DISKUSI
Diskusi
Bronkopneumonia merupakan peradangan pada paru dimana proses
peradangannya ini menyebar membentuk bercak-bercak infiltrat yang berlokasi di
alveoli paru dan dapat pula melibatkan bronkiolus terminal (Smeltzer dan
Suzanne C, 2002:57). Bronkopneumonia disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi jamur dan seperti bakteri, virus, dan benda asing ( Ngastiyah, 2005).
Bronkopneumonia adalah bronkolius terminal yang tersumbat oleh eksudat,
kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat
lobules, disebut juga pneumonia lobaris (Whaley& Wong, 2000).
Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini
dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia anak usia 1 5
tahun adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Stretococcus
grup A, dan S. aureus. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita
bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu
mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor imunitas, faktor iatrogen
juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia,
pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna. Jadi patogen penyebab
bronkopneumonia pada anak bervariasi tergantung usia, status lingkungan,
kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara), status imunitas, faktor
pejamu (penyakit penyerta dan malnutrisi) (Abdoerrachman, dkk., 2007).
Gejala yang timbul pada bronkopneumonia biasanya mendadak tetapi dapat
didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Dari anamnesa
didapatkan gejala anatara lain suhu dapat naik secara mendadak sampai 39 - 40C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang terlalu tinggi, batuk dimana
terkadang pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif, sesak,
kebiruan di sekitar mulut, menggigil, nyeri dada, anak sangat gelisah, pada bayi
bisa disertai dengan hidung tersumbat, rewel serta nafsu makan yang menurun.
22
23
Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang
atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis, atau ileus
(Setiawati, dkk., 2008).
Pada pemeriksaan fisik penderita bronkopneumonia ditemukan adalah suhu
39C, dari inspeksi didapatkan dispneu (inspiratory effort) yang ditandai dengan
takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung
dan mulut. Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling
dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Gerakan dinding thoraks dapat
berkurang pada daerah yang terkena. Pada palpasi stem fremitus akan meningkat
pada sisi yang sakit, tetapi terkadang ditemukan stem fremitus yang simetris. Pada
perkusi tidak didapatkan adanya kelainan (normal), terkadang juga ditemukan
redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama
melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapang
paru yag terkena (Setiawati, dkk., 2008).
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil diantaranya pada pemeriksaan
darah tepi dapat terjadi leukositosis, biasanya 15.000 40.000/ mm3 dengan
hitung jenis bergeser ke kiri. Nilai Hb biasanya tetap normal atau sedikit menurun.
Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah (BGA) menunjukkan
keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat
rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis
respiratorik, asidosis metabolic, dan gagal nafas. Pemeriksaan kultur darah jarang
memberikan hasil yang positif tetapi dapat membantu pada kasus yang tidak
menunjukkan respons penanganan awal. Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar
yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Luas kelainan pada gambaran
radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi
mikoplasma gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran
lain yang dapat dijumpai konsolidasi pada stu lobus atau lebih pada pneumonia
lobaris, penebalan pleura pada pleuritis, komplikasi pneumonia seperti atelektasis,
efusi
pleura,
pneumomediastinum,
pneumotoraks,
abses,
pneumatokel.
24
38,3%,
MCV/MCH/MCHC
Kemudian
dilakukan
pemeriksaan
90,3/27,1/30,1%,
penunjang
foto
widal
thorax
negative.
yang
hasil
25
tahun (AAP, 1996). Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam (ILAE,
1993). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak
termasuk dalam kejang demam (ILAE, 1993). Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi
bersama demam (Kesepakatan Saraf Anak, 2005).
Kejang demam dibagi menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana merupakan kejang demam yang berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di
antara kejang demam (Pusponegoro, dkk, 2006). Kejang demam kompleks
merupakan kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini: kejang demam lebih
dari 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial, berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang lama adalah
kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali
dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang fokal adalah kejang
parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang parsial (Pusponegoro,
dkk, 2006).
Dari anamnesa pasien ini didapatkan umur pasien 21 bulan (lebih dari 6
bulan dan kurang dari 5 tahun), kejang secara tiba-tiba didahului demam, kejang
berlangsung 1 kali selama 24 jam dan kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Kejang terjadi seluruh tubuh (kejang umum dan tonik klonik), pasien tetap sadar
setelah kejang berhenti. Riwayat penyakit dahulu pasien tidak pernah kejang
sebelumnya, riwayat penyakit keluarga tidak ada keluarga pasien yang mengalami
kejang sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh aksila 39,1C,
tidak ditemukan kelainan neurologis setelah kejang. Dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik ini kami mendiagnosa pasien ini dengan kejang demam
simplek.
26
Pada
kejang
demam
pemeriksaan
penunjang
seperti
pemeriksaan
lalu
dan
juga
disertai
demam,
yang
kami
diagnosa
dengan
paru.
Terdapatnya
bakteri
di
dalam
paru
merupakan
27
28
29
30
3-4 dosis terbagi, atau ampisilin 100 mg/kgBB/6 jam atau untuk anak usia 10
tahun dosis dewasa. Pemberian obat simtomatik seperti antipiretik, mukolitik,
ekspektoran dan obat simtomatik lainsesuai dengan gejala klinis pasien. Jika
secret lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan normal salin.
Penatalaksanaan pada kejang demam saat kejang berlangsung Biasanya
kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg (Dieckman
J, 1994; Knudsen FU, 2002). Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua
atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B).
Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3
tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
penatalaksanaan kejang demam) (Dieckman J, 1994; Knudsen FU, 2002). Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg. Bila
kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit.
Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana
atau kompleks dan faktor risikonya (Soetomenggolo, 1999; Fukuyama Y, dkk.,
1996).
Pemberian obat simtomatik antipiretik dengan dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5
31
kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari. Pemakaian diazepam oral
dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya
kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg
setiap 8 jam pada suhu > 38,5C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan
ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus (Rosman NP dkk.
1993; Knudsen FU., 1991; Uhari M, dkk. 1995). Fenobarbital, karbamazepin, dan
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (Knudsen
FU. 2002).
Pemberian obat rumat yaitu dengan pemberian obat fenobarbital atau asam
valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (Farwell
JR, dkk. 1990). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada
sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat
dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari
dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis (AAP. 1999;
Knudsen FU., 2000). Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang,
kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan (Soetomenggolo TS, 1999;
Knudsen FU, 1996).
Pada kasus ini, pasien diberikan oksigen masker 6 liter/ menit karena pasien
datang dengan keluahan kejang, karena bertujuan untuk mengatasi hipoksia,
selain
itu
untuk
mengatasi
sesak
yang
dialami
oleh
pasien
karena
bronkopneumonia. Selain itu pasien di berikan cairan secara intravena yaitu cairan
D10 1000cc/ 24 jam karena pasien kejang membutuhkan glukosa yang banyak
untuk meningkatkan ATP yang akan bekerja pada pompa Na+/ K+/ ATPase
sehingga mencegak terjadinya kejang kembali. Pemberian antibiotic pada pasien
ini disesuaikan dengan pilihan terapi untuk bronkopneumonia berdasarkan umur
pasien 21 bulan, keadaan umum pasien dan dugaan penyebab mikroorganisme
pada usia pasien 21 bulan adalah Haemophylus influenza/ Streptococcus
32
Haemophylus
influenza/
Streptococcus
pneumonia
pemberian
33
antibiotic spectrum luas, selain melihat perbaikan dari gejala klinis pasien setiap
harinya, juga dilakukan evaluasi dengan pemeriksaan laboratorium untuk
mengevaluasi apakah tanda infeksi sudah berkurang atau mengalami perbaikan,
karena leukosit masih tinggi meskipun sudah mengalami perbaikan atau
penurunan jumlah leukosit dari yang sebelumnya, maka diberikan pilihan
antibiotic spectrum luas dengan golongan antibiotic yang berbeda dengan
antibiotic yang sebelumya, kemudian 72 jam berikutnya dilakukan evaluasi
dengan pemeriksaan laboratorium kembali. Apabila sudah membaik pasien
diperbolehkan pulang tetapi harus tetap control apabila obat sudah habis, sehingga
pasien dirawat di rumah sakit selama 7 hari tetapi pengobatan terus dilakukan
selama 10-14 hari.
Prognosis pada bronkopneumonia baik, sebagaian besar akan sembuh total.
Mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anakanak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk
pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan
memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Keduaduanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi
dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi
dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Prognosis pada kejang demam, kjadian kecacatan sebagai komplikasi kejang
demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan
kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang
baik umum atau fokal. Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah riwayat kejang demam dalam keluarga, usia
kurang dari 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang, cepatnya kejang setelah
demam. Bila seluruh faktor ini ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
34