Duduk di pojok bangku deretan belakang tepat di samping jendela kaca yang tembus pandang langsung menuju kelasnya. Dari sana pula aku mulai mengenal paras cantiknya dari balik jendela kaca kelas ini. Saat yang aku nantikan akhirnya tiba juga, dia keluar meninggalkan kelasnya. Kedua bola mataku langsung tertuju padanya. Entah mengapa jiwaku tiba-tiba berguncang tak karuan kala ku tatap dia berjalan dengan tenang pergi meninggalkan kelasnya. Itu mungkin karena ku pandang bibir tipisnya yang merah dan selalu basah, serta matanya yang indah itu, yang seakan-akan mengajaku tenggelam ke dalam keindahanya. Andi tolong perhatikan ibu jika ibu sedang menerangkan! ucap ibu Iin dengan lantangnya padaku. Kata-kata tersebut seakan memaksaku untuk memalingkan pandanganku dari DIA. Iya bu! jawabku sambil menundukan kepala ke arah meja kayu yang penuh akan coretan-coretan yang tak pernah aku ketahui siapa pengarangnya. Bell istirahat kedua telah berbunyi, bu Iin pun harus terpaksa mengakhiri pelajaran matematikanya kali ini. para siswa ada yang sebagian pergi kelur kelas.
Andi kekantin yuk! ajak Abu, teman sebangku ku Ayo..! aku juga lagi haus nih Kami pun pergi menuju kantin, saat berjalan menuju kantin tak ku sangka aku akan bertemu dengan dia. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang bagaikan genderang perang dan kepalaku seakan di hujani jutaan ton bongkahan es dari kutub utara, kala melihat dia berjalan ke arahku dan dia menatap wajahku. Mataku seakan tak henti-hentinya memandangi paras cantiknya dan rambutnya yang ia biarkan jatuh bergeraian di keningnya yang menambah elok parasnya bagaikan bidadari surgawi yang jatuh ke bumi. Jarak antara dia dan aku semakin dekat mungkin hanya sekitar dua meter saja. Di dalam otak ku sudah terencana untuk menyapanya namun lidahku seakan sudah mencapai titik bekunya, seakan terasa begitu beku dan begitu sulit untuk menyebut namanya dan hanyalah senyum yang dapat aku layangkan padanya sebagai isyarat cintaku padanya. Tak ku duga dia juga melemparkan senyuman padaku sembari berjalan berpapasan dengan tubuhku. Darahku terasa terpompa begitu keras dan mengalir begitu cepatnya dari ujung kaki ke ujung kepala ketika kulihat senyumnya yang manis itu. Bel tanda pulang sekolah telah berbunyi tapi pikiranku masih saja tersandera kejadian pada istirahat kedua itu. Seakan senyumnya tadi tak mau lari dari dalam pikiranku. Sudah tiga bulan aku mengagumi dia dari balik jendela kaca kelas ini, melihatnya tertawa riang bersama teman-temanya. Dan selama tiga bulan ini aku hanya tuhu namanya dan kabar tentang orang tuanya yang sangat kaya, itu pun bukan dari hasil dari perkenalanku atau perbincanganku dengan dia, tetapi hasil mencari tahuku dari teman-temanku. Mungkin rasa cinta ini tak akan pernah tersampaikan padanya, jurang ekonomi di antara dia dan aku terpampang begitu dalamnya. kata teman-temanku dia adalah anak seorang pengusaha batu bara yang kaya raya sedangkan aku hanyalah anak seorang buruh serabutan, dapat bersekolah dalam SMA ini saja sudah beruntung bagiku, apa mungkin aku dapat mendapatkan dia. mungkin memang benar kata orang kalau orang miskin sepertiku haram untuk pacaran. Aku memang tak pantas bagi dia, mana mungkin anak seorang buruh serabutan dapat bersama dengan dia, tapi tak mengapa lah, biar aku simpan perasan ini dalam hati, biarlah ku pendam rasa cintaku ini dari balik jendela kaca kelas ini. Karena cinta terkadang memang tak harus memiliki. Maka biarkanlah hanya aku dan jendela kelas ini yang tahu perasan cinta ini.