Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN INDIVIDU

BLOK VII
SKENARIO III

KARSINOMA NASOPHARYNX

Nama : Jiemi Ardian


NIM : G 0007012
Tutor : Dr. Agus Priyono, Sp.OT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2008

KARSINOMA NASOPHARYNX
I. PENDAHULUAN
i. LATAR BELAKANG
Skenario
Seorang penderita laki-laki umur 40 tahun, datang ke Puskesmas dengan
keluhan benjolan di leher kanan. Benjolan di leher kanan mula-mula sebesar kacang,
makin lama makin membesar. Benjolan dirasakan muncul sejak 3 bulan yang lalu.
Benjolan sekarang sebesar telur itik. Penderita juga mengeluh sering keluar darah dari
lubang hidung, hidung dirasakan makin tersumbat, telinga kanan terasa penuh,
pandangan mulai kabur, kepala pusing.
Hasil pemeriksaan dokter Puskesmas, tekanan darah 130/80 mmHg, benjolan
keras sukar digerakkan, tidak nyeri tekan. Tidak didapatkan kelainan sistemik yang
berarti. Selanjutnya dokter Puskesmas merujuk ke rumah sakit.
Pembelahan sel bertujuan untuk pertumbuhan atau mengganti sel-sel yang
rusak. Pembelahan ini diatur oleh mediato kimia tubuh. Jika terjadi kelainan pada
beberapa sel akibat zat-zat yang karsinogenik, sel tersebut dapat menjadi tidak peka
terhadap mediator tersebut dan membelah tanpa terkendali.
Jika sel-sel neoplasma tersebut tumbuh pada nasofaring, dapat timbul
gangguan pada organ dan menyebar ke organ-organ di dekatnya atau organ yang jauh.
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak
ditemukan di Indonesia.
ii. RUMUSAN MASALAH
1. Struktur normal nasofaring
2. EBV dalam kaitannya dengan karsinoma nasofaring

3. Kelainan yang diderita pasien pada skenario


4. Hubungan gejala dengan karsinoma nasofaring
iii. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
1. Mampu menjelaskan struktur normal nasofaring
2. Mengetahui seluk beluk karsinoma nasofaring
II. STUDI PUSTAKA

STRUKTUR NASOPHARYNX
ANATOMI
Nasopharynx disebut juga epifaring, merupakan bagian dari pharynx yang

terletak paling kranial, tepatnya di belakang cavum nasi, berperan dalam respirasi.
Dihubungkan dengan orofaring dibatasi isthmus pharyngeus, dibatasi oleh palatum
molle, arcus palatopharyngeus, dan dinding dorsal faring. Berhubungan dengan
cavum nasi melalui choanae.
Fornix pharyngis melekat pada fascies inferior corpus ossis sphenoidalis dan
pars basiaris ossis occipitalis. Pada dinding posterior nasopharnyx, terdapat massa
limfoid yang disebut tonsilla pharyngealis. Di sebelah lateral terdapat OPTAE
(Ostium Pharyngeum Auditiva Eustachii), yang merupaka muara dari tuba auditiva
eustachius yang menghubungkan cavun tympani dengan nasopharynx. Dalam
keadaan normal tertutup, tetapi jika diperlukan untuk menyamakan tekanan cavum
tympani dan udara luar dapat dibuka oleh musuculus tensor velli palatini.
Aliran limfe dari nasofaring bersama dengan aliran limfe dari palatum molle
dan tonsil akan bermuara ke lymfonodi retropharyngeal terus ke nodi lymphatici
cervicales laterales profundi superiores yang berada di regio colli.

Di dekat nasopharynx terdapat jalur-jalur dari beberapa syaraf cranial,


sehingga pembesaran abnormal dari nasopharynx dapat menganggu fungsi dari
nervus-nervus tersebut (Budianto, 2005).
HISTOLOGI
Epitel yang melapisi permukaan nasopharynx serupa dengan epitel yang
melapisi traktus respiratorius yaitu epitel pseudocomplex columnair dengan silia dan
sel goblet. Sedangkan epitel pada bagian pharynx yang lain adalah epitel squamous
complex. Sehingga terdapat daerah taut squamo-columnair pada daerah nasopharynx.
Daerah taut ini sering mengalami displasia epitel (Junqueira, 2003).

EPSTEIN BARR VIRUS


Virus famili Herpesviridae, genus Lymphocryptovirus, disebut juga human

herpesvirus 4(Newman, 2006). Dari sudut imunologi, EBV membawa antigen: (1)
Antigen inti (EBV nuclear agent atau EBNA); (2) Antigen awal R (Early Antigen
atau EA-R); (3) Antigen awal D (EA-D); (4) Antigen kapsid (Viral capsid antigen
atau VCA); dan (5) antigen limfositik (Lymphocyte-determined membrane antigen
atau LYMDA). Antigen-antigen ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologis.
Virus ini mampu menyerans manusia dan monyet, hospes seluruhnya sel
limfosit B, sel epitel oropharynx dan nasopharynx. Penularan dapat terjadi melalui
ciuman, sehingga sering disebut kissing disease. Dalam epitel, virus menghasilkan
antigen: EA, VCA, dan MA. Infeksi pada sel limfosit menghasilkan imortalisasi sel
dan mengubahnya menjadi sel limfoblas yang mengekspresikan antigen EBNA dan
LYMDA. Sebagian kecil infeksi ditularkan melalui transfusi darah.
Pada anak, infeksi sering asimtomatik. Walaupun asimtomatik, kira-kira 90%
penderita secara intermiten mengeluarkan virus dalam salivanya dalam jangka waktu
yang sangat lama. EBV sering tidak dapat menyebabkan terbentuknya karsinoma

nasofaring, tetapi EBV sendiri tidak dapat menyebabkan karsinoma nasopharynx,


dibutuhkan kofaktor lainnya seperti zat karsinogenik kimia yang berperan dalam
karsinogenesis (Staf Pengajar FK UI, 1994)
III. DISKUSI / BAHASAN
Pada skenario ditemukan pasien menderita benjolan di leher kanan. Penulis
akan membahas beberapa differensial diagnosa pada kasus ini. Benjolan dapat
disebabkan oleh Higroma colli. Anyaman pembuluh limfe yang pertama kali
terbentuk di sekitar pembuluh vena mengalami dilatasi dan bergabung membentuk
jala yang di daerah tertentu akan berkembang menjadi sakus limfatikus. Pada embrio
usia dua bulan, pembentukkan sakus primitif telah sempurna. Bila hubungan saluran
ke arah sentral tidak terbentuk maka timbullah cairan yang akhirnya membentuk
kista berisi cairan. Namun karena pasien berusia 40 tahun dan benjolan baru muncul
3 bulan yang lalum, maka pasien bukan menderita higroma colli (Jong, 1997).
Kemungkinan

limpoma

baik

hodgkin

maupun

non-hodgkin

dapat

disingkirkan, karena walaupun tidak menimbulkan rasa nyeri, namun limpoma ini
mengakibatkan rasa gatal (Newman, 2006). Sedangkan penyakit-penyakit radang
seperti limfadenitis ataupun parotitis menyebabkan rasa nyeri sehingga tidak
mungkin. Kemungkinan disebabkan oleh struma tiroid juga dapat dibuang karena
letak tumor pada sebelah kanan leher.
Kemungkinan besar pasien menderita karsinoma nasopharynx pada tahap
lanjut karena terdapat manifestasi klinis yang sesuai antara karsinoma nasopharynx
dengan kelainan yang diderita oleh pria tersebut.
Gejala karsinoma nasopharynx dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasopharynx, telinga, mata dan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala
dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan pada telinga karena
tempat asal terletak dekat muara tuba Eustachius. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa

tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga. Karena karsinoma nasopharynx
berhubungan dan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi. Penjalaran melalui foramen laserum akan
mengenai saraf otak ke III,IV,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang
menimbulkan gejala diplopia.
Pada kasus kali ini metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher
yang mendorong penderita untuk berobat, karena memang sebelumnya tidak ada
keluhan lain.
Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan CT-scan daerah kepala dan
leher, sehingga pada tumor primer tersembunyipun tidak akan terlalu sulit ditemukan.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B juga
dapat digunakan untuk diagnosis karsinoma nasopharynx. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan biopsi nasopharynx.
Untuk penatalaksanaan, radioterapi merupakan pengobatan utama, dilakukan
5-6 hari dalam seminggu. Karsinoma nasopharynx sangat peka terhadap pancaran
radioaktif sehingga pengaobatan dengan radioterapi sangat efektif kecuali pada
karsinoma dengan kornifikasi. Pengobatan tambahan yang dapat diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan antivirus. Pembedahan diseksi leher lokal dilakukan terhadap
benjolan pada leher kanan.
IV. KESIMPULAN
1.

Pasien kemungkinan besar menderita karsinoma nasopharynx.

2. Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.


3. Jika terbukti karsinoma maka diberikan pengobatan radioterapi.

4.

Pasien mungkin memiliki prognosis baik karena belum ditemukan kelainan


sistemik

V. DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Anang, 2005. Nasopharynx : I. Pharynx. Dalam : Guidance to
Anatomy III. Surakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, pp
: 58-60
Dorland, W.A Newman, 2006. Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. Jakarta ,
EGC, p : 637
Mansjoer, Arif, et al, 2002. Bedah Tumor. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran,
3th ed. Jakarta, Media Aesculapius, pp : 370-377
Roezin, Averdi. 1997. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok 3th ed. Jakarta, Balai Penerbit FK UI, pp : 149153
Widjoseno, Gardjito. 1998. Kepala dan Leher. Dalam : Jong, Wim de,
Sjamsuidajat. R. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta, EGC, pp : 501-503

Anda mungkin juga menyukai