Nina....ninaaaa....nina....ayo bangun.liat ini sekarang sudah jam berapa ? Nanti dihukum lagi loh. Gak kapok emang tiap hari dihukum? Ya, itu lah kata yang bisa dikatakan andalan mama setiap pagi untuk membangunkanku. Oh iya, kenalin dulu aku Vanina Clarisse Anthalia. Panjang ya? Duh, maaf. Tapi tenang kok, kalian bisa panggil aku Nina. Aku sekarang kelas 11 di salah satu sekolah menengah atas negeri yang cukup terkenal di kota Tarakan. Aku memang bisa dikatakan anak yang sering terlambat datang ke sekolah, padahal aku sudah bangun cukup pagi loh bayangkan setiap hari harus bangun jam 5 subuh. Melelahkan bukan? Ketukan mama di pintu kamar mandi membuatku kembali ke kegiatan mandiku. Segera saja, aku membuka pintu dan langsung melesat ke kamar untuk memakai seragam sekolahku. astaga.....hari ini ada mapel matematika dan itu berarti hari ini peernya DIKUMPUL.. Sial aku lupa lagi, aku harap Nathan sudah mengerjakan tugasnya. Karena ada peer yang belum ku kerjakan dan harus hari ini juga dikumpul. Mau tidak mau aku harus cepat-cepat berangkat ke sekolah. Bang maman pun sudah hapal betul kebiasaanku yang satu ini. Beliau hanya berkata mau nyalin peer mas nathan lagi non? iya nih bang. Ayo gih cepetan nanti keburu bel masuk. *** Nathaaaaaaaan.........Nathaaaaaan......gawat-gawat. Kataku seraya berlari ke arah meja cowok berkacamata yang tengah sibuk dengan buku fisika tebalnya. Than......liat Nina ngomong dong. apa sih Nin, ambil gih di tas peer math. Gue tau lu pasti lupa kan? Apa sih yang ada di otak lu?. Begitulah kata-kata pedas Nathan Francisco Wijaya, cowok berkacamata dan berlesung pipi yang sudah menjadi sahabatku sejak kelas 3 SD. Awal persahabatan kami pun lucu. Aku tak sengaja menabrak Nathan hingga bekal makananya tumpah, Nathan yang tak terima pun langsung memarahiku. Karena tak tahan mendengar nada-nada tingginya aku pun langsung menangis, masih ku ingat jelas wajah panik Nathan saat melihatku menangis. Lucu sekali hahahahaha. Ia pun terlihat bingung dan langsung meminta maaf kepadaku. Mulai dari persitiwa itu, kami bagaikan perangko dan lem. Setiap ke kantin berdua begitu juga ke perpustakaan, toko buku , pulang sekolah sampai jajan bareng. Bahkan kami sempat dikira pacaran. Nathan dan aku sudah membuat perjanjian. Tidak ada percintaan dalam persahabatan ini. Aku tidak mau kehilangan sahabat gara-gara cinta, menyedihkan sekali. Setelah mendapat buku tugas matematika Nathan, aku pun langsung bergegas ke tempat duduk dan sibuk menyalin catatanya. Goresan-goresan angka di buku Nathan bahkan lebih bagus dari pada punyaku. Sebenarnya belajar menulis dari mana sih nih anak? Nin, lu ngerti gak tulisan gue? jangan asal nyalin aja. Perhatiin cara kerjanya, dimengerti juga ya. Teriak Nathan dari bangkunya. aelah, itu gak penting sekarang ini. yang penting ibu Miller gak ngamuk sama gue lagi. Omelku sambil tetap berkutat dengan simbol-simbol intergral yang mampu membuat roti yang kumakan tadi pagi tergilas habis di perut. sama aja nin,kalau disuruh maju lagi. Lu tetep gak bisa ngerjain kan Nathan tetap melanjutkan ocehannya. lu ngajakin gue ngomong ini gak bakalan selese tau, diem ah.
Tepat setelah aku berkata seperti itu, guru Bahasa Indonesia berlengang memasuki ruangan dengan kamus tebal KBBI di tangannya. sial ucapku dalam batin. Peer matematika belum selesai kenapa beliau harus datang secepat ini. Pelajaran Bahasa Indonesia memang hanya 90 menit tapi bagi sebagian murid terasa seperti seabad. Bel yang di nanti pun berbunyi. Segera aku mengajak Nathan ke kantin, karena perutku ini sudah mengalami konser yang berskala nasional. Entahlah kenapa aku bisa secepat ini merasakan lapar, mungkin karena tadi berkutat dengan matematika kali ya? ah terserah yang penting aku lapar dan butuh makanan. kok ke kantin? emang nyalinnya udah selesai? tanya Nathan ketika aku mengajaknya ke kantin. ya ampun udah dong. Nih aku balikkin. Makasih ya Nathan. Janji ini yang terakhir aku nyalin kataku sambil memamerkan deretan gigi putihku. alah pasti bohong lagi nih, gak bakalan percaya lah. yaudah. yuk ga usah banyak omong, perutku udah keroncongan nih. Reflek aku menarik tangan Nathan dan menyeretnya ke kantin.Seperti biasa saat istirahat kantin terlihat sangat ramai. Banyak anak-anak lain yang tengah mengisi perut dan tak sedikit pula yang hanya duduk-duduk di kantin. Makanan favorit ku, ya cuma Nasi Goreng Telurnya pak Dadang yang satu-satunya bisa mengalahkan keenakan nasi goreng mamaku. Kalo Nathan sih udah jelas Bakso. Setelah memesan makanan kami pun segera mencari tempat duduk yang kosong. gila..... ini ramai banget. Ada yang kosong gak sih? kataku sambil membawa makananku. ada nin.....tuh liat...... pojokkan situ aja yuk, udah gak ada yang lain nih. yaudah yuk....cuss..nanti keburu diambil orang. Bukan Vanina namanya kalo tidak ngobrol meskipun tengah makan. Ini salah satu hal lain yang sering sekali membuat Nathan marah kepadaku. Kami biasanya mengobrol mengenai satu topik, tapi dapat menyebar sampai topik yang jauh berbeda. Pokonya kalo sudah ngobrol sama Nathan itu tidak akan kehabisan topik deh. Nin? oi? Ntar sore temenin ke toko buku yuk? buat? Bisa aja sih sore ini, aku free beli buku fisika nih. Kemaren kelupaan beli. Yaudah aku jemput ya jam 4, siap-siap ontime no telat. buku mata pelajaran mulu, kapan seneng-seneng?, iya sip.. sms aja buat ngingetin, iya big boss iyaaaaa Ketika asik mengobrol dengan Nathan, tak sengaja mataku terpaku pada satu sosok cowok. Dia terlihat asing di sekolah ini, baru pertama kali aku melihat perawakan murid SMA Satu seperti itu. Badannya yang tegap, dadanya yang bidang, tingginya yang semampai dan dagunya yang cukup lancip. Kelihatannya dia seumuran denganku dan Nathan. Aha! Mungkin dia anak baru. Aku tengah asik memperhatikannya, sialnya dia merasa seperti ada yang melihatnya dan balik menatapku. Astaga!!! Sial, aku terlihat bodoh sekali pastinya. Segera aku menunduk dan seakan-akan menikmati makanan padahal sebenarnya aku menahan malu disini. *** Sore itu aku sudah duduk manis di teras rumah menunggu Nathan. Iya, rencananya aku sore ini menemaninya mencari kitab rumusnya. Kali ini lagu Moment dari One Direction yang menemaniku menunggu Nathan. Sekitar 15 menit kemudian, mobil jazz putih berplat KT itu terpakir rapi di halaman rumahku. Tak lama kemudian sosok yang ku tunggu pun keluar dari pintu mobil itu. Nathan...nathan...giliran gak di sekolah aja lu keliatan ganteng banget. siapa sih yang gak bakala klepek-klepek kalo gini. Udah pinter, dari keluarga berada, pakaiannya up to date, belum lagi lesung pipinya itu loh. astaga,sebegitu butanya kah cewek-cewek di sekolah kami? gumamku saat melihat Nathan berjalan mendekat. Nin, udah siap nih? Yuk langsung takutnya gak keburu. Aku menganggukan kepala. Tanda bahwa aku sudah siap untuk pergi. Tak lupa aku menyempatkan pamit ke orang rumah. yuk...buruan.. kataku sambil menjinjing tas Celin terbaruku. Setiap kami jalan, Nathan selalu yang mengantar jemputku. Tak jarang juga dialah yang selalu membayari belanjaanku. Aku sudah sering marah padanya, tetap saja dia terus meneraktirku. Akunya merasa tidak enak, masa mau ditraktir terus? Nin, habis ke toko buku makan yuk. Laper nih belum makan siang. Tadi gak sempet makan dirumah, mau ya? tanya Nathan seraya memecah konsentrasi pandanganku ke deretan pohon. mau, asalkan kali ini aku yang bayar? kalo gak mau , ya aku pulang. eh,nggak mau. kamu itu kesayangannya aku. jadi aku haru terus treat kamu. apa sih bawa-bawa kesayangan. kapan aku jadi kesayangan?. ngapain bahas topik ini, ganti yuk. pokoknya kalo mau makan, ya aku yang bayarin. Titik. Nathan pasti mengalah kalo sudah begini. hahaha iya dia tak pernah menang dengan keegoanku. Dia selalu yang mengalah, entah kalau yang di dalam hati hahaha. Ku harap tetap sama mengalahnya. Toko buku Gemilang hari ini terlihat ramai sekali. Banyak orang masuk dan keluar. Ternyata hari ini bertepatan dengan dikeluarkannya novel karyaCollins terbaru. Wah, aku harus melihatnya nih. Nath, aku ke daerah novel , ya mau liat novel baru nih. Kita pencar aja ya, nanti aku susul kamu kesana. Oke? oh ya, jangan terlalu asik dengan kitab-kitabmu dasar kamu Nin, giliran novel aja cepet coba buku mapel. Tunggu diskonan baru mau dibeli ckckckck. Yaudah, kamu juga jangan beli banyak-banyak novel, ntar otakmu makin penuh dengan pangeran-pangeran khayalanmu itu. Tidak salah lagi, novel karya Collins hampir semuanya habis terjual. Di meja panjangan pun hanya tersisa satu. Dengan langkah sangat cepat aku pun mencoba mengambilnya. Aku bisa saja mendapatkannya kalau tidak ada tangan yang mencoba merebutnya. Aku sudah siap memarahinya, tapi setelah di lihat-lihat bentuk tangannya. Itu bukan bentuk tangan wanita, karena penasaran aku pun mendongkak ke atas untuk melihat siapa orang yang berani merebut novel ini dariku. Sial! Ternyata dia anak baru yang aku lihat di kantin tadi. Apa yang dia lakukan di sini? Kenapa dia mau novel ini juga? Apa dia seorang cowok yang lembut? Tidak...tidak. maaf, kamu aja deh yang ambil. Kayanya kamu yang lebih butuh. kata cowok itu sambil melepas tangannya dari novel yang kami pegang. beneran nih? Gak pa pa? kamu suka baca karya Collins juga? enggak. ini kebetulan buat adekku.dia seneng banget baca yang kaya gini oh...kalo gitu ini buat kamu aja. Aku bisa beli cetakan selanjutnya kok. lagian masih banyak bacaan yang belum aku baca juga dirumah. Aku menyerahkan buku itu kepadannya. waduh...beneran? yaudah makasih ya. Kayanya aku pernah liat nih wajahmu, gak asing deh disekolahku. sekolah di SMA Satu juga? Seketika aku diam, tak bergerak. Sial! Dia ingat aku. Mau diletakkan di mana muka ini. hehehe....iya....heheheheh. anak baru ya? kataku sedikit tergagap. iya, kenalin aku Christian Kenly Saputra . aku pindahan dari surabaya. aku kelas 11, kamu gimana? aku Vanina Clarisse Anthalia. kelas 11 juga punya no hp? kata cowok itu sambil menyodorkan smartphone layar sentuhnya. WHAT?! Demi bumi dan bulan, tidak pernah ada cowok yang berani bertanya langsung seperti itu denganku. Rasanya aku bisa meleleh di tempat karena tindakannya ini. Ah....Nathan harus tau ini! ad...ada...ada...ini kataku sambil memencet nomorku dismartphonenya. sip.makasih ya,aku miss call ya. Simpan nomorku , aku duluan ya udah ditunggu dirumah sama bunda. Bye, nanti aku sms. Aku masih terpaku saat Chris melambaikan tangannya dan menjauh dari tempatku sekarang. Bisa dikatakan aku sekarang ini tengah memproses semua yang terjadi. Semua masih sulit dipercaya. Ini nyata? Nin....woi..nin..woi... bengong mulu. Kesambet lu entar. Nathan menghampiriku dan menggoncang- goncangkan bahuku. apaan sih Nath, iya masih sadar. lo harus denger cerita menarik gue hari ini. harus! makan yuk...laper. udah dapet bukunya? aelah palingan khayalan lagi. udah nih, kamu gak beli apa-apa? aku bayar dulu. kamu tunggu di luar aja gak apa-apa kok. *** Seperti kataku ke Nathan tadi. Setelah kami memesan makanan, aku pun bercerita panjang lebar mengenai pertemuanku dengan Chris. Anehnya respon Nathan jauh dari perkiraanku sebelumnya. Dia terlihat cuek bahkan tak jarang tidak menggubris obrolanku. Kenapa dia? aneh. Nath, lo kenapa jadi gak asik gini sih? ah malesin... kataku sambil memutuskan untuk menyuapkan Mi Pangsit yang kupesan tadi. gak...lagi gak enak aja. Katanya sambil tetap fokus mengunyah makanannya. *** Chris menepati janjinya waktu itu. Dia menghubungiku sore setelah aku pulang dari restoran bersama Nathan. Mulai dari malam itu, aku dan Chris bisa dibilang lebih dekat. Kami tak pernah putus kontak dan aku nyaman dekat dengannya. Bahkan aku sekarang lebih sering keluar dengan Chris. Sebenarnya aku tak enak dengan Nathan. Tapi Nathan selalu menolak kalau aku mengajaknya jalan bersamaku dan Chris. Nathan masih dan akan selalu jadi sahabatku kok. Ngomong-ngomong sepertinya tadi siang di sekolah aku ada meminjam sesuatu dari Nathan. Astaga....catatan Biologinya. Segera aku membongkar tasku dan mengambil buku bersampul merah milik Nathan. Dengan cepat aku menyalin catatanya. Tidak terlalu susah menyalin catatanya. Catatan Nathan selalu tertulis rapi dan teratur. Ketika aku ingin membuka halaman selanjutnya, ada sebuah kertas kecil berwarna putih yang terlipat segi empat terselip di atas 2 halaman tersebut. Karena penasaran, aku pun membacanya dan yang aku sesali, seharusnya kertas ini tak perlu ku baca atau pun ku lihat. Satu kertas kecil ini yang nantinya dapat mengubah hubunganku dengan Nathan. Segera aku mengambil smartphoneku dan mengetik pesan singkat kepada Nathan. Seingatku, kira-kira seperti ini pesannya Nathan, kita perlu ketemu. Tunggu aku ini taman tempat biasa sekarang, Harus. Setelah mengirim pesan singkat itu, aku pun bergegas ke taman dekat rumah. Aku pergi kesana menggunakan sepeda, tak sempat bagiku untuk mengeluarkan mobil lagi. Tidak butuh waktu lama untuk kesana, cukup 6 menit bagiku. Aku langsung menduduki salah satu bangku kosong yang letaknya jauh dari keramaian. Aku menunggu Nathan, berharap dia segera datang. Setelah menunggu sekitar 5 menit, Nathan muncul dengan jaket hitam dan celana selututnya, dia terlihat bingung. Segera setelah dia mendekat, aku pun akhirnya membuka suara dan mengeluarkan perasaan yang kupendam dari tadi. Kamu lupa perjanjian kita? gak ada namanya cinta di persahabatan kita? ku pikir kita udah saling berjanji untuk menepati. apa maksud kertas yang kau selip di buku catatanmu? kamu kehilangan akal sehat? kataku sambil menyerahkan buku catatanya. Nada kecewa sangat terasa di perkataanku. Nathan akhirnya mengerti apa yang membuatku menemuinya malam ini. Kertas kecil berbentuk segi empat yang dia tulis tadi pagi itu telah ku baca. Kertas yang berisi curahan hati mengenai perasaanya padaku dan kecemburuannya dengan Chris, yang notabene teman dekatku sekarang. Nathan hanya diam. Setelah cukup lama membisu akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara. Nina,jujur aku minta maaf. aku pikir dengan kertas kecil itu kamu tau perasaanku. ternyata tindakanku salah. seperti yang aku bilang di kertas kecil itu, aku tak tau mulai kapan perasaan ini muncul. sudah sering kali aku mencoba menguburnya dalam-dalam tapi percuma rasa itu muncul lagi dan semenjak Chris datang aku merasa tersaingi. aku cemburu, karena kurasa hanya aku yang pantas untukmu. hanya aku yang bisa menjagamu. aku minta maaf nin... aku salah katanya dengan lesu Jujur ini baru pertama kalinya aku mendengar Nathan berkata setulus ini. Aku tak tega, aku bingung harus berbuat apa. Tuhan , apa salah kami berdua kenapa Engkau memberikan rasa itu pada Nathan padahal Engkau sendiri pun tau kami tak bisa memiliki rasa itu. aku butuh waktu membalikkan semua keaadan yang terjadi. ku harap kamu mengerti, Nathan. Nin...kumohon..maafkan aku ..lupakan yang terjadi. aku tak mau kehilangan sahabatku, kumohon jangan tinggalkan aku disini. katanya dengan suara yang memelas kucoba dan akan selalu kucoba. Nath, jaga dirimu baik-baik ya . kalau aku siap, akan kutemui dirimu. aku selalu sayang kamu Nathan, kamu satu-satunya sahabat setiaku. kataku seraya berjalan menjauh dan Nathan. Nina,aku akan menunggumu hingga kau siap kembali. aku juga selalu sayang kamu. maafkan kebodohanku. Nathan tak melarangku pergi, hal itu semakin membuat hati ini sakit. Aku hanya tertunduk lesu, mengambil sepedaku dan mengayuh pulang. Percakapan di taman malam itu adalah percakapan terakhirku dengan Francisco Nathan Wijaya. Persahabatanku yang selama ini kujaga selama 8 tahun, hanya rusak dengan sebuah kertas kecil berbentuk segi empat itu. Sungguh ironi. Sekarang aku telah duduk di kelas 12. Ya, aku telah naik kelas. Kelas 12 tidak seperti yang kubayangkan. Aku sekarang memiliki sahabat perempuan yang mengertiku, tidak hanya satu, aku mendapatkan 5 orang sekaligus. Aku tak perlu meminjam catatan siapapun karena sekarang aku selalu mencatat apa yang guru terangkan. Aku juga lebih giat belajar, aku ingin menembus 10 besar lagi dan ada beberapa perguruan tinggi menungguku mendaftar ke tempat mereka. Chris dan aku telah putus kontak semenjak 4 bulan yang lalu. Ah.... waktu bergulir cepat sekali. Bagaimana kabar Nathan? kami terpisah kelas kali ini. Perguruan apa yang akan dia ambil nanti? jurusan apa yang nanti dia ambil? bagaimana teman sekelasnya? apa kabar kucing peliharaanya? bagaimana dengan bundanya? apakah adiknya tetap secerewet dulu? apa ayahnya masih merokok? apakah ia menemukan teman baru disana? aku rindu padanya dan semua ceritanya. Namun rasa sakit masih terasa di dada ketika mengingat kertas kecil itu. Kapan aku bisa melupakan isi kertas itu? Secepatnya kuharap. Selama aku terus berusaha, hanya satu pesanku padanya. Francisco Nathan Wijaya, tetaplah menungguku. ***