Anda di halaman 1dari 8

Pengaruh Parameterisasi Kumulus terhadap Simulasi Angin

Kencang di Makassar dengan Menggunakan WRF


Gintang Sulung, Muhammad Priyanka, Nadira Saraswati, Nurfiena S.P., Rico
Ricardo L.G.
Program Studi Meteorologi
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian
Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Dari bulan September 2010 hingga Maret 2011, berbagai media cukup banyak menginggung
tentang kejadian angin kencang yang melanda wilayah Sulawesi. Pada 16 Januari 2011 tercatat
sekitar 165 rumah di kota Makassar rusak akibat adanya angin kencang. Paper ini membahas
tentang simulasi kejadian tersebut menggunakan model Weather Regional Forecast dengan
meninjau pengaruh parameterisasi kumulus. Waktu simulasi yang digunakan adalah 15 Januari
2011 00.00 UTC sampai 17 Januari 2011 00.00 UTC. Selanjutnya hasil model diverifikasi dengan
menggunakan data observasi. Kemudian hasil model untuk masing-masing kasus akan dinilai
secara kuantitatif maupun kualitatif. Variabel yang dibandingkan pada masing-masing kasus
meliputi laju dan arah angin, dan kelembaban udara. Selanjutnya dilakukan analisa pengaruh dari
ketiga parametersasi kumulus. Parameterisasi yang digunakan adalah Kain Fritsch, Betts Miller
Janjick, dan Grell Devenyi. Penggunaan parameterisasi kumulus yang berbeda akan

menghasilkan laju angin yang berbeda pada output model. Terjadinya angin tersebut
dipengaruhi oleh proses konveksi. Proses konveksi untuk tiap skema berbeda-beda dan
perbedaan tersebut terletak pada asumsi yang ada di dalam setiap skema. Untuk daerah
Sulawesi bagian selatan dengan kelembapan tinggi, skema yang baik digunakan adalah
skema parameterisasi kumulus BMJ dengan salah satu pemicu konveksi berupa kondisi
udara yang lembab.
kumulus terhadap output model, diharapkan dapat
diketahui parameterisasi kumulus yang cocok
digunakan untuk menjalankan model di wilayah
selatan Sulawesi.
Simulasi dilakukan dalam rentang waktu 15
Januari 2011 00 UTC sampai 17 Januari 2011 00
UTC. Media mengabarkan terdapat kejadian angin
kencang di wilayah Makassar pada waktu tersebut.
Kejadian angin kencang dikabarkan terjadi pada
pukul 11.00 WITA1 (03.00 UTC) dan merusakkan
sedikitnya 165 rumah di kota Makassar dan
sekitarnya.

1. Pendahuluan
WRF (Weather Reasearch and Forecasting)
Model merupakan salah satu model regional yang
saat ini banyak dikembangkan oleh kalangan
meteorologist. WRF dapat memodelkan kondisi
atmosfer di suatu wilayah sehingga dapat
membantu dalam mempelajari suatu kejadian
meteorologi dengan lebih baik.
Luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya
topografi pulau yang ada di Indonesia
menyebabkan sulitnya menemukan pengaturan
model regional yang cocok digunakan di seluruh
wilayah Indonesia, khususnya untuk variabel angin.
Untuk daerah dengan topografi yang sangat
kompleks seperti Sulawesi, kajian tentang
pengaturan model yang baik ini sangat menarik
untuk dilakukan.
Simulasi angin kencang di wilayah selatan
Sulawesi, tepatnya Makassar, dengan model WRF
merupakan salah satu upaya untuk mengkaji
aplikasi model WRF dalam menggambarkan
kejadian angin yang terjadi di daerah tersebut.
Dengan meninjau sensitivitas parameterisasi

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Angin
Angin adalah gerakan horizontal udara yang
relatif terhadap permukaan bumi. Gerakan hasil

Jumadi. 2011. Puting Beliung di Maros, Belasan Rumah


Hancur.www.tempointeraktif.com/hg/makassar/2011/01/16/br
k, 20110116-306563,id.html, diakses 2 Mei 2011

udara dari perbedaan suhu yang kecil dan skala


besar serta dari rotasi bumi.2
Angin dapat terbentuk dari proses konveksi.
Ketika udara dekat dengan permukaan bumi
dipanaskan oleh energi matahari, udara tersebut
akan mengalami penurunan densitas, sehingga
massa udara tersebut akan naik ke atas.
Penurunan
temperatur
yang
tiba-tiba
mengakibatkan partikel udara yang densitasnya
lebih rendah itu akan turun mengisi ruang yang
kosong. Kemudian udara yang lebih dingin itu
memanas, naik ke atas, dan proses tersebut
berlangsung terus-menerus (kontinyu)3.

Gambar 2.2. Klasifikasi angin


berdasarkan kecepatan angin.

2.1.1 Sistem Angin


Angin yang terjadi di Makassar
dipengaruhi oleh angin lokal. Angin lokal
meliputi angin darat dan angin laut, dan angin
gunung lembahan.
Angin darat dan angin laut digerakkan
oleh perbedaan temperatur horizontal yang
terjadi antara laut dan daratan yang berdekatan.
Perbedaan temperatur tersebut merupakan akibat
dari permukaan darat yang menjadi panas dan
menjadi dingin lebih cepat oleh lautan.
Angin gunung lembahan terjadi akibat
topografi daerah yang kompleks oleh semua
skala, dimulai dari bukut-bukit kecil hingga
pegunungan besar. Pengaruh topografi pada
umumnya menyebabkan angin tersebut untuk
balik arah dua kali sehari.

Gambar 2.1. Terjadinya angin akibat pemanasan


temperatur permukaan.
(sumber: http://free-windowswallpapers.blogspot.com/2008/07/puting-beliung.html)

Angin bergerak dengan kecepatan yang


berbeda dan memiliki nama yang berbeda
berdasarkan Skala Beaufort. Skala ini
ditunjukkan oleh angka 0 sampai 12 yang
berlangsung dari udara tenang dengan angin
angin yang kencang atau angin kencang. Angin
juga dikelompokkan oleh arah. Skala Beufort
ditunjukkan pada gambar 1.4

2.1.2 Pengaruh Topografi Terhadap Angin


Berikut ini merupakan karakteristik
topografik, meliputi bukit, lembah, lereng, dan
pegubungan dapat mempengaruhi angin dengan
tiga cara5 :
1. Hambatan yang dihasilkan dari medan dapat
mengalihkan aliran angin melalui paksaan
mekanik.
2. Udara yang dialihkan dapat mengakibatkan
dalam fluktuasi skala kecil, yang disebut
dengan turbulensi.
3. Gaya gesek memperlambat angin terdekat
permukaan bumi.

anonim.Wind Systems.National Wildfire Coordinating


Group
http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit7/print.htm
(diakses pada 20 Mei 2011)
3
anonim. 2006. Convection and Wind. UAF
Geophysical Institute
www.arcticclimatemodeling.org/lessons/acmp_58_Wind
_ConvectionandWInd.pdf (diakses pada 24 Mei 2011)
4
Hatheway, Becca.2010.Wind.
http://www.windows2universe.org/earth/Atmosphere/wi
nd.html (diakses pada tanggal 20 Mei 2011)

Loc.cit

KF pertama terbagi menjadi tiga bagian : a) Fungsi


pemicu konvektif, b) Perumusan flux massa, c)
Asumsi akhir.

2.2 Topografi Sulawesi Selatan

a) Fungsi pemicu
Mulanya skema ini mengidentifikasi gaya
potensial pada lapisan sumber konveksi awan
(updrafts source layer), yaitu lapisan sumber
updraft (USL). Berawal dari permukaan kemudian
lapisan vertikal yang berbatasan dicampur sampai
kedalaman
campuran mencapai 60
hPa.
Karakteristik termodinamika rata-rata campuran ini
dihitung, bersama dengan temperatur dan
ketinggian dari parsel pada lifting condensation
level (LCL). Sebagai tebakan awal kemungkinan
konveksi, suhu parsel TLCL , dibandingkan dengan
suhu disekitarnya TENV. Biasanya suhu parsel lebih
dingin dari suhu lingkungan dengan kata lain
buoyant negatif. Parsel diberi gangguan suhu
dihubungkan dengan besarnya grid-resolved gerak
vertikal. Rumus untuk gangguan ini,

Gambar 2.2. Peta Sulawesi Selatan


(sumber: Bakosurtanal, 2007)

Daerah Sulawesi Selatan merupakan daratan


dengan yang luas relatif sempit dan diapit oleh
lautan. Kota Makassar sendiri mempunyai posisi
strategis karena berada di persimpangan jalur lalu
lintas dari arah selatan dan utara dalam propinsi di
Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah
kawasan Timur Indonesia dan dari wilayah utara ke
wilayah selatan Indonesia. Ketinggian kota ini
bervariasi antara 1-25 meter dari permukaan laut.
Kota Makassar merupakan daerah pantai yang datar
dengan kemiringan 0 - 5 derajat ke arah barat,
diapit dua muara sungai yakni sungai. Tallo yang
bermuara di bagian utara kota dan sungai
Jeneberang yang bermuara di selatan kota.6

= ( (

Dimana k adalah konstanta dengan satuan K


adalah grid-resolved kecepatan
vertical (cm ), dan c(z) adalah kecepatan
ambang batas.
Pola gangguan ini memudahkan untuk
menghilangkan sebagian besar parsel yang akan
dikategorikan sebagai deep convection. Proses
eliminasi meliputi penambahan suhu gangguan
yang telah dihitung (biasanya, 1-2 K) dengan suhu
parsel pada LCL. Jika suhu yang dihasilkan masih
lebih kecil dari suhu lingkungan maka parsel ini
akan dieliminasi.

b) Perumusan flux massa


Updraft
konvektif
pada
skema
KF
direpresentasikan
menggunakan
keadaan
entrainmet/detrainment model stabil. Dalam model
tingkat entrainment dan detrainment berbanding
terbalik secara proporsional, tingkat entrainment
tinggi disertai dengan tingginya parsel buoyancy
dan kelembaban lingkungan.
Downdrafts konvektif dipicu oleh penguapan
kondensat yang dihasilkan dalam updraft tersebut.
Sebuah fraksi total kondensat ini dibuat tersedia
untuk penguapan dalam downdraft, Fraksi ini
secara efektif menentukan besar relatif antara
downdraft dan massa updraft fluks setelah
parameter downdraft kritis lain ditentukan.
Downdraft dimulai pada level kejenuhan
minimum setara dengan temperatur potential,
dengan campuran updraft dan udara lingkungan.

2.1. Parameterisasi Kumulus dalam WRF


Parameterisasi merupakan cara untuk
menghitung efek yang ditimbulkan oleh suatu
proses tanpa memodelkan langsung proses tersebut.
Parameterisasi kumulus merupakan salah satu cara
untuk meninjau pembentukan awan kumulus akibat
efek konvektif di dalam model. Skema yang akan
digunakan dalam studi ini antara lain Kain-Fritcsh,
Betts Miller Janjic, dan Grell Devenyi.
2.1.1. Kain-Fritcsh
Skema KF pertama berasal dari skema
parameterisasi konvektif Fritsch-Chappell. Skema
6

anonim.2009.Geografis Makassar.
http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/component/c
ontent/article/85 (diakses pada 22 Mei 2011)

Parsel ini bergerak ke bawah dengan pola


Lagrangian, dengan tingkat entrainment tertentu

mixing-line. Skala waktu


konvektif selama 2 jam

(entraining udara lingkungan saja) dan


kelembaban relatif tetap sebesar 100% di atas
dasar awan dan 90% di bawah dasar awan.

relaksasi

untuk

Kelebihan skema parameterisasi kumulus ini


yaitu:
a. Batas mixing-line didesain untuk laut
tropis,grid yang kasar dan kasus-kasus yang
mempengaruhi lingkungan
b. Sangat sempurna untuk berbagai variasi
aplikasi dan dapat mengadaptasi untuk
mesoscale dengan penyesuaian beberapa
parameter. Hal tersebut digunakan dalam
operasional NCEP Eta Model.

Downdraft ini dihentikan jika menjadi lebih hangat


dari lingkungannya atau mencapai permukaan.
Downdraft
dipaksa
berhenti
sehingga
kedalaman minimum lapisan detrainment adalah
sama dengan kedalaman minimum USL, 60 mb.
Fluks massa lingkungan diperlukan untuk
mengkompensasi transpor ke atas dan ke bawah
dalam gerakan udara vertikal dan downdraft,
sehingga fluks massa bersih pada setiap level di
kolom adalah nol.

Kekurangan skema BMJ antara lain tidak


memasukan parameter downdraft konvektif dan
batas mixing-line muncul kurang tepat dalam
kasus konvektif dalam yang ekplosif dan tidak
langsung menimbulkan skala tinggi dan rendah
dari meso.

c) Asumsi akhir
Pada dasarnya, skema KF mengatur ulang
massa di kolom menggunakan updraft, downdraft,
dan fluks massa lingkungan sampai setidaknya 90%
dari CAPE (energi potensial konvektif yang
tersedia) dihapus. CAPE dihitung dengan cara
tradisional, menggunakan kenaikan parsel yang
tidak dicairkan (undiluted), dengan karakteristik
parsel seperti pada USL.
Skema memberi feed back pada kecenderungan
konvektif dari temperatur, mixing ratio uap air, dan
mixing ratio awan. Secara default, partikel
presipitasi konvektif hanya menumpuk di
permukaan tetapi terdapat code yang dapat
mengatur untuk mengaktifkan atau mematikan feed
back presipitasi pada saat tahap ini mulai bekerja.

2.1.3. Grell-Devenyi
Berikut adalah asumsi yang digunakan
dalam skema Grell-Devenyi.
a. Awan konveksi dalam untuk semua grid.
b. Skema awal berasal dari fungsi cloud-work
Arakawa-Schubert untuk batasnya, tetapi
kemudian berubah menggunakan CAPE
sebagaimana Kain-Fritsch.
c. Tidak ada pencampuran langsung secara lateral
dengan lingkungan, kecuali pada level awal
atau akhir dair updraft/downdraft. Sehingga
fluks massa konstan menurut ketinggian.
d. Fraksi area yang menutupi updraft dan
downdraft dalam suatu kolom adalah kecil. Hal
ini memungkinkan skema untuk memperbaiki,
meskipun beberapa derajat range masih sangat
penting.

2.1.2. Betts Miller Janjic


Asumsi yang digunakan dalam skema Betts
Miller Janjic adalah sebagai berikut.
a. Terdapat struktur termodinamika quasiequilibrum dimana lingkungannya berpindah
akibat konveksi. Struktur ini dapat didefinisikan
dalam mixing line yang ditentukan dari data
observasi
b. Untuk tujuan representasi konveksi dari model
global, hal tersebut tidak penting untuk secara
ekplisit
menampilkan
pemanasan
dan
kelembaban yang disebabkan oleh proses
subgrid updraft, downdraft, peluruhan dan
pembentukan.
Dengan
asumsi
bahwa
keserdahaan desain akan lebih efisien dan
mengurangi eror, semuanya dibuat secara
implisit.
c. Batas skema diasumsikan bahwa laju saat
kelabilan konvektif ditimbulkan dalam suatu
lingkungan yang menentukan bagaimana
kecepatan profil lingkungan berubah menurut

Kelebihan dari skema ini antara lain:


a. Skema yang sangat sempurna yang
dimodifikasi sehingga seperti KainFritsch
b. Memasukan efek downdraft
c. Sangat baik untuk ukuran grid 10-12km
Skema ini memiliki kekurangan sebagai
berikut.

a. Karakteristik Arakawa-Schubert pada batas


skema sebagian besar diganti
b. Tidak ada efek entrainment-detrainment

kencang. Hasil downscaling tersebut memiliki


resolusi 3 km.

3. Data dan Metode


Data yang digunakan sebagai input model WRF
untuk kasus ini adalah data model global hasil
reanalisis NCEP/NCAR dengan resolusi 1.
1
Sedangkan data
ata observasi yang digunakan untuk
verifikasi adalah data obsevasi stasiun Makassar.
Metode verifikasi data secara kualitatif,
kualitatif
dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi
secara time series. Metode verifikasi secara
kuantitatif yang digunakan antara lain meninjau
nilai RMSE dan korelasi.
Simulasi yang dilakukan memiliki konfigurasi
parameterisasi sebagai berikut.
Parameterisasi
Mikrofisik
PBL
Kumulus

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Verifikasi Hasil Simulasi
Berikut adalah data set time series laju
angin permukaan di stasiun Makassar untuk
verifikasi data hasil simulasi oleh model.

Skema
WSM6
ACM2
Kain-Fritcsh (KF)
Betts Miller Janjic (BMJ)
Grell Devenyi (GD)

Tabel 3.1 Konfigurasi model yang digunakan

Konfigurasi
parameterisasi
yang
tidak
disebutkan di atas menggunakan skema default
WRF. Pemilihan skema mikrofisik WSM6 didasari
oleh karakteristik awan di wilayah Sulawesi yang
dapat tumbuh tinggi karena pulau Sulawesi
merupakan daratan sempit yang diapit dua lautan.
Letak geografis ini berakibat pada besarnya
pengaruh angin lautt terhadap pulau Sulawesi.
Pertemuan angin laut dari barat maupun timur
pulau Sulawesi dapat menyebabkan konveksi yang
cukup besar dan menghasilkan awan tinggi yang
mengandung es. Skema WSM6 memperhitungkan
hal tersebut dalam pembentukan partikel penyusun
awan.

Gambar 4.1. Data set time series untuk


variabel laju angin permukaan di stasiun
Makassar.

Terlihat pada gambar seluruh skema dapat


menggambarkan laju angin permukaan dengan
cukup baik. Namun hanya skema BMJ yang
dapat menggambarkan data ekstrem. Skema GD
menghasilkan data yang paling
p
buruk diantara
ketiga skema.

Gambar 4.2. Hasil verifikasi data simulasi laju angin


permukaan secara kuantitatif.
kuantitatif

Gambar 3.1. Konfigurasi domain


Simulasi yang dilakukan menggunakan domain
di wilayah selatan Sulawesi, dengan tiga kali
downscaling untuk mendapatkan resolusi yang
cukup baik dalam meninjau kejadian angin

Skema BMJ memberikan nilai korelasi


yang paling besar.. Hal ini berarti pola laju angin
permukaan di Makassar digambarkan paling
baik oleh skema BMJ. Nilai
N
RMSE yang paling
5

(d))

kecil menunjukan nilai laju angin permukaan


skema BMJ paling mendekati data observasi.
observasi
Meskipun hasil model skema BMJ cenderung
overforecast, tetapi skema BMJ baik dalam
menggambarkan kejadian ekstrim.
(a)

Gambar 4.3. Windrose di stasiun


Makassar pada 15 Januari 00 UTC 17
Januari 2010 00 UTC untuk data (a)
observasi, (b) KF, (c) BMJ, dan (d) GD.
GD

Berdasarkan plot di atas terlihat skema


BMJ tidak dapat menggambarkan arah angin di
Makassar sesuai dengan data observasi. Hal ini
bertolak belakang dengan data laju angin
permukaannya. Penyebabnya adalah variabel
angin dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
topografi dan kondisi geografis daerah kajian
sehingga sulit untuk memodelkan angin dengan
akurat karena dalam model banyak terdapat
asumsi yang membatasinya dari keadaan nyata.
nyata
Skema yang dapat menggambarkan arah
angin dengan baik di Makassar adalah
ad
skema
GD. Hal ini dapat dilihat dari prevailing wind
yang dihasilkan sesuai dengan data observasi.
Selain itu dapat terlihat adanya arah angin yang
bertolak belakang dalam windrose GD.
Berlawanannya arah angin menunjukkan
terdapat pembalikan arah angin
angi pada waktu
tertentu. Hal tersebut menunjukkan adanya
mekanisme angin daratlaut
darat
dan mekanisme
angin gununglembah.

(b)

(c)

4.2. Perbandingan Hasil Simulasi Antar Skema


09 WITA

10 WITA

11 WITA

12 WITA

13 WITA

(a)

(b)

(c)

RH (%)

Gambar 4.4. Plot kelembapan relatif (%), vektor angin vertikal (m/s), dan kontur temperatur potensial ekivalen (K)
cross latitude (5,07 LS) pada bujur 119,3 119,8 BT untuk skema (a) KF, (b) BMJ, dan (c) GD. Ketinggian
ditunjukkan oleh sumbu-y dengan satuan km. Daerah dengan kotak hitam merupakan lokasi stasiun Makassar.

Kelembaban relatif menunjukkan kemungkinan


terdapatnya awan di suatu daerah. Awan cenderung
berada di daerah dengan kelembaban yang tinggi
karena dalam pembentukan awan sendiri diperlukan
banyak uap air. Vektor angin vertikal dapat
menunjukkan bagimana gambaran updraft di suatu
daerah. Sedangkan gradien temperatur potensial
ekivalen dapat menunjukkan ketidakstabilan
atmosfer.
Skema KF menunjukkan adanya konveksi dalam
satu grid. Hal ini disebabkan oleh proses
pembentukkan awan konvektif skema KF
memperhitungkan parsel udara dalam satu grid
tersendiri. Karena adanya konveksi dalam satu grid
tersebut, laju angin akan melemah pada titik
konveksi. Oleh karena itu angin yang dihasilkan
dari skema KF cenderung memiliki laju yang
rendah.
Sulawesi merupakan daerah yang lembab. Luas
daratan di Pulau Sulawesi bagian selatan relatif
sempit dengan di apit oleh lautan menyebabkan
pengaruh angin laut sangat besar. Hal ini
menyebabkan tingginya kandungan uap air di
daerah Makassar. Oleh karena itu, skema
parameterisasi kumulus yang paling efektif
digunakan adalah skema BMJ (terbukti dengan
hasil verifikasi laju angin permukaan pada bagian
sebelumnya).
Pemicu konveksi pada skema BMJ salah satunya
adalah kelembaban udara. Daerah dengan
kelembaban udara tinggi dapat mengalami

konveksi. Pada saat terjadi konveksi parsel udara


naik ke atas mengalami pendinginban adiabatik dan
melepaskan sejumlah panas ke lingkungan
sekitarnya. Panas tersebut memanaskan parsel
udara lainnya sehingga terjadi konveksi yang lebih
besar. Meningkatnya konveksi akan menurunkan
tekanan di permukaan karena densitas udara yang
semakin rendah. Massa udara lain akan mengisi
kekosongan udara yang ditimbulkan konveksi.
Akibatnya, terdapat angin di daerah sekitar titik
konveksi dan laju angin akan meningkat seiring
dengan peningkatan konveksi.
Terlihat dalam gambar 4.2 bahwa pada skema
GD tidak terdapat konveksi yang cukup berarti. Hal
ini disebabkan oleh karakter skema GD yang
cenderung mendeteksi downdraft daripada updraft.
Keterbatasan tersebut menyebabkan skema GD
kurang mendeteksi peningkatan laju angin yang
disebabkan oleh adanya proses konveksi sehingga
laju angin dari skema ini cenderung underforecast
(gambar 4.1).

5. Kesimpulan
Penggunaan parameterisasi kumulus yang
berbeda akan menghasilkan laju angin yang
berbeda pada output model. Terjadinya angin
tersebut dipengaruhi oleh proses konveksi. Proses
konveksi untuk tiap skema berbeda-beda dan
perbedaan tersebut terletak pada asumsi yang ada di
7

dalam setiap skema. Untuk daerah Sulawesi bagian


selatan dengan kelembapan tinggi, skema yang baik
digunakan adalah skema parameterisasi kumulus
BMJ dengan salah satu pemicu konveksi berupa
kondisi udara yang lembab.

Referensi
anonim.Wind Systems. National Wildfire Coordinating Group.
http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit7/print.htm
(diakses pada 20 Mei 2011)
anonim. 2006. Convection and Wind. UAF Geophysical
Institute.
www.arcticclimatemodeling.org/lessons/acmp_58_Wind_C
onvectionandWInd.pdf (diakses pada 24 Mei 2011)
anonim.2009.Geografis Makassar.
http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/component/con
tent/article/85 (diakses pada 22 Mei 2011)
Fithra M.S., Zeki. 2009. KAJIAN PUTING BELIUNG
INDONESIA (Studi Kasus Simulasi Puting Beliung Kediri
Desember 2007 dengan menggunakan Model WRF),
Program studi Meteorologi, Tugas Akhir S1, FITB ITB,
Bandung.
Hatheway, Becca.2010.Wind.
http://www.windows2universe.org/earth/Atmosphere/wind.
html (diakses pada 20 Mei 2011)
Jumadi. 2011. Puting Beliung di Maros, Belasan Rumah
Hancur.
www.tempointeraktif.com/hg/makassar/2011/01/16/brk,201
10116-306563,id.html (diakses 2 Mei 2011)
Kadarsah. 2008. Beberapa Skema Parameterisasi Kumulus.
kadarsah.wordpress.com/2008/04/01/beberapa-skemaparameterisasi-awan-kumulus/ (diakses pada 2 Mei 2011)
Kirtsaeng, Sukrit , Somporn Chantara, and Jiemjai Kreasuwun.
2010. Mesoscale Simulation of a Very Heavy Rainfall Event
over Mumbai, Using the Weather Research and Forecasting
(WRF) Model. Environmental Science Program and Center
for Environmental Health, Toxicology and Management of
Chemicals, Faculty of Science, Chiang Mai University,
Chiang Mai 50200, Thailand.
Pielke, Roger. 2011. windstorm. Encyclopdia Britannica.
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1186291/wind
storm (diakses pada 3 Mei 2011)
Siti,
Djenar.
Puting
Beliung!.http://free-windowswallpapers.blogspot.com/2008/07/puting-beliung.html
(diakses pada 26 Mei 2011)

Anda mungkin juga menyukai