Daftar Isi
Reklamasi Gede
Komang Tak Jadi Ikut Ke Paris
Andini Dan Kakek Alam
Bulan Di Languan Room
Kontak Batin
Senja Di Bawah Pohon Jambu
Jangan Jadi Aktivis, Nak!
Kisahku Yang Tersembunyi
Lamunan Makan Siang
Lepang
Bantal Ajaib
Sebuah Kisah Di Pantai Rahasia
~ * * *~
REKLAMASI GEDE
Reklamasi, tolak reklamasi!
Gede baru saja menandatangani sebuah petisi via sebuah situs internet. Seorang
kenalan di salah satu jejaring sosial mengirimkan pesan yang isinya link situs tersebut.
Sebagai warga Bali yang turut peduli, Gede juga ingin berpartisipasi memperjuangkan
pulaunya supaya tidak dieksploitasi. Hanya cara ini yang bisa Gede lakukan. Gede tidak
punya waktu untuk ikut serta turun ke jalan. Hari-harinya sibuk di kantor melayani
beberapa pesanan paket travel.
Gede memang tidak selalu mengikuti berita tentang penolakan reklamasi. Hanya
sesekali mendengar di berita televisi atau melihat sekilas di koran. Tak ketinggalan juga
di sosial media. Beberapa akun teman dan kenalannya mengganti foto profil mereka
dengan foto bertuliskan BALI TOLAK REKLAMASI.
Sebenarnya Gede baru ngeh akan berita ini beberapa minggu yang lalu saat ada
obrolan dengan salah satu rekan di kantor.
De, kamu lihat demo di jalan tadi?
Nggak, Mang. Emang demo apa? Tumben. Rame? Bikin macet?
Rame sih lumayan. Macet sih enggak begitu. Kan beda demo di sini dengan di Jakarta.
Terus kenapa, bentrok?
Mana ye.
Terus kok serius sekali kamu tanya soal demo di jalan?
Gini, De. Demonya sih ga rame tapi hampir tiap hari. Kamu gak nonton berita ya?
Sori, Mang. Aku sibuk ngurus rumah, baru mau dikeramik. Bulan depan anakku
nomor dua masuk TK. Yang pertama bakal masuk SD. Belum lagi si kecil, otonan 6
bulan.
Beh kamu ini. Kepala rumah tangga sejati. Masak sampai ga sempat nonton TV?
Gimana men, Mang. Terus kenapa demonya?
Kalau demo tiap hari bukannya citra Bali terlihat tidak aman ya?
Kok gitu? Katanya enggak sampai bentrok.
Demo dimana-mana! Kalau sampai bentrok, sepi lagi wisatawan ke Bali!
Masak gitu, Mang? Bukannya wisatawan sepi cuma pas bom waktu itu?
Demo kan juga ibarat bom waktu. Kapan saja bisa meledak. Apalagi kalau tuntutan
tidak dikabulkan.
Kayaknya gak sampai segitunya, Mang. Bali lain dengan Jakarta. Bali kan lebih adem.
Buktinya waktu Bu Mega kalah, banyak warga Bali turun ke jalan membakar ban dan
menebang pohon.
Itu kan beda, Mang.
Pokoknya demo-demo itu tidak baik untuk citra pariwisata Bali. Banyak masyarakat
Bali yang bergantung dari sana.
Gede hanya diam. Gede juga sadar keluarganya makan dari hasil kerjanya di travel.
Kalau wisatawan sepi, pendapatannya tidak seberapa tanpa bonus.
Reklamasi teluk kan juga baik untuk membuka lapangan kerja baru! Menurutmu
gimana, De?
Gede tidak menjawab. Tiba-tiba Gede ingat anak dan istri di rumah. Tiba-tiba muncul
wajah orang tuanya yang mulai mengeluh bertani karena biaya produksi jauh lebih
tinggi dari hasil panen. Tiba-tiba Gede juga ingat pada sepupunya yang menjual tanah
warisan
kepada
investor
asing
untuk
melunasi
hutang
dan
membiayai
keberangkatannya bekerja di kapal pesiar. Gede seperti tidak mampu berkata apa-apa
lagi. Ada sebuah dilema di hati dan pikirannya.
Sejak saat obrolan itulah, Gede mulai mencari-cari berita tentang Tolak Reklamasi.
Ternyata Gede sudah ketinggalan jauh. Gede juga baru paham apa arti dari kata
reklamasi setelah searching di salah satu mesin pencari. Gede seperti membuka mata
lagi. Melek pada kondisi pulaunya yang semakin digerogoti setiap jengkal tanahnya.
Dari beberapa artikel yang Gede baca, penolakan itu didukung oleh banyak orang
terutama dari aktivis lingkungan, beberapa LSM dan organisasi tertentu, seniman
bahkan beberapa musisi ikutserta bersuara.
Semangat lama seperti berkobar kembali di dada Gede. Sebenarnya sudah dari dulu
Gede miris melihat pulaunya ini. Pekerjaannya di travel kadang membuat dirinya sadar
kalau dia dan banyak warga Bali menjadi pelayan di pulaunya sendiri. Namun apa
daya, Gede terpaksa menutupi semua itu karena mau tidak mau dia menggantungkan
nasib dari sektor pariwisata. Mulut Gede seperti dibungkam. Apalagi jika melihat kedua
orang tua di kampung, istri dan anak di rumah. Gede memilih diam dan bekerja saja.
Hingga sekarang pun dimana dukungan tolak reklamasi dimana-mana, Gede tidak bisa
ikut serta secara nyata. Gede tidak bisa berteriak lantang seperti mereka. Lidahnya telah
lama dibekukan. Gede hanya lancar berbicara saat bertemu wisatawan yang
menggunakan jasa travelnya. Itu juga lebih sering menggunakan bahasa asing. Inggris,
Itali dan sedikit Jepang.
Gede merasa iri pada mereka yang turun ke jalan menentang para penguasa yang lalim.
Penguasa yang tanpa pernah meminta persetujuan pada rakyatnya dalam setiap
keputusan. Entah berapa banyak proyek besar dan investasi yang mereka loloskan
ijinnya tanpa mengindahkan tata ruang kota yang katanya berprinsip pada Tri Hita
Karana.
Bli, kok bengong? Komputernya tu ngeliatin Bli. Ini kopinya.
Gede melihat istrinya.
Dek, gimana kalau aku selesai kerja di travel?
Bli kan baru bekerja 7 tahun di sana, pas tahu kalau Dek hamil. Memangnya kenapa
Bli? Sudah tidak betah?
Kita buka usaha saja ya?
Usaha apa Bli? Modalnya dari mana?
Gede baru sadar apa yang dikatakannya. Semua belum diperhitungkan. Jenis usaha atau
modalnya. Gede hanya asal ceplos.
Usaha apa Bli?
Gede belum juga menjawab. Artikel-artikel yang sempat dibaca tadi seolah berputar di
kepalanya. Gede berusaha mencari jawaban atas ide dadakan yang barusan dicetuskan
pada istrinya.
Bapak, kapan kita beli tas dan sepatu baru? Tiba-tiba anaknya yang sulung bertanya
sedikit merengek.
Pikiran Gede soal ide tadi buyar.
Tu Bagus, jangan ganggu bapaknya lagi kerja.
Istri Gede seperti mengerti.
Besok ya, beli sama ibu. Sekarang Kakak main di kamar sama adik ya.
Gede melihat anaknya yang berlari ke kamar. Tiga anak menanti untuk dibiayai.
Ini untuk awalan saja ya, Dek. Kita buat usaha di kampung. Rumah ini kita kontrakkan
saja. Setelah itu baru Bli mengundurkan diri dari travel. Lalu kita kembali ke kampung.
Bli akan menggantikan Bapa dan Meme bertani. Bli mau usaha padi dan tanaman
organik lainnya. Tapi tidak semua lahan Bli tanami. Nanti Bli juga buat kolam untuk
budidaya lele.
Istri Gede bengong.
Kenapa, Dek? Ada yang salah?
Bli kesambet apa? Tumben ngomong panjang lebar. Serius Bli mau bertani?
Bli sudah banyak baca referensi dari internet, tinggal tekad dan semangat!
Semangat Gede berkobar-kobar.
Bli cuma perlu dukungan Dek dan anak-anak untuk merelakan diri pindah ke
kampung.
Kalau Bli yakin, Dek pasti akan mendukung. Bapa dan Meme pasti senang anak semata
wayangnya ini mau meneruskan menggarap sawah juga bisa berkumpul dengan
menantu dan cucu.
Gede tersenyum mendengar jawaban istrinya. Walau belum seratus persen yakin
usahanya akan sukses, Gede berusaha untuk merealisasikan keinginan itu dulu. Jika ada
masalah, pasti ada jalan keluar.
Sebulan telah berlalu. Di TV, Gede masih melihat aksi dan dukungan Tolak Reklamasi
belum berhenti meski ada berita pimpinan penguasa telah mencabut SK terdahulu.
Gede tetap tidak bisa ikut turun ke jalan untuk mendukung aksi penyelamatan
lingkungan. Gede memilih caranya sendiri. Kembali ke kampung untuk bertani.
Kan libur, Bu. Minggu. Komang menjawab dengan masih menggeliat di atas
kasur.
Iya ibu tahu. Libur bukan berarti kamu harus bangun siang. Anak perempuan
mana yang belum bangun jam segini.
Anak ibu.
Kamu ini.
Dari luar rumah terdengar suara ayah Komang memanggil.
Nah itu dipanggil bapakmu. Cepat bangun.
Dengan terpaksa Komang beranjak dari nyamannya kasur.
Ingat rapikan dulu tempat tidurmu, pesan ibu.
Langkah Komang ke kamar mandi pun terhenti. Dia merapikan dulu seprai,
bantal dan selimut yang terlihat awut-awutan. Maklum Komang tidurnya tidak
bisa diam. Sering berputar hingga 180 derajat dari posisi awal.
Ketika Komang hendak ke kamar mandi, dia melihat pintu kamar adik lakilakinya sedikit terbuka. Adiknya masih tidur dengan nyenyak tanpa gangguan
apapun.
Itu Ketut masih tidur. Tidak dibangunkan juga?
Jangan. Adikmu itu baru tidur jam 3 pagi.
Ngapain juga dia baru tidur jam 3 pagi? Ronda? Paling nongkrong dengan
teman-temannya.
Sudah, cuci muka sana. Nanti bapakmu manggil lagi.
Berarti kalau aku tidur jam 3 pagi, boleh bangun siang juga? tanya Komang.
Tanpa menunggu jawaban, Komang segera ke kamar mandi. Dia tahu jawaban
ibunya akan sangat memihak dan tidak sesuai harapan Komang.
Pagi-pagi, Komang sudah harus menyapu seluruh rumah setelah itu
mengepelnya dengan pewangi lantai. Kaca-kaca jendela harus dilap dari debu
hasil seminggu. Halaman juga harus dibersihkan dari beberapa daun yang
gugur. Kemudian dilanjutkan dengan menyiram tanaman baik yang ada di
dalam pot atau tumbuh bebas di tanah. Tak lupa rumpu-rumput juga harus
dicabut. Entah supaya tidak mengganggu tanaman lain atau supaya tidak
merusak pemandangan paving. Yang penting cabut saja rumputnya, begitu
perintah ayah.
Usai bersih-bersih sendiri, bukan bersih-bersih bersama, Komang harus
mencuci pakaiannya terutama seragam untuk sekolah nanti. Awalnya dia hanya
ingin mencuci pakaiannya saja tapi kemudian suara ibunya pun berkumandang.
Mang, jangan lupa cuci juga seragam adikmu.
Dengan sedikit kesal Komang bertanya Memang dia tidak bisa cuci bajunya
sendiri?
Kasihan adikmu.
Komang tidak pernah mengerti apa maksud ibu dengan kasihan itu. Sebelum
Komang mulai menimpali, ibu sudah berkata lagi.
Masak kamu tega kalau ibu juga yang harus mencuci baju adikmu. Kamu tidak
lihat masih banyak yang harus ibu kerjakan.
Keluarlah kata-kata pamungkas ibu sehingga Komang tidak mampu berbuat apa
selain menurut dan menghela nafas.
Ya banyak yang harus ibu kerjakan. Memang harus, suka atau rutinitas? Entah
mana tepatnya. Yang Komang tahu, ibu adalah wanita super sibuk. Tak kalah
sibuk dengan wanita karier yang bekerja di kantoran. Ibu pun sebenarnya
wanita karier juga. Hanya saja bekerjanya di rumah dan pasar.
Dimulai dari pukul 3 pagi ibu bangun untuk menyiapkan dagangan. Dimulai
dari memasak nasi, sayur beserta lauk pauknya. Terkadang kalau bisa
dibangunkan, Komang pun membantu ibu. Setelah selesai ibu pun mandi dan
bersiap ke pasar yang tak jauh dari rumah. Di sanalah ibu berjualan hingga
pukul 8 pagi. Kalau dagangan tidak terjual habis, biasanya ibu menitipkan nasinasi yang sudah dibungkus daun pisang di warung sepanjang perjalanan
pulang.
Sesampai di rumah, ibu beristirahat sejenak. Minum kopi pahit ditemani pisang
goreng yang dibeli tadi di pasar. Rumah sudah sepi. Bapak mengajar, sedangkan
Komang dan adiknya tentu saja harus bersekolah. Bukan berarti ibu akan
berleha-leha.
Setelah
kopinya
habis,
itu
pertanda
ibu
harus
mulai
***
Bagaimana Komang? Kau ikut denganku ke Paris?
Komang hanya terdiam. Dia memang menyukai lelaki itu. Tetapi untuk menikah,
Komang belum berpikiran ke sana. Walaupun umurnya sudah menginjak 27
tahun. Walaupun Komang sangat ingin pergi ke Paris. Bayangan tentang sebuah
rumah tangga begitu menghantuinya. Padahal belum tentu kehidupan rumah
tangganya akan sama seperti ibunya. Komang pun menikahnya dengan bule
yang jelas kebudayaan dan gaya hidup sangat berbeda. Komang masih saja
menyangsikan kebetahan dirinya untuk berumah tangga. Hidup melajang masih
sangat dinikmati oleh Komang.
dan aktif di sebuah LSM. Pekerjaan yang tak kalah mulia dengan pekerjaan
ayah. Sedangkan aku adalah seorang murid SD kelas 3. Tak ada yang istimewah.
Apa ya yang bisa ku lakukan sekarang. Kartun di TV sudah selesai. Tak ada acara
yang menarik lagi. Buku cerita sudah kubaca semua. Ayah dan ibu lupa
membelikan yang baru minggu kemarin. Menggambarah aku sedang tidak
berminat. Tak ada yang ingin ku gambar. Bosannya. Kalau begini aku jadi
merindukan teman-teman sekolah. Untung telpon rumah sudah terpasang.
Halo tante, Nina ada?
Ini Andini ya?
Iya tante.
Sayang sekali Nina sedang tidak di rumah. Dia jalan-jalan pagi ke taman kota.
Bersama kakak dan anjingnya.
O, begitu ya tante.
Ada apa Andini? Tumben pagi-pagi sudah menelpon?
Tidak tante. Hanya mau menyapa saja.
Tidak ada pesan?
Tidak, tante. Terima kasih.
Wah, asyiknya Nina. Pagi-pagi sudah diajak jalan-jalan kakaknya. Aku yang
anak tunggal, apa-apa sendiri. Kedua orang tuaku belum berencana untuk
memberikanku adik. Nina juga punya hewan peliharaan. Namanya Dindin. Di
rumahku ada peraturan tidak boleh memelihara hewan terutama anjing dan
kucing. Aturan itu ditetapkan oleh ayah. Katanya, nanti mengotori rumah dan
bisa membawa sumber penyakit.
Lihat, cuaca semakin cerah di luar sana. Sedangkan di dalam sini terlihat seperti
mendung. Aku ingin sekali bermain di luar rumah. Tapi aku bingung juga
bermain dimana? Aku belum punya teman baru di sekitar sini. Belum ada
tempat yang bisa kukunjungi. Tidak mungkin aku mengetuk satu persatu pintu
dan memperkenalkan diri kalau aku ini tetangga baru mereka. Rumah yang
berpagar tinggi-tinggi itu juga tidak memperlihatkan aktifitas penghuninya.
Siapa tahu penghuninya sedang pergi. Aku berdiri di depan pagar sambil
mengintip dari celah kecil.
Sebenarnya aku tidak boleh keluar rumah. Salah satu alasan karena lingkungan
baru. Aku belum mengenalnya. Bisa saja nanti ada penculik.
Dunia sekarang tidak lagi aman, Nina. Lihat saja berita di TV, kata ibu waktu
itu.
Ya, memang berita-berita sekarang lebih banyak kejahatan daripada
kebaikannya. Apalagi anak kecil sepertiku tidak bisa melawan apa-apa. Bisanya
cuma teriak dan nangis.
Tunggu, di pojok gang sana sepertinya ada yang hijau-hijau. Bukan pagar besi
berwarna hijau. Ahai, itu tumbuh-tumbuhan rambat. Satu-satunya pagar
tanaman yang ada di gang ini. Aku keluar tidak ya. Nanti kalau ketahuan orang
tuaku, pasti aku diomeli. Tapi sekarang masih terlalu dini untuk mereka pulang.
Setengah jam kemudian
Aku sudah berada di depan pagar itu. Rumahnya tidak terlihat. Ada semacam
lorong tanaman untuk masuk ke halaman. Wah, seperti labirin. Terkadang di
beberapa bagian ditanami mawar liar dan anggrek. Lihat, ada kupu-kupu.
Capung juga. Pemandangan langka yang hanya bisa ku lihat di acara TV. Tibatiba ada sesuatu yang lurus bergerak lewat. Aku berhenti. Ternyata seekor ular
melintas menyeberang jalan. Selangkah saja lebih dulu, pasti aku sudah bertemu
dengan kepalanya dan entah apa yang akan terjadi. Aku masih saja memandangi
badan ular yang bergerak itu. Tanpa suara. Ular itu lumayan panjang. Setelah
aman, aku berjalan lagi dengan sedikit was-was. Siapa tahu ada ular lagi nanti.
Petualang ini jadi terasa menegangkan.
Akhirnya ini ujungnya. Terlihat tanam lapang berumput dengan beberapa pot
tanaman tersusun rapi. Ada juga gentong tanah liat berisikan air dan bunga
teratai diletakkan di bawah pohon cempaka yang sudah mulai berbunga. Ada
ayunan juga di sebuah pohon mangga lengkap dengan sebuah meja dan
beberapa kursi sandaran tua di sampingnya. Sedangkan rumahnya terbuat dari
kayu. Hampir seperti rumah panggung tapi lebih rendah dan gayanya lebih ke
rumah jawa.
Siapa di situ? suara serak terdengar entah dari mana.
Aku langsung terdiam kaku lagi sama seperti melihat ular tadi. Haruskah aku
lari karena telah lancang masuk ke rumah orang tanpa permisi? Tidak. Aku
tidak boleh takut. Aku sudah sampai di sini dan rasa penasaranku belum
terjawab semua.
Ma-af, pak. Na-ma sa-ya An-di-ni.
Kakek Alam mengajakku ke belakang rumahnya. Di sana ada sarang lebah yang
terbuat dari batang pohon kelapa yang di lubangi tengahnya. Kakek Alam
memberikanku kain jaring untuk menutupi badanku.
Kakek cuma punya satu topi jaring. Jadi biar aman, kamu pakai ini saja. Biar
tidak disengat.
Dari balik jaring aku melihat kakek Alam mengambil beberapa sarang lebah.
Tangannya sudah dilindungi sarung karet, jadi aman. Dia membersihkan sarang
itu dari lebah-lebahnya lalu menaruhnya di sebuah keranjang.
Ayo kita ke depan. Jangan sampai lebah-lebah itu menyerang kita.
Aku mengikuti kakek Alam menuju meja di bawah pohon mangga yang ada
ayunannya itu.
Kakek mengambil beberapa benda ya. Kamu main ayunan saja dulu.
Kakek Alam masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan aku berayun-ayun dengan
hati yang sangat senang. Di lingkungan gang yang menjemukan ini, ada sebuah
tempat yang menarik. Jauh lebih menarik daripada tempat bermain di mall.
Hei jangan melamun. Nanti kemasukan setan.
Memangnya setan itu benar-benar ada, kek? Seperti apa wujudnya? Apa seperti
di TV-TV?
Ah, kamu kebanyakan nonton televisi. Dasar anak jaman sekarang.
Kakek Alam memotong bagian sarang lebah yang ada madunya dan
mengumpulkan di sebuah baskom.
Ini coba sedikit. Kakek alam menyodorkan sepotong kecil sarang lebah.
Wah, enak sekali. Pertama kali merasakan madu langsung dari sarangnya.
Rasanya beda ya kek dengan madu yang pernah aku minum. Terkadang ada rasa
jeruknya lagi.
Inikan madu asli. Bukan madu pabrik, kata kakek Alam agak ketus sambil
memeras sarang lebah lalu menyaringnya. Hasilnya disimpan di sebuah toples
kaca.
Oya, kakek sendirian di sini?
Iya kakek hidup sendiri tapi banyak hal yang bisa dikerjakan di sini.
Lalu kenapa kakek bilang tak pernah ada yang berkunjung kemari?
Memang tidak pernah ada setelah sekian lama, kecuali pak pos. Makanya tadi
kakek curiga ada orang lain tiba-tiba datang kemari. Kakek kira mata-mata
yang dikirim untuk menyelidiki kakek.
Mata-mata?
Iya, mata-mata yang dikirim seorang makelar tanah yang ingin membeli tanah
kakek. Tapi itu sudah lama dan anak seumuranmu tidak mungkin mata-mata.
Iya kan Andini?
Tentu saja aku bukan mata-mata. Asal kakek tahu, aku adalah bajak laut!
Seorang petualang yang mengarungi semua lautan!
Aku turun dari ayunan dan memperlihatkan gaya pemberani seorang bajak laut
yang sedang berdiri di atas kapalnya.
membungkuskan beberapa ikan bakar tadi dengan daun pisang. Katanya buah
tangan untuk orang tuaku. Dan seperti janjinya, Kakek Alam mengantarku
hingga depan rumah.
Tak lama kemudian orang tuaku pulang. Aku memberikan bungkusan itu pada
ibu. Lalu sepanjang makan malam, aku bercerita tentang rumah kakek Alam dan
apa saja yang kami kerjakan hari ini. Ayah hanya tersenyum sedangkan ibu
terlihat agak khawatir.
Besok aku main ke sana lagi ya, Yah, Bu?
Iya. jawab ayah.
Tapi kami harus mengantarmu kesana sebelum berangkat kerja. Ibu harus
berkenalan dengan kakek itu dulu, tambah ibu.
Ok. Tak kenal maka tak sayang. Ibu jangan khawatir. Di sana jauh lebih aman
dan menyenangkan daripada di mall.
Semoga itu benar. Ya sudah, sekarang kamu tidur, kata ibu.
Sebelum tidur, aku membayangkan apa lagi yang akan aku kerjakan esok di
rumah kakek Alam. Pastinya tak terduga dan menyenangkan. Kembali lagi pada
alam.
Kunci, berarti aku akan membuka sebuah pintu. Klise sekali. Semua orang juga
tahu kecuali para pencuri yang harus mencongkel untuk bisa masuk ke rumah
target. Tapi kenapa hanya kunci? Dimana peta. Seperti bajak laut, aku harus
mempunyai peta untuk mencari harta karun. Lalu aku harus kemana? Di sini
hanya ada kunci dan tak ada peta. Apa aku harus berjalan lurus ke depan.
Sepatuku penuh cairan lengket. Aku tak bisa menggerakkannya. Ku tengok ke
belakang, di sana gelap sekali seakan aku sudah berjalan jauh. Seperti lorong
tapi telah tertutup. Titik-titik sinar pun sudah tak tampak lagi hanya batu yang
bersinar. Aku berdiri kaku. Ku kalungkan kunci itu di leher. Seperti benda ajaib
lainnya dalam cerita yang tak secara sengaja kita tahu bagaimana
menggunakannya, maka saat ini kunci itu bersinar. Dia bergerak ke depan
seolah memintaku untuk mengikutinya. Tapi apa daya aku tak bisa beranjak. Ku
sentuh sedikit cairan itu dan ternyata tidak lengket sama sekali. Kulepas celana
jeans ku juga sepatu. Cairan tersebut tidak lengket di kulit. Ah macam iklan
lotion saja.
Kunci itu menuntunku. Kini aku hanya mengenakan celana pendek, kaos dan
tas ransel. Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan jeans dan sepatu
kesayanganku yang diberi oleh seorang sahabat. Kira-kira aku dibawa kemana
oleh kunci ini? Tak lama aku mendapat jawaban. Sebuah pintu kayu dengan
ukiran tulisan, Languan Room.
Ya jalan komplek perumahan ini memang bernama Languan. Lalu ada apa di
Languan Room itu. Aku berpikir secara bodoh, Languan itu nama jalan, Room itu
kamar. Kamar Languan? Kenapa ada sebuah kamar di antara rumah sepuluh
dan sebelas? Selama ini aku tidak pernah tahu kalau ada kamar di gang sempit
Maaf.
Ada masalah di kantor?
Masalah? Selalu ada. Itulah hidup.
Perusahaan selalu menuntut lebih dari pegawainya. Aku sudah selesai.
Berangkat dulu ya nanti ketinggalan bis.
Usai menciumku, ia menghilang di balik pintu.
Sembari sarapan, aku menyalakan TV supaya tidak terlalu sepi. Tak ada
tontonan yang menarik. Berita pagi juga. Paling yang ku perhatikan hanya
prakiraan cuaca dan info lalu lintas. Siapa tahu ada perubahan cuaca misalnya
tiba-tiba badai tornado, turun salju atau kejadian aneh lainnya yang tak
mungkin terjadi di belahan tropis ini. Siapa tahu juga ada orang-orang demo
yang sekarang lebih membuat jalanan menjadi macet daripada membuat sebuah
perubahan. Kenapa bukan arak-arakan atau semacam karnaval bikini saja?
Setidaknya mata para pemakai jalan yang setiap harinya berhadapan dengan
kemacetan mendapat sedikit tontonan segar.
Sepertinya aku mengharapkan terjadi hal-hal di luar kebiasaan. Dimana orangorang lebih banyak tersenyum daripada berkerut. Lebih banyak orang yang
bernyanyi daripada memerintah orang atau berteriak nada sumbang seolaholah membela rakyat jelata. Kalau disuruh hidup melarat, mana mau mereka.
Tak ada kemacetan, orang-orang melayang dengan balon udara sebagai
transportasi masal sedangkan yang individu naik kuda warna-warni. Bagi yang
jomblo menunggang sendiri, yang sudah punya pasangan menunggang berdua.
Mungkin saling menunggangi, atau saling menunggingi? Lama kelamaan nasi
goreng ini terasa seperti nasi gudeg yang gurih. Lengkap dengan krecek dan
krupuk udang.
***
Hari ini aku lolos dari lembur. Si bos ulang tahun, jadi semua pulang lebih awal.
Kadang aku berharap kalau si bos ulang tahunnya tiap hari.
Turun dari bis, aku harus jalan lagi melewati kompleks perumahan. Aku jadi
ingat kejadian kemarin. Sebentar lagi rumah ke sepuluh. Jantungku berdegup
kencang. Ragu-ragu untuk menoleh tapi rasa penasaran lebih mendominasi.
Gang itu ada, lengkap dengan sinarnya. Aku lepas dulu sepatu dan celana
supaya tidak terkena lendir aneh. Tapi kuncinya dimana? Aku sudah berada di
depan pintu itu. Tunggu, seperti ada yang bergerak-gerak di kantong celanaku.
Saat kurogoh ternyata kunci itu. Langsung saja ku buka pintu. Kakiku belum
melangkah, aku sudah disedot masuk.
Pertama yang terlihat hanya sinar-sinar putih. Kekuatan yang menyedotku itu
begitu kencang sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas.
Kemanakah aku akan diberhentikan. Mungkinkah aku bisa keluar dari tempat
ini? Seketika rasa takut menyergap pikiranku. Belum ada tanda-tanda berhenti.
Aku memejamkan mata berharap ketika aku buka mata lagi, aku sudah berada
di kamarku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa.
***
Sayang, ayo bangun.
Aku dimana? tanyaku tanpa membuka mata.
Aku tidak masak. Ternyata warung sebelah jual nasi gudeg pagi-pagi.
Gudeg? Aku memikirkan makanan itu kemarin dan sekarang tiba-tiba aku
memakannya. Harapan menjadi nyata. Ah, mungkin hanya kebetulan saja.
Kenapa aku harus menanggapinya terlalu serius. Mending aku makan saja
karena sudah ada di depan mata.
***
Tidak ada gang di sini.
Ya, kau benar.
Lalu apa yang akan kita lakukan, Sayang?
Pulang. Aku lelah berjalan.
***
Ayo, Sayang bangun. Hampir gelap. Sudah saatnya makan siang.
Makan apa kita malam ini?
Terang Bulan.
Hanya itu saja?
Terang Bulan keju kesukaanmu. Aku bingung harus makan apa. Kau tidur
nyenyak sekali dari siang. Lalu mau mu kita makan apa malam ini?
Terang Bulan saja dulu.
Kau tidak mandi?
O iya. Untung kau ingatkan. Aku harus keramas. Rambutku lengket karena
jalan-jalan tadi pagi.
Jangan lama-lama ya. Terang bulang kejumu menunggu selagi hangat. Teriak
kekasihku dari ruang TV.
Usai mandi aku keluar dengan agak bingung. Aku masih saja penasaran dengan
gang itu.
Kenapa kau terlihat bingung, Sayang?
Aku masih penasaran. Siapa tahu ruangan itu hanya terlihat di malam hari.
Kau ingin mengeceknya sekali lagi?
Iya. Kita habiskan dulu Terang bulannya.
Entah karena memang lapar atau ingin segera melihat gang itu, aku melahap
martabak manis itu dengan sangat cepat. Kekasihku benar-benar pengertian.
Dia juga ikut menemaniku.
Ajaib memang. Gang itu ada. Bahkan kekasihku pun melihatnya. Dengan kunci
yang masih di kantong celanaku, kami pun masuk.
Berpegang erat ya. Akan ada angin yang menyedot kita.
Kami berpegangan sangat erat. Tapi tak ada angin. Hanya sebuah jembatan
besar menjulang beberapa meter. Kami pun berjalan mendaki. Setiba di ujung,
kami seperti melihat langit. Tempatnya begitu aneh. Dataran dan bukit-bukit.
Strukturnya tidak seperti tanah dan bopeng-bopeng besar menghiasinya. Lalu di
langit juga ada bintang dan sebuah bentuk bulat dengan dominasi warna biru
dan kabut putih. Tidak seperti bulan. Mungkinkah itu bumi. Lalu tempat ini
planet apa?
Kami berjalan sambil tetap berpegangan erat.
Sayang, ini bulan dan itu bumi?
Bulan? Mungkin saja.
Anehnya kami tidak perlu pakaian khusus seperti astronot untuk tetap bisa
bernafas. Kami juga tidak melayang-layang seperti Neil Amstrong yang kami
lihat di TV. Tanpa sadar jembatan yang mengantarkan kami ke tempat ini pun
perlahan hilang sementara kami takjub melihat semuanya.
Sempat aku berpikir ada alien yang akan menghampiri kami. Kukira itu hal
mustahil karena selama ini keberadaaan alien itu masih menjadi tanda tanya
para ilmuwan. Sebuah benda melayang. Ya itu alien, tiba-tiba menyambar kami
mengajak berkeliling. Keliling dunia itu sudah biasa tapi keliling bulan? Tak
pernah terpikirkan sekali pun. Ada apa saja di bulan? Tentu setahu kami, di
bulan itu tidak ada apa-apa. Alien itu mengajak kami menabrak sebuah bukit.
Aku sempat ketakutan sampai memejamkan mata. Ternyata kami menembus
bukit itu. Muncullah sinar-sinar berkilau dari berbagai tumbuhan. Di sisi kanan
banyak pohon seperti cemara saat natal tapi pohon ini tidak memerlukan lampu.
Masing-masing daunnya mengeluarkan cahaya yang berbeda-beda. Di sisi kiri
ada beberapa bangunan. Caf, perpustakaan dan gedung pertunjukan. Benarbenar tempat yang aku harapkan. Kami bisa menikmati hidangan caf di taman
pohon cemara lengkap dengan pemandangan langit dan bumi yang terlihat
begitu kecil.
Kekasihku hanya terdiam. Dia melepaskan tanganku dan berjalan menuju pintu
keluar. Dia hilang di balik pintu. Selanjutnya alien itu mengembalikanku ke
kursi pertunjukan tadi. Aku lanjut menonton ditemani jus jeruk yang segar.
Sebulan dua bulan tiga bulan.enam bulan aku di Languan Room. Aku sudah
lupa bagaimana dunia di luar sana. Kekasihku apa kabarnya. Aku jadi
merindukannya. Kenapa dia tidak pernah ke sini padahal dia tahu cara
menemukan tempat ini. Sepertinya aku akan menjenguknya. Tapi bagaimana
cara memanggil alien itu. Aku keluar dari gedung pertunjukan menuju ke ujung
jalan sebelah sana dekat pohon-pohon cemara. Tidak ada jembatan itu atau
pintu. Hanya ada cermin sebesar pintu. Aku melihat ke cermin itu. Pertama yang
terlihat hanya bayangan diriku. Lama-kelamaan pudar dan lebih terlihat seperti
kaca. Aku bisa melihat apa yang terjadi di depan gang. Orang-orang dan
kendaraan lalu lalang. Di sana sedang hujan. Bagaimana caranya aku keluar?
Pintu ini tidak bisa dipecahkan. Setelah kelelahan berusaha untuk memecahkan
kaca itu, aku pun terpaku melihat dunia luar sana. Kulihat ada seorang yang
berhenti dengan payung merah bunga-bunga. Itu kekasihku. Sepertinya dia
tidak bisa melihatku. Tak lama kemudian dia berlalu. Aku pun hanya bisa
berdiri terpaku.
KONTAK BATIN?
Siapa yang menyangka kalau aku memiliki kontak batin dengannya. Dengan
perempuan yang selama ini menemaniku. Meski kami bukan saudara. Bukan
juga teman sedari kecil. Hanya kenalan semenjak masuk kuliah, beda fakultas
malah.
Pertemuan kami juga biasa saja. Bertemu saat daftar UKM Teater. Aku fokus ke
musik sedangkan dia lebih condong ke penyutradaraan.
Kontak bathin itu berawal dari perasaan kami yang mulai tumbuh seiring
seringnya bertemu dan bersama.
Usai latihan, studio teater sepi. Tinggal kami berdua. Perbincangan seputar
konsep musik dan pementasan. Disana kami coba untuk saling melengkapi
sehingga kami bisa menciptakan banyak ide gila. Imajinasi kami berjalan lalu
berlarian bahkan berloncatan hingga memikirkan sesuatu yang belum tentu bisa
dipentaskan di panggung. Jarang kami bicara saling menatap. Hanya duduk
bersandar pada punggung.
Kau dengar bunyi-bunyi itu... mereka bergerak dengan tempo yang cepat.
Seperti musik suku pedalaman. Terdengar mistis. Ajaib sekali.
Kami mulai memejamkan mata.
Ya aku dengar. Beberapa orang berkumpul mengelilingi api unggun yang
berkobar. Menari seperti kesurupan tapi mereka sangat menikmati. Pesta pora
alam.
aku
menari
sambil
memberikan
aba-aba.
Mereka
bersorak..wu..ha..hu..hi..ho..
Tanganku mengetuk papan panggung. Ikuti irama aba-abanya. Menakjubkan
apa yang kami lakukan.
Semua terhenti ketika lelakinya datang menjemput. Semangatku berkurang
separuh. Dia hanya melambaikan tangan
Entah suara dari mana. Terbisikkan di telingaku, aku tak meninggalkan mu.
Hanya pulang untuk sementara..
Selamat istirahat kucoba berkata dalam hati meski tak tau apakah kata itu
tersampaikan atau tidak.
***
Malam selalu sendiri untukku. Tak berarti sepi. Malah aku suka tak ada suara
mesin kendaraan atau klakson yang memekakkan telinga. Bagiku itu polusi
bunyi. Bukan jenis bunyi yang aku suka. Jika aku terpaksa melewati padatnya
jalan, mp3 player jadi penyelamatku dengan volume tinggi. Semua telah tertidur
lelap, tapi masih ada bunyi-bunyi yang menemaniku dalam perjalanan pulang
hingga di tempat tidur.
Akhir-akhir ini tidurku dihiasi mimpi yang selalu berakhir klimaks. Tiap
bangun yang ada hanya lemas. Mimpi itu bersama perempuan yang sama tiap
malamnya. Seperti film seks semua berakhir pada persenggamaan. Biarpun
setting tempat berubah. Terbang tapi melelahkan. Bagiku bukan fantasi. Karena
sepatu. Haruskah kita ikut memanjakan mereka hanya karena jaman sudah
berubah?! Jaman sudah manja apakah kita harus menambah kemanjaan..
Tetap saja tak seperti biasanya amarahmu meledak. Sudahlah, bu.. nanti juga
mereka mengerti.
Semoga saja. Sekarang orang-orang sudah tidak peka lagi. Oya kamu sudah
bertemu perempuan yang ada di mimpi mu? tanyanya seolah dia bisa membaca
pikiranku saat aku tak bersamanya.
Sudah. Di perpustakaan.
Sama atau beda?
Beda. Mungkin karena baru pertama bertemu.
Berarti kau ingin menemuinya lagi?
Sepertinya, ah dia membaca pikiranku lagi.
Sana pulang. Aku mau istirahat.
Memangnya lelakimu tak jemput?
Sepertinya tidak lagi untuk seterusnya..
Ayo aku antar...
Di jalan aku melihat matanya kosong.
Lihat saja ke depan. Tak usah memperhatikanku di spion... suara yang sudah
masuk dalam otakku.
Kucoba jawab dalam hati, Pegangan, aku mau ngebut biar pikiran tak kemanamana...
Aku benar-benar ngebut. Dia hanya memegang bahuku tetap dengan mata
kosong.
ada suara lagi, Kau mau tinggal bersamaku?
Spontan aku mengerem. Pas sekali di depan rumahnya.
Setengah berteriak, Benar?! Aku sedang ada masalah keuangan. Kebetulan
sekali.
Jangan sampai aku menanyakannya dua kali..
Mau! Mulai kapan...
Terserah..
***
Esoknya aku pindahan ke rumah sang sutradara. Tak terasa capek. Semangatku
membludak. Saatnya membeli cat untuk mewarnai kamar baru ku. Mumpung
sedang bersemangat.
Di persimpangan toko cat dan perpustakaan tempat perempuan itu. Aku
melihatnya. Beda sekali saat mengunakan seragam. Sekarang dia menggenakan
celana pendek,sandal jepit, tank top dan syal dilehernya. Benar-benar seperti di
mimpi. Dia berjalan menuju arahku. Saat melewatiku, dengan berani aku
tersenyum lalu mengiringi langkahnya dari belakang dan perlahan sejajar
dengannya.
Sepertinya
mengeluarkan
beberapa
buku
dengan
sangat
hati-hati
lalu
menyerahkannya pada ku. Tanpa sadar aku begitu lama menatapnya. Dia juga
balas menatapku. Ada semacam arus darah deras mengalir dari otak ke tubuh
bagian bawah. Lalu kugelengkan kepala ketika dia kembali ke meja kerjanya.
Hingga tengah malam, aku masih membaca buku yang super dasyat itu.
Sepertinya terdengar terlalu sepi. Yah tak ada bunyi keyboard ditekan. Aku
melihat ke meja depan. Ternyata dia tertidur. Dengan berani aku
menghampirinya. Jantungku berdegub sangat kencang. Semua ingatan tentang
mimpi
bibirnya. Dia tersentak bangun lalu menatapku. Tak kualihkan sama sekali
mataku padanya. Dia balas mencium bibirku.
***
Entah kapan aku pulang. Aku sudah terbaring di tempat tidur. Apa yang
semalam hanya mimpi? Ku periksa buku-buku perpustakaan sudah tak ada.
Berarti aku benar-benar dicium olehnya. Lalu kenapa celanaku basah sama
seperti mimpi-mimpi yang lalu. Ah..
Menghilang kemana kau semalam?
Eh..menghilang semalam?
Iya..ku ketuk pintumu tak ada jawaban. Semalam ingin mengajakmu minum di
pantai.
Eh..ketiduran mungkin..
Bermimpi perempuan itu lagi ya?!
Sebenarnya aku sendiri bingung..
***
Malamnya aku menelpon perempuan itu lagi. Kini kami tak bertemu di
perpustakaan. Tepatnya janjian di pantai. Kami tak banyak berkata. Tak pula
bersuara. Hanya bergumul di atas pasir yang terasa lengket. Kami pun tak kalah
lengketnya bercumbu dan menyatukan lidah.
Terbangun di tempat tidur lagi. Aku lupa apakah mengantarnya pulang atau
tidak. Ada bekas pasir di seprai dan celanaku. Ini bukan mimpi lagi.
***
Ingin menemuinya di siang hari, aku ke perpustakaan. Karena sudah tak malumalu, kusapa dengan senyuman ceria. Aneh, dia hanya menoleh dingin dengan
keheranan lalu melanjutkan pekerjaanya di komputer. Ada apa ini? Aku tak
merasakan tatapan hangat semalam. Mungkin dia sedang sibuk dan tak ingin
diganggu pekerjaannya. Sebaiknya aku ke studio.
***
Hari ini pikiran mu dimana? Perempuan itu lagi
Iya..
Kamu menemuinya hari ini? Dia bersikap lain?
Aku heran. Hangat bisa berubah jadi dingin
Ya..seperti kopi. Mau?
Terimakasih. Entahlah aku tak mengerti. Nanti malam aku telpon lagi. Siapa tau
tadi hanya karena kerjaan.
Lama-lama kau terobsesi pada perempuan fantasimu..
Sejak kapan kau tau semua pikiranku
Entah..sejak pertama bertemu mungkin..atau sejak aku berkata padamu lewat
pikiran..
Ya.. aku masih ingat dua-duanya
Sudah jarang.
Kenapa? Kamu lebih gemukan sekarang. Lebih rapi juga.
Kamu sama sekali tidak berubah. Kecuali rambutmu, gondrong sekarang.
Ya, aku mesti rajin keramas, jawab lelaki itu sambil mengibaskan rambutnya
seperti iklan sampo. Berapa lama waktu yang kita punya sekarang?
Setengah jam lagi aku harus kembali ke kantor.
Kantor? Masih mendesain?
Iya kantor desain. Join dengan kakakku yang lulusan Arsitektur.
O. Lalu berhubungan dengan siapa sekarang? kembali lelaki itu bertanya
tanpa basa-basi.
Tidak ada.
Baru putus?
Iya.
Hm, tentu saja.
Apanya yang tentu saja?
Lelaki itu tidak menjawab. Dia malah asyik memainkan rambut Linda tanpa ijin.
Rambut ini tetap lembut. Untung tidak kamu potong karena frustasi.
Frustasi? Dirimu mungkin.
Aku? Tentu saja tidak. Ya, hanya sedikit depresi.
minggu
depan?
Maksudmu?
Pasti akan menyenangkan bisa menghabiskan perjalanan bersama. Lelaki itu
diam sejenak. Ya, itu pun kalau kamu berminat.
Sebuah tawaran? tanya Linda.
Anggap saja begitu. Lelaki itu mematikan rokoknya yang hampir habis. Aku
tunggu di sini sabtu depan. Pukul 10 pagi. Sampai jumpa. Tanpa menunggu
jawaban, lelaki itu beranjak dari kursinya meninggalkan Linda yang belum
sempat berpikir untuk menerima atau menolak tawaran itu.
***
Sabtu depan. Linda sudah duduk lagi di meja caf yang sama. Dia sedang
menunggu kedatangan Doni.
kakaknya mengijinkan Linda untuk libur. Dia sendiri tidak habis pikir kenapa
datang lebih awal 30 menit dan percaya begitu saja pada perkataan Doni
tentang perjalanan bersama. Sudah lama mereka tidak bertemu pasca
perpisahan yang tanpa ada suatu kejelasan. Lebih tepatnya Doni menghilang
begitu saja dari hubungan mereka yang putus-nyambung.
Lamunan Linda terganggu oleh kedatangan Doni. Ternyata dia tidak ingkar
janji.
Sudah lama?
Tidak, jawab Linda berbohong.
Baguslah. Kita berangkat sekarang?
Terserah.
Baiklah. Ayo.
Di depan caf terparkir sebuah motor tua. Doni memberikan helm pada Linda.
Ada jaket atau sweater? tanya Doni melihat Linda yang hanya mengenakan
kaos polos dan jeans.
Linda tersenyum lalu menggelengkan kepala.
Baiklah kalau begitu. Doni mencari-cari sesuatu di tasnya. Pakai ini, kata
Doni menawarkan sweaternya.
Terima kasih.
Ayo naik.
***
6 hari kemudian. Linda tampak mengenakan terusan putih bunga-bunga merah
muda. Wajah Linda jauh lebih ceria dari sebelumnya. Di tangannya sebotol bir
dingin untuk sekedar membasahi kerongkongan. Dia duduk di dekat mini bar,
melihat Doni yang sedang larut dengan permainan gitarnya. Sesekali Doni
melihat ke arah Linda memberikan senyuman. Linda pun membalasnya sebagai
tanda bahwa dia juga menikmati suasana.
Sudah 6 hari Linda menemani Doni tur. Dari manggung di caf, acara teman,
beberapa event di kampus dan malam ini di bar sebuah hotel dekat pantai.
Banyak tempat, tapi Linda tak terasa melelahkan. Malahan dia senang karena
bisa bertemu orang-orang baru, merasakan suasana yang akrab dan
kekeluargaan ketika di acara temannya Doni, perjalanan yang penuh lika liku
dari diguyur hujan hingga pecah ban sampai kehabisan bensin. Semua begitu
menyenangkan bagi Linda. Dia sudah lupa bagaimana sakit hatinya dulu.
Pertemuan kembali ini membuat dia merasa bahwa mereka memang tidak bisa
terpisahkan. Perasaan Linda seperti tumbuh berkembang lagi. Terasa jauh lebih
kuat daripada sebelumnya.
Bagaimana permainanku barusan? tanya Doni ketika menghampiri Linda.
Bagus seperti biasanya.
Kau memang penggemar setiaku, canda Doni.
Dasar. Narsis.
Tapi benar kan? Ayo kita jalan-jalan. Malam ini terlihat begitu indah. Siapa
tahu bulan menyapa.
Linda menurut dan mengikuti Doni dari belakang. Tetap seperti biasa, Doni tak
pernah menggandeng Linda di depan umum. Linda juga tidak pernah menuntut
harus berpegangan tangan dan semacamnya jika sedang bersama banyak orang.
entah kenapa kali ini terasa begitu datar bagi Linda. Tidak seperih dulu. Meski
begitu, Linda masih saja ingin melewati momen terakhir bersama.
Mari kita menikmati senja sejenak, kata Linda.
***
Tujuh tahun kemudian.
Linda?
Sebuah suara menghentikan Linda untuk merapikan pakaian anaknya. Dia
menoleh ke belakang. Suara itu terdengar begitu familiar.
Anakmu?
Hai, Don, sapa Linda tanpa menjawab pertanyaan yang dimaksud.
Aku kebetulan lewat dan melihat anak mirip sekali denganmu, kata Doni.
Linda membiarkan anaknya berbaur dengan teman-temannya yang asyik
bermain pasir di tempat bermain di sebuah taman kota.
Awalnya percaya tidak percaya. Ternyata memang anakmu, kata Doni lagi.
Berapa umurnya?
5 tahun, jawab Linda sambil tetap memperhatikan anaknya.
Ayahnya? tanya Doni lagi tanpa basa-basi.
Linda diam sejenak. Ada di suatu tempat.
Maksudmu?
Linda menghela nafas. Ya, pastinya sedang berada di suatu tempat. Tepatnya
dimana, aku tak tahu.
Kok?
Sudahlah, Don.
Sepertinya kita berdua kurang beruntung soal hubungan. Apalagi soal
menikah.
Ya, mungkin juga.
Doni mengajak Linda duduk di sebuah bangku taman. Kemdian dia berkata lagi,
Asal kamu tahu, Lin. Aku tidak jadi menikah.
Tiba-tiba Linda memalingkan perhatiannya ke arah Doni.
Awalnya memang, mau tidak mau aku harus siap. Lamaran, persiapan akhad
nikah dan resepsi sudah setengah jalan. Tapi semuanya terlihat tidak mudah
bagi kami. Seminggu sebelum hari H kami bertengkar hebat. Lagi. Sebelumsebelumnya juga terjadi pertengkaran. Tanpa ada penyelesaian. Aku memilih
untuk pergi sejenak sementara dia kubiarkan memaki atau berteriak seenak
hati. Doni menghela nafas. Mungkin seperti bom waktu, akhirnya aku tidak
tahan lagi. Dia terdengar begitu cerewet dan sangat berisik. Ada saja yang dia
persoalkan. Aku gerah. Tanpa ingat kalau dia sedang hamil, aku menamparnya
dan menggoncang-goncangkan tubuhnya supaya dia diam. Tapi dia malah
semakin berteriak lalu berlari menelpon orang tuanya. Saat itu aku benar-benar
emosi, aku ambil ponselnya lalu kubanting dan menamparnya lagi. Tak lama
kemudian, orang tuanya datang menjemput dan membatalkan pernikahan
kami. Doni berhenti sejenak. Hingga anakku lahiran dan sekarang sudah mulai
sekolah, sekali pun aku tidak diijinkan untuk bertemu dengannya.
Entah kenapa, pasangan-pasangan sekarang terlihat semakin sulit dan rumit,
kata Linda tiba-tiba. Padahal memilih pasangannya sendiri. Berdasarkan cinta
lagi.
Doni tersenyum. Bagaimana dengan dirimu?
Terkadang terasa aneh ya. Ada yang sangat ingin bertemu anaknya tapi tidak
diberikan kesempatan. Ada yang memiliki kesempatan tapi malah menyianyiakannya.
Mungkin seharusnya kita
Sudahlah, Don. Semua sudah cukup.
Doni tak melanjutkan kalimatnya tadi. Dia mengganti topik pembicaraan.
Anakmu periang sekali.
Iya, dia seperti peri.
Bidadari, tambah Doni.
Oya bagaimana kabar projek-projek musikmu? tanya Linda juga mencari
topik yang lebih santai.
Menyenangkan, jawab Doni.
Tentu saja, kata Linda yang tahu musik adalah hidup Doni lalu dia kembali
memperhatikan gerak-gerik anaknya yang sekarang sedang bermain ayunan.
Kini desain dan anak adalah hidup Linda. Menurutnya itu semua sudah cukup.
Benarkah begitu? Ya mungkin saja. Semoga, pikir Linda. Antara dia dan Doni?
Semua sudah terkubur bersama senja di bawah pohon jambu. Tujuh tahun yang
lalu.
Yamungkin karena mereka masih muda dan lajang. Tidak ada anak dan istri
yang harus dipikirkan dan menanti di rumah, kata istrinya coba menghibur.
Pak Rahmat diam sejenak teringat suasana kantor yang semakin ketat dan sengit
persaingannya. Lama-kelamaan dia lelah juga lalu berusaha melupakannya.
Selagi menenangkan pikiran dan menikmati pijitan sang istri, tiba-tiba anaknya
pulang.
Ami pulang, seru anaknya lalu mencium tangan orang tuanya bergantian.
Nah ini anak bapak. Baru dari mana?
Habis demo di kampus, Pak. Uang kuliah mau naik lagi ditambah biaya ini itu,
jawab Ami santai lalu masuk ke kamarnya.
Pak Rahmat mulai naik lagi.
Demo? Kenapa semua orang jadi suka demo? Sedikit-sedikit demo. Memangnya
tidak ada kerjaan lain?!
Ibu, Bapak kenapa sih? tanya Ami muncul dari kamarnya dengan handuk di
pundaknya.
Ibu diam teringat pembicaraan tadi.
Bapak tidak suka kamu ikut demo.
Memang kenapa, Pak? Ada yang salah?
Ami, duduk dulu sini.
Ami menurut. Dia duduk dekat bapaknya.
Mahasiswa kok demo terus. Belajarnya kapan? Mau jadi apa kamu?
Jadi sarjana hukum sesuai keinginan bapak. Ami ikut demo kalau tidak ada jam
kuliah kok, terang Ami supaya bapaknya tidak salah paham.
Bagus, puji pak Rahmat. Setelah sarjana kamu mau jadi apa? tanya pak
Rahmat lagi masih penasaran.
Pengacara, notaris mungkin ataujawab Ami agak ragu.
Bagus. Sebisa mungkin kamu harus sudah tahu mau kerja apa sebelum lulus
nanti. Biar tidak bingung dan linglung, potong pak Rahmat.
kerja di LSM atau LBH untuk membantu rakyat kecil yang tidak begitu mengerti
hukum, lanjut Ami menambahkan dengan nada suara yang mantap sekarang.
LSM? LBH? tanya pak Rahmat lebih memastikan bahwa dia tidak salah dengar
jawaban anaknya.
Iya, jawab Ami semakin mantap.
Aktivis?! Nada pak Rahmat mulai keras lagi. Jangan sia-siakan waktumu
apalagi nyawamu. Jadi aktivis paling banter sering bentrok dengan pejabat,
dipukuli aparat lalu masuk penjara. Dari diancam sampai diteror. Kalau kamu
diracuni atau ditembak di jalanan, gimana? Pak Rahmat semakin khawatir akan
keinginan anaknya.
Ah bapak ini ada-ada saja. Memangnya Ami sepenting apa sampai diterorteror.
Ya sekarang belum penting. Nanti kalau kamu sudah mulai menggeluti dunia
itu, dapat kasus yang menyinggung pihak atas, siap-siap kamu berhadapan
dengan banyak teror!
Kemana lagi ini? tanya Pak Rahmat penasaran karena anaknya baru saja
pulang.
Mau ke hutan Mangrove dekat by pass, Pak. Ada aksi solidaritas, jawab Ami
tenang. Ami pamit dulu ya, Pak, Bu. Doakan anakmu selamat di jalan.
Eits, apa maksudmu, Ami?
Tidak ada maksud. Ami hanya minta restu orang tua, terang Ami. Ami jalan
dulu. Teman-teman sudah menunggu di kampus, kata Ami setelah membaca
pesan singkat dari temannya.
Tunggu dulu!
Ami jadi ikutan setengah berteriak, Apa lagi, Pak? Nanti Ami telat nih.
Apa kamu lupa? Baru tadi kita bicara kalau bapak tidak suka. Sekarang malah
berangkat demo lagi!
Aksi solidaritas, Pak.
Apa bedanya. Awalnya cuma aksi terus nanti malah anarki! Sudah kamu diam
saja di rumah, perintah pak Rahmat.
Bapak
Tidak ada bantah membantah lagi! Sana kamu masuk kamar saja!
Melihat bapaknya yang tidak bisa diajak toleransi lagi, Ami masuk ke dalam
kamarnya.
Sudah, Pak. Jangan sekeras itu pada anak, kata istrinya.
Sabar bapak sudah kelewat batas. Ami harus dicegah sebelum dia jadi korban.
masuk tanpa ijin. Tapi kali ini dia menurut saran istrinya. Dibukalah pintu
kamar Ami.
Ibu! Ibu! teriak pak Rahmat tiba-tiba.
Apalagi, Pak? tanya istinya dari dapur.
Ami tidak ada!
Apa maksudnya dengan Ami tidak ada? tanya istrinya lagi mendekat.
Lihat, kamarnya kosong.
Wah sepertinya ada yang kabur lewat jendela.
Pak Rahmat melihat jendela kamar Ami setengah terbuka.
Ini salahku, sesal pak Rahmat. Masak anakku kabur dari rumahnya sendiri.
Sudahlah, Pak. Tenang. Nanti juga Ami pulang.
Ibu yakin?
Yakin. Dia kan anak bapak. Sama kerasnya kalau sudah punya kemauan tapi
tak akan meninggalkan orang yang disayanginya, terang istrinya santai.
Pak Rahmat tersenyum mengingat sifatnya itu. Akhirnya dia memutuskan untuk
menenangkan diri lagi dengan selonjoran di sofa tanpa menyalakan televisi
tentunya sambil berharap perkataan istrinya benar.
Jangan mulai meracuni pikiranku. Berprasangka buruk, hidup tak kan tenang. Buangbuang energi. Lebih baik aku konsen ke pekerjaan,jawabku tetap berpikiran positif.
Berarti hubungan kalian ga serius dong?!
Temanku itu hampir membuatku tertawa.Serius bukan berarti melakukan hal-hal
aneh yang percuma. Seandainya dia menemukan pasangan yang tepat, aku akan
merelakan.
Hati-hati kejadian beneran lho.
Tiba-tiba kamu berubah menjadi wartawan infotaiment. Jadi kamu kesini hanya mau
tanya itu?
Ya enggaklah. Gua kan pengen liat tempat persembunyian lo. Tempat yang tenang, di
dekat pantai. Indah banget! Beruntung lo bisa nemuin tempat ini.
Kamu juga termasuk beruntung. Jarang-jarang aku mengajak seseorang kesini.
Lo emang sobat yang paling baik. Spontan memelukku.
Lepas pelukanmu. Aku mau buat kopi dan ambil es krim.
Es krim? Mau dong.
Aku beranjak ke dapur. Tempat yang begitu mengingatkanku pada kehangatan. Ditata
oleh kekasihku sendiri. Di setiap sudutnya terasa sentuhan, semangat dan inspirasinya.
Suka coklat atau stroberi?
Yang mana aja, jawab temanku dengan mata berbinar-binar. Tumben lo nyimpen es
krim.
Jaga-jaga. Ku siapkan es krim untuk temnku semangkok penuh. Setengah coklat,
setengah stroberi.
Sekolah mulai ramai. Sepeda kuparkir sesuai tempatnya. Di sekolahku tak boleh bawa
kendaraan bermotor. Walau demikian, tetap saja terlihat kesenjangan sosial. Dari
sepatu, aksesoris, tas bermerek atau jemputan mobil mewah yang memacetkan ruas
jalan di depan sekolah.
Sampai kelas, temukan pemandangan setiap hari. Sekelompok cewek membahas mode
terbaru dengan majalah remaja metropolitan sebagai acuannya. Tak jarang mereka
saling menanyakan kekurangan masing-masing. Andai ada, mau di-make over lagi.
Setelah itu, berlanjut ke ramalan bintang terutama asmara. Dengan seru mereka
membaca lalu kegirangan jika asmaranya bagus. Usai ramalan zodiak, berlanjut ke
masalah cowok alias pacar masing-masing. Dimulai dari diajak date ke tempat mewah
super romantis hingga kelebihan sang pacar de el el.
Jadi ingat awal semester aku sempat tanya tentang 7 keajaiban dunia. Eh mereka malah
pergi menghindar. Jelas agak tersinggung. Soalnya mereka merasa paling keren dan
ter-uptodate di sekolah (Mengikuti perkembangan teknologi hanya sebatas ponsel
terbaru).
Sedangkan deretan yang lain, kumpulan cowok berkerumun. Pasti ada video bokep
teranyar. Dan satu lagi di sampingku.
Pinjem PR dong! Semalam begadang main PS di rumah.
Main PS sempat.
PR kan bisa dikerjakan di sekolah. Masalahnya, gua harus balikin PS-nya hari ini.
PR itu Pekerjaan Rumah.
Pokoknya gua pinjem sebentar.
Nih! Tapi jangan asal jiplak. Seperti kemarin, koefisien x kamu artikan tanda perkalian.
Malu sendiri. Diketawain satu kelas. Kalau tak paham, tanya aku.
Esoknya menjalani rutinitas sekolah lagi. Aku sedang kumat. Tak ikut PPKN. Bolos ke
perpustakaan. Cari buku lalu mensketsa poster di taman belakang sekolah.
Ehm, seingatku kelasmu sedang ada pelajaran, kata seseorang yang tiba-tiba muncul
dan mencoba mengingatkanku.
Bukan urusanmu,jawabku agak ketus.
Memang. Kalau mau bolos jangan tanggung-tanggung.
Terserah aku. Tak ada hubungannya denganmu. Mulai jengkel. Ku pandangani miss
Sok ikut campur.
Aku hanya memberi tahu. Kelihatannya dia mulai bingung mencari kata untuk
melawanku.
Daripada bingung, lebih baik kamu lanjutkan kegiatanmu. Tadi sedang apa?
Tak ada urusan denganmu.
Wah, balas dendam.
Siapa yang balas dendam. Aku tadi sedang mencari buku, jawabnya.
Ini? ku perlihatkan buku yang kupinjam dari perpustakaan.
Kok kamu tau? wajahnya semakin bingung.
Hanya menebak. Aku juga dapat tugas tentang Perang Dunia I. Ini. Aku sudah selesai
menyalin.
Terima kasih Kembali bersemangat. Dia membalikkan badan bergegas menuju
kelasnya yang tak jauh dari taman.
Tunggu!
Ada apa? Kali ini dengan senyuman.
Kamu yakin masuk cheerleaders? tanyaku.
Diam sejenak lalu menjawab,Sepertinya begitu.
Mendengar jawaban sepertinya begitu, terkesan dia sendiri tak yakin dengan
keputusannya. Tapi kulihat seolah dia senang. Berusaha untuk senang.
*
Terkadang aku suka pulang belakangan. Tak seperti yang lain, berlari dengan riuh
meninggalkan sekolah. Seperti terbebas dari tempat yang mengekang.
Sekolah sepi. Aku bisa berjalan dengan leluasa. Menikmati suasana hening yang tadinya
amat ramai.
Ketemu lagi. sapa seseorang di lorong.
Hari ini dua kali kau mengagetkanku.
Kok belum pulang?
Mulai terbiasa mendengarnya bertanya.
Asyik berada di sekolah saat sepi. Kamu?
Berusaha menjajari langkahku.Latihan cheers.
Jadi juga.
Memang kenapa? Ada yang salah atau aku tak pantas?
Tak kenapa-kenapa. Cuma senang saja melihatmu menari ketimbang menjadi
pemandu sorak.
Kamu pernah melihatku menari? Kapan?
Pernah sekali. Bercahaya dan indah. Gerakmu ibarat kunang-kunang.
Berlebihan. Aku memang suka menari tapi di sekolah tak ada wadah untuk
menyalurkannya. Ikut cheers juga karena masih ada hubungan dengan olah tubuh.
Ku kira hanya ingin populer atau tebar pesona ke anak-anak basket.
Sempit sekali.Wajahnya berubah kesal. Tak semuanya, membela diri.
Hampir kami berdebat.
Tahu aneh, masih juga ditraktir. Mungkin kamu dan orang lain melihatku aneh.
Sebaliknya, aku sering menganggap kalian yang aneh. Banyak tingkah kalian yang lucu
dan...
Raut wajahnya seolah menunggu jawabanku. Membuatku mengurungkan niat untuk
menyelesaikan kalimat yang tak sengaja terlontarkan.
Lanjutkan makan es krim saja.
Keseringan kamu ngomong setengah-setengah, katanya mulai menggugat.
Aku memang seperti itu. Awalnya ingin bicara panjang lebar. Lalu sadar semua orang
tak bisa mengerti segala cerita dan pemikiranku.
Wow...kamu semakin menarik. Banyak yang bisa kupelajari. tiba-tiba dia berubah
lagi.
Asal jangan dijadikan objek penelitian.
Lucu..
Semakin hari semakin menyenangkan bersamanya. Saling bersandar. Ku sangka hanya
sebuah persahabatan biasa. Tak pernah terbayang akan menjadi sejauh ini. Aku tak mau
menamai hubungan ini. Kalau dibilang hanya pertemanan, kami merasakan sesuatu
yang lebih. Untuk kali ini aku menurut padanya yang menginginkan agar aku
menganggap kekasihnya. Entahlah, tumben seperti ini. Sebuah misteri. Hanya saja
hubungan kami menjadi sebuah rahasia. Orang-orang memandang tak wajar.
*
Ponsel berbunyi.
Baru saja aku memikirkanmu. Sebuah suara riang terdengar dari seberang sana.
Hai, namaku Donni. Donni Alamsyah. Lelaki berumur 26 tahun dengan karir
yang belum bisa menjanjikan.
Segala pekerjaan, apapun itu, harus dikerjakan dengan baik. Berat sedikit,
jangan mudah menyerah. Bekerjalah selaras dengan alam. Bangun ketika
matahari terbit, bekerja saat dia masih bersinar dan pulanglah saat terbenam
untuk istirahat.
Aku ingat sekali pesan itu. Pesan ayah yang sekarang sudah tenang di langit
sana. Seorang tukang pos dari jaman sepeda ontel hingga motor.
Maintenance is cost.
Lima bulan saja aku bertahan di sana tanpa berhasil menjual paket software
apapun. Itu salah satu alasan aku keluar dari pekerjaan. Memang gaji pokok
tetap dibayar tetapi tidak ada bonus selama tidak menjual apapun. Padahal
lingkungan kerja lumayan baik, tidak seperti sebelumnya. Tetap di bagian
penjualan sih. Aku menawarkan ke beberapa hotel yang sedang membangun
untuk menggunakan furniture kami. Selama aku bekerja di lapangan tidak
masalah. Ketika tidak ada agenda keluar kantor itulah yang begitu
membosankan. Apalagi dengan lingkungan kantor yang begitu kaku. Rekanrekan lain seperti tidak menyukai satu sama lain. Persaingan ketat mungkin.
Kalau diperbolehkan, mereka pasti sudah saling terkam menerkam seperti
predator di alam liar. Mereka juga akan tega mengorbankan rekan lain seperti
persembahan suku Maya demi kepentingan diri sendiri. Bar-bar dan kanibal
terselubung dibalik rapinya pakaian kantor dan senyum palsu ramah pada
atasan dan pelanggan. Aku yang masih hitungan anak baru, tentu saja tak
pernah dianggap. Kesan senior-juniornya terasa sekali di sana. Itu yang
membuatku tidak betah.
Bosnya juga sangat aneh. Lima menit sebelumnya memuji, lima menit kemudian
sudah memaki-maki lagi. Tak jarang pula mengingkari hal yang sudah
disetujuinya tadi, jika dia rasa hasilnya tidak sempurna. Namanya Bos ya harus
begitu mungkin. Hal yang sangat wajar sebenarnya. Memang begitulah
realitanya. Seorang Bos, pemilik perusahaan sama seperti Raja Hutan. Dialah
yang berkuasa penuh. Dia yang menggaji karyawan. Padahal kalau semua
bawahannya pergi karena tidak tahan pada kesewenang-wenangan Bos, siapa
coba yang kerja? Siapa yang akan jadi roda untuk menjalankan perusahaan?
Perusahaan tidak berjalan, ya mati suri. Tidak ada penghasilan. Tapi kembali lagi
pada realita hidup dimana manusia bertambah banyak. Kita memerlukan
banyak hal untuk hidup. Untuk memenuhi segalanya itu, kita rela tetap masuk
ke perusahaan dengan Bos yang tingkat menuntutnya begitu tinggi meski
dengan gaji yang tidak setimpal. Ya, setidaknya bisa memenuhi sandang, pangan
dan cicilan papan. Jadi, sifat Bos yang memang harus demikian atau karena kita
sendiri yang membuat seorang Bos menjadi sediktator itu?
Sampai saat ini aku memang tetap bekerja di penjualan. Pekerjaannya agak
berbeda sedikit. Aku tidak perlu susah-susah mencari klien lagi. Perusahaan
sudah memberikan list pelanggan yang harus kutangani permintaannya. Aku
hanya tinggal memenuhi pesanan mereka. Kalau ada produk baru, tinggal
dipromosikan saja pada mereka. Aku bilang ke teman kalau pekerjaanku kali ini
lumayan menyenangkan. Dengan sambil lalu dia menimpali, ya kita lihat saja
berapa lama kau bertahan.
Aku jadi teringat ayah. Selama hidupnya beliau bekerja sebagai tukang pos di
kantor yang sama. Betapa kuat dan betahnya ia menjalani semua pekerjaannya
itu. Semoga saja karena beliau menyukainya bukan karena tidak ada pekerjaan
lain. Meski demikian, bagiku itu sesuatu hal yang hebat jika dibandingkan
denganku yang seperti bajing loncat ini. Hanya tahan beberapa bulan saja tetapi
tetap saja mengambil pekerjaan di bidang yang sama. Bagaimana bisa naik ke
jenjang karir yang lebih tinggi kalau sedikit-sedikit aku keluar. Masuk
perusahaan baru sama saja kembali ke titik awal. Lihat, berapa kali aku kembali
ke titik yang sama?
Entah apa yang akan dikatakan ayah jika tahu aku bekerja seperti ini. Apakah
beliau akan memaklumi? Haruskah aku beralasan kalau pekerjaan zaman
sekarang itu sudah tidak selaras lagi dengan alam. Saat interview mungkin
perusahaan mengatakan jam kerja dari 9 pagi hingga 5 sore. Kenyataannya,
seringkali harus pulang pukul 9 malam. Apalagi masih status pegawai baru, ada
saja yang menyuruh ini dan itu di luar job desk. Perusahaan juga mengatakan
hari kerja dari senin hingga sabtu. Tapi kenyataannya, minggu pun harus
berjualan secara random di pasar yang telah ditentukan sehari sebelumnya.
Lama kelamaan aku seperti tidak mensyukuri hidup. Kalau beliau masih ada, ia
pasti berpesan untuk jangan banyak mengeluh. Selesaikan saja pekerjaan sebaik
mungkin supaya semua merasa puas. Tidak hanya untuk pelanggan dan
perusahaan saja tetapi untuk kepuasan diri sendiri juga karena bisa bekerja
dengan baik.
Kerasnya dunia kerja membuatku teringat pada masa perkuliahan. Bagaimana
tidak. Walau mungkin ilmu yang didapat tidak bisa ku aplikasikan semua, ada
banyak hal di luar mata kuliah yang sangat berefek pada diriku. Misalkan saat
Ospek. Dengan tugas yang kadang tidak masuk akal dari senior, kita dituntut
untuk cerdas dan tidak pantang menyerah untuk bisa membawa hasil keesokan
harinya. Hal ini juga berkorelasi dengan perkuliahan dimana kita harus cerdik
supaya tugas dari dosen rampung atau mensiasati diri supaya lulus ujian.
Dengan berbagai cara yang halal ataupun tidak halal. Kita juga harus bisa
berbuat manis di depan senior. Ya setidaknya jangan neko-neko atau cari
masalah. Sama juga ketika berhadapan dengan dosen. Kita harus mampu
mengambil hati untuk dipermudah jalan menuju kelulusan. Sedikit bermasalah,
nilai pun kadang tidak keluar. Nah di dunia kerja kita juga harus pintar-pintar
Secara tidak disadari kita suka menyepelekan hal-hal semacam itu dan tak
jarang juga sampai dendam pada senior saat Ospek. Padahal kalau dilihat-lihat
ada hal positif yang didapat. Kita dipersiapkan untuk menjadi manusia yang
tangguh. Karena saat perkuliahan atau kerja bisa lebih kejam berkali-kali lipat
dari bayangan kita. Jadi buat apa juga dendam-dendam segala pada senior, toh
apakah kita akan membalasnya pada orang yang bersangkutan? Tidak. Justru
kita kerapkali melampiaskan pada adik kelas selanjutnya. Sama seperti ketika
dimarahi atasan, kita juga melakukan hal yang sama pada rekan yang di bawah
jabatan kita.
Ah, kenapa jadi ngelantur begini.
Don, jam makan siang sudah habis. Balik ke kantor yuk. Nanti didamprat si
Bos!
Iya, kataku lemas.
Ayo buruan. Jangan melamun lagi!
LEPANG
Hari begitu terik. Keringat meleleh di wajah. Ku sapu wajah dengan tisu basah
supaya terasa lebih segar selagi menunggu pesanan dibungkuskan di sebuah
warteg yang tak jauh dari kos. Aroma lemon tisu menguap bercampur dengan
keringat para kuli bangunan, supir angkot dan buruh pabrik. Warteg adalah
tempat yang bersahabat bagi mereka. Juga bagiku, mahasiswa rantau. Terutama
di kantong walau harga nasi sudah naik sekarang. Dari 7000 jadi 9000 yang
isinya nasi, sayur, sepotong paha ayam lengkap dengan peyek kacang. Di sinilah
pula mereka melepas lapar, haus dan lelah. Sehabis makan, tak lupa mereka
membakar selinting dua linting rokok lalu ngobrol ngalur ngidul.
Agus? sebuah suara mengagetkanku dari keasikan mendengarkan obrolan dua
kuli bangunan tentang proyek hotel yang sedang bermasalah.
Aku menatap orang yang memanggilku. Coba mengingat-ingat.
Melihatku yang bingung, akhirnya orang itu menyebut namanya. Ini aku,
Lepang.
Lepang, sebuah nama yang tidak asing. Ingatanku kembali ke 12 tahun yang
lalu. SMP kelas 1. Waktu itu masa orientansi sekolah bagi siswa baru. Aku
masuk kelas unggulan, kelas 1A. Aku juga duduk dengan seseorang yang baru.
Lepang namanya. Perawakan kurus berkulit coklat dengan rambut cepak agak
keriting. Telinganya lebar menghadap ke depan seperti monyet. Seragamnya
lebih ke coklat susu daripada putih. Dia tidak mengenakan pakaian baru seperti
aku dan yang lainnya. Sepatu dan tasnya juga.
dengan pamannya itu. Jarang dia bercerita soal kedua orang tuanya. Aku belum
pernah diajaknya main ke rumah. Lebih sering, dia yang main ke rumahku. Baca
beberapa komik atau main PS. Aku juga tidak tahu dimana alamat rumahnya.
Di sekolah kami begitu berbeda. Aku rajin mencatat pelajaran dan mengerjakan
PR. Sama dengan teman-teman yang lain. Sementara Lepang hampir tak pernah
mengerjakan PR terutama pelajaran ilmu pasti. Jika ada PR pelajaran bahasa
terutama
mengarang,
mengapresiasi
puisi
atau
cerpen
barulah
dia
sekolah. Aku sedih sekaligus kecewa, Lepang tidak berkata apa-apa padaku.
Mungkin karena itu juga aku tidak mencarinya.
So, apa yang terjadi saat itu? tanyaku masih penasaran kenapa Lepang tibatiba putus sekolah.
Kami memilih meja di pojokan warteg supaya lebih leluasa ngobrol.
Pertama-tama, maafkan aku tidak memberi kabar.
Sudahlah, aku sudah maafkan sejak lama. Jadi bagaimana?
Saat itu aku sedang sedih dan kacau. Pamanku meninggal karena sakit. Biaya
sekolahku beliau yang menanggung. Aku tak tega melihat orang tuaku
memaksakan diri supaya aku tetap sekolah.
menikmati sekolah. Kamu tahu sendiri kan. Orang tuaku tetap bersikeras supaya
aku melanjutkan pendidikan, tapi aku juga sangat bersikeras untuk berhenti
sekolah.
Lalu apa yang kamu lakukan selanjutnya? Jadi tukang ojek sesuai dengan citacita yang kamu bilang saat pertama sekolah?
Iya.
Serius?
Awalnya aku meneruskan pekerjaan pamanku sebagai loper koran. Beliau
sudah memiliki beberapa pelanggan tetap, jadi sayang kalau tidak diteruskan.
Beliau juga mewariskanku motornya. Pagi loper koran, siang sampai sore
ngojek. Setelah punya SIM, aku mulai menawarkan jasa ojekku ke turis
berbagai
tumbuh-tumbuhan
dan
kolam
ikan.
Seorang
ibu
menyambutku.
Cari siapa, Dik?
Lepang ada, Bu?
O, Lepang sedang di kantornya.
Kantor?
Kantor macam apa yang disebut oleh ibunya Lepang. Seorang tukang ojek mana
punya kantor. Yang ada namanya pakalan ojek.
Itu yang di depan gang kantornya. Adik langsung saja ke sana. Lepang pasti
ada.
BANTAL AJAIB
Kalau dipikir-pikir, apa yang tidak bisa dibuat oleh manusia sekarang ini?
Cinta mungkin.
Aku serius, sayang.
Kekasihku tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di pahaku. Tanda dia
bercanda dan akan mendengarkan ocehanku selanjutnya.
Dengan kecanggihan teknologi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan,
hal mustahil menjadi nyata. Aku baca sebuah artikel hari ini. Para ilmuwan
sedang melakukan percobaan dengan sel hewan punah yang masih hidup.
Sebentar lagi mungkin kita bisa bertemu dengan hewan-hewan yang telah
punah. Tepatnya yang telah kita punahkan. Mungkin suatu saat nanti kita bisa
melihat Mamut, saudaranya Gajah.
Lalu untuk apa mereka menghidupkan lagi hewan-hewan itu?
Entah sayang. Bagi para ilmuwan, penemuan semacam itu pasti menakjubkan.
Bisa membuktikan sesuatu yang hanya terwujud di film fiksi-ilmiah. Tapi
sayang sekali semuanya akan berakhir tragis. Karena kita manusia. Sukanya
berburu. Kalau sampai hewan-hewan itu berhasil dihidupkan lagi, bukankah
akan diburu kembali oleh para kolektor?
makanan. Sekarang, apa saja diburu. Mayat kalau menguntungkan juga diburu.
Bahasa kerennya, hunting. Kamu juga suka kan?
Hehehe iya hunting barang-barang diskon.
minum susu. Aku juga diet kopi, coklat dan semua makanan yang mengandung
kafein. Hasilnya, nol.
Berarti sebulan ini kamu tidak tidur sama sekali, Sayang? Kini mata kekasihku
yang indah menatap prihatin.
Aku terlihat begitu menyedihkan ya? Harusnya para ilmuwan itu meneliti
orang sepertiku supaya bisa menemukan obatnya.
Kamu perlu liburan. Ke tempat yang lebih tenang, saran kekasihku sambil
menatap dengan pandangan serius.
Pekerjaan tidak bisa ditinggalkan. Sebenarnya ada satu titik dimana aku
mengantuk dan mulai tertidur. Tapi itu hanya bertahan semenit. Ada saja suarasuara yang membuatku terjaga. Tetangga yang menyetel musik kencang, tikustikus yang berlarian di plapon atau suara sirene mobil polisi yang hampir setiap
hari terdengar. Kawasan ini kan mulai sering dijadikan tempat konferensi
internasional. Orang menutup pintu saja bisa membuatku terbangun.
Ini serius, Sayang. Kamu harus liburan, bujuk kekasihku sedikit memaksa.
Mungkin kamu benar. Aku akan ambil cuti.
Tapi aku tidak bisa menemani. Tak apa kan, Sayang?
Tak apa.
Kami mengakhiri pembicaraan dengan pelukan hangat. Tak lama kemudian
kekasihku pulang. Tinggallah aku sendiri duduk menghitung domba meski tak
pernah berhasil membuatku tertidur.
***
Saya mah cuma jualan kopi dan jajanan. Tidak pakai trik, jawab ibu pemilik
kedai mengerlingkan matanya genit.
Sebenarnya aku masih penasaran. Tapi kuabaikan saja. Kesannya seperti kurang
kerjaan bertanya banyak soal bapak tadi.
Mau nambah kopinya, Dik?
Aku baru sadar kalau kopiku sudah habis.
Tidak, Bu. Terima kasih, kataku sambil memberikan beberapa lembar uang.
***
Sampai di vila, aku masih saja teringat pada bapak tadi. Keanehannya susah
dihilangkan. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu, aku membuka laptop
dan mulai mengerjakan lagi pekerjaan yang lebih penting. Hasilnya hari ini aku
tidak tidur sama sekali. Seharian di depan laptop. Hanya sesekali beranjak untuk
makan, minum dan buang air kecil. Mandi baru ku lakukan saat senja sudah
tergantikan oleh malam.
Malam begitu sunyi di sini. Aku duduk di beranda vila memandangi bintang.
Sudah dua hari ini pula aku tidak menghubungi kekasihku. Begitu juga
sebaliknya. Sepertinya kami berdua merasa tidak ingin mengganggu satu sama
lain. Kekasihku pasti berpikiran aku perlu ketenangan tanpa diganggu
kemanjaannya. Padahal aku merindukan suara manjanya itu.
Malam. Sebuah suara memberi salam.
Ternyata bapak aneh yang tadi pagi itu. Dengan spontan aku membalas,
Malam. Dari mana, Pak?
Ya, bisnya memang jam segini sampainya. Satu-satunya melewati desa ini,
jawab bapak itu kini lebih memperhatikan wajahku. Sepertinya adik punya
masalah yang serius. Sudah berapa lama adik tidak bisa tidur? Bapak itu seperti
bisa membaca kondisi dari raut wajahku yang kuyu.
Wah bapak pintar membaca wajah orang. Sebulan, Pak.
Bapak itu menaruh cangkir di meja lalu mengambil koper yang berada di
sampingnya. Sepertinya saya bisa membantu.
Terima kasih banyak, Pak. Tapi kalau soal obat-obatan, sudah tidak ada
gunanya. Aku langsung mengelak bukan karena tidak ingin membeli. Takut
kecewa saja kalau hasilnya sama.
Ini bukan obat, Dik. Dijamin bisa membuat adik tidur dengan lelap malam ini.
Koper terbuka. Bapak itu mengambil isinya dan menunjukkannya padaku.
Saya pinjamkan pada adik malam ini. Besok pagi saya ambil kembali.
Bapak itu menyerahkan sebuah bantal putih padaku. Untung saja aku mampu
menahan tawa.
Wah kalau cuma bantal, di kamar ada banyak, Pak.
Ini serius, Dik. Ritme hidup adik sudah tidak harmonis. Kalau lebih lama lagi,
nanti bisa celaka.
Bapak itu menyodorkan lagi bantalnya.
Mungkin bagi adik lucu. Tapi saya jamin, adik pasti terlelap. Tenang saja, Dik.
Gratis.
Sama-sama, Pak. Oya kebetulan hari ini saya pulang ke kota. Apa perlu saya
memberikan kesaksian langsung pada polisi?
Saya saja yang nanti menyampaikannya pada polisi.
Bagus kalau begitu, pikirku.
Terima kasih, Pak.
***
Sesampai di kontrakan, aku baru teringat perkataan pak RT. Pesan. Apa mungkin
bapak itu meninggalkan sebuah pesan. Ku periksa bantal itu dan ternyata benar
ada secarik kertas.
Saya lelah dikejar-kejar. Gunakan bantal ini baik-baik.
Seperti sebuah wasiat. Lalu siapa yang mengejar bapak itu? Apa bantal ini yang
diincar? Lalu kenapa bapak itu memberikannya padaku padahal kalau bantai ini
diberikan pada si pembunuh pasti dia selamat. Belum habis aku berpikir dan
belum terjawab semua pertanyaan, kekasihku datang memberikan pelukan
hangat.
Bagaimana liburannya? Sepertinya berhasil. Wajahmu terlihat segar kembali.
Padahal hanya beberapa hari.
Ya begitulah.
Bantal baru ya?
Iya.
Lagu
yang
menanam
rumput
laut
sedari
pagi.
Aku masih duduk di atas karang memandangi cakrawala. Angin dingin pun
mulai berhembus, ombak juga akan segera pasang. Isyaratkan aku untuk
beranjak dari karang itu agar tak terjebak air laut yang semakin mendekati bukit
karang. Entah, begitu enggan untuk meninggalkan tempat ini. Aku masih saja
berharap sosok itu muncul dengan wajah yang teduh dan rambut panjang
hitamnya. Tiga jam lebih aku duduk di sini tanpa memotret apapun. Kamera
DSLR masih terbungkus rapi di dalam tas. Tak ada gairah sedikit pun untuk
mengabadikan pemandangan senja kali ini. Ya, aku datang ke sini untuk
bertemu dengan sosok itu. Perempuan itu.
***
Pantai ini belum banyak yang tahu. Hanya penduduk asli di sini saja . Jalurnya
belum bagus, jadi kita harus jalan kaki beberapa meter lagi. demikian
penjelasan teman yang mengantarku untuk hunting lokasi.
Trus kamu sendiri tahu dari mana?
Pertama ke sini diajak teman juga, kebetulan dia penduduk sekitar sini. Katanya
view. Materi untuk syuting. Ya, aku ke sini untuk pekerjaan sekaligus liburan
karena pulau ini merupakan tujuan wisata banyak orang baik asing dan
domestik. Sebenarnya masih banyak pulau di negeri ini yang juga tak kalah
indahnya tapi dasar si bos maunya aku hunting di pulau ini karena namanya
sudah mendunia.
Selagi temanku tidur di dalam mobil karena begadang gara-gara tugas akhir,
aku pun berkeliling mencari sudut-sudut yang lebih menarik. Sesekali mendapat
senyuman ramah dari ibu-ibu yang sedang memunguti rumput laut yang
terhempas ke pantai. Juga sebuah senyuman dari seorang perempuan ketika
Di seberang sana itu setahuku tak ada pulau-pulau kecil. Sudah masuk benua
lain. Tapi wajahnya tidak menunjukkan bahwa dia turis asing. Ah, mungkin dia
sedang bercanda.
Kau sendiri sedang apa? tiba-tiba dia bertanya.
Hunting lokasi. Aku pun tersadar tujuanku kemari karena kerjaan. Baru
beberapa foto yang ku dapat. Sepertinya masih banyak sudut yang mesti ku
ambil. Baiklah kalau begitu, aku meneruskan pekerjaanku dulu. Kau lama di
sini?
Tidak. Sebentar lagi teman menjemputku. Aku ada pertunjukan malam ini.
Pertunjukan?
Dia mengeluarkan sebuah pamflet. Kalau sempat, datanglah.
Baiklah. Terima kasih.
Sampai jumpa. Perempuan itu beranjak dari karang.
Di tanganku sekarang ada selebaran warna biru laut bergambarkan perempuan
itu mengenakan kostum putri duyung bertuliskan Aquatic Show Dugong.
Sepertinya akan sangat menarik. Aku penasaran dan pasti akan datang setelah
pekerjaan di pantai ini selesai.
Matahari mulai meninggi. Pencahayaan sudah berlebihan. Aku kembali ke mobil
dan membangunkan temanku.
Sudah?
Sudah.
Yakin?
Sudah siang. Silau. Kalau ada yang kurang, besok-besok kan bisa ke sini lagi.
Mobil meninggalkan pantai dengan sebuah rahasia tentang pertemuan dengan
perempuan bernama Dugong.
***
Malamlah yang membuatku beranjak dari batu karang. Aku masih saja enggan
untuk pulang dan memilih makan di sebuah restoran satu-satunya di pantai ini.
Beberapa tahun berlalu sudah banyak perubahan. Akses jalan memang sebagian
belum bagus tapi sudah bisa dilalui kendaraan. Terlihat pula di beberapa bukit
sudah dibangun hotel atau villa. Pemerintah juga sepertinya sedang membuat
beberapa patung entah untuk apa. Pengunjung semakin banyak terutama di
akhir pekan. Tak hanya penduduk sekitar sini. Turis asing juga mulai berjemur
di dekat restoran.
Selagi menyantap makan malam khas pantai, aku iseng saja browsing nama itu.
Langsung ku ketik Dugong meski tanpa banyak berharap pada mesin pencari
canggih ini untuk bisa menemukan sesuai maksudku. Enter. Muncullah
beberapa situs yang memuat tentang nama itu. Situs pertama muncul dari
sebuah ensiklopedia terkenal yang menjelaskan bahwa Dugong itu nama lain
dari duyung. Legenda putri duyung? Mungkinkah
***
Tak ada panggung sesungguhnya. Hanya ada sebuah kotak tertutup kain hitam
terletak di tengah ruangan. Pengunjung satu persatu mengisi buku tamu di
dekat pintu masuk lalu menyebar. Aku datang dengan teman yang menemaniku
selama hunting di sini. Setengah jam kemudian, lampu padam. Dari masingmasing sudut lampu biru menyorot ke kotak besar. Kain hitam pun dibuka.
Sebuah aquarium dengan seorang perempuan di dalamnya. Itu perempuan di
pantai tadi. Cantik, berkilau dan begitu mempesona. Benar-benar menyerupai
putri duyung yang ada di film-film. Semua penonton terhipnotis gerakan
Dugong yang meliuk-liuk lincah. Beberapa kali melakukan gerakan memutar
seperti rudal. Sampai takjub aku melihatnya. Lalu lampu padam. Beberapa orang
bertepuk tangan menyangka pertunjukan telah usai. Tak lama kemudian lampu
menyala tapi berubah dominan merah. Sekarang Dugong terlihat menyeramkan
dengan mata tajam dan muka sedikit bersisik. Ekspresinya pun berubah marah
seakan ingin menyerang semua penonton dengan sesekali memperlihatkan
taringnya yang tajam. Usai meneror penonton, ia sedikit menekuk badan hingga
menutupi wajahnya. Pelan-pelan ekspresi menyeramkan tadi hilang berubah
menjadi sedih. Ia menatap penontop seperti ingin meminta pertolongan agar
dilepaskan dari aquarium itu. Saat aku mulai larut dalam tatapannya. Lampu
padam. Pertunjukan usai. Semua bertepuk tangan. Tak lama Dugong muncul
dengan gaun putih memberikan penghormatan. Beberapa orang mendekatinya
sekedar berjabat tangan memberi selamat atau meminta foto bersama. Ada juga
yang memberikan pujian. Dia terlihat sedikit tidak nyaman dan entah sesekali
melihatku. Setelah berhasil keluar dari kerumunan, ia menghampiriku.
Datang juga.
Tentu saja. Aku kan sudah bilang pasti datang. Benar-benar pertunjukan
memukau.
Kau mulai terdengar seperti mereka.
Maaf.
Besok ada waktu?
Ya, kebetulan sedang kosong.
Di pantai itu. Senja hari.
***
Dari sekian banyak situs, tiba-tiba saja aku tertarik pada sebuah judul. Situs itu
menuliskan bahwa seekor duyung menggegerkan kepulauan di seberang sana.
Hewan berkelamin betina itu terdampar di pesisir pantai dengan lintah-lintah
laut di sekujur tubuhnya. Nelayan yang menemukannya berhasil menanggalkan
lintah laut itu dan berusaha mengembalikan hewan langka itu ke laut.
Sayangnya, hewan itu malah meronta-ronta sehingga si nelayan pun
memeliharanya di rumah. Karena kabar cepat beredar dengan berbagai cerita
mistik dan dongeng versi masing-masing, mulailah banyak penduduk dan
instansi pemerintah berkunjung ke rumah nelayan itu. Sekedar untuk
menyaksikan atau mengabadikan foto hewan langka itu.
Aku melihat berita itu diposting 2 hari yang lalu. Sepertinya masih ada
kesempatan untuk melihat hewan itu. Mungkinkah dia Dugong. Perempuanku?
Ah aku mulai tidak masuk akal.
***
Usai pertemuan senja itu, kami lebih sering bersama. Kadang aku mengajaknya
ikut hunting lokasi, malamnya aku yang diajak olehnya bertemu teman-teman
seni. Tengah malam berpisah dengan pelukan yang begitu erat. Dia tidak mau
menginap bersamaku di hotel atau menginapkanku di rumah kontrakannya.
Katanya, Gerah.
Hari terakhir di pulau ini, kami berjanji untuk bertemu lagi sebelum aku
berangkat ke bandara. Di pantai itu. Di batu karang itu. Saat berdua
berpegangan tangan, dia memandangi cincin yang melingkar di jari ku. Sial, aku
lupa.
Cincin ini
Aku pun salah tingkah. Sampai-sampai tidak bisa berpikir dan malah
mengatakan hal yang fatal. Ya, seperti kau lihat. Ini cincin kawinku. Suaraku
terdengar begitu lirih.
Cincin kawin?
Ya, aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang telah memberikanku
seorang putra.
menikah?
Ya, aku tetap mencintainya. Tapi sejak bertemu denganmu, aku pun
mencintaimu.
Dugong tak berkata apa pun. Dia begitu kaget. Lalu berdiri meninggalkanku.
Dugong, jangan pergi. Ku mohon. Kita pasti akan bertemu lagi.
Tanpa berhenti, dia memalingkan mukanya sebentar. Ekspresi menyeramkan
sama seperti pentasnya waktu itu. Dia melompat ke laut dan aku menyusulnya.
Dengan nafasku yang pendek, aku tak bisa lama menyelam. Setengah jam dia
tak muncul-muncul. Aku pun diam penuh penyesalan.
***
Saya mohon jangan terlalu dekat, mas. Duyung ini agak takut jika didekati oleh
laki-laki, pinta si nelayan.
Aku melihat duyung itu agak jauh. Coba melihat lebih seksama. Siapa tahu ada
tanda-tanda seperti Dugong. Perempuan yang kukenal. Tapi duyung ini tidak
setengah manusia seperti dia. Walau di pikiranku memang mengiyakan kalau
duyung sebenarnya memang seperti ini. Ah, aku mulai tidak masuk akal lagi.
Tiba-tiba duyung itu seperti melihatku. Aku pun membalas. Entah, tatapannya
begitu sedih sama seperti tatapan Dugong. Hatiku pun terasa teriris. Semakin
lama aku menatap matanya, semakin larut terasa. Tanpa sadar air mata pun
menetes.