Anda di halaman 1dari 70

Vol.I No.

3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098



Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 1
EDITORIAL

Dewan Redaksi menyampaikan rasa syukur dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua penulis pada penerbitan Volume I Nomor 3 ini, meskipun jumlah judul yang terhimpun
sedikit berkurang. Seluruh dukungan, dan kontribusi atas penulisan ini sangat berarti demi
kepentingan bersama khususnya dalam memotivasi para peneliti yang konsisten terhadap
peningkatan penulisan pada jurnal kesehatan yang semakin berkualitas.

Publikasi rutin ketiga ini menampilkan sepuluh judul penelitian kesehatan dalam berbagai
bidang. Kami ucapkan terimakasih kepada para kontributor naskah ilmiah, khususnya para
peneliti dari Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang dan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Surabaya yang telah turut serta melengkapi isi jurnal ini baik dari segi kuantitas maupun
kualitas. Rasa terimakasih juga kami sampaikan kepada para pembaca yang telah
memberikan kepercayaan kepada jurnal ini sebagai sumber informasi penelitian kesehatan.

Untuk meningkatkan jangkauan penyebarluasan informasi hasil-hasil penelitian, jurnal ini juga
dipublikasikan melalui situs internet: www.suaraforikes.page.tl.

Harapan Dewan Redaksi semoga para penulis, sejawat dan praktisi kesehatan, para dosen, di
manapun berada senantiasa eksis berperanserta dalam mempresentasikan artikel guna
pengembangan dan pemanfaatan hasil-hasil penelitian.

Redaksi
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 2
DAFTAR ISI

Analisis Perbedaan Berat Badan Sebelum dan Sesudah Menggunakan Alat Kontrasepsi
Implant Lebih Dari 5 Tahun
Sutami, Kokoeh Hardjito

181-186
Hubungan Pengetahuan Dengan Persepsi Kepala Keluarga Terhadap Penderita Kusta
Suwoyo, Siti Asiyah, Intajul Fikriyah

187-196
Pengaruh Paket Pendidikan Kesehatan Rindu Terhadap Kesiapan Ibu Merawat Bayi
Prematur Setelah Pulang dari Rumah Sakit di Kediri
Erna Rahma Yani, Muhammad Mudzakkir, Koekoeh Hardjito

197-204
Perbedaan Kekuatan Kontraksi Uterus Pada Ibu Postpartum Antara Sebelum dan
Sesudah Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Indah Rahmaningtyas, Ribut Eko Wijanti, Koekoeh Hardjito

205-209
Karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Sampai tribulan II Tahun 2009 di Kota
Kediri
Siti Asiyah, Suwoyo, Mahaendriningtyastuti

210-222
Hubungan Antara Konsumsi Makanan Sumber Energi Dengan Status Gizi
Tumirah, Sriani, Sherly Jeniawaty

223-227
Pengaruh Layanan Bimbingan Belajar Terhadap Faktor Yang Mempengaruhi Kesulitan
Belajar
Sriami
228-230
Rancang Bangun Rotating Biological Contractor (RBC) Dengan Menggunakan Media
Polyvinyl Chloride (RBC) Untuk Menuunkan Kadar Amoniak
Beny Suyanto

231-236
Efektifitas Limbah Serbuk Gergaji Kayu Kelapa dan Kayu Randu Dalam Mengeliminir
Logam Besi Pada Limbah Cair
Beny Suyanto, Hery Koesmantoro

237-242
Hubungan Antara Pekerjaan Dengan Partisipasi Ibu Mengikuti Senam Hamil (di URJ Poli
Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Sri Ratnawati, Sri Utami

243-248
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 181
ANALISIS PERBEDAAN BERAT BADAN SEBELUM DAN SESUDAH MENGGUNAKAN
ALAT KONTRASEPSI IMPLANT LEBIH DARI 5 TAHUN
Sutami *, Koekoeh Hardjito **

ABSTRAK

Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar antara 2,15% pertahun hingga 2, 49%
pertahun. Kegiatan yang dilakukan untuk membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya
dengan mengurangi jumlah kelahiran. Di Indonesia menerapkan pengendalian penduduk,
dengan menggalakkan program Keluarga Berencana. Susuk (implant) merupakan salah satu
metode kontasepsi hormonal. Banyak wanita memperlihatkan tingkat penerimaan dan
kepuasan yang tinggi terhadap sistem implant.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan berat badan sebelum dan
sesudah menggunakan alat kontrasepsi implant lebih 5 tahun di Desa Morosari Kecamatan
Sukorejo Kabupaten Ponorogo. Desain penelitian yang dipakai adalah cross sectional.
Dari hasil penelitian didapatkan, berat badan ibu sebelum menggunakan implant
sebagian besar antara 46-50 kg. Berat badan ibu setelah menggunakan implant lebih dari 5
tahun sebagian besar antara 51-55 kg. Dari hasil uji t diketahui terdapat perbedaan berat
badan sebelum dan sesudah menggunakan alat kontrsepsi implant lebih 5 tahun.
Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan dapat lebih meningkatkan pemahaman
tentang alat kontrasepsi KB implant, terutama yang berhubungan dengan perubahan berat
badan akseptor KB implant.

Kata Kunci: Berat badan, alat kontrasepsi Implant.
* : Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo
** : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Malang

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar antara 2,15% pertahun hingga 2,49%
pertahun. Tingkat petumbuhan penduduk tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor utama fertillitas,
mortilitas dan migrasi.
Kegiatan untuk membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi
jumlah kelahiran. Indonesia menerapkan pengendalian penduduk dengan menggalakkan
program KB (Rustanto, 2009). Gerakan KB di Indonesia telah berhasil dengan baik. Total
fertility rate (TFR) turun dari 5,6 pada tahun 1970 menjadi 2,6 tahun 2002/2003. Pada tahun
1997, dua pertiga (66,67%) perempuan menikah di Indonesia menggunakan kontrasepsi
modern, salah satunya implant sebanyak 11,0% (Widyastuti dkk, 2009).
Pilihan kontrasepsi sekarang memungkinkan wanita atau pasangan memilih kontrasepsi
yang paling sesuai untuk keadaan khusus mereka (Llewellyn, 2002). Ada berbagai metode KB
yang disesuaikan dengan kebutuhan dan indikasi pasien yang ingin memilihnya. Susuk
(norplant) adalah salah satu metode kontrasepsi hormonal. Banyak wanita memperlihatkan
tingkat penerimaan dan kepuasan yang tinggi terhadap norplant (Varney dkk, 2007).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 182
Pada tahun 2009, peserta KB aktif pengguna implant di Kabupaten Ponorogo sebanyak
7.492 (5,2%), di Kecamatan Sukorejo sebanyak 746 akseptor (8,7%) (Badan Keluarga
Berencana Kab. Ponorogo, 2009). Sedangkan di Desa Morosari sebanyak 64 akseptor
(20,2%), dengan akseptor yang lebih dari 5 tahun sebanyak 32 orang (UPTD Sukorejo, 2009).
Secara keseluruhan angka kehamilan pada pemakai implant adalah 0,2 per 100 wanita
dalam tahun pertama pemakaian, dengan angka kehamilan kumulatif 3,9 per 100 wanita per
tahun kelima. Efektifitas implant tidak tergantung pada keterlibatan pemakai secara teratur
(Wulansari dan Hartanto, 2007). Efektifitas jangka panjang yang sangat baik membuktikan
bahwa implant adalah salah satu kontrasepsi reversibel paling efektif (Anna dan Aiesa, 2006).
Sebagian wanita yang menggunakan implant mengalami efek samping, tersering adalah
perubahan pola perdarahan haid (Wulansari dan Hartanto, 2007). Efek samping yang lebih
jarang adalah peningkatan nafsu makan dan peningkatan berat badan (Varney dkk, 2007).
Dari hasil studi pendahuluan tanggal 15 Februari 2010 di Desa Morosari, didapatkan 10
pengguna kontrasepsi implant, 1 orang mengalami peningkatan berat badan 6-7%, 6 orang
mengalami peningkatan berat badan 3-4%, dan 3 orang tak mengalami kenaikan berat badan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1) mengidentifikasi berat badan ibu sebelum menggunakan
implant, 2) mengidentifikasi berat badan ibu sesudah menggunakan implant lebih dari 5
tahun, 3) menganalisis perbedaan berat badan ibu sebelum dan sesudah menggunakan
implant lebih dari 5 tahun.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Populasi penelitian cross sectional pada tanggal 10-17 Juni 2010 ini adalah semua
akseptor KB implant lebih dari 5 tahun di Desa Morosari Kecamatan Sukorejo Kabupaten
Ponorogo dengan sampel sebesar 32 orang. Variabel bebas penelitian ini adalah penggunaan
alat kontrasepsi implant, sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah berat badan.
Data berat badan sebelum menggunakan implant diambil dari data sekunder (kartu KB
dan K4 KB), sedangkan sesudah menggunakan implant diukur secara langsung menggunakan
timbangan berat badan. Data dianalisis dengan uji t 2 sampel berpasangan, dengan =5%.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
0
5
1
0
1
5
2
0
2
5
J
m
l

(
O
r
a
n
g
)
31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70
BB (Kg)

Gambar 1. Berat Badan Ibu Sebelum Menggunakan Implant
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 183
0
5
10
15
20
25
J
m
l

(
O
r
a
n
g
)
31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70 71-75
BB (Kg)

Gambar 1. Berat Badan Ibu Sesudah Menggunakan Implant Lebih Dari 5 Tahun
0
20
40
60
80
J
m
l

o
r
a
n
g
)
Bertambah Turun Tetap
Kriteria

Gambar 1. Perubahan Berat Badan Ibu Sesudah Menggunakan Implant Lebih Dari 5 Tahun
Rerata peningkatan berat badan responden 2,95 kg. Hasil uji-t didapatkan nilai t hitung=
18,456, lebih besar dari nilai t tabel= 2,0399, maka H0 ditolak (terdapat perbedaan yang
signifikan antara berat badan sebelum dan sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun.
Sebelum menggunakan implant, berat badan mayoritas adalah 46-50 kg (25%), urutan
kedua 51-55 kg dan 56-60 kg (18,75%), urutan ketiga 36-40 kg dan 41-45 kg (12,50%), urutan
keempat 30-35 kg (6,25%), dan urutan terakhir 61-65 kg dan 66-70 kg (3,13%) (Gambar 1).
Berat badan merupakan salah satu indikator untuk menentukan status gizi seseorang.
Berat badan merupakan indikator status gizi yang mudah berubah. Banyak sekali faktor yang
dapat menyebabkan perubahan berat badan seseorang. Menurut Depkes RI (2000), berat
badan merupakan salah satu ukuran tubuh yang sering dipakai untuk memberikan gambaran
status energi dan protein seseorang. Berat badan merupakan antropometri yang sangat labil
karena ada beberapa faktor yang mempengaruhi berat tubuh. Faktor internal mencakup faktor-
faktor hereditas seperti gen, regulasi termis, dan metabolisme. Faktor eksternal mencakup
aktivitas fisik, dan asupan makanan. Selain itu kebiasaan hidup dan pola makan lebih dominan
dalam mempengaruhi berat badan seseorang bila dibandingkan faktor internal.
Sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun, berat badan mayoritas adalah 51-55
kg (25 %), urutan kedua 41-45 kg, 56-60 kg, dan 61-70 kg (15,62%), urutan ketiga 41-45 kg
(12,5%), urutan keempat 36-40 kg (6,25%), dan urutan terakhir 30-35 kg, 66-70 kg, dan 71-75
kg (3,13%) (Gambar 2).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 184
Berat badan ibu sesudah menggunakan implant mengalami perubahan. Berat badan
mayoritas sebelum menggunakan KB implant 46-50 kg, sedangkan mayoritas setelah
menggunakan implant lebih dari 5 tahun menjadi 51-55 kg.
Dengan adanya implant, dapat terjadi efek samping yaitu peningkatan berat badan.
Peningkatan berat badan rata-rata dapat terjadi setelah pemakaian lebih dari 5 tahun.
Perubahan ini disebabkan oleh efek dari levonorgestrel. Ada banyak faktor yang
menyebabkan kenaikan berat badan seseorang dalam waktu lebih dari 5 tahun, yaitu estrogen
menurun diikuti oleh menurunnya produksi kelenjar tiroid sehingga mengakibatkan berat
badan meningkat terutama pada wanita menjelang menopause.
Selain itu kenaikan berat badan pemakai implant dipengaruhi oleh perasaan tenang.
Dengan memakai implant ibu tidak kawatir terjadi kehamilan sehingga dapat berpengaruh
pada peningkatan berat badan. Faktor makanan dan aktifitas fisik juga dapat mempengaruhi
berat badan ibu. Banyaknya konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan lemak
dan kurangnya aktifitas fisik dapat mempengaruhi peningkatan berat badan. Faktor gen juga
dapat mempengaruhi berat badan seseorang. Peningkatan berat badan juga dapat
dipengaruhi oleh bertambahnya usia seseorang.
Hanafi (2008) menyatakan bahwa ibu-ibu yang sudah memakai implant, yaitu suatu alat
kontrasepsi yang dipasang dibawah kulit pada lengan bagian atas, mengandung hormon
steroid dan digunakan untuk jangka lama. Salah satu di antaranya adalah implant
Levonorgestrel (LNG), merupakan bahan bioaktif yang dewasa ini banyak digunakan. Hormon
ini menghambat ovulasi, mengurangi gerakan saluran telur (tuba Fallopii), perubahan pada
endometrium dan mengentalkan lendir serviks. Varney (2007) menyatakan bahwa
peningkatan berat badan merupakan salah satu efek samping yang jarang dari pemakaian KB
implant. Wanita yang meggunakan implant lebih sering mengeluhkan peningkatan berat badan
dibandingkan penurunan berat badan. Penilaian perubahan berat badan pada pengguna
implant dikacaukan oleh perubahan olahraga, diet, dan penuaan (Arini, 2009). Dua faktor
eksternal yang sangat dominan mempengaruhi berat badan adalah aktivitas fisik dan asupan
nutrisi. Karena untuk melakukan aktivitas fisik seseorang, manusia memerlukan sejumlah
energi. Jika energi yang diberikan oleh makanan tidak cukup, maka energi diperoleh dari hasil
pemecahan lemak di dalam tubuh.
Keadaan berat badan ibu setelah memakai implant lebih dari 5 tahun adalah mayoritas
meningkat: 25 orang (78,12%), selebihnya menurun: 3 orang (9,37%), dan tetap: 4 orang
(12,5%).
Di samping adanya efek samping implant, perbedaan berat badan seseorang juga
dipengaruhi oleh: pertama faktor makan yang melebihi kebutuhan tubuh. Hal ini dapat
disebabkan oleh kebiasaan makan yang berlebih atau cara memilih makanan yang salah.
Kedua kurang menggunakan energi. Pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dapat
mempengaruhi gaya hidup seseorang. Gaya hidup yang kurang menggunakan aktifitas fisik
akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktifitas fisik tersebut diperlukan untuk
membakar kalori dalam tubuh. Bila pemasukan kalori berlebihan dan tidak diimbangi dengan
aktifitas fisik maka berat badan seseorang akan meningkat. Ketiga penuaan. Pada perempuan
yang sedang mengalami menopause dapat terjadi penurunan fungsi hormon tiroid.
Kemampuan untuk menggunakan energi akan berkurang dengan menurunnya fungsi hormon
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 185
ini. Hal tersebut terlihat dengan menurunnya metabolisme tubuh sehingga menyebabkan
peningkatan berat badan. Keempat faktor kecepatan metabolisme basal yang rendah. Hal ini
disebabkan energi yang dikonsumsi lebih lambat untuk dipecah menjadi glikogen sehingga
akan lebih banyak lemak yang disimpan di dalam tubuh. Hanafi (2008) menyatakan,
perbedaan berat badan itu akibat adanya efek samping pemakaian implant terhadap berat
badan ibu, kenaikan berat badan selama lebih dari 5 tahun pemakaian implant (sekitar 2-3 kg).
Sutarna dkk (2009) menyatakan efek samping yang mungkin terjadi dari pemakaian implant
adalah penambahan berat badan yang signifikan. Ayurai (2009) juga menyatakan
keterbatasan implant salah satunya adalah peningkatan atau penurunan berat badan.
Kenaikan berat badan tersebut akibat pengaruh aktifitas androgenik LNG berupa efek
metabolik yang menyebabkan peningkatan nafsu makan (Hanafi, 2008). Sedangkan kenaikan
berat badan terjadi karena hormon ini mempengaruhi proses metabolisme lemak dan
kolesterol dalam tubuh (Piogama, 2009). Efek ini tergantung pada potensi androgennya. Makin
kuat potensi androgennya, makin besar efek buruknya pada metabolisme lemak (Mariyono,
2003). Metabolisme lemak merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan berat
badan. Pemakaian KB hormonal dapat meningkatkan proses pembentukan kolesterol dan
lemak. Tetapi efek samping ini bersifat individual karena ada beberapa orang yang
menggunakan KB implant tetapi tidak mengalami kenaikan berat badan (Piogama, 2009).
Perbedaan berat badan yang terjadi pada akseptor KB implant adalah adanya efek samping
yang ditimbulkan dari livonorgestrel. Levonorgestrel mempengaruhi peningkatan nafsu makan.
Selain itu Levonorgestrel juga mempengaruhi metabolisme lemak dan kolesterol dalam tubuh.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah mayoritas berat badan ibu sebelum mengunakan implant 46-
50 kg, mayoritas berat badan ibu sesudah menggunakan implant lebih dari 5 tahun 51-55 kg,
dan terdapat perbedaan berat badan sebelum dan sesudah menggunakan KB implant lebih
dari 5 tahun.
Disarankan petugas KB di lahan memberikan konseling secara berulang, setidaknya
harus meliputi: pemahaman terhadap efektifitas relatif metode, penggunaan metode secara
benar, cara kerja, efek samping yang umum terjadi, risiko kesehatan serta manfaat metode,
tanda dan gejala yang mengharuskan klien kembali ke klinik, informasi tentang kembalinya
kesuburan sesudah penghentian suatu metode.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Bari Saifudin, Afandi Biran, Enriguito, 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi. Jakarta: yayasan Bina pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Agus Sutarna, Neti Juniarti, H.Y Kuncara, 2009. Buku Ajar Keperawatan PediatrikWong.
Cetakan I. Jakarta: EGC
Arini, 2009. Kontrasepsi Implant. http://arini.staf.gunadarma.ac.id. Akademi kebidanan widya
karsa Jayakarta. Diakses tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
Ayurai, 2009. Implant/susuk http://ayurai-wordpress.com/2009/06/18/implant-susuk. Diakses
tanggal 14 Juni 2010 jam 14.00 WIB.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 186
Badan Keluarga Berencana Kab. Ponorogo, 2009. Umpan Balik Hasil Pencapaian Program
Keluarga Berencana Kabupaten Ponorogo Bulan Desember. Ponorogo.
Cunningham. F. Gary, Hartono Andry, Suyono Joko. Y, 2006. Obstetri Williams. Edisi 21.
Jakarta. EGC.
Derek Llewellyn-Jones, 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi.Cetakan I. Jakarta:
Hipokrates.
DepKes RI, 2000. Pedoman Kerja Tenaga Gizi Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Dinkes Jabar, 2006. Informasi obat Levonorgestrel. http://www.clearinsyntec.com/ diakses
tanggal 5 Februari 2010 jam 16.00 WIB.
Dyah Noviawati & Sujiyatini, 2008.Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Cetakan I.
Yogyakarta: Mitra Cendika
Glasier Anna dan Gabibil Aiesa, 2006. Dasar-dasar Obstetri dan Genekolog. Catakan I.
Jakarta: Hipokrates.
Hanafi Hartanto, 2003. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hanifa Wiknjosastro 2002. Ilmu Kebidanan. Cetakan keenam. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
Hanifa Wikjosastro, 2005. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Cetakan keempat. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Hendrawan, 2009. Keluarga Berencana. www.bahtera.org/kateglo/ diakses tanggal 8 Februari
2010 jam 15.15 WIB
Ida Bagus Gde Manuaba, 1999.Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Monica Ester.
Jakarta: Arcan
Indriani K Sumadikarya, 2009 Rekomendasi Praktik Pilihan Untuk Penggunaan Kontrasepsi.
Edisi 2. Cetakan I. Jakarta: EGC.
Irsan Hanafi, 2008. Kontrasepsi yang Dipilih Tidak Cocok? http://www.parentguide.co.id
diakses tanggal 8 Februari 2010 jam 15.00 WIB
KB-Keluarga Berencana, 2008. KB-Keluarga Berencana Implant. http://KB-Keluarga
berencana.blogspot.com/2008.05/implant.html
Piogama, 2009. Kontrasepsi yang Dipilih Tidak Cocok?.
http://piogama.ugm.ac.id/index.php/2009/02/kb-susuk-menyebabkan-berat-badan-naik/.
Diakses tanggal 14 Juni 2010 jam 14.15 WIB.
Pita Wulansari dan Huriawati. Hartanto, 2007.Ragam Metode Kontrasepsi. Cetakan I: EGC
Rustanto, 2009. Kependudukan. http://id.wikipedia.org/wiki/penduduk. diakses tanggal 5
Februari 2010 jam 16.15 WIB
Suyanto & Ummi Salamah, 2009. Riset Kebidanan. Cetakan keempat. Jogyakarta: Mitra
Cendikia.
UPTD Sukorejo, 2009.Pencapaian Akseptor KB Krcamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo,
Bulan Desember.
Varney Helen, Jan M.Kriebs, Carolyn L. Gegor. 2007.Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta:
EGC
Yani Widyastuti, Anita Rahmawati, Yuliasti Eka Pramaningrum. 2009. Kesehatan Reproduksi.
Yogyakarta: Fitramaya.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 187
HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN PERSEPSI KEPALA KELUARGA
TERHADAP PENDERITA KUSTA
Suwoyo*, Siti Asiyah*, Intajul Fikriyah*

ABSTRACT
Leprosy belongs to the oldest disease in the world, which is caused by Mycobacterium
Leprae. This disease infects the skin and side nerve. Lack of right informations regarding
leprosy, makes people often think it is a hereditary disease, or disease caused by curse,
magic, as well as sexual intercourse during menstruasion. This wrong thought makes the
lepers afraid or even hide themselves. The purpose of this research is knowing the relation
between knowledge and perseption of the head of household in lepers, in the working area of
Balowerti Public Health Center, Kediri City.
The population of the research consisted of 1960 heads of household, live in the working
area of Balowerti Public Health Center, Kediri Town. The sampel has been researched
consisted of 1960 respondents using Multistage Random Sampling. The variable independent
was about leprosy knowledge of the head of household, while its dependent variable was the
perseption of the heads of household to lepres. Datas analysis was performed by using
Spearman Rho statistical tests.
The Result of research shewed that heads of household having less knowledge category
amoun to 80 respondents (45,5%), those having medium knowledge category are 76
respondents (43,2%), while those having good knowledge category are 20 responden
(11,3%). Heads of househoul having less perception category amount to 76 responden
(43,2%), those having medium perception category are 71 respondents (40,3%), and those
having good perception category are 29 respondents (16,5%). Result of the data analysing, by
the use of Sepearman Rho Statistical Tests at = 0,05 shewed that correlation coefficient is
,627** and level of significance 0,000 is < 0,05. This mean H0 was rejected and H1 was
accepted. Accordingly, thereis a relation between the head of households knowledge and
perception in lepers, in the working area of Balowerti Public Health Center, Kediri Town.
Based on the result of the research, it couldbe concluded that there was a relation
between knowledge and perception of the head of the householdin lepers, in the working area
of Balowerti Public Health Center, Kediri Town.

Keywords: knowledge, perception, society, leprosy
* : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Malang.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kusta termasuk penyakit tertua di dunia. Kusta disebabakan oleh mycobacterium leprae,
penyakit ini menyerang kulit dan syaraf tepi, jika tidak segera diobati dapat menimbulkan
hilangnya rasa dan kelumpuhan otot pada daerah kaki, tangan dan muka. Beban berat yang
harus di tanggung oleh pendrita kusta selain karena penyakitnya, juga karena masih kuatnya
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 188
stigma yang tertanam di Masyarakat. Minimnya informasi yang benar mengenai penyakit ini,
membuat masyarakat kerap menganggap kusta sebagai penyakit kutukan (Susanto, 2009).
Kebanyakan masyarakat menganggap penyakit kusta adalah penyakit menular, kutukan
dan penderita harus di asingkan. Anggapan masyarakat yang demikian itu menyebabkan
penderita takut untuk keluar rumah, bahkan untuk berobatpun harus sembunyi-sembunyi.
Minimnya pengetahuan masyarakat yang benar dan pasti tentang penyakit kusta
menyebabkan persepsi yang keliru, takut berdekatan dengan penderita (Ngeljaratan, 2008).
Jumlah kasus yang tercatat pada tahun 1997 sebanyak 890.000 penderita di seluruh
dunia. Kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91%
dari jumlah kasus berada di 16 negara dan sekitar 82% nya berada di Brazil, India, Indonesia,
Myanmar dan Nigeria. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2002 terdapat 12 ribu kasus
kusta, 2003-14 ribu kasus dan semakin meningkat pada tahun 2007 mencapai 17 ribu kasus.
Indonesia menempati nomor ke tiga di Dunia setelah India dan Brazil. Jumlah penderita kusta
baru di Indonesia pada tahun 2002 sebanyak 12.000 orang, namun pada awal tahun 2008
angka itu melonjak pesat menjadi sekitar 17.000 (Susanto, 2009).
Sebanyak 17 provinsi di Indonesia masih tergolong sebagai daerah endemis kusta.
Kebanyakan di Indonesia timur, seperti Papua, Kalimantan, Halmahera, Sulawesi Selatan dan
yang terbanyak Jawa Timur. Tingkat rata-rata kecacatan penderita penyakit kusta di Indonesia
cukup tinggi, yakni mencapai 8,7 persen per kasus kejadian per tahun (Hernani, 2007).
Di Provinsi Jawa Timur kusta merupakan penyakit endemis. Berdasarkan data di kantor
Dinas Kesehatan setempat, sepanjang tahun 2006 ini sudah tercatat 6.317 kasus. Tahun
sebelumnya terdapat 6.326 penderita dan pada tahun 2004 terdapat 6.061 penderita..
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Bambang Giatno. Rata-rata tiap tahun
di provinsi ini ada penambahan jumlah penderita sebanyak 6-7 ribu orang.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Kediri dari laporan triwulan I tahun 2009
ditemukan penderita baru kusta sebanyak 11 orang. Di puskesmas Balowerti didapatkan
penemuan terbanyak yaitu 8 orang, Puskesmas Mrican 2 orang dan Puskesmas Ngronggo 1
orang. Dari hasil studi pendahuluan pada tanggal 6 April 2009 di Puskesmas Balowerti Kota
Kediri didapatkan data penderita kusta sebanyak 12 orang, dan semuanya berobat ke
puskesmas secara teratur. Dari hasil wawancara terhadap 5 orang di wilayah Puskesmas
Balowerti melalui, 3 orang mengatakan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan
yang mudah menular dan penderitanya harus di asingkan, 1 orang mengatakan bahwa
penyakit kusta itu merupakan penyakit keturunan dan 1 orang mengatakan bahwa penyakit
kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang penularannya membutuhkan
waktu yang lama sehingga tidak perlu mengasingkan penderita kusta.
Banyak hambatan untuk memberantas penyakit yang dinilai sebagian masyarakat
sebagai penyakit kutukan, keturunan, dan akibat guna-guna ini. Salah satu penyebab sulitnya
pemberantasan adalah akibat anggapan yang salah dari masyarakat. Menurut Kepala Dinas
Kesehatan Kalimantan Selatan Drg. Rosihan Adhani akibat anggapan yang salah demikianlah
timbul ketakutanan yang berlebihan terhadap penyakit kusta, hingga jadi penghambat
program pemberantasan kusta, padahal penyakit itu tidak hanya mengancam pada aspek
medis, tapi juga mengganggu aspek sosial dan ekonomi penderita (Zainuddin, 2008).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 189
Menurut Sunanti Zalbawi, melalui wawancara mendalam pada masyarakat di dapatkan
48% kepala keluarga tidak tahu tentang penyabab penyakit kusta, kepercayaan masyarakat
bahwa penyakit kusta merupakan penyakit kutukan tuhan masih ada.
Untuk itu diperlukan upaya yang sungguh-sunguh untuk melakukan edukasi dan
advokasi tentang penyakit kusta kepada masyarakat, sehingga stigma negatif terhadap
penyakit ini terkikis, dan muncul kepedulian yang lebih besar kepada penderita kusta.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi pengetahuan Kepala Keluarga tentang
kusta, 2) mengidentifikasi persepsi Kepala Keluarga tentang penderita kusta, 3) menganalisis
hubungan pengetahuan dan persepsi Kepala Keluarga terhadap penderita kusta di wilayah
puskesmas Balowerti Kota Kediri.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri pada tanggal 9-17 juli 2009 ini
menerapkan desain adalah cross sectional. Populasi penelitian adalah semua kepala keluarga
di wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri sejumlah 1960 yang terbagi dalam 8 RW dan 33
RT. Sampel penelitian adalah sebagian kepala keluarga di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota
Kediri dengan anggota keluarga ada yang menderita kusta dan atau kepala keluarga dengan
anggota keluarga tidak menderita kusta, kepala keluarga yang bersedia menjadi responden,
kepala keluarga yang bisa baca dan tulis. Teknik sampling yang diterapkan adalah multistage
random samplin. Cara samplingnya adalah semua kepala keluarga di wilayah Puskesmas
Balowerti yang terbagi dalam 8 RW. Cluster Random Sampling dilakukan dengan cara
melakukan randomisasi untuk menentukan RW yang terpilih. Kemudian setelah mendapatkan
RW yang terpilih untuk menentukan sampel individu dilakukan Simple Random Sampling.
Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan kepala keluarga tentang
kusta, dan variabel dependen adalah persepsi kepala keluarga terhadap penderita kusta.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian
Sampel pada penelitian ini sebanyak 176 KK yang berada di Wilayah Puskesmas
Balowerti Kota Kediri. Semua KK yang terpilih menjadi responden adalah KK yang dalam
keluarganya tidak ada yang menderita kusta.

1. Karakteristik Pendidikan Responden
Karakteristik pendidikan responden disajikan pada Gambar 1, yang menunjukkan bahwa
dari 176 responden, sebagian besar KK berpendidikan SMP yaitu ada 67 responden (38%).

Gambar 1. Karakteristik Pendidikan Responden di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 190

2. Karakteristik Pekerjaan Responden
Karakteristik pekerjaan responden disajikan pada Gambar 2, yang menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai pekerjaan swasta yaitu 81 (46%) dari 176 responden.


Gambar 2. Karakteristik Pekerjaan Responden di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
3. Pengetahuan KK tentang kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Distribusi responden berdasarkan indikator pengetahuan tentang kusta selengkapnya
dapat dilihat dalam Tabel 1, yang menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai
pengetahuan dalam kategori kurang tentang kusta, yaitu sebanyak 80 responden (45,5%).
Tabel 1. Pengetahuan KK Tentang Kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri
No Pengetahuan Jumlah Persentase (%)
1
2
3
Kurang
Sedang
Baik
80
76
20
45,5
43,2
11,3
Jumlah 176 100

4. Persepsi KK terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Distribusi responden berdasarkan indikator persepsi terhadap penderita kusta dapat di
lihat dalam Tabel 2, yang menunjukkan bahwa sebagian besar KK mempunyai persepsi dalam
kategori kurang terhadap penderita kusta yaitu sebanyak 76 responden (43,2%).

Tabel 2 : Persepsi KK terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri
No Persepsi Jumlah Persentase (%)
1
2
3
Kurang
Sedang
Baik
76
71
29
43,2
40,3
16,5
Jumlah 176 100

5. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Kusta
Pengetahuan dan persepsi KK terhadap Penderita kusta di Wilayah Puskesmas
Balowerti Kota Kediri disajikan pada Tabel 3, yang menunjukkan bahwa bahwa: 1) kelompok
responden dengan pengetahuan kurang, mayoritas memiliki persepsi kurang, 2) kelompok
responden dengan pengetahuan sedang, mayoritas juga memiliki persepsi sedang, 3)
kelompok responden dengan pengetahuan baik mayoritas juga memiliki persepsi baik
terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Maka, tampak bahwa
semakin baik tingkat pengetahuan, semakin baik pula persepsi KK terhadap penderita kusta.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 191
Tabel 3. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Penderita Kusta
di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Persepsi
Kurang (%) Sedang (%) Baik (%) Jumlah (%)
Pengetahuan Kurang (%) 58 (72,5,0) 22 (27,5) 0 (0,0) 80 (100)
Sedang (%) 17 (22,4) 44 (57,9) 15 (19,7) 76 (100)
Baik (%) 1 (5,0) 5 (25,0) 14 (70,0) 20 (100)
Jumlah (%) 76 (43,2) 71 (40,3) 29 (16,5) 176 (100)

Uji Spearman Rho disajikan pada Tabel 4, dengan nilai sig (2-tailed) 0,000. Karena nilai ini
<0,05 maka Ho ditolak, maka ada hubungan antara pengetahuan dan persepsi KK terhadap
penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri. Nilai correlation coefficient
0,627(**) artinya hubungan antar variabel cukup erat karena 0,627(**) >0,5 dan keeratannya
pada level 63%.
Tabel 4: Correlations Spearmans rho
Pengetahuan Persepsi
Spearman's
rho
Pengetahuan Correlation Coefficient
1.000 .627(**)
Sig. (2-tailed) . .000
N 176 176
Persepsi Correlation Coefficient .627(**) 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 176 176

Pembahasan
1. Pengetahuan Kepala Keluarga Tentang Kusta
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar KK berpengetahuan kurang.
Kurangnya pengetahuan KK dipengaruhi oleh kurang intensifnya penyuluhan kesehatan yang
didapat oleh KK. Karena jarak puskesmas dengan pabrik gudang garam yang dekat 450 m,
sebagian besar KK di Wilayah Puskesmas Balowerti adalah sebagai pegawai swasta,
sehingga tidak bisa mengikuti penyuluhan. Tenaga kesehatan memfokuskan penyuluhan pada
penderita kusta, sehingga penderita kusta akan rutin berobat dan sembuh dari penyakitnya.
Padahal masyarakat juga perlu mendapatkan informasi ataupun penyuluhan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang kusta sehingga masyarakat pengetahuannya lebih baik.
Dengan pengetahuan yang baik, masyarakat tidak akan takut atau menyudutkan penderita
kusta. Perlu adanya tindak lanjut dari tenaga kesehatan untuk lebih meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang kusta di daerah penderita kusta.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Dengan
tingginya pendidikan diharapkan tingkat pengetahuan seseorang berubah sehingga
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 192
memudahkan dalam menerima. Dengan majunya teknologi akan tersedia pula bermacam
media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Dengan banyaknya
pendengar penyuluhan maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Notoatmodjo, 1996).
Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya (Ditjen PPM
& PL, 2002).
Kebanyakan masyarakat menganggap penyakit kusta merupakan penyakit menular,
kutukan dan penderita harus diasingkan. Anggapan masyarakat itu menyebabkan penderita
takut untuk keluar rumah, bahkan untuk berobatpun harus sembunyi-sembunyi.
Masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan, sehingga pendapat
tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular tidak dapat di obati, penyakit
keturunan, kutukan tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Zulkifli, 2003).
Masyarakat Indonesia saat ini masih terdapat lepropobia atau ketakutan masyarakat
akan tertular penyakit kusta. Akibatnya, penanganan penderita kusta jadi terhambat. Penderita
kusta malu memeriksakan diri sehingga penyakitnya menjadi kronis dan menimbulkan cacat
pada tubuhnya. Ironisnya, kusta dianggap sebagai penyakit kutukan sehingga masyarakat
biasa mengucilkan penderita, bahkan penderita yang sudah sembuh (Bambang, 2004).
Pengertian yang keliru di masyarakat tentang penyakit kusta, yakni sebagai penyakit
keturunan, akibat guna-guna atau akibat berhubungan seks saat haid, menjadikan penderita
takut dan malah bersembunyi. Kusta juga dianggap tidak bisa disembuhkan (Hernani, 2007).
Dari uraian di atas dapat diasumsikan bahwa pendidikan yang rendah akan
mempengaruhi tingkat pengetahuan, sehingga dari hasil penelitian didapatkan 80 responden
(45,5%) berpengetahuan rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya penyuluhan yang di
terima serta pendidikan responden yang rendah yaitu terdapat 67 responden (38%)
berpendidikan SMP, sehingga responden menganggap penyakit kusta merupakan penyakit
keturunan, kutukan Tuhan yang tidak dapat di sembuhkan.
Dari 176 responden sebanyak 91 responden (52%) menjawab kusta adalah penyakit
keturunan dan sebanyak 121 responden (68,7%) menjawab bahwa penyakit kusta dapat
mengakibatkan lepasnya jari-jari tangan maupun kaki.
Banyaknya responden yang berpengetahuan rendah mengakibatkan adanya hambatan
untuk memberantas penyakit kusta yang dinilai sebagian masyarakat sebagai penyakit
kutukan Tuhan. Dengan pengetahuan yang rendah, masyarakat akan mengucilkan penderita
kusta karena masyarakat menganggap penyakit kusta tidak bisa disembuhkan.

2. Persepsi Kepala Keluarga Terhadap Penderita Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar persepsi KK terhadap penderita
kusta dalam kategori kurang.
Persepsi adalah pengalaman yang terbentuk berupa data yang didapat melalui indera,
hasil pengolahan otak dan ingatan (Widayatun,1999). Objek stimulus yang mengenai alat
indra atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga
dapat datang dari dalam diri individu yang yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf
penerima sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 193
Stigma negatif membuat banyak penderita kusta menyembunyikan diri atau dikucilkan
masyarakat sekitarnya. Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menyatakan, ada persepsi keliru sebagian
masyarakat bahwa kusta adalah penyakit keturunan, akibat guna-guna, dan salah makan.
Kusta dianggap sangat menular dan tidak dapat disembuhkan (Susanto, 2009).
Sebagian besar masyarakat mengucilkan mereka yang terserang kusta, sehingga orang
menderita kusta sulit melakukan aktifitas layaknya orang normal karena stigma yang ada di
masyarakat. Image masyarakat yang memfonis penderita kusta dengan pendapat yang tidak
baik itulah yang akhirnya membuat para penderita kusta takut untuk berobat dan berdampak
pada lambannya penanggulangan (Zainuddin, 2008).
Penderita kusta sulit untuk diterima di tengah masyarakat, masyarakat menjauhi
penderita, merasa takut dan menyingkirkannya. Masyarakat mendorong keluarga dan
penderita diasingkan (Zulkifli, 2003).
Banyaknya responden yang memiliki persepsi kurang dipengaruhi oleh kurangnya
informasi tentang penyakit kusta yang benar sehingga mengakibatkan persepsi yang kurang
baik terhadap penderita kusta. Dengan persepsi yang kurang akan memunculkan stigma
negatif terhadap penderita kusta, sehingga penderita kusta akan memiliki harga diri yang
rendah dan hal ini akan mengurangi proses penyembuhan bagi penderita kusta. Persepsi juga
terbangun oleh mitos yang sesat tentang kusta, persepsi masyarakat harus diubah dari masa
bodoh, tidak peduli dan tidak manusiawi menjadi ikhas dan manusia yang penuh rasa kasih
sayang. Masyarakat sepatutnya melihat mereka yang nasibnya kurang beruntung dari segi
kesehatan justru sebagai kelompok yang harus dikasihi, disayangi, diperhatikan dan di
perlakukan lebih baik dari perlakuan buruk sebelumnya. Untuk merubah persepsi tersebut
perlu diberikan informasi yang benar, sehingga struktur berfikir yang keliru bisa diperbaiki.
Banyak KK yang menganggap bahwa penderita kusta harus dikucilkan, juga bahwa
penderita kusta tidak akan sembuh dari penyakitnya meskipun sudah berobat.
Persepsi masyarakat yang kurang akan memberikan dampak yang buruk bagi penderita
kusta karena akan menimbulkan penyebaran penyakit yang lebih luas kepada masyarakat.
Dengan persepsi masyarakat yang kurang akan muncul tindakan yang diskriminatif terhadap
penderita kusta di dalam masyarakat, akibatnya penderita kusta sulit melakukan aktifitas
seperti orang normal lainnya, karena stigma negatif yang ada di masyarakat.

3. Hubungan Antara Pengetahuan dan Persepsi KK Terhadap Penderita Kusta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar KK berpengetahuan kurang, dan
persepsi responden sebagian besar dalam kategori kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh
minimnya informasi atau penyuluhan kesehatan tentang kusta di masyarakat. Kebanyakan
masyarakat mempunyai pengetahuan yang kurang sehingga penimbulkan persepsi yang
negatif pula terhadap penderita kusta dengan demikian kebanyakan masyarakat takut
berdekatan dengan penderita kusta, mereka khawatir akan tertular panyakit tersebut.
Hasil uji Spearmen rho menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan
persepsi masyarakat terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 194
manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Dengan
tingginya pendidikan diharapkan tingkat pengetahuan seseorang berubah sehingga
memudahkan dalam menerima. Dengan majunya teknologi akan tersedia pula berbagai media
massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat. Dengan banyaknya pendengar
penyuluhan maka pengetahuan seseorang akan bertambah (Notoatmodjo, 1996).
Masyarakat mengenal penyakit kusta dari tradisi kebudayaan, sehingga pendapat
tentang kusta merupakan penyakit yang sangat menular tidak dapat di obati, penyakit
keturunan, kutukan tuhan, najis dan menyebabkan kecacatan (Zulkifli, 2003).
Pengertian yang keliru di masyarakat tentang kusta, yakni kusta adalah penyakit
keturunan, sakit akibat guna-guna atau akibat hubungan seks saat haid, menjadikan penderita
menjadi takut dan bersembunyi. Kusta juga dianggap tak bisa disembuhkan (Hernani, 2007).
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas,
sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali saraf pustat (Daili dkk, 2005).
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu
merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera (Walgito B, 2002).
Objek stimulus yang mengenai alat indra atau reseptor. stimulus dapat datang dari luar
individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang yang
bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.
Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
Minimnya pengetahuan masyarakat yang benar dan pasti tentang masalah penyakit
kusta menyebabkan persepsi yang keliru, masyarakat takut berdekatan dengan penderita
(Ngeljaratan, 2008). Hingga saat ini masyarakat umum tidak punya pengetahuan cukup
tentang kusta, sehingga mengakibatkan munculnya stigma negatif dan tindakan diskriminatif
terhadap penderita kusta di dalam masyarakat. Stigmatisasi itu membuat banyak penderita
kusta menyembunyikan diri atau dikucilkan masyarakat sekitarnya. Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Tjandra Yoga
Aditama menyatakan, ada persepsi keliru sebagian masyarakat bahwa kusta adalah penyakit
keturunan, akibat guna-guna, dan salah makan. Kusta dianggap sangat menular dan tidak
dapat disembuhkan (Susanto, 2009).
Sebagian besar masyarakat mengucilkan penderita kusta, sehingga mereka sulit
melakukan aktifitas layaknya orang normal karena stigma di masyarakat. Image masyarakat
yang memfonis penderita kusta dengan pendapat yang tidak baik itulah yang membuat para
penderita takut berobat dan berdampak pada lambannya penanggulangan (Zainuddin, 2008).
Akibat minimnya pengetahuam dan informasi tentang kusta pada masyarakat, penderita
sulit untuk diterima di tengah masyarakat, masyarakat menjauhi penderita, merasa takut dan
menyingkirkannya. Masyarakat mendorong keluarga dan penderita diasingkan (Zulkifli, 2003).
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan kurang akan mempengaruhi persepsi seseorang
terhadap penderita kusta, hal ini di buktikan dari hasil penelitian yand di lakukan pada KK di
Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri didapatkan sebagian besar masyarakat
berpengetahuan kurang dan persepsi kurang. Juga dari hasil uji Spearman rho yang
membuktikan adanya hubungan antara pengetahuan dan persepsi terhadap penderita kusta.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 195
Pengetahuan yang kurang akan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap penderita
kusta, sehingga masyarakat akan mempunyai pandangan yang keliru terhadap penderita
kusta, hal ini akan mengakibatkan penderita kusta menjadi takut untuk melakukan aktifitas
sehari-hari seperti masyarakat yang lain, akibatnya penanganan penderita kusta jadi
terhambat dan penderita kusta malu memeriksakan diri sehingga penyakitnya menjadi kronis
dan menimbulkan cacat pada tubuh penderita kusta.
Masyarakat beranggapan penderita kusta harus di asingkan, karena kusta adalah
penyakit kutukan dan menjadi aib, sehingga sulit disembunyikan, padahal tidak demikian,
penyakit kusta bisa diobati meskipun prosesnya agak lama sekitar 6-18 bulan terapi. Jika
penyakit ini disembunyikan akan menjadi masalah yang berlarut-larut.
Untuk merubah persepsi seseorang di perlukan waktu yang lama, namun dengan upaya
berkelanjutan dari tenaga kesehatan diharapkan leprophobia dapat dihilangkan. Salah satu
caranya adalah dengan terus menekan agar tidak menganggap rendah mereka yang yang
terkena kusta, karena mereka juga tidak menghendaki terkena penyakit itu. Leprophobia ini
timbul karena pengertian penyebab penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan
sangat menakutkan. Dari sudut pengalaman nilai budaya dan mitos yang menjijikan terhadap
penderita kusta tanpa alasan yang rasional.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan dari penelitian di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri ini adalah: 1)
pengetahuan KK tentang kusta sebagian besar dalam kategori kurang, 2) persepsi KK
terhadap penderita sebagian besar dalam kategori kurang, 3) ada hubungan pengetahuan dan
persepsi KK terhadap penderita kusta, 4) semakin rendah tingkat pengetahuan KK tentang
kusta maka persepsi masyarakat terhadap penderita kusta cenderung negatif pula.
Saran yang diajukan antara lain: 1) Diharapkan masyarakat meningkatkan pengetahuan
yang lebih mendalam tentang kusta, sehingga masyarakat dapat lebih mengerti dan tidak
mempunyai persepsi yang salah terhadap penderita kusta, 2) Diharapkan institusi
menggunakan penelitian ini sebagai sumbangan fikiran dan pengetahuan dengan persepsi
masyarakat terhadap penderita kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri, 3)
Diharapkan dilakukan penelitian lanjutan dengan lebih mendetail, dengan melibatkan faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta di Wilayah Puskesmas Balowerti Kota Kediri, 4.
Diharapkan perawat meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit kusta,
dengan waktu disesuaikan dengan waktu yang memungkinkan masyarakat bisa berkumpul.

DAFTAR PUSTAKA

__________(2005). Penyakit Kusta dan Kepedulian Kita. Bersumber dari.
http://pestagagasan.com [Di akses tanggal 30 Maret 2009.
Bambang. (2004). Indonesia targetkan bebas kusta pada 2005. Bersumber dari
http://Pdpersi.co.id [di akses tanggal 27 April 2009]
Daili, Sjamsoe. dkk (2005). Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia. Jakarta: Medikal
Multimedia Indonesia
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 196
DIT JEN PPM & PL. (2002). Buku Pedoman Pemberantasan Penyaki Kusta. Jakarta
DIT JEN PP & PL. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta
Elia, Ana. (2008). Lawan Stigma Kusta. Bersumber dari http://manadocyti.com [di akses
tanggal 08 MEI 2009]
Entjang, indan. (2000). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung : Citra Aditia Bakti
Guntoro. (2007). Tempat Penderita Kusta Berharap. Bersumber dari
http://www.sinarharapan.co.id [di akses tanggal 30 Maret 2009]
Hernani. (2007). Indonesia Masih menjadi Negara Ketiga Terbanyak Penderita Kusta di Dunia.
Bersumber dari http://www.cybermeb.cbn.net.id [di akses tanggal 30 Maret 2009]
Hidayat, A.aziz. Alimul. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta; Salemba Medika
Maramis, willy. F. (2006). Ilmu Prilaku Dalam Pelayanan kesehatan. Surabaya: Universitas
Airlangga
Mutakin, Awan dkk (2004). Dinamika Masyarakat Indonesia. Bandung: Genesindo
Nabhani. (2007). Masyarakat. Bersumber dari http://www.id.wikipedia.org [di akses tanggal 16
April 2009]
Ngeljaratan. (2008). Penderita Kusta Kita. Bersumber dari http://www.fajar.co.id [di akses
tanggal 30 April 2009]
Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rinika Cipta
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metedeologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Mitra Husada Kediri (2007). Panduan Penulisan
Sekripsi. Kediri : Ekskarno.
Sobur, Alex. (2003). Psikologi Umum. Bandung : Pustaka Setia.
Susanto. (2009). Penyakit Kusta Tidak Mudah Menular. Bersumber dari
http://www.kesehatan.kompas.com [di akses tanggal 02 April 2009]
Walgito, Bimo. (2002). Teori Perilaku. Jakarta. EGC
Widayatun, Tri Rukmi. (2001). Ilmu Prilaku. M.A. Fajar interpratama.
Zainuddin. (2008). Kusta Masih Menjadi Persoalan Serius di Kalimantan Selatan.bersumber
dari http://hasanzainuddin.com [di akses tanggal 29 Maret 2009]
Zalbawi, Sunanti dkk. (2004). Evaluasi Model Penanggulangan Penyakit Kusta di Daerah
Endemis Dengan Pendekatan Sosial Budaya di Bayusangkah Kabupaten Bangkalan
Madura. Bersumber dari http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id [di akses tanggal 29
Maret 2009]
Zulkifli. (2003). Penyakit Kusta dan Masalah yang di Timbulkannya. Bersumber dari
http://library.usu.ac.id [di akses tanggal 30 Maret 2008]
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 197
PENGARUH PAKET PENDIDIKAN KESEHATAN RINDU TERHADAP KESIAPAN IBU
MERAWAT BAYI PREMATUR SETELAH PULANG DARI RUMAH SAKIT DI KEDIRI
Erna Rahma Yani*, Muhammad Mudzakkir**, Koekoeh Hardjito*

ABSTRACT

Low birth weight (LBW) and preterm birth are the most cause of infant death. After going
home there is a problem of preterm infant care due to inadequate and inability mother to
anticipate the emergency condition that threat the baby. The purpose of this study is to identify
the influence of RINDU health education package to mother readiness for nurturing preterm
baby at home.
The design of the study is quasi-experimental with pretest-posttest control group. The
samples of this study was 50 mothers of preterm infant treated in Aura Syifa, Melinda,
Muhammadiyah, and Gambiran district hospital at Kediri. The samples was devided in two
groups, 25 participants of intervention group and 25 participants of control group.
Descriptive statistic were gotten the data that almost 56% mother were 25
th
years, 88%
had the under junior high school, 52% participants had income more than Rp 450.000,00 and
76% had no experience to preterm infant care. There are significant differences in the
readiness of the mother in intervention and control group for caring preterm infant at home
(p=0,000; =0,05). Readiness of mother take care of preterm infant is not influenced by age,
education, incomes and experience ( p>0,05). RINDU health education package effectively
used to improve knowledge, attitude, and skill of mother to care the preterm babies at home.
Nursing services in hospital should be using RINDU a health education package as an
independent nursing intervention programe for preterm infants mother.

Key words: mother readiness, knowledge, attitude, skill, preterm infant.

* : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Malang.
** : Akademi Keperawatan Dharma Husada Kediri

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Angka kematian bayi (AKB) adalah indikator kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menunjukkan AKB sebesar 35
per 1.000 kelahiran hidup pada periode 1998-2002. Angka ini tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3
kali lebih tinggi dari Filipina dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2007). Salah satu penyebab kematian neonatus tersering adalah
bayi berat lahir rendah (BBLR) baik cukup bulan maupun kurang bulan (prematur).
Pertumbuhan dan perkembangan BBLR setelah lahir mungkin akan mendapat banyak
hambatan. Perawatan setelah lahir diperlukan bayi untuk dapat mencapai pertumbuhan dan
perkembangannya. Kemampuan ibu untuk memahami sinyal dan berespons terhadap bayi
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 198
prematur, berinteraksi dan memberkian dekapan, dalam bentuk perawatan metode kanguru,
merupakan beberapa hal yang dapat membantu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan bayi prematur setelah lahir.
Bayi prematur dengan berat minimal 18002000 g sudah aman untuk dibawa pulang
asalkan tidak ada kelainan atau faktor penyulit akibat belum sempurnanya organ tubuh. Berat
badan 2000 g setara dengan usia kehamilan 34 minggu, sehingga bayi sudah memiliki refleks
isap dan pola nafas teratur. Sebelum pulang, bayi harus mampu minum secara aktif.
Trachtenbarg dan Goleman (1998) menambahkan kriteria sosial pemulangan bayi prematur
berupa kemampuan orangtua merawat bayi prematur di rumah. Kriteria ini sesuai dengan
rekomendasi dari American Academy of Pediatrics (AAP), meliputi pengetahuan, sikap dan
keterampilan ibu untuk merawat bayi prematur di rumah. Kemampuan ibu untuk berespons,
berinteraksi dan memberikan dekapan perlu dipersiapkan selama bayi masih di rumah sakit.
Salah satu faktor yang menghambat kesiapan ibu merawat bayi adalah tidak efektifnya
penerimaan informasi akibat stres, kecemasan dan depresi yang dialami ibu pasca
persalinan.Kesulitan ibu merawat bayi prematur di rumah juga berkaitan dengan masih
kurangnya keterlibatan ibu selama perawatan di rumah sakit. Survey yang dilakukan McKim
(1993) di Kanada terhadap 56 ibu bayi prematur didapatkan 48% ibu mengalami kesulitan
merawat bayi setelah pulang dari rumah sakit. Mereka mendatangi pelayanan kesehatan
kembali karena bayi mengalami apnea selama di rumah, ibu memerlukan informasi spesifik
tentang kolik, dan jadwal kunjungan ke rumah sakit berikutnya.
Pendidikan kesehatan yang efektif akan meningkatkan kepercayaan diri dan kesiapan
ibu untuk merawat bayi prematur di rumah. Kemampuan ibu berespons yang tepat terhadap
sinyal yang diberikan bayi dan menghasilkan interaksi antara keduanya yang dapat dilihat
selama pemberian ASI. Interaksi yang sejak di ruang perawatan menunjukkan sensitifitas ibu
yang lebih baik dalam mengenal sinyal yang diberikan oleh bayi (Browne & Talmi, 2005).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Gambiran di kota Kediri, bimbingan perawatan bayi prematur di rumah diberikan kepada ibu
dan keluarga pada saat bayi diperbolehkan pulang. Umumnya bayi prematur yang dirawat di
RSUD Gambiran adalah pasien rujukan dan dirawat tanpa didampingi orangtua. Pada saat
bayi diperbolehkan pulang, ibu dan keluarga dihubungi untuk datang ke rumah sakit dan
mendapatkan bimbingan tentang perawatan bayi di rumah. Bimbingan diberikan untuk
pemberian ASI, memonitor suhu tubuh bayi dan mempertahankan kehangatan, perawatan
metode kanguru, dan perawatan tali pusat. Satu hari setelah pulang dari rumah sakit, ibu dan
bayi dianjurkan untuk melakukan kontrol ke poli KIA sekaligus mengevaluasi kemampuan ibu
melakukan perawatan di rumah. Pendidikan kesehatan yang diberikan dalam waktu singkat
dengan banyak topik dirasakan kurang efektif. Meskipun tak ada laporan resmi tentang
rehospitalisasi bayi prematur di Kota kediri, namun diketahui selama proses bimbingan masih
banyak ibu yang mengalami kesulitan dalam memberikan ASI setelah pulang dari rumah sakit.

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi kesiapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) ibu merawat bayi
prematur sebelum dan sesudah periode intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 199
2. Mengidentifikasi perbedaan kesiapan (pengetahuan, sikap, dan ketertampilan) ibu sebelum
dan sesudah periode intervensi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
3. Mengidentifikasi perbedaan kesiapan (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) ibu setelah
periode intervensi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
4. Mengidentifikasi hubungan karakteristik responden dengan kesiapan (pengetahuan, sikap,
dan keterampilan) ibu merawat bayi prematur.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di rumah sakit yang ada di kota Kediri yaitu RSUD Gambiran,
RSIA Melinda, RS Muhamammadiyah, dan RSIA Aura Syifa di Kediri. Penelitian ini
menggunakan quasi-experimental design dengan pendekatan rancangan pretestposttest
control group design. Rancangan ini digunakan karena kontrol eksperimen secara penuh tidak
mungkin dilakukan dan tidak menggunakan dasar random dalam menentukan kelompok
intervensi atau kontrol (Wood & Haber, 2006).
Populasi penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan bayi prematur di rumah sakit di
kota Kediri. Sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang ibu yang melahirkan bayi prematur di
rumah sakit di kota Kediri pada saat dilakukan penelitian 4 Mei sampai 14 Juni 2009 dengan
kriteria inklusi sebagai berikut: a) bersedia menjadi responden, b) ditegakkan diagnosis medis
melahirkan bayi prematur, c) bayi memerlukan perawatan secara intensif dan terpisah dengan
ibu, d) ibu akan merawat bayi di rumah setelah pulang dari rumah sakit, e) ibu bisa membaca
dan menulis. Kriteria eksklusi yaitu ibu yang melahirkan bayi prematur dengan: a) bayi
meninggal dunia, b) ibu mengalami penurunan kesadaran, c) ibu memerlukan perawatan di
ruang intensif, d) ibu dirujuk ke rumah sakit lain, e) ibu mengundurkan diri berpartisipasi.
Paket RINDU (respons, interaksi, dan dekapan ibu), merupakan paket pendidikan
kesehatan untuk ibu bayi prematur yang diberikan selama bayi dirawat di rumah sakit. Paket
Rindu diberikan dengan menggunakan satu booklet yang berisi panduan cara merawat bayi
prematur, meliputi respons, interaksi, dan dekapan ibu. Pendidikan kesehatan akan dilakukan
di ruang perawatan pasien. Kegiatan pre-test dilakukan pada hari kedua setelah persalinan
dan sebelum mendapatkan paket pendidikan kesehatan, dengan harapan pada hari kedua ibu
telah memasuki fase taking hold sehingga telah memiliki kesiapan untuk belajar, sedangkan
post-test dilakukan setelah pasien menyelesaikan paket pendidikan kesehatan RINDU. Pre-
test dan post-test dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang mengukur pengetahuan,
sikap dan keterampilan ibu dalam melakukan perawatan bayi prematur.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Karakteristik responden yang merupakan ibu bayi prematur diidentifikasi berdasarkan
umur, pendidikan, pendapatan keluarga, dan pengalaman merawat bayi prematur. Uji
homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesetaraan kedua kelompok responden sebelum
diberikan intervensi pendidikan kesehatan RINDU.
Uji homogenitas menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna untuk umur ibu
(p=1,000;=0,05), pendapatan keluarga, pendidikan (p=0,667;=0,05). Sebelum diberikan
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 200
intervensi, tidak ada perbedaan bermakna pengalaman merawat bayi pada kedua kelompok
(p=0,741;=0,05), pengetahuan (p=0,490; =0,05), dan sikap (p=1,000; =0,05).
Perbedaan kesiapan diidentifikasi dari perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
antara kondisi pre-test dengan post-test pada masing-masing kelompok. Analisis perbedaan
dilakukan dengan uji McNemar. Perubahan masing-masing variabel disajikan Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu Saat Pre-Test dan Post-Test pada
Kelompok Intervensi di Kediri Bulan Mei-Juni 2009

Pre-test
(n=25)
Post-test (n=25)
Total

p value Baik Tidak Baik
f % f % F %
Pengetahuan 0,000
Baik 0 0 0 0 0 0
Tidak Baik 23 92 2 18 25 100
Total 23 92 2 18 25 100
Sikap 0,000
Positif 5 20 0 0 5 20
Negatif 15 60 5 20 20 80
Total 20 80 5 20 25 100
Keterampilan 0,000
Terampil 0 0 0 0 0 0
Tidak Terampil 25 100 0 0 25 100
Total 25 100 0 0 25 100

Tabel 2. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu Saat Pre-Test dan Post-Test
Pada Kelompok Kontrol di Kediri Bulan Mei-Juni 2009

Pre-test
(n=25)
Post-test (n=25)
Total

p value Baik Tidak Baik
f % f % f %
Pengetahuan 0,625
Baik 1 4 1 4 2 8
Tidak Baik 3 12 20 80 23 92
Total 4 16 21 84 25 100
Sikap 0,125
Positif 5 20 0 0 5 20
Negatif 4 16 16 64 20 80
Total 9 36 16 64 25 100
Keterampilan
Terampil 0 0 0 0 0 0
Tidak Terampil 0 0 25 100 25 100
Total 0 0 25 100 25 100
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 201
Pada kelompok intervensi tidak didapatkan ibu yang memiliki pengetahuan baik saat pre-
test dan saat post-test didapatkan 92% memiliki pengetahuan baik. Analisis dengan uji
McNemar pada kelompok intervensi menunjukkan ada perbedaan bermakna sebelum dan
sesudah intervensi, untuk pengetahuan (p=0,000; =0,05), sikap (p=0,000; =0,05), dan
keterampilan ibu (p=0,000; =0,05). Pada kelompok kontrol didapatkan tidak ada perbedaan
bermakna pengetahuan ibu sebelum dan sesudah intervensi (p=0,625 =0,05), sikap (p=0,125
=0,05) dan keterampilan seluruh ibu (100%) post-test. Kondisi kedua kelompok setelah post-
test dapat dilihat dalam table 3 berikut.

Tabel 3. Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Ibu setelah Periode Intervensi
Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di Kediri Mei-Juni 2009

Variabel
Intervensi Kontrol p Value
f % F %
Pengetahuan

0,000
Baik 23 92 4 16
Tidak Baik 2 18 21 84
Jumlah 25 100 25 100
Sikap

0,004
Positif 20 80 9 36
Negatif 5 20 16 64
Jumlah 25 100 25 100
Keterampilan

0,000
Terampil 25 100 0 0
Tidak Terampil 0 0 25 100
Jumlah 25 100 25 100

Setelah post-test analisis dengan chi-square menunjukkan adanya perbedaan bermakna
pengetahuan ibu setelah post-test antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol
(p=0,000; =0,05), sikap (p=0,004; =0,05), dan keterampilan ibu (p=0,000; =0,05).
Pembahasan
Ibu yang melahirkan bayi prematur di Kediri selama bulan Mei sampai dengan Juni 2009
sebagian besar (56%) berumur lebih dari 25 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang
diperoleh Kaaresen, et al. (2006) di Norwegia, didapatkan rata-rata umur ibu yang melahirkan
bayi prematur adalah usia 30,7 tahun dengan standar deviasi 4,8. Penelitian yang dilakukan
McCormick, et al. (2008) di California juga menunjukkan umur rata-rata ibu yang melahirkan
bayi prematur adalah 31,5 tahun dengan standar deviasi 7,5.
Pendidikan kesehatan merupakan aktifitas pembelajaran yang dirancang oleh perawat
sesuai kebutuhan klien. Pencapaian tujuan pendidikan kesehatan akan lebih mudah dengan
penggunaan alat bantu dan peraga yang sesuai dan dapat meningkatkan kemudahan
penerimaan informasi. Menurut Nies dan McEwen (2001) penggunaan alat bantu berupa
tulisan akan lebih menghasilkan peningkatan pengetahuan daripada dengan kata-kata.
Paket pendidikan kesehatan RINDU dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa
booklet dan alat peraga. Pemilihan alat bantu dilakukan dengan tujuan membantu
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 202
penggunaan indera sebanyak-banyaknya. Menurut Notoatmodjo (2003a) kurang lebih 75%
dari pengetahuan manusia diperoleh melalui mata, sedang sisanya melalui indera yang lain.
Dengan penggunaan booklet dan alat peraga, informasi yang disampaikan melalui mata lebih
banyak, sehingga informasi akan lebih mudah diterima oleh ibu sebagai peserta didik.
Penggunaan media pembelajaran visual berupa booklet, poster, leaflet banyak dilakukan
dalam pendidikan kesehatan dan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan. Penelitian
yang dilakukan Mintarsih (2007) di Tasikmalaya menunjukkan bahwa setelah diberi perlakuan
pendidikan kesehatan menggunakan media booklet dan poster, pengetahuan dan sikap
kelompok intervensi meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol (p<0,05).
Muthmainnah (2006) mendapatkan peningkatan pengetahuan ibu dengan melakukan
pendidikan kesehatan tentang perawatan bayi. Penelitian lain yang dilakukan Utami (2008)
dengan metode ceramah, tanya jawab dan demonstrasi mendapatkan peningkatan proporsi
ibu berpengetahuan baik sebesar 33,04% dari kondisi sebelumnya (p=0,010).
Hasil penelitian mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Ahmed (2008) di
Mesir, yang menjelaskan program pendidikan kesehatan efektif untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan ibu bayi prematur untuk menyususi. Dalam penelitiannya
Ahmed mendapatkan kelompok ibu yang diberikan intervensi pendidikan kesehatan
mengalami peningkatan pengetahuan secara bermakna berbeda dengan kelompok kontrol
(p=0,041). Hasil penelitian juga mendukung penelitian Bang, et. al (2005) tentang pendidikan
kesehatan dengan home-based neonatal care telah meningkatkan proporsi ibu
berpengetahuan baik sebesar 78,7% dan sikap ibu sebesar 69,7%. Paket pendidikan
kesehatan RINDU dapat digunakan sebagai intervensi keperawatan mandiri, untuk
meningkatkan pengetahuan ibu tentang perawatan bayi prematur di rumah.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan Mintarsih (2007) di
Tasikmalaya, yang menunjukkan bahwa setelah diberi pendidikan kesehatan, pengetahuan
dan sikap kelompok intervensi meningkat secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol
(p<0,05). Proses perubahan sikap hampir selalu dipusatkan pad cara-cara memanipulasi atau
mengenadlikan situasi dan lingkungan untuk menghasilkan perubahan sikap yang dikehendaki
(Azwar, 2003). Paket pendidikan kesehatan RINDU memberikan informasi tentang interaksi
ibu dengan bayi prematur, respon yang sesuai dengan sinyal bayi, dan kewaspadaan ibu
terhadap tanda bahaya. Informasi ini selain dapat meningkatkan pengetauan, juga dapat
mempengaruhi pembentukan sikap yang lebih positif terhadap perawatan bayi prematur.
Keterampilan ibu meliputi pengukuran suhu tubuh bayi, pemberian ASI, memandikan,
dan perawatan metode kanguru untuk bayi pematur. Hasil analisis menunjukkan seluruh ibu
pada kelompok intervensi mengalami peningkatan keterampilan, sedang seluruh ibu pada
kelompok kontrol tidak mengalami peningkatan keterampilan (p=0,000; =0,05).
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Muthmainnah (2006), yang
mendapatakan bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan kepada ibu pada hari kedua dan
ketiga setelah melahirkan dapat meningkatkan secara efektif pengetahuan dan perilaku ibu
merawat bayi sehat di Jambi (p<0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
Ahmed (2008) di Cairo, bahwa program pendidikan dapat meningkatkan keterampilan ibu
dalam melakukan pemerasan ASI, dan 80% ibu berhasil memberikan ASI eksklusif.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 203
Paket pendidikan kesehatan RINDU memberikan kesempatan kepada ibu untuk melatih
keterampilan merawat bayi prematur. Pelaksanaan pendidikan kesehatan pada hari ke dua
dan ke tiga efektif meningkatkan keterampilan ibu, meskipun keterampilan masih berupa
praktik dengan menggunakan phantoom.
Sebelum diberikan pendidikan kesehatan dengan paket RINDU ibu pada kelompok
intervensi maupun kontrol memiliki persamaan karakteristik. Kondisi pengetahuan, sikap, dan
keterampilan ibu pun bersifat homogen. Setelah diberikan pendidikan kesehatan, didapatkan
64% ibu pada kelompok intervensi siap merawat bayi pematur, sedang pada kelompok kontrol
tidak didapatkan ibu yang siap merawat bayi prematur (p=0,00). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2009) yang mengidentifikasi perbedaan
metode demonstrasi dan belajar mandiri tentang sikap dan pengetahuan ibu di Kebumen.
Wibowo mendapatkan bahwa metode ceramah dan demonstrasi lebih efektif dibandingkan
metode belajar mandiri dengan modul pendidikan kesehatan (p=0,000).
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Tram, et al. (2003) di Vietnam tentang
pengaruh pendidikan kesehatan kepada ibu terhadap pengetahuan, sikap dan praktik ibu.
Tram mendapatkan perubahan bermakna pengetahuan ibu sebelum dan sesudah diberikan
intervensi (p<0,05). Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Bang et.al (2005) di
Gadchiroli, India yang menyatakan bahwa pendidikan kesehatan dengan home-based
neonatal care dapat menurunkan morbiditas neonatal hingga mecapai setengahnya.
Perubahan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu setelah periode intervensi diasumsikan
sebagai akibat pemberian pendidikan kesehatan RINDU. Dengan demikian paket pendidikan
kesehatan RINDU efektif untuk mempersiapkan ibu mampu merawat bayi prematur di rumah,
didukung adanya indikasi peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah: 1) Sebagian besar bayi prematur dilahirkan oleh ibu yang
berusia lebih dari 25 tahun, berpendidikan dasar dan menengah, tidak punya pengalaman
merawat bayi prematur, dan pendapatan lebih dari Rp 450.000,00, 2) paket pendidikan
kesehatan RINDU meningkatkan kesiapan ibu 76% untuk merawat bayi prematur di rumah.
Berdasarkan simpulan disarankan: 1) Perawat menerapkan paket pendidikan kesehatan
RINDU untuk meningkatkan kesiapan ibu merawat bayi prematur, 2) pelaksanaan post-test
jika memungkinkan dilakukan secara berulang dengan waktu yang lebih panjang, sehingga
responden memiliki kesempatan lebih banyak menyerap informasi yang disampaikan, dan
dapat mengaplikasikan keterampilan secara langsung kepada bayi prematur. Penelitian yang
telah dilakukan adalah pencapaian peran maternal pada tahap formal. Penelitian dapat
ditindaklanjuti untuk pencapaian peran maternal tahap antisipasi, informal, atau personal.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, A.H. (2008). Breasfeeding preterm infant: an educational program to support mothers
of preterm infants in Cairo, Egypt. Pediatric Nursing. 34(2), 125-130.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 204
Azwar, S. (2003). Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2007). Laporan pencapaian millennium
development goals Indonesia. Jakarta: Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan nasional.
Bang, A.T., Bang, R. A., Reddy, H. M., Deshmukh, M. D., & Baitule, S. B. (2005). Reduced
incidence of neonatal morbidities: effect of home-based neonatal care in rural Gadchiroli,
India. Journal of Perinatilogy, 25, S51-S61.
Browne, J.V. & Talmi, A. (2005). Family-based intervension to enhance infant-parent
relationships in the neonatal intensive care unit. Journal of Pediatric Psychology, 30(8),
667-677.
Kaaresen, P.I., Ronning, J.A., Ulvund, S.E., & Dahl, L.B. (2006). A randomized controlled trial
of the effectiveness of an early-intervention program in reducting parenting stress aftaer
preterm birth. Pediatrics, 118(1), 9 19.
McCormick, M.C., Escobar, G.J., Zheng, Z., & Richardson, D.K. (2008). Factors influencing
parental satisfaction with neonatal intensive care among the families of moderately
premature infants. Pediatrics, 121(6), 1111 1118.
McKim, E.M. (1993). The difficult first week at home with a premature infant.
http://www3.interscience.wiley.com diperoleh 14 Pebruari 2009.
Mintarsih,W. (2007). Pendidikan kesehatan menggunakan booklet dan poster dalam
meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang kesehatan reproduksi di Kabupaten
Tasikmalaya. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tesis.
Muthmainnah, M. (2006). Efektifitas pendidikan kesehatan pada periode awal pos partum
dengan metode CPDL terhadap kemampuan ibu primipara merawat bayi di propinsi
Jambi. Program Pascasarjana FIK UI. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Nies, M.A., & McEwen, M. (2001). Community health nursing: Promoting the health of
population (3
rd
ed.), USA: W.B. Saunders Company.
Notoatmodjo, S. (2003a). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Trachtenbarg, D.E. & Golemon, T.B. (1998). Care of the premature infant: part 1 Monitoring
growth and development. American Academy of Family Physician 57(9), 21-28.
Tram, T.T., Anh, N.T.N., Hung, N.T., Lan, N.T., Cam, L.T., Chuong, N.P., et al. (2003). The
impact of health education on mothers knowledge, attitude and practice (KAP) of
Dengue Haemorrhagic Fever. Dengue Bulletin 27, 174-180.
Utami, S. (2008). Pengaruh metode pelatihan terhadap kemampuan ibu dalam deteksi dini
perkembangan anak usia 0-2 tahun (studi di wilayah kerja Puskesmas Tanah
Kalikedinding Surabaya). Gdl-lib@litbang.depkes.go.id., diperoleh tanggal 20 Juni
2009.
Wibowo, P. (2009). Perbedaan metode demonstrasi dan mandiri tentang sikap dan
pengetahuan ibu di Kebumen. Tesis. Universitas Islam Indonesia.
Wood, G.L., & Haber, J. (2006). Nursing research methods and critical appraisal for
evidencebased practice. St.Louis, Missouri. Mosby Elsyvier
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 205
PERBEDAAN KEKUATAN KONTRAKSI UTERUS PADA IBU POST PARTUM
ANTARASEBELUM DAN SESUDAH MELAKSANAKAN INISIASI MENYUSU DINI (IMD)
Indah Rahmaningtyas*, Ribut Eko Wijanti*, Koekoeh Hardjito*

ABSTRAK
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000
kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai
sebab. Salah satu penyebab perdarahan setelah melahirkan adalah karena lemahnya
kontraksi uterus. Untuk mengatasi perdarahan post-partum, bisa dikurangi dengan menyusui
sedini mungkin dalam kurun waktu kurang dari 30 menit setelah bayi lahir, karena isapan bayi
pada payudara akan menstimulasi produksi oksitosin secara alami. Oksitosin membantu
uterus untuk berkontraksi, sehingga dapat mengontrol perdarahan setelah persalinan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh inisiasi menyusu dini terhadap terjadinya
kontraksi uterus pada ibu post-partum, dengan desain One Group Pre-Post Test. Populasi
penelitian adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSIA Swasta Kota Kediri. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Penelitian ini dilakukan dari
tanggal 14 s/d 20 Oktober 2009 dengan besar sampel yang diperoleh 31 responden.
Terdapat 34 persalinan normal, tetapi hanya 31 yang dilanjutkan dengan IMD. Data dari
31 responden dianalisis menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank Test dengan nilai signifikansi
sebesar 0,000, berarti Ho ditolak (ada pengaruh penerapan IMD terhadap kontraksi uterus
pada ibu post-partum. Dengan hasil penelitian tersebut maka perlu disosialisasikan lebih
gencar kepada masyarakat umum terutama kepada ibu hamil, tentang pentingnya IMD.

Kata kunci : IMD, post-partum, bayi baru lahir.
* : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Malang

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Berdasar Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003, Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia mash berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup
atau setiap jam ada 2 orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab, sehingga
upaya penurunan AKI sebagai program prioritas. Sebagian besar penyebab utama kematian
ibu di negara berkembang adalah faktor obstetri langsung, yaitu perdarahan post partum,
infeksi dan eklamsi (Mochtar, 1998). Salah satu penyebab perdarahan setelah melahirkan
adalah lemahnya kontraksi uterus, yang terjadi karena ibu kelelahan saat meneran selama
persalinan berlangsung, faktor lain yang mempengaruhi kontraksi uterus adalah tertinggalnya
jaringan plasenta di dalam uterus (Manuaba, 1998). Perdarahan post partum bisa dikurangi
dengan menyusui sedini mungkin dalam kurun waktu kurang dari 30 menit setelah bayi lahir,
karena isapan bayi pada payudara akan menstimulasi produksi oksitosin secara alami.
Oksitosin membantu uterus untuk berkontraksi, sehingga dapat mengontrol perdarahan
setelah kelahiran (Manuaba, 1998). Cara ini merupakan bagian dari manajemen aktif kala III.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 206
Hasil studi pendahuluan (24 Januari 2008 di RSIA Melinda Kediri) pada catatan
persalinan tahun 2007 adalah: perdarahan post partum dalam 24 jam setelah persalinan
adalah 16 dari 312 persalinan normal (5,1%), secara umum disebabkan oleh atonia uteri.
Yang menjadikan kendala adalah ibu masih enggan melakukan IMD, apalagi ibu
primipara. Beberapa faktor yang menyebabkan ibu belum mau melakukan IMD adalah karena
ibu belum siap menerima bayinya, dengan alasan masih takut, geli, lemas dan kurang
memahami manfaat IMD. Padahal manfaat menyusu dini akan mempercepat kontak antara
ibu dan bayi, sehingga bayi cepat mendapatkan kehangatan dan kenyamanan (Roesli. 2008).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kontraksi uterus ibu postpartum sebelum
IMD, 2) mengidentifikasi kontraksi uterus ibu post partum setelah IMD, 3) menganalis
perbedaan kekuatan kontraksi uterus ibu post partum antara sebelum dan sesudah IMD.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian analitik dengan desain One Group Pre-Post Test ini mencari hubungan sebab
akibat dengan melibatkan satu kelompok subyek yang diobservasi sebelum dilakukan
intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah dilakukan intervensi. Populasi penelitian adalah
seluruh ibu yang melahirkan normal di RSIA Swasta di Kota Kediri. Sampel diperoleh dengan
teknik accidental sampling. Variabel independen adalah inisiasi menyusu dini pada bayi baru
lahir, dan variabel dependen adalah kontraksi uterus pada ibu post-partum. Tempat dan waktu
penelitian di RSIA di Kota Kediri, yaitu RSIA Muhammadyah, RSIA Citra Keluarga dan RSIA
Melinda, pada tanggal 7 s/d 20 Oktober 2009.

Tabel 1. Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala
1.





2.
Variabel
independen:
inisiasi
menyusu
dini

Variabel
dependen:
Kontraksi
uterus
Meletakkan bayi di dada ibu
setidaknya 60 menit sampai bayi
menyusu, dengan naluri dan
upayanya sendiri bayi dapat
menetek, bersamaan dengan
kontak dini kulit bayi di dada ibu.
Kekuatan uterus berkontraksi
setelah melahirkan.
Menyusu





Kontraksi uterus
teraba: lembek,
sedang, keras,
sangat keras.
Lembar
observasi




Lembar
observasi
nominal





Ordinal

Teknik Pengolahan data dilaksanakan dengan cara melakukan tabulasi data hasil
observasi perbedaan kontraksi uterus sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi menyusu dini
dengan cara palpasi fundus uteri, selanjutnya dilakukan pengurangan skala kontraksi yang
diperoleh sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi menyusu dini, dengan hasil sebagai berikut :
Nilai 0: tidak ada perubahan; Nilai 1: sedikit meningkat (lebih keras sedikit); Nilai 2: meningkat
(lebih keras moderat); Nilai 3: sangat meningkat (keras). Untuk mengetahui dan menganalisis
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 207
hasil eksperimen pre-test dan post-test terhadap ada tidaknya pengaruh inisiasi menyusu dini
terhadap kontraksi uterus pada ibu post-partum, dilakukan Wilcoxon Signed Ranks Test.
Hipotesis penelitian diterima, bila nilai signifikansi <0,05.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan kepada ibu yang melahirkan di RSB/RSIA Swasta di Kota
Kediri, dimana responden sebelumnya diberitahu bahwa setelah bayinya dilahirkan akan
segera ditaruh didada ibu untuk melakukan inisiasi menyusu dini (Tabel 2).
Uji statistik dengan bantuan software SPPS Ver.15 memberikan hasil nilai signifikansi
sebesar 0,000, jika dibandingkan dengan alpha 0,05 memberikan hasil lebih kecil dari alpha,
hal ini berarti H0 ditolak artinya terdapat pengaruh penerapan inisiasi menyusu dini pada bayi
baru lahir dengan terjadinya kontraksi uterus pada ibu post partum.

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini Pada Bayi Baru Lahir
di RSB/RSIA Swasta di Kota Kediri.
No RSB/RSIA di Kediri Jml. Persalinan Frekuensi Prosentase
1. RSIA Melinda 15 13 87
2. RSIA Citra Keluarga 7 6 86
3. RSIA Muhamadiyah 12 12 100

Tabel 3. Perubahan Kontraksi Uterus Sebelum dan Setelah Dilakukan IMD
N
Mean
Rank
Sum of
Ranks
Kontraksi Uterus setelah
dilakukan IMD - Kontraksi Uterus
sebelum dilakukan IMD
Negative Ranks
0(a) ,00 ,00
Positive Ranks 16(b) 8,50 136,00
Ties 15(c)
Total 31
a Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD < Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD
b Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD > Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD
c Kontraksi Uterus setelah dilakukan IMD = Kontraksi Uterus sebelum dilakukan IMD

Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah bayi dengan naluri dan upayanya sendiri dapat
menetek segera dalam satu jam setelah lahirbersamaan dengan kontak dini kulit bayi di dada
ibu. Bayi dibiarkan setidaknya 60 menit di dada ibu sampai dia menyusu (Linkages, 2007).

Pelaksanaan IMD di RSIA Swasta di Kota Kediri.
Pelaksanan IMD di RSIA Swasta di Kota Kediri menunjukkan hasil yang bagus yaitu
91%, ini sejalan dengan program pemerintah yang bertujuan menurunkan angka kematian
bayi. Penerapan IMD dapat menyelamatkan 22% nyawa bayi yang meninggal sebelum usia
satu bulan dalam satu jam pertama kelahiran. Penerapan IMD segera setelah bayi dilahirkan
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 208
berguna juga dalam menyukseskan program ASI ekslusif sampai bayi berumur 6 bulan dan
dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun dilengkapi makanan tambahan (Yuliati, 2008).
Dada ibu akan menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari
payudara, kondisi ini akan menurunkan kematian bayi karena kedinginan (hypothermia). Ibu
dan bayi akan merasa lebih tenang, pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil, bayi akan
lebih jarang menangis sehingga mengurangi pemakaian energi. Saat bayi merangkak mencari
payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit ibunya dan dia akan menjilat-jilat kulit ibu dan
menelan bakteri baik di kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di
kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan (Roesli, 2008).
Selain kondisi bayi yang diuntungkan dari program tersebut, ternyata dampak positif lain
bisa dijumpai pada ibu salah satunya adalah adanya kondisi kontraksi uterus yang semakin
baik karena dipicu oleh hormon oksitosin yang dipicu oleh isapan pada puting susu ibu.

Kontraksi Uterus sebelum pelaksanaan IMD
Sebelum dilakukan IMD, distribusi ontraksi uterus adalah lembek: 6 responden, sedang:
9 responden, keras: 16 responden, dan sangat keras: tak ada. Hal ini dikarenakan segera
setelah plasenta lahir dan membran-membran dikeluarkan, terjadi konstriksi vaskuler dan
trombus untuk menutupi tempat tumbuhnya plasenta dengan suatu nodul-nodul yang ireguler
dan area elevasi (Irene, 2000). Sebelum IMD sebagian besar kontraksi uterus keras (51,6%)
kemungkinan dikarenakan mekanisme konstriksi vaskuler dan trombus, sehingga fundus uteri
teraba keras. Kontraksi uterus sedang lembek mungkin disebabkan oleh mekanisme konstriksi
vaskuler dan trombus kurang efektif. Kontraksi uterus ini akan diperkuat oleh adanya
peningkatan hormone oksitosin, yang selain dapat membantu kontraksi uterus juga membantu
mengurangi perdarahan ibu (Roesli, 2008).
Pengeluaran oksitosin dipicu oleh hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan
bayi di puting susu dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting (Roesli, 2000). Begitu
pentingnya peran oksitosin dalam meningkatkan kontraksi uterus, maka sudah selayaknya bila
bayi diupayakan untuk segera menyusu sendiri dalam satu jam pertama kehidupannya.

Kontraksi Uterus setelah pelaksanaan IMD
Setelah pelaksanaan IMD didapatkan peningkatan kontraksi uterus, yang semula tidak
ada responden dengan kontraksi uterus sangat keras, setelah dilakukan IMD ada 4 responden
dengan kontraksi sangat keras. Dari 6 responden yang semula berkontraksi uterus lembek, 5
responden mengalami peningkatan. Pada saat ibu menyusui bayinya oksitosin akan
disekresikan oleh kelenjar pituitrin posterior akibat dari respon yang distimulikan pada puting
susu sebagai dampaknya uterus berkontraksi. Kekuatan kontraksi uterus ditentukan oleh
intensitas, lamanya dan frekuensi kontraksi (Mander, R. 1998).
Masih adanya kekuatan kontraksi uterus yang tidak maksimal pasca IMD dapat
disebabkan oleh kondisi psikis ibu post partum yang tidak stabil, hal ini sesuai dengan
pendapat Sulistya GG bahwa sekresi hormon pituitrin, prolaktin dan oksitosin selain dengan
pengisapan dipengaruhi oleh emosi ibu. Sehingga untuk memberikan kondisi kesehatan yang
terbaik bagi bayi dan ibu post partum maka perawatan selama kehamilan sangat diperlukan
yang tidak hanya aspek fisik ibu saja tetapi juga aspek mental emosional ibu.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 209

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan penelitian adalah: 1) perbandingan frekuensi kekuatan kontraksi uterus
sebelum pelaksanaan IMD adalah berimbang, 2) frekuensi kekuatan kontraksi uterus setelah
pelaksanaan IMD mayoritas keras, 3) ada perbedaan kekuatan kontraksi uterus antara
sebelum dan sesudah melaksanakan IMD.
Saran yang diajukan adalah: 1) perlu proses sosialisasi ke masyarakat umum terutama
ibu hamil tentang pentingnya pelaksanan IMD, 2) perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang
manfaat dan keuntungan dari proses pelaksanaan IMD untuk ibu maupun bayi.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, RI. 2001. Panduan Manajemen Laktasi. Jakarta : Dit Gizi Masyarakat Depkes.
Ganiswarna , SG. 2003. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Gaya Baru.
Handerson, C and Jones, K (ed). 1997. Essential Midwifery. Anjarwati, R, dkk. 2005 (alih
bahasa). Jakarta : EGC.
Jimenez, SLM.1992. The Pregnant Womans Comfort Guide. Maria, P. 1999 (alih bahasa).
Jakarta : Arcan.
Liewellyn, JD. 1994. Fundamentals of Obstetrics and Gynecology 6 edition. Hadyanto. 2001
(alih bahasa). Jakarta : Hipokrates.
Linkages. 2007. Melahirkan, Memulai Pemberian ASI dan Tujuh Hari Pertama Setelah
Melahirkan. Academy for Educational Development. 1825 Connecticut Avenue, NW,
Washington, DC 20009.
Long, BC. 1989. Essential of Medical-Surgical Nursing A Nursing Process Approach. Karnaen,
R, dkk. 1996 (alih bahasa). Bandung : Yayasan IAPK.
Mander, R.1998. Pain in Childbearing and its Control. Sugiarto, B. 2003 (alih bahasa). Jakarta
: EGC.
Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Rustam, Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri, jilid I. Jakarta : EGC.
Soekijo Notoadmojo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Smeltze, SC. 1996. brunner and Suddarths Tex Book of Medical-Surgical Nursing Vol I.
Waluyo, A. 2001 (alih bahasa). Jakarta : EGC.
Utami Roesli. 2008. Inisiasi Menyusu Dini. Jakarta : Pustaka Bunda.
Varney, H. 1998. Varneys Pocket Midwife 6 edition. Pakaryaningsih, E. 2001 (alih bahasa).
Jakarta : EGC.
WHO. 2003. Perawatan dalam Kelahiran Normal, Jakarta : EGC.
Yulianti. 2008. Studi Kualitatif mengenai Gambaran Niat Ibu Hamil dalam Penerapan Proses
Inisiasi Menyusu Dini di Rumah Sakit Islam Jakarta tahun 2008. Jakarta : Perpustakaan
Universitas Indonesia
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 210
KARAKTERISTIK BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR)
SAMPAI TRIBULAN II TAHUN 2009 DI KOTA KEDIRI
Siti Asiyah*, Suwoyo*, Mahaendriningtyastuti**

ABSTRACT
The low birth weight infant is one of the risk factor that has contribution to the infants
death. The purpose of this research is to know the discription of the caracteristic of low birth
weight infant, by identified case from mothers factor, pregnancys factor and from other factor.
This research is a discriptive research by using purposive sampling technique. The data
collection by using check list form. The location of this research are in 9 Public Health Centre
in Kediri city. This research is only use one variable, which is the caracteristic of low birth
weight infant, and the research sampling are 41 people.
From the data analizing, it can be identified that most of low birth weight infant are
caused by mothers factor that caused by anemia during the pregnancy (67%). From the
pregnancy factor, the biggest is caused by pregnancy complication (22%). While from other
factor, as much as 7% is caused by genetic factor. Thats why, it is necessary to make the
priority of the program to reduce the low birth weight infant case.

Key words: infant, low birth weight
* : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang.
** : Dinas Kesehatan Kota Kediri

PENDAHULUAN

Latar belakang
Menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, angka kematian
neonatal sebesar 20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam satu tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1
bulan meninggal. Dengan kata lain setiap 6 menit ada satu neonatus meninggal di Indonesia
oleh berbagai sebab. Penyebab utama kematian neonatal adalah Bayi Berat Lahir Rendah
(BBLR), sebanyak 29 % (Depkes, 2007). Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR)
diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia dengan batasan 3,3%-38% dan lebih sering
terjadi di negara berkembang atau sosio-ekonomi rendah (Depkes, 2007). Secara statistik
menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di Negara berkembang dan angka kematiannya
35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram (Meta, 2008).
Angka kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lain, yaitu berkisar antara 2,0%-15,1% (Joeharno, 2006). Secara nasional berdasarkan analisa
lanjut SDKI, angka BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan
pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010 yakni maksimal 7%
(Meta, 2008). Di Provinsi Jawa Timur, BBLR masih menjadi penyebab kematian neonatal
tertinggi, pada tahun 2007 sebesar 40,7% dan 2008 sebesar 41,4%. Sedangkan prevalensi
BBLR sendiri mengalami peningkatan yaitu 1,26% pada tahun 2005; 1,55 % pada tahun 2006
dan 2,2 % pada tahun 2008 (Data LB3 KIA Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2008). Untuk Kota
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 211
Kediri, pada tahun 2008 BBLR juga merupakan penyebab kematian neonatal tertinggi, yaitu
sebesar 62,6%. Sedangkan sampai tribulan II tahun 2009, BBLR menyumbangkan angka
sebesar 42,1% terhadap kematian neonatal (lampiran 16). Selain itu, juga terdapat trend
peningkatan kasus BBLR, dari 66 kasus selama tahun 2008 menjadi 91 kasus sampai tribulan
II tahun 2009 ini (Data LB3 KIA Dinkes Kota Kediri, 2009).
Kejadian BBLR pada dasarnya berhubungan dengan kurangnya pemenuhan nutrisi pada
masa kehamilan ibu dan hal ini berhubungan dengan banyak faktor dan lebih utama pada
masalah perekonomian keluarga sehingga pemenuhan kebutuhan konsumsi makanan pun
kurang (Joeharno, 2008). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas,
morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi, dan anak serta memberikan dampak jangka panjang
terhadap kehidupannya di masa depan. Bayi dengan berat lahir rendah umumnya mengalami
proses hidup masa depan kurang baik, memiliki resiko tinggi untuk meninggal dalam usia
balita jika dibandingkan dengan bayi non BBLR. Bila tidak meninggal pada awal kelahiran,
bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang lebih lambat, apalagi jika kekurangan ASI eksklusif
dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Maka bayi BBLR cenderung besar menjadi
balita dengan status gizi rendah. Bayi BBLR yang dapat bertahan hidup, dalam lima tahun
pertama akan mempunyai resiko lebih tinggi dalam tumbuh kembang secara jangka panjang
kehidupannya jika dibandingkan dengan bayi non BBLR (Pioda, 2007 ).
Menurunkan insiden BBLR hingga sepertiganya menjadi salah satu tujuan utama A
World Fit for Children hingga tahun 2010, sesuai deklarasi dan rencana kerja United Nation
General Assembly Special Session on Children in 2002 (Rahayu, 2009). Perbaikan dalam
angka kematian perinatal dapat dicapai dengan pengawasan antenatal untuk semua wanita
hamil dan dengan menemukan dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi
keselamatan janin dan neonatus (Sarwono, 2002 ).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi kasus BBLR karena faktor ibu, 2)
mengidentifikasi kasus BBLR karena faktor kehamilan, 3) mengidentifikasi kasus BBLR karena
faktor lain, 4) mendapatkan gambaran penyebab terbanyak kejadian BBLR.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan di 9 wilayah Puskesmas di Kota Kediri pada tanggal 1928
November 2009 ini menggunakan desain penelitian deskriptif, untuk menggambarkan
karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah yang lahir pada bulan Januari sampai Juni tahun 2009 di
Kota kediri. Populasi dalam penelitian ini adalah semua BBLR yang ada di wilayah kota Kediri
yang lahir pada bulan Januari sampai Juni 2009. Sampel dalam penelitian ini adalah semua
BBLR di Kota Kediri yang lahir pada bulan Januari sampai Juni 2009 yang datanya tercatat
pada register Kohort bayi Puskesmas. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive
sampling. Penelitian ini memiliki satu variabel yaitu karakteristik Bayi Berat Lahir Rendah.
Data primer (umur ibu, jumlah anak, jarak kelahiran, penyakit ibu, kebiasaan yang
merugikan kesehatan, komplikasi kehamilan, hamil ganda, dan faktor genetik) dikumpulkan
dengan metode wawancara terstruktur. Sedangkan data (status gizi, status anemia, dan
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 212
frekuensi ANC) dikumpulkan dengan metode dokumentasi, yaitu melihat catatan pada buku
KIA yang dimiliki ibu. Instrumen pengumpul data menggunakan lembar check-list.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan jumlah responden 41 orang.

Hasil Penelitian
Data tentang faktor ibu disajikan meliputi status gizi saat hamil, status anemia saat
hamil, umur ibu, jumlah anak, jarak kelahiran, penyakit ibu, dan kebiasaan yang merugikan
kesehatan. Dari faktor kehamilan, data disajikan meliputi komplikasi kehamilan yang dialami
ibu dan jenis gestasi. Sedangkan data faktor lain, meliputi faktor genetik dan frekuensi ANC.

1. Status Gizi Ibu saat Hamil

Gambar 1. Status Gizi saat Hamil

Status gizi saat hamil dibedakan menjadi KEK (kurang energi kronis) dan non KEK,
dengan parameter ukuran lingkar lengan atas. Dikatakan ibu hamil KEK jika ukuran lingkar
lengan atas 23,5 cm. Gambar 1 menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR sampai tribulan
II tahun 2009 di Kota Kediri dilahirkan oleh ibu dengan status gizi non KEK (85%).
.
2. Umur Ibu saat Hamil

Gambar 2. Umur Ibu saat hamil

Gambar 2 menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR (81%) dilahirkan oleh ibu pada
usia reproduksi sehat (umur 20-35 tahun).

3. Status Anemia saat Hamil


Gambar 3. Responden yang Diperiksa Kadar Hb saatHamil

Status anemia saat hamil dibedakan menjadi : tidak anemia, anemia ringan, anemia
sedang, dan anemia berat. Gambar 3 menunjukkan bahwa tidak semua responden diperiksa
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 213
kadar Hb-nya saat hamil. Dari 41 responden, hanya 73% (30 orang) saja yang dilakukan
pemeriksaan Hb saat hamil. Dari 30 responden dengan pemeriksaan Hb saat hamil, sebagian
besar mengalami anemia (67%), dan terbanyak merupakan anemia ringan (54%).


Gambar 4. Status Anemia saat Hamil
4. Paritas Ibu

Gambar 5. Paritas Ibu

Paritas ibu diklasifikasikan menjadi: primipara (bayi BBLR adalah anak pertama),
multipara (bayi BBLR adalah anak ke-2 sampai ke-3), grandemulti (bayi BBLR merupakan
anak ke-4 atau lebih). Sebagian besar bayi BBLR (52%) dilahirkan oleh ibu multipara.

5. Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran dibedakan menjadi jarak kelahiran rapat (<2 tahun), dan jarak kelahiran
renggang (2). Hampir semua BBLR (95%) dilahirkan dengan jarak kelahiran renggang
(Gambar 6).

Gambar 6. Jarak Kelahiran

6. Penyakit yang diderita ibu saat hamil
Ada 3 kasus penyakit kronis yang diderita ibu saat hamil, yaitu hipertensi kronik, asma,
dan hipertiroid. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari mayoritas responden (89%) tak menderita
penyakit kronik saat hamil. Penyakit kronis terbanyak adalah hipertensi kronik (7%).

Tabel 1: Penyakit yang Diderita Ibu saat Hamil
Jenis Penyakit Frekuensi Persentase
Tidak ada 36 89 %
Hipertensi Kronik 3 7 %
Asma 1 2 %
Hyperthyroid 1 2 %
Jumlah 41 100 %
.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 214
7. Paparan Asap Rokok saat Hamil
Kebiasaan yang merugikan kesehatan hanyalah terpapar asap rokok. Sebagian besar
BBLR (63%) dilahirkan oleh ibu yang terpapar asap rokok saat hamil (Gambar 7).

Gambar 7. Paparan Asap Rokok saat Hamil

8. Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu
Ada 3 jenis komplikasi kehamilan yang dialami ibu, yaitu KPD (ketuban pecah dini), APB
(ante partum bleeding), dan preeklamsi-eklamsi. Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas
BBLR (78%) dilahirkan oleh ibu tanpa komplikasi. Jenis komplikasi terbanyak adalah APB
(10%).
Tabel 2: Data Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu
Jenis komplikasi kehamilan Frekuensi Persentase
Tidak ada 32 78 %
KPD 3 7 %
APB 4 10 %
Preeklamsi-Eklamsi 2 5 %
Jumlah 41 100 %

9. Jenis gestasi
Jenis gestasi diklasifikasikan menjadi gestasi tunggal dan multipel. Sebagian besar
(85%) BBLR merupakan gestasi tunggal (Gambar 8).


Gambar 8 Jenis Gestasi
10. Faktor genetik
Dikatakan ada faktor genetik jika ibu atau saudara perempuan responden pernah
melahirkan bayi BBLR (prematur). Gambar 9 menunjukkan bahwa sebagian besar (93%)
kasus BBLR (prematur) bukan merupakan faktor genetik (keturunan).

Gambar 9 Faktor Genetik
11. Frekuensi ANC
Frekuensi ANC adalah seberapa banyak responden datang ke petugas kesehatan untuk
memeriksakan kehamilannya. Gambar 10 menunjukkan bahwa hampir semua (95%) bayi
BBLR dilahirkan oleh ibu yang telah melakukan ANC 4 kali selama periode kehamilannya.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 215

Gambar 10 Frekuensi ANC
.
12. Resume dari 41 responden
Tabel 3 menunjukkan bahwa penyebab BBLR merupakan kombinasi dari beberapa
macam faktor, dan faktor dari ibu merupakan faktor terbesar yang menyebabkan BBLR.

Tabel 3. Penyebab BBLR Berdasarkan 3 Faktor yang Diteliti










Pembahasan

1. Status Gizi saat Hamil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR sampai tribulan II tahun 2009
di Kota Kediri dilahirkan oleh ibu dengan status gizi baik (non KEK). Hal tersebut erat
kaitannya dengan sosial ekonomi keluarga, yang dalam penelitian ini ada 24% responden
dengan pendapatan keluarga kurang dari Rp.500.000,00 per bulan. Sebaliknya ibu hamil
dengan status gizi kurang (KEK) bisa juga melahirkan bayi dengan berat badan normal jika
kebutuhan nutrisi pada saat hamil tercukupi. Kenyataan di lapangan, bahwa pada umumnya
status gizi ibu hamil hanya ditentukan dari pengukuran lingkar lengan atas (LILA), padahal
LILA bukanlah suatu parameter yang tepat untuk menentukan status gizi pada saat hamil.
Karena ukuran lingkar lengan atas hanya mendeteksi adanya kurang energi kronis pada ibu
dan merupakan parameter yang terakhir dalam menentukan status gizi. Sedangkan adanya
kurang gizi yang sifatnya akut pada ibu hamil juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin
dan tidak dapat dilihat dari ukuran LILA saja. Sehingga perlu parameter lain untuk menentukan
status gizi ibu hamil, antara lain memantau pertambahan berat badan selama hamil.
Ketika hamil kebutuhan kalori dan protein meningkat. Kalori digunakan untuk produksi
energi sehingga bila kurang energi akan diambilkan dari pembakaran protein yang mestinya
dipakai untuk perkembangan buah kehamilannya yaitu pertumbuhan janin. Di samping itu,
status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang
dikandung, sehingga ibu yang menderita kurang energi kronik (KEK) mempunyai resiko
kesakitan yang lebih besar terutama pada trimester III kehamilan dibandingkan dengan ibu
Faktor Penyebab BBLR Jumlah Persentase
Faktor Ibu 22 54 %
Faktor Kehamilan 3 7 %
Faktor Lain 0 0 %
Faktor Ibu & Faktor Kehamilan 8 20 %
Faktor Ibu & Faktor Lain 0 0 %
Faktor Ibu, Faktor Kehamilan, & faktor Lain 5 12 %
Faktor di luar yang diteliti 3 7 %
Jumlah 41 100 %
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 216
hamil normal (Lubis, 2003). Maka, ketika hamil ibu harus makan makanan yang mengandung
nilai gizi bermutu tinggi meski tak berarti makanan yang harganya mahal (Kusmiati dkk, 2003).

2. Umur Ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu pada usia
reproduksi sehat. Hal ini terjadi karena sebagian besar ibu usia reproduksi sehat yang
melahirkan BBLR selalu disertai faktor lain seperti anemia, gestasi multipel, komplikasi
kehamilan, dan paparan asap rokok. Sesungguhnya jika dilihat dari faktor usia, ibu pada usia
reproduksi sehat tidak termasuk resiko tinggi dalam kehamilan. Akan tetapi faktor penyebab
BBLR sangatlah kompleks, sehingga tidak menutup kemungkinan ibu dengan usia reproduksi
sehat melahirkan BBLR jika disertai faktor lain. Meskipun hanya sebagian kecil saja BBLR
yang dilahirkan oleh ibu pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun, keadaan ini cukup
menunjukkan bahwa dari faktor usia masih berperan dalam menyebabkan BBLR. Apalagi jika
faktor lain penyebab BBLR juga menyertai ibu dengan usia di bawah 20 tahun atau di atas 35
tahun, maka akan lebih besar lagi kemungkinannya melahirkan BBLR.
Hal tersebut didukung oleh pendapat Hasan, dkk (2000) dalam Joeharno (2008) bahwa
umur ibu merupakan salah satu faktor penyebab BBLR. Organ reproduksi wanita kurang dari
20 tahun belum siap untuk menerima kehamilan dan melahirkan. Selain itu keadaan psikologis
mereka juga masih labil. Selama hamil, kebanyakan wanita mengalami perubahan psikologis
dan emosional, karena kehamilan merupakan suatu kritis maturitas yang dapat menimbulkan
stres (Yuni Kusmiyati dkk, 2008). Stress dapat mempengaruhi bayi lewat perubahan fisik yang
terjadi akibat stress, seperti peningkatan detak jantung, dan peningkatan hormon adrenalin.
Pada penelitian didapatkan bahwa ibu hamil yang mempunyai stress yang tinggi dapat
meningkatkan resiko kelahiran bayi prematur (Suririnah, 2008). Sedangkan wanita berumur
>35 tahun adalah wanita yang tergolong resiko tinggi untuk kehamilan dan melahirkan, karena
pada usia ini berbagai penyakit dan komplikasi kehamilan dan persalinan meningkat dengan
jelas. Kehamilan dengan penyakit dan komplikasi kehamilan sering menyebabkan hambatan
pertumbuhan dan merupakan faktor risiko bagi kelahiran preterm (Cunningham dkk, 2005).

2. Status Anemia saat Hamil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang
mengalami anemia saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi anemia ibu hamil di
Kota Kediri masih cukup tinggi. Jenis anemia yang sering terjadi pada wanita hamil adalah
anemia defisiensi besi. Keadaan ini disebabkan oleh penambahan volume plasma yang relatif
lebih besar daripada volume sel darah merah. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar
ibu yang melahirkan BBLR dengan status anemia ringan. Anemia ringan ini dapat
ditanggulangi dengan mengkonsumsi tablet tambah darah (tablet besi) secara rutin. Telah
ada program pemberian 90 tablet besi selama masa kehamilan. Namun ada kemungkinan
pemberian tablet besi ini tanpa disertai KIE yang tepat, sehingga masih banyak ibu hamil
yang kurang disiplin dalam mengkonsumsi. KIE tentang waktu, cara minum dan efek samping
harus disampaikan setiap memberikan table tambah darah kepada ibu hamil. Adanya efek
samping berupa rasa mual dapat mempengaruhi ibu untuk tidak mengkonsumsi tablet
tambah darah. Selain itu ada minuman tertentu yang menghambat dan membantu
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 217
penyerapan besi yang harus diketahui ibu. Pencegahan anemia ini tidak hanya dengan
pemberian tablet tambah darah saja, namun ibu hamil juga harus mengkonsumsi makanan
sumber zat besi. Pemeriksaan kadar Hb pada setiap ibu hamil yang memeriksakan kehamilan
untuk pertama kali merupakan cara untuk mendeteksi secara dini anemia dalam kehamilan,
sehingga jika ibu menderita anemia dapat segera ditanggulangi. Dengan cara tersebut
diharapkan prevalensi anemia dalam kehamilan dapat ditekan serendah mungkin, sehingga
insiden BBLR dapat diturunkan. Karena, sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu dampak
anemia adalah gangguan pertumbuhan janin dan persalinan prematur.
Keadaan ini didukung oleh teori yang dikemukakan oleh De Meeyer dalam Ridwan
Amiruddin (2006), bahwa anemia ibu hamil dapat mengakibatkan berkurangnya suplai
oksigen ke jaringan dan akan mengganggu pertumbuhan janin, sehingga akan memperkuat
risiko terjadinya persalinan prematur dan berat badan bayi lahir rendah. Di samping itu, hasil
penelitian Jumirah, dkk (1999) menunjukkan bahwa ada hubungan kadar Hb ibu hamil
dengan berat lahir bayi, yaitu semakin tinggi kadar Hb ibu semakin tinggi berat badan bayi
yang dilahirkan. Penelitian Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa ibu hamil yang anemia
mengalami persalinan prematur 2,375 kali lebih besar dibanding ibu yang tidak anemia.

3. Paritas Ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu multipara
(jumlah anak 2-3), dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan paritas tinggi
(grandemulti). Hal itu terjadi karena pada ibu multipara dengan paritas rendah yang
melahirkan BBLR hampir semua disertai dengan faktor lain seperti anemia kehamilan,
komplikasi kehamilan, dan paparan asap rokok. Di pihak lain, ibu dengan paritas tinggi yang
melahirkan BBLR juga disertai oleh beberapa faktor lain seperti anemia, umur, dan komplikasi
kehamilan. Keadaan tersebut semakin menguatkan pendapat bahwa kejadian BBLR tidak
hanya disebabkan satu faktor saja, tapi sangatlah kompleks. Meskipun hanya sebagian kecil,
faktor paritas tinggi masih tetap merupakan faktor resiko terjadinya BBLR.
Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Joeharno (2008), bahwa ibu dengan paritas
lebih dari 3 anak beresiko 2,4 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR. Karena setiap proses
kehamilan dan persalinan akan menyebabkan trauma fisik dan psikis, semakin banyak
trauma yang ditinggalkan menyebabkan penyulit pada kehamilan dan persalinan berikutnya.

4. Jarak Kelahiran
Sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran renggang (2 tahun)
dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran rapat (< 2 tahun).
Meskipun teori menyebutkan bahwa jarak kelahiran yang rapat berisiko lebih besar
melahirkan BBLR, namun tidak menutup kemungkinan ibu yang hamil dengan jarak kelahiran
renggang juga beresiko melahirkan BBLR. Hal ini terjadi jika ibu dengan jarak kelahiran
renggang juga mempunyai faktor resiko lain melahirkan BBLR seperti, komplikasi kehamilan,
penyakit, gizi kurang, dan anemia. Meskipun hanya sebagian kecil saja, jarak kelahiran rapat
tetap merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR, apalagi jika disertai faktor lainnya.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Joeharno (2008), bahwa jarak kelahiran
merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan jarak kelahiran rapat beresiko
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 218
2 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Karena proses pengembalian kondisi setelah
persalinan tidak hanya selesai setelah nifas berakhir, akan tetapi membutuhkan waktu yang
lebih panjang sehingga dibutuhkan rentang waktu yang cukup bagi organ-organ tubuh untuk
dibebani dengan proses kehamilan dan persalinan lagi (Yuni Kusmiyati dkk, 2008).

5. Penyakit yang Diderita Ibu saat Hamil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak menderita
penyakit kronik saat hamil dan hanya sebagian kecil saja yang menderita penyakit saat hamil.
Jenis penyakit terbanyak adalah hipertensi kronik. Meskipun hanya sebagian kecil saja
responden yang mengalami hipertensi kronik, tetapi angka ini cukup besar jika dibandingkan
dengan jenis komplikasi yang lain. Hipertensi kronik yang dimaksud adalah ibu yang telah
menderita tekanan darah tinggi sejak sebelum hamil, dan tanpa disertai oedem dan
proteinuri. Pada penelitian ini, hipertensi kronik lebih banyak terjadi pada ibu dengan usia
lebih dari 35 tahun. Pada ibu hamil dengan hipertensi, aliran darah ke plasenta akan
terganggu, sehingga bayi bisa kekurangan oksigen dan nutrisi. Hal ini menyebabkan
hambatan pertumbuhan janin.
Keadaan ini didukung oleh pendapat Mc Cowan, dkk (1996) dalam Cunningham, dkk
(2005) bahwa kelahiran preterm meningkat pada wanita dengan hipertensi kronik. Di
samping itu, Cunningham, dkk (2005) juga menyebutkan bahwa insiden hambatan
pertumbuhan janin berkaitan langsung dengan keparahan hipertensi. Sejumlah gangguan
hasil perinatal secara substantif meningkat pada kehamilan dengan penyulit hipertensi kronik.
Insiden hambatan pertumbuhan janin berkaitan langsung dengan keparahan hipertensi.

6. Paparan Asap Rokok saat Hamil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang
terpapar asap rokok saat hamil. Hal ini menunjukkan bahwa paparan asap rokok saat hamil
menyumbangkan angka yang cukup besar terhadap kejadian BBLR. Yang dimaksud terpapar
asap rokok di sini adalah jika ibu terpapar asap rokok dari keluarga yang satu tempat tinggal
dengan ibu atau dari perokok yang satu tempat kerja dengan ibu. Sehingga disimpulkan
bahwa 100% ibu yang terpapar rokok sebagai perokok pasif. Peneliti mengelompokkan ibu
yang terpapar rokok dengan melihat jumlah minimal rokok yang terpapar pada ibu sebesar
lebih dari lima batang perhari. Meskipun angka yang disumbangkan oleh asap rokok terhadap
BBLR cukup besar, namun pada umumnya orang tua tidak menyadari hal itu. Merokok bagi
sebagian besar orang merupakan suatu kebutuhan pokok yang kedudukannya sama dengan
makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu point dalam PHBS (Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat) disebutkan bahwa disebut keluarga yang ber- PHBS jika tidak ada
anggota keluarganya yang merokok di dalam rumah. Hal ini merupakan cara untuk
menghindarkan ibu hamil dan anggota keluarga yang lain agar tidak terpapar asap rokok.
Pengaruh nikotin yang terkandung di dalam rokok menimbulkan kontraksi pada
pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke tali pusat janin akan berkurang sehingga
mengurangi kemampuan distribusi zat yang diperlukan janin. Selain itu karbonmonoksida dari
asap rokok akan mengikat Hb dalam darah yang menyebabkan distribusi zat makanan dan
oksigen yang disuplai ke janin menjadi terganggu, sehingga kondisi ini dapat beresiko
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 219
melahirkan bayi prematur (Ridwan Amiruddin, 2006). Hasil penelitian yang telah dilakukan
Ridwan Amiruddin, 2006 menunjukkan bahwa, ibu hamil yang terpapar rokok berpeluang
melahirkan bayi prematur 46,3%. Sehingga pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa ibu
hamil yang terpapar rokok berpeluang 2,3 kali lebih besar dibanding dengan ibu hamil yang
tidak terpapar rokok. Sedangkan penelitian di RS Sitti Fatimah Makasar (2005) didapatkan
hasil bahwa jumlah bayi yang lahir BBLR dari suami yang merokok lebih 10 batang perhari
sebesar 59,5% dan untuk yang kurang dari 10 batang perhari lahir BBLR sebanyak 45,5%.

7. Komplikasi Kehamilan yang Dialami Ibu
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar BBLR dilahirkan oleh ibu yang
tidak mengalami komplikasi kehamilan, dan hanya sebagian kecil yang dilahirkan oleh ibu
dengan komplikasi kehamilan. Jenis komplikasi terbanyak adalah APB, yaitu sebesar 10%.
Berdasarkan keterangan responden, APB diklasifikasikan dalam plasenta previa, yaitu suatu
keadaan di mana plasenta terletak menutupi atau sangat dekat dengan ostium uteri interna
(mulut rahim). Pada plasenta previa biasanya terjadi perdarahan pada saat mulai terbentuk
SBR (segmen bawah rahim) yaitu pada kehamilan 26-28 minggu. Pada saat itu ada bagian
plasenta yang robek oleh pergeseran jaringan di sekitar mulut rahim. Selain itu, rangsangan
dari luar berupa aktifitas seksual juga dapat menimbulkan perdarahan pada plasenta previa.
Bila ini terjadi, kesejahteraan janin akan terganggu dan bisa memacu prematuritas.
Keadaan ini didukung oleh pendapat Crane, dkk (1999) dalam Cunningham, dkk ( 2005)
yang menyebutkan bahwa angka persalinan prematur sebesar 47% pada plasenta previa. Di
mana persalinan prematur ini terjadi karena adanya rangsangan koagulum darah pada
serviks. Selain itu, jika banyak plasenta yang lepas, kadar progesteron turun dan dapat terjadi
his, juga lepasnya plasenta itu sendiri dapat merangsang his (Cunningham dkk, 2005).

8. Faktor Gestasi Multiple
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kasus BBLR merupakan gestasi
tunggal dan hanya sekitar 15% kasus yang merupakan gestasi multiple (kehamilan ganda).
Pada kehamilan ganda, uterus lebih besar dari kehamilan normal, sehingga sering terjadi
kontraksi dan terjadi proses persalinan sebelum aterm. Selain itu, secara fisiologis rahim
hanya dipersiapkan untuk satu janin. Jika terjadi gestasi multipel, maka tempat harus dibagi
dua, dan nutrisi serta oksigen yang seharusnya hanya untuk satu janin juga harus dibagi. Hal
inilah yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin dengan gestasi multipel.
Keadaan ini didukung oleh pendapat Bueken dan Wilcox (1993) dalam Cunningham, dkk
(2005), bahwa gestasi multiple cenderung ditandai oleh BBLR dibandingkan dengan janin
tunggal, disebabkan terutama oleh terhambatnya pertumbuhan janin dan persalinan preterm.
Sedangkan Cunningham, dkk (2005) menyebutkan bahwa seiring meningkatnya jumlah janin,
durasi gestasi menurun. Sekitar separuh janin kembar lahir pada usia 36 minggu atau kurang.

9. Faktor Genetik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kasus BBLR (prematur) bukan
merupakan faktor genetik (keturunan). Hanya sebagian kecil saja kasus BBLR yang
dilahirkan oleh ibu yang mempunyai riwayat keturunan melahirkan bayi prematur. Hal ini
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 220
disebabkan karena penyebab BBLR sangatlah kompleks, yang pada penelitian ini faktor
genetik selalu disertai oleh faktor penyebab BBLR lainnya. Meskipun secara teori faktor
genetik merupakan faktor penyebab kelahiran preterm, namun faktor ini tidak memberikan
kontribusi yang banyak pada kasus BBLR (prematur). Faktor genetik lebih besar
pengaruhnya terhadap kehamilan ganda.
Hal ini didasari tinjauan yang dibuat Hoffman dan Ward (1999) dalam Cunningham, dkk
(2005) bahwa ada kemungkinan faktor-faktor genetik yang dicurigai pada kelahiran preterm.

10. Frekuensi ANC
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua kasus BBLR dilahirkan oleh ibu
yang telah melakukan ANC 4 kali selama periode kahamilannya. Keadaan ini menunjukkan
bahwa kesadaran responden untuk memeriksakan kehamilan sangat tinggi, karena sebagian
besar dari mereka sudah berpendidikan menengah dan tinggi, sehingga pengetahuan tentang
akses ke pelayanan kesehatan cukup baik. Terlebih lagi, sebagian besar responden memilih
untuk memeriksakan kehamilan di fasilitas swasta, dengan biaya yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan biaya pemeriksaan di instansi pemerintah seperti Puskesmas. Namun
sangat disayangkan, pelayanan ANC ini tidak didukung dengan kualitas yang optimal. Salah
satu buktinya, tidak semua ibu hamil yang telah melakukan ANC rutin, telah menjalani
pemeriksaan kadar Hb saat hamil. Hal ini lebih banyak dialami oleh responden yang menjadi
konsumen di BPS (Bidan Praktek Swasta), padahal, berdasarkan standar 6 pelayanan
kebidanan disebutkan bahwa sebagai prasyarat, bidan mempunyai alat mengukur Hb yang
berfungsi baik, dan harus memeriksa kadar Hb semua ibu hamil pada kunjungan pertama,
dan pada minggu ke-28. Sehingga jika diketahui kalau ibu hamil tersebut mengalami anemia,
dapat segera dilakukan penanganan. Kemungkinan, masih ada standar pelayanan kebidanan
yang lain yang belum dilaksanakan dalam memberikan pelayanan pada konsumen.
Sementara itu, pelayanan ANC yang lengkap tidak hanya dilihat dari kuantitas kunjungan
saja, namun lebih ditekankan pada kualitas pelayanan yang sesuai dengan standar.
Keadaan ini didukung oleh hasil penelitian Joeharno (2006), yang menunjukkan bahwa
pemanfaatan pelayanan antenatal care merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR di
mana ibu yang tidak melaksanakan pemeriksaan kehamilan secara lengkap beresiko 5 kali
untuk melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan dari penelitian adalah: 1) Dari faktor ibu, urutan penyebab BBLR mulai dari
terbanyak adalah: anemia saat hamil, terpapar asap rokok saat hamil, faktor umur ibu, kurang
gizi saat hamil, penyakit yang diderita ibu saat hamil, jarak kelahiran yang terlalu dekat, dan
paritas tinggi. 2) Kasus BBLR karena faktor kehamilan berturut-turut disebabkan oleh
komplikasi kehamilan (KPD, APB, dan preeklamsi), sisanya kehamilan ganda. 3) Dari faktor
lain, urutan penyebab dari yang terbanyak adalah: genetik, sisanya pemanfaatan ANC yang
kurang, 4) Dari 3 faktor yang diteliti sebagian besar kasus BBLR disebabkan karena faktor ibu
berupa anemia kehamilan.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 221
Saran yang diajukan adalah: 1) Bagi Lahan Penelitian: diharapkan lebih meningkatkan
upaya-upaya promotif dan preventif seperti pelayanan ANC yang sesuai dengan standar,
menggalakkan P4K (Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi) di
seluruh Kelurahan di wilayah kerjanya, dan mensosialisasikan program PHBS bagi
masyarakat. 2) Bagi Dinas Kesehatan: diharapkan untuk lebih memprioritaskan program yang
berhubungan dengan promosi kesehatan, dan kesehatan ibu dan anak, serta dapat
melakukan advokasi pada penentu kebijakan untuk memberikan dukungan baik moril maupun
materiil dalam pelaksanaan program kesehatan, khususnya dalam upaya menurunkan
kejadian BBLR. 3) Bagi Organisasi Profesi: dengan melihat fakta di lapangan, diharapkan
organisasi profesi meningkatkan supervisi dan pembinaan pada anggota yang melakukan
praktek swasta secara berkala dalam pelaksanaan standar pelayanan kebidanan. 4) Bagi
Institusi Pendidikan: diharapkan penelitian ini dapat dikembangkan untuk penelitian
selanjutnya, dengan mengupas lebih dalam tentang hubungan anemia kehamilan dengan
BBLR, dan pengaruh paparan asap rokok pada ibu hamil terhadap kejadian persalinan
prematur, agar bisa menambah ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Asrining Surasmi, Siti Handayani, Heni Nur Kusuma. 2002. Perawatan Bayi Risiko Tinggi.
Jakarta : EGC.
Cunningham F. Gary (et al) (2001). Williams Obstetrics, 21 Ed, Andry Hartono, dr, dkk. (2005)
(Alih Bahasa),Jakarta : EGC.
Depkes RI . 2003. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan,
dan Perawat di Rumah Sakit. Jakarta : Depkes RI.
____________ . 2007. Manajemen BBLR untuk Bidan. Jakarta : Depkes RI.
Eka Rahayu. 2009. Masalah BBLR di Indonesia. http://eka-punk.blogspot.
com/2009/05/22/Masalah-BBLR-Indonesia.html (diakses 20 Juli 2009)
Joeharno. 2008. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). http://blogjoeharno.blogspot.
com/2008/05/berat-badan-lahir-rendah (diakses tanggal 20 Juli 2009)
Meta. 2008. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) http://kuliahbidan.worldpress.com. (diakses
tanggal 20 Juli 2009)
Nurcahyo. 2007. Sindroma Alkohol Pada Janin. www.indonesiaindonesia.com
/07/02/Sindroma Alkohol Pada Janin. (diakses 21 Juli 2009)
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman
Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Pioda. 2007.Gizi Buruk, Kegagalan Berinvestasi pada generasi bangsa. Pioda.multiply.com.
(diakses tanggal 20 Juli 2009)
Riduan, DRS. MBA. 2004. Statistika untuk Lembaga & Instansi pemerintah / Swasta. Bandung
: Alfabeta
Ridwan Amiruddin. 2006. Risiko Asap Rokok dan Obat-obatan Terhadap Kelahiran premature
di rumah Sakit ST. Fatimah Makasar. med.unhas.ac.id/datajurnal/thn06no4. (diakses 21
juli 2009)
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 222
Sarwono Prawirohardjo. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
__________ . 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Soekidjo Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Sumarah dkk. 2008. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin).
Yogyakarta : Fitramaya.
Suririnah. 2004. Stress Dalam Kehamilan Berpengaruh Buruk. www.infoibu.com/mod.php.
(diakses 27 Nopember 2009 )
Tim. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta : Balai Pustaka.
Yuni Kusmiyati dkk. 2008. Perawatan Ibu Hamil ( Asuhan Ibu Hamil ). Yogyakarta : Fitramaya.
Zulhaida Lubis. 2003. Status Gizi Ibu Hamil Serta Pengaruhnya Terhadap Bayi yang
dilahirkan. e-mail: zulhaida@.telkom.net
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 223
HUBUNGAN ANTARA KONSUMSI MAKANAN SUMBER ENERGI DENGAN STATUS GIZI
Tumirah*, Sriani**, Sherly Jeniawaty*

ABSTRACT
This research is aimed to make a study of correlation between energy-resource-food
consumption and nutrition status of 1 to 3 year-old children in the village of Kedungjati,
Balerejo, Madiun. The main problem of this research is high KEP Rate in this area. Among 113
weighed-children, there are 17 children (15,04%) with KEP.
This research makes use of analytical survey with cross-sectional design. The population
of this research is families with their 1 to 3 year old children. 29 children are lotted by using
simple random-sampling-technique and listed in Krejcei table.|The free variable of this
research is nutrition status. Energy-resource-food consumption is measured through an
observation sheet. Nutrition status is measured by using a portable balanced-scale. The
statistic test used is Kendal Tau with 0,05 signification rate.
The observation on energy-resource-food consumption shows 9 children (31%) with
sufficient food-consumption, 20 children (69%) with insufficient food-consumption and no
children (0%) with more food-consumption. The observation on nutrition status shows no
children (0%) with more nutrition-status, 20 children (69%) with good nutrition-status, 8
children (27,6%) with insufficient nutrition-status, and 1 child (3,4%) with poor nutrition-status.
The result of Kendal Tau correlation test show the score of 0,288 with 0,059 probability
(P<0,05). Thus, HO is approved or HI is rejected.
This research concludes that most of 1 to 3 year old children obtain insufficient
energy-research consumption. They are in good nutrition-status. There is not correlation
between energy-resource-food consumption and nutrition status of 1 to 3 year-old children

Keyword: energy-resource-food consumption, nutrition status
*: Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya
**: Dinas Kesehatan Kabupaten Madiun

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM)
yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan
perhatian utama pada proses tumbuh kembang sejak pembuahan hingga dewasa muda. Pada
masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar seperti perawatan dan makanan
bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat,
cerdas, dan produktif (Admin, 2008).
Menurut WHO, 10,4 juta kematian di negara berkembang terjadi pada anak-anak di
bawah lima tahun akibat defisiensi energi dan protein. Dari data Statistik Kesehatan Depkes RI
Tahun 2005, dari 241.973.879 penduduk Indonesia terdapat 14,5 juta anak (16%) menderita
gizi buruk. Penderita gizi buruk pada umumnya anak-anak di bawah usia lima tahun (balita).
Dari target angka KEP <15%, di Propinsi Jawa Timur kejadian KEP sebanyak 47% (Admin,
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 224
2008). Dari laporan Dinas Kesehatan Madiun tahun 2007, jumlah balita KEP sebanyak 4.175
anak (13,77%) dari 34.245 anak balita yang ditimbang. Di Puskesmas Balerejo terdapat 251
anak balita (21,83%) dengan KEP dari 1.150 anak yang ditimbang. Sedangkan di Desa
Kedungjati dari 113 anak yang ditimbang terdapat 17 anak balita (15,04%) dengan KEP.
Kesehatan dan gizi merupakan faktor sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang
optimal. Konsumsi makanan berpengaruh besar terhadap status gizi, dan status gizi yang baik
dapat dicapai bila memperoleh cukup energi dan zat gizi yang digunakan secara efisien
sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan perkembangan otak untuk mencapai tingkat
kesehatan optimal (Depkes RI, 2003:1). Kejadian tersebut sering terjadi pada anak-anak di
bawah usia lima tahun yang merupakan kelompok rentan terhadap kesehatan dan gizi
(Depkes RI, 2000:1). Status gizi yang buruk pada bayi dan anak dapat menimbulkan pengaruh
yang sangat menghambat pertumbuhan fisik dan mental maupun kemampuan berfikir yang
pada gilirannya akan menurunkan produktifitas. Keadaan ini memberi petunjuk bahwa pada
hakekatnya gizi buruk atau kurang akan berdampak pada sistem fisiologis dan metabolisme
tubuh individu yang berdampak tingginya angka kematian bayi dan anak (Suhardjo, 2003).
Menurut Depkes RI (1999), upaya peningkatan status gizi anak balita dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan yang selama ini telah dilakukan oleh Pemerintah melalui Dinas
Kesehatan. Langkah-langkah tersebut di antaranya ialah: 1. Pemberdayaan keluarga melalui
revitalisasi Upaya Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) dalam bentuk peningkatan pengetahuan
keluarga sadar gizi, peningkatan deteksi dini kelainan gizi, peningkatan dan pemanfaatan
pendapatan, peningkatan pemanfaatan pekarangan serta peningkatan penganekaragaman
menu makanan keluarga. 2. Pemberdayaan masyarakat melalui revitalisasi posyandu dalam
bentuk peningkatan peran serta masyarakat, peningkatan pemberdayaan kader, penggerakan
sumberdaya masyarakat, peningkatan konseling/KIE, dan pemberian makanan tambahan.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara konsumsi makanan sumber energi
dengan status gizi anak usia 1-3 tahun.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah survei analitik yang bertujuan untuk menganalisis hubungan antara
konsumsi makanan sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun. Desain penelitian
yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan di Desa Kedungjati
Kecamatan Balerejo Kabupaten Madiun mulai bulan Juli 2008 hingga Pebruari 2009.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga beserta anaknya usia 1-3 tahun
pada bulan November 2008 sebesar 30 orang dan sampel dalam penelitian ini minimal 28
orang berdasarkan Tabel Krejcie dari http://www.usd.edu/mbaron/edad810/Krejcie.pdf dan
diambil dengan teknik simple random sampling menggunakan undian. Karena jumlah anak
pada saat pengumpulan data hanya 29 anak maka seluruhnya dijadikan responden.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengadakan pencatatan
pada lembar observasi oleh ibu selama 3 hari berturut-turut untuk variabel konsumsi makanan
sumber energi, sedangkan untuk status gizi, data dikumpulkan melalui pengukuran langsung
BB yang selanjutnya dibandingkan dengan umur yang diperoleh dari data sekunder pada
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 225
anak. Selanjutnya data ditabulasi sesuai dengan pengelompokan data dengan mengacu pada
variabel penelitian dan ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan diagram pie yang
dikonfirmasikan dalam bentuk persentase dan narasi. Data yang didapat kemudian dianalisis
secara deskriptif dalam bentuk persentase dan disajikan dalam diagram pie.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari keseluruhan responden, mayoritas mendapat konsumsi makanan yang kurang
(Gambar 1), dan mayoritas berstatus gizi baik (Gambar 2).

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Konsumsi Makanan Sumber Energi Anak Usia 1-3 Tahun

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Status Gizi Anak Usia 1-3 Tahun

Tabel 1. Hubungan antara Konsumsi Makanan Sumber Energi dengan Status Gizi

Konsumsi
Makanan
Status Gizi Total
Baik Kurang Buruk
Jumlah

% Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Cukup 8 88,9 1 11,1 0 0 9 100
Kurang 12 60,0 7 35,0 1 5 20 100
Total 20 69 8 27,6 1 3,4 29 100
Dari Tabel 1 diketahui bahwa anak dengan konsumsi makanan sumber energi yang
cukup ternyata mayoritas memiliki status gizi yang baik. Keadaan ini tidak jauh berbeda
dengan anak yang mendapat konsumsi makanan sumber energi yang kurang. Hasil uji
korelasi Kendal Tau menunjukkan nilai 0,288 dengan probabilitas 0,059. Karena angka ini
lebih besar daripada 0,05, maka disimpulkan bahwa H0 diterima atau H1 ditolak. Dengan
demikian tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan sumber energi
dengan status gizi anak usia 1-3 tahun.

Pembahasan
Anak usia 1-3 tahun Di Desa Kedungjati, Balerejo, Madiun mayoritas mendapat
konsumsi makanan sumber energi yang kurang. Asupan kalori anak tergolong rendah dari
kalori yang dianjurkan yaitu 100-110 kal/kg/BB (Depkes RI, 2002). Hal tersebut merupakan
masalah yang perlu mendapat perhatian yang serius. Menurut Depkes RI (2005) pada usia
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 226
balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Karena itu, kebutuhan zat
gizi tiap satuan berat badannya juga meningkat.
Mayoritas anak berstatus gizi baik, namun masih ada anak yang mempunyai status gizi
kurang dan gizi buruk. Sehingga dalam hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari semua
pihak. Kurang gizi sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak dengan kemampuan
berpikir dan perkembangan mental anak. Menurut Suhardjo (2003) jaringan otak anak yang
tumbuh normal akan mencapai 80 persen berat otak orang dewasa sebelum berumur 3 tahun,
sehingga dengan demikian apabila terjadi gangguan gizi kurang dapat menimbulkan kelainan
fisik maupun mental.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi makanan
sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun di Desa Kedungjati. Hal tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti yang sudah dijelaskan dalam keterbatasan penelitian
bahwa pemilihan skala data dalam jenjang ordinal memungkinkan data yang mempunyai nilai
berbeda dikategorikan dalam nilai yang sama, sehingga menyebabkan ketidaktepatan dalam
metode uji statistik (Nursalam, 2003). Ketidaksesuaian hasil uji hipotesis penelitian tersebut
mungkin juga disebabkan adanya pengaruh faktor lain yang lebih besar terhadap status gizi
anak usia 1-3 tahun, karena faktor lain yang mempengaruhi status gizi belum dikendalikan
dalam penelitian ini. Menurut Depkes RI (2001), banyak faktor yang mempengaruhi status gizi
antara lain: kesediaan pangan, mutu makanan, cara pengolahan, pola asuh anak, kesediaan
air bersih dan sanitasi, kesadaran masyarakatuntuk menggunakan sarana kesehatan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Mayoritas anak usia 1-3 tahun mendapat konsumsi makanan sumber energi yang
kurang, mayoritas anak usia 1-3 tahun berstatus gizi baik, tetapi masih ada anak dengan
status gizi kurang dan status gizi buruk, dan tidak ada hubungan antara konsumsi makanan
sumber energi dengan status gizi anak usia 1-3 tahun.

Saran
Berdasar hasil penelitian disarankan: a) perlu dilakukan penyuluhan tentang pentingnya
gizi seimbang kepada ibu balita maupun keluarga yang dominan agar anak bisa mendapatkan
konsumsi makanan sesuai kebutuhannya, b) ibu balita atau keluarga yang dominan
diharapkan lebih mewaspadai kecenderungan gizi kurang dan gizi buruk pada anak usia 1-3
tahun dan bisa menindaklanjuti bila terjadi gizi kurang dan gizi buruk, c) hendaknya dilakukan
penelitian lanjutan dengan mengendalikan faktor lain yang mempengaruhi status gizi.

DAFTAR PUSTAKA

Admin. 2008. Marasmus. http://dokterfoto.com/Marasmus/ (diakses 06 April 2008).
Anonim. 2009. Memprediksi Status Gizi dengan Konsumsi Energi, Protein dan Lemak
Menggunakan Logika Fuzzy. http://top1hit4m.wordpress.com/tools/fuzy-logic/fuzzy-logic
(diakses 20 Januari 2009).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 227
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depkes R.I. 1999. Gerakan Nasional Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi di Indonesia.
Tangerang: Tim Koordinasi Penanggulangan Masalah Pangan dan Gizi.
_________. 2001.Penanggulangan Kurang Energi Protein, Dinkes Jawa Timur, Surabaya.
________. 2002. Panduan Makan Untuk Hidup Sehat. Jakarta: Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat.
_________. 2003. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat.
_________. 2003. Terapi Gizi Medis. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.
_________. 2005. Pedoman Umum Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jendral Bina
Kesehatan Masyarakat.
_________. 2007. Terapi Gizi Medis. Jakarta: Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat.
Dinkes Jatim. 2002. Capacity Building Program Pangan dan Gizi Kabupaten/Kota, Dinkes
Jawa Timur Surabaya.
Irianto, K. dan Waluyo, K. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung, Yrama Widya.
Jhon. 2008. Pemenuhan Gizi Pada Balita. http://jhon-solution.blogspot.com/pemenuhangizi
pada balita/(diakses 12 September 2008).
Krejcie, Robert V. 2009. Determining Sample Size For Research Activities.
http://www.usd.edu/mbaron/edad810/Krejcie.pdf (diakses 8 Januari 2009).
Maesaroh, S. 2006. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Status KEP pada Bayi dan
Balita. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi Kebidanan Magetan Politeknik Kesehatan
Surabaya, Magetan.
Moehji, S. 2002. Ilmu Gizi I. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Muchtadi, D. 2009. Kebutuhan Zat-zat Gizi Bagi Manula. http://web.ipb.ac.id/tpg/de/pupde-
ntrtnhlth-gizimanula.php (diakses 20 Januari 2009).
Notoatmodjo S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta, Rineka Cipta.
Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman
Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.
Pudjiadi, S. 1997. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Gaya Baru.
Sediaoetama, A. D. 2000. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat.
Sudijono, A. 2006. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada
Sugiono. 2000. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Suhardjo, 2003. Pemberian Makanan Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Kanisius.
Supariasa, I. D. N. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.
Sutardjo, S., dkk. 1997. Penuntun Diit Anak, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Zainudin, 2000. Metodologi Penelitian. Surabaya
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 228
PENGARUH LAYANAN BIMBINGAN BELAJAR TERHADAP
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN BELAJAR
Sriami*

ABSTRAK

Mahasiswa keperawatan menurut kategori umur termasuk usia remaja, yang tentunya
mempunyai kebutuhan spesifik dalam tumbuh dan berkembangnya. Sistem pembelajaran di
pendidikan kesehatan menuntut mahasiswa mendapat pengalaman di tatanan pelayanan
kesehatan baik di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat. Mahasiswa dilatih untuk
merawat orang sakit dengan segala permasalahannya dan bekerjasama dengan personal
lainnya yang kesemuanya menuntut mahasiswa untuk mampu melakukan penyesuaian diri.
Hal tersebut menimbulkan kesulitan belajar bagi mahasiswa yang ditandai dengan angka drop
out sekitar 1,5%, walaupun telah disediakan pembimbing akademik. Penelitian ini bertujuan
mengetahui pengaruh layanan bimbingan belajar terhadap faktor yang mempengaruhi
kesulitan belajar. Jenis penelitian adalah quasy experiment dengan desain one group pre-post
test design. Sampel adalah 40 mahasiswa keperawatan tingkat satu. Variabel independen
adalah layanan bimbingan belajar, dan variabel dependen faktor yang mempengaruhi
kesulitan belajar. Instrumen penelitian berupa kuesioner. Data dianalisis dengan uji t sampel
berpasangan dengan = 0,05. Hasil t hitung 11.17 dan t tabel 2.101 artinya ada perbedaan
faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar antara sebelum dan sesudah bimbingan belajar
tentang cara belajar efisien.

Kata Kunci : bimbingan belajar, kesulitan belajar

* : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Surabaya

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Mahasiswa keperawatan menurut kategori umur termasuk usia remaja, yang tentunya
mempunyai kebutuhan spesifik dalam tumbuh dan berkembangnya yaitu masa perubahan
usia yang menimbulkan ketakutan, masa tidak realistis dengan emosi meningkat untuk
pemahaman diri (Hurlock,E B 1998). Pendidikan keperawatan dalam proses pembelajaran
selain menuntut kemampuan akademik juga ketrampilan berperilaku serta ketrampilan teknis
medis untuk dapat melakukan asuhan keperawatan pada pasien. Pasien yang memerlukan
asuhan keperawatan terdiri atas berbagai macam sosial budaya, tingkat usia, penyakit yang
diderita. Sekitar 1,5% mahasiswa tingkat awal ada yang keluar dikarenakan berbagai sebab.
Salah satu penyebab kondisi ini kiranya adalah adanya kesulitan belajar yang dialami
mahasiswa, yang selama ini belum dideteksi secra seksama dan sedini mungkin. Untuk
meningkatkan hasil belajar mahasiswa telah dilakukan bimbingan secara individu oleh dosen
selaku pembimbing akademik, namun kenyataannya masih ada mahasiswa yang kurang
mampu mengikuti proses pendidikan sehingga drop out.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 229

Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh bimbingan belajar terhadap faktor yang
mempengaruhi kesulitan belajar pada mahasiswa keperawatan.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian analitik ini menggunakan metode penelitian quasy experiment dengan one group
pre test-post test design. Populasi adalah mahasiswa keperawatan, dengan sampel 40
mahasiswa keperawatan tingkat satu. Variabel independen adalah layanan bimbingan belajar
sedang variabel dependen adalah faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Instrumen
penelitian menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan uji t untuk sampel berpasangan
dengan tingkat kemaknaan 0,05.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian
Hasil uji t menunjukkan t hitung= 11,17, sedangkan nilai t tabel= 2,101. Karena nilai t
hitung lebih besar daripada t tabel, maka Ho ditolak artinya terdapat perbedaan bermakna
tentang faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar, antara sebelum dan sesudah dilakukan
bimbingan belajar cara belajar efisien.

Pembahasan
Terdapat perbedaan faktor yang memperngaruhi kesulitan belajar antara sebelum dan
sesudah bimbingan belajar tentang cara belajar efisien. Dengan kata lain, bimbingan belajar
berpengaruh terhadap faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar. Artinya, dengan
bimbingan dan konseling yang menyangkut layanan informasi khususnya informasi cara
belajar yang baik/efisien diperlukan untuk pemecahan masalah bagi mahasiswa yang
mengalami kesulitan belajar, memakai alternatif pemecahan masalah dengan menurunkan
faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar dalam mencapai tujuan belajar agar dapat
mencapai sesuai dengan kemampuan dan ketepatan waktu yang diinginkan baik oleh individu,
keluarga maupun ketentuan pendidikan/sekolah. Oleh karena itu, diperlukan bantuan
bimbingan dan konseling khususnya layanan informasi bimbingan belajar yang fokusnya
adalah cara-cara belajar yang baik/efisien.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan dari penelitian adalah pada institusi pendidikan dengan usia mahasiswa
termasuk kategori remaja sangat diperlukan keseimbangan antara kebutuhan yang berkaitan
dengan tugas-tugas perkembangan masa remaja berkenaan dengan perkembangan diri,
ketrampilan, ilmu pengetahuan. Terlebih lagi dalam perawatan, obyek untuk sarana
pembelajaran menggunakan model hidup (pasien) yang bermasalah baik fisik maupun
psikologis. Diperlukan pengembangan sikap aktif dan terprogram baik belajar mandiri maupun
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 230
kelompok mengingat banyaknya factor yang mempengaruhi kesulitan belajar agar dapat
mencapai kebutuhan yang diinginkan dalam hal belajar. Untuk mencapai keselarasan dalam
mencapai tujuan belajar dengan tugas-tugas perkembangan pribadi perlu adanya layanan
bimbingan dan konseling utamanya layanan bimbingan belajar yang khususnya adalah cara-
cara belajar yang baik/efisien.
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Seorang konselor harus selalu meningkatkan aktifitas dan mengembangkan berbagai teknik
bimbingan sesuai dengan permasalahan yangdihadapi mahasiswa
2. Untuk mengatasi kesulitan belajar mahasiswa diperlukan kerjasama antara dosen bidang
studi dengan dosen pembimbing dan kemauan mahasiswa
3. Untuk menurunkan factor yang mempengaruhi kesulitan belajar hendaknya pelayanan
bimbingan dan konseling lebih diintensifkan
4. Bagi institusi pendidikan yang belum ada guru BK perlu direncanakan untuk diusulkan guna
meningkatkan layanan bimbingan dan Konseling di sekolah

DAFTAR PUSTAKA

Djumhur,I,Moch.Surya, 1995, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Bandung: CV Ilmu
Gunarsa, Singgih D.,Singgih D.,Gunarsa, 1992, Psikologi untuk Bimbingan, Jakarta :PT BPK
Gunung Mulia
Hadi, Sutrisno, 1994, Metodologi Research ,JOgyakarta: yayasan Penerbitan Psikologi UGM
Hamalik,Oemar 1990, Metode Belajar dan Kesulitan Belajar, Bandung: Tarsito
Ketut Sukardi, Dewa 1998, Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Pt Bina Aksara
Mappiiare, Andi, 1994, Pengantar Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Surabaya: Usaha
Nasional
Noto Atmodjo, Soekidjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta
Nursalam, 2003, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Jakarta:
Salemba Medika
Suradi SA, Sutjipto, 1990, Masalah dan Kesulitan Belajar, Surabaya: University press IKIP
The Liang Gie, 1994, Cara Belajar yang Efisien, Yogyakarta: UGM Press
Walgito, Bimo, 1998, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset

Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 231
RANCANG BANGUN ROTATING BIOLOGICAL CONTRACTOR (RBC) DENGAN
MENGGUNAKAN MEDIA POLYVINYL CHLORIDE (PVC)
UNTUK MENURUNKAN KADAR AMONIAK
Beny Suyanto*

ABSTRAK

Prototipe Rotating Biological Contractor (RBC) merupakan alat yang digunakan untuk
mengolah air limbah secara biologis menggunakan bahan media pipa polyvinyl chloride (PVC)
sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme pengurai.
Tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan rancang bangun Rotating Biological
Contractor (RBC) untuk menurunkan kadar amoniak air limbah Kulit. Jenis penelitian ini adalah
eksperimen dengan membuat alat uji Rotating Biological Contractor (RBC) dengan spesifikasi:
volume 10,5 liter dengan media pipa PVC diameter 1,6 cm, panjang 30 cm, jumlah 46 buah.
Rotor yang digunakan 5/6 rpm dan sampel dari limbah kulit dengan aklimatisasi selama 3
hari digunakan starter bio 2000.
Hasil penelitian pemeriksaan awal kadar amoniak dari lima replikasi rata-rata 8,04mg/l
dengan suhu 28C pH 8, dan pemeriksaan setelah 5 jam proses pengolahan kadar amoniak
rata-rata 6,05mg/l dengan suhu 25C pH 7. Diketahui bahwa Rotating Biological Contractor
RBC dengan menggunakan media pipa polyvinyl chloride (PVC) sebanyak 46 buah dengan
kondisi 40% luas media kontak air limbah 60% kontak udara dan dengan kecepatan
perputaran 5/6 rpm dengan replikasi lima kali mampu menurunkan rata-rata 1,99 mg/l (25%)
dalam 10 liter air limbah, dengan suhu 25C dan pH 7.

Kata Kunci: RBC, PVC, bakteri aerob, limbah kulit

* : Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam sistem pengolahan limbah cair, perlu pemahaman tentang sifat, karakteristik,
serta dampak yang ditimbulkan oleh limbah cair tersebut, agar proses pengolahan berjalan
efektif dan efisien. Karakteristik yang dihasilkan limbah cair dipengaruhi faktor internal (berasal
dari alam) dan faktor eksternal (berasal dari aktifitas manusia), misalnya jumlah air bersih yang
dipakai. Semakin banyak air bersih yang digunakan maka air limbah yang dihasilkan tidak
akan memiliki kepekatan tinggi. Semakin bervariasi bahan baku dan bahan tambahan yang
digunakan dalam proses produksi maka air limbah yang dihasilkan akan semakin pekat.
Salah satu kandungan limbah cair adalah amoniak yaitu senyawa nitrogen yang menjadi
NH4
+
pada pH rendah. Keasaman air (pH) sangat mempengaruhi apakah jumlah amoniak
yang ada akan bersifat racun atau tidak. Jika limbah cair dibuang ke badan air, maka
konsentrasi amoniak harus selalu terkendali atau dibatasi karena akan mempengaruhi
ketersediaan oksigen. Amoniak dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada air. Jika kadar
oksigen terlarut dalam cairan menurun, maka dapat menyebabkan makhluk biologis misalnya
ikan tidak dapat hidup di sana. Untuk itu perlu pengolahan limbah cair khususnya yang
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 232
mengandung amoniak. Amoniak dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan hasil
oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari air buangan domestik maupun
industri. Kadar amoniak yang tinggi akan menandakan adanya pencemaran pada air buangan.
Rotating Biological Contactor (RBC) merupakan salah satu teknologi pengolahan air
limbah yang mengandung pencemar zat organik yang biodegradable dengan sistem biakan
melekat. Beberapa keunggulan dari sistem RBC adalah memiliki operasi dan konstruksi
sederhana, kebutuhan energi relatif lebih kecil, tidak memerlukan udara dalam jumlah yang
besar, lumpur yang terjadi relatif kecil, serta relatif tidak menimbulkan bau. Reaksi nitrifikasi
lebih mudah terjadi sehingga efisiensi penghilangan amoniak lebih besar (BBPT, 1999).
Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tentang Rancang Bangun RBC
Dengan Menggunakan Media Polyvinyl chloride (PVC) Untuk Menurunkan Kadar Amoniak.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji kemampuan alat hasil rancang bangun RBC untuk
menurunkan kadar amoniak menggunakan bahan PVC dengan 5 jam proses operasional.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian Pra Eksperimen. Peneliti melakukan perlakuan
pengolahan terhadap sampel dengan menggunakan RBC untuk mengetahui kadar amoniak
dalam limbah cair. Rancangan yang diguanakan adalah One Group Pre and Test Design, yaitu
peneliti melakukan penelitian sebelum dan sesudah perlakuan pada sampel. Dilakukan
replikasi untuk mengetahui efisiensi perlakuan. Kemudian hasil yang diperoleh dibandingkan
untuk mengetahui tingkat penurunan kadar amoniak pada limbah cair dengan menggunakan
RBC, dengan media tempat melekat yaitu PVC (Praktiknya, 1996).













RBC (Potongan B-B) RBC (Tampak Atas)
Gambar 1. Struktur RBC

Alat dan bahan yang digunakan adalah: RBC dengan dimensi panjang, lebar, dan tinggi
masing-masing 35 cm, 25 cm dan 12 cm (Gambar 1). PVC ukuran diameter 1,6 cm panjang
2 2,5
30 2 2,5
2
1
2

5
,
5

1
4

5
,
5

2,5 30 2,5
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 233
30 jumlah 46 buah yang diputar dengan kecepatan rotor 5/6 rpm dan kapasitas bak 10 liter
serta sampel berasal dari limbah cair Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Lingkungan
Industri Kecil (LIK) Magetan pada bagian bak pengendap I.
Setelah persiapan alat dan bahan selesai, maka sebelum dilakukan percobaan alat
diaklimatisasi terlebih dahulu untuk menumbuhkan, mengadaptasikan mikroorganisme dengan
menggunakan starter bio 2000 selama waktu 3 hari. Kemudia air limbah yang mengandung
amoniak dimasukkan ke dalam bak pengolahan RBC dengan proses pengolahan limbah cair
sistem aliran butch (tanpa aliran). Kemudian air limbah akan dikontakkan dengan RBC diputar
secara pelan-pelan dengan kecepatan 5/6 rpm, proses ini berlangsung terus menerus selama
5 jam kemudian direplikasi 5 kali. Hasil penelitian diperiksa dilabolatorium untuk dinanalisis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian
Hasil pemeriksaan amoniak disajikan pada Tabel 1, yang menunjukkan persentase
penurunan kadar amoniak setelah mengalami proses pengolahan melalui RBC hasil rancang
bangun selama + 5 jam proses pengolahan.
Tabel . 1 Perbandingan Kadar Amoniak (NH3) Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun
Keterangan: e = c d f =
c
e
f = x 100%
Hasil pemeriksaan suhu dan pH masing-masing disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Perbandingan Suhu Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun
No Replikasi Hasil Pengukuran
Sebelum Perlakuan (
0
C) Selama Proses (
0
C)
1
2
3
4
5
I
II
III
IV
V
28
28
28
28
28
25
25
26
25
26

No Replikasi
Hasil
Penurunan
(mg/l)
(e = c d )
Presentase (%)
c
e
f = x100%
Sebelum (mg/l) Sesudah (mg/l)
a b c d e f
1
2
3
4
5
I
II
III
IV
V
9,14
7,73
7,96
6,67
8,71
7,31
5,41
5,57
5,00
6,97
1,87
2,32
2,39
1,67
1,74
20
30
30
25
20
Rata-rata 8,04 6,05 1,99 25
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 234
Tabel 4. Perbandingan PH Antara Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Menggunakan RBC Hasil Rancang Bangun
No Replikasi Hasil Pengukuran pH
Sebelum Perlakuan Selama Proses
1
2
3
4
5
I
II
III
IV
V
8
8
8
8
8
7
7
7
7
7

Paired Sample T-Test menunjukkan nilai <0,05, maka Ho ditolak, yang berarti ada
pengaruh rancang bangun RBC dengan menggunakan media PVC untuk menurunkan kadar
amoniak.

Pembahasan
1. Aklimatisasi Alat
Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan kegiatan aklimatisasi alat uji, dengan
memberikan perlakuan pada air limbah. Aklimatisasi berjalan selama 3 hari. Berdasarkan
hasil pengamatan secara langsung mencul lendir pada media pipa PVC, di samping itu warna
air limbah berangsur berubah. Hal ini diasumsikan bahwa mikroorganisme mulai tumbuh.
Secara skematis proses aklimatisasi dapat digambarkan sebagai berikut.



Gambar 2. Skema Aklimatisasi Alat Uji

2. Kinerja Alat Uji RBC Hasil Rancang Bangun
RBC merupakan alat uji hasil rekayasa yang terdiri dari bak RBC berbentuk persegi
panjang dengan kapasitas 10,5 liter, serta media tempat pertumbuhan mikroorganisme berupa
pipa PVC sebanyak 46 buah dan diameter masingmasing pipa 1,6 cm, sehingga luas
seluruh permukaan media PVC 1,4 m
2
.
Kinerja RBC yaitu mengontakkan media pipa PVC dengan limbah cair yang berada di
dalam bak dan media PVC diputar dengan kecepatan putaran 5/6 rpm dalam keadaan 40%
dari luas permukaan tercelup ke dalam air limbah. Berdasarkan hasil waktu yang diperlukan
media pipa PVC untuk 1 kali putaran adalah 72 detik. Selama 1 kali putaran keadaan media
pipa PVC pada RBC dengan luas seluruh permukaan 1,4 m
2
(46 buah pipa PVC). Luas media
yang kontak dengan udara (O2) adalah 0,6 m
2
(18 buah pipa) dan media yang kontak
Sampel
Memberikan bio 2000
pada air limbah dan
dilakukan pengolahan
dengan alat uji
(Kecepatan 5/6 rpm)
selama 15 menit .
Muncul lendir
pada media pipa
PVC
Tumbuh
mikro-
organisme
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 235
dengan air limbah adalah 0,8 m
2
(28 buah pipa PVC). Waktu yang digunakan untuk sekali
proses pengolahan selama 5 jam proses perlakuan dan media berputar sebanyak 250 kali.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium kadar amoniak sebelum proses perlakuan
paling tinggi pada replikasi ke I yaitu 9,14 mg/l dan kadar amoniak paling rendah pada
replikasi ke IV yaitu 6,67 mg/l. Setelah proses pengolahan selama 5 jam dengan
menggunakan RBC hasil rancang bangun diketahui bahwa kadar amoniak paling tinggi pada
replikasi ke I yaitu 7,31 mg/l dan kadar amoniak paling rendah yaitu pada replikasi ke IV yaitu
5,00 mg/l. Penurunan kadar amoniak (NH3) setelah mengalami perlakuan menggunakan RBC
hasil rancang bangun (selama + 5 jam proses) penurunan kadar amoniak paling rendah
adalah pada replikasi ke IV yaitu 1,67 mg/l (25%) dan penurunan yang paling tinggi pada
replikasi ke II yaitu 2,39 mg/l (30%) denagn rata-rata 5 replikasi senilai 1,99 mg/l (25%).
Pada saat RBC mengolah air limbah media 18 buah pipa PVC (40%) tercelup, air
limbah akan masuk ke dalam rongga pipa kemudian pada saat berputar mikroorganisme
dalam air limbah akan terangkat dan kontak dengan udara dan terjadi proses metebolisme
pada mikroorganisme. Pada saat pipa tercelup kembali ke dalam air limbah senyawa hasil
metabolisme akan menyebar dan mengubah amoniak menjadi nitrit dan nitrat sehingga kadar
amoniak mengalami penurunan. Dari proses di atas sesuai dengan BPPT tahun 1999 pada
saat media pipa PVC tercelup (kontak dengan limbah) bakteri nitrosomonas dan nitrobakter
akan menyerap amoniak (NH3) sebagai energi. Ketika bakteri kontak dengan udara (O2)
bakteri akan mengambil oksigen untuk proses metabolisme. Senyawa hasil metabolisme akan
terbawa oleh aliran air dan akan tersebar tersebar melalui rongga-rongga disk. Sehingga
kandungan amoniak (NH3) dalam limbah akan berkurang. Sama halnya dengan penelitian ini
yang menggunakan media pipa PVC.

3. Nilai Suhu
Umumnya bakteri nitrosomonas dan nitrobakter dapat melakukan proses nitrifikasi
secara baik pada kondisi suhu 30
0
C36
0
C (mesofilik). Tetapi nitrifikasi masih dapat
berlangsung pada suhu dibawahnya (Betty Sri. L, 1990).
Berdasarkan hasil nilai suhu pada seluruh replikasi sampel air limbah kulit sebelum
mengalami perlakuan berkisar 28
0
C. Sedangkan hasil pengukuran suhu setelah proses
perlakuan menggunakan RBC hasil rancang bangun berkisar 25
0
C26
0
C. Dari hasil di atas
diketahui bahwa nilai suhu pada air limbah turun setelah proses pengolahan menggunakan
RBC hasil rancang bangun, dan pada kisaran suhu tersebut proses nitrifikasi oleh organisme
dapat tetap berlangsung.

4. Nilai pH
Berdasarkan hasil pengukuran pH pada air limbah kulit sebelum mengalami perlakuan
berkisar 8, Sedangkan setelah proses berlangsung pH berkisar 7. Dari hasil pengukuran
didapat bahwa pH mengalami penurunan setelah dilakukan proses pada air limbah kulit
menggunakan RBC hasil rancang bangun. Pada pengamatan langsung bau pada air limbah
semakin berkurang. Umumnya pH optimum bagi proses nitrifikasi adalah 7,5 hingga 8,5.
Selama berlangsungnya proses nitrifikasi akan menghasilkan ion hidrogen yang menyebabkan
penurunan pH. Hal ini menyebabkan berkurangnya bau pada limbah karena pH telah
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 236
mendekati kondisi normal. Betty Sri L. (1990) sehingga pH 7 masih memenuhi kondisi normal
proses nitrifikasi dan bakteri tetap tumbuh.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa :
1. RBC hasil rancang bangun dapat dimanfaatkan untuk pengolahan limbah cair dalam
menurunkan kadar amoniak (NH3). Dimensi alat uji Rotating Biological adalah sebagai
berikut :
a. Bak RBC (berbentuk persegi panjang) , dengan panjang = 35 cm ,lebar = 25 cm , tinggi
12 cm ,dengan kapasitas volume = 10500 cm .
b. Media yang terbuat dari pipa PVC degan panjang = 30 cm , jumlah = 48 buah ,
diameter pipa = 1,6 cm .
c. Kecepatan putaran 5/6 rpm dengan menggunakan rotari.
2. Hasil pemeriksaan kadar amoniak pada sampel sebelum mengalami perlakuan (replikasi 5
kali) rata-rata adalah 8,04 mg/l dengan keadaan suhu 28
0
C dan PH 8.
3. Hasil pemeriksaan mengenai kadar amoniak pada sampel setelah mengalami perlakuan
(replikasi 5 kali) rata-rata adalah 6,05 mg/l dengan keadaan suhu 25
0
C 26
0
C dan PH 7.
4. Terjadi penurunan kadar amoniak pada limbah cair setelah dilakukan perlakuan dengan
RBC, dengan penurunan rata-rata 1,99 mg/l (25%).
Berdasarkan hasil penelitian disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai:
penggunaan alat uji untuk menurunkan parameter lain, penggunaan jenis limbah yang lain
untuk pengujian pada RBC, dan perubahan variasi dimensi alat uji (lebih besar atau lebih kecil
+ rpm).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1999, Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air, Jakarta,
Direktorat Teknologi Lingkungan
Alaerts, G dan S.S, Sartika, 1987, Metode Penelitian Air, Surabaya, Usaha Nasional
Didik Sugeng P, 2002, Pengolahan Limbah Cair, Jurusan Kesehatan Lingkungan,
Politeknik Surabaya.
Didik Sugeng P, 2004, Pengolahan Limbah Cair, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik
Surabaya
Djabu U, dkk, 1990, Pedoman Bidang Studi Pembuangan Tinja dan Air Limbah Pada Institusi
Pendidikan Sanitasi, Jakarta, Departemen Kesehatan RI
Jenie G.S.L dan Rahayu, 1998, Pembangunan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta, Kanisius
Kaderi, H, dkk, 2000, Pedoman Praktikum Laboratorium, Akademi Kesehatan Lingkungan
Madiun.
Nurhasan, dkk, 1991, Penanganan Air Limbah Pabrik Tahu, Yayasan Bina Karta Lestari
(Bintari).
Pratiknya, A.W., 2001, Pedoman Bidang Studi Pembuang Tinja dan Air Limbah Pada Institusi
Pendidikan Sanitasi, Jakarta, Departemen Kesehatan RI.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 237
EFEKTIFITAS LIMBAH SERBUK GERGAJI KAYU KELAPA DAN KAYU RANDU
DALAM MENGELIMINIR LOGAM BESI PADA LIMBAH CAIR
Beny Suyanto*, Hery Koesmantoro*

ABSTRAK
Limbah cair hasil proses produksi dari suatu industri yang mengandung banyak sekali
unsur-unsur logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Ni, Cr, Zn, Fe, Mn, dan Si serat Au dapat
meracuni tubuh manusia jika mencapai kadar tertentu. Oleh karena itu pengelolaan limbah cair
di industri harus bisa ditangani agar tidak mencemari lingkungan.
Penelitian ini adalah pra eksperimen. Untuk mengeliminir besi dalam limbah cair
digunakan bahan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu sebagai filter. Berat kedua bahan
filter tersebut 0,65 kg, ditempatkan pada alat dengan desain 80 cm x 11 cm x 6 cm terbuat dari
talang PVC. Prinsip kerja filtrasi yaitu limbah cair yang mengandung besi (Fe) dialirkan dengan
debit 3,16.10
-3
l/s melalui filter serbuk gergaji kayu. Besar kandungan Fe dalam sampel limbah
cair sebelum perlakuan 2,064 mg/l. Hasil penelitian menunjukan bahwa serbuk gergaji kayu
randu mampu mengeliminir Fe 78,86% (1,628 mg/l) dan ternyata lebih baik dibanding serbuk
kayu kelapa sebesar 49,52% (1,022 mg/l). Warna sampel limbah cair sebelum perlakuan
kuning bening dan setelah perlakuan filtrasi kedua serbuk gergaji kayu tersebut menjadi
kuning keruh kecoklatan. Namun warna sampel yang berasal dari serbuk gergaji kayu kelapa
lebih kuning keruh kecoklatan dibanding serbuk gergaji kayu randu.

Kata kunci: Serbuk gergaji, kayu kelapa, kayu randu, filtrasi, limbah cair.
* : Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Surabaya

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Limbah adalah sisa hasil dari proses aktivitas manusia yang perlu untuk di tangani
secara serius, karena limbah dari suatu industri dapat meracuni rantai hidup dari makluk hidup
di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pengelolaan
limbah di industri harus bisa ditangani dengan benar agar tidak mencemari lingkungan sekitar.
Sayur-sayuran, ikanikan dari beberapa daerah yang kaya industri, sering mengandung
logam berat. Jika makanan tersebut terkonsumsi terus menerus, dapat terakumulasi di dalam
tubuh dan dapat menyebabkan kanker, atau penyakit lain seperti gangguan ginjal, sistem saraf
pusat, saluran pencernaaan, pernafasan, darah, kulit, sistem endokrin, dan kardiovaskuler.
Logam berat tersebut bersifat kumulatif akan menumpuk dalam jumlah banyak dalam tubuh
jika kita sering mengkonsumsi makanan yang mengandung logam berat tersebut.
Pengelolaan logam berat dapat dilakukan dengan cara sederhana yaitu memanfaatkan
arang tempurung kelapa atau serbuk gergaji dari berbagai kayu, atau menggunakan tanaman
seperti enceng gondok, kayu apu, kangkung, serta semanggi air. Dengan memanfaatkan
mikroorganisme seperti Escherichia coli, Theobacillius ferooxidan, bacillus,sp dapat digunakan
untuk mengeliminir Pb (Prawira, 2003). Karbon aktif atau arang tempurung kelapa (cocos
nucefera L) menyerap atau mengeliminir Cd dalam larutan sebesar 64,06 persen. Serbuk
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 238
gergaji kayu sengon (albizzia falcata) menyerap Pb sebesar 0,15 mg/gram atau menurunkan
kadar Pb sebesar 35,81 persen (Harian Surya, 19 Desember 2007).
Di Jawa Timur, di setiap kota dan kabupaten ada perusahaan penggergajian kayu, yang
bergerak di bidang bangunan perumahan atau mebel rumah tangga seperti kayu kelapa, jati,
randu, kruing, balau, dan sebagainya. Perusahaan tersebut biasanya melayani kebutuhan
perumahan seperti kuda-kuda, kaso, reng, gawang, dan jenis mebeler seperti meja, kursi
almari bifet dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan berupa limbah gergajian, kawul potongan
kayukayu kecil, yang selama ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak, untuk
pembakaran genteng atau batu bata. Tak jarang limbah gergajian dimanfaatkan sebagai
campuran lem kayu untuk menambah, atau menyambung dan merekatkan kayu. Dari survei
awal diperoleh data bahwa limbah gergajian dari satu perusahaan menghasilkan -2 m
3

dalam satu hari tanpa pemadatan atau 1976 m
3
limbah gergajian. Buangan limbah serbuk
gergaji hingga saat ini tidak bermasalah karena konsumen selalu datang untuk membeli
limbah tersebut, dengan harga satu sak serbuk gergaji biasanya Rp.5.000 Rp.9.000.
Pengolahan air limbah bertujuan mengurangi BOD, partikel terlarut, membunuh
mikroorganisme patogen, menghilangkan komponen beracun dan mengurangi bahan
pencemar yang tak terdegradasikan (air limbah yang mengandung unsur-unsur logam berat).
Air limbah dari beberapa industri setelah melalui proses pengolahan masih terdapat
efisiensi removal yang masih kecil, sehingga efluen air limbah masih dapat berdampak negatif
menjadikan dampak kerusakan ekosistem perairan (badan air), seperti sungai, danau dan laut.
Kondisi demikian dapat berdampak kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan.
Butiran serbuk gergaji mempunyai porositas yang dapat dipakai sebagai media filter
untuk menyaring logam berat pada limbah cair. Dalam proses filtrasi ini, bahanbahan
berbahaya seperti logam berat dapat terikat, tereliminir bahkan tereduksi. Kandungan
golongan beracun yaitu air raksa (Hg), kadmium (Cd), timbal (Pb), kromium (Cr), tembaga
(Cu), besi (Fe), nikel (Ni), seng (Zn), mangan (Mn), Selenium (Sn), Au dan Ag (Pramito, 2003).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendesain alat uji yang dapat digunakan untuk mengeliminir besi
pada larutan (limbah cair) dengan bahan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Dalam penelitian eksperimen dengan rancangan one group pre end post test ini, peneliti
memberi perlakuan terhadap kelompok sampel yaitu melakukan proses filtrasi dengan
menggunakan serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu untuk mengeliminir Fe dalam
larutan. Peneliti melakukan pengukuran sebelum dan sesudah perlakuan, kemudian hasil
kedua pengukuran tersebut dibandingkan untuk melihat perbedaan tingkat kemampuan serbuk
gergaji kayu kelapa dan kayu randu dalam mengeliminir logam Fe pada larutan.
Bahan penelitian ini adalah larutan yang mengandung Fe dengan bahan dasar fericlorit,
serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu yang diayak dengan ukuran 1 mm. Alat
penelitian adalah talang pipa berukuran 12 x 12 cm, panjang 100 cm, sekap (baffle) berukuran
10 x 6 cm
2
, dilengkapi fitting untuk distribusi (Gambar 1 dan Gambar 2).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 239

Gambar 1. Denah: Alat Filtrasi Tanpa Skala


Gambar 2. Potongan A-A: Alat Filtrasi Tanpa Skala

Prosedur kerja yang dilakukan adalah: 1) menyiapkan alat dan bahan, 2) memasukkan
larutan yang mengandung Fe dalam tangki, 3) memeriksa kandungan Fe dalam larutan
sebelum proses filtrasi dimulai, 4) membuka valve sesuai dengan kebutuhan menandakan
proses filtrasi dimulai, 5) menghitung debit filtrasi, 6) menampung hasil olahan larutan setelah
mengalami proses filtrasi, 7) memeriksa kandungan Fe dalam larutan sesudah proses filtrasi
dimulai, 8) memasukkan hasil pemeriksaan dalam tabel untuk dianalisis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian disajikan pada Tabel 1. Data pendukung dalam penelitian berkaitan
dengan debit, waktu proses filtrasi (detention time Td) dan kepadatan serbuk gergaji kayu
kelapa dan kayu randu tercantum dalam Tabel 2.

1. Tingkat penurunan kandungan Fe setelah perlakuan
Berdasarkan Tabel 1, kandungan Fe limbah cair melalui media filter serbuk kayu gergaji
kelapa sebelum dan sesudah perlakuan serta persentase tingkat penurunannya berbeda-
beda. Dari 5 kali pengukuran, penurunan kandungan Fe terbanyak pada pengukuran ke I
(54,84%) atau 1,132 ppm, sedangkan terendah 45,8% (0,945 ppm). Sedangkan pengukuran
suhu pada proses filtrasi berkisar antara 25 s/d 25,5
0
C sedang pH tetap yaitu 7. Berdasarkan
Tabel 1, kandungan Fe limbah cair melalui media filter serbuk kayu gergaji randu sebelum dan
sesudah perlakuan serta persentase tingkat penurunannya bervariasi dari 5 kali pengukuran.
Serbuk kayu randu dapat menurunkan kandungan Fe terbanyak pada pengukuran ke III
(84,3%) atau 1,739 ppm, sedangkan terendah 72,4% (1,494 ppm). Suhu pada proses filtrasi
berkisar antara 25 s/d 25,5
0
C sedang pH antara 6 s/d 7.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 240

Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 241
Tabel 2. Debit, Waktu Filtrasi dan Kepadatan Serbuk Gergaji Kayu Kelapa dan Kayu Randu
Serbuk
gergaji
kayu
Berat Serbuk
gergaji kayu
(kg)
Ukuran Filter Volume
filter
(m
3
)
Kepadatan
Filter
(Kg/m
3
)
Debit
Lt/s
Td
(menit) Panjang
(m)
Lebar
(m)
Tinggi
(m)
A B C D E F G H I
Kelapa 0,65 0,6 0,11 0,04 2,64.10
-3
246,21 3.16. 10
-3
23
Randu 0,65 0,6 0,11 0,05 3,30. 10
-3
196,97 3.16. 10
-3
20
Keterangan :
Formula : F = C x D x E, G =
F
B


2. Rekapitulasi data hasil pengukuran.
Persentase penurunan kandungan Fe pada limbah cair rata-rata serbuk gergaji kayu
kelapa 49,52% (1,022 ppm), sedangkan serbuk gergaji kayu randu mencapai 78,86% (1,628
ppm). Hal ini menunjukan bahwa serbuk gergaji kayu randu jauh lebih baik dalam menurunkan
kandungan Fe dalam limbah cair selama 5 kali percobaan. Ada indikasi kayu randu yang
mempunyai berat jenis lebih ringan dibanding kayu kelapa menunjukan lebih baik dalam
mengeliminir Fe dalam limbah cair. Dalam berat yang sama, volume serbuk kayu kelapa lebih
kecil dari volume serbuk gergaji kayu randu
Perbedaan suhu dan pH baik serbuk gergaji kayu kelapa maupun kayu randu tidak
banyak perbedaan yaitu suhu antara 25 s/d 26
0
C dan pH antara 6 s/d 7.
Warna limbah cair sebelum dan sesudah melalui filter serbuk gergaji kayu kelapa ada
perbedaan. Sebelum melalui filter warna kuning terang namun setelah melalui proses filtrasi
berubah warna kuning kecoklatan. Begitu juga terjadi pada proses yang melalui serbuk gergaji
kayu randu. Akan tetapi setelah proses filtrasi air sampel dari serbuk gergaji kayu kelapa lebih
kuning kecuh kecoklatan dibanding dengan serbuk gergaji kayu randu.
Serbuk gergaji kayu kelapa maupun kayu randu keduanya mampu mengeliminir
kandungan Fe dalam limbah cair, kendatipun keduanya menjadikan air setelah proses filtrasi
menjadi lebih kuning keruh kecoklatan dibanding sebelum proses.

3. Data pendukung dalam penelitian
Berat serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu dibuat sama yaitu 0,65 kg, begitu juga
dengan debit limbah cair yang dialirkan pada media filter tersebut.
Dengan berat serbuk gergaji yang sama ternyata volume dari serbuk gergaji kayu kelapa
lebih kecil (2,64.10
-3
m
3
) dibanding volume serbuk gergaji kayu randu (3,30. 10
-3
m
3
).
Sedangkan tingkat kepadatan serbuk gergaji kayu kelapa lebih besar (246,21 kg/m
3
)
dibanding kepadatan serbuk gergaji kayu randu (196,97 kg/m
3
). Hal ini menunjukan serbuk
gergaji kayu kelapa mempunyai berat jenis lebih besar dibanding serbuk gergaji kayu randu.
Waktu proses filtrasi (detention time) yaitu waktu yang diperlukan limbah cair mulai dari
awal proses pengaliran hingga keluar dari filter (menit). Ada perbedaan waktu proses filtrasi
antara serbuk gergaji kayu kelapa (23 menit) dengan serbuk gergaji kayu randu (20 menit).


Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 242
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan penelitian adalah:
1. Desain alat filter: 80 cm x 11 cm x 10 cm, berat kedua serbuk gergaji 0,65 kg, kepadatan
serbuk gergaji kayu kelapa 246,21 kg/m
3
dan serbuk gergaji kayu randu 196,97 kg/m
3

2. Serbuk gergaji kayu kelapa menurunkan Fe rata-rata 49,52% (1,022 ppm) dan serbuk
gergaji kayu randu mencapai 78,86% (1,628 ppm). Warna limbah cair setelah proses
filtrasi lebih kuning keruh kecoklatan dibanding dengan sebelum proses filtrasi.
3. Serbuk gergaji kayu randu lebih efektif dalam mengeliminir Fe dalam limbah cair dibanding
serbuk gergaji kayu kelapa.
Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah:
1. Perlu penelitian lebih lanjut tentang penghilangan warna limbah cair setelah proses filtrasi.
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang tingkat kemampuan optimum filtrasi (m
3
/m
2
/jam)
berbagai serbuk gergaji kayu.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang efektifitas serbuk gergaji kayu kelapa dan kayu randu
dalam mengeliminir logam berat lain
4. Perlu penelitian lebih lanjut dengan variasi model, diameter dan kepadatan serbuk,
tekanan air, untuk mendapatkan penurunan kandungan logam yang lebih optimum.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1993. PrinsipPrinsip Saringan Pasir Lambat. DPU Ditjen Cipta Karya Pusat
Pelatihan Bidang AB & PLP.
Andulrahman dkk. 1999. Atlas Kayu Indonesia. Puslitbang Kehutanan.
Anominus. 1991. Pedoman Teknis Perbaikan Kualitas Air. Jakarta. Ditjen PPM PLP Depkes.
Bowo DM. 1997. Unit Operasi. Surabaya.
Bowo DM. 1995. Hidrolika Teknik Penyehatan dan Lingkungan. Surabaya.
Bueche Frederick J. 1992. Teori dan Soal-soal Fisika. Jakarta.
Darmono. 2000. Toksikologi Senyawa Logam. Penyediaan Air Bersih Dalam Pelita VI.
Surabaya.
Herman Widodo Soemitro. 1990. Teori dan Soal-soal Mekanika Fluida dan Hidraulika.
(simetrik). Drexel Institute of Tecnology.
Suriawiryo U. 1996. Mikrobiologi Air dan Dasa-Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologi,
Bandung.
Sanripie Djasio. 1984. Pedoman Bidang Studi Penyediaan Air Bersih APK-TS. Proyek
Pengembangan Tenaga Sanitasi Pusat, Pusdiklat Pegawai Dep.Kes.RI.
Siregar AS. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Yogyakarta. Kanisius.
Soetarmo. 1994. Penyediaan Air Bersih Dalam Pelita VI, Diklat Air Bersih & PLP Graha
Mandala Tirta.
Tim Baku Mutu Lingkungan Jatim. 1990. Baku Cara Uji Air dan Air Limbah di Jawa Timur.
Pemda Tk I Jatim. Surabaya.
Trihadiningrum Y. 2000. Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. ITS. Surabaya.
Palar Hermanto. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Renika Cipta.
Wardana AW. 2001. Dampak pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 243
HUBUNGAN ANTARA PEKERJAAN DENGAN PARTISIPASI IBU
MENGIKUTI SENAM HAMIL (Di URJ Poli Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Sri Ratnawati *, Sri Utami *

ABSTRAK

Masalah senam hamil sudah mulai mendapat perhatian masyarakat. Namun, kesibukan,
rasa takut, dan kurang percaya diri membuat ibu hamil enggan untuk melakukan senam hamil
(Brayshaw, 2006). Dari hasil pengamatan di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya
tercatat bahwa hanya sebagian kecil ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya mengikuti
senam hamil. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul Hubungan Antara Pekerjaan
dengan Partisipasi Ibu Hamil mengikuti Senam Hamil. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pekerjaan ibu hamil, mengidentifikasi partisipasi ibu hamil mengikuti senam
hamil, dan menganalisis hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti
senam hamil. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dimana peneliti
melakukan observasi dan pengukuran variabel hanya satu kali pada saat waktu pengkajian
data. Populasi penelitian adalah ibu hamil trimester II dan III sebanyak 60 orang. Pengambilan
sampel dipilih secara non probability dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling,
dengan total sampel 28 responden yang diambil sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji Chi-
square yang dilanjutkan dengan uji Eksak Fisher. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir
setengahnya ibu hamil yang bekerja tidak mengikuti senam hamil. Hasil uji Eksak Fisher
diperoleh nilai p= 0,0111, yang menunjukkan H1 diterima, yang berarti ada hubungan antara
pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil. Sebaiknya bidan dapat
mengupayakan adanya program peningkatan pelaksanaan senam hamil, sehingga
pelaksanaan senam hamil selain dilakukan di tempat pelayanan kesehatan juga dapat
dilakukan di rumah.

Kata Kunci : Pekerjaan, Partisipasi Mengikuti Senam Hamil, Ibu Hamil
* : Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah senam hamil sudah mulai mendapat perhatian masyarakat. Namun, rasa takut
dan kurang percaya diri membuat ibu hamil enggan untuk melakukan senam hamil. Selain itu,
banyak ibu hamil yang tidak mengetahui besarnya manfaat jika melakukan senam hamil
(Bandiyah, 2009). Faktor lain yang membuat ibu enggan melakukan senam hamil adalah
karena mereka sibuk bekerja, mengasuh anaknya, dan karena kemajuan teknologi, mereka
lebih memilih di rumah untuk menonton TV daripada mengikuti senam hamil. Berbagai
peralatan rumah tangga seperti mesin cuci, transportasi seperti mobil, dan alat modern lain
membuat hidup semakin mudah dan tidak terlalu mengandalkan fisik (Brayshaw , 2006).
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 244
Senam hamil bukan merupakan suatu keharusan. Namun, dengan melakukan senam
hamil banyak memberi manfaat dalam membantu kelancaran proses persalinan antara lain
dapat melatih pernapasan dan relaksasi, menguatkan otot-otot panggul dan perut, serta
melatih cara mengejan yang benar. Kesiapan ini merupakan bekal penting bagi calon ibu
dalam menghadapi persalinan (Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk, 2006). Senam hamil
dilakukan dengan tujuan membuat elastis otot dan ligamen yang ada di panggul, memperbaiki
sikap tubuh, mengatur kontraksi dan relaksasi, serta mengatur teknik pernapasan. (Saminem,
2008). Tujuan lain senam hamil adalah memberi dorongan serta melatih jasmani dan rohani
dari ibu secara bertahap agar ibu dapat menghadapi persalinan dengan tenang, sehingga
proses persalinan dapat berjalan lancar dan mudah (Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk, 2006).
Di RSUD Dr. Soetomo tercatat hanya 20% dari 60 ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya mau mengikuti senam hamil. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
kepada 6 orang ibu hamil tercatat bahwa 4 orang ibu hamil tidak mengikuti senam hamil. Di
antara 4 orang yang tidak mengikuti senam hamil, 3 orang ibu bekerja dan 1 orang tidak
bekerja. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan
antara pekerjaan ibu hamil dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil.
Tujuan penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi pekerjaan ibu hamil, 2) Mengidentifikasi
partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil, 3) Menganalisis hubungan antara pekerjaan
dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah analitik observasional karena peneliti tidak memberikan perlakuan
pada obyek penelitian tetapi melakukan pengamatan di lapangan berdasarkan data yang ada.
Jenis penelitian ini menggunakan studi analitik, bentuk cross sectional.
Besar populasi adalah 60 orang dan sampel dipilih dengan teknik purposive sampling
sebesar 28 responden yang diambil sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuesioner. Data selanjutnya dianalisis menggunakan uji Chi-Square
yang dilanjutkan dengan uji Eksak Fisher.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 28 responden, sebagian besar (53,57%) responden
adalah ibu hamil yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta dan wiraswasta.

Tabel 1 Distribusi Pekerjaan Responden
Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April 21 Mei 2010

Pekerjaan Frekuensi Persentase
Bekerja 15 53,57
Tidak bekerja 13 46,43
Jumlah 28 100

Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 245

Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan terutama untuk menunjang terhadap
kehidupan dan keluarganya (Notoatmodjo, 2003). Menurut teori, faktor yang mempengaruhi
pekerjaan adalah faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor lingkungan. Seorang istri harus
bekerja karena harus membantu suami dalam meningkatkan ekonomi keluarga dan memenuhi
kebutuhan sehari-hari, seorang istri bekerja karena merasa dirinya berguna dan eksistensi
dirinya lebih baik untuk mengaktulisasikan diri; selain itu seorang ibu bekerja juga karena
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu semua ibu di lingkungannya bekerja. Tujuan bekerja
adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mencari nafkah, dan meningkatkan karir
(Marx, 2007).
Seseorang bekerja dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli makanan, pakaian dan keperluan hidup
lainnya. Meningkatnya krisis ekonomi membuat seseorang untuk berlomba-lomba bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, tidak peduli meskipun sedang hamil. Selain itu,
bekerja merupakan usaha manusia untuk membuktikan dirinya bahwa manusia adalah
makhluk sosial. Bekerja dapat merealisasikan apa yang ada dalam pikirannya serta dapat
mengabdikan dirinya di masyarakat, dan merasa dirinya bermanfaat di lingkungannya. Faktor
lain yang mempengaruhi pekerjaan adalah lingkungan, karena sebagian besar ibu bekerja
sehingga ibu hamil juga terinspirasi untuk bekerja.
Seiring dengan kemajuan teknologi, tidak hanya seorang suami yang harus bekerja
namun tidak menutup kemungkinan seorang istri juga bekerja. Manusia berupaya memenuhi
kebutuhan hidupnya agar tetap bisa bertahan hidup. Dengan bekerja, manusia akan menjadi
makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan orang lain, selanjutnya manusia dapat
mengembangkan dirinya untuk mengapresiasikan seni dan bakatnya sehingga dapat
meningkatkan prestasi kerjanya.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa dari 28 responden, sebagian besar
18 orang (64,28%) responden tidak pernah mengikuti senam hamil, dan 10 orang ( 35,71%)
responden pernah mengikuti senam hamil.

Tabel 2 Distribusi Partisipasi Responden Mengikuti Senam Hamil
Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April 21 Mei 2010

Partisipasi mengikuti
Senam hamil

Frekuensi Persentase (%)

Ikut senam hamil

10 35,71
Tidak ikut senam hamil 18 64,29

Jumlah 28 100



Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 246
Partisipasi berasal dari bahasa latin partisipare yang mempunyai arti dalam bahasa
Indonesia mengambil bagian atau turut serta (Rohman, Putra, Riansyah, dkk, 2009). Menurut
Arnstein, terdapat 3 tingkatan partisipasi yaitu, 1) Citizen Power; pada tingkatan ini masyarakat
berpartisipasi pada sebuah kegiatan mulai dari awal sampai akhir, 2) Tokeni; pada gradasi ini
masyarakat tidak mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir, tetapi mengikuti kegiatan pada
saat-saat tertentu saja ataupun hanya sekali mengikuti kegiatan, 3) Nonparticipation; yang
merupakan gradasi terendah menurut Arnstein. Pada tingkatan ini masyarakat tidak ikut serta
pada sebuah kegiatan.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi ibu mengikuti senam hamil adalah kurangnya
pengetahuan, kesibukan bekerja, rasa malas, tidak percaya diri dan banyaknya anak yang
membuat ibu sibuk merawat anaknya (Gaffar, 2009).
Partisipasi mengandung berbagai macam pengertian. Berdasarkan teori yang telah
dijelaskan dapat diketahui bahwa seseorang dikatakan berpartisipasi jika seseorang tersebut
pernah mengikuti suatu kegiatan meskipun hanya sekali. Sebaliknya seseorang dikatakan
tidak berpartisipasi jika orang tersebut tidak pernah mengikuti suatu kegiatan. Begitu pula
dengan ibu hamil yang dikatakan berpartisipasi mengikuti senam hamil adalah ibu hamil yang
pernah mengikuti senam hamil, baik mengikuti senam hamil secara teratur, maupun hanya
sekali mengikuti senam hamil. Sedangkan ibu hamil yang tidak berpartisipasi mengikuti senam
hamil adalah ibu hamil yang tidak pernah mengikuti senam hamil.
Partisipasi ibu hamil mengikuti senam adalah sebagai berikut. Berdasarkan tabel 4.3,
dapat dijelaskan bahwa hampir seluruhnya 13 orang (86,67%) adalah kelompok responden
yang bekerja dan tidak mengikuti senam hamil, dan sebagian besar 8 orang (61,54%) adalah
kelompok responden yang tidak bekerja dan mengikuti senam hamil.

Tabel 3 Distribusi Partisipasi Mengikuti Senam Hamil Menurut Status Pekerjaan
Di URJ Hamil II RSUD Dr. Soetomo Surabaya Tanggal 19 April 21 Mei 2010

Partisipasi senam hamil Jumlah

Pekerjaan Senam % Tidak
senam

% f %
Bekerja 2 13,33 13 86,67 15 100

Tidak
bekerja

8 61,54 5 38,46 13 100
Jumlah 10 35,71 18 64,49 28 100

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan uji Chi-Square diperoleh bahwa ibu
hamil yang bekerja lebih banyak tidak mengikuti senam hamil daripada mengikuti senam
hamil. Dari hasil uji hipotesis diperoleh p= 0,0111 dengan = 0,05; sehingga ditarik
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 247
kesimpulan yaitu ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti
senam hamil.
Menurut Wasistiono (2001), dinyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
seseorang tidak berpartisipasi adalah karena kesibukan pribadi dan banyak hal yang harus
dikerjakan. Brayshaw (2006), menyatakan bahwa kesibukan bekerja, mengasuh anak, dan
kemajuan teknologi membuat ibu hamil lebih memilih di rumah untuk menonton TV daripada
mengikuti senam hamil. Seseorang yang sibuk tidak akan dengan mudahnya mengikuti suatu
kegiatan tertentu jika banyak hal yang harus dikerjakan. Salah satu kesibukan tersebut adalah
pekerjaan. Seorang wanita yang bekerja pasti akan sibuk dengan pekerjaannya. Sebagian
besar waktu digunakan untuk bekerja sehingga tidak sempat untuk melakukan kegiatan lain.
Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak berpartisipasi
mengikuti senam hamil. Tuntutan ekonomi membuat ibu hamil giat bekerja agar mampu
memenuhi kebutuhan hidup, mencari makan dan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Berbagai macam pekerjaan dilakukan, seperti berjualan di pasar, menjadi pembantu rumah
tangga, dan ada pula sebagai buruh pabrik. Selain itu, tuntutan karir juga mendorong ibu hamil
untuk giat bekerja, karena dengan bekerja dapat menuangkan apresiasi seni dan bakatnya
sehingga dapat meningkatkan prestasi kerja. Selanjutnya meningkatnya prestasi kerja akan
meningkatkan pula jabatan dan gaji seseorang. Ibu hamil yang berkarir dapat
mengembangkan dirinya, hal tersebut membuat ibu hamil semakin tidak memiliki banyak
waktu luang untuk mengikuti senam hamil.
Adanya hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi mengikuti senam hamil
dikarenakan ibu hamil tersebut bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Selanjutnya dengan kesibukan pekerjaan tersebut membuat ibu hamil enggan atau bahkan
tidak mau mengikuti senam hamil. Semakin sibuk ibu hamil maka semakin enggan pula untuk
mengikuti senam hamil karena waktu yang mereka miliki semakin sedikit.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Sebagian besar ibu hamil adalah bekerja
2. Sebagian besar ibu hamil tidak berpartisipasi mengikuti senam hamil
3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan partisipasi ibu hamil mengikuti senam hamil.

Saran
Diharapkan ibu hamil dapat lebih menekankan latihan senam hamil, sehingga senam
hamil tidak hanya dapat dilakukan di tempat pelayanan kesehatan, tetapi juga dapat dilakukan
di rumah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2007.Pengertian Parstiipasi.www.partisipasi.com
Arikunto, S. 2007. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi VI. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Vol.I No.3 Juli 2010 ISSN: 2086-3098
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 248
Bandiyah, S. 2009. Kehamilan, Persalinan, dan Gangguan Kehamilan. Yogyakarta : Nuha
Medika
Brayshaw, E. 2007. Senam Hamil Dan Nifas Pedoman Praktis Bidan. Jakarta : EGC
Gaffar. 2009. Senam Hamil.www.senamhamil15.110mb.com (diakses 16 Maret 2010)
Hidayat, AA. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika
Indiarti, MT. 2008. Senam Hamil Dan Balita. Yogyakarta : Cemerlang Publishing
Margono, S. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta :Rineka Cipta
Marx, K. 2007. Konsep Pekerjaan Menurut Marx, www.Konsep-pekerjaan-menurut-marx.html
(diakses 23 Maret 2010)
Mufdlilah, 2009. Panduan Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. Yogyakarta: Nuha Medika
Nabila, 2009. Macam-macam Usaha Manusia Untuk Memenuhi Kebutuhannya.
http://www7aclass-7a.blogspot.com/2009/08/macam-macam-usaha-manusia-untuk.html
(diakses 23 Maret 2010)
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta
_________. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Nursalam, 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman
Skripsi, Tesis, Dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.
Rohman A, Putra Faktor, Riansyah L, dkk, 2009. Politik, Partisipasi, dan Demokrasi Dalam
Pembangunan. Malang : Averroes Press
Salmah, Rusmiati, Maryanah, dkk. 2006. Asuhan Kebidanan Antenatal. Jakarta : EGC
Saminem. 2008. Asuhan Kebidanan kehamilan Normal. Jakarta : EGC
Wasistiono, 2001. Psikologi Sosial. One.indoskripsi.com. (diakses 23 Maret 2010)

Anda mungkin juga menyukai