Anda di halaman 1dari 19

Nuri Handayani

Rifqi Akbar
Shobari Khairuzadi
Thalita Alanna
Konsep Wabi merupakan ekspresi atau ungkapan yang khas dari karya seni Jepang.
Konsep Wabi mengacu pada keindahan alam dalam konteks ruang.
Keindahan Wabi dapat dilihat dari kesederhanaan upacara minum teh (Chanoyu),
seperti halnya mangkuk teh yang tidak mengkilat, kayu yang tanpa dihaluskan, atau
suatu cabang pohon yang berbentuk tidak lazim.
Karakteristik Wabi adalah Kesederhanaan dimana satu warna lebih disukai daripada
banyak warna, musim gugur dan salju lebih disukai daripada musim semi dan musim
panas, sore menjelang malam dan malam lebih disukai daripada pagi dan siang hari.

Konsep Sabi merupakan konsep keindahan yang berdimensi waktu
Konsep Sabi menekankan bahwa keindahan suatu benda tidak akan hilang seiring
berlalunya waktu, tetapi sebaliknya justru membuat keindahannya bertambah dalam.
Keindahan Sabi dapat dilihat dari karya sastra puisi atau pantun (waka, renga, haikai, dan
nohgakusho) serta upacara minum teh (Chanoyu). Contoh, mangkuk teh bertepi tidak
rata yang telah sering digunakan, lalu retak, seperti bunga yang gugur atau batu yang
ditutupi lumut. Berarti suatu benda yang telah dimakan usia bukanlah barang usang,
melainkan barang yang memiliki nilai keindahan yang tinggi
Karakteristik Sabi adalah barang yang tua telah kehilangan bentuk asli atau warna aslinya
lebih dihargai daripada barang yang baru, karena bentuk dan warna suatu benda yang
sudah tidak seperti aslinya menandakan bahwa benda tersebut melalui sebuah
perjalanan yang panjang.

Fukinsei (Asimetris)
Kanso (Kesederhanaan)
Kokou (Kering/Keindahan yang cermat)
Shizen (Kealamian)
Yuugen (Kehalusan/Kedalaman Esensi)
Datsuzukou (Kebebasan dalam keterikatan)
Seijaku (Ketenangan)

Dari ketujuh karakter tersebut, yang berhasil dianalisa di dalam contoh-contoh
penyajian masakan Jepang hanya enam karakter, yang akan dijelaskan pada
slide berikut.
Fukinsei (Asimetris)
Asimetris adalah tidak beraturan, tidak cocok, tidak seimbang dengan kata lain bentuk
apa adanya atau peniadaan suatu bentuk tetap dan dapat terjadi karena adanya
perbedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang, dan pencahayaan.
Menurut orang Jepang, betapapun sempurnanya suatu bentuk adalah tidak benar-
benar sempurna. Sebaliknya, sesuatu yang tidak berbentuk adalah kesempurnaan.
Dalam kaligrafi, orang-orang menyebutkan tiga gaya yaitu
Gaya Formal
Gaya Semi Formal
Gaya Informal/Tidak Formal
Asimetris mempunyai banyak persamaan dengan gaya informal, sedangkan bentuk
simetris adalah gaya formal ataupun gaya semi formal.
Dalam dunia angka, yang dimaksud asimetris adalah bilangan ganjil 3, 5, 7, dst.
Sedangkan bilangan genap adalah simetris atau bisa dibilang sama kaki
Kanso (Kesederhanaan)
Kesederhanaan berarti tidak rumit yang menjelaskan bahwa bukan
kesederhanaan yang bernuansa melarat melainkan kesederhanaan dalam
konteks berhemat.
Nilai tertinggi dari kesederhanaan adalah sesuatu yang dapat mewakili atau
mencerminkan sifat dari suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui
garis, warna, atau unsur lainnya. Contoh, dalam suatu lukisan yang hanya
menggunakan satu warna tinta saja dan tidak mencolok, yaitu tinta cina hitam
dimana cahaya dan bayangan hanya berasal dari satu warna tinta dan tidak
ada perbedaan hanya ada gradasi warna hitam. Contoh lain, dapat dilihat
juga dilihat pada desain interior dan eksterior ruang upacara minum teh
(Chanoyu)
Dalam penyajian masakan, kesederhann yang dimaksud adalah kesederhaan
rasa.
Kokou (Kering)
Kering disini mengandung pengertian berhentinya atau hilangnya kesegaran dimana
memperlihatkan unsur kematangan yang jauh dari kesan ketidak terampilan atau telah
dimakan usia dan yang tinggal hanya intisarinya saja.
Kokou dengan kata lain adalah sesuatu yang tidak dalam kondisi baru, melainkan
mengesankan telah berumur.
Dalam tata penyajian masakan Jepang dapat dilihat dalam metode membakar ikan.
Orang Jepang mengupayakan ikan yang sudah dibakar tetap terlihat alami. Caranya
dengan ketelitian selama proses membakar dan tidak menggunakan beraneka ragam
bumbu masakan yang dapat menghilangkan warna dan tekstur alami ikan.
Ketelitian dalam membakar ikan menunjukkan bahwa orang Jepang menolak
kematian, seperti yang dikutip dari Hisamatsu Shinichi bahwa menjadi kering, berarti
puncak dari sebuah seni,... Seperti kualitas dari hidup abadi yang jauh dari akhir,
tanpa kelahiran atau kematian

Shizen (Kealamian)
Kealamian berarti bukan buatan yang berarti juga apa adanya
Kealamian disini mengacu pada istilah tidak dipaksakan.
Dalam masakan Jepang, Kealamian mengacu dalam bentuk dan
kealamian rasa.
Kealamian dalam bentuk dapat dilihat dalam tahap ketiga cara menata
masakan. Pada tahap tersebut tertulis, memotong secara paksa
bahan-bahan makanan menjadi bentuk yang diinginkan cenderung
membuat kesan tidak bersih. Sedangkan, kealamian dalam rasa
mengacu pada rasa alami.
Datsuzukou (Kebebasan dalam keterikatan)
Secara singkat berarti kebebasan dari kebiasaan adat, peraturan, dan
lain-lain, yaitu tidak terikat dengan sesuatu. Hal ini termasuk kebebasan
dalam berpikir dan bertindak.

Seijaku(Ketenangan)
Ketenangan diartikan tidak terganggu apapun dan menimubulkan
keheningan yang menenangkan pikiran yang ditujukan di dalam hati

Hal ini sesuai dengan tahap
menata masakan Jepang yang
tertulis menghindari
pemindahan dan penataan
kembali masakan ketika sudah
ada dalam piring saji, karena
hanya akan mengotori piring
Ketenangan pada gambar tsb,
dapat dilihat dati potongan tofu
yang tidak rapat letaknya, tetapi
dibiarkan saja seperti itu
Kegelapan disini mempunyai makna untuk menumbuhkan konsentrasi dan
menciptakan suasana hening dan cerah. Kegelapan ini tidak menimbulkan rasa
seram maupun ancaman, melainkan menentramkan dan menenangkan pikiran.
Bila diibaratkan dalam diri manusia, maka merupakan pembawaan manusia yang
tidak secara terang-terangan memperlihatkan kemampuannya pada orang lain,
melainkan berusaha untuk menyembunyikannya seolah-olah ia tidak memiliki
kemampuan tersebut.
Bila dalam lukisan, tercermin dalam penggunaan kasureta sumi atau goresan arang
yang pudar untuk mengekspresikan sesuatu obyek secara simbolis, dalam hal ini,
tanpa perlu melukiskan secara rinci pohon, lembah, sungai, dsb. Dengan goresan
kuas makna yang ingin disampaikan akan tersirat.
Jadi dalam tata cara penyajian jepang tidak yang ingin disampaikan secara tersirat
karena yuugen memiliki maka yang dalam.
Menurut Peter Ackermann, Alam pada dasarnya adalah suatu rangkaian dari
pertumbuhan dan kerusakan, pergantian dan perubahan, dan lain-lain, yang setiap
saat dari perubahan adalah hasil dari kumpulan khusus dari kekuatan dan kekuatan.
Jepang adalah sebuah negara kecil, keempat musimnya benar-benar mempengaruhi
kehidupan penduduk. Pengaruh dari musim-musim di Jepang kerap kali dipergunakan
sebagai motif dasar desain, dekorasi, penataan masakan, atau bahkan digunakan
sebagai kerangka lukisan, karya cerita atau puisi.
Peter Ackermann mengatakan bahwa Segala pengaruh dari musim yang
mempengaruhi kehidupan orang Jepang sebagai kepercayaan bangsa Jepang
terhadap alam.
Musim Semi
Disajikan dengan piring berbentuk kelopak bunga atau yang menyerupai bunga
menggambarkan awal pertumbuhan daun-daun muda atau bunga

Ackermann, Peter. The Four Seasons : One of Japanese Cultures Most Concepts.
Japanese Image of Nature : Cultural Perspective. England : Curzon, 1997
Shinichi, Hisamatsu. Zen and Fine Arts. Tokyo : Kondansha International, 1974

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai