Anda di halaman 1dari 19

"Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar"

Disusun Oleh :
Crystina Midtry Sibarani
NPM 2305030055

Mata Kuliah : Konsep Dasar IPS


Kelas : 2023 Pemko Ok Pindahan

Program Studi S1 PGSD


Universitas Quality
2023
Kata Pengantar

Dengan mengucapkan syukur Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas rahmat dan
karunia-Nya makalah tentang pembelajaran IPS di SD ini dapat diselesaikan.

Tersusunnya makalah ini semoga mendatangkan manfaat yang besar untuk


pendidikan di indonesia pada umumnya dan untuk para pendidik pada khususnya.
Walaupun pada penyusunan makalah ini mengalami banyak kesulitan dalam
menyatukan berbagai materi penting untuk disusun agar menjadi sebuah bacaan
yang menarik untuk dibaca, namun akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.

Besar harapan agar makalah ini dapat menjadi salah satu sumber belajar yang baik
serta mendatangkan manfaat untuk seluruh pembaca. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, masih banyak kekurangan dan
kelemahannya. Oleh karena itu, adanya kritik dan masukan dari berbagai pihak
untuk menyempurnakan makalah ini sangat dinantikan. Semoga makalah ini dapat
mendatangkan manfaat bagi kita semua.

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara (UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1). Pendidikan mengandung
pengertian suatu perbuatan yang disengaja untuk menjadikan manusia memiliki
kualitas yang lebih baik. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti, dan sebagainya. Pendidikan IPS pada tingkat sekolah dasar
menggunakan pendekatan secara terpadu/fusi. Hal ini disesuaikan dengan
karakteristik tingkat perkembangan usia siswa SD yang masih pada taraf berfikir
abstrak.
Pengembangan pendidikan IPS tidak hanya diarahkan pada pengembangan
kompetensi yang berkaitan dengan aspek intelektual saja. Keterampilan sosial
menjadi salah satu faktor yang dikembangkan sebagai kompetensi yang harus
dikuasai oleh siswa dalam pendidikan IPS. Keterampilan mencari, memilih,
mengolah dan menggunakan informasi untuk memberdayakan diri serta
keterampilan bekerjasama dengan kelompok yang majemuk nampaknya merupakan
aspek yang sangat penting dimiliki oleh peserta didik yang kelak akan menjadi
warga negara dewasa dan berpartisipasi aktif di era global.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini ialah sebagai berikut:
Apa yang dimaksud dengan IPS?
Apa tujuan dari pembelajaran IPS di SD?
Bagaimana karakteristik pembelajaran IPS di SD?
Mengapa kita harus memperhatikan tujuan pembelajaran?
Bagaimana kriteria pembelajaran yang efektif?
Apa hakikat pembelajaran?

2
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui pengertian pembelajaran IPS.
Untuk mengetahui tujuan dari pembelajaran IPS.
Mengetahui karakteristik pembelajaran IPS di SD.
Agar dapat memahami tujuan pembelajaran.
Dapat memahami kriteria dan hakikat pembelajaran.
Membantu pembaca dalam memahami pembelajaran IPS di SD
D. Prosedur Pemecahan Masalah
Dari beberapa prosedur pemecahan masalah penyusun dapat memecahkan
permasalahan dengan mengkaji pustaka dan sumber-sumber yang berkenaan
dengan masalah.
E. Sistematika Uraian
Adapun sistematika uraian dari makalah ini yaitu:

BAB I Pendahuluan yang di dalamnya meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan


Masalah, Tujuan, Prosedur Pemecahan Masalah dan Sistematika Uraian.

BAB II merupakan pembahasan materi yang di dalamnya meliputi Pengertian IPS,


Tujuan Dan Karakteristik IPS,Kriteria Pembelajaran yang Efektif, Hakikat
Pembelajaran, Sumber Pembelajaran IPS yang di dalamnya terdapat penjelasan
mengenai media-media yang dipakai dalam pembelajaran IPS.

BAB III adalah bab terakhir yang merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian IPS
Istilah ilmu pengetahuan sosial (IPS) merupakan nama mata pelajaran ditingkat
sekolah atau nama program studi di perguruan tinggi yang identik dengan istilah
“social studies” dalam kurikulum persekolahan di negara lain, khususnya di
negara-negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat.

Namun pengertian IPS di tingkat persekolahan itu sendiri mempunyai perbedaan


makna khususnya antara IPS di sekolah Dasar (SD) dengan IPS untuk sekolah
menengah pertama (SMP) dan IPS untuk sekolah menengah atas (SMA).
Pengertian IPS di sekolah tersebut ada yang berarti program pengajaran, ada yang
berarti mata pelajaran yang berdiri sendiri, ada yang berarti gabungan (paduan) dari
sejumlah mata pelajaran atau disiplin ilmu. Perbedaan ini dapat pula diidentifikasi
dari pendekatan yang diterapkan pada masing-masing jenjang persekolahan
tersebut.

Pengertian IPS merujuk pada kajian yang memusatkan perhatiannya pada aktifitas
kehidupan manusia. Berbagai dimensi manusia dalam kehidupan sosialnya
merupakan fokus kajian dari IPS. Aktivitas manusia dilihat dari dimensi waktu yang
meliputi masa lalu, sekarang dan masa depan. Aktivitas manusia yang berkaitan
dalam hubungan dan interaksinya dengan aspek keruangan atau geografis. Aktivitas
manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya dalam dimensi arus produksi,
distribusi dan konsumsi. Selain itu dikaji pula bagaimana manusia membentuk
seperangkat peraturan sosial dalam menjaga pola interaksi sosial antar manusia dan
bagaimana cara manusia memperoleh dan mempertahankan suatu kekuasaan.
Pada intinya, fokus kajian IPS adalah berbagai aktivitas manusia dalam berbagai
dimensi kehidupan sosial sesuai dengan karakteristik manusia sebagai makhluk
sosial. (Sapriya, 2006)

Terdapat perbedaan yang esensial antara IPS sebagai ilmu-ilmu sosial (social
sciences) dengan pendidikan IPS sebagai social studies. Jika IPS lebih dipusatkan

4
pada pengkajian ilmu murni dari berbagai bidang yang termasuk dalam ilmu-ilmu
sosial (social sciences) atau dalam kata lain IPS adalah sebagai wujudnya. Setiap
disiplin ilmu yang tergabung dalam ilmu-ilmu sosial berusaha untuk
mengembangkan kajiannya sesuai dengan alur keilmuannya dan menumbuhkan
“body of knowledge”.
B. Tujuan Dan Karakteristik Pembelajaran IPS
Tujuan pendidikan IPS dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa pendidikan IPS
merupakan suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu pendidikan IPS harus mengacu pada
tujuan Pendidikan Nasional. Dengan demikian tujuan pendidikan IPS adalah
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menguasai disiplin ilmu-ilmu
sosial untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih tinggi.

Ada tiga aspek yang harus dituju dalam pengembangan pendidikan IPS, yaitu aspek
intelektual, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Pengembangan kemampuan
intelektual lebih didasarkan pada pengembangan disiplin ilmu itu sendiri serta
pengembangan akademik dan thinking skill. Tujuan intelektual berupaya untuk
mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami disiplin ilmu sosial.,
kemampuan berpikir, kemampuan prosesual dalam mencari informasi dan
mengkomunikasikan hasil temuan. Pengembangan kehidupan sosial berkaitan
dengan pengembangan kemampuan dan tanggung jawab siswa sebagai anggota
masyarakat. Tujuan ini mengembangkan kemampuan seperti berkomunikasi, rasa
tanggung jawab sebagai warga negara dan warga dunia, kemampuan berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan dan bangsa. Termasuk dalam tujuan ini
adalah pengembangan pemahaman dan sikap positif siswa terhadap nilai, norma
dan moral yang berlaku dalam masyarakat. (Sundawa, 2006).

Fokus utama dari program IPS adalah membentuk individu-individu yang memahami
kehidupan sosialnya-dunia manusia, aktivitas dan interaksinya yang ditujukan untuk
menghasilkan anggota masyarakat yang bebas, yang mempunyai rasa tanggung
jawab untuk melestarikan, melanjutkan dan memperluas nilai-nilai dan ide-ide
masyarakat bagi generasi masa depan.

Ada 3 kajian utama berkenaan dengan dimensi tujuan pembelajaran IPS di SD,
yaitu:

5
1. Pengembangan Kemampuan Berpikir Siswa
Pengembangan kemampuan intelektual adalah pengembangan kemampuan siswa
dalam berpikir tentang ilmu-ilmu sosial dan masalah-masalah kemasyarakatan. Udin
S. Winataputra (1996) mengemukakan bahwa dimensi intelektual merujuk pada
ranah kognitif terutama yang berkaitan dengan proses berpikir atau pembelajaran
yang menyangkut proses kognitif bertaraf tinggi dari mulai kemampuan pemahaman
sampai evaluasi. S. Hamid Hasan (1998) menambahkan bahwa pada proses
berpikir mencakup pula kemampuan dalam mencari informasi, mengolah informasi
dan mengkomunikasikan temuan.
2. Pengembangan Nilai dan Etika Sosial
S. Hamid Hasan (1996) mengartikan nilai sebagai sesuatu yang menjadi kriteria
suatu tindakan, pendapat atau hasil kerja itu bagus/ positif atau tidak bagus/ negatif.
Franz Von Magnis (1985) menyatakan bahwa etika adalah penyelidikan filsafat
tentang bidang moral, ialah bidang yang mengenai kewajiban-kewajiban manusia
serta tentang yang baik dan yang buruk.
3. Pengembangan Tanggung Jawab dan Partisipasi Sosial
Dimensi yang ketiga dalam pembelajaran IPS adalah mengembangkan tanggung
jawab dan partisipasi sosial yakni yang mengembangkan tujuan IPS dalam
membentuk warga negara yang baik, ialah warga negara yang berpartisipasi aktif
dalam kehidupan bermasyarakat.

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD harus memperhatikan kebutuhan


anak yang berusia antara 6-12 tahun. Anak dalam kelompok usia 7-11 tahun
menurut Piaget (1963) berada dalam perkembangan kemampuan
intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit operasional. Mereka memandang dunia
dalam keseluruhan yang utuh, dan menganggap tahun yang akan datang sebagai
waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (kongkrit), dan
bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (abstrak). Padahal bahan
materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep
seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity), arah mata angin, lingkungan,
ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan, atau kelangkaan
adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan
kepada siswa SD.

6
Berbagai cara dan teknik pembelajaran dikaji untuk memungkinkan konsep-konsep
abstrak itu dipahami anak. Bruner (1978) memberikan pemecahan berbentuk
jembatan bailey untuk mengkonkritkan yang abstrak itu dengan enactive, iconic, dan
symbolic melalui percontohan dengan gerak tubuh, gambar, bagan, peta, grafik,
lambang, keterangan lanjut, atau elaborasi dalam kata-kata yang dapat dipahami
siswa. Itulah sebabnya IPS SD bergerak dari yang konkrit ke yang abstrak dengan
mengikuti pola pendekatan lingkungan yang semakin meluas (expanding
environment approach) dan pendekatan spiral dengan memulai dari yang mudah
kepada yang sukar, dari yang sempit menjadi lebih luas, dari yang dekat ke yang
jauh, dan seterusnya.

Pendidikan IPS SD disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis dari
disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata. Konsep,
generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science ditentukan
setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya, walaupun diungkapkan
secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika, analisis, dan keterampilan
(skills) lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap fenomena secara sistematik.Agar
diterima,hasil temuan dan prosedur inkuiri harus diakui secara publik. (Supriatna,
2007).

Suatu tujuan dalam pengajaran adalah deskripsi tentang penampilan perilaku


(performance) murid-murid yang kita harapkan setelah mereka mempelajari bahan
pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran menyatakan suatu hasil yang
kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekedar proses dari pengajaran itu
sendiri.

Seperti dikatakan Mager (1975:5), sedikitnya ada tiga alasan pokok mengapa guru
harus memperhatikan / merumuskan tujuan pengajarannya.

Pertama, jika guru tidak merumuskan tujuan atau menentukan tujuan pengajaran
tetapi kurang jelas, maka ia tidak akan dapat memilih atau merancang bahan
pengajaran, isi, ataupun metode yang tepat untuk dipergunakan dalam pengajaran
itu. Dari pengamatan dan pengalaman kita mengetahui, karena tidak pernah
merumuskan tujuan pengajaran guru-guru pada umumnya cenderung hanya

7
menggunakan satu metode yang dianggap paling mudah yakni metode ceramah.
Apapun bahan pengajaran yang diberikan, baik bahan pengajaran yang berisi
aspek pengetahuan (cognitive domain) maupun yang lebih mengutamakan aspek
keterampilan (psychomotor domain) atau aspek sikap (affective domain), semuanya
diberikan dengan metode yang sama. Dengan demikian, tujuan-tujuan yang
sebenarnya diharapkan kurikulum sering tidak tercapai.

Kedua, tidak adanya rumusan tujuan pengajaran yang jelas bagi guru sehingga
sukar mengukur atau menilai sampai sejauh mana keberhasilan pengajaran itu.
Rumusan tujuan yang jelas dan menggambarkan suatu performance yang
diharapkan dikuasai oleh murid setelah mempelajari bahan pelajaran tertentu. Makin
jelas rumusan tujuan, makin mudah bagi guru memilih instrumen penilaian mana
yang tepat dipergunakan untuk mengukur atau menilai keberhasilan tujuan yang
telah dirumuskan itu. Sebaliknya tanpa tujuan yang jelas, guru akan menggunakan
instrumen penilaian dengan sembarangan saja, sehingga hasilnya pun tidak relevan,
tidak fair, dan tidak inovatif.

Ketiga, tanpa adanya rumusan tujuan yang jelas, sukar bagi guru untuk
mengorganisasikan kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha siswa pencapaian tujuan
pengajaran itu. Seperti telah dikatakan di atas, dengan adanya tujuan yang jelas
memungkinkan guru memilih metode mana yang sesuai dirumuskan. Bagi guru,
setiap pemilihan metode berarti menentukan jenis proses belajar-mengajar mana
yang dianggap lebih efektif untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan.

Di samping ketiga alasan yang telah dikemukakan di atas, ada satu hal lagi yang
penting dan perlu dikemukakan disini. Yakni dengan tidak adanya rumusan tujuan
pengajaran yang jelas, sukar bagi guru untuk mengadakan balikan (feedback)
terhadap proses belajar-mengajar yang telah dilaksanakan. Sebenarnya hal itu
sangat erat hubunganya dengan apa yang telah dikemukakan pada alasan kedua.
Dengan melihat hasil evaluasi yang diperoleh setelah mengalami proses belajar
tertentu, seyogianya guru dapat melihat kembali apakah program pengajaran yang
telah disusunnya itu baik. Jika belum, di mana letak kekurangan dan kesalahannya,
apakah pada pemilihan bahan pengajaran yang terlalu sukar atau terlalu mudah,
pada pemilihan dan penggunaan alat bantu mengajar yang kurang sesuai, ataukah

8
pada pemilihan metode mengajar yang kurang tepat? Semua ini tidak mungkin
dilaksanakan jika tujuan pengajaran itu sendiri tidak dirumuskan dengan jelas.
(Purwanto, 2006)

Hakekat belajar menurut teori kognitif dijelaskan sebagai suatu aktivitas belajar yang
berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perseptual, dan proses internal.
Kegiatan pembelajaran yang berpijak pada teori belajar kognitif ini sudah banyak
digunakan. Dalam merumuskan teori pembelajaran, tidak lagi mekanistik
sebagaimana yang dilakukan dalam pendekatan behavioristik. Kebebasan dan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar amat diperhitungkan, agar
belajar lebih bermakna bagi siswa. Sedangkan kegiatan pembelajarannya mengikuti
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Siswa bukan sebagai orang dewasa yang muda dalam proses berpikirnya.
Mereka mengalami perkembangan kognitif melalui tahap-tahap tertentu.
2. Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan
baik, terutama jika menggunakan benda-benda kongkrit.
3. Keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar amat dipentingkan, karena
hanya dengan mengaktifkan siswa maka proses asimilasi dan akomodasi
pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4. Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengkaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki si
belajar.
5. Pengalaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun
dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke kompleks.
6. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Tugas guru adalah menunjukkan
hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa yang telah diketahui
siswa.
7. Adanya perbedaan individual pada diri siswa perlu diperhatikan, karena faktor
ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Perbedaan tersebut
misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir, pengetahuan awal
dan sebagainya. (Budiningsih, 2005)

9
C. Kriteria Pembelajaran yang Efektif
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari cara pendidik mengajar dan
peserta didik belajar, sebab baik tidaknya hasil proses pembelajaran dapat dilihat
dan dirasakan oleh pendidik dan peserta didik sendiri. Proses belajar mengajar yang
dikatakan berhasil apabila ada perubahan pada diri peserta didik. Perubahan
perilaku ini menyangkut pengetahuan, sikap dan keterampilan. Juga didalam proses
pembelajaran peserta didik harus menunjukan kegairahan belajar yang tinggi,
semangat kerja yang besar dan percaya pada diri sendiri. Untuk memperoleh hasil
seperti yang telah dikemukakan diatas, salah satu caranya adalah meningkatkan
kualitas belajar.

Untuk kegiatan proses pembelajaran yang efektif dan memperoleh hasil yang
memuaskan, pendidik dan peserta didik perlu menggunakan cara-cara belajar yang
efektif pula. Sebenarnya banyak cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh
keefektifan dalam proses pembelajaran, yaitu mulai dari memberikan informasi dan
penjelasan, memberikan tugas, praktek di laboratorium sampai dengan praktek di
lapangan. Namun apakah semua kegiatan itu efektif dilaksanakan oleh peserta didik
dan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa mengetahui pembelajaran yang baik.
(Rukmana, 2006)

Untuk memahami konsep belajar secara utuh perlu digali lebih dulu bagaimana para
pakar psikologi dan pakar pendidikan mengartikan konsep belajar. Pandangan
kedua kelompok pakar tersebut sangat penting karena perilaku belajar merupakan
ontologi atau bidang telaah dari kedua bidang keilmuan itu. Pakar psikologi melihat
perilaku belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan
lingkungan secara alami, sedangkan pakar pendidikan melihat perilaku belajar
sebagai proses psikologis-pedagogis yang ditandai dengan adanya interaksi individu
dengan lingkungan belajar yang sengaja diciptakan

Pengertian belajar yang cukup komprehensif diberikan oleh Bell Gredler (1986;1)
yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk
mendapatkan aneka ragam competencies, skill, dan attitudes. Kemampuan
(competencies), keterampilan (skills), dan sikap (attitudes) tersebut diperoleh secara
bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui

10
rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan
dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan informal, keturutsertaannya dalam
pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal. Kemampuan belajar inilah yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya.

Belajar sebagai proses manusiawi memiliki kedudukan dan peran penting, baik
dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern. Pentingnya proses belajar
dapat dipahami dari traditional/local wisdom, filsafat, temuan penelitian dan teori
tentang belajar. Traditional/local wisdom adalah ungkapan verbal dalam bentuk
frasa, peribahasa, adagium, maksim, kata mutiara, petatah-petitih atau puisi yang
mengandung makna eksplisit atau tentang pentingnya belajar dalam kehidupan
manusia. Sebagai contoh : Iqra bismi rabbika ladzi kholaq (Bacalah alam semesta ini
dengan nama Tuhanmu); Belajarlah sampai ke negeri China sekalipun (Belajarlah
tentang apa saja, dari siapa saja dan dimana saja); Bend the willow when it is young
(Didiklah anak selagi masih muda); Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian
(Belajar lebih dahulu nanti akan dapat menikmati hasilnya).

Dalam pandangan yang lebih komprehensif konsep belajar dapat digali dari berbagai
sumber seperti filsafat, penelitian empiris, dan teori. Para ahli filsafat telah
mengembangkan konsep belajar secara sistematis atas dasar pertimbangan nalar
dan logis tentang realita kebenaran, kebajikan dan keindahan. Plato, dalam
Bell-Gredler (1986: 14-16) melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang ada dalam
diri manusia dan dibawa lahir. Sementara itu Aristoteles melihat pengetahuan
sebagai sesuatu yang ada dalam dunia fisik bukan dalam pikiran. Kedua kutub
pandangan filosofis tersebut berimplikasi pada pandangan tentang belajar. Bagi
penganut filsafat idealisme hakikat realita terdapat dalam pikiran, sumber
pengetahuan adalah ide dalam diri manusia, dan proses belajar adalah
pengembangan ide yang telah ada dalam pikiran. Sedang penganut realisme, realita
terdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuan adalah pengetahuan sensori, dan
belajar merupakan kontak atau interaksi individu dengan lingkungan fisik.
(Winataputra U. S., 2008).
D. Kriteria Pembelajaran yang Efektif
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu proses komunikasi transaksional
yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa

11
dengan siswa, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi
transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami, dan
disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran.

Guru menempati posisi kunci dan strategis dalam menciptakan suasana belajar
yang kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa agar dapat mencapai
tujuan secara optimal. Untuk itu guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai
diseminator, informator, transmitter, transformator, organizer, fasilitator, motivator dan
evaluator bagi terciptanya proses pembelajaran siswa yang dinamis dan inovatif.

Pembelajaran pada hakikatnya adalah proses sebab akibat. Guru sebagai pengajar
merupakan penyebab utama terjadinya proses pembelajaran siswa, meskipun tidak
semua perbuatan belajar siswa merupakan akibat guru yang mengajar. Oleh sebab
itu guru sebagai figur sentral, harus mampu menetapkan strategi pembelajaran yang
tepat sehingga dapat mendorong terjadinya perbuatan belajar siswa yang aktif,
produktif, dan efisien.

Siswa sebagai peserta didik merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran.
Keberhasilan pencapaian tujuan banyak tergantung kepada kesiapan dan cara
belajar yang dilakukan siswa. Cara belajar ini dapat dilakukan dalam bentuk
kelompok (klasikal) maupun perorangan (individual). Oleh karena itu, guru dalam
mengajar harus memperhatikan kesiapan, tingkat kematangan, dan cara belajar
siswa.

Tujuan pembelajaran merupakan rumusan perilaku yang telah ditetapkan


sebelumnya agar tampak pada diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang
telah dilakukan. Menurut Bloom, dkk; tujuan pembelajaran dapat dipilah menjadi
tujuan yang bersifat kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(keterampilan). Derajat pencapaian tujuan pembelajaran ini merupakan indikator
kualitas pencapaian tujuan dan hasil perbuatan belajar siswa. (Hernawan, 2008).
Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan nasional konsep belajar harus
diletakkan secara substantif-psikologis terkait pada seluruh esensi tujuan pendidikan
nasional mulai dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis

12
dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, konsep belajar dalam konteks tujuan
pendidikan nasional harus dimaknai sebagai belajar untuk menjadi orang yang :
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab. Karena pendidikan memiliki misi psiko pedagogic dan sosio
pedagogic maka pengembangan pengetahuan, nilai-nilai dan sikap, serta
keterampilan mengenai keberagaman dalam konteks beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; keberagaman dalam konteks berakhlak mulia; ketahanan
jasmani dan rohani dalam konteks sehat; kebenaran dan kejujuran akademis dalam
konteks berilmu melekat; terampil dan cermat dalam konteks cakap; kebaruan
(novelty) dalam konteks kreatif, ketekunan dan percaya diri dalam konteks mandiri;
dan kebangsaan, demokrasi dan patriotisme dalam konteks warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab seyogyanya dilakukan dalam rangka
pengembangan kemampuan belajar peserta didik.

Belajar sering juga diartikan sebagai penambahan, perluasan, dan pendalaman


pengetahuan, nilai dan sikap, serta keterampilan. Secara konseptual Fontana
(1981), mengartikan belajar adalah suatu proses perubahan yang relatif tetap dalam
perilaku individu sebagai hasil dari pengalaman. (Winataputra U. S., 2008)

Pada dasarnya pendidikan adalah proses transformasi atau proses perubahan


tingkah laku (change of behavior) peserta didik. Perubahan tingkah laku yang
dimaksud bukan sekedar perubahan dalam penambahan jenis tingkah lakunya,
tetapi diharapkan terjadi perubahan struktural yang berkenaan dengan perubahan
tingkah laku menuju kepada derajat kemapanan tertentu. Artinya, dalam garapan
pendidikan akan terjadi proses perubahan tingkah laku menuju kepada kedewasaan
(maturity).

Pendidikan merupakan proses yang berdimensi luas, yaitu dari sisi peserta didik,
sebagai pelaku yang belajar dan dari sisi pendidik/guru sebagai pelaku yang
mengajar atau membelajarkan. Hubungan pendidik dan peserta didik adalah
hubungan fungsional, dalam arti pelaku pendidik dan pelaku terdidik. Dari segi
tujuan yang akan dicapai, baik pendidik maupun peserta didik memiliki tujuan

13
tersendiri. Meskipun demikian, tujuan pendidik dan tujuan peserta didik dapat
dipersatukan dengan tujuan instruksional. (Wahyudin, 2007)
E. Sumber pembelajaran IPS
1. Media Sebagai Sumber Pembelajaran
Pada dasarnya siswa memiliki minat (sense of interest) dan dorongan ingin melihat
kenyataan (sense of reality). Mengingat materi pembelajaran IPS lebih banyak
memuat informasi maka upaya mengembangkan kedua potensi siswa tersebut,
guru dituntut memiliki kreativitas dalam mengaktualisasikan kompetensinya terutama
untuk mengidentifikasi, menyeleksi dan menentukan sumber pembelajaran yang
menunjang kegiatan belajar mengajar.

Media sebagai sumber pembelajaran erat kaitannya dengan peran guru sebagai
mediator dan fasilitator. Sebagai mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media pendidikan
merupakan alat komunikasi untuk lebih mengefektifkan proses belajar mengajar.
Dengan demikian media pendidikan merupakan dasar yang sangat diperlukan yang
bersifat melengkapi dan merupakan bagian integral dalam proses belajar mengajar
guna mencapai tujuan pembelajaran. Guru tidak cukup hanya memiliki pengetahuan
tentang media, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan
serta mengusahakan media dengan baik. Memilih dan menggunakan media harus
sesuai dengan tujuan, materi, metode, evaluasi dan yang lebih utama dapat
memperlancar pencapaian tujuan serta menarik minat siswa. Sebagai mediator, guru
pun menjadi perantara siswa dengan siswa, dan siswa dengan lingkungan sehingga
guru pun dituntut untuk memiliki keterampilan tentang komunikasi dan berinteraksi.
Sehingga siswa dikembangkan kemampuannya dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
2. Kelas Sebagai Sumber Belajar
Pada dasarnya pengelolaan kelas merupakan suatu rentetan kegiatan guru untuk
menumbuhkan dan mempertahankan suasana kelas yang efektif bagi
terselenggaranya kegiatan belajar mengajar, yang keberhasilannya akan bergantung
kepada : tujuan pembelajaran, penggunaan waktu, pengaturan ruang dan sarana
belajar serta pengaturan kegiatan belajar siswa.

14
Dalam hal ini, guru berperan sebagai pengelola kelas (learning manager) hendaknya
memiliki kemampuan untuk mengelola kelas sebagai lingkungan belajar yang
menyenangkan bagi siswa. Kelas sebagai sumber pembelajaran tidak terbatas pada
pemeliharaan dan penciptaan suasana belajar yang efektif, melainkan juga dapat
dijadikan sebagai tempat pameran hasil karya siswa. Kelas yang memiliki pajangan
atau pameran hasil karya siswa dapat menjadi tempat yang menarik dan dapat
memotivasi siswa untuk belajar. Melihat adalah bagian dari kegiatan belajar. Para
siswa belajar melalui kegiatan mendengar, melihat, meraba, mencium dan berbuat.
Hasil karya siswa yang baik akan mendorong para siswa untuk menggunakan
panca indera penglihatannya untuk belajar dengan membaca dan memanfaatkan
hasil karya siswa tersebut.
3. Lingkungan Sebagai Sumber Belajar
Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk
memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan
monoton. Terdapat empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari
lingkungan, yaitu: masyarakat, lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah dan
peristiwa alam dan sosial. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran
mendorong siswa untuk berpikir logis, sistematis dan logis, karena dari lingkungan
muncul berbagai fenomena yang menarik dan menantang bagi siswa, oleh karena
itu guru dituntut memiliki keterampilan ke dalam kelas dan atau membawa siswa ke
luar kelas. (Winataputra U. S., 2008)
Lingkungan sebagai sumber pembelajaran menuntut kreativitas guru untuk
memanfaatkannya dan mengeliminasi kebiasaan mengajar yang rutinitas dan
monoton. Terdapat empat jenis sumber pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dari
lingkungan, yaitu: masyarakat, lingkungan fisik, bahan sisa atau limbah dan
peristiwa alam dan sosial. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber pembelajaran
mendorong siswa untuk berpikir logis, sistematis dan logis, karena dari lingkungan
muncul berbagai fenomena yang menarik dan menantang bagi siswa, oleh karena
itu guru dituntut memiliki keterampilan ke dalam kelas dan atau membawa siswa ke
luar kelas. (Winataputra U. S., 2008).

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Secara sederhana istilah pembelajaran (instruction) adalah upaya untuk
membelajarkan seseorang atau sekelompok orang melalui satu atau lebih strategi,
metode, dan pendekatan tertentu ke arah pencapaian tujuan pembelajaran yang
telah direncanakan. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan terencana untuk
mengkondisikan seseorang atau sekelompok orang agar bisa belajar dengan baik.
Oleh sebab itu, unsur utama pembelajaran adalah siswa bukan guru. Pembelajaran
pada hakikatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal
balik, baik antara guru dengan siswa, maupun antara siswa dengan siswa, untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang saling terkait dalam proses
belajar mengajar dan efektivitasnya dapat tercapai dengan memanfaatkan sumber
pembelajaran. Sumber pembelajaran IPS dapat menggunakan buku sumber (buku
teks, majalah atau koran dan media massa lainnya), media dan alat pengajaran,
situasi dan kondisi kelas serta lingkungan. Mengajar adalah segala upaya yang
disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses
belajar sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Belajar adalah sebagai proses
perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan perilaku
dalam proses belajar adalah akibat dari interaksi dengan lingkungan.

Bagi guru IPS buku sumber bukan satu-satunya sumber pembelajaran yang dapat
digunakan, karena buku sumber pada umumnya memuat informasi yang sudah
lama. Media dan alat peraga dalam pengajaran merupakan sumber pembelajaran
yang dapat membantu guru dalam melaksanakan perannya sebagai demonstrator.

16
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, C. (2005). BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Hernawan, A. H. (2008). PENGEMBANGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN .


Jakarta: Universitas Terbuka.

Purwanto, M. N. (2006). ILMU PENDIDIKAN TEORETIS DAN PRAKTIS. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya.

Rukmana, A. (2006). PENGELOLAAN KELAS. Bandung: UPI PRESS.

Sapriya. (2006). KONSEP DASAR IPS. Bandung: UPI PRESS.

Sundawa, D. (2006). PEMBELAJARAN DAN EVALUASI HASIL BELAJAR IPS.


Bandung: UPI PRESS.

Supriatna, N. (2007). PENDIDIKAN IPS DI SD. Bandung: UPI PRESS.

Wahyudin, H. D. (2007). PENGANTAR PENDIDIKAN. Jakarta: Universitas Terbuka.

Winataputra, U. S. (2008). MATERI DAN PEMBELAJARAN IPS DI SD. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Winataputra, U. S. (2008). TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN. Jakarta:


Universitas Terbuka.

17
18

Anda mungkin juga menyukai