Anda di halaman 1dari 27

BAB IV

PERWAKILAN KONSULER
PERWAKILAN KONSULER
Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsepsi
dalam hubungannya dengan perwakilan konsuler, yang
terutama didasarkan pada isi Vienna Convention on
Consular Relations 1963 (Konvensi Wina 1963).
A. Pembentukan Hubungan-hubungan konsuler
Pembentukan hubungan antara negara-negara
yang terjadi dengan persetujuan bersama (mutual
consent). Persetujuan yang diberikan untuk
pembentukan hubungan diplomatik antara dua
negara, apabila tidak ditentukan lain, berarti juga
persetujuan untuk pembentukan hubungan
konsuler. Pemutusan hubungan diplomatik tidak
secara ipso facto (dengan demikian) berarti
pemutusan hubungan konsuler.
B. Fungsi-fungsi Konsuler
a) Melindungi kepentingan-kepentingan dari warga pengirim
dan warganegara-warganegaranya di wilayah negara
penerima, baik individu maupun badan hukum, dalam
batas-batas yang diperkenankan oleh Hukum Internasional.
b) Meningkatkan perkembangan hubungan-hubungan
perdagangan, ekonomi, kebudayaan, ilmu pengetahuan
antara negara pengirim dan negara penerima, sesuai
dengan Hukum Internasional.
c) Mencari dan memberikan informasi kepada negara pengirim
menegenai keadaan-keadaan dan perkembangan-
perkembangan yang terjadi di negara penerima. Semuanya
dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku.
d) Mengeluarkan paspor dan dokumen-dokumen perjalanan
bagi warganegara negara pengirim, dan visa bagi orang-
orang yang akan pergi ke negara pengirim.
e) Membantu dan mendampingi warganegara-warganegara
dari negara pengirim, misalnya yang tersangkut urusan
pengadilan.
f) Bertindak sebagai Notaris dan Catatan Sipil.
C. Pelaksanaan Fungsi-fungsi Konsuler
Fungsi-fungsi konsuler tersebut diatas dilakukan oleh
Pos-pos Konsuler. Disamping itu, dalam kedaan
tertentu, fungsi-fungsi konsuler juga dapat dilaksanakan
oleh misi diplomatik. Dalam hal ini pelaksaannya
dilakukan oleh ketentuan-ketentuan Konvensi tentang
Hubungan Konsuler.
Pada umumnya pelaksanaan fungsi konsuler
ditujukan untuk kepentingan negara pengirimnya
sendiri, namun Pos Konsuler dapat juga melaksanakan
fungsi konsuler di negara penerima atas nama suatu
Negara Ketiga, dengan syarat harus memberitahukan
secara layak kepada negara penerima, dan tidak ada
keberatan dari negara penerima.
Hal ini bisa berkembang menjadi akreditasi
majemuk yaitu bahwa dengan persetujuan dari negara
penerima, dua atau lebih negara dapat mengangkat
sseorang yang sama sebagai pejabat di negara
penerima.
D. Pembetukan Suatu Pos Konsuler
Suatu pos konsuler dapat dibentuk di wilayah negara
penerima hanya dengan persetujuan negara-negara itu.
Kedudukan pos konsuler, klasifikasi dan wilayah konsulernya
ditetapkan oleh negara pengirim dengan persetujuan negara
penerima, demikian juga mengenai perubahan-perubahannya.
E. Klasifikasi Kepala-kepala Pos Konsuler
Kepala-kepala Pos Konsuler dibedakan kedalam empat kelas,
yaitu:
1) KONSUL JENDRAL: ditetapkan sebagai Kepala beberapa
distrik konsuler dan mengepalai beberapa konsul, atau dapat
juga sebagai kepala distrik konsuler yang sangat luas.
2) KONSUL: ditetapkan untuk kota-kota dan pelabuhan-
pelabuhan saja.
3) WAKIL KONSUL: adalah asisten konsul jendral atau konsul,
yang mempunyai sifat konsuler dan dapat menduduki tempat
konsul dalam semua tugas-tugasnya.
4) Agen Konsuler: adalah agen-agen dengan sifat konsuler,
yang ditetapkan oleh seorang konsul jendral atau konsul
untuk melaksanakan bagian-bagian tertentu dari fungsi
konsuler untuk kota-kota atau tempat-tempat tertentu dari
suatu distrik konsuler.
F. Pengangkatan dan Penerimaan Kepaala Pos Konsuler
Kepala-kepala pos konsuler diangkat oleh negara
pengirim dan diterima fungsi-fungsinya oleh negara
penerima. Cara-cara pengangkatan dan penerimaan
Kepala suatu pos konsuler ditentukan oleh UU,
peraturan-peraturan dan kebiasaan-kebiasan yang
berlaku di negara pengirim dan negara penerima yang
bersangkutan.
Kepala pos konsuler diterima untuk melaksanakan
fungsi-fungsinya oleh negara penerima oleh suatu
EXEQUATUR, yaitu yaitu semacam tanda pengakuan
terhadap kepala pos konsuler yang baru. Dalam hal
suatu menolak untuk memberikan exequatur, negara
tersebut tidak diwajibkan untuk mengemukakan
alasan-alasan penolakannya.
G. Persona Non Grata
Negara penerima pada setiap saat dapat
memberitahukan kepada negara pengirim bahwa
seorang pejabat konsuler dinyatakan sebagai persona
non grata. Dalam hal seperti itu, maka negara
penerima tidak berkewajiban untuk mengemukakan
alasan-alasan yang menjadi dasar pernyataannya.
Apabila terjadi peristiwa tersebut, maka negara
pengirim akan menarik kembali orang yang
bersangkutan atau mengakhiri tugasnya. Apabila hal
itu tidak dilakukan oleh negara pengirim dalam waktu
yang cukup, maka negara penerima dapat menarik
kembali exequatur dari orang yang bersangkutan
sebagai anggota staf konsuler.
q
H. Berakhirnya fungsi seorang anggota Pos Konsuler
Fungsi-fungsi seorang anggota pos konsuler akan
berakhir antara lain:
a) Dengan pemberitahuan oleh negara pengirim kepada
negara penerima bahwa fungsi seorang anggota pos
konsuler telah berakhir.
b) Dengan penarikan kembali exequatur oleh negara
penerima.
c) Dengan pemberitahuan oleh negara penerima kepada
negara pengirim bahwa negara penerima tidak lagi
menganggap orang ybs, sebagai seorang anggota staf
konsuler. (hal ini merupakan kelanjutan dari suatu
pernyataan personal non grata)
BAB V
PERTIKAIAN DAN HUBUNGAN YANG
BERMUSUHAN (penyelesaian secara
damai)
A. Pengantar
Didalam masyarakat internasional kita menyaksikan
terjadinya bermacam-macam pertikaian internasional yang
meliputi antara: Negara dengan Negara; Negara dengan
Individu; Negara dengan Badan Hukum Privat atau
Perusahaan; Negara dengan Kesatuan bukan negara, dsb.
Untuk keperluan perkuliahan ini kita membatasi diri pada
pertikaian antara Negara dengan Negara.
Masyarakat internasional telah mengembangkan
bermacam-macam metode untuk menyelesaikan pertikaian
tersebut. Metode-metode tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokan menjadi dua katagori, yaitu: (1)
Penyelesaian secara damai; dan (2) Penyelesaian secara
kekerasan.

.

Cara-cara
penyeles
aian
secara
damai
Perundinga
n /
Negosiasi
(Negotiation
)
Pencarian
fakta /
penyelidika
n (Inquiry)
Perantaraan
/ mediasi
(Medition)
Konsiliasi
(Concilition)
Arbitrasi
(Arbitration)
Ajudikasi
(Judicial
settlements)
Melalui badan
/ persetujuan
regional
(resort to
regional
agencies or
arrrangements
)
(1) Perundingan / Negosiasi
Perundingan-perundingan bilateral maupun multilateral
untuk menyelesaikan perselihan dapat dilaksanakan
melalui korespondensi diplomatik, pertemuan-pertemuan
tatap muka oleh perwakilan diplomatik atau oleh
perundingan / juru runding (negotiator) yang khusus
ditunjuk.
Perundingan merupakan cara tradisional dan umum
dipergunakan, dan biasanya merupakan langkah pertama
untuk menyelesaikan dengan cara lain yang lebih formal.
Perundingan juga dianggap sebagai syarat sebelum para
pihak mengajukan perselihan meraka ke suatu
Mahkamah Internasional.
(2)Pencarian fakta / penyelidikan
Proses ini dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian
yang dari perselisihan pendapat atas suatu kenyataan
(fakta), dengan jalan mengadakan penyelidikan secara
tidak memihak.
Dalam prosesnya, para pihak yang berselisih
membentuk Komisi Penyelidik, yang terdiri dari orang-
orang yang dapat diandalkan intergritasnya, untuk
mengadakan penyelidikan secara tidak memihak.
Laporan dari Pihak Penyelidik tentang fakta yang
ditemukan tersebut tidak diterima oleh pihak-pihak yang
berselisih. Komisi ini hanya bertugas mencari dan
melaporkan tentang fakta yang diperselisihkan tersebut
dan tidak dapat memberikan keputusan tentang siapa
yang benar atau salah.


(3)Perantaraan / mediasi
Metode ini sebenarnya perkembangan dari negosiasi
yaitu dengan melibatkan atau kehadiran pihak ketiga
(Mediator). Peranan Mediator adalah sebagai jembatan
diantara pihak yang bertikai, dengan tujuan membawa
pihak yang bertikai kearah persetujuan yang dapat
diterima bersama, dengan cara mencari dan
mengusulkan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian.
Bentuk mediasi ini bermacam-macam. Mediator dapat
duduk bersama para pihak yang bertikai di meja
perundingan, atau menjadi penghubung apabila para
pihak tidak bersedia dipertemukan (diplomasi ulang-alik).
.
(4)Konsiliasi
Konsiliasi merupakan suatu proses yang lebih formal
daripada ketiga metode yang dijelaskan diatas. Metode ini
sebernarnya merupakan perkembangan inquiry. Dalam
metode Inquiry, Komisi yang dibentuk hanya melaporkan
tentang fakta yang dipersengketakan; sedangkan dalam
metode konsiliasi, Komisi Konsiliasi yang juga dibentuk
oleh para pihak, selain melaporkan tentang fakta yang
dipersengketakan juga memberi tentang cara-cara
penyelesaian sengketa tersebut, meskipun para pihak
tetap bebas untuk menerima atau menolak rekomendasi
tersebut. Rekomendasi yang diberikan oleh Komisi
Konsiliasi tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi
mempunyai kekuatan moral, sehingga dalam praktek
seringkali dipatuhi oleh pihak yang bersengketa supaya
tidak dituduh bersikap seenaknya.
Dapat juga dikembangkan sebuah kombinasi dari
keempat metode yang telah dijelaskan diatas. Dalam
praktek metode yang dipergunakan seringkali memang
merupakan campuran dari beberapa metode.
.
(5) Arbitrasi
Penyelesaian melalui arbitrasi berarti para pihak yang
bersengketa menyerahkan persekataan mereka kepada sebuah
Mahkamah Arbitrasi yang dibentuk oleh mereka sendiri. Pada
umumnya arbitrator-arbotrator dalam sebuah Mahkamah Arbitrasi
jumlahnya gasal (3, 5, 7, dsb). Dalam prosesnya, masing-masing
pihak mengangkat seorang Arbitrator kemudian diangkat
Arbitrator ketiga yang disetujui oleh kedua belah pihak. Atau bisa
juga para pihak mengangkat satu abitrator saja (Arbitrator
tunggal=Sole Arbitrator) untuk memeriksa dan memutuskan
persengketaan mereka. Mereka harus bersepakat lebih dahulu
tentang beberapa hal, seperti: komposisi mahkamah,
kewenangannya, masalah yang disengketakan, prosedur yang
harus dilalui, kesediaan para pihak untuk mematuhi keputusan
arbitrasi, dsb. Kesepakatan tersebut dituangkan pada naskah
yang pada umumnya disebut Compromis. Pada umumnya
keputusan arbitrasi internasional dipatuhi oleh para pihak yang
bersengketa.
Sengketa antara Belanda dan Amerika Serikat tentang
kepilihan Pulau Palmas diselesaikan melalui arbitrasi yaitu
membawa sengketa tersebut kepada Permanent Court of
Arbitration yang memutuskan pada tanggal 4 April 1928 bahwa
Belanda yang berhak atas pulau tersebut. Sekarang Pulau
Palmas menjadi bagian wilayah Republik Indonesia dengan nama
Pulau Miangas yang terletak di dekat perbatasan Indonesia
filipina.
.
(6)Ajudikasi
Penyelesaian melalui Ajudikasi Internasional berarti para
pihak membawa persengketaan tersebut kepada sebuah
mahkamah yang bersifat tetap dan bekerja berdasarkan
standart yurisdiksi dan tata-cara yang ada sebelumnya, seperti
ICJ (Internasional Court of J ustice) yang bersifat universal
atau badan-badan yang bersifat regional yaitu Court of
J ustice of the European Comminities, Benelux Court of
J ustice, dsb.
Sengketa Indonesia Malaysia tentang kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan diselesaikan melalui ajudikasi yaitu
dengan membawa sengketa tersebut ke Mahkamah
Internasional (ICJ) yang memutuskan pada tanggal 17
Desember 2002 bahwa Malaysia yang berhak atas kedua
pulau tersebut.
Penyelesaian melalui Arbitrasi maupun Ajudikasi merupakn
penyelesaian secara hukum karena harus didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan hukum.
.
(7) Melalui badan / persetujuan regional
Penyelesaian sengketa dapat juga dilakukan melalui
badan-badan atau persetujuan regional dimana negara-
negara yang berseketa menjadi anggotanya. Badan-
badan regional tersebut misalnya ASEAN (Kawasan Asia
Tenggara), OAU (kawasan Afrika), OAS (kawasan
Amerika), dsb. Penyelesaian semacam ini disyaratkan
sebelum negara-negara yang bersengketa mengajukan
persoalannya ke Dewan Kamanan PBB.
BAB VI
PERTIKAIAN DAN HUBUNGAN YAG
BERMUSUHAN (Penyelesaian secara
kekerasan/Perang)
A. Unsur unsur pengertian perang
1) Merupakan persengketaan yang terutama dilakukan
dengan kekuatan bersenjata;
2) Dilakukan oleh atau antara negara-negara;
3) Bertujuan untuk menaklukkan pihak yang lain;
4) Adanya pemaksaan syarat-syarat perdamaian oleh
pihak yang menang terhadap pihak yang kalah.
B. Ketentuan Hukum Perang
Sumber-sumber hukum perang terdiri dari bagian tertulis dan bagian
tidak tertulis.
1) Sumber hukum tertulis
Sejak abad XIX banyak sekali diadakan perjanjian /konvensi yang
memuat ketentuan-ketentuan hukum perang, antara lain:
a. Convention for the Amelioration of the Condition of the
Wounded Armies in the Field, yang diadakan di Jewena pada
tanggal 22 Agustus 1864 yakni yang mengatur tentang perbaikan
keadaan bagi mereka yang terluka didalam kesatuan-kesatuan
tentara di medan pertempuran darat.
b. Konvensi-konvensi Den Haag 1899 dan 1907 yang mengatur
cara-cara melakukan perang (the conduct of war).
c. Sesudah perang dunia II, Palang Merah Internasional
menyeponsori pembentukan konvensi-konvensi dalam lapangan
hukum perang. Konvensi-konvensi tersebut telah disetujui oleh
negara-negara di Jewena pada tahun 1949.
d. Dua Protokol Tambahan terhadap Konvensi-konvensi Jewena
1949, yang dikeluarkan pada tahun 1977 dan mulai berlaku
tanggal 7 Desember 1978, yakni: Protokol I tentang perlindungan
bagi korban sengketa bersenjata Internasional; Protokol II
tentang perlindungan bagi korban sengketan bersenjata non-
Internasional (internal conflict).

.
2) Sumber hukum Tidak Tertulis
Disamping ketentuan-ketentuan tertulis, terdapat pula
ketentuan-ketentuan tidak tertulis yang pada umumnya diakui
pula dan mengikat negara-negara pada masa sekarang ini.
Diantara ketentuan-ketentuan yang dikenal sebagai hukum
yang tidak tertulis, kita dapati tiga prinsip dasar yang erat
hubungannya satu dengan lainnya dan yang pada umumnya
dipakai sebagai petunjuk bagi tindakan negara-negara di
waktu perang apabila tidak terdapat ketentuan khusus.
Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a) Prinsip kepentingan militer (military necessity) yakni
prinsip yang tidak mengakui hak-hak dari pihak-pihak yang
sedang berperang untuk menumpahkan seluruh kekuatan
militernya dalam usaha memaksa lawannya agara
menyerah sama sekali dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, dengan biaya yang seminim mungkin dan
pengorbanan manusia sekecil-kecilnya. Walaupun
demikian, prinsip ini tunduk pada prinsip-prinsip
kemanusiaan dan kebersihan bertindak.
.
b) Prinsip kemanusiaan (humanity) yakni prinsip yang
melarang diper- gunakannya segala bentuk kekerasan
yang sebenarnya tidak perlu bagi perang itu. Prinsip inilah
antara lain melahirkan ketentuan-ketentuan mengenai
perlakuan terhadap tawanan-tawanan perang,
perlindungan terhadap penduduk sipil di waktu perang,
dsb.
c) Prinsip kesatriaan (chivalry) yakni prinsip yang tidak
mengakui dan melarang dilakukannya tindakan-tindakan
yang bersifat curang dan tidak bersifat kesatria didalam
peperangan. Prinsip inipun telah menimbulkan ketentuan-
ketentuan yang antara lain mengatur tentang perlakua
terhadap tahanan penduduk sipil serta pemerintahan dan
kehidupan masyarakat didalam wilayah-wilayah yang
diduduki, walaupun selalu mengingat kepentingan-
kepentingan militer.
C. Hubungan Netralitas
Hubungan netralitas adalah hubungan antara suatu
negara yang tidak turut berperang (netral) dengan
negara-negara yang berperang. Dalam hubungan
netralitas inii hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada
pihak yang netral dan negara yang berperang. Hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tersebut bersifat korelatif, yaitu
bahwa hak sesuatu negara netral berkorelasi dengan
kewajiban negara berperang, dan sebaliknya hak negara
yang berperang berkorelasi dengan kewajiban netral.
.

Kewajiba
n pokok
Kewajiban
Abstain
(duties of
abstention)
Kewajiban
Pencegahan
(duites of
prevetion)
Kewajiban
Persetujuan
(duites of
asquiescenc
e)
.
1. Kewajiban Abstain (duites of abstention)
Bagi pihak netral, tidak boleh memberikan bantuan secara
langsung atau tidak langsung kepada salah satu pihak yang
berperang. Misalnya tidak boleh memasok tentera,
memberikan atau menjamin utang-piutang, atau tempat
perlindungan.
Bagi pihak yang berperang, tidak boleh melakukan tindakan
yang bermusuhan dalam wilayah netral atau melakukan
peperangan dalam laut teritorial atau udara teritorial, atau
campur tangan pada perhubungan yang sah dari negara-
negara netral dengan musuh dan lain-lain.
2. Kewajiban Pencegahan (duites of prevention)
Bagi pihak netral, wajib mencegah dilakukannya aktivitas-
aktivitas tertentu dalam wilayah atau yurisdisinya, misalnya
penerimaan anggota tentara bagi pihak-pihak yang berperang,
persiapan-persiapan tindakan yang bermusuhan, dll.
Bagi pihak yang berperang, wajib mencegah perlakuan buruk
atas wakil-wakil atau para warganegara pihak netral atau
tindakan yang merugikan harta benda mereka yang netral
dalam wilayahnya.
.
3. Kewajiban persetujuan (duites of acquiescence)
Bagi pihak netral, harus menyetujui tindakan-tindakan negara-
negara yang berperang mengenai perdagangan dengan
warganegaranya, jika hal itu diperkenankan oleh hukum
perang, misalnya penahanan kapal-kapal yang memakai
benderanya karena membawa barang selundupan, dll.
Bagi pihak netral, harus menyetujui tindakan-tindakan tertentu
dari negara-negara netral, misalnya menangkap anggota-
anggota angkatan perang yang mencari perlindungan dalam
wilayahnya atau pemberian suaka kepada kapal-kapal perang
musuh agar dengan jalan itu dapat dilakukan perbaikan-
perbaikan seperlunya.

Anda mungkin juga menyukai