Anda di halaman 1dari 21

MEREKONSTRUKSI KOMPETENSI KE-IPS-AN

BERDASARKAN PARADIGMA TEKNOHUMANISTIK


(Model Pendidikan Masa Depan Menuju Terwujudnya Manusia
Indonesia yang Cerdas dan Berkarakter Indonesia)

Oleh :
Wayan Lasmawan
Guru Besar Pendidikan IPS Undiksha/
Dewan Pakar HISPISI

Bagian Satu: Pengantar


Di saat dunia dihadapkan pada ketidakberfungsian mekanika
moral-sosial, maka hanya pendidikanlah yang masih bertahan dengan
kesantunan etika dan maknawi moral kemanusiaan (Nitko, 1918:1).
Untuk menjadikan sebuah kegiatan pendidikan menjadi ”baik” dan
”bermakna” bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah apalagi
menjadikannya ”sebuah permainan”. Karena melalui tangan-tangan
ajaib pendidikanlah manusia-manusia berkualitas dunia terlahir, dan
melalui pendidikan pula terlahir manusia-manusia yang merusak
tatanan keharmonian dunia (Abidjani, 2006:217).
Pendidikan ideal selalu bersifat antisipatif dan prepatoristik, yakni
selalu mengacu ke masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi
muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bermutu, dan
bermakna. Akan tetapi, dari hasil refleksi dan kajian kritis-reflektif
Dantes (2007), terhadap pemikiran dan praktik pendidikan di Indonesia,
pendidikan ideal seperti itu, telah kehilangan momentum, karena masih
sebatas transfer ilmu dan olah pikir, tetapi tidak membangun karakter
siswa.
Kurikulum yang diyakini sebagai komponen vital dan strategis
dalam keseluruhan sistem pendidikan, juga belum menjadi instrumen
efektif bagi terwujudnya pendidikan nasional yang ideal, karena masih
kental dengan “content oriented” yang berbasis keilmuan (Lasmawan,
2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pun, masih sangat
kental dengan paradigma “esensialisme”. Indikasinya dapat dilihat dari
rumusan pengertian “pengetahuan sosial” di dalam konsep KTSP
(Depdiknas, 2006). Ditegaskan oleh Hasan (2006) bahwa definisi yang
menyatakan bahwa IPS sebagai “simplifikasi ilmu-ilmu sosial atau ilmu-
ilmu sosial yang dibelajarkan di sekolah, adalah definisi yang
dikembangkan dari pandangan esensialisme”, yang lebih menekankan
pada penguasaan “kompetensi dasar bidang keilmuan”.
Dilihat dari perspektif siswa, kelemahan utama kurikulum
esensialistik terletak pada pandangan bahwa siswa hanya diperankan
sebagai passive recipient terhadap realitas dan kebenaran yang secara
ontologis berada di luar dirinya (Winataputra, 2001). Pembelajaran IPS
pun akhirnya kurang diminati siswa. Sebagian besar pakar IPS meyakini
bahwa keniscayaan kurikuler esensialistik semacam itu, dapat
menghambat perkembangan modalitas akademik dan modalitas sosial
siswa, serta mendistorsi “genuine concepts” atau “indigenous science”
mereka tentang alam semesta yang dibangun dan dikembangkan dari
keseharian pengalaman sosial dan kulturalnya (Ellis, 1998; Abidjani,
1
2006). Kondisi ini juga dapat mendistorsi atau merusak self-concept
siswa yang merupakan faktor esensial bagi pembentukan identitas atau
karakter siswa itu sendiri. Sejalan dengan perubahan paradigma
pembelajaran IPS, yang dimulai pada era 1980an, yaitu dari paradigma
“mainstream academic knowledge” ke paradigma “transformative
academic knowledge” (Banks, 1995), para pakar dan pengembang
pembelajaran IPS sepakat untuk merekonstruksi dasar-dasar pemikiran
kurikulum IPS sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan
mutakhir, yakni teori rekonstruksi sosial (NCSS, 1994).
Teori rekonstruksi sosial juga diprediksi akan menjadi salah satu
pilar pembelajaran IPS masa depan, dan menggeser «kebiasaan»
behaviorisme (Winataputra (2001). Namun demikian, komitmen untuk
menjadikan teori rekonstruksi sosial sebagai paradigma baru IPS di
Indonesia, belum banyak didukung oleh hasil-hasil penelitian
kontekstual. Beberapa penelitian yang telah dilakukan belum
menjangkau dimensi-dimensi lain dari kurikulum IPS. Berangkat dari
preposisi tersebut, tujuan, isi, dan pembelajaran IPS seperti apakah
yang harus dikembangkan berdasarkan paradigma teori rekonstruksi
sosial ?. standar kompetensi IPS yang bagaimanakah yang harus
dikembangkan ?, dan Pola pengorganisasian dan struktur isi kurikulum
IPS yang seperti apa yang harus dikembangkan ?.
Berangkat dari sejumlah pertanyaan di atas, maka tujuan dari
pengembangan dan penawaran konsep dalam makalah ini adalah untuk
« mendiskusikan dan menelaah » kedirian pendidikan IPS dalam
perspektif kebutuhan kompetensi IPS masa depan dalam paradigma
model pendidikan teknohumanistik. Upaya ini dipandang sebagai
sebuah keharusan, seiring dengan semakin menajamnya distorsi sosial
yang berkembang di masyarakat, sebagai dampak dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kondisi tersebut, harus terantisipasi secara
optimal dan komprehensif dalam pembelajaran IPS sebagai sebuah
synthetic dicipline.

Bagian Dua : Kompetensi IPS (tawaran konsep)


1. Rekonstruksi Dasar Kompetensi ke-IPS-an
Rekonstruksi kompetensi IPS di dalam makalah ini dikembangkan
berdasarkan perspektif teori rekonstruksi sosial ala Vygotsky tentang
“hakikat siswa secara ontologis”, bukan dari sebaran pokok-pokok
bahasan di dalam kurikulum, seperti yang umum dilakukan. Karenanya,
kompetensi IPS di dalam sajian ini merupakan refleksi dari “karakter
siswa” sebagai makhluk personal, sosiokultural, dan intelektual. Dalam
terma KTSP, hal tersebut bermakna sebagai “Kurikulum Berbasis
Karakter”, daripada “Kurikulum Berbasis Kompetensi”. Kompetensi ke-
IPS-an “dasar” atau “standar” yang berhasil diidentifikasi secara
tipologis mencakup tiga dimensi pengembangan, yaitu: (1) kompetensi
personal; (2) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi intelektual.
Kompetensi personal merupakan kemampuan dasar yang
berkaitan dengan pembentukan dan pengembangan kepribadian diri
siswa sebagai mahluk personal atau individual yang merupakan hak dan
tanggung-jawab personalnya; sebuah tanggungjawab yang selama ini
terpinggirkan di dalam pendidikan IPS. Orientasi dasar pembentukan

2
dan pengembangan kompetensi personal ini difokuskan pada upaya
mengenalkan siswa, dan membangun “kesadaran diri” siswa sebagai
makhluk pribadi dengan segala keunikan dan keutuhan pribadinya yang
senantiasa akan terus berkembang. Sejumlah kompetensi personal ke-
IPS-an yang dirumuskan di dalam orasi ini adalah: (1) pembentukan
konsep dan pengertian diri; (2) sikap obyektif terhadap diri-sendiri; (3)
aktualisasi diri; (4) kreativitas diri; dan (5) penghayatan terhadap nilai
dan sikap keagamaan dalam kehidupan pribadi dan sosiokultural.
Kompetensi sosial adalah kemampuan dasar yang berkaitan
dengan pembentukan dan pengembangan “kesadaran” dan
“kepribadian” siswa sebagai makhluk sosial dan budaya. Pembentukan
dan pengembangan kompetensi-kompetensi sosial ini disesuaikan
dengan tuntutan sosial dan budaya masyarakat Indonesia masa kini dan
mendatang, termasuk tuntutan masyarakat global. Sejumlah
kompetensi dasar sosio-kultural yang dirumuskan di dalam orasi ini
adalah: (1) pemahaman dan kesadaran atas hakikat diri sebagai
anggota atau bagian dari masyarakat; (2) pemahaman dan kesadaran
atas kesantunan dalam bermasyarakat; (3) kemampuan berkomunikasi;
(4) keterampilan ber-interaksi; (5) kemampuan bekerjasama dengan
sesa-ma; (6) sikap pro-sosial atau altruisme; (7) kemam-puan partisipasi
sosial; dan (8) pemahaman dan kesadaran terhadap keberbedaan dan
kesederajatan.
Kompetensi Intelektual, adalah kemampuan berpikir atau
bernalar yang didasarkan pada adanya kesadaran atau keyakinan atas
sesuatu baik yang bersifat fisikal, sosial, psikologis (indrawi atau
nonindrawi), serta memiliki makna baik bagi dirinya maupun orang lain
(diadaptasi dari Dewey, 1910). Kemampuan dasar intelektual ini
bertalian dengan pembentukan dan pengembangan karakter atau jati
diri siswa sebagai makhluk berpikir, yang menggunakan kemampuan
atau daya nalar dalam menerima, memproses, dan membangun
pengetahuan, nilai, sikap, dan tindakannya baik dalam kehidupan
personal maupun sosialnya. Kompetensi intelektual mencakup
kemampuan berpikir “standar atau alamiah” maupun “ilmiah”.
Berpikir standar/alamiah (indigenous thinking) adalah kemampuan
berpikir atau “cara-cara berpikir” yang bersifat “standar” bagi setiap
siswa yang terbentuk dan berkembang dalam kehidupan
kesehariannya, guna memenuhi kebutuhan perkembangan hidup
mereka, baik secara psikologis, sosial dan budaya pada masa kini dan
mendatang (NCSS, 2002). Cara-cara berpikir standar ini tidak harus
selalu dikaitkan dengan cara-cara berpikir suatu disiplin ilmu tertentu
(Hasan, 1993). Berpikir ilmiah (scientific thinking) adalah kemampuan
berpikir, atau “cara-cara berpikir” berdasarkan pada cara, kriteria atau
prosedur keilmuan.
Sejumlah kompetensi dasar intelektual yang dapat dirumuskan di
dalam makalah ini adalah: (1) berpikir kritis-reflektif; (2) berpikir
kontekstual; (3) berpikir pragmatis; (4) kemampuan keruangan/spasial;
(5) kemampuan pemahaman dan kesadaran tentang waktu; (6)
kemampuan logika-matematika; dan (7) kemampuan pemahaman dan
kesadaran kesejarahan. Secara diagramatik, pertalian kompetensi ke-
IPS-an tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

3
2. Rekonstruksi Dasar Pola Pengorganisasian Materi Ke-IPS-an
Mendasarkan analisis pada berbagai pandangan siswa, guru, dan
pakar yang diungkap dari beberapa studi, terdapat sejumlah gagasan
dasar yang dapat dijadikan prinsip pokok rekonstruksi pola
pengorganisasian materi ke-IPS-an, yaitu: (1) berkaitan dengan dan ada
manfaatnya bagi kehidupan keseharian, (2) memberikan pemahaman
terhadap alam atau lingkungan; (3) mudah, gampang dipahami, dan
terfokus; (4) meningkatkan hasrat untuk memperluas atau menambah
pengetahuan dan pengalaman; (5) menarik dan menyenangkan; dan (6)
disertai banyak contoh yang mudah dipahami dan sejauh mungkin
diambil dari lingkungan sekitar yang sudah akrab dengan siswa.
Berdasarkan gagasan dasar ini, maka yang perlu dipikirkan adalah
bagaimana memudahkan “pemahaman atau pengertian” IPS kepada
siswa, juga guru. Berlandaskan pada preposisi di atas, maka
rekonstruksi dasar pengorganisasian materi ke-IPS-an dapat dijabarkan
dalam bagan sebagai berikut:

S
4
M
(H
Sejalan dengan gagasan di atas, rekonstruksi pola pengorganisasian
dan struktur materi ke-IPS-an hendaknya berpijak pada konteks:
Konteks personal, meliputi: (a) konstruksi pengetahuan lama
siswa; (b) domain pengalaman siswa; (c) jaringan struktur pengetahuan
atau juga disebut “ekologi konseptual”; (d) identitas kultural personal
siswa; dan (e) domain psikologi siswa. Konteks ini memberikan prinsip
bahwa pola organisasi isi kurikulum IPS harus assimilatif, akomodatif,
dan adaptif dengan mekanisme-mekanisme dan fungsi-fungsi internal
siswa (individually defined).

JALINANTE
Konteks inter-personal/sosiokultural siswa, adalah kondisi atau
lingkungan sosiokultural berupa “alat-alat psikologis” (psychological
tools) yang diciptakan dan digunakan oleh guru untuk memediasi dan
memfasilitasi antara fungsi-fungsi internal siswa (kognitif, afektif, dan
motorik) dengan prasyarat-prasyarat tindakan siswa, di dalam
hubungan-hubungan dialektisnya dengan sesama siswa selama
pembelajaran berlangsung (Vygotsky, dalam Kozulin, 1998). Konteks ini
menyediakan prinsip bahwa pola pengorganisasian dan struktur isi
kurikulum IPS “must become a natural psychological functions as
perception, memory, and attention transformed for generating new

• Lingkungan
cultural forms of psychological functions”, dan bahwa “their nature
becoming culturally and socially informed and organized” (Kozulin,
1998:4, 40).

Regional/Dunia
Konteks sosial, kultural, dan historikal masyarakat”, adalah aspek-
aspek sosial, budaya dan historikal yang menjadi latar keseharian hidup
siswa. Konteks ini menyediakan prinsip bahwa pola pengorganisasian
dan struktur isi kurikulum IPS harus mengacu pada prinsip “a socially,

• Lingkungan
culturally, and historically relevant excellence) (Bruner, 1969:216).
Berlandaskan pada preposisi di atas, rekonstruksi pola
pengorganisasian dan struktur materi ke-IPS-an di sekolah hendaknya
mengacu pada penerapan prinsip-prinsip “a competency-based

Provinsi/Nasiona
student’s psychological, socio-cultural, and intellectual horizons
reconstructions”. Di sisi lain, pengorganisasian dan struktur materi IPS
5

• Lingkungan Sete
harus: (1) dapat dimengerti, dijelaskan, dan dimaknai secara personal
(individually defined), dalam artian assimilatif, akomodatif, dan adaptif
dengan mekanisme-mekanisme dan fungsi-fungsi internal siswa; (2)
merupakan “alat-alat psikologis” yang bersifat sosiokultural yang dapat
dijadikan mediasi dan jembatan bagi siswa untuk melakukan modifikasi
dan tranformasi struktur dan fungsi-fungsi internalnya (kognitif, afektif,
dan motorik) ketika interaksi dan komunikasi pembelajaran terjadi (a
sociocultural learning mediated); (3) memiliki relevansi dan singnifikansi
tinggi secara sosial, kultural, dan historikal (a socially, culturally, and
historically relevant excellence); (4) merupakan suatu jalinan atau relasi
yang saling berkaitan penuh makna di antara satu bagian materi
dengan bagian materi yang lain, menjadi sebuah totalitas atau kesatuan
materi; (5) mengikuti pola “sirkular”, “spiral”, atau “siklus-berjenjang”
dengan cakupan materi yang semakin luas, kaya, variatif, dan berlapis;
(6) memungkinkan siswa mampu melakukan rekonstruksi-rekonstruksi
terhadap konstruksi pengetahuan, domain pengalaman, dan jaringan
struktur pengetahuan (faktual, deklaratif/konseptual, prosedural,
metakognitif, dan normatif/afektif) yang ada, menjadi sesuatu yang
baru, dan lebih baik. Agar rekonstruksi terjadi, isi kurikulum harus
menantang dan sarat masalah yang dapat menstimulasi dan menuntut
siswa terlibat secara aktif, kritis, dan reflektif untuk menemukan
pemecahannya; (7) berpijak pada dan bertujuan mengembangkan
kompetensi-kompetensi personal, sosial, dan intelektual, sebagai dasar
bagi siswa untuk melakukan rekonstruksi-rekonstruksi pengetahuan,
nilai, sikap, dan tindakan secara mandiri di dalam konteks kehidupan
personal dan sosial; dan (8) mampu menyinambungkan, memperkuat,
dan memperluas struktur alamiah dan sosiokultural siswa yang sudah
ada dan terbentuk di dalam kehidupan kesehariannya di masyarakat.

3. Rekonstruksi Dasar Struktur Materi Kurikulum IPS


Struktur materi IPS secara kategorik meliputi: (1) struktur
substantif/ konseptual, (2) struktur sintektik/prosedural, dan (3) struktur
normatif/afektif, yang satu dengan lainnya saling berkaitan membangun
kesatuan struktur materi.
Struktur substantif, adalah jalinan atau relasi antar-materi
kurikulum yang saling berkaitan dan penuh makna di antara berbagai
dimensi pengetahuan (faktual, konseptual/ deklaratif, metakognitif)
yang menyediakan kerangka “konseptual yang sama, jelas, dan utuh”
kepada siswa di dalam: (1) merumuskan pertanyaan, (2) menemukan
cara yang tepat untuk memperoleh dan menafsirkan data, (3) berpikir,
bersikap, dan bertindak, dan (4) membangun pengertian, nilai, sikap,
dan tindakannya, terhadap berbagai realitas, fenomena, masalah,
dan/atau kasus-kasus yang dihadapi di dalam latar kehidupan personal
dan sosialnya. Struktur substantif IPS secara eklektik diorganisasi dari:
(a) “pengetahuan fungsional” atau disebut juga “pengetahuan
spontan/keseharian”, “pengetahuan alamiah” (indigenous science), atau
“konsep asli” (genuine concept) yang dibangun siswa dari realitas dan
atau pengalaman sosio-kulturalnya dalam kehidupan masyarakat (Ellis,
1998); dan (b) “pengetahuan non-fungsional” atau “pengetahuan
ilmiah” (scientific knowledge) dari disiplin ilmu-ilmu sejauh memiliki
tingkat keterkaitan dengan struktur pengetahuan siswa, dan bisa
6
mendukung terciptanya keutuhan jalinan tema kajian (Hasan, 1993;
Somantri, 2001). Struktur sintaktik, adalah jalinan atau relasi antar-
materi kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di antara berbagai
jenis prosedural, yang dapat memfasilitasi siswa di dalam hal: (a)
pendekatan, strategi, cara, teknik, keterampilan, proses, dan/atau
prosedur dalam mengkaji, menguji, memperluas, dan membangun
pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya; (b) prinsip-prinsip dan kriteria-
kriteria yang harus ditaati ketika menggunakan atau menerapkan
pendekatan, strategi, cara, teknik, keterampilan, proses, dan/atau
prosedur tersebut untuk mengkaji, menguji, menginterpretasi, dan
membangun pengertian, nilai, sikap, dan tindakannya. Struktur sintaktik
IPS secara eklektik dikembangkan dari: (1) struktur sintaksis keseharian,
yang telah dimiliki dan dipraktikkan siswa dalam realitas kehidupan
keseharian, khususnya dalam cara-cara mereka: (a) “mengaitkan”
pengetahuan, nilai, keterampilan, dan sikap yang sudah ada di dalam
dirinya dengan pengalaman-pengalaman baru yang mereka peroleh;
dan (b) “membangun” pengetahuan, nilai, keterampilan, dan sikap dari
pengalaman kesehariannya; dan (2) struktur sintaksis keilmuan (sosial
dan non-sosial), dengan tetap mempertimbangkan keterkaitannya
dengan struktur sintaksis siswa; didasarkan pada pertimbangan
kemungkinan aplikasinya oleh siswa; sesuai dengan karakteristik bidang
kajian IPS; dan sudah diadaptasi, dimodifikasi, khusus untuk
kepentingan pembelajaran IPS di dunia persekolahan.
Sebagai substansi kurikulum IPS, penggunaan struktur sintaksis
keilmuan tersebut bukan dimaksudkan untuk melatih siswa ke arah
penguasaan pendekatan, strategi, cara, teknik, keterampilan, proses,
prosedur, dan/atau prinsip-prinsip dan kriteria-kriteria keilmuan;
melainkan lebih pada upaya untuk memperkuat dan memperluas
“operasi-operasi” dasar yang terdapat di dalam struktur atau organisasi
tindakan-tindakan siswa, yaitu: (1) operasi-operasi kognitif, atau lazim
pula disebut “proses-proses kognitif”, atau “keterampilan intelektual”;
(2) operasi meta-kognitif, “strategi kognitif”, atau juga lazim disebut
“strategi metakognitif, fungsi eksekutif atau struktur kontrol”;
“kemampuan pengelolaan-diri” dan/atau “aktivitas matemagenik”; (3)
operasi afektif; dan (4) operasi-operasi psikomotorik (keterampilan
fisik). Secara diagramatik, pertalian rekonstruksi dasar struktur materi
IPS dalam konteks persekolahan dapat digambarkan sebagai berikut:

7
Struktur normatif/afektif (Cornbleth, 1991:38), atau dalam istilah
Piaget disebut “skema afektif”, dimaksudkan sebagai jalinan atau relasi
antar-materi kurikulum yang saling berkaitan penuh makna di antara
berbagai muatan normatif atau afektual. Struktur normatif/afektif ini
memberikan kepada siswa sebuah kerangka berpikir, bersikap, dan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma dan sikap-sikap
berdasarkan kelayakannya dari sisi standar etika, budaya, moral,
agama, pengetahuan ilmiah, maupun estetika (Philips, 1987:125).
Struktur normatif/afektual ini secara eklektik dikembangkan
berdasarkan nilai, norma, dan sikap yang terdapat di dalam agama,
budaya, hukum, moral, ilmu pengatahuan, etika, maupun estetika yang:
(1) menjadi kesepakatan umum atau bersama, di kalangan masyarakat
luas dan komunitas IPS; dan (2) dimiliki dan menjadi acuan personal
siswa dalam berpikir, bersikap, dan bertindak dalam latar kehidupan
personal dan sosiokulturalnya. Kedua jenis muatan struktur
normatif/afektif tersebut secara sinergis harus mampu mendukung,
memperkuat, memperluas, dan/atau merekonstruksi struktur
normatif/afektif yang terdapat di dalam diri siswa. Berkenaan dengan
muatan struktur normatif/afektif yang masih kontroversi yang ada di
“wilayah tabu” seperti disarankan oleh Cornbleth (1991) hingga kini
belum ada kesepakatan di kalangan pakar IPS di Indonesia, juga belum
ada penelitian yang dilakukan dan mendukung signifikansinya. Oleh
karena itu, dalam studi inipun hal tersebut dipandang masih belum
perlu dimasukkan dalam rekonstruksi struktur muatan kurikulum ke-IPS-
an.
Pengorganisasian isi kurikulum IPS sebagai suatu keutuhan yang
sistemik dari pengalaman-pengalaman belajar bermakna bagi siswa,
yang secara eklektik dikembangkan sejalan dengan prinsip
kesinambungan dan interaksional antara pengalaman-pengalaman
alamiah siswa yang dibangun dari berbagai latar kehidupan personal
dan sosiokultural kesehariannya dengan pengalaman-pengalaman
ilmiah yang dibangun dari latar kehidupan kelas atau sekolah.
Kebermaknaan muatan kurikulum IPS dapat dicapai secara ideal, jika:
(a) diorganisasi dan dikembangkan berdasarkan prinsip keterjalinan dan
keutuhan tematikal di antara struktur substantif, sintaktik, dan normatif
menjadi sebuah totalitas atau kesatuan isi kurikuler; (b) diposisikan

8
sebagai mediasi dan fasilitasi bagi siswa untuk melakukan “kaitan-
kaitan fungsional” dan “rekonstruksi-rekonstruksi internal” terhadap
struktur ekologi alamiah dan sosiokulturalnya; dan bukan sebagai
kumpulan dari unit-unit informasi terpisah-pisah yang harus dikuasai
oleh siswa untuk tujuan-tujuan keilmuan semata.
Struktur muatan kurikulum IPS secara intrinsik dibangun
berdasarkan prinsip “a student’s psychological, sociocultural, and
intellectual horizons reconstructions character-based” (Ellis, 1998), dan
secara eklektik terdiri dari muatan-muatan yang terdapat di dalam: (a)
“struktur alamiah dan sosiokultural” siswa, (b) “struktur sosio-kultural-
historikal” masyarakat, dan (c) “struktur keilmuan” Pendekatan
keilmuan yang terlalu kuat atau berlebihan di dalam pengorganisasian
isi kurikulum IPS, mengandung bahaya bagi terjadinya materi yang: (a)
sangat abstrak, verbalistis, akademis, dan steril terhadap hasrat dan
minat alamiah dan sosiokultural siswa untuk lebih memahami dan
memaknai diri dan masyarakatnya; (b) dapat merusak “struktur
alamiah dan sosiokultural” siswa; (c) melemahkan “konsep-diri
akademik” siswa, dan (d) melepaskan siswa dari realitas
sosiokulturalnya yang menjadi konteks pembentukan dan
implementasinya.
Berdasarkan kajian di atas, maka kedepan pendidikan IPS
hendaknya dapat dikembangkan berdasarkan sebuah prinsip
kesepadanan antara nilai-nilai lokal dengan nilai-nilai universal dalam
konteks kebaruan. Artinya, diperlukan sebuah model pendidikan yang
mampu menterjadikan pertautan interpersonal-intercontektual dan
interkultural berbagai kompetensi siswa secara holistik dalam warna
universalitas yang berbasis pada kemajuan sains dan teknologi, yaitu
model pendidikan teknohumanistik.
Bagian Tiga: Model Pendidikan Teknohumanistik
a.Konsep Dasar
Format pendidikan masa depan hendaknya dirancang sedemikian
rupa untuk mampu memberdayakan segala potensi kebangsaan dalam
terma-terma nilai budaya tradisional dan terus berproses seiring dengan
perkembangan jaman, dalam balutan tali temali kebudayaan nasional
yang terberdayakan (enpowerment). Model pendidikan karakter di masa
depan harus disandarkan pada keluhuran dan kearipan nilai budaya
lokal yang terbarukan. Salah satu model yang relevan untuk
menjembatani keinginan tersebut adalah model pendidikan
teknohumanistik, yaitu sebuah model rekayasa didaktik-metodik yang
mentransformasikan budaya, sain, teknologi, dan nilai-nilai keadaban
berdasarkan prinsip-prinsip harkat kemanusiaan, yang dalam
aplikasinya bersandar pada nilai-nilai tradisional yang terbarukan dan
terus berproses pada sumbu keunggulan lokal (local genius).
Pendidikan pada dasarnya adalah upaya sadar yang berproses
untuk menjadikan manusia sebagai sebuah sumber daya yang
terberdayakan dengan segala potensinya, sehingga pendidikan sering
dikatakan sebagai medium transformasi budaya, sehingga kualitas
sebuah bangsa sering disandarkan parameternya pada tingkat kualitas
institusi pendidikan yang dimilikinya. Penyandaran para meter pada
kualitas kelembagaan pendidikan, telah menegaskan bahwa dunia
pendidikan sangat berperan dalam pembangunan peradaban bangsa,
9
dan pembentukan nilai-nilai modern yang berakar pada nilai-nilai
budaya tradisional dengan segala piranti sistimnya (lasmawan, 2008).
Bertalian dengan preposisi tersebut, pendidikan harus mampu menjadi
agen of change dari keseluruhan dimensi kehidupan masyarakat
bangsa, menuju terbangunnya nation and character values. Untuk itulah
pembekalan nilai dan moral-etika dalam konteks pendidikan mutlak
diperlukan, sehingga fondasi dari segala bentuk praktek pendidikan
tetap berproses pada sumbu kearifan lokal dan hegemoni budaya
bangsa (Robinson, 2006). Penegasan terhadap fakta ini adalah
pernyataan kaum Deweyan bahwa: “smarter and mores plus character,
that is the real goal of education”. Untuk menterjadikan hal itu,
diperlukan praktisi pendidikan (guru) yang mampu melakonkan dan
menginternalisasikan nilai-nilai kearifan dan etika kebangsaan dalam
sentuhan kemanusiaan dengan penuh keiklasan dan ketawakalan yang
disadari. Bilamana hal ini terwujud, maka pendidikan karakter
kebangsaan dapat terlaksana dengan baik dalam suasana yang
menyenangkan dan meaningfull. Secara diagramatik, pendidikan
teknohumanistik dapat digambarkan sebagai berikut.

b.Landasan Pengembangan
Secara umum, pendidikan teknohumanistik berlandaskan pada 3
(tiga) acuan dasar pengembangan pendidikan, yaitu: (1) acuan filosofis,
(2) acuan akademis, (3) acuan nilai kultural, dan (4) acuan lingkungan
M
IN
potensial. Deskripsi dari masing-masing landasan tersebut adalah:
Landasan filosofis, adalah acuan yang mendasari pengembangan
pendidikan teknohumanistik yang berbentuk abstraksi nilai-nilai filosofis
yang menggambarkan kondisi saat ini dan masa yang akan datang.
Pada dimensi ini, obyek forma pendidikan adalah proses pemanusiaan
manusia, oleh sebab itu, pendidikan harus mampu: mengembangkan
kreativitas, kebudayaan, dan peradaban, mendukung diseminasi dan
nilai keunggulan, mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, kesejajaran,
keadilan, dan spiritualitas, mengembang-kan kreatifitas dan
produktifitas yang koheren dengan nilai-nilai moral, serta mendukung
dan bertautan dengan upaya pembangunan masyarakat baru Indonesia,
sesuai dengan dinamika jaman saat ini dan dimasa mendatang.

10
Landasan akademis, adalah acuan yang mendasai pengembangan
pendidikan teknohumanistik dalam bentuk abstraksi akademis dan nilai
universalitas. Pada dimensi ini objek forma pendidikan adalah dimensi-
dimensi keilmuan yang terdiri dari aspek ontologi, aksiologi, dan
epistemologi, oleh sebab itu, pendidikan harus mampu meretas
kehadirannya secara rasional, wujud realitasnya, dan kebermanfaatan
dari pendidikan itu bagi kemaslahatan umat manusia. Performansi
akademik ini inheren dengan dinamika perkembangan masyarakat
dalam membentuk civilization-nya, sebagai wujud dari puncak-puncak
capaian umat manusia yang dibenarkan dan mendapat pembenaran
secara keilmuan (disiplin ilmu). Pada dimensi ini objek forma dari
pendidikan adalah fakta, konsep, generalisasi, teori, prinsip, dalil, dan
aksioma, serta abstraksi legal-yuridis. Dimensi akademis mengacu pada
konstruk dari model pendidikan yang akan dikembangkan dan
diterjadikan dengan tetap bersandar pada keagungan pilar-pilar
keilmuan universal.
Landasan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu
sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal,
nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal,
acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan
keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu
dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan,
kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan,
moral, harkat, martabat dan kebanggaan.
Landasan lingkungan potensial, mencakup lingkungan nasional
dan lingkungan global. Lingkungan nasional meliputi perubahan
demografis, sosiostrategis, dan sosio-politis, termasuk pengaruh
dinamika jaman yang semakin mengglobal, sehingga mendorong
lahirnya nilai-nilai baru di masyarakat seperti: profesionalisme,
kemandirian, etnosentrisme, altruisme, kerja keras, keunggulan, dan
ketepatan waktu, idiologisasi, dan politikisasi dalam konteks nasional
dan universal. Dalam perspektif nasional, pendidikan hendaknya
diarahkan pada upaya pemberian jawaban terhadap perubahan
masyarakat yang serba cepat dan tantangan reformasi kebangsaan
untuk menyiapkan bangsa ini berkompetisi di era global. Lingkungan
global ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi
informasi, runtuhnya batasan-batasan region, fluktuasi nilai tukar yang
menggila, dan dampak dari pergeseran orientasi masyarakat karena
kebutuhan berkompetisi secara sehat di era global.
Implikasi dari globalisasi dan reformasi adalah terjadinya
pergeseran struktural pendekatan pendidikan, dari paradigma
pengajaran ke paradigma pembelajaran dan internalisasi. Secara
substansial, perubahan tersebut pada dasarnya menyangkut: (1)
perubahan pada paradigma proses pendidikan, dari dominasi proses
guru ke dominasi proses siswa (student center), (2) perubahan dari
pendekatan klasikal ke pendekatan individual dan kompetensi yang
fleksibel, (3) perubahan dari penekanan pada capaian kuantitas ke
paradigma mutu dan akuntabilitas, (4) perubahan dari pendidikan yang
“sekenanya” ke arah pendidikan sepanjang hayat, dan (5) perubahan
dari pembelajaran yang bersandar media tradisional, kearah
pembelajaran yang berbasis IT, sehingga penghargaan terhadap
11
dampak dan manfaat sain dan teknologi semakin mengental pada
kedirian pendidikan. Pendidikan harus mampu “memainkan peran dan
fungsi terapis” bagi peningkatan kekuatan pilar-pilar kebangsaan
dengan inti nilai-nilai budaya lokal yang terbarukan, sehingga mampu
menghantarkan bangsa ini kearah rang lebih mapan dan kompetitif
(Lasmawan, 2008). Untuk kepentingan tersebut, diperlukan guru-guru
dengan kemapuan lebih, yang oleh Dantes (2009) diistilahkan dengan
“guru masa depan yang mengindonesia”, yaitu sebuah performansi
kompetensi kependidikan yang holistik, dengan ciri-ciri: terampil
melaksanakan pembelajaran, mampu dan terampil melakukan layanan
belajar, mampu dan terampil sebagai trendsetter instruksional, berjiwa
demokratris, menginternalisasi nilai-nilai budaya dalam pembelajaran,
mampu dan terampil sebagai model berpikir, bersikap, dan berperilaku,
dan terbuka terhadap kemajuan sain dan teknologi dalam keseluruhan
dimensi instruksionalnya. Bila kita cermati core values dan performansi
pendidikan yang dimaksudkan oleh pendidikan teknohumanistik, maka
seperti inilah “model pendidikan nasional di masa depan” yang harus
dikembangkan di setiap jenjangnya.

c. Prinsip Dasar
Penanda utama pendidikan teknohumanistik adalah ”transformasi
dan internalisasi nilai-nilai inti sains-teknologi-budaya lokal” dalam
poros keadaban umat manusia sesuai dengan dinamika dan kebutuhan
masyarakat global”. Hal ini berarti, bahwa pendidikan teknohumanistik
tidak mengharamkan kemajuan sain dan teknologi, namun mengelola
kemajuan dan produk sain teknologi dalam bingkai keunggulan nilai-
nilai budaya lokal, sehingga akan melahirkan nilai lokal yang terbarukan
sebagai inti dari keseluruhan praktek pendidikan. Model transformasi
dan internalisasi pada konteks ini akan melahirkan manusia-manusia
indonesia yang cerdas, modern, tetapi tetap bersandar dan berpihak
pada keagungan nilai-nilai budaya komunitas bangsa dan negaranya.
Hal ini akan menjadi pembuktian, bahwa model pendidikan
teknohumanistik merupakan ”design pendidikan masa depan” yang
mampu menjadi alternatif utama ”safety nation in globalization”,
sehingga kekhawatiran kehilangan generasi atau tergerusnya integritas
kebangsaan akan tereliminasi dengan sendirinya.
Pada aplikasinya, pendidikan teknohumanistik mengelaborasi
beberapa prinsip dasar yang bersifat sinergis dan holistik dalam
kerangka humanism-instructional. Adapun prinsip-prinsip dasar
pendidikan teknohumanistik tersebut adalah:
 Bersandar pada keunggulan nilai-nilai budaya lokal yang terbarukan
berdasarkan prinsip-prinsip sain dan teknologi, sehingga segala
aktivitas instruksional mestinya diarahkan dan dilihat dari lensa
moralitas kebangsaan, dengan tanpa mengabaikan kemajuan dan
revolusi sain serta teknologi.
 Bersandar pada komitmen dan sinergi semua potensi pendidikan
secara komprehensif dalam konstruk kinerja kolaboratif-mutualis,
sehingga terbangunnya komitmen bersama diantara semua
komponen pendidikan, yang bermuara pada keagungan etika dan
norma-norma kebangsaan yang mengglobal.

12
 Bersandar pada karakter kebangsaan, yang artinya keseluruhan
praktek pendidikan diarahkan pada upaya pembangunan dan
pembentukan karakter kebangsaan, dengan mendorong revitalisasi
dan redefinisi nilai-nilai dan norma-etika masyarakat lokal, sehingga
akan memunculkan paradigma kebangsaan yang bersifat nasionalis-
integratif.
 Bersandar pada internalisasi dan transformasi domain kognisi, afeksi,
dan psikomotir secara proporsional, sehingga mendorong munculnya
konsep dan praktek rekonstruksi kognitif pada setiap pribadi perserta
didik sesuai dengan dalil-dalil teori rekonstruksi sosial, menuju
terbangunnya kompetensi yang utuh dan holistik pada tataran dan
ruang-ruang meta pedagogis.
 Bersandar pada ketertanggapan sosial tinggi, melalui design
instruksional yang menantang dan membudayakan peserta didik
untuk belajar, melalui pembiasaan dan pelatihan kompetensi yang
komprehensif dan berkelanjutan, sehingga terwujud pembelajaran
yang bermakna.
 Bersandar pada apresiasi diferensiasi kepentingan belajar peserta
didik, sehingga pembelajaran yang mesti dikembangkan oleh guru
mengacu pada pengemasan instruksional demokratis, melalui teknik
reward and punishment yang humanis dalam iklim belajar yang
kondusif.
 Bersandar pada transpormasi lingkungan sosial-budaya dalam
konteks pembelajaran, melalui optimalisasi latar sosial
kemasyarakatan dalam keseluruhan dimensi sosial-pedagogik,
sehingga memacu percepatan kompetensi belajar pada peserta didik.
 Bersandar pada pengembangan kreativitas, motivasi, dan kepedulian
sosial peserta didik, melalui pengembangan iklim pembelajaran yang
kondusif dan medium pelatihan kompetensi yang bersifat integratif,
untuk mendorong terbangunnya tanggungjawab sosial pada kedirian
peserta didik.
 Bersandar pada mediasi lahir dan berkembangnya nilai-nilai lokal
yang terbarukan, melalui sistim pembelajaran yang integratif dan
holistik pada dimensi modernitas sain dan teknologi, dengan
keluhuran nilai-nilai lokal masyarakat, menuju terbentuknya
keterampilan penalaran moral yang realistik pada kedirian peserta
didik.
 Bersandar pada manajemen pendidikan yang demokratis dan
transfaran, melalui pengembangan iklim kinerja yang sinergis dan
mutualis antar berbagai komponen dari lini praktisi, administrator,
sampai pengambil kebijakan, serta akreditor pendidikan dengan
parameter yang terukur dan measureable.
 Bersandar pada penghargaan terhadap komunitas sekolah, melalui
pengembangan format dan real society dalam kehidupan sekolah
secara terencana, terukur, bertujuan, dan terevaluasi oleh semua
komponen dan stake holder pendidikan, sehingga terbangun konstruk
masyarakat dalam kehidupan sekolah.
 Bersandar pada partisipasi moral material semua komponen
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, sehingga
tanggungjawab ketercapaian tujuan pendidikan bukan semata-mata
13
dibebankan pada sekolah, melainkan merupakan kewajiban dan
tanggungjawab semua komponen masyarakat, mulai dari guru,
tenaga administrasi, siswa, kepala sekolah, pengawas sekolah,
pemerintah, dunia industri, masyarakat umum, legislator, dan
kelompok-kelompok berkepentingan yang peduli pada dunia
pendidikan.
 Bersandar pada design penilaian yang realistik dan holistik, melalui
pengembangan dan penggunaan berbagai bentuk dan jenis
instrumen penilaian, sehingga dapat menakar dan mengakomodir
berbagai kompetensi yang menjadi objek dan tujuan penilaian,
dengan tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar penilaian yang
dilegalkan secara akademik.

d. Tradisi Pendidikan Teknohumanistik


Misi pendidikan teknohumanistik harus menyebutkan secara
benar dan nyata mengenai domain sains dan teknologi yang akan
dikembangkan sesuai dengan karakteristik serta kebutuhan pencapaian
kesejahteraan masyarakat, sesuai dengan kaidah-kaidah keadaban
umat manusia. Oleh sebab itu, penghargaan dan optimalisasi dimensi
aksiologi pada konteks ini merupakan acuan dasr yang mesti
diperhatikan dan dijadikan sebagai dasar aktivitas instruksional oleh
guru. Pada konteks ini, pelibatan komponen di luar sekolah, seperti
orang tua dan masyarakat secara terencana harus terus dilakukan,
mengingat penekanan dari pendidikan teknohumanistik adalah pada
terbangunnya nilai-nilai lokal yang terbarukan, dimana pendidikan nilai-
moral pertama itu adalah dalam lingkungan keluarga dan dipengaruhi
oleh masyarakat sekitarnya, sehingga pelibatan tersebut adalah
sesuatu yang esensial. Berdasarkan prinsip dasar dan misi dari
pendidikan teknohumanistik di atas, maka dapat diformulasikan tradisi
pendidikan teknohumanistik sebagai berikut.
Dimensi Kompetensi Pendidikan Kompetensi
Akademis Karakter Global
Filosofis Membelajarkan nilai Berkompetensi Mampu berpikir,
dan kompetensi sebagai komunitas bersikap,
kearipan berpikir, yang mandiri dan berperilaku, dan
bersikap, dan bijaksana merancang masa
berperlaku depan diri dan
bangsa
Akademis Membelajarkan dan Berkompetensi dan Mampu merekon-
melatihkan konsep, terampil dalam struksi potensi
generalisasi, teori, menginternalisasi sesuai dengan
dalil, dan prinsip berbagai domain sains dan
keilmuan yang phenomena teknologi
integratif kebangsaan
Nilai Kultural Membelajarkan dan Berkompetensi Mampu menginter-
memediasi dalam nalisasi dan
internalisasi nilai- mentransformasi mentran-
nilai lokal/budaya dan sformasikan nilai
bangsa menginternalisasi lokal dalam
nilai-nilai dinamika global
keunggulan lokal
Lingkungan Membelajarkan dan Berkompetensi Mampu

14
Strategis membiasakan sikap dalam melakukan berpartisipasi dalam
ketertanggapan dan aksi-aksi sosial merancang bentuk
tanggungjawab sesuai dengan masyarakat masa
sosial sesuai dengan dinamika depan sesuai
kebutuhan/situasi masyarakat dengan karakteristik
nilai-nilai lokal

Secara hierarkhis, terdapat 4 (empat) dimensi tujuan yang


tercakup dalam pendidikan teknohumanistik, yaitu: (1) penguasaan
sains, (2) penguasaan teknologi, (3) penguasaan nilai-moral, dan (4)
penguasaan kompetensi kebajikan (wisdom). Sinergi dan pertautan
akademis dari ketiga tujuan tersebut dapat dilihat pada silogisme-
akademis berikut. Kompetensi sains-teknologi mesti dikuasai oleh
peserta didik dengan tetap bersandar pada aksiologi, yaitu demi
kemaslahatan umat manusia dengan tanpa tercabut dari akar budaya
lokal yang menjadi porosnya. Belajar sains-teknologi tidak mesti
mengabaikan apalagi merusak tatanan spektrum nilai-nilai luhur
komunitas pendukungnya, karena melalui sains-teknologi pada
dasarnya dapat dilakukan fungsionalisasi dan revitalisasi nilai-nilai lokal
untuk pijakan berbuat atau melakukan aksi-aksi sosial bagi
kesejahteraan umat manusia.
Berdasarkan silogisme di atas, pendidikan dalam dunia
persekolahan mesti selalu bersandar dan terkait dengan apa yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat, sehingga prakte-praktek
pendidikan tidak tercabut dari akar budaya bangsa, justru memperkuat
dan memfungsionalkan nilai-nilai tersebut dalam pembentukan karakter
personal dan komunitas peserta didik (Lasmawan, 2008). Aksi
instruksional dalam masyarakat sekolah, dapat dirancang sedemikian
rupa untuk mengelaborasi puncak-puncak kebudayaan daerah yang
berupa nilai-moral aplikatif sampai terbentuknya peradaban
(civilization), dimana takaran dan makna nilai-moral ini
ditransformasikan dan di internalisasikan melalui kegiatan-kegiatan
instruksional, sehingga dapat menjadi benteng atau zona embarkasi
moral mereka dalam menghadapi pengaruh negatif globalisasi.
Pembelajaran berbuat baik dan kebajikan merupakan fondasi bagi
terselenggaranya demokrasi yang berkualitas, oleh sebab itu
pendidikan teknohumanistik juga merupakan medium yang sangat
strategi dalam pembangunan demokrasi kebangsaan.

e. Silogisme Pendidikan Teknohumanistik


Penyikapan terhadap dinamika global, dan kebutuhan
pembangunan demokrasi yang berkualitas, memerlukan kepedulian,
ketertanggapan, keterbukaan, kejujuran, ketulusan, pemahaman diri,
keteguhan hati, disiplin diri, kepedulian sosial, dan tanggungjawab
sosial dari individu-individu warga negara, oleh sebab itu, pembelajaran
yang mesti dikembangkan oleh guru, bukan lagi bersandar pada
transfering konsep, melainkan pemaknaan konsep dan pelatihan serta
pembiasaan melakukan kebaikan dan kebajikan dalam dinamika
masyarakat kelas (sekolah). Melalui iklim dan model pembelajaran
dengan muatan seperti di atas, diharapkan terbentuk karakter peserta
didik yang cerdas, modern, dan bertata nilai budaya luhur bangsa,
sehingga pembangunan karakter kebangsaan dapat dilakukan secara
15
optimal dan komprehensif. Pembiasaan merupakan salah satu kata
kunci dalam pendidikan teknohumanistik, karena inti materi dari
pendidikan bukan banyaknya materi yang tersampaikan oleh guru
sebagai parameter keberhasilan, melainkan kebermaknaan materi
(melalui pelatihan dan pembiasaan) bagi peserta didiklah yang
merupakan ukuran tingkat keberhasilan praktek pendidikan.
Pendidikan teknohumanistik juga mendorong lahirnya sistim dan
perilaku kepemimpinan moral (mores leadership), karena karakter
peserta didik yang terbentuk dihiasi oleh seperangkat pengetahuan
moral, perasaan moral, perilaku moral, dan moralizing (internalisasi
moral). Kepemimpinan moral adalah salah satu bentuk kepemimpinan
yang lebih bersandar pada keteladanan realistik, dengan berpegang
pada intik kebajikan menurut agama, tata krama, dan kebenaran
yuridis. Dengan demikian, kepemimpinan moral tidak mengandalkan
pada kekuatan refresif atau hardwear force, melainkan berintikan pada
ketulusan, keterbukaan, keteladanan, kejujuran, dan demokrasi yang
kesemuanya itu bersifat softwear force. Menurut Lickona (1991),
pertautan komponen-komponen moral tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut.

•M oral aw areness
Pada konteks pendidikan moral, menurut Abijhani (2006), dalam
pendidikan moral, salah satu metode yang relevan dikembangkan
adalah values clarification. Melalui metode ini, akan terjadi apa yang

•Know ing m oral


oleh mereka diistilahkan dengan ”penggetaran memori menuju
moralitas”, yaitu suatu kondisi dimana peserta didik akan melakukan
penalaran moralnya secara personal berdasarkan posisi atau perspektif
nilai yang dianutnya, dan pada saat yang bersamaan, guru

erspective
•P -tak
memfasilitasi terjadinya rekonstruksi pada kedirian peserta didik
dengan rangsangan-rangsangan yang bersifat problematik. Pada
konteks ini, tergambar bagaimana peran dan funsi yang mesti dilakukan

•M oralR easoning
oleh guru, yaitu sebatas sebagai mediator dan kreator iklim
pembelajaran, dan bukan mencekoki peserta didik dengan konsep
”benar, salah, kurang, dan lebih”. Iklim yang seperti ini, sangat
dibutuhkan dalam pembelajaran moral, mengingat abstraksi moralitas

•Decision -m aking
peserta didik sangat ditentukan oleh ”rangsangan atau stimulus” yang

16

elf -know
•S ledge
menghampirinya, sehingga akan meng-engage memori mereka
berdasarkan posisi nilai yang dianutnya.
Untuk memfasilitasi terjadinya klarifikasi nilai (penyaringan dan
penginternalisa-sian) secara optimal pada kedirian peserta didik, maka
sekolah hendaknya mengembangkan iklim yang kondusif dengan tata
aturan yang jelas, terutama mengenai pembinaan tata krama dan etika
di kalangan warga sekolah. Di sisi lain, kepala sekolah, guru, dan staf
administrasi harus mampu menjadi moral model dalam sikap dan
perilakunya sehari-hari di lingkungan sekolah. Salah satu bentuk iklim
sekolah dengan tata krama dan aturan moral tersebut adalah: (1)
adanya buku saku tentang performansi siswa, (2) tata tertib sekolah
yang jelas dan terukur serta dipahami secara baik oleh warga sekolah,
(3) adanya pembinaan karakter secara terjadwal dan berkelanjutan, dan
(4) adanya peran serta masyarakat dalam mendukung penegakan tata
tertib sekolah secara benar dan sebenarnya.
Robinson (2008) dalam artikelnya yang bertitel: the moralizing of
student’s: how to engage trought real problematic, menegaskan bahwa:
(1) pendidikan moral tidak bijak dilakukan dengan menyertakan
hukuman langsung sebagai koridor akademisnya, (2) pemberian hadiah
ataupun penghargaan yang tidak jelas dan terukur dapat merusak tata
nilai dan moral;izing peserta didik, (3) pengkondisian dan fasilitasi
pembelajaran yang bersifat semu dan terminal akan merusak tata nilai
dan kedisiplinan peserta didik, dan (4) dukungan warga sekolah dalam
melaksanakan tata tertib dengan tegas dan terukur merupakan salah
satu kunci keberhasilan pendidikan moral bagi peserta didik.
Selanjutnya, direkomendasikan beberapa kiat untuk memaksimalkan
pendidikan dan pembiasaan perbuatan bermoral dilingkungan sekolah,
yaitu: (1) mengembangkan sikap, perilaku dan komunikasi yang bertata
krama diantara warga sekolah akan mendorong tumbuhnya sikap dan
perilaku baik dikalangan peserta didik, sehingga sangat penting adanya
komitmen dan ketegasan secara manajerial oleh kepala sekolah, dan (2)
mendorong tumbuh dan berkembangnya komitmen terhadap nilai dan
tata krama sosial-budaya dikalangan warga sekolah, khususnya peserta
didik, melalui pembelajaran yang bersifat demokratis dan
mengakomodir dinamika problematika sosial kemasyarakatan. Kedua
pola tersebut akan memungkinkan peserta didik untuk belajar, menilai,
menimbang, memutuskan, dan menginternalisasi secara sadar nilai-nilai
baik dan standar moral sesuai dengan posisi nilai yang dianutnya. Hal
ini tentu merupakan pekerjaan rumah yang berat bagi setiap satuan
pendidikan (sekolah), terlebih disaat konsep manajemen pendidikan kita
masih seperti sekarang (rancu).
Lasmawan (2008), menegaskan bahwa pendidikan nilai-moral
bukanlah sebagaimana pendidikan umum yang selama ini
dikembangkan dalam dunia persekolah kita. Pendidikan nilai-moral
harus bersandar dan berintikan nilai-nilai budaya masyarakat, yang
dikemas dalam desain pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
untuk: memilih, menyikapi, melaksanakan, dan memutuskan
penggunaan terhadap sebuah acuan nilai-moral yang sesuai dengan
karakteristik masyarakat serta pilihannya pribadi. Artinya, bahwa
metode yang relevan dikembangkan oleh guru dalam pembelajaran
nilai-moral, tidak lagi bermuara pada transfering konsep atau
17
pemindahan pengetahuan di kepala guru ke kepala siswa, karena nilai-
moral bukanlah sesuatu yang yang dapat dipindahtangankan
sedemikian rupa, tetapi harus ditelisik secara pribadi-pribadi, mengingat
nilai-moralitas sifatnya memang mempribadi. Untuk kepentingan
tersebut, Kosasih menyarankan guru dalam melakukan pembelajaran
harus bisa memupuk rasa kebersamaan, kesepakatan sosial, dan
keberanian siswa memilih orientasi nilai-moral sesuai dengan
kebutuhan belajar dan pengembangan pribadinya. Melalui pola dan
metode demikian, maka dapat diharapkan lahir manusia-manusia yang
bertata nilai tinggi dengan acuan moral yang jelas dan terpilih.
NCSS (2004) dalam artikelnya yang berjudul: How to
Reconstruction the moralizing in our class, merekomendasikan 3 (tiga)
langkah strategis dalam kaitannya dengan pendidikan moral dalam
spektrum ke-IPS-an, yaitu: (1) merancang perencanaan pembelajaran
yang mengakomodir berbagai problematika sosial kemasyarakatan
aktual, untuk membiasakan dan mengenalkan peserta didik secara dini
pada lingkungan sosialnya, sehingga terbentuk pemahaman yang real
dan natural oleh mereka pada berbagai phenomena sosial yang akan
ditemui di masyarakat, (2) melaksanakan dan mengembangkan
pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk mengembangkan sikap
dan perilaku kebaikan dan kebajikan, melalui pelatihan-pelatihan
perbuatan baik dan bijak, serta membiasakan mereka untuk melakukan
hal-hal yang sesuai dengan tata nilai keagamaan serta tata krama
sopan santun yang berlaku di masyarakat dalam lingkungan
kelas/sekolah, dan (3) melaksanakan penilaian atau evaluasi yang
sebenarnya, dengan menggunakan berbagai alat evaluasi yang bersifat
synthetic-dinamik, kemudian menginformasikan hasil evaluasi secara
personal untuk membangkitkan tangungjawab moral peserta didik
secara akademik. Melalui serangkaian tindakan tersebut, diharapkan
munculnya sikap dan perilaku siswa yang baik, dan bertanggungjawab,
karena selama pembelajaran telah terbiasa (dibiasakan) untuk
melakukan hal-hal yang baik dan bijak melalui tindakan nyata dan
terarah dalam iklim yang kondusif bagi kepentingan belajar mereka.
Berdasarkan berbagai kajian dan telisik fakta empiris di atas,
maka dapat ditegaskan bahwa dalam pendidikan teknohumanistik, guru
dituntut untuk mampu memahami, memiliki, dan membiasakan
berbagai cara berpikir, bersikap, dan perilaku-perilaku profesional yang
memungkinkan peserta didik untuk berkembang dan mengembangkan
berbagai potensi nilai diri dan masyarakatnya (budaya), sehingga
semua domain instruksional yang memungkinkan tumbuhnya
pemahaman moral, sikap bermoral, serta perilaku bermoral mesti
dimiliki dan dimahiri oleh guru, sebelum mereka membelajarkan apa
yang baik dan sebaiknya dilakukan oleh siswa untuk dapat
dikatagorikan manusia bermoral, bijak, dan berkarakter keindonesiaan
sebagai wujud nyata capaian pendidikan nasional. Pada konteks lain,
berbagai perubahan dan tantangan yang dihadirkan oleh globalisasi
pada dunia pendidikan, jangan sampai membuat guru mengalami
”keterkejutan mental profesional” apalagi ”syok personal”, karena
perubahan itu adalah sesuatu yang mutlak dan pasti berulang, namun
perubahan bukanlah berarti totalitas penggantian, namun tetap sebatas
perubahan yang akan terus berubah.
18
Daftar Bacaan:

Abijhani, P.V. (2006). The Social Studies Breaking Concepts. tersedia di:
www.spartan.ac. brocku.ca/~lward/ dewey/ dewey 1910.html [diakses
tanggal 10 Januari 2006].
Banks, J.A. (1995). Transformative Challenges to the Social Sciences
Disciplines: Implications for Social Studies Teaching and Learning..
Theory and Research in Social Education, XXIII(1).
Bennett, William J. (Ed., 1997). The Book of Virtues for Young People: A
Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster.
Brown, A.L. (1975). The Development of Memory: Knowing, Knowing
about Knowing, and Knowing How to Know. In: H.W. Reese (Ed.).
Advances in Child Development and Behavior. (Vol.10). New
York: Academic Press.
Benninga, J. (1991). Moral Character and Civic Education in the
Elementary School. Nership: Teachers College Press.
Bruner, J.S. (1969). After John Dewey, What?. dalam R.D. Archambault. (2d).
Dewey on Education: Appraisals. New York: Random-House. 211-227.
Bruner, J.S. (1978). The Process of Education. Cambrigde: Harvard University
Press.
Buchori, M. (2001a). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.
Buchori, M. (2001b). Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik
di Indonesia: Sebuah Renungan. dalam Membangun Masyarakat
Pendidikan. Jakarta: Indonesian Institute for Society Empowerment
(INSEP). 1-22.
Cornbleth, C. (1985). Critical Thinking and Cognitive Processes. dalam Stanley,
W. (ed). Review of research in Social Studies Eucation: 1976-1983. New
York: NCSS. 11-64.
Cornbleth, C. (1991). Research on Context, Research in Context. dalam
Shaver, J.P. (ed). Handbook of Research on Social Studies Teaching and
Learning. New York: Macmillan Publishing Company. 265-275.
Cresswell, J.W. (1994). Research Design: Qualitative & Quantitative
Approaches. London: SAGE Publications.
Cresswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing
Among Five Traditions. London: SAGE Publications.
Dantes, N. (2008). Pengembangan model dan materi pendidikan
multikultur dalam pembelajaran IPS dan PKn SMP (laporan
penelitian). Singaraja: Lembaga Penelitian Undiksha.
Dantes, N. (2009). Pendidikan Teknohumanistik (Suatu Rangkaian
Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan
Global) (Makalah). Universitas Pendidikan Ganesha: Panitia
Konaspi
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.

19
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan
Dosen. Jakarta. 2005.
Dewey, J. (1962). Child and Curriculum. The School and Society. London:
University of Chicago Press.
Dewey, J. (1964). Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy
of Education. New York: Mcmillan Co.
Ellis, A.K. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. (6th ed).
Boston: Allyn & Bacon.
Farisi, M.I. (1997). Pengembangan Pembelajaran Pendidikan IPS-SD
Berdasarkan Penggunaan Konsep Siswa. Tesis S2, Bandung: PPS IKIP
Bandung.
Gagne, R.M. (1977). The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart &
Winston.
Hasan, S.H. (1993). Tujuan Kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Jurnal
Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial (JPIS). edisi perdana. 92-101.
Hasan, S.H. (1996). Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial. (Buku Dua). Bandung: Jurusan
Pendidikan Sejarah FPIPS-IKIP.
Hasan, S.H. (2002). Pendidikan Sering Hanya Sebatas Transfer Ilmu: Tidak
Membangun Karakter Siswa dan Nilai Sosial. Pikiran Rakyat, 29
Nopember 2002.
Intibyah, Z. (2007). Revolution and women’s Charackter. Review of
Indonesian and Malaysian Affairs,Vol.11 8, No. 3, Juli-September.
Kahin, G.M.T. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta:
Sinar Harapan.
Kozulin, A. (1998). Psychological Tools: A Socio-cultural Approach to
Education. London: Harvard University Press.
Lasmawan, W. (2007). Pengembangan model pendidikan berbasis
sosial-budaya dan tantangan pelaksanaan pendidikan politik
dikalangan generasi muda. (makalah). Singaraja: Dinas
Pendidikan Kabupaten Buleleng – Bali.
Lasmawan, W. (2008). Pendidikan Teknohumanistik (pengembangan
model pertahanan dan keamanan berbasis soft security).
(Makalah). Singaraja: KNPI Kabupaten Buleleng.
Lasmawan, W. (2009). Model Teknohumanistik dan Peningkatan
Nasionalisme Keindonesiaan (Makalah). Bangli: Panitia Seminar
Akademik MGMP PKn SMP Kabupaten Bangli – Bali.
Lickona, T. (1996). Eleven Principles of Effective Character Education.
Journal of Moral Education.1, 1996, pp.93-94.
Marhadi, M. (2009). Membangun Keindonesiaan Lewat Budaya Daerah
(Makalah). Disampaikan dalam seminar nasional kebudayaan.
Jogjakarta: FISE UNY Jogjakarta.
NCSS. (1994). Expectations of Excellence: Curriculum Standards for Social
Studies. Washington: NCSS.
NCSS. (2004). Science-Technology-Society (STS) in Social Studies: Position
Paper. Washington DC: NCSS.
Nitko, V.S. (1918). The Revolution of Social Concept. USA: Agraware Ltd.
Philip, D.C. (1987). Philosophy, Science and Social Inquiry: Contemporary
Methodological Controversies in Social Science and related Applied
Fields of Research. Oxford: Pergamon Press.
Robinson, D. (2008). The Character Building in New Era. USA. Reinehart
Samangi, T. (2000). Keindonesiaan dalam Format Kedaerahan.
Bandung: Rosdakarya.
20
Saxe, D.W. (1991). Social Studies in Schools: A History of The early Years. New
York: State University of New York Press.
Somantri, (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Dedi Supriadi &
Rohmat Mulyana (ed). Bandung: PPS-FPIPS UPI dan PT. Remadja Rosda
Karya.
Sulistyo, H. (2006). Pembangunan karakter lokal, nasional dalam
konteks psikologi positivistik. (makalah). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Thomas, R.M. (1979). Comparing Theories of Child Development. Belmont,
California: Wadsworth Publishing Company, Inc.
Winataputra, U.S. (2001). Reorientasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Mengantisipasi Perubahan Sosial di Era Global. Makalah Seminar
Nasional dan Kongres Forum Komunikasi X Pimpinan FPIPS/FIS/FKIP
Universitas/IKIP se Indonesia serta Kongres HISPIPSI, 22-24 Oktober.
Wiriaatmadja, R. (2003). Pembelajaran IPS di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial. No.20 Tahun XI, Januari – Juni 2003. 22-27.

21

Anda mungkin juga menyukai