka 4.96 yang berarti
formula ubi jalar agak mudah ditelan.
Gambar 17. Nilai kemudahan ditelan dari ketiga sampel
Atribut aftertaste pahit digunakan untuk melihat pengaruh
penggunaan gliserol. Angka 1 pada uji aftertaste pahit menunjukkan
sangat tidak pahit dan angka 7 sangat pahit. Pengujian terhadap aftertaste
pahit juga menunjukkan ketiga formula berbeda nyata. Nilai signifikansi
pengujian sebesar 0.000. Oleh karena itu dilakukan uji lanjut Duncan
untuk melihat perbedaan ketiga formula. Uji Duncan menunjukkan bahwa
formula ubi jalar mempunyai nilai aftertaste pahit 3.16 atau dapat
dikatakan agak tidak pahit. Tingkat aftertaste pahit formula ubi jalar
berbeda nyata dengan formula pisang dan kacang hijau yang mempunyai
nilai aftertaste pahit 4.16 atau mempunyai tingkat kepahitan netral. Hasil
pengujian terhadap atribut aftertaste pahit dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai aftertaste pahit dari ketiga sampel
3,92b
4,08b
4,96a
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jalar pisang kacang hijau
sampel
k
e
m
u
d
a
h
a
n
d
i
t
e
l
a
n
3,16a
4,16b 4,16b
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jal ar pi sang kacang hi jau
sampel
t
i
n
g
k
a
t
a
f
t
e
r
t
a
s
t
e
p
a
h
i
t
2. Uji Rating Hedonik
Uji rating hedonik yang termasuk dalam uji afektif kuantitaf dapat
digunakan untuk menentukan preferensi atau kesukaan secara keseluruhan
terhadap produk. Uji rating hedonik ini menggunakan skala 7 dengan angka 1
bernilai sangat tidak suka dan angka 7 sangat suka.
Hasil uji rating hedonik menunjukkan secara nyata terdapat perbedaan
diantara ketiga formula. Uji lanjut Duncan menyatakan formula pisang dan
kacang hijau berada pada kolom subset yang sama sedangkan formula ubi
jalar berada pada subset yang lain. Hal ini berarti tidak ada perbedaan tingkat
kesukaan terhadap formula pisang dan kacang hijau tetapi kedua formula ini
berbeda nyata dengan formula ubi jalar. Panelis memberikan nilai kesukaan
3.44 untuk formula pisang dan 3.6 untuk formula kacang hijau atau dapat
dikatakan panelis agak tidak suka dengan kedua formula tersebut. Formula ubi
jalar mempunyai nilai kesukaan 5.32. Nilai ini menunjukkan panelis agak suka
terhadap formula ubi jalar. Hasil uji hedonik dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Hasil uji rating hedonik ketiga sampel.
G. KARAKTERISASI FORMULA PRODUK TERPILIH
Hasil pengujian organoleptik menyatakan bahwa produk yang paling
mudah ditelan, paling tidak terasa pahit, dan paling disukai diantara ketiga
formula tersebut adalah produk dengan formula ubi jalar. Oleh karena itu
produk formula ubi jalar merupakan produk yang akan dianalisis lebih lanjut.
3,6b
3,44b
5,32a
0
1
2
3
4
5
6
7
ubi jal ar pi sang kacang hi jau
sampel
t
i
n
g
k
a
t
k
e
s
u
k
a
a
n
Analisis meliputi perbandingan kurva isotermi sorpsi produk akhir dengan
formula awalnya, analisis proksimat produk akhir, dan analisis mikrobiologis.
Produk IMF biasanya dikemas dengan kertas berlapis lilin misalnya
dodol Garut dan kue wingko, atau dengan plastik misalnya dodol buah atau
jenang Kudus. Kemasan tersebut merupakan kemasan primer atau kemasan
yang langsung kontak dengan produk. Menurut Syarief et. al. (1989), produk
yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap uap air. Umumnya produk-
produk ini memiliki nilai a
w
atau ERH yang rendah. Oleh karena itu produk
semacam ini harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai permeabilitas
uap air yang rendah. Produk pangan darurat ini akan dikemas dengan
aluminium foil. Pemilihan kemasan aluminium foil dikarenakan aluminium
foil mempunyai konstanta permeabilitas uap air yang sangat rendah. Selain itu
aluminium foil juga bersifat hermetis dan fleksibel sehingga memudahkan
pengemasan. Produk yang dikemas dengan aluminium foil dapat dilihat pada
Gambar 20.
Gambar 20. Produk pangan darurat terpilih dalam kemasan alufo
1. Komposisi Nutrisi
Analisis proksimat dilakukan pada produk yang telah ditambah
humektan (gliserol). Analisis proksimat ini digunakan untuk melihat
komposisi nutrisi aktual produk akhir yang merupakan produk terpilih.
Hasil analisis proksimat tersaji pada Tabel 18.
Tabel 18. Komposisi nutrisi produk pangan darurat terpilih (formula ubi
jalar)
Komponen % BB % BK
Kadar air
Kadar abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
20.38
1.70
15.98
12.05
49.89
25.60
2.13
20.07
15.13
62.67
Berdasarkan hasil analisis proksimat pada Tabel 19 dapat dilihat
bahwa kandungan proteinnya belum memenuhi kisaran nilai yang
dianjurkan oleh IOM. Nilai protein produk hanya 15.13% bk atau setara
7.56 gram/bar produk sedangkan kandungan lemak dan karbohidatnya
memenuhi pesyaratan nutrisi pangan darurat. Kandungan lemak produk
adalah 20.07% bk atau setara dengan 10.03 gram/bar dan jumlah
karbohidrat pada produk adalah sebesar 62.67% bk atau setara 31.33
gram/bar. Nilai total kalori per bar sebesar 245.917 kkal.
Terjadinya perbedaan nilai protein aktual produk dengan
penghitungan diduga dikarenakan pada tahap formulasi menggunakan
acuan nilai nutrisi berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan dan
informasi nilai gizi yang tercantum pada kemasan susu fullcream yang
digunakan. Nilai-nilai tersebut mungkin berbeda dengan nilai aktual bahan
yang digunakan pada penelitian ini disebabkan varietas dan proses
produksi yang berbeda. Meskipun nilai proteinnya masih kurang dari
anjuran nutrisi minimal pangan darurat, produk pangan darurat formula
ubi ini mempunyai nilai kalori yang cukup tinggi dan memenuhi minimal
kalori yang dipersyaratkan dalam pangan darurat yaitu 233 kkal/bar.
2. Pengaruh Penambahan Humektan terhadap Kurva Isotermi Sorpsi
Penambahan humektan pada produk akhir berpengaruh pada kurva
isotermi sorpsi. Gambar 21 memperlihatkan adanya pergeseran kurva
isotermi sorpsi formula awal (formula tanpa humektan). Kurva isotermi
sorpsi produk akhir memiliki pola yang hampir sama tetapi berada di atas
kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan.
0
10
20
30
40
50
60
70
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0
aw
k
a
d
a
r
a
i
r
(
%
B
K
)
percobaan
form ubi tanpa
humektan
GAB form ubi
tanpa
humektan
percobaan
form ubi
dengan
humektan
GAB form ubi
dengan
humektan
Gambar 21. Kurva isotermi sorpsi formula tanpa humektan dan produk
akhir formula ubi jalar yang mengandung humektan
Tabel 19. Parameter Isotermi Sorpsi Menurut Persamaan GAB
Formula Ubi
Tanpa Humektan
Formula Ubi
dengan Humektan
k 1.0232 1.0095
C 14.2949 20.9096
Mo 2.3905 5.2640
MRD 2.85 3.71
Nilai kadar air monoloyer produk akhir yang mengandung humektan
adalah 5.2640 %bk. Nilai ini lebih besar dibandingkan nilai kadar air
monolayer formula tanpa humektan yaitu 2.3905 %bk sedangkan nilai
energi pengikatan air (C) pada produk akhir yang mengandung humektan
sebesar 20.9096 lebih tinggi dibanding formula tanpa humektan yang
memiliki energi pengikatan air sebesar 14.2949. Hal ini disebabkan pada
produk akhir yang mengandung humektan lebih banyak mengikat air. Pada
Gambar 21 juga dapat dilihat bahwa penggunaan humektan dapat
menurunkan a
w
tetapi kadar air produk masih dapat dipertahankan. Kurva
tersebut menunjukkan bahwa pada nilai kadar air yang sama, formula yang
ditambah humektan mempunyai nilai a
w
yang lebih rendah dibandingkan
formula tanpa humektan.
Penyerapan air lebih besar terjadi pada produk akhir dibandingkan
dengan produk tanpa humektan. Penelitian tentang isotermi sorpsi pindang
ikan tongkol yang dilakukan oleh Kadir (1982) juga memperlihatkan
fenomena yang sama. Nilai kadar air pada tingkat a
w
yang sama untuk
pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0% lebih kecil
dibandingkan dengan pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6%.
Jika dibuat kurva isotermi sorpsinya maka kurva isotermi sorpsi pindang
ikan tongkol dengan konsentrasi garam 6% berada di atas kurva isotermi
sorpsi pindang ikan tongkol dengan konsentrasi garam 0%. Garam
merupakan salah satu jenis humektan. Keberadaan humektan pada produk
akhir dapat meningkatkan pengikatan air. Hal ini sesuai dengan fungsi
humektan yaitu mengikat air. Menurut Taoukis et. al. (1999) humektan
merupakan senyawa yang bersifat higroskopis.
Humektan yang digunakan pada produk terpilih adalah gliserol.
Berdasarkan struktur kimianya, gliserol mempunyai tiga gugus hidroksil
(OH). Adanya gugus hidroksil ini menyebabkan gliserol mudah berikatan
dengan air. Ikatan ini adalah ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen merupakan
interaksi elektrostatik yang dapat terjadi pada dua molekul air yaitu antara
muatan negatif sebagian pada atom oksigen dari satu molekul air dengan
muatan positif sebagian pada atom hidrogen dari molekul yang lain
(Lehninger, 1993). Atom hidrogen dari molekul humektan yang bermuatan
positif sebagian dapat membentuk ikatan hidrogen dengan atom oksigen
yang bermuatan negatif sebagian dari molekul air yang terkandung di
dalam produk. Oleh karena itu produk akhir yang mengandung humektan
gliserol memperlihatkan pengikatan air yang lebih tinggi dibandingkan
produk tanpa gliserol.
3. Analisis Total Mikroba dan Kapang-Khamir
Analisis kestabilan mikrobiologis dilakukan satu kali seminggu
selama empat minggu. Analisis kestabilan mikrobiologis ini meliputi
analisis pertumbuhan kapang-khamir dan total mikroba. Analisis kapang
khamir menggunakan media potato dextrose agar (PDA) yang kemudian
0
1
2
3
4
5
0 1 2 3 4 5
minggu
j
u
m
l
a
h
k
o
l
o
n
i
(
l
o
g
C
F
U
/
g
r
a
m
)
total mikroba kapang-khamir
diasamkan dengan penambahan asam tartarat 10 % sedangkan total
mikroba menggunakan media plate count agar (PCA). Pemupukan
dilakukan sampai pengenceran -5 dengan metode cawan tuang atau pour
plate.
Tabel 20. Hasil analisis mikrobiologis produk terpilih selama empat
minggu
Minggu
Jumlah Mikroba (koloni/gram)
Kapang-Khamir Total Mikroba
0 6.0 x 10
1
(< 1.0 x 10
2
) 6.3 x 10
3
1 7.3 x 10
1
(< 1.0 x 10
2
) 9.4 x 10
3
2 1.2 x 10
2
1.3 x 10
4
3 1.3 x 10
2
1.6 x 10
4
4 1.4 x 10
2
2.2 x 10
4
Gambar 22. Perkembangan total mikroba dan kapang-khamir selama
empat minggu
Hasil analisis mikrobiologis produk seperti yang terdapat pada Tabel
20 menunjukkan bahwa pertumbuhan total mikroba dan kapang-khamir
mengalami kanaikan yang tidak terlalu tinggi selama empat minggu. Nilai
total mikroba pada minggu ke-0 sebesar 6.3 x 10
3
koloni/gram atau 3.79
log CFU/gram dan pada minggu keempat produk mengandung 2.2 x 10
4
koloni/gram atau sebanyak 4.34 log CFU/gram. Nilai total mikroba
mengalami kenaikan sebesar 0.55 log CFU/g.
Analisis kapang-khamir menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni
hanya terdapat pada cawan dengan pengenceran 10
-1
sedangkan pada
cawan dengan pengenceran 10
-2
,
10
-3
,
10
-4
, dan 10
-5
tidak terdapat
pertumbuhan koloni sampai minggu keempat. Jumlah kapang-khamir pada
minggu ke-0 sebesar 6.0 x 10
1
atau sebesar 1.78 log CFU/gram dan pada
minggu minggu ke-4 jumlah kapang-khamir adalah 1.4 x 10
2
atau 2.15
log CFU/gram. Kenaikan jumlah kapang-khamir selama empat minggu
sebesar 0.37 log CFU/gram. Pengamatan visual produk sampai minggu
keempat masih menunjukkan penampakan normal dan tidak terdapat
pertumbuhan mikroba. Menurut Seiler (1976) kapang merupakan masalah
mikrobial utama pada IMF modern.
Nilai mutu mikrobiologis produk mengacu pada bakpia pathuk
(isinya) dikarenakan adanya kemiripan tekstur dan bentuk produk akhir
dengan isi bakpia pathuk. Menurut SNI 01-4291-1996 disebutkan bahwa
bakpia pathuk merupakan makanan semi basah dengan angka lempeng
total (total plate count) yang menunjukkan total mikroba maksimal 10
4
dan jumlah kapang maksimal 10
3
. Berdasarkan jumlah kapang-khamirnya,
produk pangan darurat berbahan baku tepung ubi jalar ini masih dapat
dikonsumsi dalam rentang waktu empat minggu setelah produksi, tetapi
jika mengacu pada nilai total mikrobanya, produk ini hanya dapat
dikonsumsi sampai satu minggu setelah produksi.
Sebagai pembanding lainnya, pangan basah misalnya bandeng asap
dengan nilai a
w
0.9 mempunyai total mikroba setelah tiga hari
penyimpanan sebesar 8.1 x 10
6
koloni/gram dan mengalami penurunan
kesegaran dua hari kemudian dengan nilai total mikroba sebesar 9.0 x 10
7
koloni/gram. Dengan demikian bandeng asap selama dua hari
penyimpanan mengalami kenaikan jumlah mikroba sebesar 1.04 log CFU
(Susijahadi, 1983).
Aktifitas air merupakan faktor penting dalam pengendalian mikroba.
Rendahnya nilai a
w
IMF dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan
reaksi kimia lain sehingga IMF bersifat lebih awet. Walaupun demikian
pengendalian mikroba yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada
penurunan a
w
, melainkan dipengaruhi pula oleh pH, suhu, bahan pengawet
dan kondisi bersaing dengan mikroflora lainnya.
Salah satu keuntungan IMF adalah pertumbuhan bakteri tidak terjadi
pada a
w
dibawah 0.85. Beberapa jenis kapang dan khamir dapat tumbuh
tetapi khamir patogen tidak dapat tumbuh pada a
w
yang rendah (Tilbury,
1976). Beberapa jenis mikroorganisme yang potensial dapat tumbuh pada
IMF dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Nilai aktivitas air (a
w
) minimum mikroba yang sering terdapat
pada pangan semi basah
a
w
Bakteri Khamir kapang
0.90 Lactobacillus
a
Micrococcus
Pediococcus
Vibrio
a
Hansanula
Saccharomyces
-
0.88 - Candida
Debaryomyces
Hanseniaspora
Torulopsis
Cladosporium
0.87 - Debaryomyces
a
-
0.86 Staphylococcus
b
- Paecilomyces
0.80 - Saccharomyces Aspergillus
Penicillium
Emericella
eremascus
0.75 Bakteri Halophilic - Aspergillus,
a
wellemia
0.70 - - Eurotium
chrysosporium
0.62 - Saccharomyces Eutorium,
a
Monascus
Ket :
a
beberapa strain ,
b
aerobik
Leistner dan Rdel (1976)
Hasil pengujian total mikroba menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai kapang-khamir. Hal ini dikarenakan pada
pegujian total mikroba semua mikroba baik bakteri, kapang, atau khamir
dapat tumbuh pada media tersebut. Berdasarkan Tabel 22 bakteri yang
dapat tumbuh pada kisaran a
w
IMF adalah bakteri halofilik dan
Staphylococcus. Kemungkinan pertumbuhan bakteri halofilik pada produk
pangan darurat ini sangat rendah karena produk ini memiliki rasa manis
dan tidak menggunakan garam NaCl di dalam ingridiennya sedangkan
kontaminasi Staphylococcus mungkin terjadi. Hal ini disebabkan salah
satu habitat Staphylococcus adalah kulit, kelenjar kulit, membran mukosa
dari hewan berdarah panas, termasuk manusia. Keberadaan
Staphylococcus pada produk IMF mengindikasikan dua hal yaitu 1).
Indikator ketidakhigienisan dalam proses pembuatan IMF dan 2). Adanya
enterotoksin Staphylococcus yang dapat meyebabkan keracunan makanan.
Staphylococcus dapat tumbuh optimal pada a
w
yang tinggi yaitu sekitar
0.995. Namun beberapa survei terhadap 14 strain Staphylococcus yang
dapat menyebabkan keracunan makanan baik dalam skala laboratorium
atau pada makanan menunjukkan Staphylococcus dapat tumbuh pada a
w
0.86 (Pawsey dan Davies,1976).
Selain diduga akibat kontaminasi Staphylococcus dari tangan pekerja
pada saat produksi, bakteri yang terdapat pada produk mungkin
diakibatkan oleh spora bakteri yang berasal dari bahan bakunya, yaitu
tepung ubi jalar. Nilai kadar air tepung ubi jalar yang berada di atas kadar
air monolayernya mempengaruhi stabilitas tepung ubi jalar salah satunya
terhadap mikroorganisme, selain itu pembuatan tepung yang
memanfaatkan pengeringan alami panas matahari pada ruang terbuka juga
berpengaruh terhadap keberadaan spora bakteri pada tepung ubi jalar.
Kerusakan pangan lainnya yang potensial dan merupakan kerusakan
kimiawi utama yang terjadi pada produk IMF adalah reaksi pencoklatan
(Waletzko dan Labuza, 1976).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pengukuran isotermi sorpsi bahan baku (tepung ubi jalar, tepung pisang,
dan tepung kacang hijau) dan formula awal menghasilkan kurva yang
berbentuk sigmoid. Nilai-nilai persamaan GAB yaitu C, k, dan Mo untuk
tepung ubi jalar adalah 26.2674, 1.0853, dan 3.8129; tepung pisang 328.4014,
0.9349, dan 4.6531; dan tepung kacang hijau 24.1477, 0.8898, dan 5.0589.
Pola kurva isotermi sorpsi formula awal mengikuti pola kurva bahan
bakunya tetapi mengalami pergeseran ke bawah. Hal ini disebabkan adanya
minyak dalam formula yang menurunkan penyerapan air. Berdasarkan
isotermi sorpsi formula awalnya, jumlah air yang harus ditambahkan pada
formula ubi jalar pada a
w
0.88 adalah 0.1848 gram/gram solid. Penambahan
air pada formula pisang dan kacang hijau dilakukan manual karena
penghitungan dengan kurva isotermi sorpsinya kurang tepat. Jumlah air yang
ditambahkan pada formula pisang adalah 0.2133 gram/gram solid sedangkan
pada formula kacang hijau sebesar 0.2166 gram/gram solid.
Perkiraan nilai a
w
produk dengan menggunakan persamaan Grover
menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai a
w
aktualnya dibandingkan
dengan menggunakan kurva isotermi sorpsi. Humektan yang akhirnya
digunakan pada produk adalah gliserol. Nilai a
w
aktual produk dengan
penambahan gliserol untuk formula ubi jalar, pisang, dan kacang hijau adalah
0.737, 0.804, dan 0.815.
Uji organoleptik dilakukan pada produk yang menggunakan gliserol
sebagai humektan. Hasil uji organoleptik menyatakan bahwa formula ubi jalar
memiliki nilai kemudahan ditelan, tingkat aftertaste pahit, dan tingkat
kesukaan yang lebih baik dibandingkan dengan formula pisang dan kacang
hijau.
Analisis kapang-khamir dan total mikroba dilakukan pada produk
pangan darurat terpilih dari uji organoleptik yaitu produk formula ubi jalar.
Hasil pengujian kapang-khamir selama empat minggu menunjukkan kenaikan
sebesar 0.37 log CFU sedangkan nilai total mikroba mengalami kenaikan
sebesar 0.55 log tetapi penampakan visual produk sampai minggu keempat
memperlihatkan kondisi produk masih normal dan belum terdapat
pertumbuhan mikroba. Berdasarkan acuan produk yaitu SNI 01-4291-1996
tentang bakpia pathuk, produk pangan darurat terpilih dengan bahan baku
tepung ubi jalar hanya dapat dikonsumsi sampai satu minggu setelah
diproduksi jika mengacu pada nilai Angka Lempeng Total (total mikroba)
produk yang masih dibawah batas maksimal.
B. SARAN
Nilai protein produk terpilih masih belum mencukupi standar nilai
protein yang dianjurkan dalam pangan darurat. Oleh karena itu perlu diadakan
analisis proksimat terhadap ingridien yang digunakan untuk melihat komposisi
nutrisi aktualnya atau dapat juga mengganti konsentratprotein kedelai dengan
isolat protein atau bahan lain yang tinggi kandungan proteinnya.
Pengujian organoleptik pada penelitian ini dilakukan pada skala
laboratorium dengan 25 panelis yang memiliki usia yang hampir sama. Oleh
karena itu perlu dilakukan uji organoleptik dengan lebih banyak panelis
dengan rentang usia yang lebih luas karena diharapkan produk pangan darurat
ini dapat dikonsumsi oleh semua golongan usia kecuali bayi.
Hasil uji mikrobiologi menyatakan bahwa produk pangan darurat ini
hanya dapat dikonsumsi sampai waktu satu minggu setelah produksi jika
mengacu pada jumlah total mikrobanya yang masih di bawah batas maksimal
yang dipersyaratkan oleh SNI 01-4291-1996 tentang bakpia pathuk. Oleh
karena itu untuk mereduksi jumlah mikroba awal dan menekan
pertumbuhannya hendaknya diupayakan kondisi produksi yang lebih saniter
dan dilakukan pemanggangan produk sehingga daya awet produk dapat
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah D. R. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas
Air Serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk Pada Model Pangan.
Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor
Anonim. 2008. Glycerol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008]
Anonim. 2008. Sorbitol. www.wikipedia.org [26 Juni 2008]
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical
Chemist, Washington DC.
Astawan, M. 2005. Kacang Hijau, Antioksidan yang Membantu Kesuburan Pria.
Departement of Food Science and Technology, IPB, Bogor di dalam
http://www.ipb.ac.id/~tpg/de/pubde.php [8 Juni 2008]
Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman SNI 01-
2981-1992. Jakarta
Badan Standarisasi Nasional. 1996. Bakpia Pathuk. SNI 01-4291-1996. Jakarta
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan. SNI
01-2981-1992. Jakarta
Bradbury, J. H dan W. D Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops :
Significance for Nutrition and Agriculture in the Pasific. ACIAR.
Canbera. Di dalam Sulistiyo, C. N. 2006. Pengembangan Brownies
Kukus Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) di PT Fits Mandiri Bogor.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bell, L. N. dan T. P. Labuza. 2000. Moisture Sorption: Practical Aspect of Isoterm
Measurement and Use. American Association Cereal Chemist,
minnesota, USA.
Calorie control. 2006. Reduce-Calorie Sweeteners : Sorbitol. Di dalam
http://www.caloriecontrol.org/index.html [ 8 Juni 2008]
deMan, J. M. 1989. Kimia Makanan. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Penerbit
ITB, Bandung
Departemen Pertanian. 2007. Hasil Pencarian Berdasarkan Komoditi Tanaman
Pangan. www.database.deptan.go.id [15 Juli 2007]
Drewnoski, A. 1997. Taste Preference and Food Intake. Annu Rev Nutr 17:237-
253. Di dalam Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L.
Chenoweth., P. Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M.
Tolvanen. High-Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food
Product. Food and Nutrition Board : Intitute of Medicine. National
Academy Press, Washington DC.
Eskin, N. A. M. dan D. S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability Chemical,
Biochemical dan Microbiological Changes. CRC Press, NY. Di dalam
Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan
Stabilitasnya Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB,
Bogor
Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Lembaga
Sumberdaya Informasi IPB, Bogor
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PAU Pangan dan Gizi dan Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta
Fennema, O. R. 1996. Food Chemistry. 3
rd
Ed. Marcel Dekker, Inc., New York
Guilbert, S. 1984. Additifs et Agents d.presseurs de law. Pages 199-227. Di
dalam : Additifs et Auxiliaires de Fabrication dans les Industries Agro-
alimentaires. J.L. Multon, ed. Tec et Doc Lavoisier, Aprix, Paris. Di
dalam Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture
Food. Paper No. 14,969 of The Scientific Journal Series of the
Minnesota Agricultural Experiment Station. Departement of Food
Science and Nutrition, Minnesota
Hardiman. 1982. Tepung Pisang, Ciri, Jenis, Cara Pembuatan, Resep Penggunaan.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hidayah, N. 2002. Kajian Teknologi Pembuatan Tepung Kacang Hijau Instan dan
Analisa Gizinya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Histifarina, D. 2002. Kajian Pembuatan Mashed Potato Instan dan Stabilitasnya
Selama Penyimpanan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, IPB, Bogor
Hough, C.A.M, K.J.Parker, A.J.Viltous.1979. Development in Sweeteners-1.
Applied Science Publ. LTD, London
Igoe, R. S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and
Hall, New York
IOM. 1995. Estimated Mean per Capita Energy Requirements for Planning
Emergency Food Aid Rations. National Academy Press, Washington,
DC.
John, P. dan J. Marchal. 1995. Ripening and Biochemistry of the Fruit. Di dalam
Gowen, S. (ed.). Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY
Kadir, S. 1982. Isothermal Sorpsi Air dan Pengaruh Garam Dapur terhadap Kadar
Air dan Aktivitas Air (a
w
) Pindang Iikan Tongkol (Euthynnus sp.).
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Karel, M. 1976. Technology and Application of New Intermediate Moisture
Foods. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.)
Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Kay, D. E. 1979. Food Legume. Tropical Product Institute, London.
Kekitu, A. O. 1973. Chemical Composition of Unripe (Green) and Ripe Plantain
(Musa paradisiaca). J. Sci. Food Agric 24 : 703-707. Di dalam Chandler
S. 1995. The Nutitional Value of Bananas. Di dalam Gowen, S. (ed.)
Bananas and Plantains. Chapman and Hall. NY
Leistner, L. dan W. Rdel. 1976. The Stability of IMF with Respect to
Microorganisms. Di dalam R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker. (eds.)
Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD., London.
Lehninger, A. L. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja, penerjemah.
Erlangga, Jakarta
Lindsay, R. C. 1985. Food Additivies. Di dalam Fennema O.R. 1996. Food
Chemistry. 3
rd
Ed. Marcel Dekker, Inc., New York Marcel Dekker. Inc.,
New York
Liovonen S. M dan Y. H. Ross. 2002. Water Sorption of Food Model for Studies
of Glass Transition and Reaction Kinetic. Vol 65, Nr 5.
Marzuki, R dan Soeprapto. 2005. Bertanam Kacang Hijau. Penebar Swadaya,
Jakarta
Meilgaard, M., G.. V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation
Techniques. 3
rd
Ed. CRC Press, USA.
Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi IPB, Bogor
Munadjim. 1983. Teknologi Pengolahan Pisang. Gramedia, Jakarta
Pawsey, R. dan R. Davies. 1976. The Safety of Intermediate Moisture Foods with
Respect to Staphylococcus aureus. Di dalam Davies R, G. G Birch, dan
K. J. Parker (eds). Intermediate Moisture Food. Applied Science
Publisher LTD, London
Prawiranegara. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Jenderal
Departemen Kesehatan RI. Penerbit Bhratara, Jakarta
Robson J. N. 1976. Some Introductory Thoughts on Intermediate Moisture Foods.
Di dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate
Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London
Seiler. D. A. L. The Stability of IMF with Respect to Microorganisms. 1976. Di
dalam Davies R, G. G Birch, dan K. J. Parker (eds). Intermediate
Moisture Food. Applied Science Publisher LTD, London
Sloan, A. E., P. Waletzko, T. P. Labuza. 1976. Effect of Order-of-Mixing on a
w
-
Lowering Ability of Food Humectants. J. Food Sci. 41:536-540.
Soekarto S. T. 1979. Air Ikatan, Penetapan Kuantitatif dan Penerapannya pada
Stabilitas Pangan dan Disain Pangan Semi Basah. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian Fatemeta IPB, Bogor
Susijahadi. 1983. Pertumbuhan Mikroba pada Bandeng (Chanos chanos) Asap
Selama Penyimpanan Suhu Kamar dalam Berbagai Tingkat
Kelembaban. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Syarif, R., S. Santausa, Isyana, St. 1989 Buku dan Monograf Teknologi
Pengemasan Pangan. Lab Rekayasa Proses Pangan PAU Pangan dan
Gizi IPB, Bogor
Syarief, R dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta
Taoukis, P.S., W. M. Breene, T. P. Labuza. Intemediate Moisture Food. Paper No.
14,969 of The Scientific Journal Series of the Minnesota Agricultural
Experiment Station. Departement of Food Science and Nutrition,
Minnesota
Tilbury, R. H. 1976. The Microbial Stability of Intermediate Moisture Foods with
Respect to Yeasts. Di dalam : R. Davies, G.G. Birch, and K.J. Parker,
(eds.). Intermediate Moisture Foods. Applied Science Publisher LTD,
London.
Troller, J. A. 1989. Water Activity and Food Quality. Di dalam T. M.
Hardman.(ed.). Water and Food Quality. Elsevier Applied Science, New
York.
Tsou, S. C. S, KK. Kan, SJ. Wang. 1989. Biochemical Studies on Sweet Potato
for Better Utilization at AVRDC . Di dalam Mackay, K.T., M. K.
Palomar, R.T. Sanico (eds.). Sweet Potato Research and Decelopment
for Small Farmers. SEAMEO-SEARCA, Laguna
USFDA. 2007. FDA Advises Manufacturers to Test Glycerin for Possible
Contamination, Glycerin Contaminated with Diethylene Glycol (DEG) Remains a Potential
Health Hazard to Consumers. www.fda.gov [ 14 Agustus 2008]
van den Berg, C. 1985. Description of Water Activity of Food for engineering
Purposes by means at the GAB Model of Sorption. Di dalam Bell, L. N.
dan Labuza, T. P. 2000. Moisture Sorption Practical Aspect of Isotherm
Measurement and Use.. Am. Assoc. of Cereal Chem. St. Paul, MN
von Loesecke, H. M. 1950. Bananas. Interscience Publisher Inc. New York.
Waletzko, P. Dan T. P. Labuza. 1976. Accelerate Shelf-life Testing of an
Intermediate Moisture Food in Air and in an Oxygen-Free
Athmoshphere. J. Food Sci. 4 : 1338-1444
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri, penerjemah.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Zoumas, B.L., L.E. Armstrong, J.R. Backstrand., W.L. Chenoweth., P.
Chinachoti, B. P. Klein, H. W. Lane. K. S. Marsh., M. Tolvanen. High-
Energy, Nutrien-Dense Emergency Relief Food Product. Food and
Nutrition Board : Intitute of Medicine. National Academy Press,
Washington DC.
Lampiran 1. Kadar air kesetimbangan tepung dan formula ubi jalar, kacang
hijau, dan pisang
RH
(%)
Kadar Air Kesetimbangan (%bk)
Ubi Jalar Kacang Hijau Pisang
Tepung Formula Tepung Formula Tepung Formula
7.58
11.2
22.2
32.5
43.7
56.8
68.2
73.0
83.8
91.2
3.1464
3.2353
4.5943
5.1491
7.0862
10.3983
13.7923
-------
berkapang
berkapang
1.3929
------
------
3.2634
3.8352
5.5092
7.4100
9.5156
berkapang
berkapang
3.3305
4.2225
5.4247
6.7235
7.0681
10.1937
13.2121
13.8990
19.0898
berkapang
1.0966
1.4707
2.5481
2.9515
3.8705
5.4321
7.1996
7.8212
berkapang
berkapang
4.9711
5.4961
5.6464
6.0378
8.0302
10.1361
13.5282
14.5647
20.3352
berkapang
1.1867
1.9186
3.1546
3.5891
4.1435
5.0339
6.8942
7.8508
berkapang
berkapang
Ket . ------- = data tidak digunakan
Lampiran 2. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Ubi Jalar
Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB m
i
E
i
E
i
/m
i
(BK) (BB) (basis 100)
air 23,8254 19,2411 19,6140 - -
protein 17,3128 13,9816 14,2526 1,3762 1,3 0,9446
lemak 22,5324 18,1969 18,5496 1,0574 -1,0 -0,9457
KH 57,8005 32,9535 33,5922 0,5839 0,8 1,3701
gula 13,7255 13,9915 1,4019 1,0 0,7133
total 121,4711 98,0986 100
E
o
2,0824
E
o2
4,3363
a
w
0,851
Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0
Humektan Jumlah m
i
E
i
/m
i
E
o
kontrol + E
o2
a
w
E
o
humektan formula
Sorbitol 5 3,9228 0,5098 2,5922 6,7196 0,811
10 1,9614 1,0197 3,1021 9,6228 0,773
Gliserol 2 9,8070 0,4079 2,4903 6,2014 0,819
4 4,9035 0,8157 2,8981 8,3992 0,788
6 3,2690 1,2236 3,3060 10,9297 0,759
8 2,4518 1,6315 3,7139 13,7929 0,731
Lampiran 3. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Pisang
Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB m
i
E
i
E
i
/m
i
(BK) (BB) (basis 100)
air 27,5376 21,7091 22,0533 - -
protein 15,0058 11,8297 12,0173 1,8351 1,3 0,7084
lemak 19,8344 15,6363 15,8842 1,3884 -1,0 -0,7203
KH 62,4907 33,8002 34,3361 0,6423 0,8 1,2456
gula 15,4639 15,7091 1,4039 1,0 0,7123
total 124,8685 98,4392 100
E
o
1,9460
E
o2
3,7870
a
w
0,862
Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0
Humektan Jumlah m
i
E
i
/m
i
E
o
kontrol + E
o2
a
w
E
o
humektan formula
Sorbitol 5 4,4107 0,4534 2,3995 5,7575 0,826
10 2,2053 0,9069 2,8529 8,1391 0,791
Gliserol 2 11,0266 0,3628 2,3088 5,3305 0,833
4 5,5133 0,7255 2,6715 7,1371 0,805
6 3,6755 1,0883 3,0343 9,2070 0,778
8 2,7567 1,4510 3,3971 11,5400 0,752
Lampiran 4. Penghitungan dengan Persamaan Gover pada Formula Kacang Hijau
Komponen Komposisi Komposisi Komposisi BB m
i
E
i
E
i
/m
i
(BK) (BB) (basis 100)
air 26,8483 21,1657 21,4521 - -
protein 16,0837 12,6795 12,8511 1,6693 1,3 0,7788
lemak 19,3236 15,2336 15,4398 1,3894 -1,0 -0,7197
KH 62,8991 31,9390 32,3712 0,6627 0,8 1,2072
gula 17,6471 17,8859 1,1994 1,0 0,8338
total 125,1547 98,6649 100
E
o
2,1000
E
o2
4,4100
a
w
0,850
Ei sorbitol = 2.0 dan Gliserol 4.0
Humektan Jumlah m
i
E
i
/m
i
E
o
kontrol + E
o2
a
w
E
o
humektan formula
Sorbitol 5 4,2904 0,4662 2,5662 6,5852 0,813
10 2,1452 0,9323 3,0323 9,1949 0,778
Gliserol 2 10,7260 0,3729 2,4729 6,1154 0,820
4 5,3630 0,7458 2,8459 8,0989 0,792
6 3,5753 1,1188 3,2188 10,3605 0,765
8 2,6815 1,4917 3,5917 12,9003 0,739
10 2,1452 1,8646 3,9646 15,7182 0,714
Lampiran 5. Formulir Kuesioner Uji Organoleptik
UJI RATING KEMUDAHAN DITELAN
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : .. Tanggal :
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan
2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kemudahan ditelan dengan
memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel
4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon
Kode Sampel
366 145 810
Sangat mudah
Mudah
Agak mudah
Netral
Agak sulit
Sulit
Sangat sulit
UJI RATING AFTERTASTE PAHIT
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : .. Tanggal :
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan
2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat aftertaste pahit yang disebabkan
oleh produk (setelah dikunyah) dengan memberikan tanda pada kotak di
bawah kode sampel
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel
4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon
Kode Sampel
366 145 810
Sangat pahit
Pahit
Agak pahit
Netral
Agak tidak pahit
Tidak pahit
Sangat tidak pahit
KOMENTAR (wajib diisi)
- terima kasih -
UJI HEDONIK
Sampel : intermediate moisture food
Nama / HP : .. Tanggal :
Instruksi :
1. Cicipilah sample satu per satu dari kiri ke kanan
2. Berikanlah penilaian Anda terhadap tingkat kesukaan keseluruhan atribut
sampel (over all) dengan memberikan tanda pada kotak di bawah kode sampel
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi sampel
4. Jangan membandingkan antar sampel
Respon
Kode Sampel
366 145 810
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Lampiran 6. Data Rekapitulasi Hasil Uji Organoleptik
Panelis
366 (ubi) 145 (pisang) 810 (kacang ijo)
ditelan pahit suka ditelan pahit suka ditelan pahit suka
1 6 2 5 4 5 3 6 2 2
2 7 5 6 6 4 6 6 5 4
3 6 2 6 3 5 3 5 5 5
4 3 1 7 5 5 1 1 5 5
5 6 2 6 5 2 1 3 2 4
6 5 2 7 6 5 5 4 5 2
7 3 5 3 2 5 5 3 4 5
8 6 2 6 5 5 4 5 6 2
9 4 4 4 3 5 3 6 3 6
10 6 4 6 6 2 5 5 4 5
11 5 5 6 3 4 3 2 3 3
12 6 1 7 1 4 5 2 5 3
13 5 4 5 6 6 1 3 6 1
14 3 5 4 4 6 3 5 4 6
15 3 2 4 3 5 3 2 4 3
16 6 2 7 5 2 5 3 6 2
17 6 4 6 4 3 5 6 4 4
18 6 5 4 2 6 2 3 5 1
19 5 1 6 3 4 4 4 6 3
20 3 5 5 5 5 3 5 4 3
21 3 2 4 5 2 3 7 5 6
22 5 4 6 4 5 4 3 5 5
23 3 4 4 5 3 4 3 2 5
24 6 3 3 4 3 3 2 3 1
25 4 3 6 3 3 2 4 4 4
Lampiran 7. Hasil Uji Rating Kemudahan Ditelan
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Model
1490,347(a) 27 55,198 28,908 ,000
panelis
74,987 24 3,124 1,636 ,073
sampel
15,680 2 7,840 4,106 ,023
Error
91,653 48 1,909
Total
1582,000 75
a R Squared = ,942 (Adjusted R Squared = ,909)
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
3
25 3,920
2
25 4,080
1
25 4,960
Sig.
,684 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1,909.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 8. Hasil Uji Rating Aftertaste Pahit
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Model
1165,667(a) 27 43,173 25,479 ,000
panelis
50,747 24 2,114 1,248 ,252
sampel
16,667 2 8,333 4,918 ,011
Error
81,333 48 1,694
Total
1247,000 75
a R Squared = ,935 (Adjusted R Squared = ,898)
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
1
25 3,160
3
25 4,160
2
25 4,160
Sig.
1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1,694.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 9. Hasil Uji Rating Hedonik
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: skor
Source
Type III Sum
of Squares df Mean Square F Sig.
Model
1380,653(a) 27 51,135 26,579 ,000
panelis
53,253 24 2,219 1,153 ,329
sampel
54,320 2 27,160 14,117 ,000
Error
92,347 48 1,924
Total
1473,000 75
a R Squared = ,937 (Adjusted R Squared = ,902)
Post Hoc Tests
sampel
Homogeneous Subsets
skor
Duncan
sampel N
Subset
1 2
2
25 3,440
3
25 3,600
1
25 5,320
Sig.
,685 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on Type III Sum of Squares
The error term is Mean Square(Error) = 1,924.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 25,000.
b Alpha = ,05.
Lampiran 10. Syarat mutu bakpia pathuk (SNI 01-4291-1996)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1.
1.1
1.2
1.3
2.
3.
4.
5.
6.
6.1
6.1.1
6.1.2
6.2
7.
7.1
7.2
7.3
7.4
8.
9.
9.1
9.2
9.3
Keadaan
Warna
Bau
Rasa
Air
Jumlah gula dihitung sebagai
sakarosa
Lemak
Protein
Bahan tambahan makanan
Pemanis buatan
Sakarin
Siklamat
Pengawet
Cemaran logam
Timbal (Pb)
Tembaga (Cu)
Seng (Zn)
Raksa (Hg)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba
Angka lempeng total
E. coli
Kapang
-
-
-
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
koloni/g
APM/g
koloni/g
Normal
Normal
Normal
Maks. 30
Min. 25
Maks. 10
Min. 8
Tidak boleh ada
Tidak boleh ada
Sesuai SNI 01-0222-1995
Maks. 1.0
Maks. 10.0
Maks. 40.0
Maks. 0.05
Maks. 0.5
Maks. 10
4
negatif
Maks. 10
3