Anda di halaman 1dari 10

3.

Hasil Praktikum
3.1. Proses Manipulasi Material Praktikum
Perbandingan monomer dan polimer akan menentukan sturktur resin.
Perbandingan monomer dan polimer, biasanya 3 sampai 3,5/1 satuan volume atau
2,5/1 satuan berat. Bila rasio terlalu tinggi, tidak semua polimer sanggup dibasahi
oleh monomer akibatnya akrilik yang digodok akan bergranula. Selain itu juga
tidak boleh terlalu rendah karena sewaktu polimerisasi monomer murni terjadi
pengerutan sekitar 21% satuan volume. Pada adonan akrilik yang berasal dari
perbandingan monomer dan polimer yang benar, kontraksi sekitar 7%. Bila terlalu
banyak monomer, maka kontraksi yang terjadi akan lebih besar. Pada percobaan
ini kami memakai perbandingan monomer: polimer sebesar 2ml:4gr, hal ini untuk
meminimalisir terjadinya under wetting maupun polimerization shrinkage.
Pencampuran polimer dan monomer dilakukan dalam tempat yang terbuat
dari keramik atau gelas yang tidak tembus cahaya (dalam hal ini kami
menggunakan pot porselin dari tempat tusuk gigi). Hal ini dimaksudkan supaya
tidak terjadi polimerisasi awal. Bila polimer dan monomer dicampur, akan terjadi
reaksi dengan tahap-tahap sebagai berikut:
Tahap 1 : Adonan seperti pasir basah (sandy stage).
Tahap 2 : Adonan apabila disentuh dengan jari atau alat bersifat lekat, apabila
ditarik akan membentuk serat (stringy stage). Butir-butir polimer mulai larut,
monomer bebas meresap ke dalam polimer.
Tahap 3 : Adonan bersifat plastis (dough stage). Pada tahap ini sifat lekat hilang
dan adonan mudah dibentuk sesuai dengan yang kita inginkan.
Tahap 4 : Kenyal seperti karet (rubbery stage). Pada tahap ini lebih banyak
monomer yang menguap, terutama pada permukaannya sehingga terjadi
permukaan yang kasar.
Tahap 5 : Kaku dan keras (stiff stage). Pada tahap ini adonan telah menjadi keras
dan getas pada permukaannya, sedang keadaan bagian dalam adukan masih
kenyal.
Waktu dough (waktu sampai tercapainya konsistensi liat) tergantung pada:
1. Ukuran partikel polimer; partikel yang lebih kecil akan lebih cepat dan lebih
cepat mencapai dough.
2. Berat molekul polimer; lebih kecil berat molekul lebih cepat terbentuk
konsistensi liat.
3. Adanya plasticizer yang bisa mempercepat terjadinya dough.
4. Suhu; pembentukan dough dapat diperlambat dengan menyimpan adonan
dalam tempat yang dingin.
5. Perbandingan monomer dan polimer; bila rasio tinggi maka waktu dough lebih
singkat.
Pengisian Ruang Cetak (Mould Space) dengan akrilik.
Ruang cetak adalah rongga/ruangan yang telah disiapkan untuk diisi dengan
acrylic. Ruang tersebut dibatasi oleh gips yang tertanam dalam kuvet (pelat logam
yang biasanya terbuat dari logam). Sebelum rongga tersebut diisi dengan akrilik,
lebih dulu diulasi dengan bahan separator/pemisah, yang umumnya menggunakan
cold mould seal (CMS). Ruang cetak diisi dengan akrilik pada waktu adonan
mencapai tahap plastis (dough stage). Pemberian separator dilakukan dengan cara
mengulas sekali (tanpa pengulangan) bagian permukaan mould dengan CMS
dengan arah yang sama (searah). Jika dianggap masih kurang dan ingin dilakukan
pengulasan lagi, sebaiknya menunggu permukaan mould mengering terlebih
dahulu. Pemberian separator tersebut dimaksudkan untuk:
a. Mencegah merembesnya monomer ke bahan cetakan (gips) dan ber-
polimerisasi di dalam gips sehingga menghasilkan permukaan yang kasar dan
merekat dengan bahan cetakan/gips.
b. Mencegah air dari bahan cetakan masuk ke dalam resin akrilik.
Sewaktu melakukan pengisian ke dalam cetakan pelu diperhatikan :
- Cetakan terisi penuh.
- Sewaktu dipress terdapat tekanan yang cukup pada cetakan, ini dapat dicapai
dengan cara mengisikan dough sedikit lebih banyak ke dalam cetakan. Selama
polimerisasi terjadi kontraksi yang mengakibatkan berkurangnya tekanan di dalam
cetakan. Pengisian yang kurang dapat menyebabkan terjadi shrinkage porosity.
Ruang cetak diisi dengan akrilik pada tahap adonan mencapai tahap plastis
(dough). Agar merat dan padat, maka dipelukan pengepresan dengan
menggunakan alat hydraulic bench press. Sebaiknya pengepresan dilakukan
dilakukan berulang-ulang agar rongga cetak terisi penuh dan padat.
Cara pengepresan yang dilakukan adalah:
1. Adonan yang telah mencapai tahap dough dimasukkkan ke dalam rongga cetak,
kemudian kedua bagian kuvet ditutup dan diselipi kertas selofan. Pengepresan
awal dilakukan dengan tekananan sebesar 2000 psi, kelebihan akrilik dipotong
dengan pisau model. Kedua bagian kuvet dikembalikan, diselipi kertas selofan.
2. Pengepresan dilakukan lagi seperti di atas, dengan tekanan yang sama sebesar
2000 psi. Kelebihan akrilik dipotong dengan pisau model. Kedua bagian kuvet
dikembalikan, diselipi kertas selofan.
3. Pengepresan terakhir dilakukan dengan tekanan 2000 psi, kemudian kuvet
diambil dan dipindahkan pada handpress.
Untuk menyempurnakan dan mempercepat polimerisasi, maka setelah
pengisian (packing) dan pengepresan perlu dilakukan pemasakan (curing) di
dalam oven atau boiling water (air panas). Di dalam pemasakan harus diperhati-
kan, lamanya dan kecepatan peningkatan suhu.
Proses curing dilakukan dengan cara memasak air sesuai kebutuhan hingga
mendidih (100
0
C), kemudian kuvet dan handpress dimasukkan dan ditunggu
hingga mendidih kembali (dipertahankan selama 20 menit), api dimatikan dan
dibiarkan mendingin sampai temperatur ruang.
3.2. Data Hasil Pengamatan Praktikum
Percobaan Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3
Stringy stage Dough stage Rubbery stage
Sandy stage 52 detik 1 menit 0 menit
Stringy stage 1 menit 45 detik 2 menit 23 detik 2 menit 55 detik
Dough stage 5 menit 50 detik 6 menit 43 detik 5 menit
Rubbery stage 12 menit 10 detik 14 menit 53 detik 8 menit 16 detik
Stiff stage 32 menit 12 detik 38 menit 24 detik 23 menit 22 detik

Dari hasil ketiga percobaan praktikum yang dimanipulasi melalui fase
stringy, dough, dan rubbery terdapat macam-macam perbedaan bentuk dan waktu.
Pada manipulasi adonan akrilik yang dimasukkan ke dalam mould dalam fase
stringy, hasil yang terbentuk permukaan lebih cenderung kasar, permukaan mould
terangkat, memiliki sayap, porus dan apabila diterawang dengan cahaya terlihat
seperti menggumpal.
Pada manipulasi adonan akrilik yang dimasukan ke dalam mould dalam fase
dough, hasil yang terbentuk permukaan cenderung lebih halus, namun tetap
bersayap dan memiliki bintil, dan ada sisi yang memiliki warna berbeda, apabila
diterawang cahaya terlihat bintik bintik didalamnya.
Dan pada manipulasi adonan akrilik yang dimasukkan ke dalam mould dalam
fase rubbery, hasil yang terbentuk permukaan kasar, terasa lebih keras dan
memiliki banyak sayap daripada yang adonan akrilik dengan fase lain. Apabila
diterawang dengan cahaya, terlihat seperti ada serat serat didalamnya.

4. Pembahasan
Resin akrilik adalah material yang paling sering digunakan dalam
pembuatan basis gigi tiruan. Resin akrilik sangat populer dipakai sebagai bahan
basis gigi tiruan oleh karena bahan ini memiliki banyak kelebihan seperti
memiliki penampilan yang baik, memiliki tingkat transisi temperature yang baik,
murah, memiliki permukaan yang baik. Resin akrilik adalah turunan etilen yang
mengandung gugus vinil dengan rumus kimia H
2
C = CH-R (Anusavice, 2003).
Resin akrilik dapat dibagi menjadi empat jenis yaitu resin akrilik polimer
aktivasi panas (heat cured), resin akrilik aktivasi kimiawi, resin akrilik aktivasi
gelombang mikro, dan resin akrilik aktivasi sinar tampak. Pada praktikum ini
yang digunakan adalah resin akrilik dengan aktivasi panas (heat cured).
Pada proses manipulasi akrilik terjadi tahap polimerasi. Polimerisasi adalah
reaksi pembentukan polimer dari beberapa buah monomer, secara fungsional
dapat berlangsung tidak terbatas, dan merupakan reaksi eksotermis. Fungsi
monomer di dalam reaksi antara monomer dan polimer, adalah menghasilkan
massa plastis karena sebagian polimer larut dalam monomer. Selama periode
pelarutan ini tidak diharapkan terjadi polimerisasi, periode ini disebut reaksi fisik
antara bubuk dan cairannya (Craig dkk., 2004).
Metode umum untuk memproses akrilik gigi tiruan heat cured adalah
dengan proporsi dan pencampuran bubuk polimer dengan monomer cair yang
memungkinkan monomer itu untuk bereaksi secara fisik dengan polimer dalam
wadah tertutup hingga konsistensi dough tercapai (Craig, 2002).
Kehilangan banyak monomer akibat proses penguapan selama proses
pencampuran dapat mengakibatkan granular porosity pada adonan. (Mc Cabe &
Walls, 2008)
Pada praktikum kali ini dilakukan tiga percobaan secara bersama-sama
untuk mengetahui proses tahapan manipulasi resin akrilik aktivasi panas (heat
cured) tersebut yakni tahap sandy, stringy, dough, dan rubbery dan juga
diperhatikan pula waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap tahapan.
Meskipun semua percobaan menggunakan metode manipulasi yang sama tetapi
terjadi perbedaan waktu di setiap tahapannya. Hal tersebut dikarenakan perbedaan
hasil pengamatan yang dilakukan oleh setiap orang serta proses pengadukan
bubuk dengan liquid yang dilakukan oleh setiap orang berbeda kecepatannya,
sehingga berbeda pula waktu sampai tercipta konsistensi yang homogen.
Doughing time adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tahap
dough sedangkan working time adalah waktu yang dibutuhkan saat adonan
diletakkan di dalam mould. Sebelum meletakan adonan ke dalam mould dimana
mould tersebut terdiri dari 2 bagian gipsum yang ditanam di kuvet , gipsum
tersebut dioleskan terlebih dahulu dengan bahan separator berbentuk semi gel
yaitu CMS (Cold Mould Seal) agar adonan dan gipsum tidak lengket.
Sesudah mould terisi dengan adonan kemudian mould tersebut ditutup dan
di press dengan press hidrolik dengan tujuan agar adonan pas (tidak terlalu tebal
dan tidak terlalu tipis) dengan mould yang terdapat di gipsum tersebut. Setelah di
press, dilihat kembali mouldnya jika terdapat sisa sisa adonan di sekitar mould
sebaiknya dipotong supaya adonan sesuai dengan mould. Pengepresan dilakukan 3
kali agar mendapatkan hasil yang maksimal.
Tahap final dari manipulasi resin akrilik ini adalah tahap Curing. Curing
yang digunakan pada heat curing adalah dengan menggunakan metode waterbath.
Pada saat proses polimerasi akan terjadi penurunan jumlah residual monomer.
Sebelum pemanasan residual monomer sebesar 26,2% setelah satu jam pada suhu

jumlah residual monomer akan menurun menjadi 6,6% dan padasuhu

menjadi 0,31%. Hal tersebut menyebabkan akan banyak sisa monomer


yang terbentuk jika material dipanaskan di bawah suhu suhu

.
Percobaan pertama, adonan resin akrilik dimasukkan ke dalam kuvet pada
tahap stringy, dengan waktu curing 20 menit mengakibatkan bentukan yang porus
dan rapuh dikarenakan masih menyisakan banyak sisa monomer yang mengalami
polimerasi yang tidak sempurna. (Craig dkk, 2002)
Pada percobaan kedua, adonan resin akrilik dimasukkan ke kuvet pada
tahap dough yang memiliki konsistensi yang plastis serta flow yang baik sehingga
mudah dimanipulasi, dengan waktu curing normal yakni 20 menit menghasilkan
bentukan yang lebih sedikit porus dan kuat dikarenakan meninggalkan monomer
sisa dalam jumlah yang minimum dan mengalami polimerasi yang sempurna.
Pada percobaan terakhir yaitu ketiga, adonan resin akrilik dimasukkan ke
dalam kuvet pada tahap rubbery yang memiliki konsistensi yang elastis yang
menyulitkan untuk memanipulasi maupun memotong sisa bahan setelah di press,
dengan waktu curing normal yakni 20 menit menghasilkan bentukan yang tidak
porus dan kuat dikarenakan tidak meninggalkan monomer sisa dan mengalami
polimerasi yang sempurna. Material terlalu kental untuk dilakukan press, sehingga
dapat mengakibatkan hasil yang didapat kehilangan detail, pergerakan atau fraktur
pada gigi dan ada peningkatkan kontak pada vertical dimension pada gigi tiruan.
Adanya porus pada hasil praktikum dapat disebabkan karena pengadukan
tidak merata sehingga menyebabkan tidak homogen. Di bagian tertentu banyak
monomer sehingga terjadi shrinkage yang besar. Selain itu, pada saat dipindahkan
pada handpress, tekanan yang diberikan kurang serta bahan yang dimasukkan
dalam cetakan yang ada pada kuvet terlalu sedikit sehingga menyebabkan adanya
gelembung udara yang tidak teratur selain itu ada penyimpangan prosedur yakni
setelah curing yaitu seharusnya ditunggu dingin secara perlahan-lahan sampai
sesuai dengan suhu kamar tetapi kenyataan pada waktu praktikum dilakukan
penyiraman air PAM untuk menurunkan suhu agar cepat dingin sehingga
mempengaruhi hasil bentukan. Hal itu dilakukan karena waktu praktikum yang
terbatas.
Selama pengisian mould space, pengepresan dan pemasakan perlu dikontrol
perbandingan antara monomer dan polimer. Karena monomer mudah menguap,
maka berkurangnya jumlah monomer dapat menyebabkan kurang sempurnanya
polimerisasi dan terjadi porositas pada permukaan akrilik. Hal-hal yang
menyebabkan berkurangnya jumlah monomer adalah:
- Perbandingan monomer dan polimer yang tidak tepat.
- Penguapan monomer selama proses pengisisan rongga cetak.
- Pemasakan yang terlalu panas, melebihi titik mendidih monomer (100,30C).
Secara normal setelah pemasakan terdapat sisa monomer 0,2-0,5%. Pemasakan
pada temperatur yang terlalu rendah dan dalam waktu singkat akan menghasilkan
sisa monomer yang lebih besar. Ini harus dicegah, karena:
a. Monomer bebas dapat lepas dari gigi tiruan dan mengiritasi jaringan mulut.
b. Sisa monomer akan bertindak sebagai plasticizer dan membuat resin menjadi
lunak dan lebih flexible.
Porositas dapat memberi pengaruh yang tidak menguntungkan pada
kekuatan dan sifat-sfat optik akrilik. Porositas yang terjadi dapat berupa shrinkage
porosity (tampak geleembung yang tidak beraturan pada permukaan acrylic) dan
gaseous porosity (berupa gelembung uniform, kecil, halus dan biasanya terjadi
pada bagian acrylic yang tebal dan jauh dari sumber panas).
Permasalahan yang sering timbul pada akrilik yang telah mengeras adalah
terjadinya crazing (retak) pada permukaannya. Hal ini disebabkan adanya tensile
stress yang menyebabkan terpisahnya molekul-molekul primer. Retak juga dapat
terjadi oleh karena pengaruh monomer yang berkontak pada permukaan resin
akrilik, terutama pada proses reparasi. Keretakan seperti ini dapat terjadi oleh
karena :
1. Stress mekanis oleh karena berulang-ulang dilakukan pengerigan dan
pembasahan denture yang menyebabkan kontraksi dan ekspansi secara berganti-
ganti. Dengan menggunakan bahan pengganti tin-foil untuk lapisan cetakan maka
air dapat masuk ke dalam akrilik sewaktu pemasakan; selanjutnya apabila air ini
hilang dari akrilik maka dapat menyebabkan keretakan.
2. Stress yang timbul karena adanya perbedaan koefisien ekspansi termis
antara denture porselen atau bahan lain seperti klamer dengan landasan denture
akrilik;retak-retak dapat terjadi di sekeliling bahan tersebut.
3. Kerja bahan pelarut; missal pada denture yang sedang direparasi,
sejumlah monomer berkontak dengan resin dan dapat menyebabkan keretakan.
Denture dapat mengalami fraktur atau patah karena:
- Impact; missal jatuh pada permukaan yang keras.
- Fatigue; karena denture mengalami bending secara berulang-ulang selama
pemakaian.
Selama pendinginan terdapat perbedaan kontraksi antara gips dan akrilik
yang menyebabkan timbulnya stress di dalam polimer. Pendinginan secara
perlahan-lahan akan akan memberi kesempatan terlepasnya stress oleh karena
perubahan plastis. Untuk menghindari terjadinya porus, polimerisasi harus
dilakukan secara perlahan-lahan untuk mencegah gaseous porosity (gelembung
udara teratur) dan dengan tekanan untuk mencegah shrinkage porosity
(gelembung udara tidak teratur).
5.Kesimpulan
- Adonan resin akrilik yang diproses pada tahap stringy menghasilkan
bentukan yang porus dan rapuh dikarenakan masih menyisakan banyak sisa
monomer. Hal ini terjadi karena polimerisasi yang belum sempurna.
- Adonan resin akrilik yang diproses pada tahap dough mudah
dimanipulasi dan menghasilkan bentukan yang lebih sedikit porus dan kuat
dikarenakan meninggalkan monomer sisa dalam jumlah yang minimum dan
mengalami polimerasi yang sempurna.
- Adonan resin akrilik yang diproses pada tahap rubbery sulit untuk
dimanipulasi dan dipotong sisa bahannya setelah di press. Pada tahap ini, hasilnya
tidak porus dan kuat dikarenakan tidak meninggalkan monomer sisa dan
mengalami polimerasi yang sempurna. Namun, material terlalu kental untuk
dipress, sehingga dapat mengakibatkan hasil yang didapat kehilangan detail,
pergerakan atau fraktur pada gigi dan ada peningkatkan kontak pada vertical
dimension pada gigi tiruan.
- Adanya porus pada hasil praktikum dapat disebabkan karena pengadukan
tidak merata, tekanan yang diberikan saat di handpress kurang, serta bahan yang
dimasukkan dalam cetakan yang ada pada kuvet terlalu sedikit. Selain itu, ada
penyimpangan prosedur yakni setelah curing seharusnya ditunggu dingin secara
perlahan atau alami, bukan disiram dengan air.

6.Daftar Pustaka
Anusavice, Kenneth J. 2003. Philips Dental Material, 11
th
edition. p
160,164. Philadelphia : Elsevier Ltd.
Craig, Robert G. & John M. Powers. 2002. Restorative Dental Materials,
11
th
Edition. p.189-192, 651-654, 657. USA : Mosby
McCabe, John F. and Walls, Angus. 2008. Applied Dental Material, 9
th

edition.Chapter 4.p 112-116. London: Blackwell Publishing Ltd
Obrien, William J. 2002. Dental Material and Their
Selaction,

edition. p 144-147. Canada : Quintessence Publishing Co, Inc

Anda mungkin juga menyukai