Anda di halaman 1dari 12

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Bakteri, bersama-sama dengan jamur dan virus dapat menyebabkan banyak
penyakit kulit. Infeksi bakteri pada kulit yang paling sering adalah pioderma.
Manifestasi klinis infeksi bakteri pada kulit sangat bervariasi, sesuai dengan bakteri
peyebabnya, bagian tubuh yang dikenai, dan keadaan imunilogik penderita (Harahap,
2000).
Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh
Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya. Ektima merupakan infeksi pioderma
pada kulit dengan karakteristik berbentuk krusta disertai ulserasi (Djuanda, 2008).
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari
pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab terpenting yang
membedakan angka kejadian, beratnya ringannya lesi, dan dampak sistemik yang
didapatkan pada pasien ektima (Wasserzug, 2009).
Ektima sering timbul sebagai komplikasi penyakit kulit lain, seperti sakbies
dan eksema. Lesi ektima sangat infeksius. Oleh karena itu penderita merupakan
reservoir infeksi untuk orang lain (Sjahriazal, 2000)
Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering terjadi pada
orang-orang yang sering bepergian (traveler).

Pada suatu studi kasus di Perancis,
ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya mendapatkan
infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus B-hemolyticus group A yang merupakan penyebab dari
penyakit kulit impetigo dan ektima (Edward TR, 2009).



2

1.2. Tujuan
Untuk lebih memahami mengenai Ektima dan untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Departemen Penyakit
Kulit dan Kelamanin, Fakultas Kedokteran Methodist Indonesia.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan
pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum
agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Ektima.

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ektima adalah suatu penyakit infeksi piogenik kulit yang ditandai
pembentukan krusta yang menutupi tukak (ulkus) di bawahnya (Sjahriazal, 2000).
Ektima merupakan penyakit pioderma yang menyerang epidermis dan dermis,
membentuk ulkus dangkal yang di tutupi kursta berlapis (Siregar, 2003).

2.2 Epidemiologi
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari
pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab terpenting yang
membedakan angka kejadian, beratnya ringannya lesi, dan dampak sistemik yang
didapatkan pada pasien ektima (Wasserzug, 2009).
Ektima juga lebih sering terjadi pada anak-anak, pada daerah yang panas dan
lembab, selain itu ektima juga dapat terjadi sebagai komlikasi penyakit seperti scabies
dan ektima. (Siregar, 2003).

2.3 Etiologi
Status bakteriologi dari ektima pada dasarnya mirip dengan Impetigo.
Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptococcus, karena pada banyak kasus
didapatkan kultur murni Streptococcus pyogenes. Selain Streptococcus, penyebab lain
dari ektima adalah Staphylococcus aureus. Dari 66 kasus yang
disebabkanStreptococcus group A, 85% terdapat Staphylococcus. Suatu literatur
menunjukkan bahwa dari 35 pasien impetigo dan ektima, 15 diantaranya (43%)
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, 12 pasien (34%) disebabkan oleh
streptococcus group A, dan 8 pasien (23%) disebabkan oleh keduanya (Hochedez P,
et al, 2008).
4

Streptococcus -hemolyticus group A dapat menyebabkan lesi atau
menimbulkan infeksi sekunder pada lesi yang telah ada sebelumnya. Kerusakan
jaringan (seperti ekskoriasi, gigitan serangga) dan keadaan
imunokompromais merupakan predisposisi pada pasien untuk timbulnya ektima.
Penyebaran infeksi Streptococcus pada kulit diperbesar oleh kondisi lingkungan yang
padat, sanitasi buruk dan malnutrisi (Loretta D, 2008).

2.4 Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan
sistemik, seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus group A, B, C,
D, dan G merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia.
Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap
fagositosis. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan
beberapa toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik.
Gejala sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja
dengan cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR pada antigen-
presenting cell tanpa adanya proses antigen. Walaupun biasanya antigen
konvensional memerlukan interaksi dengan kelima elemen dari kompleks reseptor
sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi dengan variabel dari pita B.
Aktivasi non spesifik dari sel T menyebabkan pelepasan masif tumor necrosis factor-
(TNF-), Interleukin-1 (IL-1), dan Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini
menyebabkan gejala klinis berupa demam, ruam eritematous, hipotensi, dan cedera
jaringan (Chiller K, 2001).
Pada umumnya bakteri patogen pada kulit akan berkembang pada ekskoriasi,
gigitan serangga, trauma, sanitasi yang buruk serta pada orang-orang yang mengalami
gangguan sistem imun. (Shou K et al., 2009)
Adanya trauma atau inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar,
dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada patogenesis dari
5

penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini karena kerusakan jaringan kulit
sebelumnya menyebabkan fungsi kulit sebagai pelindung akan terganggu sehingga
memudahkan terjadi infeksi bakteri (Chiller K, 2001).

2.4 Gambaran Klinis
Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 3 cm) dan beberapa hari kemudian
terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya. Biasanya terdapat
kurang lebih 10 lesi yang muncul pada ekstremitas inferior. Bila krusta terlepas,
tertinggal ulkus superfisial dengan gambaran punched out appearance atau
berbentuk cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Pada beberapa kasus juga
terlihat bulla yang berukuran kecil atau pustul dengan dasar yang eritema serta krusta
yang keras dan telah mengering. Krusta sangat sulit dilepaskan untuk membuka ulkus
purulen yang ireguler. Dapat disertai demam dan limfodenopati. Lesi cenderung
menjadi sembuh setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi
dapat ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak (Craft N, et al.,
2008).

2.7 Diagnosis
Pasien biasanya datang dengan keluhan luka. Pasien biasanya menderita
diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
Anamnesis ektima, antara lain:
1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.
2. Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang,
seperti gigitan serangga.
3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang,
seperti tungkai bawah.
6

4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta
5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat
menyebabkan penyembuhan luka yang lama.
Pasien ektima datang dengan keluhan luka dengan predileksi pada tungkai
bawah. Trauma berulang biasanya karena gigitan serangga, dimulai dengan suatu
vesikel atau pustul di atas kulit yang eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5
3 cm) dan beberapa hari kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar
dilepas dari dasarnya. Bila krusta terlepas, tertinggal ulkus superfisial dengan
gambaran punched out appearance atau berbentuk cawan dengan dasar merah dan
tepi meninggi. Pada beberapa kasus juga terlihat bula yang berukuran kecil atau
pustul dengan dasar yang eritema serta krusta yang keras dan telah mongering
(Halpern A, 2002).
Pemeriksaan fisis efloresensi dari ektima awalnya berupa pustul kemudian pecah
membentuk ulkus yang tertutupi krusta (Loretta D, 2009).

2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu biopsi kulit dengan
jaringan dalam untuk pewarnaan gram dan kultur. Selain itu, juga dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi (Halpern A, 2002)





(Netrofil Tersebar pada hapusan ulkus)
Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus
dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada
7

dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. (Siregar,
2003).


2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis banding ektima, antara lain:
1. Folikulitis
Folikulitis adalah radang pada folikel rambut yang biasanya
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Predileksi pada tungkai bawah
dengan kelainan berupa papul atau pustul yang eritematosa yang ditumbuhi
rambut dan biasanya multiple







Gambar (G). Folikulitis superfisialis.
Pustul multiple terlihat pada daerah jenggot.

2. Impetigo krustosa,
Impetigo krustosa disebabkan oleh Staphylococcus hemolitica.
Krusta biasanya lebih dangkal, mudah diangkat, dan tempat predileksinya
pada wajah dan punggung serta lebih sering terdapat pada anak-anak.



8





(1) (2)

Gambar (1). Impetigo. Eritema dan krusta pada seluruh daerah centrofacial

(2). Impetigo. Terlihat erosi, krusta, dan blister rupture

3. Keganasan kulit (Basalioma dan Squamos Cell Carcinoma)
Keganasan memang belum diketahui penyabnya, tetapi dikaitkan
dengan Sinar UV, Radiasi, Trauma, ataupun Genetik.






(Basalioma)

2.8 Penatalaksanaan
a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan sistemik
dibagi menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini kedua.

1. Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)
a. Dikloksasilin 4 x 250 500 mg selama 5 7 hari.
b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB
c. Sefaleksin 40 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari

9

2. Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)
a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari
c. Eritomisin 4 x 250 500 mg selama 5 7 hari.

b. Topikal
topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas maka digunakan
pengobatan sistemik. Neomisin, Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan Basitrasin
merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topikal.


Indikasi penggunaan mupirosin pada penyakit kulit yang disebabkan
oleh Staphylococcus aureu, Streptococcus pyogenes, dan Streptococcus B hemolitica.
Mekanisme kerja mupirosin untuk menghambat sintesis protein bakteri begitu juga
dengan neomisin. Basitrasin memilki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding
sel bakteri. Baik digunakan pada bakteri gram positif
Dalam sebuah penelitian kecil didapatkan bahwa asam fusidat secara
signifikan lebih efektif dibandingkan dengan neomisin. Mupirosin dan asam fusidat
dalam beberapa penelitian memberikan hasil yang lebih efektif dibandingkan dengan
antibiotik oral yang lain, disamping itu keduanya memiliki efek samping yang
minimal. Selain itu asam fusidat dan mupirosin setelah dibandingkan dengan plasebo
terbukti lebih efektif.
Antiseptik topikal seperti povidin iodin atau hidrogen peroksida dapat
digunakan. Gunakan tiga kali sehari pada area yang luka dan disekitarnya. Terapi ini
dapat dilakukan setelah krustanya terangkat. Lanjutkan beberapa hari setelah
penyembuhan.

2.9 Komplikasi
Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis,
limfadenitis supuratif, gejala sistemik serta bakteremia kadang terlihat

10

2.10 Prognosis
Ektima sembuh secara perlahan dengan meninggalkan jaringan parut (skar) tapi
respon terhadap antibiotik yang sesuai memberikan perbaikan dalam beberapa
minggu.


2.11 Pencegahan
Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan lotion antiserangga
untuk mencegah gigitan serangga.
Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan
badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit.,
mandi menggunakan sabun antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan
pakaian.


11

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. Pioderma, Dalam: Djuanda A,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
4. Jakarta: FKUI; 2008. p. 57-60.
Shou K, et al. Cutaneus Bacterial Infection. In: Pediatric Dermatology: A colour
atlas and synopsis 2
nd
ed. USA: The McGraw Hill; 2009. p.354-355
Wasserzug O. A Cluster of Echtyma Outbreaks Caused by A Single Clone of Invasive
and Highly Infective Streptococcus pyogenes. [online] 2009 [cited 2011
Oktober 20]:[1 screen]. Available from:
URL:http://www.unboundmedicine.com.
Edward TR, et al. Ilness After International Travel. N Eng J Med 2002; 347: 505-15.
[serial online] 2002. Agustus [cited 2011 Oktober 19] : Volume 347 / 515.
Available from: http://www.nejm.org
Hochedez P, et al. Skin and Soft Tissue Infections in Returning Travellers. Am J Trop
Med Hyg 2008; 80: 431-3. [serial online] 2008. December [cited 2011 Oktober
20] : Volume 80 / 432. Available from:http://www.ajtmh.org .
Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta:
EGC; 2002. p. 61-2.
Halpern A, Heymann Warren. Gram-Positive Bacteria Staphlococcal and
Streptococcal Skin Infection. In: Bolognia JL, Jorozzo JL, Rapini RP,
eds. Dermatology 2
nd
ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Ch. 73.
12

Anda mungkin juga menyukai