Anda di halaman 1dari 112

~* * *~

Daftar Isi

Reklamasi Gede
Komang Tak Jadi Ikut Ke Paris
Andini Dan Kakek Alam
Bulan Di Languan Room
Kontak Batin
Senja Di Bawah Pohon Jambu
Jangan Jadi Aktivis, Nak!
Kisahku Yang Tersembunyi
Lamunan Makan Siang
Lepang
Bantal Ajaib
Sebuah Kisah Di Pantai Rahasia

~ * * *~

REKLAMASI GEDE
Reklamasi, tolak reklamasi!
Gede baru saja menandatangani sebuah petisi via sebuah situs internet. Seorang
kenalan di salah satu jejaring sosial mengirimkan pesan yang isinya link situs tersebut.
Sebagai warga Bali yang turut peduli, Gede juga ingin berpartisipasi memperjuangkan
pulaunya supaya tidak dieksploitasi. Hanya cara ini yang bisa Gede lakukan. Gede tidak
punya waktu untuk ikut serta turun ke jalan. Hari-harinya sibuk di kantor melayani
beberapa pesanan paket travel.
Gede memang tidak selalu mengikuti berita tentang penolakan reklamasi. Hanya
sesekali mendengar di berita televisi atau melihat sekilas di koran. Tak ketinggalan juga
di sosial media. Beberapa akun teman dan kenalannya mengganti foto profil mereka
dengan foto bertuliskan BALI TOLAK REKLAMASI.
Sebenarnya Gede baru ngeh akan berita ini beberapa minggu yang lalu saat ada
obrolan dengan salah satu rekan di kantor.
De, kamu lihat demo di jalan tadi?
Nggak, Mang. Emang demo apa? Tumben. Rame? Bikin macet?
Rame sih lumayan. Macet sih enggak begitu. Kan beda demo di sini dengan di Jakarta.
Terus kenapa, bentrok?
Mana ye.
Terus kok serius sekali kamu tanya soal demo di jalan?
Gini, De. Demonya sih ga rame tapi hampir tiap hari. Kamu gak nonton berita ya?

Sori, Mang. Aku sibuk ngurus rumah, baru mau dikeramik. Bulan depan anakku
nomor dua masuk TK. Yang pertama bakal masuk SD. Belum lagi si kecil, otonan 6
bulan.
Beh kamu ini. Kepala rumah tangga sejati. Masak sampai ga sempat nonton TV?
Gimana men, Mang. Terus kenapa demonya?
Kalau demo tiap hari bukannya citra Bali terlihat tidak aman ya?
Kok gitu? Katanya enggak sampai bentrok.
Demo dimana-mana! Kalau sampai bentrok, sepi lagi wisatawan ke Bali!
Masak gitu, Mang? Bukannya wisatawan sepi cuma pas bom waktu itu?
Demo kan juga ibarat bom waktu. Kapan saja bisa meledak. Apalagi kalau tuntutan
tidak dikabulkan.
Kayaknya gak sampai segitunya, Mang. Bali lain dengan Jakarta. Bali kan lebih adem.
Buktinya waktu Bu Mega kalah, banyak warga Bali turun ke jalan membakar ban dan
menebang pohon.
Itu kan beda, Mang.
Pokoknya demo-demo itu tidak baik untuk citra pariwisata Bali. Banyak masyarakat
Bali yang bergantung dari sana.
Gede hanya diam. Gede juga sadar keluarganya makan dari hasil kerjanya di travel.
Kalau wisatawan sepi, pendapatannya tidak seberapa tanpa bonus.
Reklamasi teluk kan juga baik untuk membuka lapangan kerja baru! Menurutmu
gimana, De?

Gede tidak menjawab. Tiba-tiba Gede ingat anak dan istri di rumah. Tiba-tiba muncul
wajah orang tuanya yang mulai mengeluh bertani karena biaya produksi jauh lebih
tinggi dari hasil panen. Tiba-tiba Gede juga ingat pada sepupunya yang menjual tanah
warisan

kepada

investor

asing

untuk

melunasi

hutang

dan

membiayai

keberangkatannya bekerja di kapal pesiar. Gede seperti tidak mampu berkata apa-apa
lagi. Ada sebuah dilema di hati dan pikirannya.
Sejak saat obrolan itulah, Gede mulai mencari-cari berita tentang Tolak Reklamasi.
Ternyata Gede sudah ketinggalan jauh. Gede juga baru paham apa arti dari kata
reklamasi setelah searching di salah satu mesin pencari. Gede seperti membuka mata
lagi. Melek pada kondisi pulaunya yang semakin digerogoti setiap jengkal tanahnya.
Dari beberapa artikel yang Gede baca, penolakan itu didukung oleh banyak orang
terutama dari aktivis lingkungan, beberapa LSM dan organisasi tertentu, seniman
bahkan beberapa musisi ikutserta bersuara.
Semangat lama seperti berkobar kembali di dada Gede. Sebenarnya sudah dari dulu
Gede miris melihat pulaunya ini. Pekerjaannya di travel kadang membuat dirinya sadar
kalau dia dan banyak warga Bali menjadi pelayan di pulaunya sendiri. Namun apa
daya, Gede terpaksa menutupi semua itu karena mau tidak mau dia menggantungkan
nasib dari sektor pariwisata. Mulut Gede seperti dibungkam. Apalagi jika melihat kedua
orang tua di kampung, istri dan anak di rumah. Gede memilih diam dan bekerja saja.
Hingga sekarang pun dimana dukungan tolak reklamasi dimana-mana, Gede tidak bisa
ikut serta secara nyata. Gede tidak bisa berteriak lantang seperti mereka. Lidahnya telah
lama dibekukan. Gede hanya lancar berbicara saat bertemu wisatawan yang
menggunakan jasa travelnya. Itu juga lebih sering menggunakan bahasa asing. Inggris,
Itali dan sedikit Jepang.
Gede merasa iri pada mereka yang turun ke jalan menentang para penguasa yang lalim.
Penguasa yang tanpa pernah meminta persetujuan pada rakyatnya dalam setiap

keputusan. Entah berapa banyak proyek besar dan investasi yang mereka loloskan
ijinnya tanpa mengindahkan tata ruang kota yang katanya berprinsip pada Tri Hita
Karana.
Bli, kok bengong? Komputernya tu ngeliatin Bli. Ini kopinya.
Gede melihat istrinya.
Dek, gimana kalau aku selesai kerja di travel?
Bli kan baru bekerja 7 tahun di sana, pas tahu kalau Dek hamil. Memangnya kenapa
Bli? Sudah tidak betah?
Kita buka usaha saja ya?
Usaha apa Bli? Modalnya dari mana?
Gede baru sadar apa yang dikatakannya. Semua belum diperhitungkan. Jenis usaha atau
modalnya. Gede hanya asal ceplos.
Usaha apa Bli?
Gede belum juga menjawab. Artikel-artikel yang sempat dibaca tadi seolah berputar di
kepalanya. Gede berusaha mencari jawaban atas ide dadakan yang barusan dicetuskan
pada istrinya.
Bapak, kapan kita beli tas dan sepatu baru? Tiba-tiba anaknya yang sulung bertanya
sedikit merengek.
Pikiran Gede soal ide tadi buyar.
Tu Bagus, jangan ganggu bapaknya lagi kerja.
Istri Gede seperti mengerti.
Besok ya, beli sama ibu. Sekarang Kakak main di kamar sama adik ya.

Gede melihat anaknya yang berlari ke kamar. Tiga anak menanti untuk dibiayai.
Ini untuk awalan saja ya, Dek. Kita buat usaha di kampung. Rumah ini kita kontrakkan
saja. Setelah itu baru Bli mengundurkan diri dari travel. Lalu kita kembali ke kampung.
Bli akan menggantikan Bapa dan Meme bertani. Bli mau usaha padi dan tanaman
organik lainnya. Tapi tidak semua lahan Bli tanami. Nanti Bli juga buat kolam untuk
budidaya lele.
Istri Gede bengong.
Kenapa, Dek? Ada yang salah?
Bli kesambet apa? Tumben ngomong panjang lebar. Serius Bli mau bertani?
Bli sudah banyak baca referensi dari internet, tinggal tekad dan semangat!
Semangat Gede berkobar-kobar.
Bli cuma perlu dukungan Dek dan anak-anak untuk merelakan diri pindah ke
kampung.
Kalau Bli yakin, Dek pasti akan mendukung. Bapa dan Meme pasti senang anak semata
wayangnya ini mau meneruskan menggarap sawah juga bisa berkumpul dengan
menantu dan cucu.
Gede tersenyum mendengar jawaban istrinya. Walau belum seratus persen yakin
usahanya akan sukses, Gede berusaha untuk merealisasikan keinginan itu dulu. Jika ada
masalah, pasti ada jalan keluar.
Sebulan telah berlalu. Di TV, Gede masih melihat aksi dan dukungan Tolak Reklamasi
belum berhenti meski ada berita pimpinan penguasa telah mencabut SK terdahulu.
Gede tetap tidak bisa ikut turun ke jalan untuk mendukung aksi penyelamatan
lingkungan. Gede memilih caranya sendiri. Kembali ke kampung untuk bertani.

KOMANG TAK IKUT KE PARIS


Suasana caf terlihat sendu karena lampu-lampu yang redup. Di atas meja, lilin
aroma lavender ikut menenangkan setiap sudut ruang. Para pengunjung sedikit
hari ini karena sudah memasuki low season. Sosok laki-laki bule sedang
memegang tangan wanitanya dengan pandangan tak teralihkan. Mereka terlihat
serius di antara suasana caf yang santai.
Tolong jangan lamar aku, Piere.
Sebentar lagi saya akan pulang, Komang. Kenapa kamu tidak membiarkan saya
melamarmu?
Ku mohon, Piere. Jangan.
Kita berdua akan ke Paris.
Bayangan Paris sudah ada dalam kepala Komang sejak lama. Betapa keindahan
kota itu dengan segala yang ada telah menghipnotis Komang untuk bisa tinggal
di sana. Dengan dalih beasiswa studi atau apa sajalah semacamnya. Kini
kesempatan ada di depan mata. Laki-laki Paris itu telah jatuh cinta padanya.
Komang tinggal mengatakan iya, maka semua mimpi Komang tentang Paris
akan segera terwujud. Harusnya Komang tidak berpikir dua kali. Tinggal
menetap, menikah dan berumah tangga? Tiba-tiba Komang jadi ragu.
***
Mang, bangun. Sudah jam 7.

Kan libur, Bu. Minggu. Komang menjawab dengan masih menggeliat di atas
kasur.
Iya ibu tahu. Libur bukan berarti kamu harus bangun siang. Anak perempuan
mana yang belum bangun jam segini.
Anak ibu.
Kamu ini.
Dari luar rumah terdengar suara ayah Komang memanggil.
Nah itu dipanggil bapakmu. Cepat bangun.
Dengan terpaksa Komang beranjak dari nyamannya kasur.
Ingat rapikan dulu tempat tidurmu, pesan ibu.
Langkah Komang ke kamar mandi pun terhenti. Dia merapikan dulu seprai,
bantal dan selimut yang terlihat awut-awutan. Maklum Komang tidurnya tidak
bisa diam. Sering berputar hingga 180 derajat dari posisi awal.
Ketika Komang hendak ke kamar mandi, dia melihat pintu kamar adik lakilakinya sedikit terbuka. Adiknya masih tidur dengan nyenyak tanpa gangguan
apapun.
Itu Ketut masih tidur. Tidak dibangunkan juga?
Jangan. Adikmu itu baru tidur jam 3 pagi.
Ngapain juga dia baru tidur jam 3 pagi? Ronda? Paling nongkrong dengan
teman-temannya.
Sudah, cuci muka sana. Nanti bapakmu manggil lagi.

Berarti kalau aku tidur jam 3 pagi, boleh bangun siang juga? tanya Komang.
Tanpa menunggu jawaban, Komang segera ke kamar mandi. Dia tahu jawaban
ibunya akan sangat memihak dan tidak sesuai harapan Komang.
Pagi-pagi, Komang sudah harus menyapu seluruh rumah setelah itu
mengepelnya dengan pewangi lantai. Kaca-kaca jendela harus dilap dari debu
hasil seminggu. Halaman juga harus dibersihkan dari beberapa daun yang
gugur. Kemudian dilanjutkan dengan menyiram tanaman baik yang ada di
dalam pot atau tumbuh bebas di tanah. Tak lupa rumpu-rumput juga harus
dicabut. Entah supaya tidak mengganggu tanaman lain atau supaya tidak
merusak pemandangan paving. Yang penting cabut saja rumputnya, begitu
perintah ayah.
Usai bersih-bersih sendiri, bukan bersih-bersih bersama, Komang harus
mencuci pakaiannya terutama seragam untuk sekolah nanti. Awalnya dia hanya
ingin mencuci pakaiannya saja tapi kemudian suara ibunya pun berkumandang.
Mang, jangan lupa cuci juga seragam adikmu.
Dengan sedikit kesal Komang bertanya Memang dia tidak bisa cuci bajunya
sendiri?
Kasihan adikmu.
Komang tidak pernah mengerti apa maksud ibu dengan kasihan itu. Sebelum
Komang mulai menimpali, ibu sudah berkata lagi.
Masak kamu tega kalau ibu juga yang harus mencuci baju adikmu. Kamu tidak
lihat masih banyak yang harus ibu kerjakan.

Keluarlah kata-kata pamungkas ibu sehingga Komang tidak mampu berbuat apa
selain menurut dan menghela nafas.
Ya banyak yang harus ibu kerjakan. Memang harus, suka atau rutinitas? Entah
mana tepatnya. Yang Komang tahu, ibu adalah wanita super sibuk. Tak kalah
sibuk dengan wanita karier yang bekerja di kantoran. Ibu pun sebenarnya
wanita karier juga. Hanya saja bekerjanya di rumah dan pasar.
Dimulai dari pukul 3 pagi ibu bangun untuk menyiapkan dagangan. Dimulai
dari memasak nasi, sayur beserta lauk pauknya. Terkadang kalau bisa
dibangunkan, Komang pun membantu ibu. Setelah selesai ibu pun mandi dan
bersiap ke pasar yang tak jauh dari rumah. Di sanalah ibu berjualan hingga
pukul 8 pagi. Kalau dagangan tidak terjual habis, biasanya ibu menitipkan nasinasi yang sudah dibungkus daun pisang di warung sepanjang perjalanan
pulang.
Sesampai di rumah, ibu beristirahat sejenak. Minum kopi pahit ditemani pisang
goreng yang dibeli tadi di pasar. Rumah sudah sepi. Bapak mengajar, sedangkan
Komang dan adiknya tentu saja harus bersekolah. Bukan berarti ibu akan
berleha-leha.

Setelah

kopinya

habis,

itu

pertanda

ibu

harus

mulai

membersihkan rumah juga perabotan yang digunakan untuk memasak tadi.


Biasanya pekerjaan ini selesai menjelang siang yang berarti ibu juga beristirahat
untuk makan siang.
Saat bapak, Komang dan adiknya pulang, ibu sudah bersiap-siap untuk
membuat canang. Dulu ibu biasa berjualan canang juga di pasar. Sekarang
setelah ada beberapa langganan di sekitar kompleks perumahan, ibu hanya

menerima pesanan saja. Lumayan untuk menambah penghasilan. Hampir tiap


hari ibu menerima pesanan lewat sms.
Usai makan siang sementara bapak nonton TV dan adiknya tidur atau pergi ke
tempat teman, Komang harus mencari bunga dan daun pandan untuk canang
yang sedang ibu buat. Setelah semua ditata rapi dan dibungkus dalam tas plastik
sesuai dengan pesanan, barulah ibu duduk-duduk sejenak. Kembali dengan
segelas kopi pahitnya. Tak jarang ibu pun tertidur di kursi saking ngantuknya.
Kalau tiba-tiba terbangun bukannya pindah tidur ke kamar, ibu malah ke dapur
untuk masak makan malam nanti.
Sementara Bapak sibuk memanjakan ayam peliharaan atau merawat bonsaibonsainya, ibu lanjut menyapu halaman. Terkadang ibu pun menyuruh
Komang.
Memang menyapunya harus sekarang, Bu? Daun-daun yang gugur juga tidak
seberapa. Besok saja sekalian.
Ah kamu ini. Ibu saja yang menyapu kalau begitu. Ibu tidak suka melihat segala
sesuatu yang kotor.
Setelah santap malam, barulah ibu sempat menonton TV sejenak. Pukul 8 malam
ibu sudah sangat mengantuk. Barulah ibu beranjak ke kamar untuk tidur.
Demikianlah setiap harinya.
Mang, cuci muka saja kok lama sekali.
Lamunan Komang buyar, Iya bu. Ini Komang baru selesai buang air besar.
Cepat, bapakmu manggil lagi tuh.

***
Bagaimana Komang? Kau ikut denganku ke Paris?
Komang hanya terdiam. Dia memang menyukai lelaki itu. Tetapi untuk menikah,
Komang belum berpikiran ke sana. Walaupun umurnya sudah menginjak 27
tahun. Walaupun Komang sangat ingin pergi ke Paris. Bayangan tentang sebuah
rumah tangga begitu menghantuinya. Padahal belum tentu kehidupan rumah
tangganya akan sama seperti ibunya. Komang pun menikahnya dengan bule
yang jelas kebudayaan dan gaya hidup sangat berbeda. Komang masih saja
menyangsikan kebetahan dirinya untuk berumah tangga. Hidup melajang masih
sangat dinikmati oleh Komang.

ANDINI DAN RUMAH KAKEK


ALAM
Tak kenal maka tak sayang
Begitulah peribahasa yang ku dengar saat pelajaran bahasa Indonesia. Benarbenar cocok dengan keadaanku saat ini. Keluargaku baru saja pindah ke rumah
baru. Seminggu yang lalu kami pindah ke sini. Sebelumnya kami hanya tinggal
di rumah kontrakan. Berhubung uang ayah dan ibu sudah cukup, akhirnya
kami bisa membeli sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Seperti
rumah-rumah sekarang, halamannya tidak luas tapi pagarnya tinggi-tinggi.
Tidak ada tumbuhan sama sekali karena semuanya sudah disemen oleh pemilik
yang lama.
Ibu dan ayah berangkat kerja dulu ya. Baik-baik di rumah.
Kedua orang tuaku pamit seperti biasanya setiap pagi. Karena masih liburan
sekolah, aku terpaksa harus diam di rumah. Seandainya aku bisa berlibur ke
rumah nenek dan kakek di kampung, pasti sangat menyenangkan. Ada banyak
hal yang bisa dijadikan permainan. Tapi kata ibu, dia akan sangat
merindukanku kalau selama liburan aku tinggal bersama nenek dan kakek. Beda
sekali dengan kenyataan. Hanya ada sedikit waktu bersama ibu apalagi ayah.
Bahkan hari minggu pun belum tentu mereka ada di rumah.
Ayah adalah dokter di sebuah rumah sakit. Sebuah pekerjaan yang mulia. Bisa
menolong orang sakit. Kalau ibu adalah pengajar di sebuah International School

dan aktif di sebuah LSM. Pekerjaan yang tak kalah mulia dengan pekerjaan
ayah. Sedangkan aku adalah seorang murid SD kelas 3. Tak ada yang istimewah.
Apa ya yang bisa ku lakukan sekarang. Kartun di TV sudah selesai. Tak ada acara
yang menarik lagi. Buku cerita sudah kubaca semua. Ayah dan ibu lupa
membelikan yang baru minggu kemarin. Menggambarah aku sedang tidak
berminat. Tak ada yang ingin ku gambar. Bosannya. Kalau begini aku jadi
merindukan teman-teman sekolah. Untung telpon rumah sudah terpasang.
Halo tante, Nina ada?
Ini Andini ya?
Iya tante.
Sayang sekali Nina sedang tidak di rumah. Dia jalan-jalan pagi ke taman kota.
Bersama kakak dan anjingnya.
O, begitu ya tante.
Ada apa Andini? Tumben pagi-pagi sudah menelpon?
Tidak tante. Hanya mau menyapa saja.
Tidak ada pesan?
Tidak, tante. Terima kasih.
Wah, asyiknya Nina. Pagi-pagi sudah diajak jalan-jalan kakaknya. Aku yang
anak tunggal, apa-apa sendiri. Kedua orang tuaku belum berencana untuk
memberikanku adik. Nina juga punya hewan peliharaan. Namanya Dindin. Di
rumahku ada peraturan tidak boleh memelihara hewan terutama anjing dan

kucing. Aturan itu ditetapkan oleh ayah. Katanya, nanti mengotori rumah dan
bisa membawa sumber penyakit.
Lihat, cuaca semakin cerah di luar sana. Sedangkan di dalam sini terlihat seperti
mendung. Aku ingin sekali bermain di luar rumah. Tapi aku bingung juga
bermain dimana? Aku belum punya teman baru di sekitar sini. Belum ada
tempat yang bisa kukunjungi. Tidak mungkin aku mengetuk satu persatu pintu
dan memperkenalkan diri kalau aku ini tetangga baru mereka. Rumah yang
berpagar tinggi-tinggi itu juga tidak memperlihatkan aktifitas penghuninya.
Siapa tahu penghuninya sedang pergi. Aku berdiri di depan pagar sambil
mengintip dari celah kecil.
Sebenarnya aku tidak boleh keluar rumah. Salah satu alasan karena lingkungan
baru. Aku belum mengenalnya. Bisa saja nanti ada penculik.
Dunia sekarang tidak lagi aman, Nina. Lihat saja berita di TV, kata ibu waktu
itu.
Ya, memang berita-berita sekarang lebih banyak kejahatan daripada
kebaikannya. Apalagi anak kecil sepertiku tidak bisa melawan apa-apa. Bisanya
cuma teriak dan nangis.
Tunggu, di pojok gang sana sepertinya ada yang hijau-hijau. Bukan pagar besi
berwarna hijau. Ahai, itu tumbuh-tumbuhan rambat. Satu-satunya pagar
tanaman yang ada di gang ini. Aku keluar tidak ya. Nanti kalau ketahuan orang
tuaku, pasti aku diomeli. Tapi sekarang masih terlalu dini untuk mereka pulang.
Setengah jam kemudian

Aku sudah berada di depan pagar itu. Rumahnya tidak terlihat. Ada semacam
lorong tanaman untuk masuk ke halaman. Wah, seperti labirin. Terkadang di
beberapa bagian ditanami mawar liar dan anggrek. Lihat, ada kupu-kupu.
Capung juga. Pemandangan langka yang hanya bisa ku lihat di acara TV. Tibatiba ada sesuatu yang lurus bergerak lewat. Aku berhenti. Ternyata seekor ular
melintas menyeberang jalan. Selangkah saja lebih dulu, pasti aku sudah bertemu
dengan kepalanya dan entah apa yang akan terjadi. Aku masih saja memandangi
badan ular yang bergerak itu. Tanpa suara. Ular itu lumayan panjang. Setelah
aman, aku berjalan lagi dengan sedikit was-was. Siapa tahu ada ular lagi nanti.
Petualang ini jadi terasa menegangkan.
Akhirnya ini ujungnya. Terlihat tanam lapang berumput dengan beberapa pot
tanaman tersusun rapi. Ada juga gentong tanah liat berisikan air dan bunga
teratai diletakkan di bawah pohon cempaka yang sudah mulai berbunga. Ada
ayunan juga di sebuah pohon mangga lengkap dengan sebuah meja dan
beberapa kursi sandaran tua di sampingnya. Sedangkan rumahnya terbuat dari
kayu. Hampir seperti rumah panggung tapi lebih rendah dan gayanya lebih ke
rumah jawa.
Siapa di situ? suara serak terdengar entah dari mana.
Aku langsung terdiam kaku lagi sama seperti melihat ular tadi. Haruskah aku
lari karena telah lancang masuk ke rumah orang tanpa permisi? Tidak. Aku
tidak boleh takut. Aku sudah sampai di sini dan rasa penasaranku belum
terjawab semua.
Ma-af, pak. Na-ma sa-ya An-di-ni.

Sosok tua dengan topi bercadar jaring-jaring datang menghampiriku.


Bagaimana ini. Kaki ku sama sekali tidak bisa digerakkan.
Halo Andini. Ada perlu apa kemari? tanya sosok tua itu sambil membuka
topinya.
Ma-af pak. Sa-ya te-tang-ga ba-ru di si-ni. Ha-nya mam-pir ber-kun-jung.
Apa kau mengunjungi setiap rumah yang ada di sini hah? Wajahnya sudah
ada 10 centi di depanku.
Ti-ti-ti-dak, pak. Sa-ya me-li-hat pa-gar ru-mah ini. Be-da da-ri yang la-in.
Ja-di sa-ya ma-suk ka-re-na i-ngin ta-hu.
Ah, penasaran rupanya. Kau bukan mata-mata kan?
Bu-bu-bukan. Sa-ya ba-ru ber-umur 9 ta-hun. Ma-na mung-kin sa-ya matamata.
Kalau begitu selamat datang, Andini.
Sosok tua itu berdiri tegak dan menyodorkan tangannya. Dengan sedikit raguragu, aku menyambut tangan itu. Seketika rasa takutku hilang karena sosok tua
itu tersenyum ramah.
Panggil saja aku, kakek Alam.
Maaf ya kek, saya datang tiba-tiba.
Tidak apa-apa. Sudah lama tidak ada anak kecil yang berkunjung kemari.
Kamu suka madu? Ayo kita ke belakang sana. Pekerjaan kakek belum selesai.

Kakek Alam mengajakku ke belakang rumahnya. Di sana ada sarang lebah yang
terbuat dari batang pohon kelapa yang di lubangi tengahnya. Kakek Alam
memberikanku kain jaring untuk menutupi badanku.
Kakek cuma punya satu topi jaring. Jadi biar aman, kamu pakai ini saja. Biar
tidak disengat.
Dari balik jaring aku melihat kakek Alam mengambil beberapa sarang lebah.
Tangannya sudah dilindungi sarung karet, jadi aman. Dia membersihkan sarang
itu dari lebah-lebahnya lalu menaruhnya di sebuah keranjang.
Ayo kita ke depan. Jangan sampai lebah-lebah itu menyerang kita.
Aku mengikuti kakek Alam menuju meja di bawah pohon mangga yang ada
ayunannya itu.
Kakek mengambil beberapa benda ya. Kamu main ayunan saja dulu.
Kakek Alam masuk ke dalam rumahnya. Sedangkan aku berayun-ayun dengan
hati yang sangat senang. Di lingkungan gang yang menjemukan ini, ada sebuah
tempat yang menarik. Jauh lebih menarik daripada tempat bermain di mall.
Hei jangan melamun. Nanti kemasukan setan.
Memangnya setan itu benar-benar ada, kek? Seperti apa wujudnya? Apa seperti
di TV-TV?
Ah, kamu kebanyakan nonton televisi. Dasar anak jaman sekarang.
Kakek Alam memotong bagian sarang lebah yang ada madunya dan
mengumpulkan di sebuah baskom.

Ini coba sedikit. Kakek alam menyodorkan sepotong kecil sarang lebah.
Wah, enak sekali. Pertama kali merasakan madu langsung dari sarangnya.
Rasanya beda ya kek dengan madu yang pernah aku minum. Terkadang ada rasa
jeruknya lagi.
Inikan madu asli. Bukan madu pabrik, kata kakek Alam agak ketus sambil
memeras sarang lebah lalu menyaringnya. Hasilnya disimpan di sebuah toples
kaca.
Oya, kakek sendirian di sini?
Iya kakek hidup sendiri tapi banyak hal yang bisa dikerjakan di sini.
Lalu kenapa kakek bilang tak pernah ada yang berkunjung kemari?
Memang tidak pernah ada setelah sekian lama, kecuali pak pos. Makanya tadi
kakek curiga ada orang lain tiba-tiba datang kemari. Kakek kira mata-mata
yang dikirim untuk menyelidiki kakek.
Mata-mata?
Iya, mata-mata yang dikirim seorang makelar tanah yang ingin membeli tanah
kakek. Tapi itu sudah lama dan anak seumuranmu tidak mungkin mata-mata.
Iya kan Andini?
Tentu saja aku bukan mata-mata. Asal kakek tahu, aku adalah bajak laut!
Seorang petualang yang mengarungi semua lautan!
Aku turun dari ayunan dan memperlihatkan gaya pemberani seorang bajak laut
yang sedang berdiri di atas kapalnya.

Bajak laut? Kamu tahu darimana?


TV, jawabku nyengir.
Ah, apa saja yang kamu dapat dari benda kotak itu?
Beberapa hal, jawabku ragu.
Sudahlah. Kau mungkin bisa melihat ikan-ikan di TV tapi tidak bisa
memancingnya bukan? Ayo kita ke kolam sana.
Kita akan mancing, kek?
Iya.
Aku berjalan dengan melompat-lompat. Kakek Alam mempunyai sebuah kolam
ikan seluas kamar tidurku. Ini pertama kalinya aku memancing dan tak lama
aku mendapat ikan mas seukuran telapak tangan kakek Alam.
Wah, ikan pertamaku!
Kakek Alam tersenyum sambil memasukkan ikan ke dalam keranjang. Selama
beberapa jam kami duduk sabar dengan alat pancing di tangan. Hasilnya
beberapa mujair dan ikan mas.
Ayo kita bakar ikan.
Aku senang sekali. Sebentar lagi kami akan membakar ikan. Tapi hari sudah
sore. Dua jam lagi orang tuaku pulang, kalau dilihat dari jam tanganku.
Kenapa kamu memandangi jam mu terus, Andini?
Sebentar lagi orang tuaku pulang, kek.

Kamu tidak ijin pada mereka?


Tidak. Aku tidak boleh keluar rumah selama ayah dan ibu bekerja.
Ya sudah. Setelah bakar ikan, kakek antar kamu pulang.
Benar kek?
Iya. Ini pertama kalinya kakek keluar lagi setelah sekian lama.
Hatiku jadi tenang kembali. Kakek Alam memintaku untuk mengumpulkan
ranting dan daun kering yang ada di halaman. Sementara itu Kakek Alam
membersihkan ikan hasil tangkapan kami.
Kakek, segini cukup?
Cukup. Cepat kemari, kita harus segera membakarnya selagi masih segar.
Kakek pun menyalakan api dari ranting dan daun kering lalu menusuk ikan
dengan tusukan bambu.
Sini. Ini bagianmu.
Aku mengambil ikan yang disodorkan kakek. Kami berdua berjongkok ria di
dekat api unggun kecil.
Senang sekali bisa makan ikan tangkapan sendiri!
Kamu ini. Apa-apa senang.
Iya, kek. Aku kan tidak pernah mancing apalagi bakar ikan. Rumah kakek
memang menyenangkan!

Juga mengenyangkan. Beberapa minggu lagi mangga kakek akan berbuah.


Kamu bisa datang kemari. Kita panen bersama.
Asyik. Tapi besok aku boleh main ke sini kan kek? Masih liburan sekolah. Aku
bosan sendirian di rumah.
Boleh. Asal kamu minta ijin dulu pada orangtuamu.
Baik, kapten! teriakku sambil memberi hormat.
Kami tertawa riang. Tak terasa hari sudah senja. Waktunya untuk pulang.
Sebelum itu,

kami membersihkan sisa api unggun. Kakek Alam juga

membungkuskan beberapa ikan bakar tadi dengan daun pisang. Katanya buah
tangan untuk orang tuaku. Dan seperti janjinya, Kakek Alam mengantarku
hingga depan rumah.
Tak lama kemudian orang tuaku pulang. Aku memberikan bungkusan itu pada
ibu. Lalu sepanjang makan malam, aku bercerita tentang rumah kakek Alam dan
apa saja yang kami kerjakan hari ini. Ayah hanya tersenyum sedangkan ibu
terlihat agak khawatir.
Besok aku main ke sana lagi ya, Yah, Bu?
Iya. jawab ayah.
Tapi kami harus mengantarmu kesana sebelum berangkat kerja. Ibu harus
berkenalan dengan kakek itu dulu, tambah ibu.
Ok. Tak kenal maka tak sayang. Ibu jangan khawatir. Di sana jauh lebih aman
dan menyenangkan daripada di mall.
Semoga itu benar. Ya sudah, sekarang kamu tidur, kata ibu.

Sebelum tidur, aku membayangkan apa lagi yang akan aku kerjakan esok di
rumah kakek Alam. Pastinya tak terduga dan menyenangkan. Kembali lagi pada
alam.

BULAN DI LANGUAN ROOM


Hujan rintik di kala itu. Susah sekali mencari tempat berteduh di kompleks
perumahan yang semuanya berpagar besi tinggi kokoh terkunci. Rata-rata
rumah di perkotaan memang didesain begitu tertutup dan individualis. Masalah
keamanan juga yang semakin susah didapat semenjak jaman semakin global dan
rumit.
Setelah melewati rumah ke sepuluh, aku melihat ada semacam gang sempit
sekali antara rumah sepuluh dengan rumah sebelas. Gelap dan sunyi. Gang apa
itu, mungkinkah hanya sebuah space kosong yang tak termanfaatkan akibat
salah membangun atau hanya saluran air? Belum selesai aku menebak, titik-titik
sinar bermunculan. Apa

mungkin di kota besar ini kunang-kunang

bersembunyi di lorong sempit? Mungkinkah itu? Kepalaku bertanya-tanya


terus.
Pemandangan ini langka. Saking takjubnya membuat ku lupa diri. Aku berjalan
menuju titik-titik sinar yang lambat laun semakin menjauh. Aku tersandung
sesuatu hingga terjatuh. Lututku dan kulit di tulang kering memar.
Pandanganku langsung buyar. Kini aku terfokus pada benda yang telah
membuatku jatuh. Benda sialan apa itu belum berhasil mendapatkan jawaban
karena di sekitar gelap, benda itu mengeluarkan cahaya dan terbelah menjadi
dua. Sebuah batu berkilau sebesar bola sepak membelah diri vertikal. Cairan
lengket keluar dari batu itu juga sebuah kunci. Ah seperti cerita fantasi saja tibatiba aku berada dalam kejadian diluar akal dan aku mendapatkan sebuah kunci?

Kunci, berarti aku akan membuka sebuah pintu. Klise sekali. Semua orang juga
tahu kecuali para pencuri yang harus mencongkel untuk bisa masuk ke rumah
target. Tapi kenapa hanya kunci? Dimana peta. Seperti bajak laut, aku harus
mempunyai peta untuk mencari harta karun. Lalu aku harus kemana? Di sini
hanya ada kunci dan tak ada peta. Apa aku harus berjalan lurus ke depan.
Sepatuku penuh cairan lengket. Aku tak bisa menggerakkannya. Ku tengok ke
belakang, di sana gelap sekali seakan aku sudah berjalan jauh. Seperti lorong
tapi telah tertutup. Titik-titik sinar pun sudah tak tampak lagi hanya batu yang
bersinar. Aku berdiri kaku. Ku kalungkan kunci itu di leher. Seperti benda ajaib
lainnya dalam cerita yang tak secara sengaja kita tahu bagaimana
menggunakannya, maka saat ini kunci itu bersinar. Dia bergerak ke depan
seolah memintaku untuk mengikutinya. Tapi apa daya aku tak bisa beranjak. Ku
sentuh sedikit cairan itu dan ternyata tidak lengket sama sekali. Kulepas celana
jeans ku juga sepatu. Cairan tersebut tidak lengket di kulit. Ah macam iklan
lotion saja.
Kunci itu menuntunku. Kini aku hanya mengenakan celana pendek, kaos dan
tas ransel. Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan jeans dan sepatu
kesayanganku yang diberi oleh seorang sahabat. Kira-kira aku dibawa kemana
oleh kunci ini? Tak lama aku mendapat jawaban. Sebuah pintu kayu dengan
ukiran tulisan, Languan Room.
Ya jalan komplek perumahan ini memang bernama Languan. Lalu ada apa di
Languan Room itu. Aku berpikir secara bodoh, Languan itu nama jalan, Room itu
kamar. Kamar Languan? Kenapa ada sebuah kamar di antara rumah sepuluh
dan sebelas? Selama ini aku tidak pernah tahu kalau ada kamar di gang sempit

ini. Jangan-jangan ini adalah sebuah tempat rahasia untuk bersenang-senang


seperti di Jakarta Undercover? Ah tapi semuanya terlalu tidak masuk akal.
Karena aku teralu lama berpikir di depan pintu, kunci bergerak sendiri mencari
lubangnya. Beberapa konsep di dunia ini seperti persenggamaan. Lubang pintu
dan kunci, alu dan palung, stop kontak dengan colokannya, gredelan pintu atau
jendela dan masih banyak lagi. Pikiranku kacau lagi. Mungkinkah aku bertemu
seseorang yang bisa membangkitkan nafsuku akan persetubuhan. Segala yang
indah, ajaib dan di luar akal sehat menghilang dari pikiranku. Persetubuhan,
hanya itu yang ada. Pintu baru sedikit terbuka, lalu aku jatuh pingsan.
***
Aku terbangun di kamarku sendiri.
Ayo sarapan dulu. Aku harus di kantor setengah delapan.
Kekasihku telah menyiapkan nasi goreng lengkap dengan telur dadar karena
aku tidak suka telur mata sapi.
Aku pulang jam berapa semalam?
Entah. Aku tidur duluan. Badanku rasanya remuk. Akhir-akhir ini meeting
dengan klien terus. Mana bulan ini target penjualan naik. Aku baru memenuhi
setengahnya.
Mungkin kejadian semalam hanya mimpi. Terakhir kuingat, pintu kamar itu
terbuka. Sebelum sempat masuk, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Tapi aku
juga tidak ingat setengah perjalanan menuju rumah kontrakan.
Sayang, nasinya jangan dipandangi saja.

Maaf.
Ada masalah di kantor?
Masalah? Selalu ada. Itulah hidup.
Perusahaan selalu menuntut lebih dari pegawainya. Aku sudah selesai.
Berangkat dulu ya nanti ketinggalan bis.
Usai menciumku, ia menghilang di balik pintu.
Sembari sarapan, aku menyalakan TV supaya tidak terlalu sepi. Tak ada
tontonan yang menarik. Berita pagi juga. Paling yang ku perhatikan hanya
prakiraan cuaca dan info lalu lintas. Siapa tahu ada perubahan cuaca misalnya
tiba-tiba badai tornado, turun salju atau kejadian aneh lainnya yang tak
mungkin terjadi di belahan tropis ini. Siapa tahu juga ada orang-orang demo
yang sekarang lebih membuat jalanan menjadi macet daripada membuat sebuah
perubahan. Kenapa bukan arak-arakan atau semacam karnaval bikini saja?
Setidaknya mata para pemakai jalan yang setiap harinya berhadapan dengan
kemacetan mendapat sedikit tontonan segar.
Sepertinya aku mengharapkan terjadi hal-hal di luar kebiasaan. Dimana orangorang lebih banyak tersenyum daripada berkerut. Lebih banyak orang yang
bernyanyi daripada memerintah orang atau berteriak nada sumbang seolaholah membela rakyat jelata. Kalau disuruh hidup melarat, mana mau mereka.
Tak ada kemacetan, orang-orang melayang dengan balon udara sebagai
transportasi masal sedangkan yang individu naik kuda warna-warni. Bagi yang
jomblo menunggang sendiri, yang sudah punya pasangan menunggang berdua.
Mungkin saling menunggangi, atau saling menunggingi? Lama kelamaan nasi

goreng ini terasa seperti nasi gudeg yang gurih. Lengkap dengan krecek dan
krupuk udang.
***
Hari ini aku lolos dari lembur. Si bos ulang tahun, jadi semua pulang lebih awal.
Kadang aku berharap kalau si bos ulang tahunnya tiap hari.
Turun dari bis, aku harus jalan lagi melewati kompleks perumahan. Aku jadi
ingat kejadian kemarin. Sebentar lagi rumah ke sepuluh. Jantungku berdegup
kencang. Ragu-ragu untuk menoleh tapi rasa penasaran lebih mendominasi.
Gang itu ada, lengkap dengan sinarnya. Aku lepas dulu sepatu dan celana
supaya tidak terkena lendir aneh. Tapi kuncinya dimana? Aku sudah berada di
depan pintu itu. Tunggu, seperti ada yang bergerak-gerak di kantong celanaku.
Saat kurogoh ternyata kunci itu. Langsung saja ku buka pintu. Kakiku belum
melangkah, aku sudah disedot masuk.
Pertama yang terlihat hanya sinar-sinar putih. Kekuatan yang menyedotku itu
begitu kencang sehingga aku tidak bisa melihat apa-apa dengan jelas.
Kemanakah aku akan diberhentikan. Mungkinkah aku bisa keluar dari tempat
ini? Seketika rasa takut menyergap pikiranku. Belum ada tanda-tanda berhenti.
Aku memejamkan mata berharap ketika aku buka mata lagi, aku sudah berada
di kamarku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa.
***
Sayang, ayo bangun.
Aku dimana? tanyaku tanpa membuka mata.

Tentu saja di rumah. Memang kami pikir dimana?


Aku melihat gang itu lagi. Aku sudah masuk ke dalam kamar itu. tiba-tiba aku
ngelantur masih dengan mata tertutup.
Gang? Kamar? Kau bermimpi ya?
Aku rogoh kantong celanaku dan ternyata kunci itu masih ada. Tidak. Ini
buktinya, kunci kamar itu.
Ayo bangun dulu. Buka matamu. Ceritakan dengan lebih jelas.
Dengan sangat terpaksa aku membuka mata. Masih dengan kepala agak pening,
aku ceritakan semua kejadian yang terjadi dua hari belakangan ini setiap pulang
kerja. Kekasihku memang mendengarkan tapi dengan ekspresi percaya tidak
percaya.
Aku tidak ingat kalau diantara rumah itu ada gang. Mungkin juga tidak
perhatian. Kalau berangkat kerja, gang itu juga terlihat?
Tidak tahu. Kemarin pagi mana ingat aku kejadian malam sebelumnya.
Pikiranku hanya tertuju pada kantor.
Tiba-tiba terbersit ide untuk melihatnya saat terang. Aku pun mengajak
kekasihku untuk jalan-jalan pagi di sekitar kompleks. Kebetulan hari minggu.
Saatnya melepas sedikit penat dengan berolahraga.
Baiklah kalau begitu. Kamu ganti pakaian dan sarapan dulu, baru kita jalanjalan.
Kau masak apa hari ini?

Aku tidak masak. Ternyata warung sebelah jual nasi gudeg pagi-pagi.
Gudeg? Aku memikirkan makanan itu kemarin dan sekarang tiba-tiba aku
memakannya. Harapan menjadi nyata. Ah, mungkin hanya kebetulan saja.
Kenapa aku harus menanggapinya terlalu serius. Mending aku makan saja
karena sudah ada di depan mata.
***
Tidak ada gang di sini.
Ya, kau benar.
Lalu apa yang akan kita lakukan, Sayang?
Pulang. Aku lelah berjalan.
***
Ayo, Sayang bangun. Hampir gelap. Sudah saatnya makan siang.
Makan apa kita malam ini?
Terang Bulan.
Hanya itu saja?
Terang Bulan keju kesukaanmu. Aku bingung harus makan apa. Kau tidur
nyenyak sekali dari siang. Lalu mau mu kita makan apa malam ini?
Terang Bulan saja dulu.
Kau tidak mandi?

O iya. Untung kau ingatkan. Aku harus keramas. Rambutku lengket karena
jalan-jalan tadi pagi.
Jangan lama-lama ya. Terang bulang kejumu menunggu selagi hangat. Teriak
kekasihku dari ruang TV.
Usai mandi aku keluar dengan agak bingung. Aku masih saja penasaran dengan
gang itu.
Kenapa kau terlihat bingung, Sayang?
Aku masih penasaran. Siapa tahu ruangan itu hanya terlihat di malam hari.
Kau ingin mengeceknya sekali lagi?
Iya. Kita habiskan dulu Terang bulannya.
Entah karena memang lapar atau ingin segera melihat gang itu, aku melahap
martabak manis itu dengan sangat cepat. Kekasihku benar-benar pengertian.
Dia juga ikut menemaniku.
Ajaib memang. Gang itu ada. Bahkan kekasihku pun melihatnya. Dengan kunci
yang masih di kantong celanaku, kami pun masuk.
Berpegang erat ya. Akan ada angin yang menyedot kita.
Kami berpegangan sangat erat. Tapi tak ada angin. Hanya sebuah jembatan
besar menjulang beberapa meter. Kami pun berjalan mendaki. Setiba di ujung,
kami seperti melihat langit. Tempatnya begitu aneh. Dataran dan bukit-bukit.
Strukturnya tidak seperti tanah dan bopeng-bopeng besar menghiasinya. Lalu di
langit juga ada bintang dan sebuah bentuk bulat dengan dominasi warna biru

dan kabut putih. Tidak seperti bulan. Mungkinkah itu bumi. Lalu tempat ini
planet apa?
Kami berjalan sambil tetap berpegangan erat.
Sayang, ini bulan dan itu bumi?
Bulan? Mungkin saja.
Anehnya kami tidak perlu pakaian khusus seperti astronot untuk tetap bisa
bernafas. Kami juga tidak melayang-layang seperti Neil Amstrong yang kami
lihat di TV. Tanpa sadar jembatan yang mengantarkan kami ke tempat ini pun
perlahan hilang sementara kami takjub melihat semuanya.
Sempat aku berpikir ada alien yang akan menghampiri kami. Kukira itu hal
mustahil karena selama ini keberadaaan alien itu masih menjadi tanda tanya
para ilmuwan. Sebuah benda melayang. Ya itu alien, tiba-tiba menyambar kami
mengajak berkeliling. Keliling dunia itu sudah biasa tapi keliling bulan? Tak
pernah terpikirkan sekali pun. Ada apa saja di bulan? Tentu setahu kami, di
bulan itu tidak ada apa-apa. Alien itu mengajak kami menabrak sebuah bukit.
Aku sempat ketakutan sampai memejamkan mata. Ternyata kami menembus
bukit itu. Muncullah sinar-sinar berkilau dari berbagai tumbuhan. Di sisi kanan
banyak pohon seperti cemara saat natal tapi pohon ini tidak memerlukan lampu.
Masing-masing daunnya mengeluarkan cahaya yang berbeda-beda. Di sisi kiri
ada beberapa bangunan. Caf, perpustakaan dan gedung pertunjukan. Benarbenar tempat yang aku harapkan. Kami bisa menikmati hidangan caf di taman
pohon cemara lengkap dengan pemandangan langit dan bumi yang terlihat
begitu kecil.

Perpustakaannya pun tak kalah menakjubkan. Tidak hanya buku-buku secara


riil tapi juga digital. Bahkan di sesi museum, kami bisa jalan berkeliling di
museum virtual. Bahkan tempat-tempat bersejarah juga bisa kami kunjungi.
Gedung pertunjukkannya juga. Tempatnya tidak terlihat luas dari luar. Kami
hanya perlu mengambil tiket pertunjukan yang ingin ditonton lalu masuk ke
sebuah ruang seperti lift lalu kami diantar langsung ke kursi. Aku begitu senang
menikmati pertualangan yang benar-benar aku mimpikan ini tetapi kekasihku
terlihat begitu gelisah.
Kau terlihat gelisah. Ada apa?
Sudah berapa lama kita di sini?
Entah. Memangnya kenapa?
Apa tidak sebaiknya kita pulang?
Pulang? Pertunjukannya belum selesai. Kita juga belum menjelajahi semua yang
ada di sini.
Tapi aku ingin pulang. kau tidak akan tinggal di sini selamanya kan, sayang?
Tiba-tiba alien tadi muncul dan ruang pertunjukan berubah menjadi jembatan
yang awalnya kami lalui. Di depan kami sudah ada pintu keluar menuju bumi.
Tempat kami hidup sebelumnya.
Ayo kita pulang saja.
Aku ragu-ragu. Di sini segalanya ada dan begitu menarik.
Kau pulang saja lebih dulu.

Kekasihku hanya terdiam. Dia melepaskan tanganku dan berjalan menuju pintu
keluar. Dia hilang di balik pintu. Selanjutnya alien itu mengembalikanku ke
kursi pertunjukan tadi. Aku lanjut menonton ditemani jus jeruk yang segar.
Sebulan dua bulan tiga bulan.enam bulan aku di Languan Room. Aku sudah
lupa bagaimana dunia di luar sana. Kekasihku apa kabarnya. Aku jadi
merindukannya. Kenapa dia tidak pernah ke sini padahal dia tahu cara
menemukan tempat ini. Sepertinya aku akan menjenguknya. Tapi bagaimana
cara memanggil alien itu. Aku keluar dari gedung pertunjukan menuju ke ujung
jalan sebelah sana dekat pohon-pohon cemara. Tidak ada jembatan itu atau
pintu. Hanya ada cermin sebesar pintu. Aku melihat ke cermin itu. Pertama yang
terlihat hanya bayangan diriku. Lama-kelamaan pudar dan lebih terlihat seperti
kaca. Aku bisa melihat apa yang terjadi di depan gang. Orang-orang dan
kendaraan lalu lalang. Di sana sedang hujan. Bagaimana caranya aku keluar?
Pintu ini tidak bisa dipecahkan. Setelah kelelahan berusaha untuk memecahkan
kaca itu, aku pun terpaku melihat dunia luar sana. Kulihat ada seorang yang
berhenti dengan payung merah bunga-bunga. Itu kekasihku. Sepertinya dia
tidak bisa melihatku. Tak lama kemudian dia berlalu. Aku pun hanya bisa
berdiri terpaku.

KONTAK BATIN?
Siapa yang menyangka kalau aku memiliki kontak batin dengannya. Dengan
perempuan yang selama ini menemaniku. Meski kami bukan saudara. Bukan
juga teman sedari kecil. Hanya kenalan semenjak masuk kuliah, beda fakultas
malah.
Pertemuan kami juga biasa saja. Bertemu saat daftar UKM Teater. Aku fokus ke
musik sedangkan dia lebih condong ke penyutradaraan.
Kontak bathin itu berawal dari perasaan kami yang mulai tumbuh seiring
seringnya bertemu dan bersama.
Usai latihan, studio teater sepi. Tinggal kami berdua. Perbincangan seputar
konsep musik dan pementasan. Disana kami coba untuk saling melengkapi
sehingga kami bisa menciptakan banyak ide gila. Imajinasi kami berjalan lalu
berlarian bahkan berloncatan hingga memikirkan sesuatu yang belum tentu bisa
dipentaskan di panggung. Jarang kami bicara saling menatap. Hanya duduk
bersandar pada punggung.
Kau dengar bunyi-bunyi itu... mereka bergerak dengan tempo yang cepat.
Seperti musik suku pedalaman. Terdengar mistis. Ajaib sekali.
Kami mulai memejamkan mata.
Ya aku dengar. Beberapa orang berkumpul mengelilingi api unggun yang
berkobar. Menari seperti kesurupan tapi mereka sangat menikmati. Pesta pora
alam.

Wah.. kita juga ada disana. Aku memainkan gendangnya..


Dan

aku

menari

sambil

memberikan

aba-aba.

Mereka

bersorak..wu..ha..hu..hi..ho..
Tanganku mengetuk papan panggung. Ikuti irama aba-abanya. Menakjubkan
apa yang kami lakukan.
Semua terhenti ketika lelakinya datang menjemput. Semangatku berkurang
separuh. Dia hanya melambaikan tangan
Entah suara dari mana. Terbisikkan di telingaku, aku tak meninggalkan mu.
Hanya pulang untuk sementara..
Selamat istirahat kucoba berkata dalam hati meski tak tau apakah kata itu
tersampaikan atau tidak.
***
Malam selalu sendiri untukku. Tak berarti sepi. Malah aku suka tak ada suara
mesin kendaraan atau klakson yang memekakkan telinga. Bagiku itu polusi
bunyi. Bukan jenis bunyi yang aku suka. Jika aku terpaksa melewati padatnya
jalan, mp3 player jadi penyelamatku dengan volume tinggi. Semua telah tertidur
lelap, tapi masih ada bunyi-bunyi yang menemaniku dalam perjalanan pulang
hingga di tempat tidur.
Akhir-akhir ini tidurku dihiasi mimpi yang selalu berakhir klimaks. Tiap
bangun yang ada hanya lemas. Mimpi itu bersama perempuan yang sama tiap
malamnya. Seperti film seks semua berakhir pada persenggamaan. Biarpun
setting tempat berubah. Terbang tapi melelahkan. Bagiku bukan fantasi. Karena

aku tak pernah berniat memikirkannya ataupun membayangkan dan


perempuan itu entah siapa. Itu yang membuatku tetap mengantuk saat kuliah
dan mataku semakin sayu. Tampangku persis orang insomia dan anemia.
***
Perempuan dalam mimpi itu menjadi nyata. Tanpa kurang tanpa lebih. Dia
seorang pegawai di sebuah perpustakaan. Bukannya membaca buku yang aku
pinjam eh malah mengintip perempuan itu dari kejauhan. Disini dia terlihat
rapi tidak liar seperti dalam mimpi. Sayang dia berganti shift dengan pegawai
lain. Entah aku juga tak ingin mengejarnya.
***
Latihan kali ini penuh kritikan pedas dari sang sutradara. Beberapa pemain
perempuan menangis, memang manja. Tahun ke tahun pemain manja
bertambah satu. Berkembangbiak. Atau mungkin jaman sudah beda dan
membedakan. Tak jarang juga ada yang mengundurkan diri karena mentalnya
tak kuat. Aku pun kena sasaran.
Kalau aku sedang bicara tak boleh ada yang merokok!
Langsung ku matikan rokok yang baru setengah batang kuhisap.
Lagi dapat ya bu..godaku setelah studio sepi.
Kalau maksudmu datang bulan, kamu salah. Itu murni karena ketidakseriusan
mereka. Permainan masih dibawah standar saja belagak kayak artis papan atas.
Tadi masih mending daripada angkatanku dulu. Bisa-bisa kamu dilempar pakai

sepatu. Haruskah kita ikut memanjakan mereka hanya karena jaman sudah
berubah?! Jaman sudah manja apakah kita harus menambah kemanjaan..
Tetap saja tak seperti biasanya amarahmu meledak. Sudahlah, bu.. nanti juga
mereka mengerti.
Semoga saja. Sekarang orang-orang sudah tidak peka lagi. Oya kamu sudah
bertemu perempuan yang ada di mimpi mu? tanyanya seolah dia bisa membaca
pikiranku saat aku tak bersamanya.
Sudah. Di perpustakaan.
Sama atau beda?
Beda. Mungkin karena baru pertama bertemu.
Berarti kau ingin menemuinya lagi?
Sepertinya, ah dia membaca pikiranku lagi.
Sana pulang. Aku mau istirahat.
Memangnya lelakimu tak jemput?
Sepertinya tidak lagi untuk seterusnya..
Ayo aku antar...
Di jalan aku melihat matanya kosong.
Lihat saja ke depan. Tak usah memperhatikanku di spion... suara yang sudah
masuk dalam otakku.

Kucoba jawab dalam hati, Pegangan, aku mau ngebut biar pikiran tak kemanamana...
Aku benar-benar ngebut. Dia hanya memegang bahuku tetap dengan mata
kosong.
ada suara lagi, Kau mau tinggal bersamaku?
Spontan aku mengerem. Pas sekali di depan rumahnya.
Setengah berteriak, Benar?! Aku sedang ada masalah keuangan. Kebetulan
sekali.
Jangan sampai aku menanyakannya dua kali..
Mau! Mulai kapan...
Terserah..
***
Esoknya aku pindahan ke rumah sang sutradara. Tak terasa capek. Semangatku
membludak. Saatnya membeli cat untuk mewarnai kamar baru ku. Mumpung
sedang bersemangat.
Di persimpangan toko cat dan perpustakaan tempat perempuan itu. Aku
melihatnya. Beda sekali saat mengunakan seragam. Sekarang dia menggenakan
celana pendek,sandal jepit, tank top dan syal dilehernya. Benar-benar seperti di
mimpi. Dia berjalan menuju arahku. Saat melewatiku, dengan berani aku
tersenyum lalu mengiringi langkahnya dari belakang dan perlahan sejajar
dengannya.

Sepertinya

aku mengenalmu.. oya

pegawai perpustakaan.. aku lupa

mengembalikan buku. Hari ini aku ada pindahan.


Perempuan itu hanya tersenyum.
Maaf, tiba-tiba menyapamu. Boleh tau nomor telpon? Untuk konfirmasi buku
apa saja yang belum dikembalikan.
Ku pikir tak akan diberi. Mungkin untuk menyingkirkanku dia menyodorkan
kartu nama lalu mempercepat langkahnya mengejar bis.
Hari ini kau senang sekali. Jangan bilang karena serumah denganku atau
jangan-jangan ada kabar yang tak terduga?! tebak sang sutradara
Hari yang menyenangkan jawabku. Dia pasti sudah bisa membaca pikiranku
hari ini.
Sebaiknya kau segera mengecat agar nanti malam bisa istirahat. Jadi, kau bisa
menghubungi sebuah nomor.
***
Malam telah tiba. Warna gelap terang sudah melekat pada dinding kamar
dengan sedikit gliter. Ku rebahkan badan ke kasur yang lumayan empuk.
Halo.. saya yang tadi mengikuti langkah anda. Senang bisa berkenalan.
Ya ada apa?
Apa saya bisa tau berapa banyak buku yang belum saya kembalikan
Tunggu sebentar aku cek dulu di komputer
Kamu masih di perpustakaan? Sekalian saja sekarang saya kembalikan

Terserah kalau tidak buru-buru.


Dengan segera kupacu motor menuju perpustakaan. Cepat sampai berhubung
jalanan masih sepi. Napasku ngos-ngosan.
Kamu berlari dari rumah?
Tidak..ini bukunya. Kok lembur sendirian?
Ya.. masih ada sesuatu yang mesti kukerjakan berhubung aku santai malam ini
Malam itu istirahat bukan bekerja.
Bagiku ini bukan sebuah pekerjaan. Hanya main-main. Jadi, terasa
menyenangkan.
Oya aku mau minta tolong.. di rak pojok sana ada buku tua tentang musik &
bunyi. Kira-kira boleh dipinjam?
Sebenarnya tidak boleh. Kalau kau sangat ingin membacanya, kau bisa baca di
sini saja. Buku itu sudah tua jadi sangat riskan kalau dibawa kemana-mana.
Perempuan itu mengantarkan ke rak pojok. Dibukanya gembok yang mengunci
dan

mengeluarkan

beberapa

buku

dengan

sangat

hati-hati

lalu

menyerahkannya pada ku. Tanpa sadar aku begitu lama menatapnya. Dia juga
balas menatapku. Ada semacam arus darah deras mengalir dari otak ke tubuh
bagian bawah. Lalu kugelengkan kepala ketika dia kembali ke meja kerjanya.
Hingga tengah malam, aku masih membaca buku yang super dasyat itu.
Sepertinya terdengar terlalu sepi. Yah tak ada bunyi keyboard ditekan. Aku
melihat ke meja depan. Ternyata dia tertidur. Dengan berani aku
menghampirinya. Jantungku berdegub sangat kencang. Semua ingatan tentang

mimpi

terlintas satu persatu. Entah keberanian darimana aku mencium

bibirnya. Dia tersentak bangun lalu menatapku. Tak kualihkan sama sekali
mataku padanya. Dia balas mencium bibirku.
***
Entah kapan aku pulang. Aku sudah terbaring di tempat tidur. Apa yang
semalam hanya mimpi? Ku periksa buku-buku perpustakaan sudah tak ada.
Berarti aku benar-benar dicium olehnya. Lalu kenapa celanaku basah sama
seperti mimpi-mimpi yang lalu. Ah..
Menghilang kemana kau semalam?
Eh..menghilang semalam?
Iya..ku ketuk pintumu tak ada jawaban. Semalam ingin mengajakmu minum di
pantai.
Eh..ketiduran mungkin..
Bermimpi perempuan itu lagi ya?!
Sebenarnya aku sendiri bingung..
***
Malamnya aku menelpon perempuan itu lagi. Kini kami tak bertemu di
perpustakaan. Tepatnya janjian di pantai. Kami tak banyak berkata. Tak pula
bersuara. Hanya bergumul di atas pasir yang terasa lengket. Kami pun tak kalah
lengketnya bercumbu dan menyatukan lidah.

Terbangun di tempat tidur lagi. Aku lupa apakah mengantarnya pulang atau
tidak. Ada bekas pasir di seprai dan celanaku. Ini bukan mimpi lagi.
***
Ingin menemuinya di siang hari, aku ke perpustakaan. Karena sudah tak malumalu, kusapa dengan senyuman ceria. Aneh, dia hanya menoleh dingin dengan
keheranan lalu melanjutkan pekerjaanya di komputer. Ada apa ini? Aku tak
merasakan tatapan hangat semalam. Mungkin dia sedang sibuk dan tak ingin
diganggu pekerjaannya. Sebaiknya aku ke studio.
***
Hari ini pikiran mu dimana? Perempuan itu lagi
Iya..
Kamu menemuinya hari ini? Dia bersikap lain?
Aku heran. Hangat bisa berubah jadi dingin
Ya..seperti kopi. Mau?
Terimakasih. Entahlah aku tak mengerti. Nanti malam aku telpon lagi. Siapa tau
tadi hanya karena kerjaan.
Lama-lama kau terobsesi pada perempuan fantasimu..
Sejak kapan kau tau semua pikiranku
Entah..sejak pertama bertemu mungkin..atau sejak aku berkata padamu lewat
pikiran..
Ya.. aku masih ingat dua-duanya

Jadi masalah untukmu.. aku menikmatinya


Aku sering bertanya kenapa kau bisa baca pikiranku juga sebaliknya
Sepertinya belum saatnya membahas itu. Bagaimana perempuan itu. Kau suka
Ya. Sangat.
Seberapa besar dibanding musik
Sama besarnya
Pasti melelahkan. Setiap hari menumpahkan seluruh tenaga pada musik
selanjutnya pada perempuan itu.
Begitu melelahkan. Yang masih kupikirkan, perubahan sikapnya. Perempuan
selalu begitu?
Tidak juga. Lelaki juga bisa berubah mood
Kenapa kau melihatku?
***
Ini malam ketiga, aku menemuinya lagi. Malam yang semakin brutal. Dia
menghisapi seluruh tubuhku juga tenagaku. Bagaimana aku tidak terbang. Lalu
terdengar bunyi genderang cepat dan gemericik air. Hingga puncak gemericik
itu berubah menjadi deburan ombak dan meluruh di atas pasir.
Badannya lengket di tubuhku. kupejamkan mata. Terlelap.
Terbangun di kasur. Tubuhku telanjang. Persis seperti kemarin dengan bekas
pagutan di sana sini.

Kutemui perempuan itu lagi siangnya. Ku tunggu di depan perpustakaan.


Sikapnya sama dengan siang kemarin. Dingin. Sama sekali tak mengenalku. Aku
berteriak. Dia ketakutan dan lari menjauh. Ku kejar dan ku pegang tangannya.
Matanya penuh ketakutan. Ini bukan perempuan itu. Tangannya dingin. Tak ada
tenaga yang menarik jiwaku. Ini bukan dia.atau jangan-jangan.. aku berlari
menuju studio. Bukan untuk latihan. Ini sangat penting untuk mengetahui
semuanya.
Kau habis dikejar siapa?
Coba atur nafas dulu, Penjaga perpustakaan bukan perempuan dalam mimpiku.
jiwa kami bertolak belakang. Tatapannya juga dingin. Sama sekali tak
menghipnotisku. Namun kejadian itu begitu nyata dan ada bekasnya
Jangan sampai pikiran mengacaukan dirimu
Semuanya benar-benar nyata bagiku.. aku tak ingin dia meninggalkanku tibatiba.. kecuali pikiranku yang satunya benar akan hal itu.. bahwa kau..
Bahwa aku..
Bahwa kau sebenarnya perempuan itu..
Bagaimana bisa.. tebakan macam apa itu
Ya dirimu bisa membaca pikiranku. Kau membuatkan ku semua mimpi itu.
Makanya kau memintaku untuk tinggal serumah. Untuk membuat semua mimpi
menjadi nyata dengan masuk kedalam pikiranku. Ya itu dirimu.. kita memang
berbeda tapi pada belahan yang sama. Semacam kontak bathin. Kau
memanipulasi mimpiku menjadi perempuan itu. Dan kau tak sadar ternyata aku

bertemu perempuan itu dalam kenyataan. Kenapa kau mempermainkan


pikiranku,
Karena pikiranmu cepat berubah. Aku bisa masuk dengan mudah. Awalnya
main-main ternyata menyenangkan juga. Lewat pikiran aku benar-benar
menikmati tubuh juga rasamu
Pada siapa saja kau lakukan itu..
Hanya padamu. Seperti katamu kita ini berada pada belahan yang sama. Tapi
tidak untuk bersama. Tetaplah ke perpustakaan, lambat laun perempuan itu
akan suka padamu dan segala mimpimu akan jadi kenyataan. Tak lama lagi.
Karena dia diciptakan untuk hidup denganmu.
Tidak. Perempuan itu adalah dirimu. Tetaplah bersamaku
Tidak bisa. Sendiri, denganmu ataupun dengan orang lain bagiku sama saja.
Aku sudah terbiasa melepaskan apa yang aku suka. Bukan pengorbanan. Dari
sana aku akan mendapatkan hal yang lebih berharga
Termasuk melepasku?
Salah satunya..
Apa kau pernah merasa kehilangan atau ditinggalkan?
Pernah.. tapi aku tak akan bicarakan detailnya.
Sesuatu atau seseorang
Bukan sesuatu.. seseorang
Siapa? jangan bilang itu aku. Aku tak pernah meninggalkanmu

Jadi detail, ya hampir.. sejak kau memikirkan perempuan itu. Sudahlah,


sebaiknya aku segera berkemas. Aku akan pergi untuk beberapa waktu. Cukup
lama. Aku titip teater ini juga rumah padamu. Sampai jumpa.

SENJA DI BAWAH POHON JAMBU


Tujuh tahun yang lalu. Tepatnya hari sabtu. Mereka berpisah di bawah pohon
jambu menjelang senja yang membuat suasana tambah sendu. Wajah si lelaki
yang tegas tampak sedikit melemah. Juga matanya yang tajam, kini sedikit
berkaca-kaca. Sementara itu, si perempuan hanya terdiam kaku meski
bersandar pada bahu si lelaki. Mereka seperti tak punya waktu lagi. Mereka
merasa dunia akan kiamat besok.
Ingat sebulan lagi aku akan menikah, kata si lelaki memecah kesunyian.
Iya, jawab si perempuan.
Jangan hubungi lagi, kata si lelaki, mencoba tegas.
Tentu saja. Seperti biasanya, jawab si perempuan, seolah bukan hal yang baru
lagi.
***
Tujuh hari sebelumnya. Hujan deras mendera kota. Orang-orang bergegas
mencari tempat untuk berteduh. Termasuk Linda. Dia masuk ke salah satu caf
yang ada di pinggiran jalan. Kebetulan jam makan siang, jadi dia tidak perlu
segera kembali ke kantor. Dia memilih kursi yang dekat dengan jendela supaya
bisa menikmati hujan tanpa membasahi diri. Ketika pelayan datang, dia
memesan segelas coklat panas. Sesuatu yang bisa menghangatkan badan dan
menyenangkan hati. Cocok dengan suasana sekarang. Selagi menunggu
pesanan, Linda membuka-buka situs jejaring sosial dari tablet barunya.

Linda, seseorang memanggil namanya.


Secara otomatis, Linda mencari sumber suara itu. Seorang lelaki kurus tinggi
dengan rambut gondrong tak terikat, kaos hitam polos yang dibungkus kemeja
flanel, celana jeans tanpa robekan dan sepatu kets datang menghampirinya.
Tanpa basa-basi lelaki itu pun memeluk dan duduk di hadapan Linda.
Apa kabar? tanya lelaki itu.
Baik, jawab Linda masih dalam keadaan setengah kaget.
Aku tak menyangka bisa bertemu lagi, kata lelaki itu lagi.
Aku juga, jawab Linda singkat.
Keadaan terasa kaku. Linda mencoba untuk sedikit lebih santai.
Kabarmu bagaimana? Masih dengan band mu? Linda berusaha mencari-cari
apa yang bisa dia ingat tentang lelaki itu. Agak terdengar seperti basa-basi
sebenarnya.
Aku baik, tentu saja. Band? Sudah pergi ke laut, jawab lelaki itu kemudian
memesan kopi pahit ke pelayan yang sedang mengantarkan pesanan Linda.
Maksudmu?
Aku keluar dari band.
Kenapa? tanya Linda, kini mulai sedikit penasaran.
Mereka rela mengubah aliran musik dan lirik demi kontrak label. Biasa, seperti
band kebanyakan. Lelaki itu mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Kamu,
masih merokok?

Sudah jarang.
Kenapa? Kamu lebih gemukan sekarang. Lebih rapi juga.
Kamu sama sekali tidak berubah. Kecuali rambutmu, gondrong sekarang.
Ya, aku mesti rajin keramas, jawab lelaki itu sambil mengibaskan rambutnya
seperti iklan sampo. Berapa lama waktu yang kita punya sekarang?
Setengah jam lagi aku harus kembali ke kantor.
Kantor? Masih mendesain?
Iya kantor desain. Join dengan kakakku yang lulusan Arsitektur.
O. Lalu berhubungan dengan siapa sekarang? kembali lelaki itu bertanya
tanpa basa-basi.
Tidak ada.
Baru putus?
Iya.
Hm, tentu saja.
Apanya yang tentu saja?
Lelaki itu tidak menjawab. Dia malah asyik memainkan rambut Linda tanpa ijin.
Rambut ini tetap lembut. Untung tidak kamu potong karena frustasi.
Frustasi? Dirimu mungkin.
Aku? Tentu saja tidak. Ya, hanya sedikit depresi.

Jadi sibuk apa sekarang?


Tidak sibuk. Hanya sedikit bersenang-senang. Ada proyek musik. Bantu teman.
O.
Sejenak mereka terdiam sambil memandangi keadaan di luar yang masih basah
sehabis diguyur hujan.
Oya, aku ada tur. Sebenarnya sih hanya manggung di beberapa tempat di luar
kota. Sendiri. Lelaki itu memecah keheningan. Kamu bisa libur

minggu

depan?
Maksudmu?
Pasti akan menyenangkan bisa menghabiskan perjalanan bersama. Lelaki itu
diam sejenak. Ya, itu pun kalau kamu berminat.
Sebuah tawaran? tanya Linda.
Anggap saja begitu. Lelaki itu mematikan rokoknya yang hampir habis. Aku
tunggu di sini sabtu depan. Pukul 10 pagi. Sampai jumpa. Tanpa menunggu
jawaban, lelaki itu beranjak dari kursinya meninggalkan Linda yang belum
sempat berpikir untuk menerima atau menolak tawaran itu.
***
Sabtu depan. Linda sudah duduk lagi di meja caf yang sama. Dia sedang
menunggu kedatangan Doni.

Pekerjaan di kantor tidak terlalu banyak,

kakaknya mengijinkan Linda untuk libur. Dia sendiri tidak habis pikir kenapa
datang lebih awal 30 menit dan percaya begitu saja pada perkataan Doni
tentang perjalanan bersama. Sudah lama mereka tidak bertemu pasca

perpisahan yang tanpa ada suatu kejelasan. Lebih tepatnya Doni menghilang
begitu saja dari hubungan mereka yang putus-nyambung.
Lamunan Linda terganggu oleh kedatangan Doni. Ternyata dia tidak ingkar
janji.
Sudah lama?
Tidak, jawab Linda berbohong.
Baguslah. Kita berangkat sekarang?
Terserah.
Baiklah. Ayo.
Di depan caf terparkir sebuah motor tua. Doni memberikan helm pada Linda.
Ada jaket atau sweater? tanya Doni melihat Linda yang hanya mengenakan
kaos polos dan jeans.
Linda tersenyum lalu menggelengkan kepala.
Baiklah kalau begitu. Doni mencari-cari sesuatu di tasnya. Pakai ini, kata
Doni menawarkan sweaternya.
Terima kasih.
Ayo naik.
***
6 hari kemudian. Linda tampak mengenakan terusan putih bunga-bunga merah
muda. Wajah Linda jauh lebih ceria dari sebelumnya. Di tangannya sebotol bir

dingin untuk sekedar membasahi kerongkongan. Dia duduk di dekat mini bar,
melihat Doni yang sedang larut dengan permainan gitarnya. Sesekali Doni
melihat ke arah Linda memberikan senyuman. Linda pun membalasnya sebagai
tanda bahwa dia juga menikmati suasana.
Sudah 6 hari Linda menemani Doni tur. Dari manggung di caf, acara teman,
beberapa event di kampus dan malam ini di bar sebuah hotel dekat pantai.
Banyak tempat, tapi Linda tak terasa melelahkan. Malahan dia senang karena
bisa bertemu orang-orang baru, merasakan suasana yang akrab dan
kekeluargaan ketika di acara temannya Doni, perjalanan yang penuh lika liku
dari diguyur hujan hingga pecah ban sampai kehabisan bensin. Semua begitu
menyenangkan bagi Linda. Dia sudah lupa bagaimana sakit hatinya dulu.
Pertemuan kembali ini membuat dia merasa bahwa mereka memang tidak bisa
terpisahkan. Perasaan Linda seperti tumbuh berkembang lagi. Terasa jauh lebih
kuat daripada sebelumnya.
Bagaimana permainanku barusan? tanya Doni ketika menghampiri Linda.
Bagus seperti biasanya.
Kau memang penggemar setiaku, canda Doni.
Dasar. Narsis.
Tapi benar kan? Ayo kita jalan-jalan. Malam ini terlihat begitu indah. Siapa
tahu bulan menyapa.
Linda menurut dan mengikuti Doni dari belakang. Tetap seperti biasa, Doni tak
pernah menggandeng Linda di depan umum. Linda juga tidak pernah menuntut
harus berpegangan tangan dan semacamnya jika sedang bersama banyak orang.

Di pantai, barulah Doni mendekap Linda.


Lihat bulan jadi terlihat manis.
Linda diam sambil menatap bulan.
Wajahmu juga jadi begitu bercahaya.
Tapi jangan samakan seperti bulan, protes Linda.
Tentu saja. Kau jauh lebih indah
Linda tersipu.
dan lebih dekat.
Ah, mulai,
Linda melepaskan tangannya. Sementara itu Doni tertawa.
Itu kenyataan, Lin. Bagaimana mungkin aku bisa mendekap bulan. Neil
Amstrong saja cuma menginjakkan kakinya.
Sudah sana. Tak usah dekat-dekat. Kau merusak suasana.
Serius? Besok hari terakhir perjalanan kita! teriak Doni karena Linda semakin
jauh.
Linda menghentikan langkahnya supaya bisa disusul Doni. Ya, besok mereka
akan pulang. Tiba-tiba Linda merasa sedikit sedih.
***
Esok harinya di tengah perjalanan, mereka istirahat di bawah pohon jambu
menjelang senja.

Lin, tiba-tiba wajah Doni terlihat serius.


Iya, jawab Linda sedikit khawatir. Dia merasa tanda-tanda tidak mengenakkan.
Sepertinya, kita tidak harus berhubungan lagi.
Maksudmu?
Dia kembali hari ini. Aku akan punya anak, Lin. Janinnya 3 bulan.
Lalu, apa maksudnya semua ini? Perjalanan ini? Linda berusaha untuk sebiasa
mungkin.
Maaf. Aku terlalu senang saat melihatmu lagi di caf. Spontan aku ingin
melewati perjalanan ini bersama. Doni diam sejenak. Tiga bulan yang lalu
kami bertengkar hebat. Aku siap menjadi ayah tapi belum untuk menikah. Aku
panik dan bingung saat itu. Aku seperti tak bisa berpikir hingga menamparnya
saat dia mulai berteriak soal nikahi aku. Lalu dia pergi dan tak ada kabar berita
sama sekali. Ku pikir dia tidak akan kembali.
Dan sekarang kau sudah siap?
Mungkin. Mau tidak mau.
Baiklah. Berapa lama lagi waktu yang kita punya? tanya Linda.
Tak banyak. Sehabis mengantarmu pulang, aku segera ke bandara
menjemputnya, jawab Doni.
Linda menyandarkan kepalanya pada bahu Doni. Dia sudah bangun sekarang
dari mimpi menjalin hubungan kembali. Tamparan untuk kesekian kalinya. Tapi

entah kenapa kali ini terasa begitu datar bagi Linda. Tidak seperih dulu. Meski
begitu, Linda masih saja ingin melewati momen terakhir bersama.
Mari kita menikmati senja sejenak, kata Linda.
***
Tujuh tahun kemudian.
Linda?
Sebuah suara menghentikan Linda untuk merapikan pakaian anaknya. Dia
menoleh ke belakang. Suara itu terdengar begitu familiar.
Anakmu?
Hai, Don, sapa Linda tanpa menjawab pertanyaan yang dimaksud.
Aku kebetulan lewat dan melihat anak mirip sekali denganmu, kata Doni.
Linda membiarkan anaknya berbaur dengan teman-temannya yang asyik
bermain pasir di tempat bermain di sebuah taman kota.
Awalnya percaya tidak percaya. Ternyata memang anakmu, kata Doni lagi.
Berapa umurnya?
5 tahun, jawab Linda sambil tetap memperhatikan anaknya.
Ayahnya? tanya Doni lagi tanpa basa-basi.
Linda diam sejenak. Ada di suatu tempat.
Maksudmu?

Linda menghela nafas. Ya, pastinya sedang berada di suatu tempat. Tepatnya
dimana, aku tak tahu.
Kok?
Sudahlah, Don.
Sepertinya kita berdua kurang beruntung soal hubungan. Apalagi soal
menikah.
Ya, mungkin juga.
Doni mengajak Linda duduk di sebuah bangku taman. Kemdian dia berkata lagi,
Asal kamu tahu, Lin. Aku tidak jadi menikah.
Tiba-tiba Linda memalingkan perhatiannya ke arah Doni.
Awalnya memang, mau tidak mau aku harus siap. Lamaran, persiapan akhad
nikah dan resepsi sudah setengah jalan. Tapi semuanya terlihat tidak mudah
bagi kami. Seminggu sebelum hari H kami bertengkar hebat. Lagi. Sebelumsebelumnya juga terjadi pertengkaran. Tanpa ada penyelesaian. Aku memilih
untuk pergi sejenak sementara dia kubiarkan memaki atau berteriak seenak
hati. Doni menghela nafas. Mungkin seperti bom waktu, akhirnya aku tidak
tahan lagi. Dia terdengar begitu cerewet dan sangat berisik. Ada saja yang dia
persoalkan. Aku gerah. Tanpa ingat kalau dia sedang hamil, aku menamparnya
dan menggoncang-goncangkan tubuhnya supaya dia diam. Tapi dia malah
semakin berteriak lalu berlari menelpon orang tuanya. Saat itu aku benar-benar
emosi, aku ambil ponselnya lalu kubanting dan menamparnya lagi. Tak lama
kemudian, orang tuanya datang menjemput dan membatalkan pernikahan

kami. Doni berhenti sejenak. Hingga anakku lahiran dan sekarang sudah mulai
sekolah, sekali pun aku tidak diijinkan untuk bertemu dengannya.
Entah kenapa, pasangan-pasangan sekarang terlihat semakin sulit dan rumit,
kata Linda tiba-tiba. Padahal memilih pasangannya sendiri. Berdasarkan cinta
lagi.
Doni tersenyum. Bagaimana dengan dirimu?
Terkadang terasa aneh ya. Ada yang sangat ingin bertemu anaknya tapi tidak
diberikan kesempatan. Ada yang memiliki kesempatan tapi malah menyianyiakannya.
Mungkin seharusnya kita
Sudahlah, Don. Semua sudah cukup.
Doni tak melanjutkan kalimatnya tadi. Dia mengganti topik pembicaraan.
Anakmu periang sekali.
Iya, dia seperti peri.
Bidadari, tambah Doni.
Oya bagaimana kabar projek-projek musikmu? tanya Linda juga mencari
topik yang lebih santai.
Menyenangkan, jawab Doni.
Tentu saja, kata Linda yang tahu musik adalah hidup Doni lalu dia kembali
memperhatikan gerak-gerik anaknya yang sekarang sedang bermain ayunan.

Kini desain dan anak adalah hidup Linda. Menurutnya itu semua sudah cukup.
Benarkah begitu? Ya mungkin saja. Semoga, pikir Linda. Antara dia dan Doni?
Semua sudah terkubur bersama senja di bawah pohon jambu. Tujuh tahun yang
lalu.

JANGAN JADI AKTIVIS, NAK!


Di siang hari yang panas, pak Rahmat setengah membanting remote TV ke sofa.
Kelihatannya dia sedang bosan dengan acara-acara yang disajikan oleh kotak
persegi itu. Kebetulan acaranya kebanyakan berita dimana channel satu dengan
yang lain hampir mirip. Hampir sama juga dengan yang kemarin. Hanya ada
sedikit perubahan. Kemarin yang diwawancarai pejabat A, sekarang pejabat B
dan besok pejabat C. Belum lagi berita demo yang hampir menghiasi tiap
harinya. Juga bentrok antara mahasiswa dengan aparat, dengan masyarakat atau
dengan sesama mahasiswa dari fakultas lain. Suasana jadi semakin gerah. Pak
Rahmat meminta segelas es teh pada istrinya lalu bertanya, Apa tidak ada berita
yang menyenangkan ya?
Ada, kata istrinya.
Apa? tanya Pak Rahmat lagi.
Harga sembako naik. Air, listrik, BBM juga akan segera naik. jawab istrinya
dengan santai.
Hah, menarik apanya?! Sebentar lagi ibu-ibu pasti akan ikut demo, kata pak
Rahmat bertambah kesal.
Pada siapa? Suami-suami mereka? pancing istrinya.
Tentu saja. Pada siapa lagi!
Lalu suami-suami demo pada siapa? Pemerintah? pancing istrinya lagi.

Kenapa Ibu bertanya seperti itu? tanya pak Rahmat.


Semua kan pada demo, para suami tidak ikutan?
Untuk apa juga ikutan demo. Buang-buang waktu dan tenaga. Belum tentu
yang disuarakan akan terealisasi. Belum tentu yang diteriaki ngerti. Parahnya
belum tentu yang demo ngerti apa yang mereka teriakkan, jawab pak Rahmat
lalu meminum es tehnya sekali teguk saking kesalnya. Kalau cuma mau
nampang di TV, mending bikin acara yang lebih berguna dan menyenangkan.
Misalnya, demo masak? Bareng Farah Quin? goda istrinya. Kenapa bapak
tidak demo pada atasan minta kenaikan gaji? Istrinya tidak berhenti
memancing pak Rahmat.
Memangnya selama ini uang belanja kurang? Pak Rahmat balik bertanya.
Tidak kurang tapi kan sebentar lagi semua-semua naik, masak gaji bapak tidak
ikut naik, jawab istrinya mengompori.
Asal ibu tahu, bapak ini termasuk pegawai tua di kantor. Minta naik gaji?!
Atasan hanya akan bilang, silahkan Anda membuat surat pengunduran diri.
Masih banyak yang akan menggantikan Anda. Pak Rahmat menghela nafas.
Sekarang banyak lulusan muda yang membutuhkan pekerjaan. Mereka mau
digaji seadanya dan kerja hingga malam tanpa ada istilah uang lembur. Apalah
artinya pegawai tua seperti bapak, terang pak Rahmat. Mereka benar-benar
mengacaukan jam kerja. Apa mereka tidak lelah sampai mau semalaman di
kantor?
Melihat pak Rahmat menjadi lesu, istrinya kemudian memijat bahu suaminya
itu.

Yamungkin karena mereka masih muda dan lajang. Tidak ada anak dan istri
yang harus dipikirkan dan menanti di rumah, kata istrinya coba menghibur.
Pak Rahmat diam sejenak teringat suasana kantor yang semakin ketat dan sengit
persaingannya. Lama-kelamaan dia lelah juga lalu berusaha melupakannya.
Selagi menenangkan pikiran dan menikmati pijitan sang istri, tiba-tiba anaknya
pulang.
Ami pulang, seru anaknya lalu mencium tangan orang tuanya bergantian.
Nah ini anak bapak. Baru dari mana?
Habis demo di kampus, Pak. Uang kuliah mau naik lagi ditambah biaya ini itu,
jawab Ami santai lalu masuk ke kamarnya.
Pak Rahmat mulai naik lagi.
Demo? Kenapa semua orang jadi suka demo? Sedikit-sedikit demo. Memangnya
tidak ada kerjaan lain?!
Ibu, Bapak kenapa sih? tanya Ami muncul dari kamarnya dengan handuk di
pundaknya.
Ibu diam teringat pembicaraan tadi.
Bapak tidak suka kamu ikut demo.
Memang kenapa, Pak? Ada yang salah?
Ami, duduk dulu sini.
Ami menurut. Dia duduk dekat bapaknya.
Mahasiswa kok demo terus. Belajarnya kapan? Mau jadi apa kamu?

Jadi sarjana hukum sesuai keinginan bapak. Ami ikut demo kalau tidak ada jam
kuliah kok, terang Ami supaya bapaknya tidak salah paham.
Bagus, puji pak Rahmat. Setelah sarjana kamu mau jadi apa? tanya pak
Rahmat lagi masih penasaran.
Pengacara, notaris mungkin ataujawab Ami agak ragu.
Bagus. Sebisa mungkin kamu harus sudah tahu mau kerja apa sebelum lulus
nanti. Biar tidak bingung dan linglung, potong pak Rahmat.
kerja di LSM atau LBH untuk membantu rakyat kecil yang tidak begitu mengerti
hukum, lanjut Ami menambahkan dengan nada suara yang mantap sekarang.
LSM? LBH? tanya pak Rahmat lebih memastikan bahwa dia tidak salah dengar
jawaban anaknya.
Iya, jawab Ami semakin mantap.
Aktivis?! Nada pak Rahmat mulai keras lagi. Jangan sia-siakan waktumu
apalagi nyawamu. Jadi aktivis paling banter sering bentrok dengan pejabat,
dipukuli aparat lalu masuk penjara. Dari diancam sampai diteror. Kalau kamu
diracuni atau ditembak di jalanan, gimana? Pak Rahmat semakin khawatir akan
keinginan anaknya.
Ah bapak ini ada-ada saja. Memangnya Ami sepenting apa sampai diterorteror.
Ya sekarang belum penting. Nanti kalau kamu sudah mulai menggeluti dunia
itu, dapat kasus yang menyinggung pihak atas, siap-siap kamu berhadapan
dengan banyak teror!

Tapi pak, itu kan seandainya. Belum tentu nanti begitu.


Buktinya banyak para aktivis tiba-tiba hilang. Katanya diculik. Sampai sekarang
banyak yang tidak diketemukan. Mungkin saja mereka telah mati dibunuh.
Syukur-syukur kalau bisa kabur dan menetap di luar negeri dengan identitas
baru. Pokoknya tidak ada tapi-tapi! Kamu tidak boleh jadi aktivis! Titik!
Ami hanya bengong mendengar keputusan bapaknya yang berapi-api itu.
Ami tidak tahu bapak kenapa hari ini. Tapi baiklah. Itu kan urusan nanti Ami
akan jadi seperti apa. Kalau begitu Ami mandi dulu, Pak. Gerah, kata Ami
beranjak ke kamar mandi.
Pokoknya jangan jadi aktivis, ulang pak Rahmat dengan nada yang lebih
rendah.
Pak Rahmat mencoba menenangkan diri lagi. Dia minta istrinya untuk memijit
di bagian kepala. Akhir-akhir ini kepalanya cepat mumet. Bikin sering naik
darah. Persoalan hidup semakin rumit. Apalagi berita-berita di televisi. Semakin
susah dimengerti. Belum selesai masalah satu eh sudah muncul lagi masalah
lain. Pengalihan isu katanya. Lucunya kok kasus korupsi miliar-miliaran
dialihkan dengan kenaikan harga bawang. Mungkin bau bawang lebih keras
daripada bau para koruptor. Cocok sebagai pengalihan supaya kasus korupsi
tenggelam. Lagi-lagi kok rakyat yang kena. Sengaja disibukkan dengan urusan
perut supaya tidak sempat mengkritisi pemerintah.
Sementara Pak Rahmat asyik mereka-reka pikiran di kepalanya yang sedang
dipijit sang istri, Ami sudah selesai mandi dan berpakaian rapi lagi. Dia
menghampiri kedua orang tuanya hendak berpamitan.

Kemana lagi ini? tanya Pak Rahmat penasaran karena anaknya baru saja
pulang.
Mau ke hutan Mangrove dekat by pass, Pak. Ada aksi solidaritas, jawab Ami
tenang. Ami pamit dulu ya, Pak, Bu. Doakan anakmu selamat di jalan.
Eits, apa maksudmu, Ami?
Tidak ada maksud. Ami hanya minta restu orang tua, terang Ami. Ami jalan
dulu. Teman-teman sudah menunggu di kampus, kata Ami setelah membaca
pesan singkat dari temannya.
Tunggu dulu!
Ami jadi ikutan setengah berteriak, Apa lagi, Pak? Nanti Ami telat nih.
Apa kamu lupa? Baru tadi kita bicara kalau bapak tidak suka. Sekarang malah
berangkat demo lagi!
Aksi solidaritas, Pak.
Apa bedanya. Awalnya cuma aksi terus nanti malah anarki! Sudah kamu diam
saja di rumah, perintah pak Rahmat.
Bapak
Tidak ada bantah membantah lagi! Sana kamu masuk kamar saja!
Melihat bapaknya yang tidak bisa diajak toleransi lagi, Ami masuk ke dalam
kamarnya.
Sudah, Pak. Jangan sekeras itu pada anak, kata istrinya.
Sabar bapak sudah kelewat batas. Ami harus dicegah sebelum dia jadi korban.

Tapi kalau anak dilarang begitu malah nanti sembunyi-sembunyi. Bagaimana


hayo?
Ah ibu ini. Ami kan selalu menurut padaku.
Bapak yakin? tanya istrinya sedikit meragukan.
Tentu. Ami kan anak bapak. Apa bapak terlalu keras padanya barusan? tanya
pak Rahmat baru sadar akan tindakannya.
Bisa dibilang ya. Memang kenapa?
Mendengar jawaban istrinya, pak Rahmat menyesal telah berteriak pada Ami
sekeras itu. Dia memutuskan untuk minta maaf dan menjelaskan bahwa
semuanya itu karena sayang orang tua pada anaknya. Kekhawatiran orang tua.
Pak Rahmat mengetuk pintu kamar anaknya. Tiga kali ketukan, tidak ada
jawaban.
Iya bapak salah tadi membentak Ami. Kamu berhak marah tapi jangan diami
bapak seperti ini.
Tetap tidak ada jawaban.
Ami tidur mungkin, Pak.
Ah, baru saja masuk masak sudah tidur. Tidak biasanya dia begini, kata pak
Rahmat penasaran masih di depan pintu kamar anaknya.
Buka saja pintunya. Coba cek, usul istrinya.
Sebenarnya pak Rahmat ragu untuk membuka langsung pintu kamar anaknya.
Apalagi Ami sudah besar dan memiliki privasi kamar. Rasanya kurang etis

masuk tanpa ijin. Tapi kali ini dia menurut saran istrinya. Dibukalah pintu
kamar Ami.
Ibu! Ibu! teriak pak Rahmat tiba-tiba.
Apalagi, Pak? tanya istinya dari dapur.
Ami tidak ada!
Apa maksudnya dengan Ami tidak ada? tanya istrinya lagi mendekat.
Lihat, kamarnya kosong.
Wah sepertinya ada yang kabur lewat jendela.
Pak Rahmat melihat jendela kamar Ami setengah terbuka.
Ini salahku, sesal pak Rahmat. Masak anakku kabur dari rumahnya sendiri.
Sudahlah, Pak. Tenang. Nanti juga Ami pulang.
Ibu yakin?
Yakin. Dia kan anak bapak. Sama kerasnya kalau sudah punya kemauan tapi
tak akan meninggalkan orang yang disayanginya, terang istrinya santai.
Pak Rahmat tersenyum mengingat sifatnya itu. Akhirnya dia memutuskan untuk
menenangkan diri lagi dengan selonjoran di sofa tanpa menyalakan televisi
tentunya sambil berharap perkataan istrinya benar.

KISAHKU YANG TERSEMBUNYI


Berencana ke tempat persembunyian. Menyepi. Tadinya ingin pergi sendiri, sebelum
muncul seorang teman tanpa pemberitahuan. Terpaksa aku mengajaknya.
Senang bisa liburan!teriak temanku ketika sampai di tempat.
Kok bisa dapat cuti? Setauku bos-mu tak bisa jauh dari sekretaris kesayangannya,
tanyaku lalu duduk disampingnya.
Berkat kerja keras dong! Gua ngancam ke bos. Kalau ga dikasi cuti, gua akan berhenti
jadi sekretarisnya.
Sadis kamu.
Habis gimana lagi, gua dah gerah dengan kelakuan si bos. Lo sih enak. Ke kantor ga
setiap hari, kerjaan bisa dibawa pulang.
Kebetulan dapat pekerjaan yang sesuai. Sesuai keinginan, kesenangan dan kebisaanku.
Memangnya kamu ingin pekerjaan seperti apa?
Masa lo lupa! Pengen jadi manajer artis.
Ga jadi artis sekalian?
Nggak ah. Terlalu diekspos! Pengennya sih biar banyak kenalan, bannyak link. Bisa
ketemu artis-artis. Kan seru. Kerja sambil ngeceng. Gua kan sudah 50 kali cerita ke lo.
Eh, gimana kabar kekasihmu itu?
Sibuk kuliah.
Kok betah sih pacaran jarak jauh. Lo di sini setia, sapa tau dia selingkuh!

Jangan mulai meracuni pikiranku. Berprasangka buruk, hidup tak kan tenang. Buangbuang energi. Lebih baik aku konsen ke pekerjaan,jawabku tetap berpikiran positif.
Berarti hubungan kalian ga serius dong?!
Temanku itu hampir membuatku tertawa.Serius bukan berarti melakukan hal-hal
aneh yang percuma. Seandainya dia menemukan pasangan yang tepat, aku akan
merelakan.
Hati-hati kejadian beneran lho.
Tiba-tiba kamu berubah menjadi wartawan infotaiment. Jadi kamu kesini hanya mau
tanya itu?
Ya enggaklah. Gua kan pengen liat tempat persembunyian lo. Tempat yang tenang, di
dekat pantai. Indah banget! Beruntung lo bisa nemuin tempat ini.
Kamu juga termasuk beruntung. Jarang-jarang aku mengajak seseorang kesini.
Lo emang sobat yang paling baik. Spontan memelukku.
Lepas pelukanmu. Aku mau buat kopi dan ambil es krim.
Es krim? Mau dong.
Aku beranjak ke dapur. Tempat yang begitu mengingatkanku pada kehangatan. Ditata
oleh kekasihku sendiri. Di setiap sudutnya terasa sentuhan, semangat dan inspirasinya.
Suka coklat atau stroberi?
Yang mana aja, jawab temanku dengan mata berbinar-binar. Tumben lo nyimpen es
krim.
Jaga-jaga. Ku siapkan es krim untuk temnku semangkok penuh. Setengah coklat,
setengah stroberi.

Jaga-jaga? Padahal kamu ga doyan.


Untuk kekasihku kalau dia datang kesini. Dia juga suka es krim sama seperti kamu.
Nih!
Makasih. Ngomong-ngomong kalau gua peluk, lo nafsu ga? tanya temanku sambil
menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya yang lebar.
Pertanyaan? tanyaku heran.
Harus gua kasi tanda tanya biar jelas ?! Jawab aja!
Makin ngawur kamu. Aku tak sepicik itu.
Tak tertarik padaku sama sekali?
Sadar nona, kelebihan es krim ya?!
Cerita dong. Kok bisa kalian jadian. Aneh dan langka!
Seharusnya kamu yang banyak cerita.
Ayolah...
Tak penting untukmu. Juga tak semua kenangan harus diceritakan. Biasanya kamu
yang banyak cerita. Aku pendengar setia, tak pandai bercerita. Kita keluar saja. Bawa es
krimmu. Makan sambil memandang pantai pasti lebih nikmat.
Laut selalu membuatku tenang. Jauh lepas dengan warna sejuk.
Gua jalan-jalan ya! Cari kerang-kerang cantik.
Sobatku berlari di atas pasir. Ku pandangi dia. Senyumnya merekah. Ingatkan pada
sosok perempuan di kejauhan sana.
*

Sekolah mulai ramai. Sepeda kuparkir sesuai tempatnya. Di sekolahku tak boleh bawa
kendaraan bermotor. Walau demikian, tetap saja terlihat kesenjangan sosial. Dari
sepatu, aksesoris, tas bermerek atau jemputan mobil mewah yang memacetkan ruas
jalan di depan sekolah.
Sampai kelas, temukan pemandangan setiap hari. Sekelompok cewek membahas mode
terbaru dengan majalah remaja metropolitan sebagai acuannya. Tak jarang mereka
saling menanyakan kekurangan masing-masing. Andai ada, mau di-make over lagi.
Setelah itu, berlanjut ke ramalan bintang terutama asmara. Dengan seru mereka
membaca lalu kegirangan jika asmaranya bagus. Usai ramalan zodiak, berlanjut ke
masalah cowok alias pacar masing-masing. Dimulai dari diajak date ke tempat mewah
super romantis hingga kelebihan sang pacar de el el.
Jadi ingat awal semester aku sempat tanya tentang 7 keajaiban dunia. Eh mereka malah
pergi menghindar. Jelas agak tersinggung. Soalnya mereka merasa paling keren dan
ter-uptodate di sekolah (Mengikuti perkembangan teknologi hanya sebatas ponsel
terbaru).
Sedangkan deretan yang lain, kumpulan cowok berkerumun. Pasti ada video bokep
teranyar. Dan satu lagi di sampingku.
Pinjem PR dong! Semalam begadang main PS di rumah.
Main PS sempat.
PR kan bisa dikerjakan di sekolah. Masalahnya, gua harus balikin PS-nya hari ini.
PR itu Pekerjaan Rumah.
Pokoknya gua pinjem sebentar.
Nih! Tapi jangan asal jiplak. Seperti kemarin, koefisien x kamu artikan tanda perkalian.
Malu sendiri. Diketawain satu kelas. Kalau tak paham, tanya aku.

OK deh! Ga asal lagi. Kali ini gua analisis kok.


Akhirnya aku jadi tukang koreksi dan menjelaskan PR matematika. Kesibukan itu
sempat terhenti saat ada selebaran pendaftaran anggota baru cheerleaders. Pastinya aku
tak tertarik dan selebaran itu kuberikan pada yang lain.
Gua ngerti sekarang.celetuk temanku.Selesai juga. Thanks ya.menggoreskan jawaban
terakhir lalu menyimpan buku di tasnya.Sebenarnya otak lo encer. Bisa kok jadi
bintang kelas ngalahin tu si kutu buku.
Aku masih kalah encer. Lebih senang seperti ini. Tenang. Setiap hari tak harus bingung
mencari buku PR dimana karena hampir separuh kelas bergantian meminjam. Juga saat
ulangan bisa mengerjakan soal dengan tenang. Ga ada gempa bumi.
Benar juga. Kadang kasian si kutu buku.
Pulang sekolah, di lapangan berkumpul beberapa cewek. Daftar anggota cheerleaders.
Ingin melihat audisi tersebut, aku menghentikan langkah. Ada sesuatu yang menarik.
Tapi hanya sebentar. Selebihnya hanya senior yang sok cool. Ah tak seru lagi.
Kulanjutkan rencana pulang.
*

Esoknya menjalani rutinitas sekolah lagi. Aku sedang kumat. Tak ikut PPKN. Bolos ke
perpustakaan. Cari buku lalu mensketsa poster di taman belakang sekolah.
Ehm, seingatku kelasmu sedang ada pelajaran, kata seseorang yang tiba-tiba muncul
dan mencoba mengingatkanku.
Bukan urusanmu,jawabku agak ketus.
Memang. Kalau mau bolos jangan tanggung-tanggung.

Terserah aku. Tak ada hubungannya denganmu. Mulai jengkel. Ku pandangani miss
Sok ikut campur.
Aku hanya memberi tahu. Kelihatannya dia mulai bingung mencari kata untuk
melawanku.
Daripada bingung, lebih baik kamu lanjutkan kegiatanmu. Tadi sedang apa?
Tak ada urusan denganmu.
Wah, balas dendam.
Siapa yang balas dendam. Aku tadi sedang mencari buku, jawabnya.
Ini? ku perlihatkan buku yang kupinjam dari perpustakaan.
Kok kamu tau? wajahnya semakin bingung.
Hanya menebak. Aku juga dapat tugas tentang Perang Dunia I. Ini. Aku sudah selesai
menyalin.
Terima kasih Kembali bersemangat. Dia membalikkan badan bergegas menuju
kelasnya yang tak jauh dari taman.
Tunggu!
Ada apa? Kali ini dengan senyuman.
Kamu yakin masuk cheerleaders? tanyaku.
Diam sejenak lalu menjawab,Sepertinya begitu.
Mendengar jawaban sepertinya begitu, terkesan dia sendiri tak yakin dengan
keputusannya. Tapi kulihat seolah dia senang. Berusaha untuk senang.
*

Terkadang aku suka pulang belakangan. Tak seperti yang lain, berlari dengan riuh
meninggalkan sekolah. Seperti terbebas dari tempat yang mengekang.
Sekolah sepi. Aku bisa berjalan dengan leluasa. Menikmati suasana hening yang tadinya
amat ramai.
Ketemu lagi. sapa seseorang di lorong.
Hari ini dua kali kau mengagetkanku.
Kok belum pulang?
Mulai terbiasa mendengarnya bertanya.
Asyik berada di sekolah saat sepi. Kamu?
Berusaha menjajari langkahku.Latihan cheers.
Jadi juga.
Memang kenapa? Ada yang salah atau aku tak pantas?
Tak kenapa-kenapa. Cuma senang saja melihatmu menari ketimbang menjadi
pemandu sorak.
Kamu pernah melihatku menari? Kapan?
Pernah sekali. Bercahaya dan indah. Gerakmu ibarat kunang-kunang.
Berlebihan. Aku memang suka menari tapi di sekolah tak ada wadah untuk
menyalurkannya. Ikut cheers juga karena masih ada hubungan dengan olah tubuh.
Ku kira hanya ingin populer atau tebar pesona ke anak-anak basket.
Sempit sekali.Wajahnya berubah kesal. Tak semuanya, membela diri.
Hampir kami berdebat.

Hari mulai sore. Langit berubah lebih teduh.


Aku traktir makan es krim ya?
Tak usah, jawabku singkat.
Entah, dia masih bersikeras. Ah, sekali saja. Es krim adalah favoritku. Dia menarik
tanganku.
Baiklah. Terserah kamu, jawabku pasrah. Tak enak menolak terus.
Gitu dong.
Berjalan sambil tertawa dan berlelucon. Dia membelikanku es krim rasa coklat.
Kuhabiskan dengan cepat.
Kau tak menikmati es krimmu.
Apa boleh buat. Daripada kubuang. Lebih tak menghargai.
Kamu beda dengan teman-teman. Sangat tenang. Tadinya kupikir kau pendiam dan
introvert. Ternyata enak diajak ngobrol. Dandananmu juga ga neko-neko. Jarang
bertemu cewek sepertimu.
Mendengar komentarnya aku hanya tersenyum sekaligus heran melihatnya begitu
bersemangat dalam hidup. Mungkin karena dia melihat dunia ini begitu indah dan
damai. Tak seperti aku yang hanya semangat jika sedang mendesain sesuatu.
Es krimnya enak. Saat sedih atau BT pasti jadi obat.
Tepatnya pelarian. Sama seperti cewek kebanyakan.
Ah, mulai lagi. Kadang kamu aneh. Punya pemikiran sendiri. Agak idealis.

Tahu aneh, masih juga ditraktir. Mungkin kamu dan orang lain melihatku aneh.
Sebaliknya, aku sering menganggap kalian yang aneh. Banyak tingkah kalian yang lucu
dan...
Raut wajahnya seolah menunggu jawabanku. Membuatku mengurungkan niat untuk
menyelesaikan kalimat yang tak sengaja terlontarkan.
Lanjutkan makan es krim saja.
Keseringan kamu ngomong setengah-setengah, katanya mulai menggugat.
Aku memang seperti itu. Awalnya ingin bicara panjang lebar. Lalu sadar semua orang
tak bisa mengerti segala cerita dan pemikiranku.
Wow...kamu semakin menarik. Banyak yang bisa kupelajari. tiba-tiba dia berubah
lagi.
Asal jangan dijadikan objek penelitian.
Lucu..
Semakin hari semakin menyenangkan bersamanya. Saling bersandar. Ku sangka hanya
sebuah persahabatan biasa. Tak pernah terbayang akan menjadi sejauh ini. Aku tak mau
menamai hubungan ini. Kalau dibilang hanya pertemanan, kami merasakan sesuatu
yang lebih. Untuk kali ini aku menurut padanya yang menginginkan agar aku
menganggap kekasihnya. Entahlah, tumben seperti ini. Sebuah misteri. Hanya saja
hubungan kami menjadi sebuah rahasia. Orang-orang memandang tak wajar.
*

Hallo...senyum-senyum sendiri. Lihat, aku dapat banyak kerang. Bagus-bagus. Jadi


kupungut semua, kata temanku membunyarkan lamunan.
Nanti ku bungkuskan.

Ponsel berbunyi.
Baru saja aku memikirkanmu. Sebuah suara riang terdengar dari seberang sana.

LAMUNAN MAKAN SIANG

Hai, namaku Donni. Donni Alamsyah. Lelaki berumur 26 tahun dengan karir
yang belum bisa menjanjikan.

Segala pekerjaan, apapun itu, harus dikerjakan dengan baik. Berat sedikit,
jangan mudah menyerah. Bekerjalah selaras dengan alam. Bangun ketika
matahari terbit, bekerja saat dia masih bersinar dan pulanglah saat terbenam
untuk istirahat.
Aku ingat sekali pesan itu. Pesan ayah yang sekarang sudah tenang di langit
sana. Seorang tukang pos dari jaman sepeda ontel hingga motor.

Executive Sales. Posisiku sekarang. Pekerjaanku yang ketiga. Sebelumnya aku


juga bekerja di bidang yang sama. Penjual software atau perangkat lunak untuk
hotel dan spa. Front office dan Back office software. Aku menawarkan ke hotelhotel dan spa. Presentasi, follow up lagi kalau tidak ada kabar, dan menunggu.
Begitulah siklus pekerjaanku. Intinya harus sabar. Syukur-syukur ada calon
klien yang berminat menggunakan software kami yang sebenarnya masih ada
beberapa kekurangan dan parahnya belum stabil. Aku juga tak tahu kenapa aku
mau menjualnya padahal produknya belum siap seratus persen. Aku juga tak
tahu apa yang ada di pikiran si Bos. Harusnya software diperbaiki dulu supaya
stabil barulah melempar ke pasar. Mana ada pembeli yang bertahan
menggunakan produk kami jika ditengah-tengah pemakaian nanti terdapat

masalah yang bisa mengganggu kinerja perusahaan mereka. Time is money.

Maintenance is cost.
Lima bulan saja aku bertahan di sana tanpa berhasil menjual paket software
apapun. Itu salah satu alasan aku keluar dari pekerjaan. Memang gaji pokok
tetap dibayar tetapi tidak ada bonus selama tidak menjual apapun. Padahal
lingkungan kerja lumayan baik, tidak seperti sebelumnya. Tetap di bagian
penjualan sih. Aku menawarkan ke beberapa hotel yang sedang membangun
untuk menggunakan furniture kami. Selama aku bekerja di lapangan tidak
masalah. Ketika tidak ada agenda keluar kantor itulah yang begitu
membosankan. Apalagi dengan lingkungan kantor yang begitu kaku. Rekanrekan lain seperti tidak menyukai satu sama lain. Persaingan ketat mungkin.
Kalau diperbolehkan, mereka pasti sudah saling terkam menerkam seperti
predator di alam liar. Mereka juga akan tega mengorbankan rekan lain seperti
persembahan suku Maya demi kepentingan diri sendiri. Bar-bar dan kanibal
terselubung dibalik rapinya pakaian kantor dan senyum palsu ramah pada
atasan dan pelanggan. Aku yang masih hitungan anak baru, tentu saja tak
pernah dianggap. Kesan senior-juniornya terasa sekali di sana. Itu yang
membuatku tidak betah.
Bosnya juga sangat aneh. Lima menit sebelumnya memuji, lima menit kemudian
sudah memaki-maki lagi. Tak jarang pula mengingkari hal yang sudah
disetujuinya tadi, jika dia rasa hasilnya tidak sempurna. Namanya Bos ya harus
begitu mungkin. Hal yang sangat wajar sebenarnya. Memang begitulah
realitanya. Seorang Bos, pemilik perusahaan sama seperti Raja Hutan. Dialah
yang berkuasa penuh. Dia yang menggaji karyawan. Padahal kalau semua
bawahannya pergi karena tidak tahan pada kesewenang-wenangan Bos, siapa

coba yang kerja? Siapa yang akan jadi roda untuk menjalankan perusahaan?
Perusahaan tidak berjalan, ya mati suri. Tidak ada penghasilan. Tapi kembali lagi
pada realita hidup dimana manusia bertambah banyak. Kita memerlukan
banyak hal untuk hidup. Untuk memenuhi segalanya itu, kita rela tetap masuk
ke perusahaan dengan Bos yang tingkat menuntutnya begitu tinggi meski
dengan gaji yang tidak setimpal. Ya, setidaknya bisa memenuhi sandang, pangan
dan cicilan papan. Jadi, sifat Bos yang memang harus demikian atau karena kita
sendiri yang membuat seorang Bos menjadi sediktator itu?
Sampai saat ini aku memang tetap bekerja di penjualan. Pekerjaannya agak
berbeda sedikit. Aku tidak perlu susah-susah mencari klien lagi. Perusahaan
sudah memberikan list pelanggan yang harus kutangani permintaannya. Aku
hanya tinggal memenuhi pesanan mereka. Kalau ada produk baru, tinggal
dipromosikan saja pada mereka. Aku bilang ke teman kalau pekerjaanku kali ini
lumayan menyenangkan. Dengan sambil lalu dia menimpali, ya kita lihat saja
berapa lama kau bertahan.
Aku jadi teringat ayah. Selama hidupnya beliau bekerja sebagai tukang pos di
kantor yang sama. Betapa kuat dan betahnya ia menjalani semua pekerjaannya
itu. Semoga saja karena beliau menyukainya bukan karena tidak ada pekerjaan
lain. Meski demikian, bagiku itu sesuatu hal yang hebat jika dibandingkan
denganku yang seperti bajing loncat ini. Hanya tahan beberapa bulan saja tetapi
tetap saja mengambil pekerjaan di bidang yang sama. Bagaimana bisa naik ke
jenjang karir yang lebih tinggi kalau sedikit-sedikit aku keluar. Masuk
perusahaan baru sama saja kembali ke titik awal. Lihat, berapa kali aku kembali
ke titik yang sama?

Entah apa yang akan dikatakan ayah jika tahu aku bekerja seperti ini. Apakah
beliau akan memaklumi? Haruskah aku beralasan kalau pekerjaan zaman
sekarang itu sudah tidak selaras lagi dengan alam. Saat interview mungkin
perusahaan mengatakan jam kerja dari 9 pagi hingga 5 sore. Kenyataannya,
seringkali harus pulang pukul 9 malam. Apalagi masih status pegawai baru, ada
saja yang menyuruh ini dan itu di luar job desk. Perusahaan juga mengatakan
hari kerja dari senin hingga sabtu. Tapi kenyataannya, minggu pun harus
berjualan secara random di pasar yang telah ditentukan sehari sebelumnya.
Lama kelamaan aku seperti tidak mensyukuri hidup. Kalau beliau masih ada, ia
pasti berpesan untuk jangan banyak mengeluh. Selesaikan saja pekerjaan sebaik
mungkin supaya semua merasa puas. Tidak hanya untuk pelanggan dan
perusahaan saja tetapi untuk kepuasan diri sendiri juga karena bisa bekerja
dengan baik.
Kerasnya dunia kerja membuatku teringat pada masa perkuliahan. Bagaimana
tidak. Walau mungkin ilmu yang didapat tidak bisa ku aplikasikan semua, ada
banyak hal di luar mata kuliah yang sangat berefek pada diriku. Misalkan saat
Ospek. Dengan tugas yang kadang tidak masuk akal dari senior, kita dituntut
untuk cerdas dan tidak pantang menyerah untuk bisa membawa hasil keesokan
harinya. Hal ini juga berkorelasi dengan perkuliahan dimana kita harus cerdik
supaya tugas dari dosen rampung atau mensiasati diri supaya lulus ujian.
Dengan berbagai cara yang halal ataupun tidak halal. Kita juga harus bisa
berbuat manis di depan senior. Ya setidaknya jangan neko-neko atau cari
masalah. Sama juga ketika berhadapan dengan dosen. Kita harus mampu
mengambil hati untuk dipermudah jalan menuju kelulusan. Sedikit bermasalah,
nilai pun kadang tidak keluar. Nah di dunia kerja kita juga harus pintar-pintar

menempatkan diri. Apalagi dengan status sebagai pegawai baru di kantor,


berhadapan dengan rekan yang lebih dulu kerja di sana ya sama juga kerasnya
dengan bertemu senior saat ospek. Berhadapan dengan Bos sama juga
berhadapan dengan Dosen. Maka beruntunglah bagi mereka yang mendapat
tempat kerja yang tidak kental senior dan juniornya.
Mungkin tidak hanya saat kuliah tetapi juga saat sekolah dimana kita kerap
dipaksa harus menyerap pelajaran dari pukul sekian sampai sekian. Sama
seperti dunia kerja yang memiliki jam kerja tertentu. Lalu guru juga
memberikan pekerjaan rumah sama seperti membawa pekerjaan kantor yang
belum selesai ke rumah. Les di luar jam pelajaran sama dengan lembur di luar
jam kantor. Tugas kelompok sama dengan kerja tim di perusahaan. Ya meski
tetap saja ujian harus sendiri. Tetap kinerja diri sendirilah yang menentukan
berapa nilai, gaji atau bonus yang akan diperoleh.
Pola pendidikan memang dirancang berkaitan dengan dunia kerja nanti. Kita
harus menghadapi segalanya dengan lapang dada karena hidup ini penuh ujian,
ujian dan ujian. Kalau berhasil melewati kerasnya sekolah dan kuliah,
kemungkinan akan kuat juga menghadapi dunia kerja. Walau kadang tidak
begitu juga. Seperti aku ini.
Kecuali orang jenius dan berbakat, aku melihat semuanya untung-untungan.
Saat kuliah ada istilah posisi menentukan prestasi. Berlakunya bukan saat
perkuliahan tetapi berlaku saat ujian. Posisi di sini maksudnya, dekat dengan
orang yang pintar kemungkinan besar beruntung bisa menyalin jawabannya.
Kalau yang pintar orangnya pelit atau idealis, maka apeslah nasib kita. Posisi
juga berarti mendapat kursi yang tepat. Kursi di depan tentu saja tidak bisa

membuka contekan karena langsung berhadapan dengan pengawas. Sedangkan


duduk di belakang juga rawan. Karena secara psikologi pengawas, orang-orang
yang memilih duduk di belakang itu selalu mencurigakan.
Orang yang tidak belajar apa-apa tapi rajin bertanya sana sini juga kerapkali
lebih bagus nilainya ketimbang yang ditanya dan mengerjakan sendiri. Apesnya
lagi terkadang si narasumber yang memberi tahu malah dituduh sebagai
tersangka sedangkan si pencontek bebas-bebas saja. Terkadang solidaritas
pertemanan terlalu berlebihan. Si penyontek tidak mengaku alias diam, si
narasumber juga tidak mengadukan penyontek sebenarnya karena teman. Nah
di sini siapa yang bloon?
Orang yang bisa bermuka manis dan kerapkali memunculkan wajahnya dengan
sering membantu dosen menghapus papan, membagikan modul materi kuliah,
atau suka bertanya saat kuliah padahal tetap tidak mengerti penjelasan dosen
memiliki peruntungan yang lebih bagus daripada orang yang pintar tetapi
kerapkali membantah pendapat dosen di hadapan yang lain atau orang pintar
tetapi suka menentang kebijakan kampus yang dipikirnya tidak masuk akal. Siap
saja dengan sanksi akademik dan kesulitan lainnya.
Kadang kita hanya memikirkan bagaimana caranya untuk lulus tanpa
menyadari seluk beluk dunia perkampusan dengan aturan dan orang-orang
yang ada di dalam. Mahasiswa kutu buku misalnya yang hanya fokus ke
masalah materi kuliah saja tapi tidak bergaul dan tidak mempelajari psikologi
manusia kerap kali kaget saat menghadapi dunia kerja. Atau orang yang tidak
sanggup melewati ospek dengan baik pasti juga termehek-mehek ketika
dibentak sedikit oleh atasan.

Secara tidak disadari kita suka menyepelekan hal-hal semacam itu dan tak
jarang juga sampai dendam pada senior saat Ospek. Padahal kalau dilihat-lihat
ada hal positif yang didapat. Kita dipersiapkan untuk menjadi manusia yang
tangguh. Karena saat perkuliahan atau kerja bisa lebih kejam berkali-kali lipat
dari bayangan kita. Jadi buat apa juga dendam-dendam segala pada senior, toh
apakah kita akan membalasnya pada orang yang bersangkutan? Tidak. Justru
kita kerapkali melampiaskan pada adik kelas selanjutnya. Sama seperti ketika
dimarahi atasan, kita juga melakukan hal yang sama pada rekan yang di bawah
jabatan kita.
Ah, kenapa jadi ngelantur begini.
Don, jam makan siang sudah habis. Balik ke kantor yuk. Nanti didamprat si
Bos!
Iya, kataku lemas.
Ayo buruan. Jangan melamun lagi!

LEPANG
Hari begitu terik. Keringat meleleh di wajah. Ku sapu wajah dengan tisu basah
supaya terasa lebih segar selagi menunggu pesanan dibungkuskan di sebuah
warteg yang tak jauh dari kos. Aroma lemon tisu menguap bercampur dengan
keringat para kuli bangunan, supir angkot dan buruh pabrik. Warteg adalah
tempat yang bersahabat bagi mereka. Juga bagiku, mahasiswa rantau. Terutama
di kantong walau harga nasi sudah naik sekarang. Dari 7000 jadi 9000 yang
isinya nasi, sayur, sepotong paha ayam lengkap dengan peyek kacang. Di sinilah
pula mereka melepas lapar, haus dan lelah. Sehabis makan, tak lupa mereka
membakar selinting dua linting rokok lalu ngobrol ngalur ngidul.
Agus? sebuah suara mengagetkanku dari keasikan mendengarkan obrolan dua
kuli bangunan tentang proyek hotel yang sedang bermasalah.
Aku menatap orang yang memanggilku. Coba mengingat-ingat.
Melihatku yang bingung, akhirnya orang itu menyebut namanya. Ini aku,
Lepang.
Lepang, sebuah nama yang tidak asing. Ingatanku kembali ke 12 tahun yang
lalu. SMP kelas 1. Waktu itu masa orientansi sekolah bagi siswa baru. Aku
masuk kelas unggulan, kelas 1A. Aku juga duduk dengan seseorang yang baru.
Lepang namanya. Perawakan kurus berkulit coklat dengan rambut cepak agak
keriting. Telinganya lebar menghadap ke depan seperti monyet. Seragamnya
lebih ke coklat susu daripada putih. Dia tidak mengenakan pakaian baru seperti
aku dan yang lainnya. Sepatu dan tasnya juga.

MOS pertama, pengenalan antar siswa di kelas. Bergiliran ke depan


menyebutkan nama, asal sekolah, dan cita-cita. Saking gugup harus
memperkenalkan diri di depan kelas, aku hampir tersandung kaki sendiri. Aku
juga asal menyebutkan cita-citaku, ingin menjadi guru karena hanya profesi itu
yang terlintas di pikiranku saat itu. Aku belum tahu ingin menjadi apa kelak.
Setelah aku, giliran Lepang yang maju. Jalannya santai tapi tidak lemas. Tidak
terlihat ingin menonjolkan diri tapi bukan tipe pemalu atau penakut. Sampai di
depan, ia memandangi dulu seluruh ruangan kelas barulah menyebutkan nama
dan asal sekolah. Semua diam menyimak. Barulah saat Lepang menyebutkan
cita-citanya, seisi kelas meledak terbahak-bahak. Kakak kelas pendamping juga
tertawa. Sementara pak Guru hanya tersenyum mencoba menyembunyikan
tawanya setelah mendengar cita-cita teman sebangkuku itu. Dari separuh kelas
yang sudah memperkenalkan diri, cita-citanya beragam. Dokter, pilot, guru,
perawat, tentara. Cuma Lepang yang menyebutkan cita-citanya di sektor
informal, tukang ojek pula. Sesuatu yang mungkin lucu. Seisi kelas beranggap
kalau tukang ojek itu bukan cita-cita melainkan keterpaksaan karena tidak ada
pekerjaan lain yang bisa dilakukan. Jadi tukang ojek juga tidak perlu sekolah
tinggi. Aku juga heran dengan cita-cita Lepang yang lain daripada yang lain itu.
Tak lama untuk kami menjadi sahabat. Dia suka memancing. Sementara aku
suka ke sungai dan makan ikan bakar tentunya. Selagi menunggu hasil
pancingan, kami mengumpulkan ranting-ranting kering. Lalu kami duduk
ngobrol sambil tetap memantau pancingan kami. Dia banyak bercerita tentang
memancing bersama pamannya. Kadang memancing di atas karang atau
menyewa perahu milik nelayan. Kalau sudah akrab, ada juga yang
meminjamkan perahu secara cuma-cuma. Sepertinya Lepang sangat dekat

dengan pamannya itu. Jarang dia bercerita soal kedua orang tuanya. Aku belum
pernah diajaknya main ke rumah. Lebih sering, dia yang main ke rumahku. Baca
beberapa komik atau main PS. Aku juga tidak tahu dimana alamat rumahnya.
Di sekolah kami begitu berbeda. Aku rajin mencatat pelajaran dan mengerjakan
PR. Sama dengan teman-teman yang lain. Sementara Lepang hampir tak pernah
mengerjakan PR terutama pelajaran ilmu pasti. Jika ada PR pelajaran bahasa
terutama

mengarang,

mengapresiasi

puisi

atau

cerpen

barulah

dia

mengerjakannya. Juga pelajaran seni. Dia tak pernah absen mengumpulkan


hasil karyanya. Karena kelakuannya itu, dia sering dihukum berjemur di
lapangan depan tiang bendera sambil memberi hormat. Hampir tiap hari
dihukum membuat dia terkenal di sekolah. Ada guru yang tidak menyukainya
tapi ada juga guru yang memuji. Pernah salah satu guru bertanya perihal
Lepang tidak pernah mengumpulkan PR. Lepang hanya menjawab kalau dia
terlalu sibuk di rumah sampai-sampai tidak sempat mengerjakan tugas sekolah.
Banyak hal yang harus dilakukan untuk membantu orang tua dan pamannya.
Bisa saja saya mengerjakannya di sekolah, tetapi itu bukan PR namanya.
Lepang kembali membuat seisi kelas terbahak-bahak. Sementara Sang guru,
yang kerapkali tidak tahu kondisi siswanya di rumah , hanya mengatakan
bahwa alasan Lepang dibuat-buat. Lepang dikatakan pemalas lalu sang guru
menantang Lepang untuk mengerjakan satu soal di papan tulis. Lepang
mengangguk, mengambil kapur dan menulis jawaban. Jawaban Lepang benar.
Dia berhasil mematahkan tantangan sang guru.
Saat dia kembali ke meja, aku tersenyum. Dia membalas dengan senyum tanpa
merasa menang. Tidak ada yang tahu kalau sebenarnya Lepang selalu membaca

PR-ku sebelum mata pelajaran dimulai. Lepang kerapkali mengkoreksi hasil


pekerjaanku jika dirasanya ada yang salah. Lepang juga sering menjelaskan cara
yang lebih singkat dan lebih mudah dalam menyelesaikan soal hitung-hitungan.
Lepang itu anak yang cerdas. Sayang sekali kalau guru itu menyebutnya
pemalas. Aku hanya heran kenapa dia bisa mengumpulkan tugas bahasa dan
seni jika memang dia sangat sibuk di rumah membantu orang tuanya.
Suatu hari saat ulang tahun sekolah, aku duduk depan perpustakaan melihat
pertunjukan di panggung. Masing-masing kelas menyumbangkan atraksi. Kelas
kami menyumbang band. Vokalisnya adalah Lepang. Mereka telah berlatih
selama sebulan untuk pertunjukan ini. Sekarang Lepang ada di atas panggung,
memegang mic, berjalan ke sana kemari sambil melantunkan bait-bait lagu.
Ciptaannya sendiri. Sebuah lagu tentang seorang anak duduk di atas karang,
menunggui pancingnya sambil memandang ke cakrawala dan membayangkan
hal-hal indah yang ada di sana. Awalnya aku tertawa mendengarnya karena
sangat Lepang sekali. Setelah dipadukan dengan musik, terdengar bagus juga.
Sederhana namun sarat makna. Kini Lepang meliuk-liukkan badannya seperti
setengah mabuk yang mengingatkkanku pada Jim Morrison, vokalis the Doors,
band kesukaan kakakku. Lagu ke dua, liriknya diambil dari puisi Chairil Anwar,
Selamat Tinggal. Lepang yang awalnya berkobar-kobar, kini jadi lebih teduh
bernyanyi. Dia terdengar seperti ingin pergi. Seperti mengucapkan selamat
tinggal pada kami semua yang menontonnya.
Benar. Hari itu adalah hari aku melihat Lepang untuk terakhir kalinya. Lepang
tidak pernah muncul lagi di sekolah. Salah satu guru memberi tahu kalau
Lepang tidak akan melanjutkan sekolah. Alasannya tidak jelas. Pihak sekolah
juga tidak pernah peduli atau ambil bagian bila salah satu anak didiknya putus

sekolah. Aku sedih sekaligus kecewa, Lepang tidak berkata apa-apa padaku.
Mungkin karena itu juga aku tidak mencarinya.
So, apa yang terjadi saat itu? tanyaku masih penasaran kenapa Lepang tibatiba putus sekolah.
Kami memilih meja di pojokan warteg supaya lebih leluasa ngobrol.
Pertama-tama, maafkan aku tidak memberi kabar.
Sudahlah, aku sudah maafkan sejak lama. Jadi bagaimana?
Saat itu aku sedang sedih dan kacau. Pamanku meninggal karena sakit. Biaya
sekolahku beliau yang menanggung. Aku tak tega melihat orang tuaku
memaksakan diri supaya aku tetap sekolah.

Di satu sisi, aku tidak begitu

menikmati sekolah. Kamu tahu sendiri kan. Orang tuaku tetap bersikeras supaya
aku melanjutkan pendidikan, tapi aku juga sangat bersikeras untuk berhenti
sekolah.
Lalu apa yang kamu lakukan selanjutnya? Jadi tukang ojek sesuai dengan citacita yang kamu bilang saat pertama sekolah?
Iya.
Serius?
Awalnya aku meneruskan pekerjaan pamanku sebagai loper koran. Beliau
sudah memiliki beberapa pelanggan tetap, jadi sayang kalau tidak diteruskan.
Beliau juga mewariskanku motornya. Pagi loper koran, siang sampai sore
ngojek. Setelah punya SIM, aku mulai menawarkan jasa ojekku ke turis

backpakcer, sekalian jadi guide.

Kupikir cita-citamu itu hanya becanda.


Hahaha memang kesannya becanda ya. Anak jaman sekarang mana ada citacitanya jadi tukang ojek.
Aku masih percaya tidak percaya pada cita-cita Lepang. Setelah pesanan datang,
kami berpisah. Tentu kali ini aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk
tahu alamat rumahnya. Lepas kangen belum selesai. Aku masih penasaran saja
pada temanku ini. Kami juga bertukar nomor ponsel.
Alamat rumahku sudah ku sms ke nomor mu. Main-mainlah kalau sempat. Kau
kan belum pernah ke rumahku. Lepang memberikan senyum khasnya.
Akhir pekan aku sempatkan main ke rumah Lepang. Sesuai alamat, aku telah
sampai di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas, lengkap
dengan

berbagai

tumbuh-tumbuhan

dan

kolam

ikan.

Seorang

ibu

menyambutku.
Cari siapa, Dik?
Lepang ada, Bu?
O, Lepang sedang di kantornya.
Kantor?
Kantor macam apa yang disebut oleh ibunya Lepang. Seorang tukang ojek mana
punya kantor. Yang ada namanya pakalan ojek.
Itu yang di depan gang kantornya. Adik langsung saja ke sana. Lepang pasti
ada.

Terima kasih, Bu.


Ternyata semua memang di luar pikiranku. Kantor itu ya benar-benar kantor
sebuah usaha. Neon Box-nya bertuliskan Lepang Motor Taxi lengkap dengan
alamat, nomor telpon, dan website. Ada beberapa motor terparkir di depan
kantor. Semua berstikerkan Lepang Motor Taxi. Usaha inilah yang disebut citacita oleh Lepang.
Karena melihatku terpaku saja, Lepang keluar dari kantornya. Dia tersenyum
seperti biasa, tanpa rasa menang.

BANTAL AJAIB
Kalau dipikir-pikir, apa yang tidak bisa dibuat oleh manusia sekarang ini?
Cinta mungkin.
Aku serius, sayang.
Kekasihku tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di pahaku. Tanda dia
bercanda dan akan mendengarkan ocehanku selanjutnya.
Dengan kecanggihan teknologi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan,
hal mustahil menjadi nyata. Aku baca sebuah artikel hari ini. Para ilmuwan
sedang melakukan percobaan dengan sel hewan punah yang masih hidup.
Sebentar lagi mungkin kita bisa bertemu dengan hewan-hewan yang telah
punah. Tepatnya yang telah kita punahkan. Mungkin suatu saat nanti kita bisa
melihat Mamut, saudaranya Gajah.
Lalu untuk apa mereka menghidupkan lagi hewan-hewan itu?
Entah sayang. Bagi para ilmuwan, penemuan semacam itu pasti menakjubkan.
Bisa membuktikan sesuatu yang hanya terwujud di film fiksi-ilmiah. Tapi
sayang sekali semuanya akan berakhir tragis. Karena kita manusia. Sukanya
berburu. Kalau sampai hewan-hewan itu berhasil dihidupkan lagi, bukankah
akan diburu kembali oleh para kolektor?

Dulu manusia hanya berburu

makanan. Sekarang, apa saja diburu. Mayat kalau menguntungkan juga diburu.
Bahasa kerennya, hunting. Kamu juga suka kan?
Hehehe iya hunting barang-barang diskon.

Kekasihku kembali mengembangkan senyum manisnya yang selalu berhasil


memenangkan hatiku.
Lalu kamu hunting apa? Perempuan? kekasihku balik bertanya.
Aku tak bisa menahan tawaku.
Kok tertawa? tanya kekasihku heran. Pasti banyak ya? Pandangannya
berubah curiga.
Satu saja susah diurus. Mau nambah lagi? Cuma buat derita.
Maksudmu?
Aku sendiri heran pada laki-laki yang banyak istri. Mending istri-istrinya
kalem. Kalau semuanya cerewet dan minta ini itu, bukannya tambah repot ya.
Bukankah ada kesenangan punya banyak istri?
Bukankah di dunia ini banyak sekali kesenangan. Kalau cuma urusan tempat
tidur, bukankan masih banyak cara untuk melampiaskannya. Kenapa malah
mengikatkan diri dengan banyak perempuan. Ditarik sana-sini, lelah sendiri.
Ngomong-ngomong soal tempat tidur, hari ini kamu sudah tidur? tanya
kekasihku. Matamu terlihat lelah sekali.
Sudah sebulan insomiaku berkuasa.
Kamu masih minum pil-pil itu?
Tidak ada gunanya. Sama sekali tidak membuatku ngantuk apalagi terlelap.
Semua saranmu telah aku praktekkan. Berendam air hangat, lilin aroma terapi,

minum susu. Aku juga diet kopi, coklat dan semua makanan yang mengandung
kafein. Hasilnya, nol.
Berarti sebulan ini kamu tidak tidur sama sekali, Sayang? Kini mata kekasihku
yang indah menatap prihatin.
Aku terlihat begitu menyedihkan ya? Harusnya para ilmuwan itu meneliti
orang sepertiku supaya bisa menemukan obatnya.
Kamu perlu liburan. Ke tempat yang lebih tenang, saran kekasihku sambil
menatap dengan pandangan serius.
Pekerjaan tidak bisa ditinggalkan. Sebenarnya ada satu titik dimana aku
mengantuk dan mulai tertidur. Tapi itu hanya bertahan semenit. Ada saja suarasuara yang membuatku terjaga. Tetangga yang menyetel musik kencang, tikustikus yang berlarian di plapon atau suara sirene mobil polisi yang hampir setiap
hari terdengar. Kawasan ini kan mulai sering dijadikan tempat konferensi
internasional. Orang menutup pintu saja bisa membuatku terbangun.
Ini serius, Sayang. Kamu harus liburan, bujuk kekasihku sedikit memaksa.
Mungkin kamu benar. Aku akan ambil cuti.
Tapi aku tidak bisa menemani. Tak apa kan, Sayang?
Tak apa.
Kami mengakhiri pembicaraan dengan pelukan hangat. Tak lama kemudian
kekasihku pulang. Tinggallah aku sendiri duduk menghitung domba meski tak
pernah berhasil membuatku tertidur.
***

Akhirnya aku berhasil mengambil cuti. Kekasihku meminjamiku sebuah vila


milik keluarga yang biasa dikunjungi saat liburan tahun baru. Sebenarnya aku
tak sepenuhnya liburan. Aku masih saja membawa beberapa pekerjaan yang
tersimpan di laptop.
Hari pertama aku masih saja belum bisa tidur. Daripada menghitung domba,
aku malah menyelesaikan pekerjaan kantor hingga matahari terbit. Selanjutnya
aku jalan-jalan di sekitar pedesaan lalu singgah ke sebuah kedai kopi yang
sudah buka. Baru ku perhatikan orang-orang di pedesaan ini wajahnya segarsegar. Pasti mereka sangat cukup istirahat. Senyum mereka yang ramah juga
mengisyaratkan kebahagian. Ah, beda sekali dengan orang-orang di kota yang
berkerut dan serba tergesa-gesa. Hidup seperti selalu berlari. Entah apa yang
dikejar. Materi?
Adik mau minum kopi apa?
Kopi susu saja, Bu. Kali ini aku melanggar diet kafeinku.
Segelas kopi susu, pisang goreng, lengkap dengan pemandangan serba hijau
membuat hatiku terasa damai. Paru-paru dan otakku seperti disegarkan
kembali. Udara yang penuh polusi digantikan dengan udara bersih. Lama
kelamaan wajahku mulai tersenyum. Hebat benar perubahan suasana ini.
Pagi.
Seseorang memberi salam pada pemilik kedai yang langsung dibalas ramah.
Pagi. Berangkat ke kota, Pak?
Iya. Seperti biasa, jawab orang itu.

Sekilas aku memperhatikan bapak yang menyapa pemilik barusan. Bagaimana


tidak. Tampilannya aneh bin ajaib. Dari atas hingga bawah sama sekali tidak
nyambung. Kontras dan nabrak semua. Para perancang busana pasti akan
terkaget-kaget melihat gaya berpakaian bapak itu yang kurasa berumur 50
tahunan. Atasannya setelan taksedo agak lusuh lengkap dengan dasi kupu-kupu.
Bawahannya celana kembung mirip celana para jin timur tengah lengkap
dengan sandal selop hitam. Tutup kepalanya blankon. Tak ada aksesoris selain
koper butut yang dia bawa.
Rasa penasaran membuatku iseng bertanya pada ibu pemilik kedai.
Siapa bapak barusan, Bu?
Namanya pak Sadirman.
Orang kampung sini?
Bukan. Dia pendatang. Baru seminggu tinggal di kontrakannya pak RT. Tapi
tiap hari pergi ke kota.
Pergi ke kota ngapain, Bu?
Wah saya kurang tahu, Dik. Jualan obat mungkin.
O. Jualan obat apa ya kira-kira dengan dandanannya aneh begitu. Lebih mirip
tukang sulap, komentarku lancang.
Wah saya juga kurang tahu, Dik. Soal dandanannya yang aneh mungkin untuk
menarik pembeli. Namanya juga jualan. Ada saja triknya supaya dagangan cepat
laku.
Terus trik ibu apa? godaku.

Saya mah cuma jualan kopi dan jajanan. Tidak pakai trik, jawab ibu pemilik
kedai mengerlingkan matanya genit.
Sebenarnya aku masih penasaran. Tapi kuabaikan saja. Kesannya seperti kurang
kerjaan bertanya banyak soal bapak tadi.
Mau nambah kopinya, Dik?
Aku baru sadar kalau kopiku sudah habis.
Tidak, Bu. Terima kasih, kataku sambil memberikan beberapa lembar uang.
***
Sampai di vila, aku masih saja teringat pada bapak tadi. Keanehannya susah
dihilangkan. Untuk menghilangkan rasa penasaran itu, aku membuka laptop
dan mulai mengerjakan lagi pekerjaan yang lebih penting. Hasilnya hari ini aku
tidak tidur sama sekali. Seharian di depan laptop. Hanya sesekali beranjak untuk
makan, minum dan buang air kecil. Mandi baru ku lakukan saat senja sudah
tergantikan oleh malam.
Malam begitu sunyi di sini. Aku duduk di beranda vila memandangi bintang.
Sudah dua hari ini pula aku tidak menghubungi kekasihku. Begitu juga
sebaliknya. Sepertinya kami berdua merasa tidak ingin mengganggu satu sama
lain. Kekasihku pasti berpikiran aku perlu ketenangan tanpa diganggu
kemanjaannya. Padahal aku merindukan suara manjanya itu.
Malam. Sebuah suara memberi salam.
Ternyata bapak aneh yang tadi pagi itu. Dengan spontan aku membalas,
Malam. Dari mana, Pak?

Dari kota. Ini mau pulang ke kontrakan.


Tanpa pikir panjang aku menawarinya untuk singgah. Minum kopi sejenak di
sini, Pak. Kan bapak baru dari perjalanan jauh. Saya juga sendiri tidak ada teman
ngobrol.
Orang itu mengangguk lalu duduk di sebelahku.
Bapak biasa minum kopi apa?.
Kopi hitam saja. Tanpa gula.
Sebentar ya, Pak.
Tak selang berapa lama, aku kembali dengan secangkir kopi.
Terima kasih, Dik. Orang itu memindahkan koper dari pangkuannya.
Adik baru ya tinggal di sini? Sebelumnya saya tidak pernah lihat.
Saya hanya liburan, Pak. Teman yang punya vila ini tapi yang bersangkutan
tidak ikut. Sibuk. Jadinya saya sendiri berkeliling desa, terangku sambil
menyeruput kopi yang hampir dingin.
Adik dari kota ya? Kok belum tidur jam segini?
Belum bisa tidur, Pak.
Wajah adik kelihatannya lelah sekali.
Saya sama sekali belum mengantuk. Jadi bapak tenang saja. Tidak usah buruburu, jawabku. Bapak biasa jam segini pulangnya?

Ya, bisnya memang jam segini sampainya. Satu-satunya melewati desa ini,
jawab bapak itu kini lebih memperhatikan wajahku. Sepertinya adik punya
masalah yang serius. Sudah berapa lama adik tidak bisa tidur? Bapak itu seperti
bisa membaca kondisi dari raut wajahku yang kuyu.
Wah bapak pintar membaca wajah orang. Sebulan, Pak.
Bapak itu menaruh cangkir di meja lalu mengambil koper yang berada di
sampingnya. Sepertinya saya bisa membantu.
Terima kasih banyak, Pak. Tapi kalau soal obat-obatan, sudah tidak ada
gunanya. Aku langsung mengelak bukan karena tidak ingin membeli. Takut
kecewa saja kalau hasilnya sama.
Ini bukan obat, Dik. Dijamin bisa membuat adik tidur dengan lelap malam ini.
Koper terbuka. Bapak itu mengambil isinya dan menunjukkannya padaku.
Saya pinjamkan pada adik malam ini. Besok pagi saya ambil kembali.
Bapak itu menyerahkan sebuah bantal putih padaku. Untung saja aku mampu
menahan tawa.
Wah kalau cuma bantal, di kamar ada banyak, Pak.
Ini serius, Dik. Ritme hidup adik sudah tidak harmonis. Kalau lebih lama lagi,
nanti bisa celaka.
Bapak itu menyodorkan lagi bantalnya.
Mungkin bagi adik lucu. Tapi saya jamin, adik pasti terlelap. Tenang saja, Dik.
Gratis.

Kali ini aku tidak bisa menahan tawaku.


Bukan begitu, Pak.
Ya sudah. Saya pamit dulu. Terima kasih kopinya. Besok pagi saya kemari lagi
untuk mengambil bantal.
Mau tak mau aku tak bisa menolak lagi. Setelah membereskan cangkir, aku
beranjak ke kasur. Awalnya memang terasa lucu sama halnya dengan
dandanannya, tapi patut dicobalah. Apalagi bapak itu bisa mengetahui
permasalahanku dan terlihat yakin bisa memberikan solusi. Dengan tersenyum
karena ternyata aku mengikuti sarannya, ku baringkan kepala di atas bantal itu.
Semenit kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi.
Esoknya aku terbangun oleh gedoran pintu yang amat terburu-buru ingin
dibukakan. Dengan agak kesal, aku bangkit dari kasur. Baru ku sadar, aku telah
tertidur dengan pulas semalam. Sekarang pukul 9 pagi. Bapak itu benar. Bantal
itu ampuh. Ajaib.
Dik, tolong bukakan pintu.
Iya, tunggu sebentar. Siapa ya?
Saya pak RT. Begini, saya mau tanya sesuatu. Nafas pak RT terdengar tak
beraturan.
Tanya apa, Pak? Duduk dulu kalau begitu.
Setelah duduk dan menarik nafas panjang, pak RT mengeluarkan pertanyaan
pertama,Semalam pak Sadirman kemari?
Iya. Singgah minum kopi dan menemani saya ngobrol.

Apa tidak ada gelagat aneh? Seperti ketakutan?


Tidak, jawabku singkat. Memangnya kenapa, Pak? Ada yang terjadi? kini aku
balik bertanya.
Begini, Dik. Sebuah musibah menimpa pak Sadirman. Pagi ini saya sedang
memandikan burung seperti biasa. Tumben pak Sadirman belum juga muncul.
Biasanya dia berangkat ke kota pagi-pagi. Sampai pukul 8, dia juga tidak
kelihatan. Saya pikir dia sakit, jadi saya menjenguknya. Pas saya mau ketok
ternyata pintu tidak tertutup. Lalu saya masuk saja sambil memanggil nama pak
Sadirman. Tidak ada yang menyahut. Sampai kamar, saya menemukan pak
Sadirman berdarah-darah. Sudah tidak bisa ditolong lagi.
Maksud pak RT, pak Sadirman meninggal?
Iya, Dik. Sekarang masih diselidiki polisi motifnya apakah dibunuh atau bunuh
diri. Barang-barang berharga pak Sadirman tak ada yang hilang kecuali yang di
dalam koper yang biasa dia bawa ke kota. Barang apa yang ada di koper, saya
juga tidak tahu. Semalam ada yang melihat pak Sadirman singgah kemari,
makanya saya datang. Siapa tahu ada pesan yang disampaikan.
Kali ini aku bingung. Haruskah aku memberitahu bahwa bapak itu meminjami
sebuah bantal, isi dari koper tersebut. Bagaimana kalau nanti aku yang dituduh
melakukan pembunuhan.
Tidak ada, Pak. Cuma ngobrol biasa.
Baiklah kalau begitu. Saya pamit. Banyak yang harus saya urus karena kejadian
ini. Terima kasih, Dik.

Sama-sama, Pak. Oya kebetulan hari ini saya pulang ke kota. Apa perlu saya
memberikan kesaksian langsung pada polisi?
Saya saja yang nanti menyampaikannya pada polisi.
Bagus kalau begitu, pikirku.
Terima kasih, Pak.
***
Sesampai di kontrakan, aku baru teringat perkataan pak RT. Pesan. Apa mungkin
bapak itu meninggalkan sebuah pesan. Ku periksa bantal itu dan ternyata benar
ada secarik kertas.
Saya lelah dikejar-kejar. Gunakan bantal ini baik-baik.
Seperti sebuah wasiat. Lalu siapa yang mengejar bapak itu? Apa bantal ini yang
diincar? Lalu kenapa bapak itu memberikannya padaku padahal kalau bantai ini
diberikan pada si pembunuh pasti dia selamat. Belum habis aku berpikir dan
belum terjawab semua pertanyaan, kekasihku datang memberikan pelukan
hangat.
Bagaimana liburannya? Sepertinya berhasil. Wajahmu terlihat segar kembali.
Padahal hanya beberapa hari.
Ya begitulah.
Bantal baru ya?
Iya.

SEBUAH KENANGAN DI PANTAI


RAHASIA
come up to meet you, tell you i'm sorry,
you don't know how lovely you are
i had to find you, tell you i need you,
tell you i'll set you apart
tell me your secrets and ask me your questions, oh lets go back to the start

Lagu

Coldplay mengalun di telinga via mp3 player. Senja perlahan mulai

memudar. Ketam-ketam kecil masih berlarian sesekali disapu ombak.


Kerumunan burung berhamburan mencari jalan untuk pulang. Sama seperti
ibu-ibu

yang

menanam

rumput

laut

sedari

pagi.

Aku masih duduk di atas karang memandangi cakrawala. Angin dingin pun
mulai berhembus, ombak juga akan segera pasang. Isyaratkan aku untuk
beranjak dari karang itu agar tak terjebak air laut yang semakin mendekati bukit
karang. Entah, begitu enggan untuk meninggalkan tempat ini. Aku masih saja
berharap sosok itu muncul dengan wajah yang teduh dan rambut panjang
hitamnya. Tiga jam lebih aku duduk di sini tanpa memotret apapun. Kamera
DSLR masih terbungkus rapi di dalam tas. Tak ada gairah sedikit pun untuk
mengabadikan pemandangan senja kali ini. Ya, aku datang ke sini untuk
bertemu dengan sosok itu. Perempuan itu.

***
Pantai ini belum banyak yang tahu. Hanya penduduk asli di sini saja . Jalurnya
belum bagus, jadi kita harus jalan kaki beberapa meter lagi. demikian
penjelasan teman yang mengantarku untuk hunting lokasi.
Trus kamu sendiri tahu dari mana?
Pertama ke sini diajak teman juga, kebetulan dia penduduk sekitar sini. Katanya

Secret beach. Tidak seperti pantai lain.


Secret beach? Aku pun penasaran dan ternyata memang indah. Tidak ramai,
tidak bising, tidak sesak oleh hotel-hotel. Suguhkan pemandangan laut lepas
dengan pasir putih dan beberapa rumah nelayan yang terbuat dari bedeg atau
dinding bambu beratapkan jerami. Halamannya dihiasi jaring ikan, rumput laut
yang sedang dijemur dan kapal yang tidak beroperasi. Alami dan sederhana.
Dengan sigap, aku mengeluarkan kamera DSLR untuk mengambil beberapa

view. Materi untuk syuting. Ya, aku ke sini untuk pekerjaan sekaligus liburan
karena pulau ini merupakan tujuan wisata banyak orang baik asing dan
domestik. Sebenarnya masih banyak pulau di negeri ini yang juga tak kalah
indahnya tapi dasar si bos maunya aku hunting di pulau ini karena namanya
sudah mendunia.
Selagi temanku tidur di dalam mobil karena begadang gara-gara tugas akhir,
aku pun berkeliling mencari sudut-sudut yang lebih menarik. Sesekali mendapat
senyuman ramah dari ibu-ibu yang sedang memunguti rumput laut yang
terhempas ke pantai. Juga sebuah senyuman dari seorang perempuan ketika

kameraku tak sengaja membidik sebuah karang. Dia melambaikan tangan.


Entah, aku malah menghampirinya.
Halo.
Halo juga. Balasku. Namaku Agus.
Dugong.
Nama yang aneh menurutku untuk seorang perempuan. Mungkin itu nama
panggilan atau nama samaran karena harus berkenalan dengan seorang baru
sepertiku.
Sudah dari tadi?
Iya. Kamu?
Baru sampai.
Rambut panjang hitamnya dimain-mainkan angin.
Jalan-jalan atau penduduk sini? tanyaku lagi.
Sedang menunggu.
Menunggu? Di sini kan bukan pelabuhan. Candaku.
Menunggu orang untuk menjemputku. Aku bukan berasal dari sini.
Memangnya kamu berasal dari mana?
Seberang laut sana. Tangannya menunjuk ke depan.

Di seberang sana itu setahuku tak ada pulau-pulau kecil. Sudah masuk benua
lain. Tapi wajahnya tidak menunjukkan bahwa dia turis asing. Ah, mungkin dia
sedang bercanda.
Kau sendiri sedang apa? tiba-tiba dia bertanya.
Hunting lokasi. Aku pun tersadar tujuanku kemari karena kerjaan. Baru
beberapa foto yang ku dapat. Sepertinya masih banyak sudut yang mesti ku
ambil. Baiklah kalau begitu, aku meneruskan pekerjaanku dulu. Kau lama di
sini?
Tidak. Sebentar lagi teman menjemputku. Aku ada pertunjukan malam ini.
Pertunjukan?
Dia mengeluarkan sebuah pamflet. Kalau sempat, datanglah.
Baiklah. Terima kasih.
Sampai jumpa. Perempuan itu beranjak dari karang.
Di tanganku sekarang ada selebaran warna biru laut bergambarkan perempuan
itu mengenakan kostum putri duyung bertuliskan Aquatic Show Dugong.
Sepertinya akan sangat menarik. Aku penasaran dan pasti akan datang setelah
pekerjaan di pantai ini selesai.
Matahari mulai meninggi. Pencahayaan sudah berlebihan. Aku kembali ke mobil
dan membangunkan temanku.
Sudah?
Sudah.

Yakin?
Sudah siang. Silau. Kalau ada yang kurang, besok-besok kan bisa ke sini lagi.
Mobil meninggalkan pantai dengan sebuah rahasia tentang pertemuan dengan
perempuan bernama Dugong.
***
Malamlah yang membuatku beranjak dari batu karang. Aku masih saja enggan
untuk pulang dan memilih makan di sebuah restoran satu-satunya di pantai ini.
Beberapa tahun berlalu sudah banyak perubahan. Akses jalan memang sebagian
belum bagus tapi sudah bisa dilalui kendaraan. Terlihat pula di beberapa bukit
sudah dibangun hotel atau villa. Pemerintah juga sepertinya sedang membuat
beberapa patung entah untuk apa. Pengunjung semakin banyak terutama di
akhir pekan. Tak hanya penduduk sekitar sini. Turis asing juga mulai berjemur
di dekat restoran.
Selagi menyantap makan malam khas pantai, aku iseng saja browsing nama itu.
Langsung ku ketik Dugong meski tanpa banyak berharap pada mesin pencari
canggih ini untuk bisa menemukan sesuai maksudku. Enter. Muncullah
beberapa situs yang memuat tentang nama itu. Situs pertama muncul dari
sebuah ensiklopedia terkenal yang menjelaskan bahwa Dugong itu nama lain
dari duyung. Legenda putri duyung? Mungkinkah
***
Tak ada panggung sesungguhnya. Hanya ada sebuah kotak tertutup kain hitam
terletak di tengah ruangan. Pengunjung satu persatu mengisi buku tamu di
dekat pintu masuk lalu menyebar. Aku datang dengan teman yang menemaniku

selama hunting di sini. Setengah jam kemudian, lampu padam. Dari masingmasing sudut lampu biru menyorot ke kotak besar. Kain hitam pun dibuka.
Sebuah aquarium dengan seorang perempuan di dalamnya. Itu perempuan di
pantai tadi. Cantik, berkilau dan begitu mempesona. Benar-benar menyerupai
putri duyung yang ada di film-film. Semua penonton terhipnotis gerakan
Dugong yang meliuk-liuk lincah. Beberapa kali melakukan gerakan memutar
seperti rudal. Sampai takjub aku melihatnya. Lalu lampu padam. Beberapa orang
bertepuk tangan menyangka pertunjukan telah usai. Tak lama kemudian lampu
menyala tapi berubah dominan merah. Sekarang Dugong terlihat menyeramkan
dengan mata tajam dan muka sedikit bersisik. Ekspresinya pun berubah marah
seakan ingin menyerang semua penonton dengan sesekali memperlihatkan
taringnya yang tajam. Usai meneror penonton, ia sedikit menekuk badan hingga
menutupi wajahnya. Pelan-pelan ekspresi menyeramkan tadi hilang berubah
menjadi sedih. Ia menatap penontop seperti ingin meminta pertolongan agar
dilepaskan dari aquarium itu. Saat aku mulai larut dalam tatapannya. Lampu
padam. Pertunjukan usai. Semua bertepuk tangan. Tak lama Dugong muncul
dengan gaun putih memberikan penghormatan. Beberapa orang mendekatinya
sekedar berjabat tangan memberi selamat atau meminta foto bersama. Ada juga
yang memberikan pujian. Dia terlihat sedikit tidak nyaman dan entah sesekali
melihatku. Setelah berhasil keluar dari kerumunan, ia menghampiriku.
Datang juga.
Tentu saja. Aku kan sudah bilang pasti datang. Benar-benar pertunjukan
memukau.
Kau mulai terdengar seperti mereka.

Maaf.
Besok ada waktu?
Ya, kebetulan sedang kosong.
Di pantai itu. Senja hari.
***
Dari sekian banyak situs, tiba-tiba saja aku tertarik pada sebuah judul. Situs itu
menuliskan bahwa seekor duyung menggegerkan kepulauan di seberang sana.
Hewan berkelamin betina itu terdampar di pesisir pantai dengan lintah-lintah
laut di sekujur tubuhnya. Nelayan yang menemukannya berhasil menanggalkan
lintah laut itu dan berusaha mengembalikan hewan langka itu ke laut.
Sayangnya, hewan itu malah meronta-ronta sehingga si nelayan pun
memeliharanya di rumah. Karena kabar cepat beredar dengan berbagai cerita
mistik dan dongeng versi masing-masing, mulailah banyak penduduk dan
instansi pemerintah berkunjung ke rumah nelayan itu. Sekedar untuk
menyaksikan atau mengabadikan foto hewan langka itu.
Aku melihat berita itu diposting 2 hari yang lalu. Sepertinya masih ada
kesempatan untuk melihat hewan itu. Mungkinkah dia Dugong. Perempuanku?
Ah aku mulai tidak masuk akal.
***
Usai pertemuan senja itu, kami lebih sering bersama. Kadang aku mengajaknya
ikut hunting lokasi, malamnya aku yang diajak olehnya bertemu teman-teman

seni. Tengah malam berpisah dengan pelukan yang begitu erat. Dia tidak mau
menginap bersamaku di hotel atau menginapkanku di rumah kontrakannya.
Katanya, Gerah.
Hari terakhir di pulau ini, kami berjanji untuk bertemu lagi sebelum aku
berangkat ke bandara. Di pantai itu. Di batu karang itu. Saat berdua
berpegangan tangan, dia memandangi cincin yang melingkar di jari ku. Sial, aku
lupa.
Cincin ini
Aku pun salah tingkah. Sampai-sampai tidak bisa berpikir dan malah
mengatakan hal yang fatal. Ya, seperti kau lihat. Ini cincin kawinku. Suaraku
terdengar begitu lirih.
Cincin kawin?
Ya, aku sudah menikah dengan seorang perempuan yang telah memberikanku
seorang putra.
menikah?
Ya, aku tetap mencintainya. Tapi sejak bertemu denganmu, aku pun
mencintaimu.
Dugong tak berkata apa pun. Dia begitu kaget. Lalu berdiri meninggalkanku.
Dugong, jangan pergi. Ku mohon. Kita pasti akan bertemu lagi.
Tanpa berhenti, dia memalingkan mukanya sebentar. Ekspresi menyeramkan
sama seperti pentasnya waktu itu. Dia melompat ke laut dan aku menyusulnya.

Dengan nafasku yang pendek, aku tak bisa lama menyelam. Setengah jam dia
tak muncul-muncul. Aku pun diam penuh penyesalan.
***
Saya mohon jangan terlalu dekat, mas. Duyung ini agak takut jika didekati oleh
laki-laki, pinta si nelayan.
Aku melihat duyung itu agak jauh. Coba melihat lebih seksama. Siapa tahu ada
tanda-tanda seperti Dugong. Perempuan yang kukenal. Tapi duyung ini tidak
setengah manusia seperti dia. Walau di pikiranku memang mengiyakan kalau
duyung sebenarnya memang seperti ini. Ah, aku mulai tidak masuk akal lagi.
Tiba-tiba duyung itu seperti melihatku. Aku pun membalas. Entah, tatapannya
begitu sedih sama seperti tatapan Dugong. Hatiku pun terasa teriris. Semakin
lama aku menatap matanya, semakin larut terasa. Tanpa sadar air mata pun
menetes.

Anda mungkin juga menyukai