Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi
1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).

1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat
mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk
amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique
Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia
yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti
oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali
menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika
Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika
Universitas Sumatera Utara
Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton
karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit
di depan umum pada tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang
banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan
untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson
dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari
anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap
rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti
melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu
Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853.
Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan
Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi.
Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin
diperhitungkan (Ismunandar, 2006).

1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
Universitas Sumatera Utara
yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan
dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga
diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri
yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak
hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang
disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk
tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat
hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi,
bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
1.3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf
tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Universitas Sumatera Utara
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien
yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
1.3.3 Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga
dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,
2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya
pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi
jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA
2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
Universitas Sumatera Utara
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA
4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis
krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai
pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E =emergency),
misalnya ASA 1 E atau III E.
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi
atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,
dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi
involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3
bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial
semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan
respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
Universitas Sumatera Utara
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).

1.4 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya
1.4.1 Obat-obat Anestesi Lokal
Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat
yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-
impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat
pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya
(Siahaan, 2000).
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal
menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls.
Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf
pusat, ganglia otonom, cabangcabang neuromuskular dan semua jaringan otot
(Siahaan, 2000).

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat
yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan,
tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas
sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada
selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga
tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat
antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi
cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa
mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu
gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002).
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi
dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu
golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan
Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-
obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-
obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di
area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak
(Joomla, 2008).
1.4.2 Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu
secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Universitas Sumatera Utara
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal,
Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).
a. Anestesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi
regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal
antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis
obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien,
obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).
b. Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan
obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada
ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan
di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992).
Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal.
Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri
pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat
pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum
ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).
c. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural,
karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan
di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum
sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan
Universitas Sumatera Utara
ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus,
felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).
2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok
perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena.
Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit.
Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga
daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan
bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus
dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar,
1992).



1.4.3 Obat-obat Anestesi Umum
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,
pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan
pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis
operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).
Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak
menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau
jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi
otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan
(Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993)
Universitas Sumatera Utara
mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang
cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas,
tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total
adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi
umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam
lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek
samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien
(Kumala, 2008).


1.5 Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktorfaktor
pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional
ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi
resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan,
infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain:
keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan
peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau
efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya
Universitas Sumatera Utara
menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan
yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi
regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.

1.6 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi
1.6.1 Komplikasi Anestesi
Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi
segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun
belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak
diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik
(Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi
anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi
antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi
lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf
(Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan
Universitas Sumatera Utara
Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi
trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi
lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses
paru. J ika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan
epistaksis yang tak menyenangkan dan kadangkadang sonde dapat membentuk
saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha
(Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama
pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur
yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,
seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan
foot drop, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan
paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang
menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis
sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan wrist drop.
Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika
lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).
2. Pernapasan
Universitas Sumatera Utara
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,
pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi
(Brunner & Suddarth, 2001).
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi.
Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul
sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan
kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat
menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien
obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah,
biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari
relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi,
hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri
luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi
CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan
pemberian oksigen.
Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul
kemudian adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis
sekunder terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena
profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau nyeri
tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme pulmonalis bisa tampil
Universitas Sumatera Utara
sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark
myocardium mayor, yang kadangkadang sulit dibedakan.
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi
didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih
dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia
yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis
yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi
yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan
aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan
pengaruh beberapa obat tertentu.
4. Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan.
Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,
yang diperkirakan sekitar 100400 per sejuta pada suatu waktu
(Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran
susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang
mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi.
Universitas Sumatera Utara
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi
menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama,
terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer
tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen
meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis
& Campbell, 1986).
1.6.2 Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.
Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak
diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat
terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi
merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap penderita.
Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:
1. Kematian dalam keadaan atau akibat anestesi
Kematian dalam keadaan teranestesi mungkin tidak
sepenting kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. J ika perdarahan masif
yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk
kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli
anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan
hidup penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah
(Bulto & Blogg, 1994).
Universitas Sumatera Utara
2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia
dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat
disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer
(yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat
terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).Bahaya lain
akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut
karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.
3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan
sebagian atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak
(Bulto & Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai
dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan
bawah, paruparu, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai
kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari
hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada
otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 46 menit kekurangan
oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).

2 Keperawatan
2.1 Pengertian
Universitas Sumatera Utara
Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap
masalah kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2000). Dalam dunia
keperawatan modern respon manusia yang didefinisikan sebagai pengalaman dan
respon orang terhadap sehat dan sakit yang merupakan suatu fenomena perhatian
perawat.
Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang
berarti merawat atau memelihara. Harlley Cit ANA (2000) menjelaskan
pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat
atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan
proses penuaan dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab
dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya
(Depkes RI,2002).
Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis,
membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan
(Carpenito, 1998). Adapun tahap dalam malakukan asuhan keperawatan yaitu :
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, dan evaluasi.

2.2 Peran dan Fungsi Perawat
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002). Ahli lain yaitu Kozier
Barbara (1995) memberi defenisi peran sebagai seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu
sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar
Universitas Sumatera Utara
dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu.
Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang
dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan
kompetensi yang dimiliki. Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk
menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan
pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk
menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai
dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri
terpisah demi untuk kejelasan.
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada Individu sehat
maupun sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan berguna untuk
pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di
lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat
mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian,
identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan
evaluasi.
Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai nursing services
menyangkut bidang yang amat luas sekali, secara sederhana dapat diartikan
sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir
sampai meningal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemauan dan
kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa sehingga orang tersebut dapat
secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa
Universitas Sumatera Utara
memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain
(Sieglar cit Henderson, 2000).
Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan
pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil
perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh. Perawat dalam
malakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.
Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi
asuhan keperawatan, praktek keperawatan, pengelola institusi keperawatan,
pendidikan pasien serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan. (Sieglar, 2000).
Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran sebagai
pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola, dan peran sebagai
peneliti (Marullah, 2005).
2.2.1 Peran sebagai Pelaksana
Peran ini di kenal dengan Care Giver, yaitu peran perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung
kepada pasien sebagai individu, keluarga dan masyarakat, dengan metoda
pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. Pada peran ini,
perawat diharapkan mampu: memberikan pelayanan keperawatan kepada
individu, keluarga , kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang
terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang
kompleks; memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan pasien,
Universitas Sumatera Utara
perawat harus memperhatikan pasien berdasarkan kebutuhan signifikan dari
pasien (Marullah, 2005).
Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai
comforter, protector, advocate, communicator serta rehabilitator (Marullah,
2005). Sebagai comforter perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman
pada pasien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada kemampuan
perawat melindungi dan menjamin hak dan kewajiban pasien agar terlaksana
dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai
communicator, perawat bertindak sebagai penghubung antara pasien dengan
anggota kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan perawat
mendampingi pasien sebagai pemberi asuhan keperawatan selama 24 jam.
Sedangkan rehabilitator, berhubungan erat dengan tujuan pemberian asuhan
keperawatan yakni mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh
dan dapat berfungsi normal (Marullah, 2005).
2.2.2 Peran sebagai Pendidik
Sebagai pendidik perawat berperan dalam medidik individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah
tanggungjawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada pasien, maupun bentuk
desimilasi ilmu kepada peserta didik keperawatan (Marullah, 2005).
2.2.3 Peran sebagai Pengelola
Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggungjawab
dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan
manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai
Universitas Sumatera Utara
pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan
keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan
keperawatan. Karena pengetahuan dan pemahaman perawat yang kurang
sehingga pelaksanaan peran perawat pengelola belum maksimal, mayoritas posisi,
lingkup kewenangan dan tanggungjawab perawat hampir tidak berpengaruh dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan (Marullah, 2005).
2.2.4 Peran sebagai Peneliti
Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu
mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metoda penelitian
serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau
pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan
berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan tehnologi di bidang
kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi
ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya
menetapkan dan memajukan profesi keperawatan (Marullah, 2005).

2.3 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di
ruang Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) sampai kondisi
pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan) (Torrance & Serginson,
1997). Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) biasanya
terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk
mempermudah akses bagi pasien untuk perawat yang disiapkan dalam merawat
Universitas Sumatera Utara
pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan ahli bedah, alat monitoring dan
peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk
memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997).
Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator
mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat
yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk
mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah,
peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan,
defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan
medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase
(Rondhianto, 2998)
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus
ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan
akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan
yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan
(Torrance & Serginson, 1997).
.
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh
anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah : pasien harus pulih dari efek anestesi, efek
Universitas Sumatera Utara
fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat
kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan
orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan
saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah,
haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan
nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan
dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan
persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat
khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit
dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan
menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).
Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan
antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan
agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus
dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus
terlihat sehingga bila ada perubahan dapat dipantau dengan segera
(Abrorshodiq, 2009).
2.3.1 Peran perawat pada fase pasca anestesi
Peran perawat pada fase pasca anestesi baik pada bedah mayor
maupun minor sangat dibutuhkan. Peran perawat tersebut merupakan upaya dalam
pencegahan terjadinya komplikasi anestesi yaitu peran pemantauan atau
pengkajian pasca anestesi dan peran penatalaksanaan atau perawatan pasien pasca
anestesi (Latief, 2001; Wijaya, 2008 ).

Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Pemantauan/pengkajian pasca anestesi
Periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk
itu pasien harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan
psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan
kondisi umum mulai stabil (Abrorshodiq, 2009). Pemantauan yang efektif
mengurangi kemungkinan outcomes (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah
anesthesia melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan
yang serius atau tidak dapat diubah (Murphy & Vender, 2004). Pemantauan
dilakukan segera setelah pasien masuk di ruang PACU atau di ruang mana pasien
telah mendapatkan tindakan anestesi yang meliputi pengkajian sistem pernapasan,
sistem kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persarafan,
sistem perkemihan, dan sistem gastrointestinal .
1. Sistem pernapasan
Pengkajian sistem pernapasan dilakukan dengan cara
memeriksa jalan nafas dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
Perubahan pernafasan dikaji antara lain frekuensi pernapasan (Respiratory
Rate/RR), pola pernapasan, kemampuan nafas dalam dan batuk, dan kedalaman
pernapasan (Abrorshodiq, 2009). Pernapasan pendek dan cepat mungkin akibat
nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi lambung, atau obesitas. Pernapasan yang
bising mungkin karena obstruksi oleh sekresi atau lidah
(Brunner & Suddarth, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Selama 2 jam pertama, nadi dan pernafasan diperiksa
setiap 15 menit, lalu setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya. Setelah itu bila
keadaan tetap baik, pemeriksaan dapat diperlambat. Bila tidak ada petunjuk
khusus, pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit. Bila ada tanda-tanda syok,
perdarahan dan menggigil perawat segera melaporkan kepada dokter. RR
dibawah 10 kali permenit diduga terjadinya gangguan kardiovaskuler atau
metabolisme yang meningkat. Auskultasi paru dilakukan untuk mengkaji
keadekwatan expansi paru, dan kesimetrisan paru. Pengkajian pernapasan juga
dilakukan melalui inspeksi pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu
pernafasan (diafragma, retraksi sterna), efek anestesi yang berlebihan, dan adanya
obstruksi (Wijaya,
2. Sistem kardiovaskuler
2008).
Pertimbangan dasar dalam mengkaji fungsi kardiovaskuler
adalah memantau pasien terhadap tanda-tanda syok dan hemoragi (Brunner &
Suddarth, 2001). Pengkajian sistem kardiovaskuler yaitu pengkajian sirkulasi
perifer yang meliputi kualitas denyut, warna kulit, temperatur, ukuran ektremitas,
sirkulasi darah, nadi dan suara jantung yang dikaji tiap 15 menit (4 x ), 30 menit
(4x), 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil (Abrorshodiq,
2009). Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung kemungkinan dapat
disebabkan oleh depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi. Nadi yang
meningkat disebabkan oleh shock, nyeri, dan hypothermia (Wijaya,

2008).
Universitas Sumatera Utara
3. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Untuk mengkaji keseimbangan cairan dan elektrolit
pasien pasca anestesi, perawat melakukan inspeksi membran mukosa meliputi
warna dan kelembaban, turgor kulit, dan balutan, mengukur cairan NGT, menilai
out put urine, drainage luka, mengkaji intake/output, memonitor cairan intravena,
dan mengukur tekanan darah (Abrorshodiq, 2009).
4. Sistem Persarafan.
Pengkajian sistem persarafan antara lain pengkajian
fungsi serebral dan tingkat kersadaran pasien. Pada pasien terutama dengan bedah
kepala leher, dikaji respon pupil, kekuatan otot, koordinasi, dan depresi fungsi
motor (Abrorshodiq, 2009).
5. Sistem perkemihan.
Untuk mengkaji sistem perkemihan, perawat menilai
kontrol volunteer fungsi perkemihan harus kembali setelah 6 8 jam post
anestesi (Abrorshodiq, 2009). Selain itu perawat juga melakukan inspeksi,
palpasi, dan perkusi abdomen bawah untuk mengetahui adanya distensi buli-buli.
Pada pemasangan kateter dikaji warna, dan jumlah urine. Out put urine kurang
dari 30 ml/jam menandakan terjadinya komplikasi ginjal (Wijaya,

2008).

Universitas Sumatera Utara
6. Sistem Gastrointestinal.
Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam
pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan
TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum,
observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk
mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau
muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi
terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009).
Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu
juga mengkaji paralitic ileus, suara usus, distensi abdomen, dan
ada atau tidaknya flatus.
Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk
mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga
bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada
GI track bawah, memonitor perdarahan, mencegah obstruksi usus, irigasi atau
pemberian obat, serta mengkaji jumlah, warna, dan konsistensi isi lambung
tiap 6 8 jam (Wijaya,
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih
sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah
yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat
kesadaran yang baik.
2008).
Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan
terjadinya situasi krisis antara lain: tekanan sistolik < 90 100 mmHg atau >150
Universitas Sumatera Utara
160 mmHg, diastolik <50 mmHg atau >dari 90 mmHg, Heart Rate (HR)
kurang dari 60 x menit >10 x/menit, suhu >38,3
o
C atau kurang <35
o
Kriteria untuk mentukan tingkat pemulihan diberikan
secara detail pada bagan ruang pemulihan pascaanestesi (Brunner & Suddarth,
2001) :
C,
meningkatnya kegelisahan pasien,dan tidak BAK lebih dari 8 jam post operasi
(Abrorshodiq, 2009).
Tabel 1.
Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi

RUANG PEMULIHAN PASCAANESTESI
Penilaian
Pasien: Nilai akhir:
Ruangan: Ahli bedah:
Tanggal: Perawat R.R:
Area pengkajian Poin
nilai
Saat
penerimaan
Setelah
1 jam 2 jam 3 jam
Kemampuan untuk bernapas dengan
dalam dan batuk
Pernapasan:
Upaya bernapas terbatas
(dispnea atau membebat)
Tidak ada upaya spontan
2

1

0

>80% dari tingkat praanestetik
Sirkulasi: tekanan arteri sistolik
50% sampai 80% dari tingkat
praanestetik
<50% dari tingkat praanestetik

2

1

0

Universitas Sumatera Utara
Respon secara verbal terhadap
pertanyaan/terorientasi terhadap
tempat
Tingkat kesadaran:
Terbangun ketika dipanggil namanya

Tidak memberikan respon terhadap
perintah
2

1


0

Warna dan penampilan kulit normal
Warna kulit:
Warna kulit berubah: pucat, agak
kehitaman, keputihan, ikterik
Sianosis jelas
2

1

0

Bergerak secara spontan atau atas
perintah
Aktivitas otot:
Kemampuan untuk menggerakkan
semua ektremitas
Tidak mampu untuk mengontrol
setiap ektremitas

Total
2

1

0




Keterangan:
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai
pengkajian post anestesi >7-8.
2.3.2 Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi
Selain malakukan pengkajian, perawat juga melaksanakan
perannya dalam hal perawatan pasien pasca anestesi. Dalam hal ini pasien harus
Universitas Sumatera Utara
mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari
anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan
keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anestesi tergantung
kepada prosedur bedah yang dilakukan (Abrorshodiq, 2009). Hal-hal yang harus
diperhatikan meliputi:
1. Mempertahankan ventilasi pulmonary.
Ventilasi pulmonary dipertahankan dengan memberikan
posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan atau setengah telungkup
dengan kepala tengadah ke belakang dan rahang didorong ke depan sampai reflek-
reflek pelindung pulih (Abrorshodiq, 2009). Mempertahankan ventilasi
pulmonary bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pernapasan seperti
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,
pneumonia, lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, pleurisi, dan superinfeksi,
Saluran nafas buatan pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian
anestesi umum untuk mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah ke depan
sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak
dan lendir harus dibantu dengan suction. Terapi oksigen sering diberikan pada
pasien pasca operasi, karena obat anestesi dapat menyebabkan lyphokhemia.
Selain pemberian O
2
Pada pasien mual dan muntah, pasien benar-benar
dibalikkan miring ke salah satu sisi untuk meningkatkan drainase mulut.
Intervensi keperawatan yang paling penting dibutuhkan ketika terjadi untah adalah
untuk mencegah aspirasi muntahan, yang dapat menyebabkan asfiksia dan
kematian (Brunner & Suddarth, 2001).
harus diberikan latihan nafas dalam setelah pasien sadar.
Universitas Sumatera Utara
2. Mempertahankan sirkulasi.
Hipotensi dan aritmia merupakan komplikasi
kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anestesi. Untuk itu
pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di
ruang pemulihan (Abrorshodiq, 2009).
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus
sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan
cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor(Abrorshodiq, 2009).
Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post
operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk
meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah
(www.Nurseview.com, 2008).
4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan.
Pasien post operasi atau post anestesi sebaiknya pada
tempat tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien
sering diubah sesuai dengan potensial pasien untuk mencegah kerusakan saraf
akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian. Nyeri yang dirasakan
memerlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis
terkait dengan agen pemblok nyerinya (Rhondianto,2008). Pasien yang mulai
sadar memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa
sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan
diberitahu apa yang sedang dilakukan (Abrorshodiq, 2009).
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai