Enzim Dalam Industri Pangan
Enzim Dalam Industri Pangan
PENGGUNAAN ENZIM
DALAM INDUSTRI PANGAN
Disusun oleh:
L2C009012
Richa Rachmawaty
L2C009094
Hanik Handayani
L2C009097
Fransisca Selvy
L2C009104
BAB I
PENDAHULUAN
Enzim berperan sangat penting dalam industri pangan, baik produk pangan
tradisional maupun maupun desain produk pangan yang baru. Sebelum dikenalnya
teknologi modern, pemanfaatan enzim sudah dilakukan dengan tidak sengaja. Misalnya,
pada proses pengolahan minuman beralkohol dan keju. Proses malting pada pengolahan
minuman beralkohol berkembang aktivitas enzim amilase dan protease yang memecah pati
dan protein pada mashing biji-bijian menghasilkan gula dan zat gizi lain yang dibutuhkan
oleh yeast pada proses selanjutnya. Demikian pula pada pengolahan keju, peran enzim
protease sangat penting dalam memecah misel kasein sehingga terbentuk curd pada
tahapan pembuatan keju. Dengan kemajuan teknologi, peran enzim dalam produksi pangan
sudah dilakukan optimasi terhadap kondisi proses sehingga aktivitas enzim dapat berjalan
seperti yang diharapkan.
Contoh lain dari peran enzim untuk menghasilkan mutu pangan yang baik adalah
proses produksi daging saat pemotongan hewan. Proses perubahan otot menjadi daging
diperlukan kerja enzim, sehingga daging yang dihasilkan mempunyai mutu yang baik.
Pentingnya hewan diistirahatkan sebelum dipotong, membunuhnya tanpa trauma, dan
melayukan daging beberapa jam atau hari, dilakukan sebelum peran enzim selama proses
tersebut diketahui. Sekarang telah diketahui bahwa pada saat hewan diistirahatkan sebelum
dipotong menjamin ketersediaan glikogen sebagai substrat dari kerja enzim post mortem
enzim. Proses glikolisis post mortem dan protease dalam proses konversi otot menjadi
daging sangat penting untuk proses selanjutnya dan memperbaiki mutu daging.
Banyak produk pangan lain yang didesain dengan mengembangkan kerja enzim,
baik langsung maupun tidak langsung. Contoh produk-produk pangan akibat kerja enzim
secara tidak langsung adalah produk pangan fermentasi yang melibatkan mikroorganisme
seperti yogurt, tempe, kecap, tape, sosis, dan lain-lainnya. Aktivitas enzim yang
dimanfaatkan dalam proses produksi pangan secara endogenus berasal dari tanaman,
hewan, maupun mikroorganisme. Aktivitas enzim endogenus dapat dimanipulasi dengan
melakukan optimasi terhadap kondisi kerja enzim (pH dan suhu) atau meningkatkan
ekspresi enzim dengan teknik rekayasa genetik. Karena keterbatasan penggunaan teknik
manipulasi tersebut, maka berkembang ide untuk menambahkan enzim dari sumber lain
(enzim eksogenus) untuk memperbaiki reaksi-reaksi yang sudah ada atau menginisiasi
reaksi-reaksi baru. Pemanfaatan dan manipulasi kerja enzim telah pula dipergunakan untuk
mendesain produk pangan fungsional.
Ada beberapa enzim yang telah digunakan secara umum dalam industri pangan,
salah satunya enzim a-amilase. Enzim a-amilase digunakan dalam industri hidrolisis pati,
bir, roti, dan deterjen. Dalam industri hidrolisis pati, enzim digunakan untuk mencairkan
pati yang tergelatinasi. Enzim tersebut berfungsi menurunkan viskositas pati dan
menghidrolisis
menjadi
maltodekstrin.
Enzim
a-amilase
(1,4-a-glukanohidrolase)
Dua enzim karbohidrase penting lainnya yang digunakan dalam industri ialah
pektinase dan laktase. Pektinase digunakan untuk menjernihkan jus buah. Laktase
digunakan pada industri keju untuk memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa
(Thomas & Kenealy 1986). Enzim proteolitik memiliki peranan kira-kira dua pertiga dari
total pasar industri berbasis enzim. Dari total protease yang digunakan dalam industri, 25%
di antaranya merupakan protease alkalin termostabil yang digunakan dalam industri
deterjen. Dari uraian tersebut terlihat betapa enzim termostabil sangat berpotensi untuk
diaplikasikan dalam industri modern yang berbasis enzim.
Meskipun kemajuan yang dicapai dalam aplikasi enzim telah sangat luas selama
dekade terakhir ini, namun pengetahuan tentang fisiologi, metabolisme, enzimologi, dan
genetika dari mikrob penghasil enzim masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian
mendalam tentang sifat-sifat molekuler enzim dan gen-gennya untuk dapat memahami
bagaimana mereka menjalankan fungsinya pada suhu tinggi, bahkan pada suhu di atas 1000
masih diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada saat enzim dipertimbangkan untuk digunakan dalam industri pangan, maka
sangat penting dijamin bahwa pemanfaatan enzim tersebut akan memberikan keuntungan
secara komersial. Enzim dapat bermanfaat untuk konversi bahan baku menjadi bahan yang
lebih mudah diolah pada tahapan proses selanjutnya. Selain untuk pengolahan yang lebih
efisien dan aman, enzim dalam industri pangan dapat dimanfaatkan untuk mendesain
produk pangan yang lebih mudah dicerna saat dikonsumsi. Degradasi makromolekul
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah diserap di dalam saluran pencernaan
sangat diperlukan oleh orang yang bermasalah dengan produksi enzim-enzim pencernaan.
Ada dua cara penggunaan enzim dalam pengolahan pangan, yaitu memanfaatkan
enzim yang alami ada dalam produk pangan (enzim endogenus) dan menambahkan enzim
dari luar ke dalam bahan pangan yang diolah (enzim eksogenus). Enzim endogenus dapat
berasal dari bahan baku pangan (nabati atau hewani) maupun dari mikroorganisme yang
digunakan dalam proses fermentasi produk pangan. Enzim eksogenus sudah banyak
diproduksi secara komersial untuk dapat dimanfaatkan dalam proses pengolahan pangan.
Beberapa produk enzim yang digunakan dalam pengolahan pangan dapat dilihat pada
Tabel 1.
Secara alami enzim terdapat dalam sel dari mikroorganisme, jaringan tanaman dan
jaringan
hewan.
Keterlibatan
enzim
dalam
pengolahan
pangan
tidak
semua
punya caranya sendiri. Tetapi, secara umum, hampir semua bir mengandung empat bahan
dasar: barli, hop, air dan ragi.
Seluruh proses pembuatan bir dapat dibagi menjadi empat tahap: pembuatan malt,
pengolahan wort, fermentasi dan pematangan. Pembuatan malt : semua bir dibuat dari
malt. Malt ini, tergantung kebiasaan, dibuat dari bulir jelai, gandum, atau kadang gandum
hitam. Selama tahap ini, barli disortir, ditimbang, dan dibersihkan. Setelah itu, barli
direndam dalam air dengan tujuan supaya barli itu berkecambah. Prosesnya memakan
waktu antara lima sampai tujuh hari pada suhu sekitar 14oC. Hasilnya adalah malt hijau,
yang dipindahkan ke oven khusus untuk dikeringkan di kiln. Proses perkecambahan
menghasilkan beberapa enzim, terutama -amilase dan -amilase, yang akan digunakan
untuk mengubah pati dalam bulir menjadi gula. Kadar air dalam malt hijau itu diturunkan
hingga antara 2% sampai 5% agar berhenti berkecambah. Setelah dikeringkan, kecambah
dibuang dari butiran malt, lalu malt itu digiling. Kemudian, tahap berikutnya bisa dimulai.
Pengolahan wort Malt yang telah digiling dicampur dengan air untuk menghasilkan
adonan, yang kemudian dipanaskan perlahan-lahan dalam sebuah proses yang dinamai
mashing. Mashing biasanya memakan waktu 1 sampai 2 jam.
Pada suhu tertentu, enzim-enzimnya mulai mengubah sarinya menjadi gula
sederhana. Tetapi ini berlangsung lebih dari empat jam dan menghasilkan wort yang
kemudian disaring sampai bersih. Berikutnya adalah proses pendidihan, yang
menghentikan kegiatan enzim. Selama pendidihan, hop ditambahkan ke dalam wort untuk
menghasilkan rasa pahit bir yang khas. Setelah kira-kira dua jam dididihkan, wort
didinginkan sampai suhu tertentu. Fermentasi inilah tahap terpenting dalam proses
pembuatan bir. Dengan bantuan ragi, gula sederhana dalam wort diubah menjadi alkohol
dan karbon dioksida. Lama fermentasi yang berlangsung tidak lebih dari seminggu, dan
suhu proses itu bergantung pada jenis bir misalnya ale (bir keras) atau lager (bir ringan)
yang dihasilkan.
Bir mentah itu kemudian dipindahkan ke dalam tangki-tangki di ruang
penyimpanan bawah tanah untuk dimatangkan. Selama tahap ini, terbentuklah rasa serta
aroma bir yang khas dan juga gelembung-gelembung dari karbon dioksida. Bir mengalami
pematangan selama suatu periode dari tiga minggu sampai beberapa bulan, bergantung
pada jenis bir. Akhirnya, bir yang telah jadi itu dikemas dalam gentong atau botol dan siap
dikirim ke tempat tujuan akhir.
kemudian dinjeksikan uap air panas sehingga mencapai suhu reaksi enzim yaitu 104 C.
Dengan tekanan uap, mampu sekaligus mengocok sehingga mempercepat reaksi.
Penambahan enzim dilakukan dan produk dibiarkan pada suhu 93 C selama 60 menit
sehingga proses likuifikasi berlangsung lengkap. Pada tahap tersebut seluruhpati telah
dirubah sehingga mencapai dekstrose-eqivalen (DE) sekitar 15 20.
b. Sacharifikasi
0
Enzim kolagenase tersebut dapat diperoleh dari mikroba khususnya yang diisolasi
dari kulit yang telah disamak C. histolyticum, yang memiliki keaktifan enam kali lebih
aktif dari kolagenase ternak.
Bahkan enzim kolagenase tersebut telah berkembang penggunaannya untuk
mencegah proses penuaan pada manusia sehingga dapat lebih awet muda. Usaha-usaha
mencari enzim anti crosslink tersebut akan berkembang maju di masa depan. Bjorksten
(1977) dalam mencari jenis enzim tersebut telah menemukan dan mengisolasi Ca-activated
(micro-protease) dari B. ceresu, yang istimewa dari enzim tersebut adalah ukurannya
yang sangat kecil, dengan demikian memungkinkan memasuki dan menembus serat-serat
kolagen. Enzim-enzim yang mampu memecah ikatan C-N akan besar perannya dalam
memecahkan cross-link.
Enzim yang mampu menghambat bahkan menyetop terjadinya senescen =
kelayuan dan penuaan pada buah khususnya memantapkan kemudaan, kelayuan dan
kerenyahan produk hortikultura akan terus mendapat perhatian khususnya enzim yang
berasal dari mikroba.
c. Refining sirup dekstrosa
Proses refining dimulai dengan proses filtrasi. Filtrasi dilakukan secara vakum
yang mampu menjaring protein, serat atau padatan lain dengan cara sirup ampas
dikeringkan untuk kemudian dibuat pellet untuk makanan ternak.
Sirup yang telah disaring tersebut dipompakan ke dalam kolom karbon aktif dan
ion exchange dalam bentuk seri untuk lebih memurnikan sirup. Kolom karbon aktif
biasanya terdiri dari dua buah kolom yang mampu menampung aliran sirup dnegan
retention time 400 jam, yang diperlengkapi dengan alat distributor yang menjamin
distribusi sehomogen mungkin.
Setelah melalui karbon aktif, sirup tersebut dialirkan dalam tangki-tangki ion
exchange dan kemudian disaring lagi untuk memisahkan adanya karbon yang terikut
dalam sirup.
Fungsi ion-exchange ialah untuk menghilangkan zat-zat mineral dalam sirup dan
residu protein atau zat-zat warna yang mungkin lolos dari kolom karbon aktif.
Tahap berikutnya adalah pengentalan kembali dengan dilakukan evaporator.
d. Isomerisasi
Glukosa dan fruktosa adalah merupakan isomer satu dengan yang lainnya, artinya
memilih berat molekul dan susunan atom yang sama tetapi dengan struktur konfigurasi
yang berbeda.
Glukosa dapat dirubah strukturnya menjadi fruktosa atau sebaliknya, fruktosa dapat
dirubah menjadi glukosa dengan pertolongan enzim yang sama yaitu glukosa-isomerase.
Proses perubahan tersebut disebut enzymatic glucose-isomerization.
Karena enzim tersebut reversible artinya dapat mengkatalis ke aksi bolak-balik
maka produk akhir selalu merupakan campuran dari biak glukosa maupun fruktosa. Relatif
komposisi campuran dari kedua jenis gula tersbut dapat bervariasi tergantung kondisi
reaksi, suhu dan keasaman dimana proses isomerasi berlangsung. High Fructose yang
diproduksi mengandung fruktosa 42 persen, 50 persen glukosa dan 8 persen oligomerasi
(gula lain).
Sirup kental dengan kadar padatan 45 persen dimasukkan ke dalam isomerasi
selama 15 menit untuk mengatur pH 8.0 dan penambahan Mg sulfat sebagai promts, sirup
dipompakan ke dalam kolom-kolom isomerasi. Sebelum proses dimulai, suhu kasar dan
0
suhu tepat (60 C) diatur secara cermat, dilakukan di aerasi dalam kolom sehingga
mencapai kevakuman 254 mm Hg dan enzim gluko isomerasenya telah pula disiapkan.
Adanya oksigen terlarut dapat memblokir reaksi isomerasi.
Dalam industri yang berskala besar proses isomerasi dilakukan pada sembilan
kolom reaktor (fixed bed, densiflow) dan beberapa immobilized enzym kolom reaktor.
Enzim dalam kolom secara cepat berubah secara isomerisasi, glukose menjadi fruktosa.
Kadar sirup glukosa harus diatur selalu tetap yaitu antara 42.5 43 persen agar
flowratenya konstan.
e. Refining HFS
High Fructose Syrup yang diperoleh kemudian ditampung dalam tangki
penampung dan kemudian dialirkan ke dalam filter, karbon aktif dan ion-exchange
kolom seperti yang digunakan dalam proses pemurnian sirup glukosa.
Karbon aktif mengambil senyawa berwarna yang terjadi selama proses isomerasi
dan ion-exchange mengambil garam anorganik yang digunakan dalam proses isomerasi
sehingga kadar abu dapat ditekan menjadi serendah mungkin.
Sirup HFS yang diperoleh disaring lagi, dipanaskan pada suhu di bawah diskolom
HFS untuk meningkatkan kekentalan sirup sehingga mencapai kadar padatan terlarut 71
persen, disaring lagi baru ditampung ke dalam tangki-tangki penyimpanan.
II.3. ENZIM PADA PRODUKSI GULA XILOSA dengan ENZIM XILANASE
Jenis mikroorganisme yang sudah umum menghasilkan xilanase ialah jamur dan
bakteri. Beberapa jenis bakteri dan jamur diketahui mampu menghasilkan xilanase secara
ekstraseluler. Xilanase dari Clostridium acetobuty-licum telah diteliti oleh Lee et al.
(1985), yaitu dari 20 strain Clostri-dium sp. ternyata C. acetobutylicum NRRL B527 dan
ATCC 824 menghasilkan xilanase terbanyak. Strain NRRL B527 menghasilkan xilanase
pada pH 5,2, sedangkan strain ATCC 824 menghasilkan xilanase, xilopiranosidase, dan
arabinofuranosidase pada kultur anaerob. Bacillus sp. penghasil xilanase bersifat
alkalofilik yang telah diteliti adalah Bacillus sp. YC 335 (Park etal., 1992), Bacillus sp.
41M-1 (Nakamura et al., 1993), dan Bacillus sp.TAR-1 yang juga bersifat termofilik
(Nakamura et al., 1994). Kubata et al. (1992) telah mengisolasi Aeromonascaviae ME-1
penghasil xilanase I dari usus herbivorous insect, sedangkan Dung et al. (1993) melakukan
penelitian -1,4-xilanase 2 dan 3 dari A. caviae W-61. Irawadi (1992) berhasil
memproduksi selulase dan xilanase dari Neurospora sitophila pada substrat padat limbah
kelapa sawit. Richana et al. (2000) telah melakukan isolasi bakteri penghasil xilanase
alkalofilik yang berasal dari tanah berkapur pH 7,9.
Dalam memproduksi enzim dari mikroorganisme, hal yang penting untuk
dikerjakan adalah mulai menggunakan strain mikroorganisme yang paling aktif yang
tersedia. Suatu program seleksi strain harus dilakukan dengan mengambil kultur dari alam
atau koleksi kultur, dan melakukan pengujian-pengujian aktivitas enzim. Persyaratan
utama dalam seleksi adalah kemudahan metodologi, sehingga pengujian yang cepat untuk
sejumlah besar strain dapat dikerjakan.
Jenis mikroorganisme yang sudah umum menghasilkan xylanase ialah dari
golongan jamur dan bakteri. Meskipun enzim yang dihasilkan oleh golongan bakteri
memiliki ketahanan pada temperatur yang lebih tinggi dibanding jamur, namun aktifitas
xylanase dari golongan jamur jauh lebih tinggi dari bakteri. Disamping itu, level produksi
yang tinggi dan kemudahan dalam cultivikasi membuat jamur lebih banyak digunakan
dalam produksi enzim skala industri (Bergquist et al, 2002).
Adapun jenis jamur yang berpotensi menghasilkan enzim xylanase yaitu jamur
Aspergillus niger dan Trichoderma ressei.
Aspergillus niger adalah mould dari klas fungi imperfecti, tersebar dimana-mana
pada bermacam substrat antara lain terdapat pada buah-buahan, sayur-sayuran dan
makanan lain yang telah busuk. Jamur ini berperan dalam mendekomposisi polisakarida di
0
memisahkan komponen sesuai ukuran molekul maupun berat molekul maka dapat
dilakukan fraksinasi glukosa dan xilosa dengan mudah.
Pemanfaatan Xilanase untuk Makanan Ternak
Van Paridon et al. (1992) telah melakukan penelitian pemanfaatan xilanase untuk
campuran makanan ayam boiler, dengan melihat pengaruhnya terhadap berat yang dicapai
dan efisiensi konversi makanan serta hubungannya dengan viskositas pencernaan. Hal
yang sama juga di-lakukan oleh Bedford dan Classen (1992), yang melaporkan bahwa
campuran makanan ayam boiler dengan xilanase yang berasal dari T.longibrachiatum
ternyata mampu mengurangi viskositas pencernaan, sehingga meningkatkan pencapaian
berat dan efisiensi konversi makanan.
Pemanfaatan Xilanase untuk Makanan dan Minuman
Xilanase dapat juga digunakan untuk menjernihkan juice, ekstraksi kopi, minyak
nabati, dan pati (Wongdan Saddler, 1993). Kombinasi dengan selulase dan pektinase dapat
untuk penjernihan juice dan likuifikasi buah dan sayuran (Beg et al.,2001).
Efisiensi xilanase dalam perbaikan kualitas roti yang telah dilakukan, yaitu xilanase yang
berasal dari Aspergillus niger var awamori yang ditambahkan ke dalam adonan roti
menghasilkan kenaikan volume spesifik roti dan untuk lebih meningkatkan kualitas roti
maka perlu dilakukan kombinasi penambahan amilase dan xilanase (Maatet al., 1992).
Sekalipun potensi penggunaan enzim xilanase cukup beragam tetapi untuk
memproduksi juga masih menghadapi beberapa kendala, antara lain tidak tersedianya
strain mikroorganisme unggul dan kurangnya pengetahuan tentang teknologiproduksi
enzim. Di lain pihak, pakar dari negara maju mengakui bahwa negara yang kaya akan
keanekaragaman hayati, termasuk Indonesia, merupakan sumber mikroorganisme maupun
tanaman yang potensial untuk bioproses (Fox, 1994).
Melihat potensi bahan limbah berlignoselulosa yang melimpah, serta kekayaan
sumber keanekaragaman hayati mikroorganisme di Indonesia, maka perlu dilakukan
inovasi ke arah industri enzim. Xilanase yang sangat beragam penggunaannya dapat
diproduksi sendiri di Indonesia seandainya memiliki strain mikroorganisme unggul
penghasil xilanase dan menguasai teknologi produksinya.
Ekstraksi secara mekanis memiliki keuntungan dalam pengambilan sari buah dari daging
buahnya karena caranya yang sederhana, biaya murah, tekanan dapat disesuaikan dengan
jenis bahan, dan alat pengempa dapat untuk bermacam-macam bahan.
II.4. ENZIM PADA PROSES PENJERNIHAN SARI BUAH dengan ENZIM
PEKTINASE
Pada proses produksi sari buah, metode pengambilan sari buah dari buah asalnya
biasa menggunakan metode ekstraksi. Buah yang diekstrak akan menghasilkan saribuah.
Sari buah yang diperoleh biasanya masih mengandung partikel padat. Sehingga perlu
dihilangkan agar mendapatkan sari buah yang jernih. Penghilangan dapat dilakukan
dengan penyaringan. Pemisahan dengan didiamkan beberapa waktu akan terjadi
pengendapan padat karena adanya gaya gravitasi partikel padat, kemudian dapat diambil
bagian jernihnya. Proses penjernihan yang lebih efisien dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan enzim, yaitu enzim pektinase.
Enzyme treatment
Perlakuan pemberian enzim dapat membantu proses penjernihan sari buah. Enzim
yang digunakan adalah pektinase, yaitu enzim yang memecah pektin, suatu substrat
polisakarida yang ditemukan di dinding sel tumbuhan. Salah satu pektinase yang banyak
digunakan secara komersial adalah poligalakturonase. Hal ini dikarenakan petin
merupakan suatu matriks mirip jelly yang merekatkan sel-sel tumbuhan dan merekatkan
antar dinding sel tumbuhan, seperti serbut selulosa. Oleh karenanya, enzim ini berperan
dalam proses yang melibatkan degradasi bahan yang berasal dari tumbuhan, seperti
mempercepat ektraksi jus dari buah-buahan.
Pektinase biasanya merupakan campuran dari beberapa enzim, seperti selulase,
yang digunakan secara luas dalam industri jus untuk membantu ekstraksi, menjernihkan,
dan memodifikasi jus. Selain itu, enzim yang termasuk dalam kelompok pektinase adalah
poligalakturonase, pektin metil esterase, dan pektin lyase.
Penambahan enzim pectin membantu penjernihan dalam 2 cara: (1) enzim pektin
menyebabkan koagulasi dan sedimentasi bahan-bahan tersuspensi dan kandungan koloid
yang terdapat dalam jus, dan (2) penambahan enzim memperkecil viskositas jus dan
sebagai akibatnya mempermudah dan mempercepat filtrasi.
II.5. ENZIM LIPASE UNTUK PRODUK BAKERY
Enzim lipase merupakan salah satu enzim yang memiliki sisi aktif sehingga dapat
menghidrolisis triasilgliserol menjadi asam lemak dan gliserol. Enzim lipase dapat
digunakan untuk menghasilkan emulsifier, surfaktant, mentega, coklat tiruan, protease
untuk membantu pengempukan daging, mencegah kekeruhan bir, naringinase untuk
menghilangkan rasa pahit pada juice jeruk, glukosa oksidase untuk mencegah reaksi
pencoklatan pada produk tepung telur dan lain-lain.
Sumber-sumber enzim lipase antara lain : bakteri (S. aureus), kapang (Aspergillus
niger, Rhizopus arrhizus), tanaman yang menghasilkan trigliserida (kacang-kacangan),
pancreas, susu.
Aplikasi enzim lipase untuk sintesis senyawa organik semakin banyak
dikembangkan, terutama karena reaksi menggunakan enzim lipase bersifat regioselektif
dan enansioselektif. Aktifitas katalitik dan selektivitas enzim, tergantung dari struktur
substrat, kondisi reaksi, jenis pelarut, dan penggunaan air dalam media.Contohnya
biosintesis senyawa pentanol, hexanol & benzyl alkohol ester, serta biosintesis senyawa
terpene ester menggunakan enzim lipase yang berasal dari Candida antartica dan Mucor
miehei.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman , Albar & Setyawan ,Sigit . Pengaruh Konsentrasi Substrat, Lama Inkubasi Dan
Ph Dalam Proses Isolasi Enzim Xylanase Dengan Menggunakan Media Jerami
Padi . Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro :
http://www.foodreview.biz/login/index.php
http://sudarmantosastro.wordpress.com
http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/13/rekayasa-genetika-mikroorganismepenghasil-enzim-lipase