Anda di halaman 1dari 13

Ihu6 8hj,olEKTIMA

I. PENDAHULUAN

Ektima adalah pioderma ulseratif kulit yang umumnya disebabkan oleh


Streptococcus β-hemolyticus. Penyebab lainnya bisa Staphylococcus aureus atau
kombinasi dari keduanya. Menyerang epidermis dan dermis membentuk ulkus
dangkal yang ditutupi oleh krusta berlapis, biasanya terdapat pada tungkai bawah.
(1,2)

Pioderma ialah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,


Streptococcus, atau oleh kedua-duanya. Faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit ini adalah hygiene yang kurang, menurunnya
daya tahan tubuh, atau jika telah ada penyakit lain di kulit. (3)

Streptococcus merupakan organisme yang biasanya menyebabkan infeksi


pada ektima. Gambaran ektima mirip dengan impetigo, namun kerusakan dan
daya invasifnya pada kulit lebih dalam daripada impetigo. Infeksi diawali pada lesi
yang disebabkan karena trauma pada kulit, misalnya, ekskoriasi, varicella atau
gigitan serangga. Lesi pada ektima awalnya mirip dengan impetigo, berupa vesikel
atau pustul. Kemudian langsung ditutupi dengan krusta yang lebih keras dan tebal
daripada krusta pada impetigo, dan ketika dikerok nampak lesi punched out
berupa ulkus yang dalam dan biasanya berisi pus.(4,5)

II. EPIDEMIOLOGI

Insiden ektima di seluruh dunia tepatnya tidak diketahui. Frekuensi


terjadinya ektima berdasarkan umur biasanya terdapat pada anak-anak dan orang
tua, tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin (pria dan wanita sama). Pada anak-
anak kebanyakan terjadi pada umur 6 bulan sampai 18 tahun.(1,4)
Dari hasil penelitian epidemiologi didapatkan bahwa tingkat kebersihan dari
pasien dan kondisi kehidupan sehari-harinya merupakan penyebab yang paling
terpenting untuk perbedaan angka serangan, beratnya lesi, dan dampak sistemik
yang didapatkan pada pasien ektima.(6)

Ektima merupakan penyakit kulit berupa ulkus yang paling sering terjadi
pada orang-orang yang sering bepergian (traveler). Pada suatu studi kasus di
Perancis, ditemukan bahwa dari 60 orang wisatawan, 35 orang (58%) diantaranya
mendapatkan infeksi bakteri, dimana bakteri terbanyak yang ditemukan yaitu
Staphylococcus aureus dan Streptococcus B-hemolyticus grup A yang merupakan
penyebab dari penyakit kulit impetigo dan ektima. Dari studi kasus ini pula,
ditemukan bahwa kebanyakan wisatawan yang datang dengan ektima memiliki
riwayat gigitan serangga (73%).(7,8)

III. ETIOLOGI

Ektima merupakan pioderma ulseratif pada kulit yang umumnya disebabkan


oleh Streptococcus β-hemolyticus grup A. Status bakteriologi dari ektima pada
dasarnya mirip dengan Impetigo. Keduanya dianggap sebagai infeksi Streptococcus,
karena pada banyak kasus didapatkan kultur murni Streptococcus pyogenes. Ini
didasarkan pada isolasi Streptococcus dan Staphylococcus dan dari beberapa
Staphylococcus saja. (9)

Streptococcus β-hemolyticus grup A dapat menyebabkan lesi atau menginfeksi


secara sekunder lesi yang sudah ada sebelumnya. Adanya kerusakan jaringan
(seperti ekskoriasi, gigitan serangga, dermatitis) dan keadaan imunokompromis
(seperti diabetes dan neutropenia) merupakan predisposisi pada pasien untuk
timbulnya ektima. Penyebaran infeksi Streptococcus pada kulit diperbesar oleh
kondisi lingkungan yang padat dan hygiene yang buruk.(9,10)

IV. PATOFISIOLOGI
Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama dari infeksi kulit dan
sistemik. Seperti halnya Staphylococcus aureus, Streptococcus sp. Juga terkenal
sebagai bakteri patogen untuk kulit. Streptococcus Grup A, B, C, D, dan G
merupakan bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada manusia.
Kandungan M-protein pada bakteri ini menyebabkan bakteri ini resisten terhadap
fagositosis.(11)

Staphylococcus aureus dan Staphylococcus pyogenes menghasilkan beberapa


toksin yang dapat menyebabkan kerusakan lokal atau gejala sistemik. Gejala
sistemik dan lokal dimediasi oleh superantigens (SA). Antigen ini bekerja dengan
cara berikatan langsung pada molekul HLA-DR (Mayor Histocompability
Complex II (MHC II)) pada antigen-presenting cell tanpa adanya proses antigen.
Walaupun biasanya antigen konvensional memerlukan interaksi dengan kelima
elemen dari kompleks reseptor sel T, superantigen hanya memerlukan interaksi
dengan variabel dari pita B. Aktivasi non spesifik dari sel T menyebabkan
pelepasan masif Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan
Interleukin-6 (IL-6) dari makrofag. Sitokin ini menyebabkan gejala klinis berupa
demam, ruam erythematous, hipotensi, dan cedera jaringan.(11,13)

Faktor host seperti immunosuppresi, terapi glukokortikoid, dan atopic


memainkan peranan penting dalam pathogenesis dari infeksi Staphylococcus.
Adanya trauma ataupun inflamasi dari jaringan (luka bedah, luka bakar, trauma,
dermatitis, benda asing) juga menjadi faktor yang berpengaruh pada pathogenesis
dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini. (13)

V. GAMBARAN KLINIS

Penyakit ini dimulai dengan suatu vesikel atau pustul di atas kulit yang
eritematosa, membesar dan pecah (diameter 0,5 – 3 cm) dan beberapa hari
kemudian terbentuk krusta tebal dan kering yang sukar dilepas dari dasarnya.
Biasanya terdapat kurang lebih 10 lesi yang muncul. Bila krusta terlepas, tertinggal
ulkus superficial dengan gambaran “punched out appearance” atau berbentuk
cawan dengan dasar merah dan tepi meninggi. Lesi cenderung menjadi sembuh
setelah beberapa minggu dan meninggalkan sikatriks. Biasanya lesi dapat
ditemukan pada daerah ekstremitas bawah, wajah dan ketiak.(1,2,12,13)

Gambar A: Lesi tipikal ektima pada ektremitas bawah

(diambil dari kepustakaan 1)

Gambar B: Tahapan ektima. Lesi dimulai sebagai sebuah pustule yang kemudian
pecah membentuk ulkus.

(diambil dari kepustakaan 1)


Gambar C: Ektima. Ulkus dengan krusta tebal pada tungkai pasien yang menderita
diabetes dan gagal ginjal

(diambil dari kepustakaan 13)

Gambar D: Ektima pada aksila

(diambil dari kepustakaan 14)

VI. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pasien biasanya datang dengan keluhan luka pada anggota gerak bawah.
Pasien biasanya menderita diabetes dan orang tua yang tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.(1)

Anamnesis ektima, antara lain:(1)

1. Keluhan utama. Pasien datang dengan keluhan berupa luka.

2. Durasi. Ektima terjadi dalam waktu yang lama akibat trauma berulang, seperti
gigitan serangga.

3. Lokasi. Ektima terjadi pada lokasi yang relatif sering trauma berulang, seperti
tungkai bawah.
4. Perkembangan lesi. Awalnya lesi berupa pustul kemudian pecah membentuk ulkus
yang tertutupi krusta

5. Riwayat penyakit sebelumnya. Misalnya, Diabetes melitus dapat menyebabkan


penyembuhan luka yang lama.

Pemeriksaan fisis

Effloresensi ektima berupa awalnya berupa pustul kemudian pecah


membentuk ulkus yang tertutupi krusta.(1)

Gambar D : Krusta coklat berlapis lapis pada ektima


(diambil dari kepustakaan 2)

Gambar E : Pada Lesi ektima yang diangkat krustanya akan terlihat ulkus yang
dangkal

(diambil dari kepustakaan 2)


Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaaan penunjang yang dapat dilakukan. yaitu biopsi kulit dengan


jaringan dalam untuk pewarnaan Gram dan kultur. Selain itu, juda dapat
dilakukan pemeriksaan histopatologi(2,12).

Gambaran histopatologi didapatkan peradangan dalam yang diinfeksi kokus,


dengan infiltrasi PMN dan pembentukan abses mulai dari folikel pilosebasea. Pada
dermis, ujung pembuluh darah melebar dan terdapat sebukan sel PMN. Infiltrasi
granulomatous perivaskuler yang dalam dan superficial terjadi dengan edema
endotel. Krusta yang berat menutupi permukaan dari ulkus pada ektima.(2)

Gambar F: Pioderma

Neutrofil tersebar pada dasar ulserasi

(Seperti yang ditunjukkan oleh tanda panah)

(diambil dari kepustakaan 12)

VII. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding ektima, antara lain:

1. Folikulitis, didiagnosis banding dengan ektima sebab predileksi biasanya di tungkai


bawah dengan kelainan berupa papul atau pustul yang eritematosa. Perbedaannya,
pada folikulitis, di tengah papul atau pustul terdapat rambut dan biasanya multipel.
(3,4,5,13,15)
c

Gambar G: Folikulitis superfisialis. Pustul multiple terlihat pada daerah jenggot.

(diambil dari kepustakaan 13)

2. Impetigo krustosa, didiagnosa banding dengan ektima karena memberikan


gambaran Effloresensi yang hampir sama berupa lesi yang ditutupi krusta.
Bedanya, pada impetigo krustosa lesi biasanya lebih dangkal, krustanya lebih
mudah diangkat, dan tempat predileksinya biasanya pada wajah dan punggung
serta terdapat pada anak-anak sedangkan pada ektima lesi biasanya lebih dalam
berupa ulkus, krustanya lebih sulit diangkat dan tempat predileksinya biasanya
pada tungkai bawah serta bisa terdapat pada usia dewasa muda. (3,4,5,13,15)

Gambar H: Impetigo. Eritema dan krusta pada seluruh daerah centrofacial

(diambil dari kepustakaan 13)


Gambar I: Impetigo. Terlihat erosi, krusta, dan blister ruptur

(diambil dari kepustakaan 15)

VIII. KOMPLIKASI

Komplikasi ektima, antara lain selulitis, erisipelas, gangren, limfangitis,


limfadenitis supuratif, dan bakteremia.(16)

IX. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan ektima, antara lain:

1. Nonfarmakologi

Pengobatan ektima tanpa obat dapat berupa mandi menggunakan sabun


antibakteri dan sering mengganti seprei, handuk, dan pakaian. (1,10,13,16,17,18)

2. Farmakologi

Pengobatan farmakologi bertujuan mengurangi morbiditas dan mencegah


komplikasi (1,10,13,16,17,18)

a. Sistemik
Pengobatan sistemik digunakan jika infeksinya luas. Pengobatan sistemik
dibagi menjadi pengoatan lini pertama dan pengobatan lini kedua. (1,10,13,16,17,18)

1. Pengobatan lini pertama (golongan Penisilin)

a. Dewasa: Dikloksasilin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.

Anak : 5 - 15 mg/kgBB/dosis, 3 - 4 kali/hari.

b. Amoksisilin + Asam klavulanat 3 x 25 mg/kgBB

c. Sefaleksin 40 - 50 mg/kgBB/hari selama 10 hari

2. Pengobatan lini kedua (golongan Makrolid)

a. Azitromisin 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari

b. Klindamisin 15 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari

c. Dewasa: Eritomisin 4 x 250 - 500 mg selama 5 - 7 hari.

Anak : 12,5 - 50 mg/kgBB/dosis, 4 kali/hari.

b. Topikal

Pengobatan topikal digunakan jika infeksi terlokalisir, tetapi jika luas maka
digunakan pengobatan sistemik. Neomisin, Asam fusidat 2%, Mupirosin, dan
Basitrasin merupakan antibiotik yang dapat digunakan secara topikal. (1,10,13,16,17,18)

Neomisin merupakan obat topikal yang stabil dan efektif yang tidak
digunakan secara sistemik, yang menyebabkan reaksi kulit minimal, dan memiliki
angka resistensi bakteri yang rendah sehingga menjadi terapi antibiotik lokal yang
valid. Neomisin dapat larut dalam air dan memiliki kestabilan terhadap perubahan
suhu. Neomisin memiliki efek bakterisidal secara in vitro yang bekerja spektrum
luas gram negatif dan gram positif. Efek samping neomisin berupa kerusakan ginjal
dan ketulian timbul pada pemberian secara parenteral sehingga saat ini
penggunaannya secara topical dan oral. (1,10,13,16,17,18)
3. Edukasi

Memberi pengertian kepada pasien tentang pentingnya menjaga kebersihan


badan dan lingkungan untuk mencegah timbulnya dan penularan penyakit kulit.
(1,10,13,16,17,18)

X. PROGNOSIS

Ektima sembuh secara perlahan, tetapi biasanya meninggalkan jaringan


parut (skar).(16)

XI. PENCEGAHAN

Pada daerah tropis, perhatikan kebersihan dan gunakan lotion antiserangga


untuk mencegah gigitan serangga.(16)

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis Loretta. Ecthyma. [online] 2009 [cited 2011 Juli 28]:[1 screen]. Available from:
URL: http://emedicine.medscape.com.
2. Siregar R.S,ed. Pioderma, Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC;
2002. p. 61-2.
3. Djuanda Adhi, Pioderma, Dalam: Djuanda Adhi,eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 5. Jakarta: FK UI; 2008. p. 57-60.
4. Galen Wesley, et al. Bacterial Infections. In: Schachner Lawrence, eds. Pediatric
Dermatology 2nd ed. p.1172-3
5. Habif Thomas,ed. Bacterial Infection. In: Clinical Dermatology: A color Guide to
Diagnosis and Therapy 4th ed. USA: Mosby; 2004. p. 273.
6. Wasserzug O. A Cluster of Echtyma Outbreaks Caused by A Single Clone of Invasive
and Highly Infective Streptococcus pyogenes. [online] 2009 [cited 2011 Agustus 2]:[1
screen]. Available from: URL: http://www.unboundmedicine.com.
7. Ryan Edward T, et al. Ilness After International Travel. N Eng J Med 2002; 347: 505-15.
[serial online] 2002. Agustus [cited 2011 Juli 28] : Volume 347 / 515. Available from:
http://www.nejm.org
8. Hochedez Patrick, et al. Skin and Soft Tissue Infections in Returning Travellers. Am J
Trop Med Hyg 2008; 80: 431-3. [serial online] 2008. December [cited 2011 Agustus 2] :
Volume 80 / 432. Available from: http://www.ajtmh.org.
9. R.J dan B.M. Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns Tony, eds. Rook’s Textbook of
Dermatology 7th ed. USA: Blackwell Publishing; 2004. p. 27.16.
10. Cevasco Nathaniel C. Common Skin Infection, Bacterial Infection. [online] 2011 [cited
2011 Juli 28]:[1 screen]. Available from: URL: http://www.clevelandclinicmeded.com.
11. Chiller Katarina, Selkin Bryan, dan Murakawa George. Skin Microflora and Bacterial
Infections of The Skin. JID Symposium Proceedings 2001; 6: 170-4. [serial online]
2001. December [cited 2011 Juli 28]:Volume 6 / 170 – 4.Available from:
http://www.nature.com.
12. Halpern Analisa dan Heymann Warren. Gram-Positive Bacteria Staphlococcal and
Streptococcal Skin Infection. In: Bolognia JL, Jorozzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology
2nd ed. USA: Mosby Elsevier; 2008. Ch. 73.
13. Craft Noah, et al. Superficial Cutaneous Infections and Pyoderma. In: Wolff Klause,
Goldsmith Lowell, Katz Stephen, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7 th
ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2008. p. 1694-701.
14. James William, eds. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology 10 th ed. USA:
Saunders Elsevier; 2006. p. 259-60.
15. Hunter John, eds. Bacterial Infections. In: Clinical Dermatology 3rd Ed. USA: Blackwell
Science; 2003. p. 190-1.
16. Knott Laurence and Draper Richard. Ecthyma. [online] 2011 [cited 2011 Agustus 2]:[1
screen]. Available from: URL: http://www.patient.co.uk/doctor/Ecthyma.htm
17. Church Ronald. Neomycin in Pyogenic Skin Diseases. Br Med J 1954; 6: 314.
18. Ngan Vanessa. Fusidic Acid and Mupirocin. [online] 2008 [cited 2011 Agustus 2]:[1
screen]. Available from: URL: http://www.dermnetnz.org

Anda mungkin juga menyukai