Anda di halaman 1dari 35

TV PROGRAMMI NG

TV MAPPING &
PROGRAM MAPPING












Penyusun : AGUS MURDADI | 44113110086
Dosen : H. ERRY FARI D, S. Sos


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI | BROADCASTING | 2014
JALAN MERUYA SELATAN, KEBUN JERUK - JAKARTA BARAT




KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, akhirnya berkat rahmat Allah SWT dan bantuan dari
berbagai pihak, makalah TV PROGRAMMING | TV MAPPING & PROGRAM MAPPING
dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas
mengenai perkembangan bisnis atau industri pertelevisian di Indonesia yang
semakin pesat.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman pemetaan
televisi di Indonesia dan sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mahasiswa
untuk mengikuti mata kuliah TV Programming.
Dalam proses pembuatan makalah ini, tentunya saya mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya saya
sampaikan:
- H. Erry Farid, S.Sos, selaku dosen mata kuliah TV Programming
- Rekan-rekan mahasiswa
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat. Saya menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, Mei 2014

Penyusun







DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar isi 3

BAB I Pendahuluan
Latar Belakang 4
Rumusan Masalah 6
Tujuan Penulisan 6

BAB II Pembahasan
Era Perkembangan Televisi di Indonesia 7
Industri Pertelevisian di Indonesia 9
Persaingan Bisnis Pertelevisian di Indonesia 11
Konglomerasi Media Televisi di Indonesia 12
Monopoli Kepemilikan Media Penyiaran Swasta 16
Program Televisi 18
Segmentation Pemirsa Televisi 20
Targeting Pemirsa Televisi 23
Positioning Pemirsa Televisi 25
Pengukuran Kepemirsaan Televisi 27
Kepemirsaan Televisi Melalui Rating & Share 30

BAB III Penutup
Kesimpulan 33
Daftar Pustaka 35











BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Perkembangan industri media massa di era globalisasi semakin pesat
khususnya media elektronik televisi, hal ini dapat diamati dari munculnya berbagai
macam stasiun televisi swasta nasional. Globalisasi informasi setiap media massa
melahirkan suatu efek sosial yang bermuatan perubahan nilai-nilai sosial dan
budaya. Proses globalisasi tersebut membuat arus informasi menyebar ke seluruh
dunia, dan salah satunya adalah program televisi.
Pesatnya industri pertelevisian di indonesia juga dipengaruhi oleh kebutuhan
masyarakat akan informasi dan juga hiburan. Hal tersebut dijadikan peluang
tersendiri bagi dunia pertelevisian di indonesia untuk membuktikan bahwa media
elektronik televisi mampu menayangkan informasi yang mendidik, menghibur, dan
menjadi bisnis yang sangat menjanjikan.
Media massa merupakan suatu pesan yang bisa berbentuk lisan ataupun
isyarat dan sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi
massa itu sendiri. Pada prinsipnya media adalah penyampaian informasi dan
komunikasi yang sangat berguna bagi manusia dalam meningkatkan mutu
pengembangan sosialnya.
Fungsi dari komunikasi massa itu sendiri antara lain (1) to inform
(menginformasikan), (2) to entertaint (menghibur), (3) to persuade (membujuk),
serta (4) transmission of the culture (transmisi budaya) (Black dan Whitney, 2007, 64).
Kemampuan televisi dalam menarik perhatian masih menunjukan bahwa
media tersebut telah menguasai jarak secara keseluruhan, baik dalam segi
geografis maupun sosiologis. Pengaruh acara di televisi sampai saat ini masih
terbilang kuat dibandingkan dengan radio dan media cetak. Hal ini dapat terjadi
karena kekuatan audio dan visual televisi lebih menyentuh kejiwaan emosi
penonton. Minat masyarakat menonton siaran televisi dipengaruhi faktor-faktor,
konten acara, pengisi acara, konsep acara, waktu tayang, durasi, serta variasi
acara itu sendiri. Terlepas dari segi pengaruh positif atau negatif, pada intinya
media televisi menjadi tolak ukur dan cerminan budaya tontonan bagi pemirsa
dalam era informasi dan komunikasi yang semakin berkembang dengan pesat,

sehingga sampai saat ini pun televisi masih menjadi media yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.
Televisi telah menghadirkan berbagai macam bentuk acara untuk disajikan
pada masyarakat. Maraknya ragam bentuk acara yang ditayangkan oleh stasiun
televisi swasta, baik itu yang bersifat edukatif ataupun sekedar hiburan semata yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan memanjakan pemirsa. Program-program
yang ditayangkan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan zamannya
sehingga banyak bermunculan tayangan-tayangan baru yang membuat acara
televisi semakin beragam. Salah satu program tersebut adalah program
entertainment (hiburan) khususnya acara program musik.
Munculnya beragam program musik di televisi meramaikan dinamika musik
tanah air sebagai media perantara dan menjadi tontonan masyarakat yang
menghasilkan rating yang cukup tinggi. Khalayak meresponnya sangat baik dan
mempunyai suatu minat tontonan tersendiri untuk menjadi daya tarik yang
menghibur, mendidik, dan mengikuti perkembangan musik tanah air bagi
masyarakat. Seiring dengan berkembangnya program musik pada televisi, maka
akan menyebabkan stasiun televisi lainnya mengikuti program tersebut dengan
konsep dan bentuk program yang tidak jauh berbeda, tetapi sangat disayangkan
apabila dengan banyaknya program musik di tiap statsiun televisi ini hanya
merupakan sebuah pengulangan konsep dari program musik lainnya. Suatu
program akan lebih bagus apabila program tersebut dikonsep secara baik dan
berbeda.


.







RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka timbul permasalahan sebagai berikut:
Seperti apakah industri bisnis pertelevisian di Indonesia?
Mengapa begitu leluasanya permonopolian bisnis penyiaran televisi di
Indonesia?
Bagaimana tingkat kreativitas program televisi yang ada di Indonesia?
Mengapa rating dan share sebagai penentu keberhasilan suatu program
televisi?

TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui sejauhmana perkembangan industri media pertelevisian
di Indonesia
Untuk mengetahui terjadinya industri media yang lebih berorientasi pada
pemenuhan keinginan pasar sesuai dengan kriteria apa yang paling
menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal
Untuk mengetahui kebenaran bahwa kreativitas program televisi di Indoesia
hanya memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh pemilik yang berbeda-
beda yang beroperasi di pasar
Untuk mengetahui jika para pekerja industri media televisi hanya
mementingkan tayangan yang diminati audien tanpa menjamin kualitasnya














BAB I I
PEMBAHASAN

TV MAPPI NG

ERA PERKEMBANGAN TELEVISI DI INDONESIA
Sejarah televisi di Indonesia mulai tahun 1962, sedangkan booming Televisi
mulai 1992 pada saat RCTI mengudara dengan bantuan decoder. Ketika itu
Menteri Penerangan RI Maladi usul menghadirkan televisi untuk media penyiaran di
Indonesia karena kekuatan media membangun pola pikir, gaya hidup, kemajuan
disegala bidang dan lain sebagainya.
Siaran perdana TVRI ketika Asean Games IV 24 Agustus 1962 dengan
Pemancar pertama di eks gedung Akademi Penerangan. Informasi pesanan
selama 32 tahun menyebabkan TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia.
Reformasi mengubah pemberitaan tidak hanya yang seremonial saja. Masyarakat
bisa memilih berita di tigabelas stasiun televisi. TVRI + 12 TV Swasta Nasional dan
seratus lebih televisi lokal. Sehingga muncullah beraneka ragam berita dan
tayangan televisi yang memberikan keleluasaan pemirsa televisi di Indonesia.
Adapun pemisahan era perkembangan televisi di Indonesia adalah sebagai
berikut:
Era Pembaruan Tahap I (Menata Penyelenggaraan Siaran Televisi)
Pada tanggal 3 Mei 1971 Penyelenggaraan siaran Televisi di Indonesia,
wewenang ada di pemerintah/Departemen Penerangan RI. Pembangunan
stasiun relay dikembangkan diseluruh wilayah Indonesia untuk memberikan
pemerataan informasi di tanah air.
Dikenal pula munculnya Closed circuit television (CCTV) untuk keperluan
khusus izin Departemen Penerangan RI bertahan 15 tahun sampai 20 Agustus
1986.
Era Pembaruan Tahap II. (Aturan Baru)
Keputusan Menpen RI No 167/B/KEP/MENPEN/1986 tentang
penyelenggaraan siaran televisi Indonesia 20 Agustus 1986, menghapus
aturan lama, yaitu;

1. Perkembangan teknologi komunikasi yang pesat.
2. Perkembangan televisi Indonesia harus terintegrasi dengan
pembangunan di segala bidang.
3. Sebelum ada UU perlu penyempurnaan wewenang dan kebijaksanaan
tentang siaran televisi diseluruh Indonesia. Keputusan Presiden 215 tahun
1963 tidak ada pengaturan tentang materi siaran. Dengan Keputusan
Menteri (kewenangan ada di Deppen dan Pemda) diperkenalkan lima
hal baru yakni;
a. Tentang siaran televisi (siaran televisi-siaran-gambar dan suara diterima
masyarakat),
b. Stasiun relay (meneruskan siaran),
c. Antena parabola (perangkat telekomunikasi bukan milik TVRI
penerima siaran yang dipancarkan lewat satelit),
d. Sistem distribusi (sistem penyebarluasan siaran lewat pemancar ulang
atau serat optic) dan
e. Sistem closed circuit (siaran terbatas lewat kabel atau bangunan
tertentu).
Era Pembaruan Tahap III. (Siaran saluran terbatas)
Aturan siaran saluran terbatas TVRI, SK MENPEN 20 Oktober 1987;
1. Pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, dana pembangunan
terbatas, perlu peninjauan program siaran.
2. Guna menunjang pembangunan dirasa perlu menambah siaran dengan
saluran terbatas, perubahan sikap bahwa Direktur Televisi, Departemen
Penerangan RI disamping menyelenggarakan siaran saluran umum (SSU),
juga memberikan wewenang kepada Yayasan TVRI untuk
menyelenggarakan Siaran Saluran Terbatas (SST). TVRI berhak kerjasama
dengan pihak swasta maka lahirlah RCTI Rajawali Citra Televisi Indonesia
dan berakhirlah monopoli TVRI pada 28 Oktober 1987.
Era Pembaruan Tahap IV. (Lahirnya SCTV, TPI, Antv dan Indosiar).
Lahirnya SK Mentri Penerangan RI no III/KEP/MENPEN/1990 tentang penyiaran
televisi di Indonesia pada 24 Juli 1990 membuka kran lahirnya SCTV,TPI,ANTV
dan Indosiar. Terdapat 3 aturan pertimbangan yang memberikan nilai positif
dari SK mentri tersebut;

1. Kemampuan penyebaran yang lebih cepat dan lebih berdaya guna
dalam pembangunan bangsa.
2. Pembangunan bangsa mendorong tumbuh kembangnya televisi.
3. Perkermbangan dunia pertelevisian harus dimanfaatkan sebesar-
besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara.

INDUSTRI PERTELEVISIAN DI INDONESIA
Siaran perdana televisi di Indonesia memang sudah dimulai pada tahun
1962, tetapi kenyataannya Indonesia memasuki era industri pertelevisian dalam dua
dekade terakhir saja. Selama lebih dari 30 tahun, rakyat Indonesia hanya disuguhi
tontonan televisi yang ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai
televisi milik pemerintah, yang merupakan stasiun televisi pertama dan satu-satunya
yang boleh mengudara pada masa kekuasaan Orde Baru. Industri pertelevisian di
Indonesia baru menggeliat pada akhir kekuasaan Soeharto, ketika pihak swasta
diperbolehkan untuk melakukan siaran televisi. Satu per satu, televisi mengudara,
dimulai dengan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang melakukan siaran
pertama pada tahun 1989. Lalu berturut-turut diikuti oleh Surya Citra Televisi (SCTV),
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan Indosiar
Visual Mandiri (Indosiar) yang memulai siaran sebelum pemerintahan Presiden
Suharto berakhir.
Memasuki era reformasi, kian banyak stasiun televisi swasta bermunculan.
Tercatat lima televisi swasta nasional memulai siaran, yaitu Metro TV, Global TV,
Trans TV, TV7 (sekarang Trans7) dan Lativi (sekarang TV One). Jumlah itu masih
ditambah dengan munculnya stasiun televisi swasta lokal yang juga ikut
meramaikan frekuensi siaran televisi di Indonesia. Maraknya pertumbuhan televisi
swasta tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari dari aspek ekonomis dan politis
yang menjadi magnet bagi industri pertelevisian. Aspek ekonomis misalnya, dilihat
dari belanja iklan yang dibelanjakan ke televisi selama tahun 2011 mencapai jumlah
lebih dari 10 trliun rupiah. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 2 triliun rupiah atau
sebesar 20 % dari jumlah tahun lalu. Jumlah tersebut juga sama dengan 65. % dari
total belanja iklan sepanjang tahun lalu. Meski banyak disedot hanya beberapa
stasiun televisi swasta nasional saja, jumlah yang sedemikian besar tersebut tentu

menjadi incaran mereka yang punya uang banyak dan ingin berinvestasi dalam
bisnis ini.
Namun, di luar pertimbangan ekonomis aspek politis memiliki stasiun televisi
juga menjadi pertimbangan banyaknya pemilik modal mau terjun di industri
pertelevisian. Fungsi media yang salah satunya sebagai sumber informasi menjadi
alasan kuat kenapa banyak pemilik modal atau penguasa yang rela mengeluarkan
uang banyak untuk memiliki stasiun televisi. Dengan memiliki stasiun televisi
dianggap sebagai media yang paling efektif untuk memberikan informasi dan
mempengaruhi penonton dengan berbagai ide atau gagasan yang dimilikinya
kepada masyarakat. Hal tersebut juga ditunjang dengan kenyataan, saat ini sangat
tidak terhitung pesawat televisi yang ada di semua rumah tangga di Indonesia.
Pastinya jumlah yang paling banyak sebagai media yang dikonsumsi masyarakat
tanah air. Belum lagi, saat ini setidaknya setiap hari tercatat 10-12 jam orang
Indonesia menonton televisi. Dengan demikian, wajar jika televisi menjadi media
yang paling efektif untuk berkampanye, termasuk untuk kepentingan politis.
Dengan dua dasar pertimbangan di atas, rasanya industri pertelevisian di
Indonesia, masih akan menarik banyak pemain baru untuk terjun di bisnis ini.
Memang harus diakui, pada era sekarang ini, agak sulit untuk mendapatkan izin
siaran televisi teresterial baru di beberapa kota besar di Indonesia. Hal tersebut
terjadi karena keterbatasan frekuensi siaran yang ada menyebabkan tidak mungkin
lagi ada siaran televisi yang dipancarkan melalui gelombang elektro magnetik
tersebut. Namun hal tersebut nantinya diperkirakan sudah tidak menjadi masalah
lagi, dengan dimulainya era televisi digital di Indonesia. Dengan teknologi digital,
maka frekuensi siaran akan sanggup menampung hampir 10 kali lipat jumlah stasiun
televisi yang kini bersiaran di Indonesia. Artinya, sejumlah investor yang selama ini
kesulitan mendapatkan izin siaran televisi untuk membuka stasiun televisi, nantinya
akan memiliki izin siaran televisi baru yang akan meramaikan bisnis pertelevisian di
Indonesia. Dengan demikian, pada masa yang akan datang, akan semakin banyak
pula stasiun televisi swasta yang akan tayang di Indonesia. (Mufid, 2007, hal; 55-57).




PERSAINGAN BISNIS PERTELEVISIAN DI INDONESIA
Industri penyiaran di Indonesia berkembang pesat setelah Orde Baru
berakhir. Jika sebelum era kekuasaan Soeharto berakhir pada tahun 1998, stasiun
televisi baru berjumlah 5 buah untuk swasta nasional dan 1 televisi publik saja,
jumlah tersebut sekarang meningkat lebih dua kali lipat menjadi 12 buah untuk
swasta nasional dan tetap 1 televisi publik, namun masih ditambah dengan ratusan
televisi lokal, komunitas dan khusus berlangganan. Kehadiran banyaknya stasiun
televisi swasta televisi tersebut tentu saja menyebabkan persaingan antar stasiun
televisi, bertambah ketat. Semua stasiun televisi berusaha menyajikan program-
program terbaiknya, dengan tujuan ditonton orang sebanyak dan selama mungkin.
Bagi stasiun televisi swasta, baik lokal maupun nasional, kehadiran banyaknya
penonton, akan memudahkan mereka untuk mendapatkan iklan, yang berarti
sumber pemasukan bagi perusahaan tersebut.
Jika dilihat dari perkembangan awal kehadiran televisi memang telah
mengubah hidup banyak warga dunia. Televisi bukan lagi sebuah benda mati yang
hadir di banyak ruang keluarga, tetapi menjadi media penting dalam proses
perkembangan hidup manusia. Sebagai media penyampai pesan, memang televisi
menjadi sangat efektif dan efisien dibanding media lainnya. Hal itu disebabkan
penggunaan media tersebut menjangkau banyak kalangan di seluruh pelosok
dunia, termasuk di Indonesia. Hampir tidak ada wilayah di muka bumi ini yang tidak
bisa menangkap siaran televisi, sehingga tidak ada satu daerahpun yang terbebas
dari pengaruh televisi. Termasuk di Indonesia, nyaris dari Sabang sampai Merauke
terjangkau berbagai siaran televisi yang memenuhi frekuensi udara di Indonesia.
Tidak hanya jangkauan yang luas, televisi juga menjadi media yang paling
banyak dikonsumsi penggunaannya dibanding media lainnya. Di Amerika Serikat
yang merupakan Negara maju, masyarakatnya menghabiskan waktu 8 jam sehari
untuk menonton televisi. Di Indonesia, diperkirakan jumlahnya bisa mencapai lebih
dari 10 jam. Waktu mengkonsumsi yang banyak tersebut, tentu saja menyebabkan
kehadiran televisi selalu menjadi kajian menarik dalam ilmu komunikasi. Pakar
komunikasi, Amerika Serikat, Shirley Biagi dalam bukunya Media/Impact
menyatakan televisi adalah media yang telah berhasil mengubah kehidupan
sehari-hari manusia atau masyarakat. (Biagi, 2010; 201).
Tentu saja, tingginya konsumsi penggunaan media televisi dalam kehidupan
masyaratkan, pada akhirnya menyebabkan banyak pihak ingin terjun ke industri ini,

termasuk di Indonesia. Seperti di awal latar belakang, saat ini banyaknya stasiun
televisi ini menyebabkan persaingan ketat juga mewarnai bisnis ini. Semua stasiun
televisi berusaha untuk menarik penonton sebanyak-banyaknya untuk mau
menonton program-program mereka. Fenomena ketatnya persaingan antar stasiun
televisi yang menyebabkan pemilik atau pengelola stasiun televisi harus memutar
otak untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya seharusnya menjadi
sebuah sisi yang positif, karena pada akhirnya penontonlah yang akan memilih
mana program yang baik dan yang ingin mereka tonton.
Meski demikian, upaya untuk menjaring penonton atau audien yang menjadi
faktor terpenting atau segala-galanya bagi stasiun televisi tersebut tidak membuat
penonton mendapatkan sisi yang positif dari persaingan antarstasiun televisi
tersebut. Jumlah penonton yang banyak cuma dijadikan angka besaran penonton
untuk mendapatkan iklan saja. Beberapa program yang tayang di stasiun televisi,
banyak yang mengulang program sejenis yang tercatat pernah sukses sebelumnya.
Jika hal itu terus terjadi, sebenarnya penonton tidaklah mendapatkan keuntungan
dari ketatnya persaingan yang terjadi di industri pertelevisian Indonesia dewasa ini.

KONGLOMERASI MEDIA TELEVISI DI INDONESIA
Produksi, distribusi dan keberadaan industri televisi, koran, majalah, buku,
dan film membutuhkan modal yang besar. Dari situ, hanya pemodal besar atau
pemerintah (untuk media publik) yang mampu mendirikan industri media. Pada
gilirannya, para pemodal ini berupaya memperoleh keuntungan dari investasi yang
mereka tanamkan dalam industri media. Ada tiga tipe kepemilikan media; yaitu:
Monopoli, Oligopoli, dan yang terakhir Kompetisi monopolistik. Dalam monopoli,
suatu industri media mendominasi pasar. Di Indonesia TVRI pernah menjadi stasiun
televisi yang merajai atau memonopoli industri televisi. Pilihan bagi khalayak
adalah take it or live it. Khalayak pemirsa tidak dihadapkan pada pilihan lain selain
yang ada di depan mata. Pada Oligopoli didefinisikan sebagai adanya beberapa
industri media yang dimiliki oleh pemilik berbeda yang bermain di pasar. Mereka
saling bersaing di dalam pasar. Namun, ada satu produsen atau pemilik media
yang relatif lebih dominan dibanding lainnya. Sedangkan kompetisi monopolistik
diartikan sebagai kepemilikan media yang mana banyak industri media yang
memproduksi jasa sejenis yang dimiliki oleh pemilik yang berbeda-beda yang

beroperasi di pasar. Kepemilikan televisi di Indonesia cenderung bersifat kompetisi
monopolistik dalam hal content yang diproduksi.
Di Industri Media pertelevisian Indonesia sendiri, diramaikan oleh jumlah yang
tidak sedikit. Tigabelas, itulah jumlah stasiun televisi nasional yang ada di Indonesia
saat ini. Cukup banyak, namun jumlah tersebut tidak memberikan keragaman
program, yang terjadi justru keseragaman. Masalah tersebut memang sudah
menjadi isu yang bisa dibilang klise untuk dunia pertelevisian lokal. Yang menarik
untuk dikaji lebih dalam justru adalah isu yang berkaitan dengan kepemilikan media
televisi, seperti merger, take over dan penyuntikan modal telah dialami beberapa
stasiun televisi di Indonesia.
Dalam ekonomi dikenal istilah akuisisi dan merger. Akuisisi adalah
penguasaan satu perusahaan yang relatif lemah oleh perusahaan yang relatif lebih
kuat. Merger adalah penggabungan dua perusahaan atau lebih yang posisinya
relatif seimbang. Alasan akuisisi dan merger salah satunya adalah desakan
memperluas dukungan keuangan. Seperti yang kita ketahui dalam beberapa tahun
terakhir ini, dunia media di Indonesia disemarakkan dengan beberapa konsolidasi
stasiun televisi. Fenomena ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga era digitalisasi
akan dimulai. Diperkirakan, dari 12 stasiun televisi swasta nasional yang ada
sekarang akan mengerucut menjadi tiga atau empat kelompok besar. Ditilik dari
segi bisnis, konsolidasi media televisi memiliki urgensi yang tinggi. Melalui konsolidasi,
sebuah media televisi bisa memperkuat posisinya sehingga lebih survive dalam
menjalani persaingan. Kalau lebih kuat, tentu tidak perlu lagi membagi energi untuk
menghadapi saingan-saingan kecil. Media itu pun bisa menata program yang jauh
lebih baik. Dalam kondisi persaingan yang sangat ketat saat ini, konsolidasi media
televisi merupakan sinyal positif. Terlebih, di saat ceruk iklan sangat terbatas. Patut
diakui, dengan kondisi ekonomi negara saat ini, dunia industri tidak memiliki
kemampuan untuk membiayai sepuluh stasiun televisi swasta sekaligus. Konsolidasi
merupakan langkah efisiensi cost produksi yang efektif, baik melalui optimalisasi
sumber daya maupun penghematan biaya modal dan operasional. Cara ini
memungkinkan media televisi menghemat biaya rekrutmen, penggunaan
kontributor dan koresponden di daerah, pemanfaatan program-program yang
sudah diakuisisi, dan optimalisasi penggunaan studio, fasilitas, serta alat-alat siaran
lainnya. Selain itu, langkah ini pun mendapat apresiasi positif dari sejumlah biro iklan.
Suatu konsolidasi yang menggabungkan beberapa stasiun televisi dengan

segmentasi dan jangkauan siaran yang berbeda-beda, bisa merangkum segmen
penonton yang sangat luas dan beragam. Dengan demikian, kelompok tersebut
bisa dengan mudah menawarkan paket penayangan iklan yang menarik dan
lengkap kepada para pemasang iklan.
Bahkan, stasiun televisi juga akan memiliki bargaining position yang lebih baik
terhadap rumah produksi dibandingkan stasiun TV yang berdiri sendiri. Dengan
konsolidasi, pengelola TV memiliki kekuatan untuk menekan rumah produksi agar
memberikan harga yang proporsional bagi produknya. Padahal sebelumnya,
stasiun televisi-lah yang ditekan pihak rumah produksi.
Apabila dilihat dari sejarah dan kedekatan unsur bisnisnya, maka terbentuk
pengelompokan bisnis atau konglomerasi pada beberapa stasiun televisi yang
sesuai pula dengan perkembangan teknologi digital yang menuntut investasi bisnis
menjadi berlipat ganda. Empat format Konglomerasi Media yang saat ini ada di
Indonesia adalah:
1. Pengusaha yang mengembangkan bisnis media sebagai lini utama
usahanya. Bila ada usaha dalam grup maka itu hanya sebagai portofolio.
Hary Tanoesudibjo, nomor 33 orang terkaya Indonesia Pengusaha pasar
modal di tahun 1997. Kemudian di tahun 2004 mengambil alih perusahaan
Bimantara dan menjadi pemegang saham mayoritas dan juga mengambil
alih Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dan membangun Global TV serta
disatukan dibawah bendera Media Nusantara Citra (MNC).
2. Pengusaha yang menjadikan usaha di media elektronika sebagai bagian
dari berbagai usaha lain yang sudah dimilikinya. Chairul Tanjung orang
nomor 11 terkaya di Indonesia mendirikan Trans TV tanpa neniliki
pengetahuan mendasar tentang televisi. TV7 diambil alih dari kelompok
Kompas Gramedia, dan pihak Trans Corp mengubah nama TV7 menjadi
Trans 7.
3. Pengusaha politisi yang menempatkan modal di bisnis media elektronika
sebagai alat untuk interest dan visi politiknya. Orang Terkaya Indonesia
Nomor 10, Ir. Aburizal Bakrie adalah penerus kelompok dagang Bakrie &
Brothers. Pada tahun 1998 mendirikan Andalas Televisi Indonesia yang
berkedudukan di Lampung. Tahun 2008 bersama sejumlah kompanyon
membeli Lativi dari pengusaha Abdul Latief dan mengubahnya menjadi TV-
One. Kini dijalankan oleh anaknya Anindya Bakrie

4. Pengusaha layanan komputer pribadi dan pernah menjadi distributor produk
Compaq di Indonesia, Eddy Kusnadi Sariaatmadja pendiri Emtek PT. Elang
Mahkota Teknologi, Tbk. Emtek menguasai Surya Citra Media (SCTV) melalui
PT. Abhimata Mediatama sejak 2001 dan di tahun 2013, Emtek resmi
bergabung dengan Indosiar Karya Media dengan penggabungan inilah
yang menyebabkan perusahaan ini menguasai SCTV dan Indosiar yang
diperusahakan oleh Surya Citra Media.
Bergabungnya sejumlah stasiun televisi bukannya tanpa dasar. Sebelum
diakuisisi, sejumlah stasiun televisi mengalami kerugian besar. Akuisisi menjadi usaha
menyematkan diri dari ancaman kebangkrutan. Hasilnya menunjukan, setelah
bergabung, selain terhindar dari kebangkrutan, juga bisa menggandakan
keuntungan.
Jadi jelas, tujuan akuisisi selain menyelamatkan diri, juga usaha
meningkatkan keuntungan. Namun demikian kiranya kelompok bisnis siaran televisi
Indonesia bersikap bijaksana, dengan menayangkan hiburan yang mendidik, dan
bukan semata-mata mengejar rating tinggi dan pemasukan iklan. Konsumsi publik
hendaknya mempertimbangkan unsur hiburan dan pendidikan secara seimbang.
Perimbangan pemberitaan juga harus dijaga supaya tak ada pembodohan publik.
Kemungkinan masuknya kepentingan asing melalui penyiaran seperti yang saat ini
telah ada di bisnis Bakrie seyogyanya juga harus dicermati. Akuisisi sejumlah stasiun
televisi juga berisiko memunculkan monopoli bisnis informasi. Masuknya investasi
asing seperti yang telah dikemukakan sebelumnya juga membuka peluang
masuknya kepentingan asing dalam dunia pertelevisan Indonesia. Peluang bisnis
informasi audio visual Indonesia memang sungguh menjanjikan keuntungan besar
bagi para pemilik modal besar dalam bisnis kepemilikan media. Harapannya para
pemilik modal tersebut juga memiliki idealisme untuk memberikan kontribusi dengan
memproduksi tayangan-tayangan berkualitas sejalan dengan teori komunikasi
massa bahwa media massa berperan sebagan agent of change bagi
khalayaknya.




MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA PENYIARAN SWASTA
Monopoli dunia bisnis yang berkembang di Indonesia sejak zaman
pemerintahan Soekarno hingga sampai saat ini di pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono masih di kuasai banyak pengusaha bermodal kuat, termasuk
pengusaha yang juga terlibat di dalam struktur pemerintahan yang berkuasa. Dari
bisnis yang bergerak di bidang usaha apapun, termasuk bisnis di bidang industri
penyiaran televisi saat ini. Hal ini sudah menjadi tradisi bisnis di Indonesia sejak
dahulu kala.
Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran dipermasalahkan menurut
berbagai kalangan dalam pelaksanaan UU tersebut. Para pemimpin media
penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan
pemusatan kepemilikan media penyiaran. Kondisi seperti itu akan mematikan
keanekaan informasi.
(Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri kesulitan untuk
mengimplementasikan UU Penyiaran karena KPI tidak mempunyai kewenangan
yang jelas. Hanya sebatas memberikan teguran, tapi siaran terus berjalan.
Sehingga, sebagai lembaga yang dibentuk, tidak memiliki kekuatan apapun dalam
memberikan sanksi pada lembaga penyiaran yang bermasalah.
Dari sumber yang terpercaya bahwa, pemusatan kepemilikan media
penyiaran karena pengawasan yang begitu longgar dan tidak adanya peraturan
lanjutan tentang UU Penyiaran. Hal ini dikarenakan semakin semaraknya
berakarnya praktik monopoli kepemilikan media penyiaran swasta, karena
tiadanya peraturan pemerintah yang lebih spesifik untuk mengatur pelaksanaan
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Peraturan ini diperlukan untuk
membatasi secara tegas kepemilikan media penyiaran agar tercipta iklim kompetisi
yang sehat di sektor media massa. Selain itu tidak adanya peraturan pemerintah
yang mengatur lebih jauh tentang kepemilikan media televisi. Seperti, berapa
jumlah maksimal yang boleh dimiliki yang harus dimiliki para pengusaha media
massa.
Inilah yang akhirnya pelaku bisnis di bidang media massa, yaitu khususnya di
bidang industri penyiaran televisi dengan lebih leluasa melakukan gerakan proaktif
pada permonopolian bisnis penyiaran televisi. Karena memang jelas belum
terlihatnya adanya ketegasan tentang UU Penyiaran tahun 2002.

Masalah utama yang menghambat tegaknya regulasi ini adalah, berlarut-
larutnya perizinan pendirian televisi. Perizinan pendirian media harus tegas. Masalah
perizinan yang tak kunjung selesai ini harus diselesaikan segera. Bereskan juga
masalah jaringan dan kewenangan pemerintah. Masalah-masalah inilah yang
harus dapat diatasi tanpa harus merevisi UU Penyiaran tahun 2002 oleh pemerintah.
Selama ini aturan dalam UU Penyiaran tidak ditindaklanjuti ke dalam
peraturan pelaksana, sehingga regulasi tersebut seperti tak berkaji dan akhirnya
yang dianggap sakit adalah undang-undangnya. Jadi orang-orang
menganggapnya ini salah undang-undangnya. Selain itu kendornya pengawasan
terhadap penerapan amanat UU Penyiaran yang menghasilkan pemusatan
kepemilikan media yang kian berakar menjadi sebuah penguasaan area bisnis
penyiaran yang monopoli.
Sebenarnya UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 itu sudah kuat untuk
diterapkan dengan benar dan tegas oleh peraturan pemerintah tentang
pergerakan bisnis industri penyiaran televisi di Indonesia, namun sayang hingga
sampai saat ini prakteknya masih balelo, alias masih banyak di bolak-balikan oleh
para pelaku bisnis industri penyiaran dan juga oleh pemerintah itu sendiri. Maka
tidaklah salah yang pada akhirnya muncul berbagai lembaga-lembaga
independen yang ikut berperan aktif untuk mengawasi dan memonitor pelaksaan
UU penyiaran nomor 32 tahun 2002 tersebut. Hal ini agar benar-benar terbukti
keseriusan pemerintah untuk bisa melaksanakan amanat UU penyiaran tersebut.
Selama UU penyiaran hanyalah bahan bacaan, bukan jadi rujukan dalam
penyiaran, banyak di antara pelaku bisnis yang melangggar peraturan sesuai
dengan UU No. 30/2002 namun pemerintah kurang tegas dalam pemberian sanksi,
akhirnya mereka tetap berani melanggar UU tersebut. Dalam hal ini pemerintah
harus lebih serius sehingga tidak terjadi monopoli media, terutama dalam
penyiaran.







PROGRAM MAPPI NG

PROGRAM TELEVISI
Tidak ada yang lebih penting dari acara atau program sebagai faktor yang
paling penting dan menentukan dalam mendukung keberhasilan financial suatu
stasiun televisi. Adalah program yang membawa audien mengenal suatu stasiun
penyiaran. Jika suatu stasiun memperoleh jumlah audien yang besar dan jika
audien itu memiliki karakteristik yang dicari oleh pemasang iklan, maka stasiun
bersangkutan akan sangat menarik bagi pemasang iklan. Dengan demikian,
pendapatan dan keuntungan stasiun penyiaran sangat dipengaruhi oleh
programnya. Tanggung jawab program dipercayakan kepada departemen
program.
Kata program berasal dari bahasa Inggris programme yang berarti acara
atau rencana. Undang-Undang Penyiaran Indonesia tidak menggunakan kata
program untuk acara tetapi menggunakan istilah siaran yang didefinisikan
sebagai pesan atau rangkaian pesan yang disajikan dalam berbagai bentuk.
Namun kata program lebih sering digunakan dalam dunia penyiaran di Indonesia
daripada kata siaran untuk mengacu pada pengertian acara. Program adalah
segala hal yang ditampilkan stasiun penyiaran untuk memenuhi kebutuhan
audiennya. Dengan demikian, program memiliki pengertian yang sangat luas.
Adapun maksud dan tujuan dibuatnya program televisi adalah sebagai
berikut:
1. Mendapatkan pemirsa/penonton/audien sebanyak mungkin.
2. Mendapatkan audien yang lebih spesifik sesuai dengan program televisi
yang ditayangkan.
3. Menengahkan program-program yang dapat meningkatkan gengsi/prestige
stasiun televisi itu sendiri.
4. Mendapatkan apresiasi berupa penghargaan dari berbagai pihak demi
meningkatkan status.
5. Menayangkan program demi kepentingan publik.


Program televisi setiap harinya menyajikan berbagai jenis program yang jumlahnya
sangat banyak dan jenisnya sangat beragam. Pada dasarnya apapun bisa
dijadikan program untuk ditayangkan di televisi selama program itu menarik dan
disukai audien dan selama tidak bertentangan dengan kesusilaan, hukum dan
peraturan yang berlaku. Pengelola stasiun penyiaran dituntut untuk memiliki
kreativitas seluas mungkin untuk menghasilkan berbagai program yang menarik.
Berbagai jenis program itu dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian besar
berdasarkan jenisnya, yaitu:
1. Program Informasi (news)
Hard news
Soft news
Investigasi report
2. Program Hiburan (entertainment)
Musik
Permainan
Pertunjukan (show)
3. Program Pendidikan (education)
Pembelajaran akademik (kurikulum)
Penelitian (research)
Penemuan ilmu pengetahuan (science)
Kuis pendidikan (science quiz)

Sedangkan perkembangannya saat ini dengan munculnya kreativitas yang
beragam dari pekerja televisi, maka berdasarkan format acara televisi dapat
berkolaborasi satu dengan lainnya, yaitu sebagai berikut;
1. Berita/sport (Aktual & Faktual)
Berita
Sport
Feature
Infotainment (news & show)
2. Non Fiksi (Imajinatif & Faktual)
Musik
Kuis
Game show
Variety show

Talkshow
Dokumenter
Reality show (show & drama)
Operet (musik & drama)
3. Fiksi (Imajinatif & Khayalan)
Drama
Film
Sinetron (horor, komedi, action, romantisme)

SEGMENTATION PEMIRSA TELEVISI
Pada awal perkembangn televisi swasta di Indonesia pada tahun 1980-an,
semua stasiun televisi melakukan segmentasi audien secara luas atau lebih tepat
lagi tidak memiliki segmentasi audien. Harus diakui bahwa stasiun televisi ketika itu
belum menerapkan betul-betul strategi segmentasi dan target audien. Salah satu
sebabnya adalah industri pertelevisian Indonesia masih sangat muda. Tenaga-
tenaga ahli pembuat film masih sangat langka, demikian pula para programer.
Semua stasiun televisi nasional masih mengandalkan pada paket-paket film yang
berasal dari Amerika, India, Hong Kong dan Jepang. Sehingga tak heran kalau
semuanya memiliki nafas siaran dan program yang sama. Akibatnya stasiun-stasiun
televisi mengalami kesulitan dalam melakukan segmentasi audien yang jelas dan
tajam.
Menjelang tahun 2000-an sejumlah stasiun televisi baru muncul. Dan
walaupun pada awalnya beberapa stasiun televisi baru itu mencoba untuk menjadi
televisi dengan target kelompok pemirsa tertentu namun hingga tahun 2004 belum
ada televisi yang betul-betul menjadi televisi yang memiliki segmen khusus. Stasiun
televisi umumnya menyajikan program acara yang bersifat beragam seperti
supermarket yang menyediakan segala barang. Segmentasi audien televisi
biasanya hanya terjadi pada waktu siaran tertentu, misalnya, pada sore hari lebih
banyak menayangkan program acara untuk anak-anak seperti film kartun karena
kebanyakan anak-anak menonton televisi pada sore hari, sementara pagi hari
waktu siaran lebih banyak diisi dengan program drama yang disukai ibu-ibu dan
pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah.

Pada tahun 2005 beberapa stasiun televisi di Indonesia mulai terarah (fokus)
dalam menentukan segmen audiennya. Stasiun televisi mulai melakukan
segmentasi dan berupaya mengarahkan programnya pada target audien tertentu.
Pengelola televisi lebih serius memikirkan segmentasi audien yang ingin ditujunya.
Kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa hanya stasiun televisi yang memiliki
segmentasi yang jelas dan mampu melayani segmen itu dengan baik yang akan
berhasil.
Segmentasi pasar audien adalah suatu konsep yang sangat penting dalam
memahami media penyiaran untuk audien penyiaran dan pemasaran program.
Dengan demikian, jika ditinjau dari perspektif audien penyiaran maka segmentasi
pasar adalah suatu kegiatan untuk membagi-bagi atau mengelompokkan audien
ke dalam kotak-kotak yang lebih homogen.
Khalayak audien umum memiliki sifat yang sangat heterogen, maka akan
sulit bagi melayani semuanya. Oleh karenanya harus dipilih segmen-segmen audien
tertentu saja dan meninggalkan segmen lainnya. Bagian atau segmen yang dipilih
itu adalah bagian yang homogen yang memiliki ciri-ciri yang sama dan cocok
dengan kemampuan stasiun penyiaran untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pengelola program penyiaran harus memilih satu atau beberapa segmen
audien saja yang memiliki karakter atau respon yang sama dari seluruh penduduk
Indonesia. Dengan memahami siapa audiennya, maka praktisi penyiaran dapat
menentukan bagaimana cara menjangkaunya, program apa yang dibutuhkan
dan bagaimana mempertahankan audien dari program pesaing.
Segmentasi diperlukan agar stasiun penyiaran dapat melayani audiennya
secara lebih baik, melakukan komunikasi yang lebih persuasif dan yang terpenting
adalah memuaskan kebutuhan dan keinginan audien yang dituju. Untuk
mempromosikan suatu program misalnya, praktisi penyiaran harus tahu siapa yang
akan menjadi audiennya.
Memang ada kalanya, segmentasi tidak diperlukan yaitu bila struktur audien
bersifat monopolistik. Misalnya stasiun penyiaran anda merupakan satu-satunya
stasiun yang ada di suatu daerah. Namun ketika stasiun lain muncul dan jumlahnya
semakin banyak maka perlahan-lahan audien mulai memiliki preferensi. Suatu
program praktis tidak bisa menguasai seluruh lapisan masyarakat. Perusahaan
harus memilih segmen mana yang ingin dikuasai dan untuk itu harus diketahui

secara jelas siapa audiennya. Misalnya bagaimana kelas sosial ekonomi audien
dan program seperti apa yang mereka inginkan.
Konsep segmentasi memberi pegangan yang sangat penting dalam
memahami audien penyiaran. Konsep ini juga memberikan anjuran agar memilih
bagian tertentu saja dari khalayak audien yang sangat luas agar dapat
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dewasa ini hampir tidak ada satu
program pun yang dapat melayani kebutuhan seluruh segmen audien. Dengan
adanya segmentasi audien maka perusahaan dapat mendesain program yang
lebih responsif terhadap kebutuhan audien.
Bagaimana menyeleksi audien sangat ditentukan oleh bagaimana
pengelola program melihat audien itu sendiri. Dengan demikian, audien yang
dilihat oleh dua orang yang berbeda, yang didekati oleh metode segmentasi
yang berbeda akan menghasilkan peta audien yang berbeda pula. Oleh karena
itulah penting dipahami struktur-struktur atau kelompok-kelompok audien yang
ada di tengah masyarakat. Berikut ini merupakan dasar-dasar dalam melakukan
segmentasi audien yang terdiri atas:
1. Segmentasi Demografis
Segmentasi audien berdasarkan demografi pada dasarnya adalah
segmentasi yang didasarkan pada peta kependudukan misalnya: usia, jenis
kelamin, besarnya anggota keluarga, pendidikan tertinggi yang dicapai, jenis
pekerjaan konsumen, tingkat penghasilan, agama, suku dan sebagainya.
Semua ini disebut dengan variabel-variabel demografi. Data demografi
dibutuhkan antara lain untuk mengantisipasi perubahan-perubahan audien
menyangkut bagaimana media penyiaran menilai potensi audien yang
tersedia dalam setiap area geografi yang dapat dijangkau.
2. Segmentasi Geografis
Segmentasi ini membagi-bagi khalayak audien berdasarkan
jangkauan geografis. Pasar audien dibagi-bagi kedalam beberapa unit
geografis yang berbeda yang mencakup suatu wilayah negara, provinsi,
kabupaten, kota hingga ke lingkungan perumahan. Pemasang iklan media
penyiaran menggunakan segmentasi geografis ini karena konsumen
terkadang memiliki kebiasaan berbelanja yang berbeda-beda yang
dipengaruhi lokasi dimana mereka tinggal. Para penganut segmentasi ini
percaya setiap wilayah memiliki karakter yang berbeda dengan wilayah

lainnya. Oleh karenanya setiap wilayah di suatu negara perlu dikelompokkan
berdasarkan kesamaan karakternya.
3. Segmentasi Geodemografis
Ini merupakan gabungan dari segmentasi geografis dengan
segmentasi demografis. Para penganut konsep ini percaya bahwa mereka
yang menempati geografis yang sama cenderung memiliki karakter-karakter
demografis yang sama pula, namun wilayah tempat tinggal mereka harus
sesempit mungkin.
4. Segmentasi Psikografis
Segmentasi ini berdasarkan gaya hidup dan kepribadian manusia. Gaya
hidup mempengaruhi perilaku seseorang, dan akhirnya menentukan pilihan-
pilihan konsumsi seseorang. Gaya hidup mencerminkan bagaimana
seseorang menghabiskan waktu dan uangnya yang dinyatakan dalam
aktivitas-aktivitas, minat dan opini-opininya. Dengan demikian, psikografis
adalah segmentasi yang mengelompokkan audien secara lebih tajam
daripada sekedar variabel-variabel demografi.

TARGETING PEMIRSA TELEVISI
Setelah melakukan evaluasi terhadap berbagai peluang yang ditawarkan
berbagai segmen audien penyiaran, media penyiaran selanjutnya harus memilih
segmen audien yang ingin dimasuki yang disebut dengan target audien (targeting)
yang akan menjadi fokus perhatian media penyiaran bersangkutan. Segmen yang
dipilih dapat hanya terdiri atas satu segmen atau lebih dari satu dimana media
penyiaran harus menentukan tujuan dan sasaran berdasarkan target audien yang
sudah dipilih serta apa yang diharapkan untuk dicapai pada audien tersebut.
Target audien adalah memilih satu atau beberapa segmen audien yang
akan menjadi fokus kegiatan-kegiatan pemasaran program dan promosi. Kadang-
kadang targeting disebut juga dengan selecting karena audien harus diseleksi.
Perusahaan harus memiliki keberanian untuk memfokuskan kegiatannya pada
beberapa bagian saja (segmen) audien dan meninggalkan bagian lainnya.
Target audien berhubungan erat dengan adanya media yang dapat
digunakan untuk menjangkau kelompok-kelompok atau segmen-segmen tertentu
dalam masyarakat. Targeting mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu menyeleksi

audien sasaran sesuai dengan kriteria- kriteria tertentu dan menjangkau audien
sasaran tersebut. Sedangkan yang menjadi target audien atau audien sasaran itu
adalah orang-orang yang menginginkan diri mereka terekspos oleh informasi atau
hiburan yang ditawarkan media penyiaran kepada mereka. Dalam hal ini perlu
diketahui bahwa audien melakukan suatu proses yang disebut dengan selective
exposure artinya audien secara aktif memilih mau atau tidak mengekspos dirinya
terhadap informasi. Jadi sekalipun media penyiaran membidik dengan jor-joran
kepada audien (dalam ukuran luas) namun audien akan menyeleksinya benar-
benar apakah memilih atau tidak program yang disiarkan tersebut.
Ada empat kriteria yang harus dipenuhi pengelola media penyiaran untuk
mendapatkan audien sasaran menurut Clancy dan Shulman (1991). Ke-empat
kriteria itu adalah:

1. Responsif
Audien sasaran harus responsif terhadap program yang ditayangkan. Kalau
audien tidak merespon maka pengelola media penyiaran harus mencari
tahu mengapa hal itu terjadi. Tentu saja langkah ini harus dimulai dengan
studi segmentasi audien yang jelas. Tanpa audien sasaran yang jelas maka
media penyiaran menanggung resiko yang terlalu besar.
2. Potensi Penjualan
Setiap program yang akan disiarkan harus memiliki potensi penjualan yang
cukup luas. Semakin besar kemungkinan program untuk mendapatkan
audien sasaran maka semakin besar nilainya. Besarnya bukan hanya
ditentukan oleh jumlah populasi, tetapi juga daya beli. Dalam hal ini daya
beli audien terhadap produk iklan yang ditayangkan pada program itu.
3. Pertumbuhan Memadai
Audien tidak dapat dengan segera bereaksi. Audien bertambah secara
perlahan-lahan sampai akhirnya meningkat dengan pesat. Kalau
pertambahan audien lambat, tentu dipikirkan langkah-langkah agar
program bisa lebih diterima audien. Mungkin program yang dibuat tidak
sesuai dengan audien sasaran. Mungkin ceritanya terlalu rumit atau
seleranya terlalu tinggi. Mungkin audien sudah dikuasai pihak pesaing dan
audien loyal kepada pesaing itu. Atau mungkin karena program itu belum
banyak diketahui oleh masyarakat karena kurang promosi.


4. Jangkauan iklan
Pemasang iklan biasanya sangat memikirkan media penyiaran yang paling
tepat untuk memasarkan produknya. Audien sasaran dapat dicapai dengan
optimal kalau pemasang iklan dapat dengan tepat memilih media untuk
mempromosikan dan memperkenalkan produknya. Ada kalanya suatu
produk gagal menjangkau pasar karena staf pemasaran perusahaan
pemasang iklan tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang media
planning dan karakter-karakter media yang ada. Biasanya pemilihan media
diserahkan sepenuhnya kepada biro iklan. Tetapi tidak semua biro iklan
memiliki pengetahuan tentang media planning dengan baik. Adakalanya
biro iklan mengambil langkah yang bisa karena kedekatan hubungannya
dengan media-media tertentu. Ada kalanya tidak ada media yang benar-
benar pas untuk menjangkau pasar sasaran. Adakalanya media yang ada
menjangkau pasar yang terlalu luas sehingga terlalu mahal untuk
menjangkau pasar yang spesifik.

POSITIONING PEMIRSA TELEVISI
Positioning adalah strategi komunikasi yang berhubungan dengan
bagaimana khalayak menempatkan suatu produk, merek atau perusahaan di
dalam otaknya, di dalam alam khayalnya, sehingga khalayak memiliki penilaian
tertentu. Dengan demikian positioning harus dilakukan dengan perencanaan yang
matang dan langkah yang tepat. Pengelola media penyiaran harus mengetahui
bagaimana audien memproses informasi, menciptakan persepsi dan bagaimana
persepsi mempengaruhi pengambilan keputusannya. Sebab, sekali informasi
ditempatkan pada posisi yang salah, ia akan sulit diubah.
Positioning menjadi penting bagi media penyiaran karena tingkat kompetisi
yang cukup tinggi saat ini. Persepsi terhadap perusahaan media penyiaran dan
program yang disiarkannya memegang peranan penting dalam konsep positioning
karena khalayak menafsirkan media bersangkutan melalui persepsi yaitu hubungan-
hubungan asosiatif yang disimpan melalui proses sensasi. Persepsi membantu
manusia memahami dunia di sekelilingnya untuk disimpan dalam memorinya.
Hiebing & Cooper (1997) mendefinisikan positioning sebagai membangun persepsi
produk di dalam pasar sasaran relatif terhadap persaingan.

Dalam menyusun suatu pernyataan positioning, pengelola pemasaran harus
mengetahui bagaimana audien membedakan produk bersangkutan terhadap
produk saingan lainnya. Myers (1996) membedakan struktur persaingan ke dalam
tiga tingkat yaitu:

1. Superioritas
Suatu struktur persaingan yang dialami perusahaan atau produk yang unggul
di berbagai bidang terhadap para pesaingnya. Superioritas adalah keadaan
yang sangat ideal, namun biasanya sangat sulit dicapai. Misalnya produk
yang kuat, hebat dan lebih segala-galanya membutuhkan biaya yang
sangat besar untuk memproduksinya.
2. Diferensiasi
Keadaan yang sedikit berbeda dengan superioritas. Di sini perusahaan
bertindak lebih rasional yaitu tidak ingin unggul dalam segala hal, tetapi
membatasinya pada satu atau beberapa segi saja yang superior terhadap
pesaing-pesaingnya.
3. Program Paritas
Di sini perusahaan dan produknya sama sekali tidak dapat dibedakan satu
dengan yang lainnya. Audien tidak dapat membedakan mana yang lebih
baik antara produk yang dihasilkan perusahaan A dengan perusahaan
lainnya. Positioning menjadi lebih sulit dalam kasus ketiga ini. Oleh karena itu
biasanya diciptakan pembeda khayalan dengan menanamkan citra merek,
mengasosiakan dengan tokoh-tokoh, humor, kartun dan sebagainya. Suatu
perusahaan atau suatu produk menjadi kelihatan berbeda karena konsumen
menganggapnya berbeda, bukan karena barang itu sendiri berbeda.

PENGUKURAN KEPEMIRSAAN TELEVISI
Mekanisme pemilihan tayangan oleh pengelola stasiun televisi nyaris
semuanya didasarkan pada rating televisi. Padahal tingginya rating program televisi
tidak menjamin diikuti dengan kualitas program bagi masyarakat. Malah stasiun
televisi kebanyakan tidak peduli dengan kualitas program yang ditayangkan, yang
terpenting bagi mereka adalah program-program televisi yang ditayangkan
ditonton oleh mayoritas masyarakat serta menempati peringkat teratas.

Dengan sistem rating, program-program unggulan (ini juga terkait dengan
kualitas, melainkan kuantitas nilai jumlah pemirsa) akan menjadi rebutan para
pemasang iklan. Kesalahannya lebih karena angka rating dipakai sebagai
pedoman dan rujukan, bukan konteks program itu sendiri. Kesalahan fatal ini
mengingkari prosedur rating karena angkanya diperoleh setelah sebuah program
ditayangkan, dan bukan sebaliknya. Sementara, tidak selalu formulasi dan
komposisi sebuah acara yang sama persis bisa mendapatkan angka rating yang
sama persis pula. Baru setelah semuanya pasti, yakni setelah angka capaian rating
didapatkan, pemasang iklan baru akan datang. (Sunardian Wirodono, 2006: 94).
Rating didapat melalui riset terhadap penonton televisi, yang sifatnya cair.
Kalau jumlah pembaca surat kabar dapat diketahui dari berapa eksemplar koran
yang terjual, sedangkan untuk mengetahui berapa penonton setiap program
televisi jauh lebih rumit. Maksud dari sifat yang cair, penonton televisi dapat
berpindah-pindah dengan mengunakan remote control. Karena sifatnya yang
dinamis dibutuhkan penelitian terhadap karakteristik penonton televisi dengan
berbagai macam metode agar mendekati akurat. Riset rating meneliti tindakan
penonton televisi yang meliputi;
Menonton program televisi seberapa lama
Menganti channel ke program saluran televisi apa
Berapa banyak penonton televisi menyaksikan suatu program
Klasifikasi apakah penonton televisi dominan yang menyaksikan suatu
program
Berapa nilai iklan per audien dapat diukur

Televisi mendominasi di semua negara diseluruh dunia, telah menjadi media
penyiaran yang sangat dominan atas informasi, komunikasi komersial dan hiburan.
Hal ini mendorong pada pelaku penyiaran, pengiklan dan agensi periklanan untuk
memperoleh informasi yang akurat, konsisten dan terperinci mengenai kepemirsaan
televisi. Pengukuran kepemirsaan televisi yang dijalankan oleh AGB Nielsen Media
Research Indonesia adalah bagian dari survey global AGB Nielsen di lebih dari 30
negara diseluruh dunia. Survei ini dirancang untuk pengiklan, agensi periklanan dan
pelaku industri pertelevisian untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik
mengenai karakteristik dan pilihan menonton dari pemirsa televisi di 10 kota besar di
Indonesia, yaitu: Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar,
Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.

Tingkat penyebaran panel (satu set perangkat pencatatan rating pada
televisi responden) didasarkan pada survei awal atau Establishment Survey (ES) di 10
kota tersebut untuk menetapkan dan mengidentifikasi profil demografi penonton
TV. Dari ES, akan didapatkan jumlah rumah tangga (berusia 5 tahun ke atas) yang
memiliki TV yang berfungsi dengan baik atau disebut populasi TV. Penyebaran
sampel tidak sama di setiap kota, yaitu Jakarta 55 %, Surabaya 20 %, Bandung 5 %,
Yogyakarta 5 %, Medan 4 %, Semarang 3 %, Palembang 3 %, Makassar 2 %,
Denpasar 2 %, dan Banjarmasin 1 %. Angka ini proporsional berdasarkan populasi
kepemilikan televsisi di tiap-tiap kota itu. Kepemilikan televisi di Jakarta, misalnya,
55 % terhadap total 10 kota, maka jumlah sampelnya 55 %. Dari data tersebut
kemudian dilakukan pembagian SES (Social Economic Status) berdasarkan populasi
yang persentasenya tidak sama antara kelas A, B, C, D dan E. Data yang diambil
adalah pola kebiasaan penonton.

Status Sosial Ekonomi
NO KELAS RANGE PENDAPATAN
1 A1 Rp 3.000.001 keatas
2 A2 Rp 2.000.001 Rp 3.000.000
3 B Rp 1.500.001 Rp 2.000.000
4 C1 Rp 1.000.001 Rp 1.500.000
5 C2 Rp 700.001 Rp 1.000.000
6 D Rp 500.001 Rp 700.000
7 E Rp 500.001 ke bawah
Sumber AGB Nielsen Media Research

Istilah yang biasa digunakan dalam menghitung rating dan share pemirsa
adalah universe dalam pengertian AGB Nielsen merupakan total individu/rumah
pada populasi, yaitu rumah tangga televisi. Sedangkan target penonton
merupakan kelompok individu didalam komunitas yang terpilih sebagai target atau
kelompok individu yang paling cocok untuk jadwal atau kampanye iklan tertentu.
Adapun bagaimana cara menghitung rating program adalah rata-rata jumlah
penonton selama berlangsungnya program televisi yang dinyatakan dalam
persentase dari total potensi atau kelompok sampel. Point rating program
didasarkan atas unit waktu terkecil, yaitu 1 menit.



Jumlah pemirsa program televisi x 100%
Total populasi (universe)
Rating iklan =



Sedangkan menghitung rating iklan adalah rata-rata jumlah penonton
selama jeda iklan yang dinyatakan dalam persentase dari total potensi atau
kelompok sampel. Rating iklan juga didasarkan atas unit waktu terkecil, 1 menit.


Share adalah persentase yang menonton program tertentu dari penonton
potensial pada periode waktu tertentu. Agar lebih lengkapnya mencari share,
pembilang merupakan jumlah penonton suatu program televisi A pada waktu
tertentu dibagi jumlah penonton program televisi lainnya selain televisi A pada
waktu yang sama.
.
Populasi pemilik televisi 10.000
TV A 2000
TV B 1000
TV C 1000
Viewers = 4000

Maka rating TV A = 20%, rating TV B = 10%, rating TV C = 10%, sedangkan channel
sharenya TV A = 50% , share TV B = 25% dan share TV C = 25%.

Cara mencari biaya yang diperlukan untuk menjangkau 1000 individu pada target
penonton tertentu disebut cost per thousand (CPM).

Jumlah pemirsa program televisi x 100%
Total populasi (universe)
Rating program =
Rating program x 100%
Rating total
Share =
Harga iklan (rate card) x 100
Jumlah Penonton

Harga iklan (rate card) x 100
Rating
CPM =
CPRP =

Cost per rating point (CPRP) merupakan biaya yang diperlukan untuk menjangkau 1
persen individu pada target penonton tertentu. Oleh sebab itu setiap pengiklan
dan agen periklanan dapat mengetahui berapa nilai rupiah yang dikeluarkan untuk
membeli setiap spot iklan distasiun televisi per 1 penonton. Semakin kecil nilai CPRP-
nya akan semakin efisien pengeluaran iklan yang dibelanjakan.

KEPEMIRSAAN TELEVISI MELALUI RATING & SHARE
Dalam industri televisi, program yang dibuat hanya untuk mengejar rating.
Rating menjadi tujuan utama sebuah program. Ketika rating menjadi tujuan
utama suatu program televisi maka pada gilirannya akan melahirkan budaya
industri televisi yang tidak sehat juga, yang mengesahkan berbagai aspek
kekerasan, baik kekerasan modal, perilaku, simbol, bahasa, hingga konsumerisme
sebagai tontonan. Salah satu penyebabnya adalah karena rapuhnya kebijakan
industri televisi sejak awalnya, yang menjadikan jumlah stasiun televisi berskala
nasional tidak sebanding dengan kue iklannya dan geopolitik serta demografi
masyarakatnya. (Nugroho, 2005:163).
Ketika suatu program sukses meraih rating yang tinggi maka bisa dipastikan
akan muncul program-program sejenis dalam televisi Indonesia. Padahal rating
tidak bisa dijadikan acuan kepantasan sebuah program televisi. Menurut Sudibyo
(2009: 178-179) ada beberapa alasan kenapa rating tidak memadai untuk menjadi
acuan utama dalam menentukan standar kepantasan program-program televisi.
Pertama, media rating sesungguhnya sama sekali tidak berurusan dengan
masalah kepantasan, kelayakan, dan kualitas program siaran. Rating adalah
metode pengukuran tindakan pemirsa televisi (tindakan menonton program
televisi) bukan metode untuk mengetahui persepsi dan perasaan pemirsa
terhadap program yang mereka tonton.
Kedua, media-rating tidak didesain untuk membedakan antara apa
yang dibutuhkan publik dan apa yang ditonton publik. Media rating murni
penghitungan program apa yang paling banyak ditonton oleh publik
segmented di 10 kota besar, yang diasumsikan dapat menggambarkan
program yang paling banyak ditonton pemirsa televisi. Benarkah apa
yang paling banyak ditonton itu bermanfaat bagi pemirsa? Benarkah apa
yang diminati pemirsa televisi itu benar-benar substansial bagi publik? Hal
tersebut tidak menjadi perhatian riset media rating.


Ketiga, tidak memadainya opini publik tentang tayangan televisi direduksi ke
dalam hasil rating juga dapat ditinjau dari identifikasi publik atau pemirsa
yang dimaksud dalam penyelenggaraan rating.

Sejauh ini pertelevisian Indonesia menggunakan data rating sebagai
kebijakan para programmer televisi. Data rating yang dibeli dari AGB Nielsen bisa
ditelaah dengan mudah oleh bagian departemen programming televisi maupun
oleh production house atau agency. Data berupa grafik dan angka suatu acara di
televisi A bisa dikomparasi dengan acara di televisi B di waktu yang sama. Program
acara juga bisa dilihat minutes by minute, sehingga bisa terbaca pada menit ke
berapa acara ditonton banyak orang dan kapan mulai ada penurunan. Jadi selain
head to head dengan program lain, data rating acara televisi juga bisa dilihat
secara detail bagaimana trend pemirsa menonton acara tersebut.
Kebijakan tersebut memberikan beberapa dampak negatif dari
diberlakukannya rating sebagai berhala oleh insan dalam industri televisi. Dampak
pertama adalah seragamnya jenis tayangan dan pola siaran. Jadi, bila reality show
sedang naik daun, semua stasiun televisi akan berlomba program sejenis, dan bila
perlu jam tayangnya sama persis; sehingga menghasilkan pola acara yang mirip.
Pola seragam acara itu membuat masyarakat yang tidak punya para bola atau TV
kabel tidak punya pilihan lain. Dampak kedua adalah isi siaran yang bersifat
Jakartacentris yaitu situasi yang membuat Indonesia seakan hendak dikerdilkan
hanya menjadi Jakarta. Banyak remaja merasa ketinggalan zaman jika dirinya tidak
menggunakan slogan-slogan yang sering disebut remaja Jakarta. Hal itu
mengakibatkan keragaman budaya bisa menjadi raib. Dampak ketiga adalah
kurang diutamakannya unsur edukatif (tanpa menggurui atau menceremahi) bagi
perkembangan anak dan remaja. Kerapkali tayangan yang dianggap mendidik
justru sebaliknya. Dalam tayangan misteri dan hantu misalnya, tampilan ulama
seringkali hanya dimaksudkan sebagai tempelan, sekedar pembenaran apa yang
ditayangkan sebelumnya. Sangat sulit menentukan apakah kelompok tayangan
tersebut meningkatkan iman dan takwa kepada sang Khalik atau sebaliknya
menaikan pamor kaum paranormal sebagai dewa penyelamat kita terhadap
gangguan makhluk ghaib. Dampak keempat adalah tidak terlindunginya
khususnya bagi anak dan remaja dari tayangan yang memuat kekerasan verbal
dan visual. Kekerasan verbal yang dimaksud adalah segala macam makian,

sumpah serapah dan kalimat lain yang tidak mendidik. Dalam sinetron dan
telenovela yang bermotif balas dendam dan atau perselingkuhan. Kita dapat
mendengar banyak kata, frasa dan kalimat yang sesungguhnya tidak sesuai
dikonsumsi oleh anak dan remaja. (Heru Effendy, 2008: 13-14).
Tingginya rating suatu program belum tentu diikuti dengan kualitas program
tersebut. Jika dikatakan unggulan atau kualitas, adalah dalam konteks pendapatan
iklan belaka. Oleh karena itu, semua tidak bisa dibenarkan, ketika lembaga rating
menjadi faktor yang menentukan apakah program tersebut berkualitas atau malah
hanya kuantitas. Bahkan program-program yang menempati rating tinggi rentan
berbau sensual yang sesungguhnya tidak layak ditayangkan.

























BAB I I I
PENUTUP

KESIMPULAN
Babak baru pertelevisian di Indonesia, yang ditandai dengan diberikannya
izin dan frekuensi siaran televisi swasta di Indonesia, pada akhirnya melahirkan
persaingan antarstasiun televisi yang melakukan siaran di Indonesia. Persaingan
antarstasiun televisi tersebut ditandai dengan persaingan antarprogram atau acara
televisi. Melalui program acara tersebut, stasiun televisi berusaha untuk menarik
sebanyak dan selama mungkin menonton acara atau stasiun televisi mereka.
Keberhasilan merebut penonton sebanyak dan selama mungkin akan
memudahkan stasiun televisi tersebut untuk mendapatkan iklan, yang menjadi
sumber pemasukan utama dari banyak stasiun televisi swasta.
Meski masing-masing stasiun televisi berusaha untuk menyajikan program
acara terbaik mereka, bukan berarti penonton dapat dikatakan mendapatkan sisi
positif dari adanya persaingan antar stasiun televisi tersebut. Jika dilihat dari jumlah
episode maupun jumlah judul program yang ditayangkan selama ini, memang
terlihat terjadinya peningkatan secara kuantitas. Namun penambahan jumlah
tersebut tidak dibarengi dengan keragaman jenis program, keragaman isi atau
kreatifitas program maupun keragaman talent atau pengisi acara dari semua
program-program yang ditayangkan, yang akhirnya membuat penonton lebih
banyak mendapatkan sisi negatif dari persaingan yang terjadi antar stasiun televisi
tersebut. Tidak banyak keragaman jenis program, ini terlihat dari hanya jenis
program drama dan pertandingan olahraga misalnya, masih menjadi tayangan
yang dominan. Bukti lain dari tidak adanya keragaman jenis program terlihat dari
hanya beberapa jenis program saja yang berhasil menjaring penonton terbanyak.
Sementara untuk tidak banyaknya keragaman isi, bisa dilihat mulai banyaknya
program-program yang sekedar mencontek ide program sukses sebelumnya.
Sementara untuk tidak banyaknya keragaman talent, bisa terlihat dari banyaknya
talent yang selalu ada di banyak program acara di berbagai stasiun televisi.
Dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia yang miskin dan berdaya beli
rendah. Bagi mereka, menonton televisi adalah salah satu alternatif mendapatkan
hiburan dan informasi yang terjangkau tanpa berbayar. Masyarakat menonton

televisi terutama bukan karena kualitas atau kebutuhan, melainkan lebih karena
keterbatasan saluran informasi dan hiburan yang terjangkau oleh masyarakat. Oleh
karena itulah dibutuhkan kesadaran bagi pelaku industri televisi untuk
mengupayakan program hiburan televisi yang bukan saja menghibur tetapi juga
mendidik dan bermanfaat bagi masyarakat.
Mensinergikan kearifan lokal dengan industri hiburan televisi merupakan
alternatif untuk mendapatkan hiburan yang bermutu. Perlu usaha dan semangat
yang keras untuk mewujudkan hiburan yang cerdas tersebut. Dengan kemauan
yang keras, pelaku industri televisi seyogyanya bisa menjadikan tontonan sebagai
tuntunan di masyarakat.

























DAFTAR PUSTAKA

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media.
Jakarta: Kompas Gramedia.
Vinet, Mark. 2005. Entertainment Industry: The Business of Music, Books,
Movies, TV, Radio, Internet, Video Games, Theater, Fashion, Sports, Art,
Merchandising, Copyright, Trademarks and Contracts. Canada:
Wadem Publishing.
Clancy, K.J. dan Shulman. R.S. The Marketing Revolution, Harper Business,
1991 dalam Rhenald Kasali, Membidik Pasar Indonesia.
Kasali, Rhenald. 2001. Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting
dan Positioning, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://www.mahanani.web.id/2012/04/perkembangan-pertelevisian-
dunia-dan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_stasiun_televisi_di_Indonesia
http://arazakirfan89.blogspot.com/2012/07/segmentasi-targeting-
positioning.html
http://fery-dedi.blogspot.com/2012/08/mekanisme-perhitungan-
rating-tv-indonesia.html
http://allaboutduniatv.blogspot.com/2011/12/apa-itu-rating-dan-
share.html
http://artikeldanopini.blogspot.com/2013/10/mencerdaskan-generasi-
bangsa-dengan.html

Anda mungkin juga menyukai