Ita adalah seorang gadis yang sangat suka berolahraga. Pagi ini ada pelajaran olahraga, entah kali ini olahraga apa, yang jelas Ita menyukai semua jenis olahraga dan dia cukup yakin dengan kemampuan olahraganya, terutama dalam hal olahraga yang harus berlari. walau ia sudah berhari- hari tidak olahraga karena terlalu sibuk dengan tugas sekolah yang banyak. Aku pergi dulu! teriak Ita sebelum berangkat ke sekolah Hati-hati di jalan! balas Ibu Ita Bel sudah berbunyi, untungnya Ita tidak terlambat datang ke sekolah. Darimana aja sih, Ta? kita uda disuruh kumpul di lapangan sama Pak Duku, buruan ganti baju, jangan lama, ya! Omel teman sebangku Ita, Ona, yang dari tadi menunggu Ita. Iya, sori deh aku telat. Eit, hampir telat, kata Ita sambil bercanda Udah, gak usah banyak omong, cepat ganti baju! balas Ona Ita segera mengganti seragamnya dengan seragam olahraga. Lalu, mereka pergi ke lapangan olahraga. Baiklah, anak-anak, hari ini kita akan bermain basket dan belajar shooting, tapi sebelumnya kita akan melakukan pemanasan terlebih dahulu, kata pak Duku Yess, sesuai prediksiku, hari ini olahraga basket, kata Ita dalam hati. Kali ini, kita akan melakukan pemanasan dengan lomba lari, yang lari paling akhir akan berlari 4-5 kali lagi. kata pak Duku lagi Apa?! Semua anak-anak kelas 7 kaget, termasuk Ita Kok begitu sih, pak? keluh salah satu murid kelas 7 Yah, ini agar bapak bisa tahu kemampuan kalian dan melihat apakah kalian serius olahraga atau tidak. kata pak Duku dengan santainya Tentu saja semua murid kelas 7 tidak ingin mendapat hukuman. Atur barisan, kita akan memulainya dari barisan pertama. Setelah semua barisan sudah rapi, Pak Duku segera memulai lomba ini. Oke, kita mulai. 12..3! Murid dari barisan pertama berlari dengan sangat kencang, sampai-sampai cukup sulit untuk menentukan pemenang pertama. Yang sampai terakhir di barisan pertama segera lari 4 kali! perintah pak Duku Sekarang giliran barisan kedua. Kini giliran barisan Ita. Akhirnya kata Ita dalam hati 1..23! Ita mulai berlari, namun ia dapat melihat bahwa teman-temannya berlari lebih cepat. Ia tidak ingin kalah dari teman-temannya, sehingga Ita nekad meningkatkan kecepatan larinya meskipun ia mulai kehabisan nafasnya. Ketika Ita hampir masuk ke garis finish, tiba-tiba ia tersandung sesuatu dan terjatuh dalam posisi yang salah. Ita menyadari ada sesuatu yang ganjil di kakinya. Ketika Ita mencoba berdiri, kedua kaki Ita tidak bisa di gerakkan. Ita pun panik, tapi pak Duku tidak menghiraukan Ita, ia menyuruh Angga dari grup laki-laki untuk menolong Ita dan membawanya ke pinggir lapangan. Angga pun segera berlari kearah Ita. Ta, kamu nggak apa-apa? Bisa berdiri? Tanya Angga Aku nggak bisa gerakkin kakiku, Ga. Angga segera memanggil teman laki-laki yang lain untuk membantunya membawa Ita pergi ke pinggir lapangan. Setelah Ita berada di pinggir lapangan, Angga mencoba memeriksa kaki Ita. Ta, kakimu uda bisa digerakkin? Tanya Angga Masih nggak bisa, Ga. Rasanya kakiku patah Ahh, kamu kok manja gini sih, Ta? Nggak mungkin jatuh terus tiba-tiba patah! Aku juga nggak tau, Ga. Soalnya nggak bisa digerakkin sama sekali, kalau aku maksa gerakkin, sakit, Ga. Angga memberitahu keadaan Ita kepada Pak Duku, tapi Pak Duku tidak menghiraukannya. Ia justru tetap melanjutkan pemanasan sampai selesai. Lalu, Pak Duku menghampiri Ita. Kenapa kamu, Ta? Pak, kayaknya kaki saya patah. Ah, nggak mungkin kaki kamu patah, mungkin keseleo aja. Coba ditekuk. Ita mencoba menekukkan kakinya dengan bantuan Pak Duku. Aduduh, sakit, pak! Erang Ita Ketika Pak Duku meluruskan kaki Ita, kaki Ita menjadi pendek sebelah. Pak.. kayaknya lebih baik saya memberitahu orang tua saya untuk diperiksa lebih lanjut. Pak Duku hanya mengangguk khawatir dengan wajah pucat. Setelah orangtua Ita tahu keadaan Ita, ibu Ita segera menjemput dan membawanya ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Ternyata perkiraan Ita benar, kakinya patah dan tidak ada yang percaya pernyataannya. Ita harus dirawat di rumah sakit. Beberapa hari telah berlalu, setelah Ita keluar dari rumah sakit, Ita harus berjalan menggunakan tongkat karena kakinya belum pulih total. Kejadian itu membuat Ita berubah, Ita sudah tidak menyukai olahraga seperti dulu. Ita menjadi benci olahraga. Ita berharap, kata olahraga itu bisa musnah beserta ingatan traumanya ini. Ita berpikir keadaanya seperti ini karena kesalahan guru olahraganya yang tidak mempedulikan keadaannya saat itu dan malah memperparah keadaannya.