Anda di halaman 1dari 15

KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Psikiatri dipenuhi oleh fenomenologi dan penelitian fenomena mental. Dokter psikiatri
harus belajar untuk menguasai observasi yang teliti dan penjelasan yang mengungkapkan
keterampilan termasuk belajar bahasa baru. Bagian bahasa didalam psikiatri termasuk
pengenalan dan definisi tanda dan gejala perilaku dan emosional.
Kegawatdaruratan Psikiatrik merupakan aplikasi klinis dari psikiatrik pada kondisi
darurat. Kondisi ini menuntut intervensi psikiatriks seperti percobaan bunuh diri,
penyalahgunaan obat, depresi, penyakit kejiwaan, kekerasan atau perubahan lainnya pada
perilaku. Pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik dilakukan oleh para profesional di bidang
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi dan pekerja sosial. Permintaan untuk layanan
kegawatdaruratan psikiatrik dengan cepat meningkat di seluruh dunia sejak tahun 1960-an,
terutama di perkotaan. Penatalaksanaan pada pasien kegawatdaruratan psikiatrik sangat
kompleks. Para profesional yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik
umumnya beresiko tinggi mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka.
Pasien biasanya datang atas kemauan pribadi mereka, dianjurkan oleh petugas kesehatan
lainnya, atau tanpa disengaja. Penatalaksanaan pasien yang menuntut intervensi psikiatrik pada
umumnya meliputi stabilisasi krisis dari masalah hidup pasien yang bisa meliputi gejala atau
kekacauan mental baik sifatnya kronis ataupun akut.

B. Tujuan Penyusunan
a. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran
umum tentang keperawatan gawat darurat psikiatri serta mampu berperan sebagai perawat
jiwa baik di Rumah Sakit atau di komunitas.
b. Tujuan khusus
Setelah menyusun makalah ini diharapkan
1. Memenuhi tugas keperawatan Gadar Psikiatri
2. Untuk memperdalam pengetahuan dalam keperawatan Gadar Psikiatri
3. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan pengertian keperawatan Gadar Psikiatri
4. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan faktor penyebab diadakannya keperawatan
Gadar Psikiatri
5. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala bunuh diri
6. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala prilaku kekerasan
7. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala gaduh/gelisah
8. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan tanda dan gejala withdrawal
9. Teman-teman mahasiswa mampu menjelaskan dasar hukum yang melatarbelakangi
keperawatan Gadar Psikiatri
10. Teman-teman mahasiswa mampu menyebutkan adta mengenai psikosis, neurosis dan NAPZA

C. Sistematika Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penyusunannya dibagi menjadi 3 bab dengan urutan sebagai
berikut :
Bab1 : Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, tujuan penyusunan, dan sistematika penulisan.
Bab 2 : Tinjauan teoritik terdiri dari konsep dasar mengenai jiwa terdiri dari definisi, ciri-ciri/
karakteristik jiwa sehat dan sakit, faktor penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala,
pendekatan, peran dan fungsi perawat, perkembangan keperawatan kesehatan jiwa,
pelayanan keperawatan, perkembangan pelayanan keperawatan jiwa psikiatri, dan
perkembangan keperawatan jiwa di Indonesia.
Bab 3 : Penutup berisi kesimpulan materi.





BAB II
KONSEP DASAR KEDARURATAN PSIKIATRI

A. Pengertian
Rangkaian kegiatan praktik keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh
perawat yang kompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Keperawatan Kegawat Daruratan (emergency Nursing) Adalah bagian dari keperawatan
dimana perawat memberikan asuhan kepada klien yang sedang mengalami keadaan yang
mengancam kehidupan karena sakit atau kecelakaan.
Unit Gawat Darurat Adalah tempat/unit di RS yang memiliki tim kerja dengan
kemampuan khusus & peralatan yang memberikan pelayan pasien gawat darurat, merupakan
rangkaian dari upaya penanggulangan pasien dengan gawat darurat yang terorganisir
Kondisi pada keadaan kegawatdaruratan psikiatrik meliputi percobaan bunuh diri,
ketergantungan obat, intoksikasi alkohol, depresi akut, adanya delusi, kekerasan, serangan
panik, dan perubahan tingkah laku yang cepat dan signifikan, serta beberapa kondisi medis
lainnya yang mematikan dan muncul dengan gejala psikiatriks umum. Kegawatdaruratan
psikiatrik ada untuk mengidentifikasi dan menangani kondisi ini. Kemampuan dokter untuk
mengidentifikasi dan menangani kondisi ini sangatlah penting.
Keperawatan Gawat Darurat adalah pelayanan profesional yg didasarkan pada ilmu
keperawatan gawat darurat & tehnik keperawatan gawat darurat berbentuk pelayanan bio-
psiko-sosio- spiritual yang komprehensif ditujukan pada semua kelompok usia yang sedang
mengalami masalah kesehatan yang bersifat urgen , akut dan kritis akibat trauma, proses
kehidupan ataupun bencana.

B. Faktor Penyebab Gadar Psikiatri
Kondisi Kedaruratan Adalah suatu kondisi dimana terjadi gangguan integritas fisiologis
atau psikologis secara mendadak. Semua masyarakat berhak mendapat perawatan kesehatan
gawat darurat, pencegahan, primer, spesialistik serta kronik. Perawatan GD harus dilakukan
tanpa memikirkan kemampuan pasien untuk membayar. Semua petugas medis harus diberi
kompensasi yang adekuat, adil dan tulus atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
Diperlukan mekanisme pembayaran penggantian atas pelayanan gratis, hingga tenaga dan
sarana tetap tejaga untuk setiap pelayanan. Ini termasuk mekanisme kompensasi atas
penderita yang tidak memiliki asuransi, bukan penduduk setempat atau orang asing. Semua
pasien harus mendapat pengobatan, tindakan medis dan pelayanan memadai yang diperlukan
agar didapat pemulihan yang baik dari penyakit atau cedera akut yang ditindak secara gawat
darurat.
Tempat rujukan layanan kegawatdaruratan psikiatrik biasanya dikenal sebagai
Psychiatric Emergency Service, Psychiatric Emergency Care Centres, atau Comprehensive
Psychiatric Emergency Programs. Tenaga kesehatan terdiri dari berbagai disiplin, mencakup
kedokteran, ilmu perawatan, psikologi, dan karya sosial di samping psikiater. Untuk fasilitas,
kadang dirawat inap di rumah sakit jiwa, bangsal jiwa, atau unit gawat darurat, yang
menyediakan perawatan segera bagi pasien selama 24 jam. Di dalam lingkungan yang
terlindungi, pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik diberikan untuk memperoleh suatu
kejelasan diagnostik, menemukan solusi alternatif yang sesuai untuk pasien, dan untuk
memberikan penanganan pada pasien dalam jangka waktu tertentu. Bahkan diagnosis tepatnya
merupakan suatu prioritas sekunder dibandingkan dengan intervensi pada keadaan kritis.
Fungsi pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik adalah menilai permasalahan pasien,
memberikan perawatan jangka pendek, memberikan pengawasan selama 24 jam ,
mengerahkan tim untuk menyelesaikan intervensi pada tempat kediaman pasien,
menggunakan layanan manajemen keadaan darurat untuk mencegah krisis lebih lanjut,
memberikan peringatan pada pasien rawat inap dan pasien rawat jalan, dan menyediakan
pelayanan konseling lewat telepon.

C. Tanda dan Gejala Awal pada
1. Bunuh diri
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang disebabkan karena stress yang
tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah (Keliat,
1993). Perilaku bunuh diri atau destruktif diri langsung terjadi terus menerus dan intensif pada
diri kehidupan seseorang. Perilaku yang tampak adalah berlebihan, gejala atau ucapan verbal
ingin bunuh diri, luka atau nyeri (Rawlin dan Heacock, 1993).
Dikutip dari situs kesehatan mental epigee.org, berikut ini adalah tanda-tanda bunuh
diri yang mungkin terjadi:
1. Bicara mengenai kematian: Bicara tentang keinginan menghilang, melompat, menembak diri
sendiri atau ungkapan membahayakan diri.
2. Baru saja kehilangan: kematian, perceraian, putus dengan pacar atau kehilangan pekerjaan,
semuanya bisa mengarah pada pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri. Kehilangan
lainnya yang bisa menandakan bunuh diri termasuk hilangnya keyakinan beragama dan
hilangnya ketertarikan pada seseorang atau pada aktivitas yang sebelumnya dinikmati.
3. Perubahan kepribadian: seseorang mungkin memperlihatkan tanda-tanda kelelahan,
keraguan atau kecemasan yang tidak biasa.
4. Perubahan perilaku: kurangnya konsentrasi dalam bekerja, sekolah atau kegiatan sehari-hari,
seperti pekerjaan rumah tangga.
5. Perubahan pola tidur: tidur berlebihan, insomnia dan jenis gangguan tidur lainnya bisa
menjadi tanda-tanda dan gejala bunuh diri.
6. Perubahan kebiasaan makan: kehilangan nafsu makan atau bertambahnya nafsu makan.
Perubahan lain bisa termasuk penambahan atau penurunan berat badan.
7. Berkurangnya ketertarikan seksual: perubahan seperti ini bisa mencakup impotensi,
keterlambatan atau ketidakteraturan menstruasi.
8. Harga diri rendah: gejala bunuh diri ini bisa diperlihatkan melalui emosi seperti malu, minder
atau membenci diri sendiri.
9. Ketakutan atau kehilangan kendali: seseorang khawatir akan kehilangan jiwanya dan khawatir
membahayakan dirinya atau orang lain.
10. Kurangnya harapan akan masa depan: tanda bunuh diri lainnya adalah seseorang merasa
bahwa tidak ada harapan untuk masa depan dan segala hal tidak akan pernah bertambah baik.
Beberapa tanda bunuh diri lainnya meliputi pernah mencoba bunuh diri, memiliki
riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol, belanja berlebihan, hiperaktivitas, kegelisahan dan
kelesuan.


2. Perilaku kekerasan
Umumnya klien dengan Perilaku Kekerasan dibawa dengan paksa ke Rumah sakit Jiwa.
Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat membahayakan orang,
diri sendiri baik secar fisik, emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,
1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan Sunden, 1997 ).
Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk ekspresi kemarahan yang tidak
sesuai dimana seseorang melakukan tindakan-tindakan yang dapat
membahayakan/mencederai diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk kerumah sakit adalah
perilaku kekerasan di rumah. Dapat dilakukan pengkajian dengan cara:
1. Observasi:
Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi, berdebat.
Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan, memukul jika tidak
senang
2. Wawancara
Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang dirasakan klien.
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda -tanda marah adalah sebagai berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik,
penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor.

Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:
a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap barang milik.
b. Ancaman verbal atau fisik.
c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai senjata
(misalnya : garpu, asbak).
d. Agitasi psikomator progresif.
e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.
f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.
g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua pasien
berada pada resiko tinggi.
h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih jarang pada
temuan lobus temporalis (kontroversial).
i. Kegembiraan katatonik.
j. Episode manik tertentu.
k. Episode depresif teragitasi tertentu.
l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau diskontrol implus).

Gambaran klinis menurut Stuart dan Sundeen (1995) adalah sebagai berikut:
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Nada suara tinggi
e. Berdebat
f. Kadang memaksakan kehendak
Gejala yang muncul :
a. Stress
b. Mengungkapkan secara verbal
c. Menentang
Gambaran klinis menurut Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI (1994) adalah sebagai berikut :
a. Pasif agresif
1) Sikap suka menghambat
2) Bermalas-malasan
3) Bermuka masam
4) Keras kepala dan pendendam
b. Gejala agresif yang terbuka (tingkah laku agresif)
1) Suka membantah
2) Menolak sikap penjelasan
3) Bicara kasar
4) Cenderung menuntut secara terus-menerus
5) Hiperaktivitas
6) Bertingkah laku kasar disertai kekerasan

3. Gaduh/Gelisah
Tanda dan gejala pada pasien yang mengalami gaduh gelisah diantaranya:
a. Gelisah
b. Mondar-mandir
c. Berteriak-teriak
d. Loncat-loncat
e. Marah-marah
f. Curiga +++
g. Agresif
h. Beringas
i. Agitasi
j. Gembira +++
k. Bernyanyi +++
l. Bicara kacau
m. Mengganggu orang lain
n. Tidak tidur beberapa hari
o. Sulit berkomunikasi
p. Dll
4. Withdrawal
Tanda dan gejala pada orang yang withdrawal diantaranya:
a. Nafsu makan hilang
b. Ansietas, gelisah
c. Mialgia, arthralgia
d. Lesu-lemas
e. Tremor, kram perut, kejang
f. Craving

D. Dasar Hukum Pelayanan Kedaruratan Psikiatri
Penaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat
adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah
Sakit.
Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan
pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam
pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan
menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat.
Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 5l UUNo.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU
No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak setiap orang
untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4) Selanjutnya pasal 7 mengatur
bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau
oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu. Tentunya upaya
ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat (swasta).
Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat
darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian
pelayanan.
Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit
dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah
terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana
dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat selama 24 jam per hari
Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum
ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.
Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan sebagai berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan
kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung
risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan
atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu . Ketentuan
tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga
akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari,
khususnya tindakan medis yang memelakukanngandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur
dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa tenaga kesehatan
bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian
dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Pengaturan di atas menyangkut
pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter
memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik
dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga
kesehatan maka yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar profesi sesuai
dengan situasi (gawat darurat) saat itu.
Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama
dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupun yang teriatih di bidang medis.
Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-
undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu
dengan sukarela dan dengan itikad yang baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai
tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan.
Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah
mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya
di bidang ini (misainya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan
tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan
membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena
secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga
kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital
Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah. An emergency is any condition that in the
opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient
to the hospital-remelakukanquires immediate medical attention. This condition continues until
a determination has been made by a health care professional that the patients life or well-
being is not threatened.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat Dalam hal
pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga
terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus
membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat
(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilamelakukankukan dalam situasi gawat
darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.
Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.
Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent).
Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2
dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis. Dalam
keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak
sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan
Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam
bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.

E. Data Tentang Psikosis
Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental
berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran fungsi
sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri.
Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi
penduduk dunia menderita skizofrenia. 75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia
16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini
penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena
dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Pengenalan dan intervensi dini berupa
obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan
kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang
mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Pasien dengan gejala psikosis sering ditemukan di bagian kegawatdaruratan psikiatrik.
Menentukan sumber psikosis dapat menjadi sulit. Kadang pasien masuk ke dalam status
psikosis setelah sebelumnya putus dari perawatan yang direncanakan. Pelayanan
kegawatdaruratan psikiatrik tidak akan mampu menyediakan penanganan jangka panjang
untuk pasien jenis ini, cukup dengan istirahat ringkas dan mengembalikan pasien kepada orang
yang menangani kasus mereka dan/atau memberikan lagi pengobatan psikiatrik yang
diperlukan. Suatu kunjungan pasien yang menderita suatu gangguan mental yang kronis dapat
menandakan perubahan dalam lifestyle dari individu atau suatu pergeseran kondisi medis.
Pertimbangan ini dapat berperan dalam perencanaan perawatan.
Seseorang dapat juga sedang menderita psikosis akut. Kondisi seperti itu dapat disiapkan untuk
diagnosis dengan memperoleh riwayat psikopatologi pasien, melakukan suatu pengujian status
mental, pelaksanaan pengujian psikologis, perolehan neuroimages, dan memperoleh pengujian
neurofisiologi lain. Berdasarkan ini, tenaga kesehatan dapat memperoleh suatu diagnosa
diferensial dan menyiapkan pasien untuk perawatan. Seperti pertimbangan penanganan pasien
lainnya, asal psikosis akut dapat sukar ditentukan karena keadaan mental dari pasien.


F. Data Tentang Neurosis
Gangguan neurosis dialami sekitar 10-20% kelompok lanjut usia (lansia). Sering sukar
untuk mengenali gangguan ini pada lanjut usia (lansia) karena disangka sebagai gejala ketuaan.
Hampir separuhnya merupakan gangguan yang ada sejak masa mudanya, sedangkan
separuhnya lagi adalah gangguan yang didapatkannya pada masa memasuki lanjut usia (lansia).
Gangguan neurosis pada lanjut usia (lansia) berhubungan erat dengan masalah psikososial
dalam memasuki tahap lanjut usia (lansia). Gangguan ini ditandai oleh kecemasan sebagai
gejala utama dengan daya tilikan (insight) serta daya menilai realitasnya yang baik.
Kepribadiannya tetap utuh, secara kualitas perilaku orang neurosis tetap baik, namun secara
kuantitas perilakunya menjadi irrasional. Sebagai contoh : mandi adalah hal yang biasa
dilakukan oleh orang normal sehari 2 kali, namun bagi orang neurosis obsesive untuk mandi, ia
akan mandi berkali-kali dalam satu hari dengan alasan tidak puas-puas untuk mandi.

G. Data Tentang NAPZA
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau
istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat
berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner,
multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau
digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai
peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat
luas khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota
besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai
dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data
yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 1524 tahun.

Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh
karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman
kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam
upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.
Dari hasil identifikasi masalah NAPZA dilapangan melalui diskusi kelompok terarah yang
dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat bekerja sama dengan Direktorat Promosi
Kesehatan Ditjen Kesehatan Masyarakat Depkes-Kesos RI dengan petugas-petugas puskesmas
di beberapa propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali ternyata
pengetahuan petugas puskesmas mengenai masalah NAPZA sangat minim sekali serta masih
kurangnya buku yang dapat dijadikan pedoman.




BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
http://astaqauliyah.com/2006/12/falsafah-dasar-kegawatdaruratan/trackback/
http://www.lintasberita.com/Lifestyle/Kesehatan/tahukah-anda-tanda-tanda-jika-orang-ingin-
bunuh-diri-
Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Edisi 7, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Maramis. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai