Anda di halaman 1dari 7

Eritroderma Disebabkan Alergi Obat

Asrawati Sofyan, Siti Nur Rahmah, Asnawi Madjid


Department of Dermatovenereology Medical Faculty of Hasanuddin University /Wahidin
Sudirohusodo Hospital Makasar

Abstrak
Eritroderma adalah penyakit inflamasi kulit dengan karakteristik eritema dan sisik
pada hampir seluruh bagian tubuh. Eritroderma disebabkan oleh banyak etiologi seperti
penyakit kulit yang meluas, alergi terhadap obat, penyakit sistemik dan idiopatik. Kira-kira 5-
40% eritroderma disebabkan oleh alergi obat. Tanpa memperhitungkan penyakit yang
mendasari, pasien eritroderma harus dirawat inap. Eritroderma yg disebabkan alergi obat
mempunyai prognosis yg baik, sekiranya obat penyebab dapat dikenal pasti dan dihentikan
pengambilannya. Kami melaporkan kasus eritroderma yang disebabkan erupsi obat pada
wanita 56 tahun. Manajemen pada pasien ini adalah menghentikan konsumsi obat penyebab,
pemberian deksametason secara intravena. Kortikosteroid topikal seperti salep deksametason
0.025% dan krim hidrokortison 2.5%, menunjukkan hasil yang memuaskan.
Kata kunci: eritroderma, alergi obat, deksametason iv, krim hidrokortison 2.5%, salep
deksosimetason 0.025%.
Pendahuluan
Eritroderma adalah kelainan kulit yang tergolong dalam kelompok erupsi
papuloskuamosa, dengan karakteristik eritema dan skuama yang meluas lebih dari 90% area
permukaan tubuh. Nama lain bagi penyakit ini adalah dermatitis eksfoliata, pytiriasis rubra
(Hebra), eritroderma (Wilson Brocq), dan eritema scarlatiniform. Eritroderma dapat
disebabkan oleh perluasan penyakit kulit atau penyakit sistemik, psoriasis 23%, spongiotic
dermatitis 20%, reaksi hipersensitifitas obat 15%, CTCL (cutaneous T-cell lymphoma) atau
sindroma Sezary 5% dan dermatitis seboroik idiopatik 4%.
Insidens eritroderma bervariasi, berkisar dari 0.9 sehingga 71 kasus setiap 100,000
orang. Dari data yg didapatkan dari penelitian tahun 1981 hingga 2000, didapatkan laki-laki
lebih sering menderita dibanting wanita dengan rasio 2,2 :1. Umur rata-rata pasien yang
menderita penyakit ini adalah 41-61 tahun, di mana anak-anak adalah termasuk kriteria
ekslusi pada penelitan sebelumnya.
Patogenesis eritroderma belum jelas. Secara umum, boleh dikatakan bahwa
patofisiologi eritroderma adalah kurang lebih sama, kecuali kalau ada penyakit yang
mendasari. Pada eritroderma, onset sel epidermis meningkat, sehingga waktu transit yang
dibutuhkan keratinosit melalui epidermis menjadi lebih pendek. Karena proses yang cepat,
stratum korneum, terdapat beberapa komponen yang biasanya diabsorbsi atau dimetabolisme.
Sebagai tambahan, peningkatan sirkulasi eritroderma epidermis dan dermis, dan
permeabilitas pembuluh darah.
Kehadiran sitokin pada infiltrasi dermis boleh bervariasi, tergantung pada dasar
penyakit eritroderma. Eritroderma yang ringan menunjukkan kehadiran sitokin T helper-1,
sedangkan sindroma Sezary menunjukkan sitokin T helper-2 melalui mekanisme
patofisiologi yang berbeda. Interleukin (IL)-1, IL-2, IL-8 molekul adhesi selular (ICAM)-1,
faktor nekrosis tumor dan gamma interferon adalah sitokin yang berperan pada eritroderma.
Peningkatan ekspresi molekul perekat meningkatkan proliferasi epidermis dan produksi
mediator inflamasi.
Penanganan eritroderma secara umumnya adalah berdasarkan etiologi eritroderma itu
sendiri. Rawat inap, di mana penanganan dermatologi tersedia, juga fasilitas yang
mendukung dan laboratorium yang adekuat, secara umumnya boleh menjadi pilihan
penanganan pada pasien dengan eritroderma. Eritorderma bisa menjadi kasus medis yang
serius dan membahayakan pasien, serta memerlukan perawatan. Kasus ini melaporkan
eritroderma yang disebabkan alergi obat pada wanita 56 tahun. Pasien berespon baik terhadap
kortikosteroid sistemik dan topikal.
Laporan kasus
Wanita, 56 tahun datang ke Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, dengan keluhan
bercak-bercak merah pada seluruh tubuh yang dideritainya sejak 6 hari yang lalu. Pada
awalnya, terasa gatal pada kedua tangan, 11 hari yang lalu, dan pasien ke Rumah Sakit
Sungguminasa dan diberi sefadroksil, loratadin dan salep deksosimetason. Tetapi tidak
menunjukkan gejala perbaikan, gatal dan bercak merah disertai bengkak menyebar secara
meluas. Bercak kemerahan pada awalnya terdapat dalam mulut dan wajah, kemudian
menyebar ke bagian tubuh yang lain. Sisik kemudian muncul pada seluruh tubuh dan
ekstremitas. Pasien mengeluh nyeri pada mata dan nyeri saat buang air kecil. Pasien juga
mengeluh mual. Tidak ada demam. Riwayat demam 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan
pasien menkonsumsi parasetamol. Berdasarkan riwayat lalu, pasien pernah menkonsumsi
obat herbal l sebelum gatal-gatal dan bercak merah timbul. Riwayat alergi obat dan alergi
makanan disangkal. Riwayat pernah menderita keluhan seperti ini disangkal. Tidak pernah
menderita kelainan kulit lain sebelumnya. Riwayat keluarga menderita keluhan yang sama
disangkal. Riwayat diabetes dan hipertensi disangkal, pasien mempunyai riwayat menderita
sinusitis dan polip hidung. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum pasien tampak
sakit, kesadaran compos mentis, nutrisi cukup. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan dermatologi pada seluruh permukaan tubuh menunjukkan makular eritema dan
skuama. Pada bagian wajah didapatkan eritematosa, skuama dan krusta.
Dari hasil laboratorium menunjukkan leukositosis (28.700/l), dan hasil lab lain
dalam batas normal. Hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan epidermis dengan
hiperplasia psoriasis, hiperkeratosis, parakeratosis, banyak akumulasi neutrofil pada area ini,
hipogranulasi fokal, spongiosis, pelebaran pembuluh darah papilari dermis, termasuk
eritrosit. Dermis bagian atas mengandung penumpukan infiltrat dari limfosit yang meradang,
eosinofil, neutrofil perivaskuler. Pada kesimpulannya: dermatitis kronis spongiosa akibat
erupsi obat.
Pasien didiagnosa dengan eritodema akibat erupsi obat, eritroderma akibat psoriasis
vulgaris. Berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan histopatologik, didapatkan
diagnosis eritroderma et causa erupsi obat. Penanganan yang diberikan adalah menghentikan
konsumsi obat penyebab, infus Ringer laktat (20 tetes/menit), injeksi 1 ampul (5mg/ml)
deksametason secara iv setiap 12 jam, ranitidin 1 ampul setiap 12 jam, mebhidrolin
naphadisilate 50 mg dua kali sehari. Penanganan topikal adalah salep deksosimetason
0.025%, dan krim hidrokortison 2.5% pada area wajah. Penanganan post-biopsi adalah
eritromisin 500 mg tiga kali sehari, dan tablet natrium diklofenak 3x1.
Pada hari kedua perawatan, pasien dikonsul ke spesialis mata dengan diagnosa mata
kering dan diberi tetes mata cendo teen, pasien juga dikonsul ke spesialis penyakit dalam
karena keluhan nyeri dada.
Pada hari keempat perawatan, didapatkan keluhan gatal, sedangkan eritema dan
skuama berkurang, rawatan dilanjutkan.
Pada hari keenam perawatan, pasien mengeluh kadang gatal. Eritema dan skuama
sebagian besar berkurang. Oleh karena lesi mulai membaik, deksametason diganti dengan
obat oral metilprednisolon 20 mg sehari.
Pada hari ketujuh perawatan, pasien dibenarkan pulang, dan hasil pemeriksaan
dermatologi menunjukkan sisik halus pada tubuh, dan hanya sedikit eritema pada daerah
vertebra, dan pasien direkomendasi untuk kontrol di rumah sakit Bhayangkara.
Pasien didagnosis eritroderma akibat alergi obat. Penanganan diteruskan dengan
metilprednisolon 20mg perhari, mebhydrolin naphadisilat 2x50 mg perhari (jika gatal) dan
obat topikal salep deksosimetason.
Diskusi
Berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik, didapatkan eritematosa dan
skuama pada hampir seluruh bagian tubuh, yang menurut literatur, adanya simptom
eritematosa eritroderma dan skuama pada seluruh tubuh atau sebagian besar bagian tubuh.
Eritroderma diklasifikasi menjadi dua jenis yaitu eritroderma primer/idiopatik (20%) dimana
penyebab tidak diketahui, dan eritroderma sekunder (80%) dengan penyebab yang telah
diketahui seperti penyebaran penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya, obat-obatan atau
penyakit sistemik.
Pada kasus ini, eritroderma disebabkan reaksi alergi obat. Prevalensi eritroderma
disebabkan oleh berbagai obat di berbagai populasi. Pada penelitian yang diketuai oleh E.
Euch D et al, pada 127 kasus eritroderma di Tunisia, 13% adalah jelas. Sementara, dari
letratur yang berbeda, menjelaskan prevalensi eritroderma yang disebabkan obat adalah kira-
kira 5-40% dari semua kasus eritroderma.
Terdapat berbagai obat yang bisa menyebabkan eritroderma. Dari berbagai literatur
dijelaskan jenis obat yang sering menyebabkan eritroderma adalah calcium chanbel blocker,
antiepilepsi, anmikroba (sefalosporin, penicilin, sulfonamid, vankomisin), allupurinol, emas,
litium, quinidine, simetidin, NSAIDs dan dapsone. Obat yang paling dicurigai sebagai
penyebab pada pasien ini adalah sefadroksil, dan tidak dapat disingkirkan dengan obat yg
tidak diketahui namanya, parasetamol dan herbal. Walau bagaimanapun, untuk mendiagnosa
obat penyebab, perlu dilakukan patch test.
Skuama yang terbentuk pada eritroderma bervariasi, tergantung derajat eritroderma
dan penyakit yang mendasari. Pada eritroderma akibat reaksi alergi obat, skuama ditemukan
lebih tipis. Pada kasus ini, pada awalnya kemerahan pada bibir dan wajah, kemudian
menyebar ke seluruh tubuh dalam beberapa hari. Kemerahan pada kulit juga diikuti dengan
pembentukan skuama.
Pemeriksaan laboratorium pada eritroderma pada umumnya tidak membantu untuk
menegakkan diagnosa yang spesifik. Kelainan yang sering ditemukan adalah anemia,
leukositosis dengan eosinofilia, kadar sedimentasi eritrosit meningkat, hipoalbuminemia,
peningkatan kadar asam urat. Pada kasus ini didapatkan leukositosis (18.700/l)
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan histopatologik didapatkan dermatitis spongiotik
kronis akibat erupsi obat. Pada literatur dikatakan biopsi kulit pada eritroderma akibat obat
didapatkan parakeratosis, menghilangnya lapisan sel granular dan hiperplasia psoriasiform.
Pemeriksaan histopatologik tidak dapat membedakan dengan pasti penyebab eritroderma.
Spesimen biopsi eritroderma cenderung menunjukkan deskripsi non spesifik seperti
hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis dan infiltrasi peradangan kronik. Sepertiga dari
spesimen biopsi gagal menunjukkan penyebab penyakit dari diagnosa eritroderma. Akurasi
diagnosa oleh ahli dermatopatologis hanya sebesar 50% tanpa informasi klinis yang jelas.
Untuk itu, biopsi multipel direkomendasikan untuk meningkatkan kebenaran diagnosi
histopatologis.
Diagnosis banding eritroderma akibat psoriasis disingkirkan karena berdasarkan
riwayat pasien, bercak merah timbul setelah pasien menkonsumsi obat dan tidak ada keluarga
yang menderita keluhan yang sama. Ini adalah bertentangan dengan psoriasis yang
mempunyai faktor genetik. Eritroderma psoriasis dimulai dengan plak psoriasis khas yang
biasa ditemukan pada area predileksi psoriasis. Pada gambaran klinis pasien ini didapatkan
sisik halus, sedangkan pada psoriasis sisik tebal dan berlapis.
Oleh karena penyebab eritroderma bervariasi, penanganan eritroderma harus
dilakukan di rumah sakit. Prinsip penanganan adalah dengan memastikan kulit senantiasa
lembab, menghindari kulit digaruk, menghindari faktor pencetus, memberi steroid topikal,
mengobati penyakit yang mendasari, dan menangani komplikasi yang muncul. Selain itu
perlu dimonitor nutrisi, protein dan keseimbangan elektrolit, status sirkulasi dan suhu tubuh.
Pada eritroderma akibat erupsi obat, adalah penting untuk menghentikan segera
pemberian obat yang dicurigai sebagai penyebab eritroderma dan menghindari obat yang
tidak diperlukan.
Pada kasus ini, pasien diopname dan dihentikan pemberian obat-obatan yang
dicurigai. Pemantauan terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit. Untuk menghindari
infeksi setelah biopsi, diberi eritromisin 1500 mg sehari dibagi dalam 3 dosis.
Pada eritroderma, antihistamin sedasi oral dapat membantu mengurangkan gatal-gatal
yang dirasakan pasien. Pada kasus ini, pasien diberi mebhidrolin napadisilate 50mg dua kali
sehari.
Pada eritroderma akibat erupsi obat alergi, diperlukan kortikosteroid sistemik. Dosis
yang diberi adalah 1-2mg/kg per hari. Pada kasus ini, pasien diberi deksametason 1 ampul
setiap 12 jam secara intravena, dan pada hari keenam diganti dengan metilprednisolon 20 mg.
Prognosis eritroderma bergantung pada penyebab penyakit. Eritroderma akibat erupsi
obat, prognosis lebih baik apabila obat penyebab diketahui dan penggunaannya dihentikan.
Pada kasus ini, pasien mengalami reaksi alergi akibat obat. Sebaiknya diketahui obat yang
dicurigai menjadi penyebab timbulnya erupsi dan dihentikan pemberiannya. Pasien berespon
baik terhadap penanganan yang diberikan dan bisa dibuktikan pada kasus ini pasien
ertiroderma akibat erupsi obat mempunyai prognosis yang baik.















REFERENCES
1. Margaret J, Bernstein ML, Rothe MJ. Exfoliative dermatitis. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General 32th Graw Hill
Medical;2008. P. 225 - 32.
2. Burton JL, Holden AC. Eczema, lichenification, Prurigo and Erythroderma.
In;Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook'sth Medicine. 7ed. New
York: Mc.ed. London: Blackwell Science; 1999.Textbook of Dermatology. 7 P.17.48 -
17:52.
3. Habif TP. Exfoliative Er y throderma In: Habif TP. Dermat Clinical ology: AC olour
Guide to D iagnosis and T herapy. 4
th
ed. Edinburg: Mosby; 2004. p. 491.
4. Richard AF, PapulosquamousClark TH. eruptions and Exfoliative Dermatitis. In:
Moachella SL, Hurley HJ, Editors. Dermatology. 3
rd
ed. Philadel phia: WB Saunders
Company; 1992. P. 641-7.
5. Arnold HR, Odam RB, James WD. Rosea, pityriasis rubra pilaris, and Other
Papulosquamous. In: James WD, Berger TG, Elston DM, editors. Andrews' Diseases
of the Skin Clinical Dermatology. tenth ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. p. 215-6.
6. Rym BM, Mourad M, Bechir Z. Erythroderma in adults: a report of 80 cases.
International Journal od Dermatology. 2004 31 March; 44 (9) :731-5.
7. Karakayli G, Beckham G, Orengo I et al. Exfoliative dermatitis. A American Family
Physician 1999; 59.
8. Murphy FG. Non Infectious Diseases Vesicobullous and Vesiculopustular. In: Elder
ED, Elenitsas R, Johnson LB, Murphy FG, editors. Lever'sth histopathology of the
skin. 9 Philadelphia: Lipincott William & Wilkins; 2005. p. 251
9. Sterry W, Mnche M, Erythroderma. In: Bolognia LJ, LJ Jorizzo, Rapini PR
editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. P. 165 - 74.
10. Euch El D, Zeglaoui F, Benmously M et al. Erythroderma: A Clinical Study of
127 Cases and Review of the Literature. Exog J Dermatol 2003; 2: 234-9.
11. Dwiprahasto I. Epidemiology and Drug Side Effects Monitoring. Scientific
Seminar set text & E Dermatology; Yogyakarta; 2009
12. White MG, Cox HN. Patterns of Drug eruptions. In: White MG, Cox HN
Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. p. 18nd.editors. Diseases of the Skin. 2ed.
13. Sterry W, Muche M. Erythroderma. In: Bolognia LJ, LJ Jorizzo, Rapini PR,
editors. Dermatology. London: Mosby; 2003. p. 165-74
14. EL ownership. Drug eruptions. In: Moschella LS, Hurley JH, editors. 3rd
Saunders C; 1992. p.535-73.
15. Neil Crowson, Brown J T. Progress in the Understanding of the pathology and
pathogenesis of Cutaneous Drug Eruption, Implications for Management.Am J Clin
Dermatol 2003; 4 (6): 407-428.

Anda mungkin juga menyukai