Anda di halaman 1dari 7

Nirmana adalah pengorganisasian atau penyusunan elemen-elemen visual seperti titik, garis, warna, ruang dan

tekstur menjadi satu kesatuan yang harmonis. Nirmana dapat juga diartikan sebagai hasil angan-angan dalam
bentuk dwimatra, trimatra yang harus mempunyai nilai keindahan. Nirmana disebut juga ilmu tatarupa. Elemen-
elemen seni rupa dapat dikelompokan menjadi 4 bagian berdasarkan bentuknya.
1. Titik, titik adalah suatu bentuk kecil yang tidak mempunyai dimensi. Raut titik yang paling umum adalah bundaran
sederhana, mampat, tak bersudut dan tanpa arah.
2. Garis, garis adalah suatu hasil goresan nyata dan batas limit suatu benda, ruang, rangkaian masa dan warna.
3. Bidang, bidang adalah suatu bentuk pipih tanpa ketebalan, mempunyai dimensi pajang, lebar dan luas; mempunyai
kedudukan, arah dan dibatasi oleh garis.
4. Gempal, gempal adalah bentuk bidang yang mempunyai dimensi ketebalan dan kedalaman.
Penyusunan merupakan suatu proses pengaturan atau disebut juga komposisi dari bentuk-bentuk menjadi satu
susunan yang baik. Ada beberapa aturan yang perlu digunakan untuk menyusun bentuk-bentuk tersebut. Walaupun
penerapan prinsip-prinsip penyusunan tidak bersifat mutlak, namun karya seni yang tercipta harus layak disebut
karya yang baik. Perlu diketahui bahwa prinsip-prinsip ini bersifat subyektif terhadap penciptanya.
Dalam ilmu desain grafis, selain prinsip-prinsip diatas ada beberapa prinsip utama untuk tujuan komunikasi dari
sebuah karya desain.
1. Ruang Kosong (White Space)Ruang kosong dimaksudkan agar karya tidak terlalu padat dalam penempatannya pada
sebuah bidang dan menjadikan sebuah obyek menjadi dominan.
2. Kejelasan (Clarity)Kejelasan atau clarity mempengaruhi penafsiran penonton akan sebuah karya. Bagaimana sebuah
karya tersebut dapat mudah dimengerti dan tidak menimbulkan ambigu/ makna ganda.
3. Kesederhanaan (Simplicity)Kesederhanaan menuntut penciptaan karya yang tidak lebih dan tidak kurang.
Kesederhanaan seing juga diartikan tepat dan tidak berlebihan. Pencapaian kesederhanaan mendorong penikmat
untuk menatap lama dan tidak merasa jenuh.
4. Emphasis (Point of Interest)Emphasis atau disebut juga pusat perhatian, merupakan pengembangan dominasi yang
bertujuan untuk menonjolkan salah satu unsur sebagai pusat perhatian sehingga mencapai nilai artistic.
Prinsip prinsip dasar seni rupa
1. Kesatuan (Unity)Kesatuan merupakan salah satu prinsip dasar tata rupa yang sangat penting. Tidak adanya
kesatuan dalam sebuah karya rupa akan membuat karya tersebut terlihat cerai-berai, kacau-balau yang
mengakibatkan karya tersebut tidak nyaman dipandang. Prinsip ini sesungguhnya adalah prinsip hubungan. Jika
salah satu atau beberapa unsur rupa mempunyai hubungan (warna, raut, arah, dll), maka kesatuan telah tercapai.
2. Keseimbangan (Balance)Karya seni dan desain harus memiliki keseimbangan agar nyaman dipandang dan tidak
membuat gelisah. Seperti halnya jika kita melihat pohon atau bangunan yang akan roboh, kita measa tidak nyaman
dan cenderung gelisah. Keseimbangan adalah keadaan yang dialami oleh suatu benda jika semua dayan yang
bekerja saling meniadakan. Dalam bidang seni keseimbangan ini tidak dapat diukur tapi dapat dirasakan, yaitu suatu
keadaan dimana semua bagian dalam sebuah karya tidak ada yang saling membebani.
3. Proporsi (Proportion)Proporsi termasuk prinsip dasar tata rupa untuk memperoleh keserasian. Untuk memperoleh
keserasian dalam sebuah karya diperlukan perbandingan perbandingan yang tepat. Pada dasarnya proporsi
adalah perbandingan matematis dalam sebuah bidang. Proporsi Agung (The Golden Mean) adalah proporsi yang
paling populer dan dipakai hingga saat ini dalam karya seni rupa hingga karya arsitektur. Proporsi ini menggunakan
deret bilangan Fibonacci yang mempunyai perbandingan 1:1,618, sering juga dipakai 8 : 13. Konon proporsi ini
adalah perbandingan yang ditemukan di benda-benda alam termasuk struktur ukuran tubuh manusia sehingga
dianggap proporsi yang diturunkan oleh Tuhan sendiri. Dalam bidang desain proporsi ini dapat kita lihat dalam
perbandingan ukuran kertas dan layout halaman.
4. Irama (Rhythm)Irama adalah pengulangan gerak yang teratur dan terus menerus. Dalam bentuk bentuk alam bisa
kita ambil contoh pengulangan gerak pada ombak laut, barisan semut, gerak dedaunan, dan lain-lain. Prinsip irama
sesungguhnya adalah hubungan pengulangan dari bentuk bentuk unsur rupa.
5. Dominasi (Domination)Dominasi merupakan salah satu prinsip dasar tatarupa yang harus ada dalam karya seni dan
deisan. Dominasi berasal dari kata Dominance yang berarti keunggulan . Sifat unggul dan istimewa ini akan
menjadikan suatu unsure sebagai penarik dan pusat perhatian. Dalam dunia desain, dominasi sering juga disebut
Center of Interest, Focal Point dan Eye Catcher. Dominasi mempunyai bebrapa tujuan yaitu utnuk menarik perhatian,
menghilangkan kebosanan dan untuk memecah keberaturan.

Sumber :
Dasar-Dasar Tata Rupa dan Desain
Drs. Sadjiman Ebdi Sanyoto, Yogyakarta 2005












Mengkritik Pendidikan DKV di Indonesia
July 11, 2014 0 24
Awal Pendidikan DKV
Diawali dengan Jurusan Reklame, Dekorasi dan Ilustrasi Grafik (REDIG) pada 15 Januari 1950 dengan berdirinya
Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun 1969 bersamaan dengan berubahnya ASRI menjadi
Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Jurusan REDIG dipecah menjadi Jurusan Seni
Reklame, Jurusan Seni Dekorasi dan Jurusan Seni Grafis. Pada tahun 1972 STSRI ASRI
menyelenggarakan ujian S-1 yang pertama kali untuk para BA Seni Reklame. Nama Jurusan Seni Reklame dipakai
sampai tahun 1982. Pada tahun 1983 Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi. Pada
tahun 1984 bersamaan dengan perubahan STSRI ASRI menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
melalui fusi dengan Akademi Musik Indonesia (AMI) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), Jurusan Disain
Komunikasi berubah menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual hingga saat ini.
Tahun 1967 dirintis Studio Grafis Jurusan Seni Rupa di FTSP ITB. Pada tahun 1973 dipecah menjadi Studio Seni
Grafis dan Desain Grafis. Tahun 1984 Studio Desain Grafis berdiri sendiri. Pada tahun 1994 Studio Desain Grafis
berubah menjadi Studio DKV di bawah Jurusan dan pada tahun 1997 menjadi Program Studi DKV di bawah
Departemen Desain. Tahun 2006 menjadi Program Studi DKV setingkat Jurusan di bawah fakultas.
Pendidikan Tinggi DKV berdiri di IKJ pada tahun 1977, DKV Universitas TRISAKTI tahun 1979, DKV UNS tahun
1981, DKV Universitas UDAYANA (UNUD) tahun 1981 (FSRD UNUD akhirnya menjadi ISI Denpasar setelah fusi
dengan STSI Denpasar).
Era 1990-2000an
1990 ditandai dengan berdiri DKV di STISI Bandung dan kemudian diikuti oleh UPH pada tahun 1994. Hingga
sekarang sekitar 70an pendidikan tinggi DKV telah dan segera berdiri di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Solo, Malang, Surabaya, Bali, Makassar dan menyusul di beberapa kota
lainnya. Saat ini beberapa universitas negeri eks IKIP bahkan eks IAIN telah dan berencana membuka
jurusan/program studi DKV terutama yang mempunyai jurusan seni rupa.
Pertumbuhan pendidikan DKV tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi dan media informasi maupun gaya
hidup. Hampir semua sektor seperti konsumsi, hiburan, media, infrastuktur, properti, keuangan, pendidikan dan
sebagainya membutuhkan sentuhan desainer komunikasi visual. Fenomena ini yang membuka peluang tumbuhnya
profesi-profesi baru terkait dengan DKV yang pada akhirnya meningkatkan permintaan akan jasa pendidikan DKV.
Jika dulu seseorang mempunyai cita-cita keren dengan menjadi dokter, insinyur, dan pilot namun sekarang di era
ekonomi kreatif profesi-profesi di bidang kreatif mulai menjadi pilihan utama. Menjadi musisi, penulis, DJ, film maker,
animator dan desainer komunikasi visual menjadi salah satu pilihan profesi favorit saat ini di samping banyak profesi
di bidang kreatif lainnya.
Jenjang Pendidikan Tinggi DKV
Masalah lain yaitu rancunya jenjang pendidikan DKV, mengakunya S-1 tetapi tidak punya kemampuan akademik
hanya jago mengoperasikan komputer. Orang bilang thinking nya nggak ada! Nggak konseptual! Padahal
dalam sistem pendidikan nasional sudah jelas ada pendidikan professional stream dan academic stream (meminjam
istilah pak A.D. Pirous) atau istilah mudahnya pendidikan berbasis industri dan pendidikan berbasis wacana.
Penyelenggara pendidikan tinggi DKV dalam memasarkan produknya menjanjikan lulusan sarjana S-1 yang siap
pakai di industri. Akibatnya kurikulum akhirnya dikemas bak politeknik yang lebih mementingkan skill bukan
kemampuan akademik semata. Dampak lainnya di antaranya tingkat riset yang bermutu di jurusan DKV sangat
rendah dikarenakan dosen-dosennya juga banyak yang berasal dari produk kurikulum salah kaprah tersebut
sehingga kemampuan risetnya sangat rendah.
Padahal dalam sistem pendidikan nasional jelas-jelas sudah ada wadahnya bagi PT DKV yang ingin menciptakan
lulusannya seorang sarjana profesional yaitu melalui program D-4 dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST).
Alangkah bijaknya jika PT DKV membuka dua jalur program yaitu S-1 untuk yang beminat di bidang akademik dan
program D-4 untuk yang ingin menjadi profesional di bidang DKV. Bagi lulusan S-1 silahkan melanjutkan ke S-2 dan
S-3, sementara bagi lulusan D-4 dapat mengambil sertifikasi-sertifikasi profesional baik nasional maupun
internasional.
Bagi para penyusun kurikulum juga akan lebih mudah dalam membuat kurikulum pendidikannya sehinga tujuannya
dapat dicapai. Tidak seperti yang banyak terjadi mahasiwa ditekan agar menjadi sarjana profesional sekaligus
konseptual dalam waktu 8 semester yang cukup pendek.
Diperlukan suatu keberanian dari penyelengara pendidikan tinggi DKV untuk secara jujur menyatakan jenjang
pendidikannya D-4 atau S-1. Bukan menjadi banci atau hanya sebagai kemasan dalam strategi pemasaran yang
menjurus pada penciptaan kebohongan publik.
Mahasiswa DKV
Pokoknya kerenlah! kuliah di DKV ujar seorang anak muda yang menganggap pilihan kuliahnya merupakan
bagian dari gaya hidup kontemporer. Namun besarnya animo kuliah DKV seringkali tidak dibarengi
dengan effort dalam berkarya. Hal ini dapat dirasakan makin sulitnya mengajar mahasiswa DKV jika dibandingkan
10 tahun yang lalu.
Mahasiswa DKV generasi sekarang sering mengabaikan proses dalam berkarya, inginnya serba instan. Inginnya
langsung menjadi desainer yang sakti mandraguna, kaya dan terkenal tanpa mau bersusah payah. Di lorong-lorong
kampus sering ditemui mahasiswa menenteng-nenteng notebook canggih MacBook Pro terbaru namun bukan
untuk menyelesaikan tugas hanya cukup puas untuk mengelola facebook . Keadaan ini dimungkinkan terjadi
karena makin sejahteranya para mahasiswa DKV. Biaya kuliah danoverhead yang harus ditanggung untuk
menyelesaikan kuliah DKV cukup tinggi sehingga otomatis yang mampu berkuliah juga mempunyai tingkat ekonomi
cukup baik. Sehingga seringkali daya beli lebih menjadi pertimbangan penting bagi pemilik pendidikan tinggi dalam
menerima mahasiswa bukan karena kemampuannya. Kalaupun pendidikan tinggi menyediakan beasiswa bagi
mahasiswa tidak mampu yang berprestasi jumlahnya pun tidak signifikan. Memang tidak semua mahasiswa
berperilaku buruk namun dirasakan semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Selamat bekerja keras para dosen!
Dibutuhkan effort yang luar biasa bagi dosen dalam menjalankan tugasnya, juga bagi mahasiswa agar dapat
menyelesaikan kuliah DKV. Bagaimana tidak? Bagi mahasiswa tidur menjadi barang yang mewah karena harus
begadang untuk menyelesaikan tugas-tugas yang tak kunjung henti.
Semakin berkembangnya pendidikan tinggi DKV secara kuantitas juga membuat persaingan antar mahasiswa
maupun lulusan DKV semakin keras. Tiap tahun ribuan mahasiswa DKV mencari tempat untuk kerja praktek dan
harus bersaing dengan sengitnya mengingat keterbatasan tempat yang tersedia di industri terkait. Demikian juga
lulusan DKV harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kesempatan kerja. Waktu tunggu dalam mendapatkan
pekerjaan juga semakin panjang.
Di sisi lain mahasiswa sering kali tidak mendapatkan pelayanan yang baik dalam fasilitas pembelajaran di kampus
yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam promosinya, kurikulum yang seringkali lebih bagus tertulis daripada
implementasinya, dosen-dosen dengan kompetensi yang rendah karena kurang gaul . Dalam menghadapi
kenyataan seperti itu seringkali mahasiswa hilang daya kritisnya hanya menerima saja tanpa menuntut hak yang
sewajarnya harus diterimanya. Bermacam sanksi akan diterima mahasiswa jika tidak menuntaskan kewajibannya
terhadap kampus mulai dari pembatasan SKS yang diambil, tidak boleh ikut kuliah dan sebagainya, sementara hak-
hak mahasiswa seringkali diabaikan oleh penyelenggara pendidikan. Penyelenggara pendidikan selalu menyatakan
diri sebagai lembaga nirlaba, jadi seolah-olah hubungannya dengan mahasiswa bukanlah hubungan antara penjual
jasa dan konsumen. Dengan demikian posisi penyelenggara pendidikan ditempatkan secara lebih kuat dibandingkan
dengan posisi mahasiswa. Apakah betul penyelenggara pendidikan di jaman sekarang masih murni berpikir seperti
Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa nya? Sebagian kecil iya, sebagian besar tidak. Bagaimana tidak?
Mengambil formulir pendaftaran yang seharusnya gratis harus ditebus dengan uang ratusan ribu rupiah! Dengan
dalih untuk menyeleksi minat calon mahasiswa agar tidak sembarang orang mendaftar, jika hanya sekedar
mengganti ongkos cetak tentunya tidak semahal itu. Bukankah katanya pendidikan untuk semua orang?
Pendidikan merupakan industri yang luar biasa besar karena tidak mengenal krisis ekonomi dan pendidikan
merupakan kebutuhan primer setelah makan. Jadi hubungan penyelenggara pendidikan dengan mahasiswa
merupakan hubungan antara penjual jasa dan konsumennya. Jadi ketika penjual jasa pendidikan lalai memenuhi
kewajibannya tuntutlah mereka di pengadilan. UU Perlindungan Konsumen memberikan jaminan.
Penyelenggara Pendidikan DKV
Bagi para penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, tingginyademand terhadap DKV
merupakan potensi untuk mendapatkan keuntungan. Tentunya penyelenggara pendidikan membuka pendidikan DKV
dengan perhitungan yang matang. Bohong besar jika membuka jurusan DKV tidak ada motivasi untuk mendapatkan
keuntungan, bagaimana mungkin membiayai infrastruktur dan operasional yang cukup besar. Namun dengan makin
banyaknya Perguruan Tinggi (PT) DKV akan semakin tinggi pula kompetisi dalam menjaring mahasiswa. Mekanisme
pasarlah yang akan menyeleksi sehingga perguruan tinggi terbaiklah yang akan bertahan. Beberapa PT DKV terbaik
setiap tahun menerima lamaran dari ribuan calon mahasiswa. Dari formulir yang dijual Rp 200 ribu Rp 800 ribu
saja PT tersebut dapat meraup ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi dari uang pangkal, uang gedung,
uang SKS, uang daftar ulang maupun sumbangan ini itu. Tidak heran semakin lama yang dapat menikmati
pendidikan tinggi DKV hanya kaum berpunya. Hanya sebagian kecil mahasiswa berprestasi yang tidak mampu,
mendapatkan fasilitas beasiswa. Namun mereka juga dijadikan obyek iklan pencitraan tanggung jawab sosial oleh
para penyelenggara pendidikan sebagai selubung naluri kapitalisnya.
Ketika demand pendidikan DKV pada suatu PT DKV sangat tinggi, maka kelas paralel yang dibukapun semakin
banyak, karena keuntungan yang diperoleh akan menjadi berlipat ganda. Seringkali PT DKV memaksakan diri
dengan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya meskipun infrastruktur pendidikan maupun rasio dosen-
mahasiswa tidak menunjang. Dengan menerima mahasiswa yang sebanyak-banyaknya berarti melonggarkan
parameter kriteria mahasiswa yang diterima. Laris manis!
Kegiatan marketing dilakukan dengan sangat agresif dan seringkali menafikan substansi dari pendidikan itu
sendiri. Pendidikan menjadi komoditas ekonomi, sehingga marketingmenjadi panglima dan para operator
(struktural di jurusan/program studi/dosen) menjadi subyek penderita. Aneh subyek kok penderita? Demikian lihainya
penyelenggara pendidikan mengemas kegiatannya sebagai bentuk kegiatan nirlaba namun perilakunya bak kapitalis
sejati. Ironis.
UU BHP yang baru saja disahkan menuntut semua satuan pendidikan baik negeri maupun swasta menjadi Badan
Hukum Pendidikan paling lambat dalam 6 tahun ke depan. Di dalam salah satu pasal UU BHP tercantum bahwa
Badan Hukum Pendidikan diperkenankan mempunyai investasi dalam bentuk portofolio dan diperkenankan
mendirikan badan usaha berbadan hukum. Secara tersurat dalam UU ini jelas membuka peluang bagi BHP untuk
berperilaku sebagai kapitalis meskipun tujuan yang diharapkan sangat mulia yaitu untuk membiayai pendidikan.
Semoga saja tidak menjadi kedok semata karena bukan tidak mungkin dengan metode money laundring
yang canggih dapat disalahgunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Bukan tidak mungkin UU BHP ini akan
memunculkan konglomerasi pendidikan. Tidak heran UU BHP ini menuai pro dan kontra yang berkepanjangan.
Mencoba berpikir positif semoga UU BHP benar-benar mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat banyak.
Dosen DKV
Bagaimana nasib para dosen DKV sebagai ujung tombak dari pendidikan? Apakah menjadi lebih sejahtera, lebih
makmur dengan booming pendidikan DKV? Memang kebahagiaan tidak dapat hanya diukur dari kesejahteraan
dan kemakmuran. Bahagia itu soal hati yang personal sifatnya, maka orang sejahtera dan orang yang makmur
belum tentu orang yang berbahagia. Sebagian dari dosen menyatakan bahwa pilihan profesinya diambil karena
senang mengajar bukan semata-mata mencari uang. Mungkin juga ada yang berpikir di dalam hati menjadi dosen
karena profesi yang aman meskipun penghasilannya tidak banyak namun tidak terkena imbas krisis secara
langsung. Daripada menanggung resiko bekerja di industri DKV yang masih labil dengan pengalaman menyakitkan
ditindas klien, persaingan yang semakin keras karena harus bersaing dengan mahasiswa freelance dan
sebagainya. Menjadi dosen dan alasannya merupakan suatu pilihan bebas dan personal.
Pada kenyataannya penghargaan material kepada dosen masih memprihatinkan. Masih banyak dosen DKV yang
dibayar terlalu murah hanya belasan ribu per SKS plus tunjangan transpor yang sekedarnya, sehingga tidak mampu
membeli buku dari gajinya sebagai dosen! Lebih celaka lagi kalau mengajar menjadi satu-satunya profesi. Mungkin
dengan adanya UU Guru dan Dosen yang dampaknya semoga sudah dirasakan oleh para dosen PTN dengan
menjadi lebih sejahtera. Untuk dosen PTS semoga bisa bersabar menantikan kehadiran kesejahteraan yang
biasanya disertai berbagai persyaratan culas yang membuat perut mulas.
Mungkin diperlukan suatu asosiasi dosen DKV untuk memberdayakan profesi dosen sehingga mempunyai posisi
tawar yang baik terhadap penyelenggara pendidikan, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Jika para
buruh saja mampu berasosiasi, mengapa para dosen DKV tidak? Asosiasi akan berguna sebagai medium aspirasi
para dosen DKV baik internal sebagai wadah capacity building maupun eksternal sebagai payung sekaligus
senjata dalam memperjuangkan kepentingan dosen DKV secara politis. Ayo para dosen DKV bersatu dalam
asosiasi!
Industri DKV
Masalah lainnya yaitu belum berdayanya industri DKV dengan masih merajalelanya free
pitching, pitching fiktif, pitching massal dan sebagainya. Hal tersebut salah satunya disebabkan belum kuatnya
asosiasi profesi terkait dengan DKV dalam memperjuangkan kepentingannya. Asosiasi masih enggan untuk
melakukan aktivitas politis untuk memperkuat kedudukannya dengan melakukan lobi lintas asosiasi, pemerintah
maupun parlemen. Tanpa melakukan itu mustahil asosiasi dapat mencapai tujuannya dan hanya menjadi
wahana gathering bagi pengurus dan anggotanya. Kita dapat melihat betapa kuatnya kedudukan asosiasi-
asosiasi profesi lainnya di hadapan pemerintah.
ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) sebagai salah satu asosiasi rujukan dalam profesi terkait DKV sampai
saat ini masih belum selesai berkonsolidasi secara internal. Jangankan untuk beraktivitas secara politis. ADGI masih
harus menyelesaikan PR dengan membuat standar perilaku usaha dan etika profesi yang harus disepakati semua
pemangku kepentingan. Mungkin juga membuat standar pricing maupun standar salaryberdasarkan survei
sebagai acuan. Menyelesaikan masalah sertifikasi profesi desainer grafis yang masih dalam proses penggodogan
dengan departemen terkait. Sertifikasi ini menjadi penting sehubungan dengan sifat terbukanya profesi desainer
grafis. Seorang desainer grafis dapat dilatarbelakangi pendidikan desain namun banyak juga dengan latar belakang
pendidikan berbeda bahkan otodidak. Kondisi ini juga perlu mendapat perhatian dari dunia pendidikan tinggi DKV.
Pendidikan Tinggi DKV dapat berperan dalam memberikan sumbangan pemikiran kepada industri terkait jangan
hanya semata-mata mengelontor industri dengan produk lulusan secara kuantitas tapi mengabaikan kualitas. Masih
panjang perjalanan ADGI sebagai salah satu asosiasi profesi dalam memperjuangkan pemberdayaan profesi
desainer komunikasi visual.
Penutup
Meskipun ditinjau dari sejarahnya pendidikan DKV telah dirintis sejak 59 tahun yang lalu namun masih banyak
membutuhkan penyempurnaan-penyempurnaan yang harus terus dilakukan agar dapat beradaptasi dengan
kemajuan jaman. Perkembangan teknologi dan media informasi telah membawa harapan bagi DKV baik sebagai
disiplin keilmuan maupun disiplin praktis untuk dapat berkontribusi secara lebih luas pada peradaban manusia.
Potensi sumber daya manusia kreatif Indonesia juga membawa harapan bagi tumbuhnya kreator-kreator di bidang
kreatif yang berdaya saing tinggi di era globalisasi. Selain sumber daya manusia kreatif yang melimpah, budaya dan
warisan budaya Indonesia dapat menjadi sumber inspirasi yang tiada habisnya dalam berkarya. Kemajuan DKV
menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan yang terlibat. Sinergi semua pemangku kepentingan akan
membawa DKV lebih bermartabat.
Oleh: Hastjarjo B Wibowo

Anda mungkin juga menyukai