Anda di halaman 1dari 5

Tatalaksana

Eritroderma merupakan salah satu kegawatdaruratan kulit dan membutuhkan perawatan di


Rumah Sakit pada kasus yang berat. Prinsip penatalaksanaan pada eritroderma adalah menjaga
kelembaban kulit, menghindarigarukan, menghindari faktor pemicu, pemberian steroid topikal,
dan mengobati penyebab serta komplikasi yang terjadi. Pada eritroderma, terjadi peningkatan
kehilangan cairan transepidermal, sehingga pasien berisiko tinggi untuk mengalami dehidrasi.
Tatalaksana awal yang dapat diberikan yaitu pemberian dan pengawasan asupan cairan dan
elektrolit untuk mencegah dehidrasi ataupun gagal jantung akibat overload cairan1.
Eritroderma dapat disebabkan oleh karena mengonsumsi obat-obatan. Semua obat yang
dianggap sebagai faktor pemicu eritroderma harus dihentikan pemakaiannya, seperti obat yang
mengandung lithium dan obat antimalaria yang dapat menjadi pencetus pada pasien dengan
psoriasis. Berikut adalah obat-obatan yang dapat mencetuskan terjadinya eritroderma:

Gambar 1. Obat yang Dapat Mencetuskan Terjadinya Eritroderma.1


Pada pasien eritroderma terjadi gangguan fungsi termoregulasi di kulit menyebabkan tubuh
melepaskan panas secara spontan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kondisi hipotermia. Suhu
ruangan dan disekitar lingkugan pasien harus hangat dan lembap demi kenyamanan pasien,
kelembapan kuit dan mencegah terjadinya hipotermia Perawatan kulit seperti oatmeal baths dan
wet dressings untuk mebersihkan lesi krusta. Kulit pasien akan cenderung kering dan bersisik
berisiko untuk terjadinya infeksi sekunder yang bersifat lokal. Untuk itu perlu diberikan bahan
yang dapat menjaga kelembaban kulit seperti emolien atau kortikosteroid potensi rendah. Emolien
merupakan suatu bahan yang melembutkan dan melembabkan kulit dengan cara membatasi
hilangnya cairan.1
Penggunaan protein yang berlebihan dapat terjadi karena peningkatan pembentukan
skuama. Kehilangan banyak protein ini akan menyebabkan terjadinya kondisi hipoalbuminemia.
Diet 130% dari kebutuhan diet orang normal dibutuhkan bagi pasien eritroderma untuk memenuhi
kebutuhan protein yang hilang.
Terapi simptomatik seperti antihistamin generasi pertama dengan efek sedasi untuk
meredakan keluhan gatal dan diuretik untuk mengurangi edema pada ekstremitas bawah akibat
kadar albumin yang rendah di dalam darah menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga
cairan intrasel akan mengisi jaringan interstisial. Antibiotik sistemik diperlukan bagi pasien yang
terbukti mendapat infeksi sekunder baik yang bersifat lokal maupun sistemik.1
Kortikosteroid sistemik dapat digunakan untuk eritroderma yang dimediasi oleh reaksi
hipersensitivitas obat, spongiotic dermatitis dan papuloerythroderma of Ofuji. Pada eritroderma
akibat alergi obat secara sistemik, dosis prednison adalah 4 x 10 mg. Penyembuhan biasanya
terjadi cepat dalam beberapa hari hingga minggu. Pada eritroderma akibat perluasan penyakit dosis
awal yaitu 4 x 10-15 mg per hari. Pada pengobatan kortikosteroid jangan lama (lebih dari 1 bulan)
sebaiknya digunakan metilprednisolon dibandingkan prednison karena efek samping yang lebih
sedikit dengan dosis ekuivalen Selain itu kortikosteroid sistemik dapat digunakan sebagai terapi
empiris pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya. Dosis kortikosteroid yang digunakan
adalah 1-2mg/kg/hari.2 Penggunaan kortikosteroid sistemik harus dihindari pada pasien
eritroderma yang dicetuskan oleh psoriasis karena dapat menyebabkan terjadinya reborn flare1.
Terapi empiris pada eritroderma yang tidak diketahui etiologinya dapat diberikan kortikosteroid
sistemik, metotrexat, cyclosporin (obat imunosupresan untuk psoriasis), acitretin, dan
mycophenolat mofetil.

Gambar 2. Tatalaksana Eritroderma.1

Gambar 3. Tatalaksana Eritroderma.2

Komplikasi

Komplikasi sistemik yang dapat terjadi akibat eritroderma yaitu ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit, gangguan termoregulasi, infeksi sekunder, gagal jantung, syok kardiogenik, acute
respiratory distress syndrome, penyakit hati kronis dekompensata, dan ginekomastia.1

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit


Cairan dan elekrolit dapat hilang melalui kapiler yang bocor yang dapat menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan protein terjadi sebanyak
10-15% pada eritroderma non-psoriasis dan 25-30% pada eritroderma akibat psoriasis.
Hilangnya protein dalam jumlah banyak ini menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif
dan dapat menyebabkan edema, muscle wasting, dan hipoalbuminemia.
High output cardiac failure
Rusaknya barier kulit pada eritroderma dapat menyebabkan terjadinya peningkatan
extrarenal water lost / penguapan air berlebihan melalui barrier kulit yang rusak. Adanya
peningkatan extrarenal water lost ini menyebabkan kehilangan panas tubuh yang
menyebabkan hipotermia dan kehilangan cairan yang menyebabkan dehidrasi. Respons
tubuh terhadap kondisi dehidrasi dengan meningkatkan cardiac output yang apabila terus
berlanjut akan menyebabkan terjadinya gagal jantung, dengan manifestasi klinis seperti
takikardi, sesak, dan edema.
Infeksi sekunder
Terjadi peningkatan kolonisasi bakteri akibat adanya inflamasi, fisura, dan ekskoriasi pada
kulit. Pada kondisi yang lebih parah, dapat terjadi sepsis. Pada pasien erythrodermic
cutaneous T-cell lymphoma dan human immunodeficiency virus-positive erythroderma
memiliki risiko tinggi untuk mengalami staphylococcal sepsis.

Prognosis

Prognosis dari eritroderma sangat bergantung terhadap etiologinya. Eritroderma yang


disebabkan karena obat memiliki prognosis baik apabila obat tersebut berhenti dikonsumsi.
Eritroderma akibat psoriasis dan dermatitis atopic biasanya sembuh dalam hitungan minggu
hingga bulan, akan tetapi kondisi kronik dan persisten masih dapat terjadi. Rekurensi dari
eritroderma akibat psoriasis terjadi sebanyak 15% kasus setelah resolusi pertama. Eritroderma
yang disebabkan alergi obat sistemik memiliki prognosis yang baik dan masa pennyembuhan yang
cepat. Pada eritroderma yang belum diketahui penyebabnya dengan jelas, penatalaksanaan dengan
kortikosteroid hanya mengurangi gejala dan pasien dapat mengalami ketergantungan terhadap
steroid.3
Daftar Pustaka:

1. Grant-Kels JM, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith, LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine,
7th ed. Chicago: McGraw-Hill Company, 2008: 225-32.

2. Sehgal VN, Srivastasa G, Sardana K. Erythroderma/exfoliative dermatitis: a synopsis.


International Journal of Dermatology. 2004;43:3947.

3. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2015.

Anda mungkin juga menyukai