Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
tipe dan luasnya. Fraktur terjadi ketika tulang diberikan stres lebih besar
dari kemampuannya untuk menahan (Sapto Harnowo, 2002). Umumnya
fraktur disebabkan oleh trauma atau aktivitas fisik di mana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur lebih sering terjadi pada laki-
laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas di
Indonesia cenderung turun, yaitu 47.401 orang pada tahun 1989 menjadi
32.815 orang pada tahun 1995. Rasio jumlah korban cedera sebesar 16,80
per 10.000 penduduk dan rasio korban meninggal sebesar 5,63 per
100.000 penduduk. Angka kematian tertinggi berada di wilayah
Kalimantan Timur yaitu 11,07 per 100.000 penduduk dan terendah di Jawa
Tengah, yaitu sebesar 2,67 per 100.000 penduduk (Lukman, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat tahun 2005 terdapat lebih
dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2
juta orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang
memiliki prevalensi cukup tinggi yakni insiden fraktur ekstremitas bawah
yakni sekitar 46,2% dari insiden kecelekaan yang terjadi. Fraktur
merupakan suatu keadaan dimana terjadi diistegritas tulang, penyebab
terbanyak adalah insiden kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses
degeneratif juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Depkes RI,
2007).
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2007
didapatkan sekitar delapan juta orang mengalami kejadian fraktur dengan
2

jenis fraktur yang berbeda dan penyebab yang berbeda, dari hasil survey
tim depkes RI didapatkan 25% penderita fraktur yang mengalami
kematian, 45 mengalami cacat fisik, 15% mengalami stress psikologis
karena cemas dan bahkan depresi, dan 10% mengalami kesembuhan
dengan baik. Respon cemas (ansietas) adalah reaksi normal terhadap
ancaman stress dan bahaya. Ansietas merpakan reaksi emosional terhadap
persepsi adanya bahaya, baik yang nyata maupun yang dibayangkan.
respon cemas merupakan reaksi umum yang terjadi terhadap perubahan
status kesehatan yang dirasakan sebagai ancaman: ancaman umum
terhadap kehidupan, kesehatan dan keutuhan tubuh, pemajanan dan rasa
malu, ketidaknyaman akibat nyeri dan keterbatasan gerak.
Dari latar belakang diatas dapat diketahui bahwa fraktur memiliki
prevalensi yang cukup tinggi. Apabila dilihat data prevalensi yang
diperoleh, Sebagai perawat tentunya akan berusaha semaksimal mungkin
memberikan perawatan terhadap penderita fraktur / patah tulang secara
menyeluruh proses pemulihan dan penyembuhan dapat lebih cepat tanpa
adanya komplikasi dari penyakit tersebut. Untuk itulah penulis
memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan fraktur dalam
sebuah karya tulis yang berjudul, "Asuhan Keperawatan pada Pasien
Gawat Darurat Fraktur dan Dislokasi " dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal.

1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui asuhan keperawatan pada pasien
gawat darurat fraktur dan dislokasi.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui : pengertian fraktur dan
dislokasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan
diagnostik, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan.

3

1.3 Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data untuk penulisan makalah ini, penulis
menggunakan beberapa metode, yaitu :
1.3.1 Studi literature yang terdapat dalam buku-buku maupun yang
terdapat dari sumber internet.
1.3.2 Diskusi kelompok.

1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari tiga Bab yang
disusun sebagaiberikut :
BAB I = Pendahuluan
BAB II = Pembahasan
BAB III = Penutup















4

BAB II
KONSEP DASAR FRAKTUR

2.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya. (Smelter&Bare,2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh
rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan
krepitasi (Doenges, 2000).
Fraktur atau sering disebut patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang penyebabnya dapat
dikarenakan penyakit pengeroposan tulang diantaranya penyakit yang
sering disebut osteoporosis, biasanya dialami pada usia dewasa. Dan dapat
juga disebabkan karena kecelakaan yang tidak terduga (Masjoer, A, 2000).

2.2 Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
a. Trauma Langsung : Kecelakaan lalu lintas.
b. Trauma tidak langsung: Jatuh dari ketinggian dengan berdiri atau
duduk sehingga terjadi fraktur tulang belakang.
c. Proses penyakit (osteoporosis yang menyebabkan fraktur yang
patologis).
Menurut Oswari E (1993), fraktur terjadi karena adanya :
a. Kekerasan langsung Terkena pada bagian langsung trauma.
b. Kekerasan tidak langsung Terkena bukan padabagian yang terkena
trauma.
5

c. Kekerasan akibat tarikan otot.
Sedangkan Menurut Barbara C Long (1996), fraktur terjadi karena adanya:
a. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan).
b. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan).
c. Patah karena letih.

2.3 Tanda dan Gejala
a. Look
1) Deformitas
Penonjolan yang abnormal misalnya fraktur condylus
lateralis humerus.
Rotasi.
Pemendekan.
Odema.
Laserasi.
Fungsi laesa : Hilangnya fungsi misalnya pada fraktur cruris
tidak dapat berjalan dan pada fraktur antebrachi tidak dapat
menggunakan lengan.
b. Feel
1) Terdapat nyeri tekan dan nyeri sumbu.
2) Kejang otot.
3) Hilang sensasi.
c. Move
1) Krepitasi.
Terasa krepitasi bila fraktur digerakkan tetapi ini bukan
cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul oleh
pergeseran / beradunya ujung-ujung tulang kortikal. Pada tulang
spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi.
2) Nyeri
Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun
pasif.
6

3) Gangguan Fungsi.
4) Gerakan yang tidak normal
Gerakan yang terjadi tidak pada sendi misalnya
pertenganhan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti yang
paling penting adanya fraktur yang membuktikan adanya
putusnya kontuinitas tulang sesuai defenisi fraktur. Hal ini
penting untuk membuat visum misalnya bila tidak ada fasilitas
pemeriksaan rontgen.

2.4 Klasifikasi
a. Menurut jumlah garis fraktur
Simple fraktur hanya terdapat satu garis fraktur.
Multiple fraktur terdapat lebih dari satu garis.
Camminute fraktur terjadi banyak garis fraktur atau banyak
fragmen kecil yang terlepas.
b. Menurut garis fraktur
Fraktur inkomplit tulang tidak terpotong secara total.
Fraktur komplit tulang terpotong secara total.
Hair line fraktur garis fraktur hampir tak tampak sehingga
bentuk tulang tak ada perubahan.
c. Menurut bentuk fragmen
Fraktur transversal bentuk fragmen melintang.
Fraktur oblique bentuk fragmen miring.
Fraktur spiral bentuk fragmen melingkar.
d. Menurut hubungan antara fragmen dengan dunia luar.
Fraktur terbuka : fragmen tulang sampai menembus kulit. Fraktur
terbuka dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yaitu :
1. Pecahan tulang menusuk kulit, kerusakan jaringan sedikit,
kontaminasi ringan, luka < 1 cm.
2. Kerusakan jaringan sedang, potensial infeksi lebih besar, luka
> 1 cm (misalnya fraktur Komminutive).
7

3. Luka besar sampai lebih kurang 8 cm, kehancuran otot
kerusakan neurovaskuler, kontaminasi besar misalnya luka
tembak.
Menurut R. Gustillo, fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat
yaitu :
1. Derajat I
Luka < 2 cm
Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk.
Fraktur sederhana, transversal, oblik atau kominutif
ringan.
Kontaminasi minimal
2. Derajat II :
Laserasi > 2 cm.
Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi.
Fraktur kominutif sedang.
Kontaminasi sedang.
3. Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi
derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas :
a. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau
fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan
oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
b. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi masif.
c. Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
8

Fraktur tertutup : fragmen tulang tak berhubungan dengan dunia
luar.

2.5 Patofisiologi
Fraktur terjadi bila ada interupsi dari kontinuitas tulang. Biasanya,
fraktur di sertai cidera jaringan di sekitar yaitu ligament, otot, tendon,
pembuluh darah dan persarafan.Fraktur bisa juga di sebabkan karena
trauma ataupun karena suatu penyakit, missal osteoporosis. Trauma yang
terjadi pada tulang dapat menyebabkan fraktur dan akan mengakibatkan
seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri
pergerakan jaringan lunak yang terdapat di sekitar fraktur, missal
pembuluh darah, saraf, dan otot serta organ lainnya yang berdekatan dapat
di rusak. Pada waktu trauma ataupun karena mencuatnya tulang yang
patah, apabila kulit sampai robek akan mengakibatkan luka terbuka dan
akan mengakibatkan seseorang beresiko terkena infeksi.
Tulang memiliki banyak pembuluh darah ked lam jaringan lunak
atau luka yang terbuka. Luka dan keluarnya darah dapat mempercepat
pertumbuhan bakteri.
Pada osteoporosis secara tidak langsung mengalami penurunan
kadar kalsium dalam tulang. Dengan berkurangnya kadar kalsium dalam
tulang lama kelamaan tulang menjadi rapuh sehingga hanya trauma
minimal saja atau tanpa trauma sedikitpun akan mengakibatkan
terputusnya kontinuitas tulang yang di sebut fraktur.
Tingkatan pertumbuhan tulang :
1. Hematoma Formation ( Pembentukan Hematoma )
Karena pembulih darah cedera maka terjadi pada daerah
fraktur dan kedalam jaringan di sekitar tulang tersebut. Reaksi
peradangan hebat timbul setelah fraktur. Sel sel darah putih
dan sel most terakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darah ke tempat tersebut. Darah menumpuk dan mengeratkna
9

ujung ujung tulang yang patah dan fagositosis dan
pembersihan sisa sisa sel mati dimulai.
2. Fibrin Mesk Work ( Pembentukan Fibrin )
Hematom menjadi terorganisasi karena fibrablast masuk
lokasi cidera, membentuk mesk work (gumpalan fibrin) dan
berfungsi sebagai jala untuk melekatkan sel-sel baru.
3. Invasi Osteoblast
Osteoblast masuk ke daerah fibrosis untuk mempertahnkan
penyambungan tulang dan merangsang pembentukan tulang
baru imatur (callus). Pembuluh darah berkembang mengalirkan
nutrisi untuk membentuk collagen. Untaian collagen terus di
satukan dengan kalsium.
4. Callus Formation ( Pembentukan Callus )
a. Osteoblast terus membuat jalan untuk membangun tulang.
b. Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu
mensintesa tulang baru.
c. Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit
kalsium.
5. Remodelling
Bekuan fibrin di reabsorpsi dan sel sel tulang baru secara
perlahan mengalami tulang sejati. Tulang sejati menggantikan
callus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.
Penyembuhan memerlikan waktu beberapa minggu sampai
beberapa bulan. Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat
apabila hematom fraktur atau callua rusak sebelum tulng sejati
terbentuk atau apabila sel sel tulang baru rusak selam proses
kalsifikasi dan pengerasan.
10



2.6 Tahap dan Proses Penyembuhan Tulang
a. Haematom : dari pembuluh darah yang pecah.
Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan terjadi hematoma
di sekitar fraktur. Setelah 24 jam suplai darah ke ujung fraktur
meningkat, hematoma ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi
selama penyembuhan tapi berubah dan berkembang menjadi
granulasi.
b. Proliferasi sel
Sel - sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada
sekitar fraktur, di mana sel sel ini menjadi precusor dari osteoblast,
11

osteogenesis ini berlangsung terus, lapisan fibrosa periosteum
melebihi tulang. Setelah beberapa hari kombinasi dari periosteum
yang meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung
fraktur.
c. Pembentukan callus
Enam sampai sepuluh hari setelah fraktur jaringan granulasi
berubah dan membentuk callus. Sementara pembentukan cartilago
dan matrik tulang diawali dari jaringan callus yang lunak. Callus ini
bertambah banyak, callus sementara meluas, menganyam massa
tulang dan cartilago sehingga diameter tulang melebihi normal. Hal
ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan
callus sementara ini meluas melebihi garis fraktur.
d. Ossification
Callus yang menetap / apermanen menjadikan tulang kaku
karena adanya penumpukan garam garam calcium dan bersatu
bersama ujung ujung tulang. Proses ossifikasi ini mulai dari callus
bagian luar kemudian bagian dalam dan terakhir bagian tengah.
Proses ini terjadi selama 3 10 minggu.
e. Konsolidasi dan Remodelling.
Pada waktu yang sama pembentukan tulang yang sebenarnya
callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast. Kelebihan
kelebihan tulang seperti dipahat dan diabsorbsi dari callus. Proses
pembentukan lagi ditentukan oleh beban tekanan dari otot.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik yang dilakukan meliputi :
a. Rontgen
Menunjukkan lokasi / luasnya fraktur / trauma.
b. Scan tulang, tonogram, CT scan / MRI
Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
12

c. Arteriogram
Bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
d. Hitung darah lengkap
Hematokrit mungkin meningkat atau menurun. Peningkatan jumlah
sel darah putih adalah respon stress normal terhadap trauma.
e. Kreatinin
Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi
Perubahan dapat terjadi pad kehilangan darah, transfusi, multipel /
cedera hati.
Pada semua tipe fraktur, proses penyembuhan fraktur berhubungan
dengan proses penyembuhan tulang. Sedangkan pada dislokasi dilakukan
pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan apakah
disertai dengan fraktur.

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada kasus fraktur
A. Therapi konservatif
1. Proteksi saja
Misalnya mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri
dengan kedudukan baik.
2. Immobilisasi saja tanpa reposisi
Misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkoplit
dan fraktur dengan kedudukan baik.
3. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips.
Misalnya fraktur distal radius, immobilisasi dalam pronasi
penuh dan fleksi pergelangan.
4. Traksi
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi
hingga penuh / dipasang gips setelah tidak sakit lagi.

13

B. Therapi operatif
1. Terapi operatif dengan reposisi secara tetrtutup dengan bimbingan
radiologis.
a. Reposisi tertutup Fiksasi externa
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis
intraoperatif maka dipasang alat fiksasi externa.
b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi
interna, misalnya reposisi tertutup fraktur condylair humerus
pada anak diikuti dengan pemasangan paralel pins. Reposisi
tertutup fraktur colum pada anak diikuti pinning dan
immobilisasi gips. Cara ini sekarang terus berkembang menjadi
Close Nailing pada fraktur femur dan tibia yaitu pemasangan
fiksasi interna intra meduller (pen) tanpa membuka frakturnya.
2. Therapi operatif dengan membuka frakturnya:
a. Reposisi terbuka dan fiksasi interna.
ORIF (Open reduction and internal fixation).
Keuntungan cara ini adalah : reposisi anatomis dan
mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
- Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avanculair
tinggi , misalnya : fraktur talus dan fraktur collum
femur
- Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup, misalnya :
fraktur avulsi dan fraktur dislokasi.
- Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan,
misalnya ; fraktur monteggia, fraktur galeazzi, fraktur
antebrachi, dan fraktur pergelangan kaki.
- Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil
yan glabih baik dengan operasi, misalnya : fraktur
femur.

14

b. Excisional Arthrplasty
Membuang fragmen yang patah yang memnentuk sendi,
misalnya : fraktur caput radii pada orang dewasa, dan fraktur
collum femur yang dilakukan operasi.
c. Excisi fragmen dan pemasangan endoprosthesis.
Dilakukan excisi caput femur dan pemasangan
endoprosthesis / yang lainnya. Sesuai tujuan pengobatan fraktur
yaitu untuk mengembalikan fungsi maka sejak awal harus
dipertimbangkan latihan-latihan untuk menceegah atropi otot
dan keakuan sendi, disertai mobilisasi dini.
3. Pengobatan Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka aadalah suatu keadaan darurat yang
memerlukan penanganan dengan segera. Tindakan sugah harus
dimulai dari fase pra - Rumah sakit :
a. Pembidaian.
b. Menghentikan perdarahan dengan verban tekan.
c. Mengehentikan perdarahan besar dengan klem.
Tiba di UGD rumah sakit harus segera periksa menyeluruh
oleh karena 40% dari fraktur terbuka merupakan kasus
polytrauma. Tindakan life-saving harus segera didahulukan
dalam rangka kerja terpadu (Team work).

2.9 Komplikasi
A. Komplikasi dini
1. Lokal :
a. Vaskuler :
- Compartemen syndrome (Volkmann`s Ischemia).
- Trauma vaskular
b. Neurologis :
- Lesi medula spinalis atau staraf perifer.

15

B. Komplikasi lanjut :
Kekakuan sendi / kontraktur.
Disuse atropi otot-otot.
Malunion.
Tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
Delayed union.
Proses penyembuhan yang terus berjalan tetapi dengan kecepatan
yang lebih lambat dari keadaan normal.
Nonunion / Infected nonunion
Tulang tidak menyambung kembali.
Gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis).
Osteoporosis post trauma.












16

BAB III
KONSEP DASAR DISLOKASI

3.1 Definisi
Keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi
berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi) (brunner &
suddarth).
Keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.
(Arif Mansyur, dkk. 2000).
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi. ( Buku Ajar Ilmu Bedah, hal 1138).

3.2 Etiologi
Dislokasi terjadi saat ligarnen memberikan jalan sedemikian rupa
sehingga tulang berpindah dari posisinya yang normnal di dalam sendi.
Dislokasi dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau trauma karena
dapatan (acquired) atau karena sejak lahir (kongenital).
Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang
disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena
kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Cedera Olah Raga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola,
hoki, serta olah raga yang beresiko jauth misalnya : terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola
paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari kaki
karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
17

2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga, benturan keras
pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
3. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang
licin.
4. Patologis, terjadinya tear ligament dan kapsul articuler yang
merupakan komponen vital penghubung tulang.

3.3 Tanda dan Gejala
1. Deformitas
- Hilangnya tonjolan tulang yang normal, misalnya trauma ekstensi
dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu.
- Pemendekan astau pemanjangan (misalnya dislokasi anterior sendi
panggul).
- Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu, misalnya dislokasi
posterior sendi panggul kedudukan endorotasi, fleksi dan aduksi.
2. Nyeri.
3. Functio Laesa, misalnya bahu tidak darat endorotasi pada dislokasi
anterior bahu.

3.4 Klasifikasi
1. Dislokasi Congenital :
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan, Congenital
dislocation berhubungan dengan congenital deformities.
2. Dislokasi Patologis :
Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya
tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang.
3. Dislokasi Traumatik :
Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat
oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang
18

kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya
dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan sistem
vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Traumatic dislocation, biasanya disertai benturan keras.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Dislokasi akut umumnya terjadi pada shoulder, elbow dan hip.
2. Dislokasi kronik.
3. Dislokasi berulang.
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi
dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut
dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello
femoral joint.

3.5 Pengobatan
1. Lakukan reposisi segera.
2. Dislokasi sendi kecil dapat diresposisi ditempat kejadian tanpa
anastesi, misalnya disloksi siku, dislokasi jari (pada fase syok).
Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anastesi lokal
dan obat penenang misalnya valium.
3. Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anastesi umum.
Dalam penanganan kasus dislokasi dapat dilakukan dengan
pemberian terapi medika mentosa, reposisi dan program rehabilitasi yaitu
sebagai berikut :
1. Reposisi
- MUA (Manipular Under General Anastesi).
- Hanging Arm Teknik.
- Hipocratic Methode.
- Kocher.
- Eksternal Rotasi Metode :traksi pada humerus distal
kemudian eksternal rotasi formarm secara pelan-
pelan.hentikan jika terjadinya nyeri.
19

2. Terapi Medika Mentosa
- Analgetik opioid diberikan untuk mengurangi nyeri dengan
kualitas tinggi.
- Suntikan intrarticular dan anastetik regional teknik telah
dilaporkan sukses membantu dalam mereduksi dislokasi
shoulder.
- Prosedural sedasi dan analgesi umumnya digunakan untuk
memperoleh control nyeri yang adekuat dan relaksan otot
untuk reduksi.Prosedural sedasi dan analgesi {PSA}yang
digunakan Morphine dan midazolam memperlamlambat
perawatan di department emergensi serta bebas
komplikasi.[emedicene]Etomidate,fentanyl/midazolam,keta
mine, atau propofol umumnya digunakan untuk PSA.
3. Program Rehabilitasi
a. Non operatif Rehabilatation
Penanganan rehabilitasi non operatif bertujuan
untuk mengoptimalkan stabilisasi sendi bahu, sebab
komplikasi dislokasi berulang banyak terjadi.
Menghindari maneuver yang bersifat provokativ dan
penguatan otot secara hati-hati merupakan
komponen penting dalam program rehabilitasi.
Minggu 0 2, Hindari provokatif posisi termasuk
eksternal rotasi, Abduksi dan Distrak.
Immobilisasi tergantung umur.
- Kurang dari 20 tahun 3-4 minggu.
- 20-30 tahun 2-3 minggu.
- Lebih dari 30- 10 hari sampai 2 minggu.
- Lebih dari 40 tahun 3-5 hari.
Program dilanjutkan secara bertahap untuk
pemulihan fungsi sesuai prosedu rehabilitasi yang telah
ditetapkan.
20

b. Operatif Treatment
Tujuan utama rehabilitasi adalah :
- Memulihkan ROM fungsional secara full.
- Meningkatkan stabilitas Dynamik.
- Kembali aktivitas yang tak dibatasi dan olahraga.

3.6 Komplikasi Dislokasi
1. Komplikasi Dini
a. Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang
mati rasa pada otot tesebut.
b. Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
2. Fraktur Dislokasi.
3. Komplikasi lanjut.
a. Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu ,terutama pada pasien yang
berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral ,yang secara
otomatis membatasi Abduksi.
b. dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau
kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid.
c. kelemahan otot.







21

BAB IV
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Adanya sumbatan / obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
b. Breathing
Kelemahan menelan / batuk / melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara
nafas terdengar ronchi / aspirasi.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis
pada tahap lanjut.
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
- kehilangan fungsi pada bagian yang terkena.
- Keterbatasan mobilitas.
b. Sirkulasi.
c. Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri / ansietas ).
- Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah).
- Tachikardi.
- Penurunan nadi pada bagian distal yang cidera.
- Capilary refil melambat.
- Pucat pada bagian yang terkena.
- Masa hematoma pada sisi cedera.
22

d. Neurosensori
- Kesemutan.
- Kelemahan.
- Deformitas lokal, agulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit), spasme otot, terlihat kelemahan /
hilang fungsi.
- Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / anxietas.
e. Kenyamanan
- Nyeri hebat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin
terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang, dapat
berkurang deengan imobilisasi) tak ada nyeri akibat
keruisakan syaraf.
- Spasme / kram otot (setelah immobilisasi).
f. Keamanan
- laserasi kulit.
- Perdarahan.
- Perubahan warna.
- Pembengkakan local
Selain pengkajian diatas, pada kasus dislokasi juga perlu dilakukan
pengkajian berupa :
a. Anamnesis :
- Ada trauma.
- Mekanisme trauma yang sesuai, misalnya trauma ekstensi dan
eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu.
- Ada rasa sendi keluar.
- Bila trauma minimal, hal ini dapat terjadi pada dislokasi rekurens
atau habitual.
- Oedema.
- Sulut/tidak dapat bergerak.

23

b. Pemeriksaan Klinis :
- Deformitas
Hilangnya tonjolan tulang yang normal, misalnya deltoid
yang rata pada dislokasi bahu. Pemendekan atau pemanjangan
(misalnya dislokasi anterior sendi panggul). Kedudukan yang khas
untuk dislokasi tertentu, misalnya dislokasi posterior sendi
panggul kedudukan panggul endorotasi, fleksi dan adduksi.
- Nyeri.
- Funcio laesa, misalnya bahu tidak dapat endorotasi pada dislokasi
bahu anterior.

4.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur
terbuka : bedah permukaan ; pemasangan kawat, perubahan
sensasi, sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi
fisik.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler.
3. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer
berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung,
edema berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan.

4.3 Intervensi Keperawatan
Dx.1
Kerusakan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan fraktur
terbuka : bedah permukaan ; pemasangan kawat, perubahan sensasi,
sirkulasi, akumulasi eksresi atau sekret / immobilisasi fisik.
Tujuan : Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi.

24

Kriteria Hasil :
- Penyembuhan luka sesuai waktu.
- Tidak ada laserasi, integritas kulit baik.
Intervensi :
1. Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan, perdarahan,
perubahan warna.
Rasional : Memberikan informasi gangguan sirkulasi kulit dan
masalah-masalah yang mungkin disebabkan oleh penggunaan
traksi, terbentuknya edema.
2. Massage kulit dan tempat yang menonjol, pertahankan tempat
tidur yang kering dan bebas kerutan.
Rasional : Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko
abrasi/kerusakan kulit.
3. Rubah posisi selang seling sesuai indikasi.
Rasional : Mengurangi penekanan yang terus-menerus pada
posisi tertentu.
4. Gunakan bed matres / air matres.
Rasional : Mencegah perlukaan setiap anggota tubuh dan untuk
anggota tubuh yang kurang gerak efektif untuk mencegah
penurunan sirkulasi.
Dx.2
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar fraktur dan kerusakan rangka neuromuskuler.
Tujuan : Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
- Klien akan meningkat/ mempertahankan mobilitas pada tingkat
kenyamanan yang lebih tinggi.
- Klien mempertahankan posisi /fungsional.
- Klien meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit dan
mengkompensasi bagian tubuh.
- Klien menunjukkan teknik yang mampu melakukan aktifitas.
25

Intervensi :
1. Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan
dan perhatikan persepsi pasien terhadap imobilisasi.
Rasional : Mengetahui persepsi diri pasien mengenai
keterbatasan fisik aktual, mendapatkan informasi dan
menentukan informasi dalam meningkatkan kemajuan
kesehatan pasien.
2. Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik/rekreasi dan
pertahankan rangsang lingkungan.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan
energi, memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa
kontrol diri dan membantu menurunkan isolasi sosial.
3. Instruksikan dan bantu pasien dalam rentang gerak aktif/pasif
pada ekstremitas yang sakit dan yang tak sakit.
Rasional : Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk
meningkatkan tonus otot, mempertahankan gerak sendi,
mencegah kontraktur/atrofi dan respon kalsium karena tidak
digunakan.
4. Tempatkan dalam posisi telentang secara periodik bila
mungkin, bila traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur
tungkai bawah.
Rasional : Menurunkan resiko kontraktur fleksi panggul.
Dx.3
Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer
berhubungan dengan aliran darah; cedera vaskuler langsung, edema
berlebih, hipovolemik dan pembentukan trombus.
Tujuan : Disfungsi neurovaskuler perifer tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
- Mempertahankan perfusi jaringan yang ditandai dengan
terabanya pulsasi.
- Kulit hangat dan kering.
26

- Perabaan normal.
- Tanda vital stabil.
- Urine output yang adekuat.
Intervensi :
1. Kaji kembalinya kapiler, warna kulit dan kehangatan bagian
distal dari fraktur.
Rasional : Pulsasi perifer, kembalinya perifer, warna kulit dan
rasa dapat normal terjadi dengan adanya syndrome
comfartemen syndrome karena sirkulasi permukaan sering kali
tidak sesuai.
2. Kaji status neuromuskuler, catat perubahan motorik / fungsi
sensorik.
Rasional : Lemahnya rasa/kebal, meningkatnya penyebaran
rasa sakit terjadi ketika sirkulasi ke saraf tidak adekuat atau
adanya trauma pada syaraf.
3. Kaji kemampuan dorso fleksi jari-jari kaki.
Rasional : Panjang dan posisi syaraf peritoneal meningkatkan
resiko terjadinya injuri dengan adanya fraktur di kaki,
edema/comfartemen syndrome/malposisi dari peralatan traksi.
4. Monitor vital sign, pertahanan tanda-tanda pucat/cyanosis
umum, kulit dingin, perubahan mental.
Rasional : In adekuat volume sirkulasi akan mempengaruhi
sistem perfusi jaringan.
Dx.4
Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit dan trauma jaringan.
Tujuan : Resiko infeksi tidak terjadi dan tidak menjadi actual.
Kriteria Hasil :
- Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
- Bebas drainase purulen, eritema dan demam.
- Tidak ada tanda-tanda infeksi.
27

Intervensi :
1. Inspeksi kulit untuk mengetahui adanya iritasi atau robekan
kontinuitas.
Rasional : Pen atau kawat yang dipasang masuik melalui kulit
dapat memungkinkan terjadinya infeksi tulang.
2. Kaji sisi pen/kulit perhatikan keluhan peningkatan nyeri/rasa
terbakar atau adanya edema, eritema, drainase/bau tak enak.
Rasional : Dapat mengindikasi timbulnya infeksi lokal/nekrosis
jaringan dan dapat menimbulkan osteomielitis.
3. Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan
mencuci tangan.
Rasional : Dapat mencegah kontaminasi silang dan
kemungkinan infeksi.
4. Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan
warna kulit kecoklatan, bau drainase yang tak enak/asam.
Rasional : Tanda perkiraan infeksi gangren.










28

BAB V
KONSEP BALUT BIDAI

5.1 Pengertian
Balutan adalah tindakan untuk menyangga atau menahan bagian
tubuh agar tidak bergeser atau berubah dari posisi yang dikehendaki.
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat bahan lain
yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar
bagian tulang/ organ yang patah tidak bergerak (imobilisasi) sehingga
memberikan istirahat dan mengurangi rasa sakit.

5.2 Tujuan balut bidai
A. Pembalutan
1. Menahan sesuatu sebagai penutup luka, pita tali kulit, bidai, bagian
tubuh yang cedera, dan rambut.
2. Memberi tekanan.
3. Melindungi bagian tubuh yang cedera.
4. Memberikan penyongkong terhadap bagian tubuh yang cedera.
5. Menghindari bagian tubuh agar tidak bergeser dari tempatnya.
6. Mencegah terjadi pembengkakan.
7. Mencegah terjadinya kontaminasi.
B. Pembidaian
1. Imobilisasi.
2. Mengurangi nyeri.
3. Mencegah kerusakan jaringan lunak, pembuluh darah & syaraf di
sekitarnya.

5.3 Prinsip Pertolongan
a. Mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri.
29

b. Mencegah gerakan patah tulang yang dapat mengakibatkan kerusakan
jaringan lunak sekitarnya seperti: pembuluh darah, otot, saraf dan
lainnya.

5.4 Penanganan Secara Umum
a. Atasi perdarahan dan tutup seluruh luka.
b. Korban tidak boleh menggerakkan daerah yang terluka atau fraktur.
c. Imobilisasi fraktur dengan penyandang, pembalut atau bidai.
d. Tangani dengan hati-hati.
e. Observasi dan atasi syok bila perlu.
f. Segera cari pertolongan medis
Fraktur dan dislokasi harus diimobilisasi untuk mencegah
memburuknya cedera. Tetapi situasi yang memerlukan Resusitasi baik
pernafasan maupun jantung dan cedera kritis yang multipel harus ditangani
terlebih dahulu.

5.5 Macam-macam Balut Bidai
Pembalutan
1. Mitela
a. Bahan mitela terbuat dari kain berbentuk segitiga sama kaki
dengan berbagai ukuran. Panjang kaki antara 50-100 cm.
b. Pemabalutan ini dipergunakan pada bagian kaki yang berbentuk
bulat atau untuk menggantung bagian tubuh yang cedera.
c. Pembalutan ini bisa dipakai pada cedera dikepala, bahu, dada, siku,
telapak tangan dan kaki, pinggul serta untuk menggantung lengan.
2. Dasi
a. Pembalut ini adalah mitela yang dilipat-lipat dari satu sisi segitiga
agar menjadi beberapa lapis dan bentuk seperti pita dengan kedua
ujung-ujungnya lancip dan lebarnya antara 5-10 cm.
b. Pembalut ini bisa dipakai pada saat membalut mata, dahi rahang,
ketiak, lengan, siku, paha, serta lutut betis, dan kaki yang terkilir.
30

3. Pita (Gulungan)
a. Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kasa, bahan elastic.
Bahan yang paling sering adalah dari kasa karena mudah menyerap
air, darah, dan tidak mudah bergeser (kendur).
b. Macam-macam pembalut yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Lebar 2,5 cm : untuk jari-jari.
2. Lebar 5 cm : untuk leher dan pergelangan tangan.
3. Lebar 7,5 cm : untuk kepala, lengan atas dan bawah, betis dan
kaki.
4. Lebar 10 cm : untuk paha dan sendi panggul.
5. Lebar 15 cm : untuk dada, perut, punggung.
Pembidaian
1. Bidai Kaku (Rigid Splint) : Dapat dibuat dari bahan apapun (kayu,
logam, fiber glass).
2. Bidai Lunak (Soft Splint) : Air splints (PASG), bantal.
3. Bidai Traksi (Traction Splint) : Untuk fraktur ekstremitas bawah.

5.6 Indikasi
1. Fraktur (Patah Tulang)
a. Fraktur terbuka yaitu tulang yang patah mencuat keluar melalui
luka yang terdapat pada kulit.
b. Fraktur tertutup yaitu tulang yang patah tidak sampai keluar
melalui luka yang terdapat di kulit.
Kemungkinan patah tulang harus selalu dipikirkan setiap
terjadi kecelakaan akibat benturan yang keras. Apabila ada
keraguan, perlakuan korban sebagai penderita patah tulang. Pada
fraktur terbuka tindakan pertolongan harus hati-hati, karena selain
bahaya infeksi gerakan tulang yang patah itu dapat melukai
pembuluh-pembuluh darah sekitarnya sehingga terjadi perdarahan
baru.

31

2. Terkilir
Terkilir merupakan kecelakaan sehari-hari, terutama di lapangan
olah raga. Terkilir disebabkan adanya hentakan yang keras terhadap
sebuah sendi, tetapi dengan arah yang salah. Akibatnya, jaringan
pengikat antara tulang (ligamen) robek. Robekan ini diikuti oleh
perdarahan di bawah kulit. Darah yang berkumpul di bawah kulit
itulah yang menyebabkan terjadinya pembengkakan.
Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada sendi yang
mengalami terkilir :
a. Terjadi peregangan dan memar pada otot atau ligamen, jenis ini
digolongkan terkilir ringan.
b. Robekan pada ligamen, ditandai dengan rasa nyeri, bengkak
dan memar biasanya lebih berat dari pada jenis tang pertama.
Jenis ini digolongkan terkilir sedang.
c. Ligamen sudah putus total sehingga sendi tidak lagi stabil.
Biasanya terjadi perdarahan sekitar robekan, yang tampak
sebagai memaryang hebat.
3. Luka terbuka.
4. Penekanan untuk menghentikan pendarahan.

5.7 Prinsip pemberian balut bidai
A. Prinsip pembalutan :
- Rapat dan rapi.
- Jangan terlalu longgar.
- Ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui funsi sirkulasi.
- Bila ada keluhan terlalu erat longgarkan.
B. Prinsip pembidaian
a. Lakukan pembidaian pada tempat dimana anggota badan
mengalami cedera.
b.Lakukan pembidaian pada dugaan terjadinya patah tulang.
c. Melewati minimal dua sendi yang berbatasan.
32

d.Untuk pemasangan spalk pada saat pemasangan infuse pada bayi
dan anak - anak yang hiperaktivitas.

5.8 Peralatan
1. Pembalut yang sesuai (Mitella/dasi/pita).
2. Spalk.
3. Plaster.
4. Kasa steril.
5. Handscoon dalam bak instrumen.
6. Betadine dan cairan desinfektan dalam kom.
7. Bengkok.
8. Korentang.
9. Gunting plester.

5.9 Prosedur Kerja
a. Memberi salam.
b. Jelaskan prosedur kepada klien dan menanyakan keluhan yang
dirasakan.
c. Mencuci tangan.
d. Menjaga privasi klien dengan membuka bagian yang akan dilakukan
tindakan atau menutup tirai.
e. Melihat bagian tubuh mana yang akan dibalut.
f. Atur posisi klien tanpa menutupi bagian tubuh yang akan dilakukan
tindakan.
g. Lepaskan pakaian yang menutupi tempat untuk mengambil tindakan.
h. Memakai sarung tangan steril.
i. Pilih jenis balutan yang akan dipergunakan atau dikombinasi.
j. Sebelum dibalut, jika luka terbuka, perlu diberi desinfektan.
k. Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan hal berikut:
a. Dapat membatasi pergeseran atau gerak tubuh lainnya.
b. Sesedikit mungkin membatasi gerak tubuh yang lain.
33

c. Tidak mengganggu peredaran darah misalnya pada saat
membalut berlapis-lapis.
l. Cara melakukan pembalutan
1. Cara membalut dengan mitela
a. Salah satu mitela dilipat 3-4 cm sebanyak 1-3 kali.
b. Pertahankan sisi yang telah terlipat terletak diluar bagian
yang akan dibalut, lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung
sisi diikat.
c. Salah satu ujung bebas lainnya ditarik dan dapat diikat pada
lipatan, diikat pada tempat lain, atau dapat dibiarkan bebas.
Hal ini tergantung pada tempat dan kepentingan.
2. Cara membalut dengan dasi
a. Pembalut mitela dilipat dari salah satu sisi sehingga
berbentuk pita dengan masing-masing ujung lancip.
b.Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua
ujungnya dapat diikat.
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendur dengan cara
sebelum diikat arahnya saling menarik.
d.Kedua ujungnya diikatkan secukupnya.
3. Cara membalut dengan pita.
a. Berdasarkan besar bagian tubuh yang akan dibalut, maka
dipilih pembalut pita dengan ukuran lebar yang sesuai.
b.Balutan pita yang biasanya terdiri atas beberapa lapis,
dimulai dari salah satu ujung yang diletakkan dari
proksimal kedistal menutup sepanjang bagian tubuih yang
akan dibalut, kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan
dengan arah bebatan saling menyilang dan tumpang tindih
antara bebatan yangn satu dengan bebatan berikutnya.
c. Kemudian ujung yang didalam ditarik dan diikat dengan
ujung yang lain.
34

BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau
kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur
(elastisitas) dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari
daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab
terjadinya fraktur adalah trauma, stres kronis dan berulang maupun
pelunakan tulang yang abnormal.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang
bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang
seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat
mengatupkan mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena
sendi rahangnya terlepas dari tempatnya. Dengan kata lain: sendi
rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi
sendi bahu dan sendi pinggul (paha). Karena terpeleset dari tempatnya,
maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa nyeri. Sebuah
sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya
menjadi kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
Pembidaian adalah pertolongan pertama pada patah tulang. Fraktur
dan dislokasi harus diimobilisasi untuk mencegah memburuknya cedera.
Tetapi situasi yang memerlukan Resusitasi baik pernafasan maupun
jantung dan cedera kritis yang multipel harus ditangani terlebih dahulu.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Purwadianto, Agus. 2000. Kedaruratan medik. Jakarta : Binarupa Aksara.
Schaffer, dkk. 2000. Pencegahan Infeksi & Praktek Yang Aman. Jakarta :
EGC.
2. M.E Doengoes, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta, 2000
3. Lynda Jual Carpenito, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,
edisi 2 EGC, Jakarta, 2000 ( P.625 )
4. Price Sylvia, A. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jilid 2 . Edisi 4. Jakarta : EGC
5. Smeltzer Suzanne, C. 1997. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart.
Edisi 8. Vol 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai