PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah
Sejak awal pemerintahan Orde Baru hingga di era Reformasi sekarang ini,
perkembangan ekonomi Indonesia tampaknya selalu dipengaruhi oleh gejolak
harga bahan bakar minyak (BBM) dunia. Selama periode pertama, fluktuasi harga
minyak dunia berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pada
periode kedua ini, gejolah kenaikan harga minyak tersebut cenderung berpengaruh
pada tingkat inflasi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah dicapai selama dua puluh lima
tahun pembangunan Indonesia sejak tahun 1969, antara lain telah dipacu oleh
melimpahnya penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi akibat naiknya harga
ekspor minyak dunia. Hal itu dimungkinkan karena pangsa ekspor minya bumi
saat itu merupakan sebagian besar dari total ekspor Indonesia. Pada tahun 1970
pangsa ekspor minyak bumi masih 40,3%, terus meningkat mencapai tertinggi
pada tahun 1982, sebesar 82,4 %. Menjelang reformasi, tahun 1997, pangsa
ekspor minyak bumi tinggal sekitar 22% dari total ekspor Indonesia. (Dumairy,
1997, hal. 183)
Namun, setelah itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai menurun
seiring dengan menurunnya penerimaan ekspor minyak bumi. Selain turunnya
harga minyak bumi, pangsa ekspor minyak Indonesia juga mulai menurun seiring
dengan semakin berkurangnya produksi minyak bumi di negeri ini.
Selanjutnya,di masa reformasi sekarang ini gejolak kenaikan harga dunia
justru berpengaruh terhadap terhadap beban APBN yang menanggung subsidi
terhadap konsumen bahan bakar minyak. Sehubungan dengan itu, timbul
permasalahan bagi pemerintah antara pilihan menanggung subsidi yang semakin
besar atau menguragi subsidi dengan konsekuensi meningkatnya inflasi karena
naiknya harga BBM di dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh posisi Indonesia
sudah tidak lagi menjadi bagian anggota OPEC, malahan sudah menjadi negara
pengimpor neto terhadap bahan bakar minyak (BBM).
Selama lima tahun pertama pembangunan di era Orde Baru pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 8,56 persen per tahun (1969-1973).
Pertumbuhan tertinggi sebesar 11, 3% dicapai pada tahun 1973. Walaupun pada
periode lima tahun kedua (1974-1978) terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi
menjadi rata-rata 6,96 persen per tahun, namun pertumbuhan ekonomi tersebut
masih tergolong tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama sepuluh tahun
tersebut telah didukung oleh bonanza (rezeki nomplok) minyak bumi yang
diterima Indonesia. Kenaikan devisa ekspor minyak saat itu dipicu oleh
melonjaknya harga minyak dunia akibat konflik antara Arab dan Izrael, di mana
negara-negara Arab anggota OPEC menghentikan ekspor ke negara-negara
pendukung Izrael. Krisis energi minyak dunia tersebut terjadi pada tahun 1973.
Indonesia yang saat itu masih sebagai anggota negara OPEC telah menikmati
rezeki petro dollar tersebut. Peretumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut
berlangsung hingga akhir tahun 1970-an. (Dumairy, 1997, ibid).
Selanjutnya, krisis minyak dunia sejak awal tahun 1970-an tersebut telah
menyebabkan krisis ekonomi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat,
Negara-negara di Eropa dan Jepang. Akibatnya, harga minyak dunia menurun
drastis sejak awal tahun 1980-an. Hal itu berpengaruh pada kinerja perekonomian
Indonesia. Di samping dampak krisi ekonomi dunia mulai masuk ke Indonesia,
keadaannya diperparah oleh anjloknya harga minyak sehingga penerimaan ekspor
berkurang drastis. Akhirnya, hal itu berpengaruh terhadap menurunnya
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Memasuki era Reformasi, yang ditandai oleh krisis moneter dan ekonomi
pada tahun 1998, gejolak harga minyak dunia yang cenderung terus meningkat
telah membuat pemerintah Indonesia kesulitan dalam memenuhi anggaran
pembangunan. Hal ini disebabkan oleh dasar patokan APBN adalah harga minyak
dunia, sementara posisi Indonesia sudah menjadi negara pengimpor bersih
Sektor keuangan kita turut terkoreksi dan rentan gejolak. Nilai tukar rupiah
sempat tembus di kisaran Rp 12 ribu per dolar AS. Akibatnya, kenaikan harga
BBM saat itu mengerek laju inflasi pada level yang tinggi, inflasi 2008 sebesar
11,06 persen. Padahal, inflasi sebelum kenaikan harga BBM pada Mei 2008 baru
sebesar 5,35 persen.
Situasi yang hampir sama juga terjadi pada saat ini. Saat ini, situasi pasar
finansial kita juga cukup rentan terhadap gejolak eksternal. Nilai tukar rupiah saat
ini berada di kisaran Rp 17.700-an.
Kita juga menghadapi kemungkinan dampak kebijakan tapering dan
pengakhiran kebijakan quantitative easing di AS. AS diperkirakan menaikan
tingkat suku bunga acuannya dan ini berpotensi menimbulkan krisis likuiditas
bagi Indonesia, sama persis dengan 2008.
Padahal, saat ini saja bank-bank sudah kesulitan likuiditas terlihat dari
tingginya loan to deposit ratio (LDR) yang di atas 90 persen. Konsekuensinya,
kurs rupiah terancam semakin melemah dan inflasi karena faktor eksternal
(imported inflation) akan meningkat.
Dengan pertimbangan di atas, tampaknya pilihan yang sangat sulit bagi
pemerintah (baik pemerintahan SBY maupun Jokowi) untuk menaikkan harga
BBM di sisa akhir 2014. Kenaikan harga BBM mungkin bisa dilakukan, tapi
besarannya tidak bisa tinggi.
Oleh karenanya, dalam jangka dekat ini pemerintah harus mengefektifkan
langkah-langkah pengurangan subsidi BBM di luar kenaikan harga BBM
bersubsidi
1.2. Rumusan masalah
1. Apakah kenaikan BBM itu ?
2. Apakah nilai tukar itu ?
APBN
Untuk mencapai tujuan nasional dalam rangka pelaksanaan pembangunan,
adalah
rencana
kerja
yang
telah
diperhitungkan
dengan
b.
Mengendalikan
kestabilan
ekonomi
dalam
arti
mengendalikan
c.
Menjaga keamanan dan ketahanan suatu negara baik dari dalam negeri
pemerintah
di
Indonesia
diwujudkan
melalui
Anggaran
1. Struktur APBN
A.
I.
1.
Penerimaan Perpajakan
a.
i.
Pajak Penghasilan
1.
Migas
2.
Non Migas
ii.
iii.
PBB
iv.
BPHTB
v.
Cukai
vi.
Pajak Lainnya
b.
i.
Bea Masuk
ii.
Pajak Ekspor
2.
a.
Penerimaan SDA
i.
Minyak Bumi
ii.GasAlam
iii.
Pertambangan Umum
iv.
Kehutanan
v.
Perikanan
b.
c.
B.
Belanja Negara
Belanja Pegawai
2.
Belanja Barang
3.
Belanja Modal
4.
a.
b.
5.
Subsidi
a.
Subsidi BBM
b.
6.
Belanja Hibah
7.
Bantuan Sosial
8.
Belanja Lain-lain
II.
Transfer ke Daerah
1.
Dana Perimbangan
a.
b.
c.
2.
C.
Keseimbangan Primer
D.
E.
Pembiayaan
I.
1.
2.
a.
Privatisasi
b.
c.
i.
ii.
II.
1.
a.
Pinjaman Program
b.
Pinjaman Proyek
2.
Siklus Anggaran
dan PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian
Negara/Lembaga,
Kementerian
Negara/Lembaga
menyusun
dengan
Kementerian
Keuangan
berdasarkan
usulan
c.
dalam
bentuk
Surat
Edaran
Pagu
Sementara.
Kementerian
dari
Kementerian
Negara/Lembaga
lain.
Misalnya
dalam
RKAKL
dari
seluruh
Kementerian
Negara/Lembaga
untuk
adalah
Tingkat inflasi
Dalam pasar valuta asing, perdagangan internasional baik dalam bentuk
barang atau jasa menjadi dasar yang utama dalam pasar valuta asing, sehingga
perubahan harga dalam negeri yang relatif terhadap harga luar negeri dipandang
sebagai faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing. Contoh: jika
Amerika sebagai mitra dagang Indonesia mengalami tingkat inflasi yang cukup
tinggi maka harga barang Amerika juga menjadi lebih tinggi, sehingga otomatis
permintaan terhadap produk relatif mengalami penurunan.
Rasio uang dalam daya beli (paritas daya beli) berfungsi sebagai titik nilai
tukar yang mencerminkan hukum nilai. Itulah mengapa tingkat inflasi berdampak
pada nilai tukar. Peningkatan inflasi di suatu negara mengarah pada penurunan
mata uang nasional, dan sebaliknya. Penyusutan inflasi uang di dalam negeri akan
mengurangi daya beli dan kecenderungan untuk menjatuhkan nilai tukar mata
uang mereka terhadap mata uang negara-negara di mana tingkat inflasi yang lebih
rendah.
b.
Perubahan tingkat suku bunga di suatu negara akan mempengaruhi arus modal
internasional. Pada prinsipnya, kenaikan suku bunga akan merangsang masuknya
modal asing Itulah sebabnya di negara dengan modal lebih tinggi tingkat suku
bunga masuk, permintaan untuk meningkatkan mata uang, dan itu menjadi mahal.
Pergerakan
modal,
terutama
spekulatif
uang
panas
meningkatkan
mendapatkan pinjaman lebih murah di pasar uang asing, dimana tingkat lebih
rendah, dan tempat mata uang asing di pasar kredit domestik, jika tingkat bunga
yang lebih tinggi. Di sisi lain, kenaikan nominal suku bunga di suatu negara
menurunkan permintaan untuk mata uang domestik sebagai tanda terima kredit
yang mahal untuk bisnis. Dalam hal mengambil pinjaman, pengusaha
meningkatkan biaya produk mereka yang, pada gilirannya, menyebabkan
tingginya harga barang dalam negeri. Hal ini relatif mengurangi nilai mata uang
nasional terhadap satu negara
d.
mata uang asing adalah laju pertumbuhan pendapatan terhadap harga-harga luar
negeri. Laju pertumbuhan pendapatan dalam negeri diperkirakan akan
melemahkan kurs mata uang asing. Sedangkan pendapatan riil dalam negeri akan
meningkatkan permintaan valuta asing relatif dibandingkan dengan supply yang
tersedia.
e.
Kontrol pemerintah
Kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi keseimbangan nilai tukar dalam
mata uang.
f.
Ekspektasi
Faktor terakhir yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah
ekspektasi nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain,
pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan.
Dan sebagai contoh, berita mengenai bakal melonjaknya inflasi di AS mungkin
bisa menyebabkan pedagang valas menjual Dollar, karena memperkirakan nilai
Dollar akan menurun di masa depan. Reaksi langsung akan menekan nilai tukar
Dollar dalam pasar.Dampak Kenaikan BBM Pada Masyarakat Kecil Walaupun
dampak kenaikan harga BBM tesebut sulit dihitung dalam gerakan kenaikan
inflasi, tetapi dapat dirasakan dampak psikologisnya yang relatif kuat. Dampak ini
dapat menimbulkan suatu ekspektasi inflasi dari masyarakat yang dapat
mempengaruhi kenaikan harga berbagai jenis barang/jasa. Ekspektasi inflasi ini
muncul karena pelaku pasar terutama pedagang eceran ikut terpengaruh dengan
kenaikan harga BBM dengan cara menaikkan harga barang-barang dagangannya.
Dan biasanya kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat terjadi
ketika isu kenaikan harga BBM mulai terdengar.
Perilaku kenaikan harga barang-barang kebutuhan masyarakat setelah
terjadi kenaikan harga beberapa jenis BBM seperti premium (bensin pompa),
solar, dan minyak tanah dari waktu ke waktu relatif sama. Misalnya, dengan
naiknya premium sebagai bahan bakar transportasi akan menyebabkan naiknya
tarif angkutan. Dengan kenaikan tarif angkutan tersebut maka akan mendorong
kenaikan harga barang-barang yang banyak menggunakan jasa transportasi
tersebut dalam distribusi barangnya ke pasar. Demikian pula dengan harga solar
yang mengalami kenaikan juga akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa
yang dalam proses produksinya menggunakan solar sebagai sumber energinya.
Begitu seterusnya, efek menjalar (contagion effect) kenaikan harga BBM
terus mendongkrak biaya produksi dan operasional seluruh jenis barang yang
menggunakan BBM sebagai salah satu input produksinya yang pada akhirnya
beban produksi tersebut dialihkan ke harga produk yang dihasilkannya. Kenaikan
harga beberapa jenis BBM ini akan menyebabkan kenaikan harga di berbagai
level harga, seperti harga barang di tingkat produsen, distributor/pedagang besar
sampai pada akhirnya di tingkat pedagang eceran. Gerakan kenaikan harga dari
satu level harga ke level harga berikutnya dalam suatu saluran perdagangan
(distribution channel) adakalanya memerlukan waktu (time lag). Tetapi, yang jelas
muara dari akibat kenaikan harga BBM ini adalah konsumen akhir yang notabene
adalah berasal dari kebanyakan masyarakat ekonomi lemah yang membutuhkan
barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari dengan membeli barang-barang
kebutuhannya sebagian besar dari pedagang eceran. Dan biasanya kenaikan harga
di tingkat eceran (retail price) ini lebih besar dibandingkan dengan kenaikan harga
di tingkat harga produsen (producer price) maupun di tingkat pedagang besar
(wholesale price).
Kenaikan harga beberapa jenis BBM bulan Mei 1998, terulang kembali di
bulan Juni 2001 dengan beberapa skenario kenaikan harga beberapa jenis BBM
(premium, solar, minyak tanah). Menurut salah satu sumber di Badan Pusat
Statistik, untuk jenis barang BBM yang harganya ditentukan pemerintah, hampir
50 persen dari pengaruh kenaikan BBM sudah dihitung dalam penghitungan
inflasi pada bulan Juni 2001. Misalnya bensin naik dari Rp 1.150/liter menjadi Rp
1.450/liter. Karena kenaikan BBM terjadi di bulan Juni, nilai yang digunakan
dalam penghitungan inflasi bulan Juni adalah ((1150 + 1450)/2) = 1300 sehingga
perubahan yang digunakan adalah perubahan dari harga Rp 1.150/liter menjadi Rp
1.300/liter atau naik 13,04 persen. Sementara untuk bulan Juli 2001, perubahan
harga yang dihitung adalah dari harga bensin Rp 1.300/liter menjadi Rp 1.450/
liter atau naik 11,54 persen. Perlakuan ini juga berlaku untuk jenis barang BBM
lainnya.
Dengan demikian, pada bulan Juli 2001, sumbangan inflasi dari BBM
(bensin, solar, dan minyak tanah) akan mencapai 0,28 persen. Ditambah lagi
sumbangan inflasi pelumas/oli yang apabila naik 15 persen akan memberikan
sumbangan inflasi sebesar 0,05 persen. Sumbangan inflasi dari BBM akan
bertambah besar jika komponen BBM lainnya yang tidak ditetapkan pemerintah
bergerak sesuai selera pasar. Tekanan inflasi akan semakin besar apabila
pemerintah menaikkan tarif dasar listrik rata-rata.
Dampak ini hanya sebagian kecil saja yang terjangkau dari pandangan
kita. Justru dampak tak langsung yang merupakan hasil multiplier effect dapat
menyeret tingkat inflasi lebih tinggi lagi.
Inflasi bulan Juni 2001 sebesar 1,67 persen dan laju inflasi dari JanuariJuni 2001 sudah mencapai 5,46 persen, dengan adanya kenaikan harga BBM
sepertinya pemerintah harus merevisi asumsi inflasi APBN tahun 2001 yang
hanya berkisar 9,3 persen menjadi inflasi dua digit. Sebab, setelah bulan Juli tahun
ini, masih banyak faktor pemicu inflasi lain seperti peristiwa SI MPR dan faktor
musiman seperti Lebaran dan Natal yang akan mendongkrak tingkat inflasi lebih
tinggi lagi.
2.4.
dan Perekonomian
Jika terjadi kenaikan harga BBM, maka akan terjadi inflasi. Terjadinya
inflasi ini tidak dapat dihindari karena bahan bakar, dalam hal ini premium,
merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat, dan merupakan jenis barang
komplementer. Meskipun ada berbagai cara untuk mengganti penggunaan BBM,
tapi BBM tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Inflasi akan terjadi karena apabila subsidi BBM dicabut, harga BBM akan
naik. Masyarakat mengurangi pembelian BBM. Uang tidak tersalurkan ke
pemerintah tapi tetap banyak beredar di masyarakat. Jika harga BBM naik, harga
barang dan jasa akan mengalami kenaikan pula. Terutama dalam biaya produksi.
Inflasi yang terjadi dalam kasus ini adalah Cost Push Inflation. Karena inflasi
ini terjadi karena adanya kenaikan dalam biaya produksi. Ini jika inflasi dilihat
berdasarkan penyebabnya. Sementara jika dilihat berdasarkan sumbernya, yang
kita
merupakan
penghasil
minyak,
dalam
kenyataannya
untuk
memproduksi BBM kita masih membutuhkan impor bahan baku minyak juga.
Dengan tidak adanya kenaikan BBM, subsidi yang harus disediakan
pemerintah juga semakin besar. Untuk menutupi sumber subsidi, salah satunya
adalah kenaikan pendapatan ekspor. Karena kenaikan harga minyak dunia juga
mendorong naiknya harga ekspor komoditas tertentu. Seperti kelapa sawit, karena
minyak sawit mentah (CPO) merupakan subsidi minyak bumi. Income dari
naiknya harga CPO tidak akan sebanding dengan besarnya biaya yang harus
dikeluarkan untuk subsidi minyak.