Laporan Pendahuluan Fraktur Hip
Laporan Pendahuluan Fraktur Hip
Kaput Femur
Massa yang membulat mengarah ke dalam dan keatas,
tulang ini halus dan dilapisi dengan kartilago kecuali pada
fovea, lubang kecil tempat melekatnya ligamen yang
menghubungkan kaput ke area yang besar pada asetabulum
dari tulang coxae. Di dalam kaput tersebut terdapat
percabangan dari arteri retinakular posterior dan anterior,
dan ligamentum teres serta arteri ligamentum teres.
Kolum(leher) femur
Korpus tulang mengarah ke bawah dan ke sebelah lateral
menghubungkan kaput dan korpus.
4. PATOFISIOLOGI
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN:
Preoperatif :
a. Nyeri sehubungan dengan:
- Spasmus otot
- Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan
lunak
- Traksi/alat immobilisasi
- Stress, kecemasan (NCP, M.E. Doenges)
b. Potensial komplikasi preoperatif sehubungan dengan
keadaan perlukaan(fraktur) akibat trauma (NCP, Nancy H.)
c. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang
informasi tentang prosedur operasi(Med.Sur.Nsg.,Barbara
C. Long)
Post operatif :
a. Nyeri sehubungan dengan prosedur
operasi (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)
b. Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan
perubahan status extremitas bawah sesudah operasi
perbaikan. (Med.Sur.Nsg.,Barbara C. Long)
c. Potensial komplikasi post operasi sehubungan dengan
- Keadaan perlukaan akibat trauma
- Intervensi pembedahan
- Imobilitas (NCP, Nancy H.)
d. Potensial infeksi sehubungan dengan gangguan
integritas kulit(Med.Sur.Nsg., Donna, Marylin)
e. Potensial gangguan perawatan di rumah sehubungan
dengan situasi ketergantungan (Med.Sur.Nsg.,Barbara C.
Long)
f.
Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan
tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di
rumah (NCP, Nancy H.)
3. DISCHARGE PLANNING:
Persiapan Perawatan Di Rumah.
Pasien lanjut usia dengan fraktur hip biasanya mendapat
rujukan rehabilitasi. Perawat harus mengkomunikasikan
rencana asuhan kepada fasilitas yagn akan melanjutkan
rehabilitasi.
Pasien tidak boleh dipulangkan untuk tinggal sendiri di
rumah karena membutuhkan bantuan selama proses
penyambuhan. Perawat mengkaji struktur rumah atas
adanya barrier terhadap mobilitas pasien (mis. tangga, dll.).
Pasien harus mampu bergerak bebas dengan alat bantu di
dalam rumah.
Penyuluhan pasien /keluarga.
Perawat menyediakan instruksi tertulis tentang cara
merawat diri. Keluarganya mendapat penyuluhan tentang
cara menjaga/merawat bagian yang sakit. Perawatan luka di
rumah dapat diatur sesuai perjanjian dengan RS atau referal
ke instansi lain. Pasien harus mengetahui cara
meningkatkan penyembuhan, mencegah komplikasi,
mengenali tanda-tanda komplikasi, dan kapan dan dimana
harus menghubungi tenaga kesehatan jika komplikasi
terjadi.
Persiapan Psikososial.
Perawat mengatur perawatan lanjut di rumah, mis.
konsultasi bagi pasien dengan depresi. Jika ada kerusakan
jaringan yang parah maka perawat harus realistik dan
menolong klien mengerti bahwa penyembuhan
memerlukan waktu cukup lama, terutama jika terjadi
infeksi. Keparahan dan penanganan yang kompleks dapat
merongrong kondisi mental pasien dan keluarganya.
Konseling kerja kadang diperlukan untuk membantu pasien
mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kondisinya.
Sumber-sumber Pelayanan Kesehatan.
Pasien dengan cedera berat memerlukan perawatan lanjut
di rumah oleh perawat komiunitas. Perawat
mengidentifikasi jika manula memerlukan tenaga pembantu
di rumah dan mengaturnya. Sangat penting bagi perawat
untuk mengkomunikasikan kebutuhan pasien kepada
perawat/pengasuh yang melanjutkan perawatan di rumah.
Tenaga fisioterapi diperlukan dalam rehabilitasi. Tenaga
terapist okupasi diperlukan untuk mengkaji
Spasmus otot
Pergerakan fragmen tulang, edema, dan luka jaringan
lunak
Traksi/alat immobilisasi
Intervensi
1. Kaji tingkat nyeri
pasien dan evaluasi
respon pasien thd
tindakan pemberian rasa
nyaman yang sudah
dilakukan.
2. Ajarkan tehnik
relaksasi yang sesuai
3. Gunakan tehnik
pengurangan nyeri
lainnya yang sesuai.
Mis. gosok punggung,
pengaturan posisi.
4. Kolaborasi:
pemberian analgesik
(biasanya narkotik)
sesuai jadwal pada masa
segera sesudah operasi
5. Kolaborasi:
gunakan analgesik yang
lebih ringan sesuai order
jika nyeri sudah
berkurang.
Rasional
Data subyektif dan
obyektif penting dalam
mengatasi rasa nyeri
post operasi dan
menentukan
manajemennya.
Relaksasi
mempermudah istirahat
dan memperbaiki
respon terhadap nyeri
Perubahan stimulasi
pada kulit dapat
menghasilkan
pengurangan nyeri.
Biasanya perlu
diberikan narkotik 4872jam pertama post
operasi. Analgesi
memepunyai efek lebih
besar jika diberikan
sebelum nyeri menjadi
parah.
Nyeri dapat
dikendalikan dengan
analgesik lebih ringan
(dengan efek samping
sedikit) jika nyeri sudah
berkurang.
Intervensi pembedahan
Imobilitas
HYD:
Dalam 24 jam post operasi di ruangan:
Nyeri terkendali
Rasional
Seperti yang telah
disebutkan dapat
mengakibatkan
3. Pertahankan
kepatenan infus dan
berikan cairan sesuai
order sekurangnya 24
jam pertama post operasi
4. Berikan antibiotik
sesuai order, observasi
daerah luka, dan laporkan
adanya peningkatan
pembengkakan, eritema,
demam, cairan purulen,
atau tanda-tanda infeksi
lainnya.
5. Cegah komplikasi
yang berhubungan
dengan imobilitasi :
perdarahan hebat.
Takikardia dan
hipotensi merupakan
petunjuk tidak
adekuatnya
penggantian cairan,
kehilangan darah
karena cedera dan
pembedahan, atau
cedera lain yang tak
terdeteksi.
Pengkajian
neurovaskular
memastikan
penyesuaian
intervensi.
Peningkatan edema
dapat menekan
struktur vaskular dan
mengganggu
oksigenisasi jaringan.
Diperlukan tindakan
segera untuk
memperbaiki sirkulasi.
Sindroma
kompartemen terjadi
pembengkakan otot
yang memperburuk
sirkulasi dan
menimbulkan iskemia.
Ini dapat terjadi segera
sesudah operasi atau
beberapa hari
sesudahnya. Untuk itu
diperlukan tindakan
fasciotomy.
Infus berperan untuk
mengganti cairan yang
hilang karena
perdarahan, status
NPO, ancaman
dehidrasi, atau
kehilangan jaringan
pada pembedahan,
juga sebagai jalur
untuk pemberian obat
intravena.
Antibiotik biasanya
diberikan sesudah
operasi, terutama
pasien dengan fraktur
terbuka, mencegah
osteomyelitis.
Perubahan kadang
diperlukan untuk
mengantisipasi adanya
mikroorganisme
patologis lain
Imobilitas merupakan
predisposisi bagi
komplikasi post
Dorong pelaksanaan
ROM lihat Pada DP
Gangguan mobilitas fisik
Gunakan stoking
antiembolic sesuai order
dokter
Sediakan pegangan
untuk membantu gerak
pasien
Dorong pelaksanaan
nafas dalam dan batuk
efektif tiap jam pada saat
pasien tidak tidur
Pastikan kecukupan
intake cairan jika tak ada
kontra indikasi. Catat
intake dan output.
6. Observasi tanda dan
gejala tromboemboli:
Emboli lemak:
takikardia, dispnea, nyeri
pleuritik, pucat dan
cianosis, petechiae,
wheezing, nausea,
syncope, lemas,
perubahan mental,
perubahan ECG, atau
demam. Daerah yang
sakit teraba dingin, kaku,
dan pucat
Tromboplebitis:
positif Hommans sign ,
nyeri pada betis,
bengkak, atau kemerahan
pada tungkai.
Laporkan setiap tanda
dan gejala diatas segera
kepada dokter.
7. Pertahankan
imobilisasi yang tepat
pada bagian yang sakit
tergantung tempat fraktur
dan jenis pembedahan.
Umumnya hindari
adduksi, rotasi eksternal,
fleksi hip mendadak.
8. Observasi dan lapor
segera jika mendadak
terjadi: Nyeri hebat,
pemendekan atau rotasi
operasi.
Latihan yang sesuai
mengurangi stasis
vena dan menjaga
tonus otot
Pegangan berguna
untuk bergerak
Mencegah infeksi
pernafasan dan
akumulasi cairan.
Mempertahankan
hidrasi, mengencerkan
sekret, fungsi renal,
dan infeksi sal. Kemih
Merupakan tanda
dislokasi atau nekrosis
kepala sendi.
Diperlukan intervensi
segera untuk
mencegah kerusakan
permanen.
Proses penyembuhan
memerlukan tambahan
nutrisi. Defisit vitamin
dan mineral
menghambat
penyembuhan dan
dapat menyebabkan
osteomalasia.
Fleksi hip
biasanya dibatasi
max. 90 selama 2-3
bulan
Adduksi
melebihi midlinedil
arang selama 2-3
bulan.
Rotasi internal
dan external secara
ekstrem dilarang
selama 2-3 bulan
Partial weight
bearing pada bagian
yang sakit dengan
Rasional
Jika dilaksanakan dengan
tepat dan interval yang
benar, latihan pulmonal
dapat mencegah atelektasis
dan pnemonia.
Latihan
meningkatkan venous
return, mencegah
pembentukan trombus, dan
menolong mempertahakan
tonus otot
Alih/pengaturan posisi
dapat meningkatkan
sirkulasi, usaha bernafas,
dan aktivitas otot.
Keadaan steril
mengurangi peluang
infeksi.
Kenaikan suhu dan
nadi menunjukkan
adanya infeksi.
Rasional
Pemahaman prosedur
pembedahan dan
perawatan post operatif
dapat mengurangi
kecemasan dan
meningkatkan keinginan
untuk sembuh dan pulih
bagi pasien sesudah
tindakan pembedahan.
3. Tentukan dengan
pasien jenis peralatan dan
pelayanan yang
diperlukan yang
dibutuhkan untuk di
rumah(mis. kruk, walker,
peninggian toilet,
fisioterapi, dan lai-lain)
4. Kaji perkembangan
pasien secara reguler
untuk memastikan
apakah kemampuan
fungsionalnya sesuai
untuk pelaksanaan renca
di atas.
5. Libatkan bagian lain
yang sesuai (mis.
bagian sosial medik)
untuk mendapatkan
bantuan jika pasien pada
awalnya belum mampu
melaksanakan rencana
yang sudah ditentukan
untuk di rumah.
Kurang pengetahuan sehubungan dengan perubahan tingkat
aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatan di
rumah (NCP, Nancy H.)
HYD:
Pada saat pulang pasien akan:
2.
Kaji sumber-sumber
Rasional
Rekomendasi
perawatan di rumah
bervariasi
tergantung keadaan
fraktur dan
pembedahan, umur
dan kondisi pasien,
dan kondisi
kesehatan yang
sudah ada
sebelumnya. Pasien
biasanya lebih
responsif terhadap
instruksi yang
berulang dan
berkelanjutan
selama dirawat di
rumah sakit dari
pada memberikan
sejumlah besar
informasi dalam
waktu yang sama.
Tergantung kepada
faktor-faktor yang
disebutkan di atas
dan sistem
pendukung dalam
keluarga. Kadang
pasien memerlukan
bantuan medis dan
perawatan, atau
follow-up lainnya
untuk memastikan
pemulihan tanpa
komplikasi
REFERENSI
Joan Luckman, R.N., M.A., Karen C. Sorensen, R.N.,
M.N., Medical-Surgical Nursing: A psychohysiological
Approach, Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1987
Wilma J. Phipps, PH.D., R.N., F.A.A.N., Barbara C. Long
M.S.N., R.N.,Medical-Surgical Nursing: Concept and
Clinical Practice, fourth edition, Missouri: Mosby-Year
Book, Inc, 1991
Donna D. Ignatavicius, Marylin V.B., Medical Surgical
Nursing: A Nursing Process Approach, Pensylvania: WB
Saunders Company, 1991.
Nancy M. Holloway, RN, MSN, CCRN, CEN., Medical
Surgical Care Plan.Pennsylvania: Springhouse Corporation,
1988
John Gibson, MD, Anatomi dan Fisiologi Modern Untuk
Perawat, Edisi ke 2, Jakarta, 1995
Marilynn E. Doenges, Mary F. Mooerhouse, Nursing Care
Plan. Edition 3, Philadhelphia: F.A.Davis Company, 1993
A. Pendahuluan
1. Pengertian Fraktur
a.
Fraktur adalah Terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan
oleh ruda paksa. (Sjamsuhidajat R., 1997)
Luka < 1 cm
Kontaminasi minimal
Derajat II :
laserasi > 1 cm
Kontaminasi sedang
Derajat III :
7)
Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami
kompresi (terjadi pada tulang belakang).
8) Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang
berpenyakit (kista tulang, penyakit Paget, metastasi tulang,
tumor).
9)
Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau
tendo pada perlengkatannya.
10) Epfiseal, fraktur melalui epifisis
11) Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke
fragmen tulang lainnya
1. DEFINISI
Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor,
saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal
dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat
menyebabkan hemoragi (pelvis dapat menahan sebanyak +
4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis
seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis,
perdarahan peritoneum atau saluran kemih.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan
fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan
fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530% pasien
dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara
hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan
dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan
merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan
fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara
6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian
besar.
2. ETIOLOGI
Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan
fraktur pada tempat tersebut.
Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan
dengan terjadinya fraktur berjauhan.
Proses penyakit: kanker dan riketsia.
Compresion force: klien yang melompat dari tempat
ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang
belakang.
Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang
kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik
shock dan tetani).
3. MANIFESTASI KLINIS
Pengkajian awal yang perlu dilakukan adalah riwayat
kecelakaan sehingga luasnya trauma tumpul dapat
diperkirakan. Sedangkan untuk trauma penetrasi,
pengkajian yang perlu dilakukan adalah posisi masuknya
dan kedalaman. Klien dapat menunjukkan trauma abdomen
akut. Pada kedua tipe trauma terjadi hemoragi baik baik
internal maupun eksternal. Jika terjadi rupture perineum,
manifestasi peritonitis berisiko muncul,seluruh drainase
abdomen perlu dikaji untuk mengetahui isi drainase
tersebut.
4. KOMPLIKASI
1.
Komplikasi awal
a)
Shock Hipovolemik/traumatik
Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) perdarahan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak shock
hipovolemi.
b)
Emboli lemak
c)
Tromboemboli vena
Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi
otot/bedrest.
d) Infeksi
Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu
monitor tanda
infeksi dan terapi antibiotik.
e)
Sindrom kompartemen
2. Komplikasi lambat
a. Delayed union
Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang
diharapkan
biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan
proses
infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.
b. Non union
Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi
pengobatan. Hal ini
disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis.
c. Mal union
Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada
perubahan
bentuk).
d. Nekrosis avaskuler di tulang
Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi
tulang.
6. PENCEGAHAN
Pencegahan fraktur pelvis yaitu:
dengan membuat lingkungan lebih aman
mengajarkan kepada masyarakat secara berkesinambungan
mengenai pada saat bekerja berat.
7. PENATALAKSANAAN
1. Rekognisi:
menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit.
a. Riwayat kecelakaan
b. Parah tidaknya luka
c. Diskripsi kejadian oleh pasien
d. Menentukan kemungkinan tulang yang patah
e. Krepitus
2. Reduksi:
reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
a. Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara
manual dengan traksi atau gips
b. Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan
diluruskan melalui pembedahan, biasanya melalui internal
fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung
kedalam medula tulang.
3. Retensi:
menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama
penyembuhan (gips/traksi)
4. Rehabilitasi:
langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan
dengan pengobatan fraktur karena sering kali pengaruh
cedera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna
(latihan gerak dengan kruck).
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
1) Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma
2)
Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal
3)
Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan jumlah SDP adalah respons stress normal
setelah trauma.
4)
CT scan merupakan pemeriksaan diagnostic yang
perlu dilakukan untuk mengkaji injuri intrra abdomen
Angiografi, pielografi intravena dan pemeriksaan lain dapat
dilakukan untuk mengkaji derajat trauma pada organ
yangberbeda.
9. PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan adalah bantuan, bimbingan,
penyuluhan, perlindungan yang diberikan oleh seorang
perawat untuk memenuhi kebutuhan pasien atau klien
dengan menggunakan metode proses keperawatan. (Nasrul
Efendy, 1995)
1. Pengkajian pada Pasien Fraktur
Menurut Doengoes, ME (2000) pengkajian fraktur meliputi
:
Aktivitas/istirahat
Tanda : Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang
terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri, atau trjadi
secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
Sirkulasi
Gejala : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon
terhadap nyeri/ansietas), atau hipotensi (kehingan darah)
Neurosensori
Gejala : Hilang gerak/sensasi,spasme otot
Kebas/kesemutan (parestesis)
Tanda : Demormitas local; angulasi abnormal,
pemendakan,ratotasi,krepitasi
(bunyi berderit, spasme otot, terlihat kelemahan atau hilang
fungsi).
Nyeri/kenyamanan
Gejala
: Nyeri berat tiba-tiba pada saat cidera (
mungkin terlokalisasi pada arah jaringan/kerusakan tulang;
Epidemiologi
Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas.Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada
alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,bulibuli,rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas
sekitar 10 %.
Patogenesis
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul
karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian
.Pada orang tua dengan osteoporosis atauosteomalasia
dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis.oleh karena
rigiditas panggulmaka keretakan pada salah satu bagian
cincin akan disertai robekan pada titik lain,kecuali pada
trauma langsung .Sering titik kedua tidak terlihat dengan
jelas ataumungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi
reduksi spontan pada sendi sakro iliaka
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri
atas:Kompresi anteroposterior Hal ini biasanya terjadi
akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki
kendaraan.ramus pubis mengalami fraktur ,tulang
inominata terbelah dan mengalami rotasieksterna disertai
robekan simfisis .keadaan ini disebut sebagai open book
injury.Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami
robekan parsial atau dapat disertaifraktur bagian
belakang ilium.Kompresi lateralKompresi dari samping
akan menyebabkan cincin mengalami keretakan .Hal
initerjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan
lalu lintas atau jatuh dariketinggian .Pada keadaan ini
ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalamifraktur dan bagian belakang terdapat strain dari
sendi sakro iliaka atau fraktur iliumatau dapat pula fraktur
ramus pubis pada sisi yang sama.Trauma vertikalTulang
inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara
vertikal disertaifraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro
iliaka pada sisi yang sama.hal ini terjadiapabila seseorang
jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.Trauma
kombinasiPada trauma yang lebih hebat dapat terjadi
kombinasi kelainan diatas.
Patofisiologi
Tulang panggul terdiri dari ilium (yaitu, sayap iliaka),
iskium, dan pubis, yangmerupakan cincin anatomis dengan
sacrum.
Gangguan dari cincin ini membutuhkanenergi
yang signifikan. Karena pasukan yang terlibat, patah tulang
panggul seringmelibatkan cedera pada organ terkandung
dalam tulang panggul. Selain itu, trauma pada organ ekstrapanggul adalah umum. patah tulang panggul
sering dikaitkandengan perdarahan parah akibat suplai
darah yang luas untuk wilayah tersebut.
Manifestasi Klinis
Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu
trauma multipel yangdapat mengenai organ-organ lain
dalam panggul .keluhan berupa gejala pembengkakan
,deformitas serta perdarahan subkutan sekitar panggul
Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau
tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat
kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak,
misalnya berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran
napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
PPOK merupakan salah satu gangguan pernapasan yang
akan semakin sering dijumpai di masa mendatang di
Indonesia, mengingat makin bertambahnya rerata umur
orang Indonesia, bertambahnya jumlah perokok dan
bertambahnya polusi udara.
DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh
hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat
progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan
keduanya. Bronkitis kronis adalah kelainan saluran napas
yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturutturut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah
kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli.
FAKTOR RISIKO
Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab
terpenting, jauh lebih penting dari penyebab lainnya.
Penyebab lain adalah riwayat terpajan polusi udara
(lingkungan dan tempat kerja), hipereaktiviti bronkus,
riwayat infeksi saluran napas bawah berulang, defisiensi
alfa-1 anti tripsin, jenis kelamin laki-laki dan ras (kulit
putih lebih berisiko).
PATOGENESIS
Pada bronkitis kronis terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot
polos pernapasan dan distorsi akibat fibrosis. Pada
emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding
alveoli. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat
ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada
saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi
jalan napas.
DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi mulai dari tanpa
gejala, gejala ringan hingga gejala berat. Diagnosis PPOK
ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan yang terarah
dan sistematis meliputi gambaran klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisis) dan pemeriksaan penunjang baik yang
bersifat rutin maupun pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis pasien PPOK dini umumnya tidak
ditemukan kelainan. Pada inspeksi didapatkan:
Purse-lips breathing, yaitu sikap seseorang yang
bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang
memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal
napas kronik
Barrel chest (diameter toraks anteroposterior
sebanding dengan diameter transversal)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertrofi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Terlihat denyut vena jugularis dan edema tungkai
(bila telah terjadi gagal jantung)
Pada emfisema pemeriksaan palpasi didapatkan sela iga
melebar dan fremitus melemah; pemeriksaan perkusi
terdengar hipersonor, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah dan hepar terdorong ke bawah
Pemeriksaan auskultasi didapatkan:
suara napas vesikuler normal atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas
biasa atau pada ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang rutin dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis PPOK adalah uji faal paru sedang pemeriksaan
darah rutin (Hb, Ht, Leukosit) dan foto toraks untuk
menyingkirkan penyakit paru lain.
Pemeriksaan spirometri dilakukan untuk memeriksa VEP1,
KVP dan VEP1/KVP. VEP1 merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Disebut obstruksi apabila
%VEP1 (VEP1/VEP1 prediksi) <80% atau VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%. Apabila spirometri tidak tersedia atau
tidak mungkin dilakukan, bisa dilakukan pemeriksaan APE
(arus puncak ekspirasi), dengan memantau variabiliti harian
pagi dan sore tidak melebihi 20%.
DIAGNOSIS BANDING
1. Asma
2. SOPT (sindroma obstruksi pascatuberkulosis)
3. Pneumotoraks
4. Gagal jantung
Asma
++
++
+/++
+++
+
+++
++
++
+
+
PPOK
+++
+
+
++
+
+
+
-
PENATALAKSANAAN
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan
nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas
penatalaksanaan pada keadaan stabil dan penatalaksanaan
pada eksaserbasi akut.Tujuan umum penatalaksanaan
PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah
penurunan faal paru serta meningkatkan kualiti hidup
penderita. Penatalaksanaan meliputi edukasi, obat-obatan,
terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda
dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Tujuan edukasi adalah
supaya pasien PPOK mengenal perjalanan penyakit,
melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai
aktiviti optimal dan meningkatkan kualiti hidup.
Obat-obatan
Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi
sesuai dengan klasifikasi derajad beratnya penyakit.
Diutamakan bentuk obat inhalasi, nebulisasi tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting)
Ekspektoran dan mukolitik. Air minum adalah
ekspektoran yang baik, pemberian cairan yang cukup akan
mengencerkan sekret. Obat ekspektoran dan mukolitik
dapat diberikan terutama pada saat eksaserbasi.
Antihistamin secara umum tidak diberikan karena dapat
menimbulkan kekeringan saluran napas sehingga sekret
sukar dkeluarkan
Antibiotik diberikan bila ada infeksi sehingga dapat
mengurangi keadaan eksaserbasi akut.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius
yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh
oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti
gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius
yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow
kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans
Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi
pada fraktur.
2)
Komplikasi Dalam Waktu Lama
b. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
c. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan
stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
d. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
B. Konsep Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan
system atau metode proses keperawatan yang dalam
pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam
proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan
ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada
tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehariharinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k)
Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l)
Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe,
tak ada kesulitan BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)
Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
(b)
Cape au lait spot (birth mark).
(c)
Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(e)
Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan halhal yang tidak biasa (abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)
Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien.Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 5
(b)
Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)
Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).Otot: tonus
pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup
b.
3.
Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada
klien fraktur adalah sebagai berikut:
a.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas.
b.
Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan
aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan
trombus)
c.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah,
emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial,
edema paru, kongesti)
d.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
e.
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
f.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan
primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang)
g.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah
interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)
4. Intervensi Keperawatan
a.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas.
Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang
dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi
dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat,
menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Pertahankan
imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah
baring, gips, bebat dan
atau traksi
2. Tinggikan posisi
ekstremitas yang
terkena.
RASIONAL
Mengurangi nyeri dan
mencegah malformasi.
Meningkatkan aliran
balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Mempertahankan
kekuatan otot dan
meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
4. Lakukan tindakan
untuk meningkatkan
kenyamanan (masase,
perubahan posisi)
Meningkatkan sirkulasi
umum, menurunakan
area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan
Mengalihkan perhatian
6. Lakukan kompres
dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi
pemberian analgetik
sesuai indikasi.
terhadap nyeri,
Trauma
meningkatkan
kontrol
terhadap nyeri yang
mungkin berlangsung
lama.
Menurunkan edema dan
mengurangi rasa nyeri.
Menurunkan nyeri
melalui mekanisme
penghambatan rangsang
nyeri baik secara sentral
maupun perifer.
3. Pertahankan letak
tinggi ekstremitas yang
cedera kecuali ada
kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen.
4. Berikan obat
antikoagulan (warfarin)
bila diperlukan.
5. Pantau kualitas nadi
perifer, aliran kapiler,
warna kulit dan
kehangatan kulit distal
cedera, bandingkan
dengan sisi yang normal.
Meningkatkan
sirkulasi darah dan
mencegah kekakuan
sendi.
c.
Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah,
emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial,
edema paru, kongesti)
Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan
oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak
nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Instruksikan/bantu
latihan napas dalam dan
latihan batuk efektif.
Meningkatkan ventilasi
alveolar dan perfusi.
Reposisi meningkatkan
drainase sekret dan
menurunkan kongesti
paru.
3. Kolaborasi
pemberian obat
antikoagulan (warvarin,
heparin) dan
kortikosteroid sesuai
indikasi.
Mencegah terjadinya
pembekuan darah pada
keadaan tromboemboli.
Kortikosteroid telah
menunjukkan
keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi
emboli lemak.
4. Analisa pemeriksaan
gas darah, Hb, kalsium,
LED, lemak dan
trombosit
5. Evaluasi frekuensi
pernapasan dan upaya
bernapas, perhatikan
adanya stridor,
penggunaan otot aksesori
pernapasan, retraksi sela
iga dan sianosis sentral.
d.
Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan
mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat
mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian
tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan
aktivitas
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Pertahankan
pelaksanaan aktivitas
rekreasi terapeutik (radio,
koran, kunjungan
teman/keluarga) sesuai
keadaan klien.
2. Bantu latihan rentang
gerak pasif aktif pada
ekstremitas yang sakit
maupun yang sehat sesuai
keadaan klien.
3. Berikan papan
penyangga kaki, gulungan
trokanter/tangan sesuai
indikasi.
4. Bantu dan dorong
perawatan diri
(kebersihan/eliminasi)
sesuai keadaan klien.
5. Ubah posisi secara
periodik sesuai keadaan
klien.
6. Dorong/pertahankan
asupan cairan 2000-3000
ml/hari.
7.
8. Kolaborasi
pelaksanaan fisioterapi
sesuai indikasi.
9. Evaluasi kemampuan
mobilisasi klien dan
program imobilisasi.
Memfokuskan
perhatian,
meningkatakan rasa
kontrol diri/harga
diri, membantu
menurunkan isolasi
sosial.
Meningkatkan
sirkulasi darah
muskuloskeletal,
mempertahankan
tonus otot,
mempertahakan
gerak sendi,
mencegah
kontraktur/atrofi dan
mencegah reabsorbsi
kalsium karena
imobilisasi.
Mempertahankan
posis fungsional
ekstremitas.
Meningkatkan
kemandirian klien
dalam perawatan diri
sesuai kondisi
keterbatasan klien.
Menurunkan insiden
komplikasi kulit dan
pernapasan
(dekubitus,
atelektasis,
penumonia)
Mempertahankan
hidrasi adekuat,
men-cegah
komplikasi urinarius
dan konstipasi.
Menilai
perkembangan
masalah klien.
e.
Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka,
pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)
Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang,
menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Pertahankan tempat
tidur yang nyaman dan
aman (kering, bersih,
alat tenun kencang,
bantalan bawah siku,
tumit).
2. Masase kulit
terutama daerah
penonjolan tulang dan
area distal bebat/gips.
4.
Observasi keadaan
kulit, penekanan
gips/bebat terhadap
kulit, insersi pen/traksi.
Menurunkan risiko
kerusakan/abrasi kulit
yang lebih luas.
Meningkatkan sirkulasi
perifer dan
meningkatkan
kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan
yang relatif konstan
pada imobilisasi.
Mencegah gangguan
integritas kulit dan
jaringan akibat
kontaminasi fekal.
5.
Observasi tandatanda vital dan tandatanda peradangan lokal
pada luka.
1. Lakukan
perawatan pen steril
dan perawatan luka
sesuai protokol
Mencegah infeksi
sekunderdan
mempercepat
penyembuhan luka.
2. Ajarkan klien
untuk mempertahankan
sterilitas insersi pen.
Meminimalkan
kontaminasi.
Antibiotika spektrum
luas atau spesifik dapat
digunakan secara
profilaksis, mencegah
atau mengatasi infeksi.
Leukositosis biasanya
terjadi pada proses
infeksi, anemia dan
peningkatan LED dapat
terjadi pada
osteomielitis. Kultur
untuk mengidentifikasi
organisme penyebab
infeksi.
Mengevaluasi
perkembangan masalah
klien.
h.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah
interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan
meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memahami
tentang penyakitnya
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1.
Kaji kesiapan klien
mengikuti program
pembelajaran.
Menilai perkembangan
masalah klien.
f.
Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan
primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur
invasif/traksi tulang
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai
waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
3. Kolaborasi
pemberian antibiotika
dan toksoid tetanus
sesuai indikasi.
4. Analisa hasil
pemeriksaan
laboratorium (Hitung
darah lengkap, LED,
Kultur dan sensitivitas
luka/serum/tulang)
2.
Diskusikan metode
mobilitas dan ambulasi
sesuai program terapi
fisik.
3.
Ajarkan tanda/gejala
klinis yang memerluka
evaluasi medik (nyeri
berat, demam, perubahan
sensasi kulit distal cedera)
4. Persiapkan klien
untuk mengikuti terapi
pembedahan bila
diperlukan.
Efektivitas proses
pemeblajaran
dipengaruhi oleh
kesiapan fisik dan
mental klien untuk
mengikuti program
pembelajaran.
Meningkatkan
partisipasi dan
kemandirian klien
dalam perencanaan dan
pelaksanaan program
terapi fisik.
Meningkatkan
kewaspadaan klien
untuk mengenali
tanda/gejala dini yang
memerulukan
intervensi lebih lanjut.
Upaya pembedahan
mungkin diperlukan
untuk mengatasi
maslaha sesuai kondisi
klien.
B. Evaluasi
o Nyeri berkurang atau hilang
o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer
o Pertukaran gas adekuat
BAB III
PEMBAHASAN
2)
Robekan kandung kemih, robekan dapat terjadi
apabila ada gangguan simfisis pubis atau tusukan dari
tulang panggul yang tajam.
3)
Robekan uretra, robekan ini terjadi karena ada
gangguan simfisis pubis pada daerah uretra pars
membranosa.
4)
Trauma rektum dan vagina.
5)
Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan
perdarahan masif sampi syok.
6)
Trauma pada syaraf :
a.
Lesi saraf skiatik dapat terjadi karena pada saat
trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu
enam minggu tidak ada perbaikan, sebaiknya lakukan
eksplorasi.
b.
Lesi pleksus lumbosakralis, biasanya terjadi pada
fraktur sakrum yang bersifat vertikat disertai pergeseran.
Selain itu, dapat terjadi gangguan fungsi seksual apabila
mengenai pusat saraf.
3.2 Komplikasi Lanjut
1) Pembentukan tulang heterotrofik, biasanya terjadi
setelah trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah
operasi. Dalam keadaan ini klien dapat diberikan
indometasin untuk profilaksis.
2)
Nekrosis avaskular, dapat terjadi kaput femur
beberapa waktu setelah trauma.
3)
Gangguan pergerakan sendi serta osteoatritis
sekunder, apabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum
dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi
ini menopang berat badan, ketidaksesuaian sendi sehingga
terjadi gangguan pergerakan serta osteoatritis di kemudian
hari.
4)
Skoliosis kompensatoar.
4 . Penatalaksanaan
4.1 Rekognisi
menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian
kecelakaan dan kemudian di rumah sakit. Misal riwayat
kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh
pasien, serta menentukan kemungkinan tulang yang patah,
dan krepitus.
4.2 Reduksi
Reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak
normalnya. Reduksi terbagi menjadi dua yaitu:
1)
Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara
manual dengan traksi atau gips.
2)
Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan
diluruskan melalui pembedahan, biasanya melalui internal
fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung
kedalam medula tulang.
4.3 Retensi
menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen-fragmen tersebut selama
penyembuhan (gips/traksi)
4.4 Rehabilitasi:
Langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan
bersamaan dengan pengobatan fraktur karena sering kali
pengaruh cedera dan program pengobatan hasilnya kurang
sempurna (latihan gerak dengan kruck).
B. Konsep Keperawatan Fraktur Pelvis
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan
system atau metode proses keperawatan yang dalam
pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
g.
Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik estremitas
bawah.
h.
Resiko tinggi infeksi b/d adanya port de entree luka
terbuka pada panggul.
i.
Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi dan
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
j.
Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d
disfungsi seksual, prognosis kondisi sakit, program
pengobatan, tirah baring lama.
k.
Ansietas b/d krisis, situasional, ancaman terhadap
konsep diri dan perubahan status kesehatan.
4)
Intervensi dan implementasi
a.
Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas.
Tujuan: Nyeri berkurang, hilang dan teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengataka nyeri berkurang atau
hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu
berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan
tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan
aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual
INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Pertahankan
imobilasasi bagian yang
sakit dengan tirah
baring, gips, bebat dan
atau traksi
2. Tinggikan posisi
ekstremitas yang
terkena.
Meningkatkan aliran
balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
Meningkatkan sirkulasi
umum, menurunakan
area tekanan lokal dan
kelelahan otot.
5. Ajarkan penggunaan
teknik manajemen nyeri
(latihan napas dalam,
imajinasi visual,
aktivitas dipersional)
Mengalihkan perhatian
terhadap nyeri,
meningkatkan kontrol
terhadap nyeri yang
mungkin berlangsung
lama.
b.
Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan
neuromuskuler, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen
tulang.
Tujuan : klien mampu melaksanakn aktivitas fisik sesuai
kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat mengikuti program latihan, tidak
mengalami kontriktur sendi, kekuatan otot bertambah, klien
menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
INTERVENSI
RASIONAL
KEPERAWATAN
1. Kaji mobilitas yang
ada dan observasi adanya
peningkatan kerusakan.
Kaji secara teratur fungsi
motorik.
2. Ubah posisi klien
setiap 2jam.
RASIONAL
Mempertahankan
kekuatan otot dan
meningkatkan sirkulasi
vaskuler.
6. Lakukan kompres
dingin selama fase akut
(24-48 jam pertama)
sesuai keperluan.
7. Kolaborasi
pemberian analgetik
sesuai indikasi.
perubahan tanda-tanda
vital)
Mengetahui tingkat
kemampuan klien
dalam melakukan
aktivitas.
Mengurangi resiko
terjadinya iskemia
jaringan akibat
sirkulasi darah yang
jelek pada daerah
tertekan.
Gerakan aktif
memberikan massa,
tonus, kekuatan otot,
serta memperbaiki
fungsi jantung dan
pernafasan.
Otot volunter akan
kehilangan tonus dan
kekuatannya apabila
tidak dilatih.