Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

HIV AIDS


CUT VANESSA
1102010061




PEMBIMBING
Dr. ARIADI HUMARDHANI SpPD

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD
PASAR REBO

Identitas Pasien
Nama : Tn. SF
Usia : 38 th
Alamat : Ciracas
No. RM : 567183
Agama : Islam
Tgl Masuk : 12-07-2014
Ruang Rawat : Melati

Keluhan Utama : Mual muntah lebih dari 5x sejak 3 jam SMRS
Keluhan tambahan : nyeri punggung, nafsu makan berkurang
Pasien datang dengan keluhan mual muntah lebih dari 5 kali dan nyeri punggung sejak 3
jam SMRS. Keluhan sudah dirasakan selama berbulan-bulan namun dirasakan memberat.
Pasien masih dalam pengobatan OAT selama 1 bulan karena menderita TB paru. Selain
itu pasien mengeluh kadang nafas sesak dan nafsu makan kurang. Pasien juga merasakan
adanya penurunan BB yang perlahan dan berarti. Pasien mengidap HIV AIDS. Riwayat
NAPZA (+), tattoo (+), miras (+), seks bebas (+). Asma, HT, DM, dan alergi obat disangkal
oleh pasien
Riwayat Penyakit Skrg : HIV (+), TB paru (+)
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien pernah mengalami mual muntah tapi tidak separah ini,
asma (-), HT (-), DM (-), alergi obat (-)
Riwayat Penyakit Keluarga: (-)
KU : baik
Kesadaran : CM
TD : 110/80 mmHg
TN : 88x/menit
RR : 20x/menit
S : 37
Kepala : normocephali
Mata : SI -/-, CA +/+
Mulut : Hiperemis (-), oral trush (+)
Leher : pemb. KGB (-), trakea di tengah
Thorax : cor : BJ I dan II reguler, Gallop (-),Murmur (-)
paru : inspeksi normal. Palpasi didapatkan fremitus vokal dan taktil melemah di
hemitoraks kanan. Perkusi didapatkan batas sonor-redup di hemitoraks kanan. Auskultasi paru
vesikuler (+), ronki (-), wheezing (-)
Abdomen : cekung, BU (+), nyeri tekan (+)
Ekstremitas : edema (-), hangat (+)
Pemeriksaan Penunjang
Tgl 12/07
Hb : 10 g/dL
Ht : 32%
Leukosit: 28.470
Eritrosit: 3.900.000
Trombosit: 662.000

SGOT : 18
SGPT : 12
Ureum : 18
Kreatinin: 0,77
eGFR : 119,5
GDS : 99
Na : 135 mmol/L
K : 3,2 mmol/L
Cl: 99

Tgl 18-07
Hb : 9,1 g/dL
Ht : 29%
Leukosit: 29.300
Eritrosit: 3.500.000
Trombosit: 560.000
CEA : 9,09

Tgl 20-07
Hb : 8,8 g/dL
Ht : 27%
Leukosit: 29.680
Eritrosit: 3.300.000
Trombosit: 603.000
Hasil CT scan thorax
Lesi isodens menyangat kontras infrahiler posterior dekstra
Lesi isodens hipodens tidak menyangat kontras di lapangan atas tengah bawah posterior dekstra
Kel. Peribronkhial bilateral membesar
Nodul-nodul di lapangan tengah bawah anterior dextra
Pembuluh darah sekitar mediastium baik. Aorta baik, tidak tampak dilatasi atau kalsifikasi.
Cor tidak membesar, tidak tampak pericardial effusion/ penebalan pleura
Lumen trakea, main bronkus, bronkus tidak menyempit.
Corakan bronkovaskular agak kasar

Kesan : massa di infrahiler posterior dextra dengan nodul multipel di pulmo anterior dextra.
Spesifik di pulmo dextra dan efusi pleura dextra
Diagnosa kerja : HIV AIDS dan TB paru dalam pengobatan TB paru

Tatalaksana :
IVFD RA/8jam
Ranitidin
Ondancentron
Paracetamol
Neurobion5000
Laxadin
Levofloxacin
Imipenem
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang
menyerang tubuh manusia seesudah system kekebalannya dirusak oleh virus HIV. Akibat
kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena bebrbagai jenis infeksi bakteri,
jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik.
Penyebaran AIDS dapat secara seksual, dan non seksual. Seksual berarti HIV ditularkan
melalui hubungan seks dengan penderita, dan non seksual bisa berupa transmisi parenteral yaitu
tattoo, jarum suntik, donor darah, dsb.
AIDS ditandai dengan penurunan CD4 yang berlangsung perlahan dari waktu ke waktu.
Semakin rendah CD4 ini, diketahui meningkatkan resiko penderita untuk terkena infeksi
oportunistik lain.
Pada Tn. SF, diketahui riwayat penggunaan NAPZA baik minum dan suntik (+), pasien juga
mengaku pernah bergantian memakai jarum tetapi hanya beberapa kali. Pasien juga pernah
memiliki riwayat berganti pasangan dalam melakukan hubungan seks bebas. Kedua hal ini
merupakan indikator kuat akan penyebaran HIV yang didapat oleh pasien.
Pasien juga didiagnosis TB paru beberapa bulan lalu yang merupakan sebuah infeksi
oportunistik yang sering ditemukan dalam komplikasi HIV AIDS. Selain itu, pasien juga
mengaku rentan terhadap suatu penyakit dan memakan waktu cukup lama untuk sembuh. Pasien
juga memiliki sariawan mulut yang tak kunjung sembuh.
Dari hitung CD4 didapatkan jumlah yang menurun dari normal.

TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
AIDS atau Sindrom Kehilangan Kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit
yang menyerang tubuh manusia seesudah system kekebalannya dirusak oleh virus
HIV. Akibat kehilangan kekebalan tubuh, penderita AIDS mudah terkena bebrbagai
jenis infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus tertentu yang bersifat oportunistik.

II. Etiologi

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk dalam family lentivirus. Retrovirus
mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk
membentuk virus DNA dan dikenali selam periode inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus yang lain, HIV menginfeksi tubuh dengan periode imkubasi yang panjang
(klinik-laten), dan utamanya menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV
menyebabkan beberapa kerusakan system imun dan menghancurkannya. Hal tersebut
terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasi diri.
Dalam prose itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit.
Secara struktural morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang
dikelilingi pembungkus lemak yang melingkar-melebar. Pada pusat lingkaran
terdapat untaian RNA. HIV mempunyai 3 gen yang merupakan komponen funsional
dan struktural. Tiga gen tersebut yaitu gag, pol, dan env. Gag berarti group antigen,
pol mewakili polymerase, dan env adalah kepanjangan dari envelope (Hoffmann,
Rockhstroh, Kamps,2006). Gen gag mengode protein inti. Gen pol mengode enzim
reverse transcriptase, protease, integrase. Gen env mengode komponen struktural HIV
yang dikenal dengan glikoprotein. Gen lain yang ada dan juga penting dalam replikasi
virus, yaitu : rev, nef, vif, vpu, dan vpr.



Envelope berisi:
a) lipid yang berasal dari membran sel host.
b) mempunyai 72 semacam paku yang dibuat dari gp 120 dan gp 41, setiap paku
disebut trimer dimana terdiri dari 3 copy dari gp 120, gp 41.
c) Protein yang sebelumnya terdapat pada membran sel yang terinfeksi.
d) gp 120 : glikoprotein yang merupakan bagian dari envelope (sampul) yang
tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang
berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari permukaan target sel dan
secara tidak langsung berhubungan dengan membran virus lewat membran
glikoprotein.
e) gp 41 : transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran
virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus dan
membawa HIV masuk ke sel host.
f) RNA dimer dibentuk dari 2 single strand dari RNA.
g) Matrix protein : garis dari bagian dalam membran virus dan bisa memfasilitasi
perjalanan dari HIV DNA masuk ke inti host.
h) Nukleocapsid : mengikat RNA genome.
i) Capsid protein : inti dari virus HIV yang berisikan 2 kopi dari RNA genom dan 3
macam enzim (reverse transcriptase, protease dan integrase).


Siklus Hidup HIV
Sel pejamu yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek; hal ini
berarti HIV secara terus-menerus menggunakan sel pejamu baru untuk mereplikasi
diri. Sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan
tertangkap oleh sel dendrite pada membrane mukosa dan kulit pada 24 jam pertama
setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan
kadang-kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah papran, dimana
replikasi virus menjadi semakin cepat.
Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase, yaitu :
Masuk dan mengikat
Reverse transkripstase
Replikasi
Budding
Maturasi
III. Epidemiologi

Penyakit ini pertama sekali timbul di Afrika, haiti dan America Serikat pada tahun
1978. Pada tahun 1979 Amerika serikat melaporkan kasus- kasus sarkoma kaposi dan
penyakit- penyakit infeksi yang jarang terjadi di Eropa. Sampai saat ini belum
disadari oleh para ilmuwan bahwa kasuskasus adalah kasus AIDS.
Pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan kasuskasus sarkoma kaposi dan
penyakit infeksi yang jarang terdapat dikalangan homoseksual. Hal ini menimbulkan
dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.
Ada 2 tipe HIV yang menyebabkan AIDS: HIV-1 yang HIV-2. HIV-1 bermutasi
lebih cepat karena reflikasi lebih cepat. Berbagai macam subtype dari HIV-1 telah d
temukan dalam daerah geografis yang spesifik dan kelompok spesifik resiko tinggi
Individu dapat terinfeksi oleh subtipe yang berbeda. Berikut adalah subtipe HIV-1
dan distribusi geografisnya:
Sub tipe A: Afrika tengah
Sub tipe B: Amerika selatan,brasil,rusia,Thailand
Sub tipe C: Brasil,india,afrika selatan
Sub tipe D: Afrika tengah
Sub tipe E:Thailand,afrika tengah
Sub tipe F: Brasil,Rumania,Zaire
Sub tipe G: Zaire,gabon,Thailand
Sub tipe H: Zaire,gabon
Sub tipe O: Kamerun,gabon
Sub tipe C sekarang ini terhitung lebih dari separuh dari semua infeksi HIV baru d
seluruh dunia.
Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Menurut Provinsi
No. Provinsi HIV AIDS
1 DKI Jakarta 20126 5118
2 Jawa Timur 10781 4663
3 Papua 8000 4469
4 Jawa Barat 6092 4043
5 Bali 5062 2582
6 Jawa Tengah 3842 1630
7 Kalimantan Barat 3268 1269
8 Sulawesi Selatan 2602 930
9 Riau 1130 731
10 DI Yogyakarta 1482 536
11 Sumatera Utara 5405 515
12 Sumatera Barat 596 428
13 Kepulauan Riau 2380 409
14 Banten 2394 408
15 Sulawesi Utara 1620 361
16 Nusatenggara Timur 1174 342
17 Jambi 274 302
18 Sumatera Selatan 1034 260
19 Nusatenggara Barat 464 241
20 Maluku 733 195
21 Lampung 509 192
22 Papua Barat 1473 173
23 Bengkulu 128 155
24 Bangka Belitung 230 122
25 NAD 63 95
26 Kalimantan Tengah 94 95
27 Sulawesi Tenggara 87 80
28 Kalimantan Selatan 135 27
29 Maluku Utara 95 17
30 Gorontalo 20 16
31 Kalimantan Timur 1443 14
32 Sulawesi Tengah 106 12
33 Sulawesi Barat 28 0

Jumlah 82870 30430

IV. Cara penularan

Transmisi Penyakit AIDS
Penularan AIDS dapat dibagi dalam 2 jenis :
Secara Kontak Seksual
1. Ano-Genital Cara hubungan seksual ini merupakan perilaku seksual dengan resiko
tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi kaum mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari pengidap HIV.
2. Ora-Genital
Cara hubungan ini merupakan tingkat resiko kedua, termasuk menelan semen dari
mitra seksual pengidap HIV.
3. Genito-Genital / Heteroseksual
Penularan secara heteroseksual ini merupakan tingkat penularan ketiga, hubungan
suami istri yang mengidap HIV, resiko penularannya, berbeda-beda antara satu
peneliti dengan peneliti lainnya.

Secara Non Seksual
Penularan secara non seksual ini dapat terjadi melalui :
1. Transmisi Parenteral
Penggunaan jarum dan alat tusuk lain (alat tindik, tatto) yang telah terkontaminasi,
terutama pada penyalahgunaan narkotik dengan mempergunakan jarum suntik yang
telah tercemar secara bersama-sama. Penularan parental lainnya, melalui transfusi
darah atau pemakai produk dari donor dengan HIV positif, mengandung resiko yang
sangat tinggi.
2. Transmisi Transplasental
Transmisi ini adalah penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak,
mempunyai resiko sebesar 50%. Disamping cara penularan yang telah disebutkan di
atas ada transmisi yang belum terbukti, antara lain:
1. ASI
2. Saliva/Air liur
3. Air mata
4. Hubungan sosial dengan orang serumah
5. Gigitan serangga
Walaupun cara-cara transmisi di atas belum terbukti, akan tetapi karena prevalensi
HIV telah demikian tinginya di Amerika Serikat, maka tetap dianjurkan :
1. Ibu yang mengidap supaya tidak menyusui bayinya.
2. Mengurangi kontaminasi saliva pada alat seduditasi pada saat berciuman dan pada
anak-anak yang mengidap HIV yang menderita gangguan jiwa dan sering digigit
serangga.
3. bagi dokter ahli mata dianjurkan untuk lebih berhati-hati berhubungan dengan air
mata pengidap HIV.

Perlu diketahui AIDS tidak menular karena :
1. Hidup serumah dengan penderita AIDS (Asal tidak berhubungan seksual)
2. Bersentuhan dengan penderita.
3. Berjabat tangan.
4. Penderita AIDS bersin atau balik di dekat kita.
5. Bersentuhan dengan pakaian atau barang lain dari bekas penderita.
6. Berciuman pipi dengan penderita.
7. Melalui alat makan dan minum.
8. Gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
9. Bersama-sama berenang di kolam.

V. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T helper/induser yang
mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-
fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada
sistem kekebalan tersebut, yaitu sel limfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada
molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian
dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA agar dapat bergabung
dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang
bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan
berlangsung seumur hidup.

Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun
akan menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel limfosit T4. setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan
terlihat gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara
terinfeksinya HIV dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6
bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan
pada orang dewasa.
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi.
HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.

Patofisiologi
Peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit dan
makrofag, membuat sel T penolong dapat dianggap sebagai tombol utama sistem
imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan atau
melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus ini
juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan kadang-
kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan kapasitas
intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut,
dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya
berlangsung selama 8-10 tahun.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel
setiap hari. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang
tinggi, untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit
CD4 sekitar 109 setiap hari.

VI. Manifestasi Klinis
Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for
Disease Control and Prevention (CDC). Awalnya CDC tidak memiliki nama resmi
untuk penyakit ini; sehingga AIDS dirujuk dengan nama penyakit yang berhubungan
dengannya, contohnya ialah limfadenopati. Para penemu HIV bahkan pada mulanya
menamai AIDS dengan nama virus tersebut. CDC mulai menggunakan kata AIDS
pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini. Tahun 1993,
CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan semua orang yang
jumlah sel T CD4
+
di bawah 200 per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya
sebagai pengidap positif HIV. Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan
kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis
terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4
+
meningkat di atas
200 per L darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada
telah sembuh.


Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO

Klasifikasi Stadium klinis WHO
Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4

Stadium Klinis WHO untuk HIV
a, b

Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
a

Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus


Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat
terhadap terapi standar
a

Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )
a

Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5
o
C intermiten atau
konstan, > 1 bulan)
a

Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm
3
) atau
trombositopenia (<50 000/ mm
3
)
Stadium klinis 4
b

Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standar
a

Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi
tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di
lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,
dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy














VII. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Jumlah CD4
Kecepatan penurunan CD4 (baik jumlah absolut maupun persentase CD4) telah
terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah
CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan
penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih
menggambarkan progresifitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral load,
meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama
infeksi.

Viral Load Plasma
Kecepatan peningkatan Viral load (bukan jumlah absolut virus) dapat dipakai
untuk memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load meningkat secara
bertahap dari waktu ke waktu. Pada 3 tahun pertama setelah terjadi serokonversi,
viral load berubah seolah hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS pada
masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik
akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai
petanda progresivitas penyakit.

Testing HIV
Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
menunjukkan adanya antibodi spesifik. Berbeda dengan virus lain, antibodi
tersebut tidak mempunyai efek perlindungan. Pemeriksaan secara langsung juga
dapat dilakukan, yaitu antara lain dengan melakukan biakan virus, antigen virus
(p24), asam nukleat virus.
Pemeriksaan adanya antibodi spesifik dapat dilakukan dengan Rapid Test Enzime
Linked Sorbent Assay (ELISA) dan Western Blot. Sesuai dengan pedoman
nasional, diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapid Test
yang berbeda atau 2 jenis pemeriksaan Rapid Test yang berbeda dan 1
pemeriksaan ELISA.
Setelah mendapat infeksi HIV, biasanya antibodi baru terdeteksi setelah 3 12
minggu, dan masa sebelum terdeteksinya antibodi tersebut dikenal sebagai
periode jendela. Tes penyaring (antibodi) yang digunakan saat ini dapat
mengenal infeksi HIV 6 minggu setelah infeksi primer pada sekitar 80% kasus,
dan setelah 12 minggu pada hampir 100% kasus. Sehingga untuk mendiagnosis
HIV pada periode jendela dapat dilakukan dengan pemeriksaan antigen p24
maupun Polymerase Chain Reaction
1. Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan uji antibody terhadap antigen virus
struktural. Hasil positif palsu dan negative palsu jarang terjadi.
2. Untuk transmisi vertical (antibody HIV positif) dan serokonversi (antibody
HIV negative), serologi tidak berguna dan RNA HIV harus diperiksa.
Diagnosis berdasarkan pada amflikasi asam nukleat.
3. Untuk memantau progresi penyakit, viral load (VL) dan hitung CD4
diperiksa secara teratur (setiap8=12 minggu). Pemeriksaan VL sebelum
pengobatan menentukan kecepatan penurunan CD4, dan pemeriksaan
pascapengobatan (didefinisikan sebagai VL <50 kopi/mL). menghitung CD4
menetukan kemungkinan komplikasi, dan menghitung CD4 >200
sel/mm
3
menggambarkan resiko yang terbatas. Adapun pemeriksaan
penunjang dasar yang diindikasikan adalah sebagai berikut :

Semua pasien CD4 <200 sel/mm
3

Antigen permukaan HBV
*
Rontgen toraks
Antibody inti HBV
+
RNA HCV
Antibody HCV Antigen kriptokukus
Antibody IgG HAV OCP tinja
Antibody Toxoplasma
Antibody IgG sitomegalovirus CD4 <100 sel/mm
3

Serologi Treponema PCR sitomegalovirus
Rontgen toraks Funduskopi dilatasi
Skrining GUM EKG
Sitologi serviks (wanita) Kultur darah mikrobakterium
HAV, hepatitis A, HBV, hepatitis B, HCV, hepatitis C
*Antigen/antibody e HBV dan DNA HBV bila positif.
+ Antibodi permukaan HBV bila negative dan riwayat imunisasi
Bila terdapat kontak/riwayat tuberculosis sebelumnya, pengguna obat suntik
dan pasien dari daerah endemic tuberculosis.

4. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang
digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi
yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3
bulan setelah infeksi.

5. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV
dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

6. PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
a. Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang
dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan
menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan
penyakit tersebut. Zat kekbalan itulah yang diturunkan pada bayi
melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-
olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering
merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).
b. Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
c. Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d. Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas
rendah untuk HIV-2.

7. Serosurvei, untuk mengetahui prevalensi pada kelompok berisiko,
dilaksanakan 2 kali pengujian dengan reagen yang berbeda.

8. Pemeriksaan dengan rapid test (dipstick).

VIII. Pengelolaan HIV

Indikasi ARV
ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah
ditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi berikut :
1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350/mm3

4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 mm3

Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinik)
tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III, bila tersedia sarana
pemeriksaan CD4 akan sangat membantu untuk menentukan saat pemberiaan terapi
yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan dengan jumlah CD4
berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan baik (misalnya
>350/mm3), maka terapi dapat ditunda dengan meneruskan pemantauan pasien secara
klinis. Nilai ambang untuk kondisi Stadium III adalah 350/mm3 karena pada nilai
nilai dibawahnya biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan
penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien
dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4<200/mm3merupakan indikasi pemberian
terapi. Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai
indikator pemberian terapi pada infeksi HIV simptomatik adalah jumlah limfosit total
1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II). Sedangkan pada pasien
asimptomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun
bila dalam stadium simptomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda prognosis dan
harapan hidup. Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA
HIV-1 dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak
direkomendasikan oleh WHO sebagai tindakan rutin untuk memandu pengambilan
keputusan terapi karena mahal dan pemeriksaannya rumit. Diharapkan pada masa
mendatang dapat berkembang cara pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau
sehingga cara memantau pengobatan tersebut dapat diterapkan secara luas.Perlu
diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV menurut WHO bagi orang dewasa
tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan memiliki keterbatasan
tetapi masih bermanfaat untuk menentukan indicator untuk memulai terapi.









Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini.
Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan
limfosit CD4 dan memperbaiki kualitas hidup penderita yang pada gilirannya akan dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas. Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka
kompleksitas antara pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis.
Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi
mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan integrasi
hubungan antara kepekaan mikroba dengan farmakokinetik pasien. Untuk menjamin tercapainya
target terapi, interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba harus tercapai
A. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
B. Penghambat reverse transcriptase enzyme
B.1 Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)
analog nukleosida
analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
analog adenin : didanosine (ddI)
analog guanin : abacavir(ABC)
analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
B.2. Nonnukleosida (NNRTI) yaitu
nevirapin (NVP)
efavirenz (EFV)
C. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
saquinavir (SQV)
indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)


Mekanisme Kerja ARV
A. Penghambat masuknya virus kedalam sel
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga
fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
B. Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI)
1. Analog nukleosida ( NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan
selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan
RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
2. Analog nukleotida (NtRTI)
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi
hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
3. Non nukleosida (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforillasi intraseluler tetapi berikatan langsung
dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas
antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
C. Protease inhibitor (PI)
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa
pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus
yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang
potensial

Zidovudin
(ZDV, AZT, Retrovir)
Sediaan dalam bentuk tablet 300 mg dan kapsul 100 mg, sirup 10 mg/ml, suntikan IV 10 mg/ml
Dosis 300 mg lewat oral tiap 12 jam dengan atau tanpa makan.
Sediaan kombinasi Duviral mengandung ZDV 300 mg/3TC 150 mg/tab.
Dosis Duviral 1 tablet peroral tiap 12 jam.
Efek samping: mual/muntah, sakit kepala, kembung, anemia, neutropenia, mialgia, miopati,
artralgia, peningkatan transaminase. Pemberian bersama makanan mengurangi mual. Perhatian :
monitor hematokrit, leukosit, tes fungsi hati.

Didanosin (ddI, Videx)
Bentuk sediaan tablet salut enterik yang dapat diberikan sebagai dosis tunggal
Dosis: >60kg, 400 mg per oral sekali sehari
Dosis: <60kg, 250 mg per oral sekali sehari
Efek samping : diare, neuropati perifer, pankreatitis, enzim transaminase dan
neuropati perifer.
Perhatian :
Obat diberikan tidak bersama makanan.
Monitor fungsi hati, amilase/lipase,
Hati-hati pemberian bersama dengan obat yang menyebabkan pankreatitis.

Stavudin
(d4T, Zerit)
Bentuk sediaan kapsul: 15, 20, 30, 40mg, larutan 1mg/ml
Dosis: >60kg, 40 mg per oral tiap 12 jam dengan / tanpa makanan.
Dosis: <60kg, 30 mg per oral tiap 12 jam
Efek samping : neuropati perifer, peningkatan enzim transaminase, laktat asidosis, gejala saluran
cerna, dan lipoatrophy.
Perhatian : Tidak aman digunakan dengan didanosin.

Lamivudin
(3TC, Hiviral)
Bentuk sediaan tablet: 150mg /300mg(HIV), 100mg (hepatitis B)
Dosis: 150 mg peroral tiap 12 jam atau 300 mg peroral sekali sehari <50kg: 2mg/kg peroral tiap
12 jam dengan/ tanpa makanan.
Obat ini merupakan obat yang sangat dapat ditoleransi, tapi mudah terjadi resistensi.
Obat ini dapat digunakan untuk hepatitis B.

Abacavir
(ABC, Ziagen)
Sediaan tablet: 300 mg
Dosis: 300 mg tiap 12 jam dengan / tanpa makanan, atau 600 mg sekali sehari.
Efek samping: mual, muntah, diare, nyeri perut, dan reaksi hipersensitivitas (5%)
Perhatikan tanda-tanda alergi: demam, mual atau lelah, dengan atau tanpa ruam. Jangan pernah
diulangi jika terjadi alergi karena bisa timbul shok anafilaksis. Informasikan secara rinci
mengenai kemungkinan dan tanda alergi dan lakukan monitoring ketat terhadap reaksi
hipersensitivitas.
Nelfinavir
Sediaan tablet 250 mg.
Dosis tiap 12 jam 1250 mg (5 tablet) dimakan bersama makanan atau sesudah makan.
Metabolisme melalui jalur P 450 3A4
.Efek samping : diare sering timbul setelah dosis awal, dalam bentuk intermiten dan biasanya
tidak disertai dengan keluhan yang lain. Diare tersebut memberikan respon yang baik terhadap
loperamide, bisa dicoba dengan kalsium karbonate.

Tenofovir DF (Viread)
Sediaan tablet 245 mg
Dosis: 245 mg lewat oral sekali sehari dengan atau tanpa makanan.
Efek samping: Fanconis syndrome dengan disertai renal toksisitas.
Obat ini dapat digunakan untuk hepatitis B. Kurangi dosis ketika digunakan dengan tenofovir.

Efavirenz
(EFV, Sustiva, Stocrin)
Bentuk sediaan kapsul: 50, 100, 200, 600 mg
Dosis: 600 mg peroral sekali sehari dengan/tanpa makanan
Efek samping: susunan saraf pusat (SSP): mimpi buruk , susah konsentrasi, pusing, insomnia,
ruam. Gejala SSP biasanya terjadi,tapi akan membaik dalam 7-14 hari; T1/2 40-55 jam; CYP 3A
inducer.
Perhatian :Jangan diberikan pada wanita hamil karena menimbulkan teratogenik.

Nevirapine
(NVP, Viramune)
Bentuk sediaan tablets: 200 mg
Dosis : 200 mg peroral sekali sehari 14 hari, lalu 200 mg dengan/tanpa makanan
Efek samping: ruam yang berat, demam, ganggguan saluran cerna, peningkatan transaminase
Perhatian : Pemberian 200 mg dosis tunggal untuk 2 minggu pertama mengurangi kemungkinan
alergi; periksa fungsi hati tiap 2 minggu untuk 2 bulan pertama, selanjutnya tiap bulan untuk 3
bulan berikutnya.

Saquinavir
(SQV-HGC, Invirase; SQV-SGC, Fortovase FTV)
Bentuk sediaan soft-gel kapsul (Fortovase) 200 mg
Hard-gel kapsul (Invirase) 200 mg.
Dosis: FTV 1200 mg peroral tiap 8 jam dengan makanan atau FTV 1000 mg / RTV
100 tiap 12 jam. Efek samping: pada saluran pencernaan, nyeri abdominal, ruam.

Enfuvirtide (T-20)
Amino-acid synthetic peptide inhibits HIV-1 gp41
Dosis: 90 mg 2 kali sehari (subkutan).
Efek samping: Reaksi pada tempat suntikan, diare, nausea, sakit kepala, reaksi
hypersensitivitas (jangan diberikan lagi bila ada gejala hipersensitivitas.)

Kaletra (lopinavir + ritonavir)
Sediaan tablet yang mengandung lopinavir 200 mg dan ritonavir 50 mg, sedangkan kapsul
mengandung lopinavir 133 mg dan ritonavir 33 mg. Dosis satu kali sehari untuk pasien yang
baru pertama kali menerima terapi ARV atau dua kali sehari untuk penderita yang telah
menggunakan ARV sebelumnya. Kaletra dapat diminum dengan atau tanpa makanan. Anak-anak
berusia 6 bulan sampai 12 tahun dapat diberi Kaletra dengan dosis sesuai dengan berat badan.
Efek samping yang paling umum adalah defekasi abnormal, lelah-lemah, diare, mual dan
muntah. Anak-anak sering mengalami ruam.
Efek samping lain hepatitis, pancreatitis, hyperlipidemia, ddiabetes, lipodistropi. Obat yang
perlu dihindari diberikan bersama kaletra karena dapat menimbulkan interaksi adalah cisaprid,
rifampin, ergotamine, astemizol, terfenadin, bepridil, vorikonazol.
Rejimen ARV Lini Pertama bagi ODHA dewasa
Rejimen ARV Lini-Pertama bagi ODHA dewasa sebagai berikut :

ZDV + 3TC + NVP
Toksisitas utama yang dapat terjadi pada pemberian rejimen ARV lini-pertama ini adalah:
intoleransi gastrointestinal dari ZDV, anemia,netropenia; hepatotoksisitas NVP, dan ruam kulit
berat
Rejimen ARV lini-kedua bagi ODHA dewasa/remaja diberikan pada kegagalan terapi pada
rejimen lini-pertama, sebagai berikut :
TDF atau ABC + ddl + LPV/r atau SQV/r
Catatan :
a. Dosis ddl harus dikurangi menjadi 250 mg bila diberikan bersama TDF.
b. LPV/r dan SQV/r memerlukan cold chain (Cold chain adalah semacam container
untuk membawa obat/vaksin yang harus dalam keadaan suhu sekitar 50C)

IX. Pencegahan HIV

1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang
tidak terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang
tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

DAFTAR PUSTAKA

1. Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series
2. Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1993. Mikrobiolog
Kedokteran. Jakarta Barat: Binarupa Aksara
3. Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
4. Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series
5. Kandal, B.K. dkk., 2004, Penyakit Infeksi Edisi ke-6, Erlangga, Jakarta.
6. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-fazidah4.pdf diunduh pada tanggal 29
April 2013 Pukul 13.14 WIB
7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31728/4/Chapter%20II.pdf diund
uh pada tanggal 29 April 2013 Pukul 13.17 WIB

Anda mungkin juga menyukai