Anda di halaman 1dari 15

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Interaksi Laut-Atmosfer


Interaksi antara laut dan atmosfer terjadi di permukaan laut, yang ditandai dengan
terjadinya perpindahan energi, massa, momentum dan partikel gas yang
menyertainya. Proses tersebut diawali dengan penyerapan energi radiasi matahari
oleh angin. Radiasi matahari akan menyebabkan perbedaan tekanan udara.
Akibatnya terjadi perpindahan massa udara dari daerah bertekanan tinggi ke
daerah bertekanan rendah.

Sebagian energi radiasi yang dibawa angin dipindahkan ke permukaan laut, dan
tersimpan dalam bentuk temperatur laut terutama pada lapisan beberapa meter
teratas. Apabila ada angin, molekul air laut mulai bergerak melakukan
perpindahan, sehingga terbentuk arus laut. Akibatnya terbentuk distribusi
temperatur laut yang baru, baik secara horisontal maupun vertikal hingga
mencapai kedalaman termoklin (sekitar 200 m). Untuk selanjutnya, arus laut akan
menentukan daerah laut mana yang memberikan kembali energi dari laut ke
atmosfer, yaitu berupa suplai uap air dan pembentukan awan. Proses penyerapan
dan pemantulan yang terjadi pada distribusi awan-awan yang terbentuk, akan
menentukan distribusi radiasi matahari di muka bumi, yang pada akhirnya
kembali menentukan arah dan kecepatan pergerakan angin di permukaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi antara laut dan atmosfer terjadi secara
dua arah (kopel). Tetapi semua proses diatas bergantung pada variabilitas dan
distribusi horisontal dan temporal yang ada.

Jadi, sekalipun proses interaksi laut dan atmosfer terjadi pada skala mikro level
molekul, tapi rangkaian proses tersebut dapat berpengaruh pada lapisan laut
turbulen atau lapisan campur (mixed layer) dan lapisan batas atmosfer yang juga
banyak terjadi turbulensi. Untuk selanjutnya, proses interaksi akan mempengaruhi
lapisan termoklin dan laut dalam serta lapisan atmosfer bebas. Hal ini berlanjut
pada skala regional dan global, dimana proses interaksi memberikan pengaruh
pada daerah lain yang lebih jauh, yaitu dengan adanya proses hubungan jarak jauh

5
(teleconnection) yang dibantu oleh sirkulasi di laut dan atmosfer. Sirkulasi di laut
yang berperan besar dalam membantu proses hubungan jarak jauh adalah arus
lintas sabuk benua (the great conveyor belt), sementara sirkulasi di atmosfernya
adalah sirkulasi Walker dan Hadley.

II.2 Model Iklim


Dalam memahami suatu fenomena iklim dan cuaca, baik berupa gejala, proses
atau bahkan dampak yang mungkin ditimbulkannya, dibutuhkan suatu model yang
dapat mensimulasikan keadaan-keadaan yang berkaitan dengan fenomena
tersebut. Hal ini diperlukan karena tidak mungkin bagi manusia untuk melakukan
eksperimen dengan alam, apalagi sampai merusak alam itu sendiri. Berbagai
skenario dibuat dan disimulasikan dalam model, sehingga pemahaman terhadap
suatu fenomena iklim dan cuaca menjadi lebih baik. Dan tentu saja berbagai
skenario tersebut tidak dapat begitu saja diterapkan di alam terbuka, karena dapat
membawa konsekuensi yang membahayakan.

Pembuatan dan pengembangan model iklim mengacu pada sistim iklim yang ada
di muka bumi (Gambar II.1). Model iklim ini dapat digunakan untuk dua
peruntukan, yaitu modus iklim dan modus peramalan atau forecasting. Modus
iklim mengacu pada pengkajian cuaca atau iklim yang sudah berlalu, sedangkan
modus peramalan untuk cuaca mendatang. Dua unsur utama iklim yang
digunakan dalam model iklim adalah energi dan siklus air, sehingga model iklim
utama terbagi menjadi model laut, model atmosfer, model hidrologi permukaan
serta model es, tetapi komponen utama model iklim selalu mengacu pada model
atmosfer.

Model iklim laut, model iklim atmosfer dan model iklim es memiliki beberapa
varian. Varian model iklim laut yaitu model laut global dan model laut regional.
Sedangkan varian model iklim atmosfer diantaranya model iklim global, model
iklim regional atau limited area model, model perawanan serta model lokal skala
resolusi tinggi untuk proses di permukaan tanah dan lapisan batas atmosfer. Untuk

6
selanjutnya, pembahasan lebih ditekankan pada model laut dan model atmosfer itu
sendiri.

Gambar II.1 Sistim iklim bumi

Laut dan atmosfer memiliki perbedaan nilai kapasitansi panas yang signifikan.
Hal ini dapat menimbulkan adaptasi terhadap lingkungan dan waktu simpan panas
yang berbeda juga. Atmosfer memiliki kapasitansi panas yang kecil, akibatnya,
jika terjadi gangguan yang bersifat lokal di suatu tempat, dapat mempengaruhi
cuaca pada saat yang akan datang. Fenomena demikian dikenal dengan istilah
efek kupu-kupu. Sebaliknya, laut memiliki kapasitansi panas yang besar,
akibatnya laut dapat menahan gangguan lokal tersebut sehingga tidak berperan
lebih besar. Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan ini akan berpengaruh pada
proses inisiasi. Untuk atmosfer, peran masa lalu terhadap iklim saat ini tidak
terlalu besar, sehingga cukup memerlukan masa inisiasi yang pendek. Tetapi
sebaliknya, lautan membutuhkan masa inisiasi yang lebih panjang. Biasanya
model atmosfer hanya membutuhkan data inisiasi jam-jaman, sedangkan model
laut global membutuhkan data inisiasi hingga 30 tahun.

7
Jika dilihat dari dinamika per lapisan, model laut dan model atmosfer dapat
dibedakan menjadi model hidrostatik dan model non hidrostatik. Model
hidrostatik mengasumsikan bahwa tidak terjadi perpindahan massa udara secara
vertikal (diabaikan), dan lebih melihat pergerakan massa udara secara horisontal.
Dengan demikian, konsep hidrostatik dapat membantu perhitungan menjadi tidak
terlalu rumit. Tetapi akibatnya, model hidrostatik menjadi kurang efektif apabila
diterapkan pada daerah yang terjal seperti pegunungan, karena banyak terjadi
pergerakan secara vertikal. Sehingga untuk daerah yang demikian atau untuk
model dengan resolusi tinggi yang sangat memperhatikan aspek lokal, dapat
menggunakan model dengan konsep non hidrostatik. Contoh model non
hidrostatik adalah model iklim untuk pertanian dan perkotaan atau model proses
permukaan.

Model laut dan model atmosfer bekerja pada daerah yang telah ditentukan
sebelumnya. Daerah model tersebut memiliki batas, yang meliputi batas atas,
batas domain dan batas bawah. Batas bawah model atmsofer, yaitu muka laut,
menjadi batas atas bagi model laut, karena masukan utama model laut terdapat di
permukaan laut tersebut. Untuk model laut global, informasi yang berkaitan
dengan permukaan laut diperoleh dari reanalisis atmosfer permukaan atau dari
keluaran model atmosfer global. Batas domain model atmosfer diperoleh dari data
satelit, sedangkan untuk model laut, batas domain biasanya diperoleh dari data
rata-rata klimatologi lautan, yaitu berupa rata-rata iklim 30 tahunan. Batas model
atmosfer yang lain adalah batas atas, tetapi batas ini sering dianggap tidak ada.
Batas model laut yang terakhir adalah batas dasar laut, yang digunakan untuk
mengetahui arah aliran massa air laut dan proses sedimentasi daerah pesisir. Arah
aliran masa air laut ini berperan dalam proses konveksi (perpindahan massa dan
energi secara vertikal) dan adveksi (perpindahan massa dan energi secara
horisontal), yang pada akhirnya mempengaruhi profil temperatur dan salinitas.

II.3 Parameterisasi
Dalam mengaplikasikan teori-teori fisika dan dinamika kedalam model iklim,
perlu dilakukan pendekatan-pendekatan. Pendekatan tersebut dimaksudkan agar

8
proses yang diukur di suatu tempat dapat diinterpolasikan dalam situasi regional
menggunakan proses parameterisasi berdasarkan data insitu atau inderaja.
Parameterisasi harus dilakukan karena tidak mungkin mengamati berbagai
parameter yang berkaitan dengan model iklim secara global, terutama parameter
interaksi laut-atmosfer.

Prinsip dasar yang digunakan dalam parameterisasi adalah dapat menghubungkan


fluks massa, gas dan energi di permukaan dengan kuantitas rata-rata parameter
lain. Fluks pada suatu daerah permukaan ditentukan oleh angin permukaan,
temperatur, dan kelembaban pada suatu titik di permukaan dengan memakai
koefisien transfer (bulk transfer coefficient) energi, kelembaban dan momentum.

Penentuan parameterisasi di daerah tropis lebih sulit dibanding daerah lintang


lain. Hal ini dikarenakan angin permukaan di daerah tropis sangat rendah
sehingga muka laut menjadi licin. Parameterisasi juga membutuhkan perkiraan
temperatur tepat permukaan (skin temperature) yang biasanya tidak tersedia. Data
yang tersedia biasanya berupa hasil pengukuran satelit yang akurasinya berkurang
di daerah tropis, akibat terserapnya radiasi gelombang panjang oleh kandungan
uap air di atmosfer. Data lain adalah hasil pengukuran kapal riset yang biasanya
mengukur pada ketinggian 2 m di atas permukaan laut. Tetapi hasil pengukuran
kapal riset tersebut harus dikoreksi terlebih dulu dengan temperatur laut dan laju
penguapan yang memproduksi skin effect.

II.4 Model Laut


Model laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah model laut global dari
Max Planck Institute-Ocean Model (MPI-OM), dan merupakan model hidrostatik.
MPI-OM merupakan turunan dari model laut Hamburg Ocean Primitive Equation
(HOPE) yang sudah mengalami banyak perkembangan berarti. Salah satu
perkembangan pentingnya adalah menggunakan sistim grid Arakawa C
kurvalinier ortogonal untuk diskritisasi horisontalnya. Sementara untuk
diskritisasi vertikal menggunakan sistim koordinat z. MPI-OM menggunakan
sistim koordinat sperikal ortogonal bipolar, yang membolehkan posisi kutub

9
berubah-ubah. MPI-OM yang merupakan model sirlukasi laut global (Ocean
Global Circulation Model-OGCM) didasarkan pada persamaan primitif (level z,
permukaan bebas) dengan asumsi Boussinesq dan inkompresibilitas, yang
diformulasikan pada sistim grid Arakawa C kurvalinier ortogonal.

Persamaan kesetimbangan momentum horisontal untuk fluida Boussinesq


hidrostatik pada bidang berotasi adalah:

dvo
dt
r
(
+ f k ×vo = −)1 r
ρw
[ ]
r r
∇ H ( p + ρ w gζ ) + FH + FV (II.1)

dimana
r
vo = ( u o , vo ) = vektor kecepatan horisontal laut pada koordinat ortogonal

t = waktu
f = parameter Coriolis
r
k = vektor unit normal terhadap pusat bumi
ρ w = densitas referensi konstan
r
∇ H = operator gradien horisontal
p = tekanan internal
g = percepatan yang disebabkan oleh gravitas
ς = elevasi permukaan laut
r
FH = parameterisasi viskositas eddi horisontal
r
FV = parameterisasi viskositas eddi vertikal

Tekanan p dihitung menggunakan persamaan hidrostatik:


∂p
=− g ρ (II.2)
∂z
Kecepatan vertikal wo dihitung dari kecepatan horisontal menggunakan kondisi
inkompresibilitas:
∂wo
= − ∇ H ⋅vo (II.3)
∂z

10
Integrasi pada seluruh kedalaman akan memberikan kecepatan vertikal di
permukaan.
ζ
wo z =ζ
=− ∇H ⋅ ∫−H
v o dz (II.4)

Temperatur potensial θ dan salinitas S mengikuti persamaan adveksi-difusi:


dθ r
( )
r
=∇H ⋅ Κ ∇H θ (II.5)
dt
dS r
( )
r
=∇H ⋅ Κ ∇H S (II.6)
dt
Tensor K merupakan parameterisasi proses skala subgrid difusi horisontal/
isonetral dan difusi vertikal/dianetral. Parameterisasi ini diharuskan karena
resolusi horisontal dan vertikal OGCM kasar. Temperatur potensial dikonversi
menjadi temperatur in situ untuk perhitungan densitas. Pada kondisi batas,
temperatur potensial dinyatakan dengan:

(
Θ n +1 / m = Θ1n + Δt λT ⋅ Θ Levitus − Θ n k =1 ) (II.7)

Kondisi batas dinyatakan dengan kecepatan waktu perubahan elevasi permukaan


sama dengan komponen vertikal kecepatan laut di permukaan
∂ζ
= w0 (II.8)
∂t z =ζ

Parameterisasi proses skala subgrid yang diterapkan diantaranya adalah:


1. memasukkan skema konveksi slop lapisan batas dasar yang baru, skema
ini memperhitungkan representasi yang lebih baik terhadap aliran massa
air padat statik yang tidak stabil sepanjang sill dan di dekat dasar.
2. difusi horisontal harmonik termohalin diganti dengan skema isopiknal,
difusi isopiknal ini lebih baik karena dapat menerangkan pengamatan,
bahwa pengusutan pada dasarnya tercampur sepanjang isopiknal.
3. penyesuaian konvektif diganti dengan parameterisasi menggunakan difusi
vertikal yang lebih tinggi, difusi ini dapat memperhitungkan pengenalan
respon laut yang tergantung pada waktu menjadi ketidakstabilan statik.
4. viskositas eddi horisontal dan vertikal, viskositas eddi horisontal
diparameterisasi menggunakan formula biharmonik skala tak bebas

11
( )
r r r r
FH = − ∇ H ⋅ B H ∇ H Δ H vo (II.9)
sedangkan viskositas eddi vertikal diparameterisasi dengan
r ∂ ⎛ ∂ r ⎞
FV = ⎜ AV vo ⎟ (II.10)
∂z ⎝ ∂z ⎠
dimana BH = koefisien yang proporsional pada jarak grid pangkat empat
dan AV = koefisien eddi.

II.5 Model Atmosfer


Model atmosfer yang digunakan pada penelitian ini adalah model atmosfer
regional dari MPI-Regional Climate Model (MPI-RCM) atau Regional
Atmospheric Model (REMO), yang juga merupakan model hidrostatik. Sistim
dinamika utama serta proses diskritisasi ruang dan waktu REMO didasarkan pada
European Model, sedangkan parameterisasi fisika didasarkan pada model iklim
global ECHAM4 (European Centre for Medium-Range Weather Forecasts-
ECMWF/Hamburg Atmospheric Model versi 4). Variabel prognostiknya adalah
tekanan permukaan, temperatur, komponen angin horisontal, uap air dan
kandungan air cair. REMO menggunakan sistim grid Arakawa C untuk
representasi horisontal, dan sistim koordinat hibrid dengan 20 lapisan secara
vertikal. Diskritisasi waktu menggunakan sistim semi implisit skema leapfrog dan
skema adveksi eksplisit. Interpolasi lapisan batas menjangkau hingga 8 grid, yang
disebut sebagai zona relaksasi lapisan batas. Zona batas tersebut berisi semua
variabel prognostik yang pengaruhnya meluruh secara eksponensial.
Model atmosfer REMO dibangun dari beberapa persamaan, yaitu:
Persamaan momentum, dinyatakan dengan
dvh 1 ∂J v h
= − ∇ h p − 2 (Ω × v h )h −
1
+ K vh (II.11)
dt ρ ρ ∂z
dimana:
v h = (u, v) = vektor angin horisontal

Ω = kecepatan angular bumi


J v h = fluks momentum vertikal yang diparameterisasi

K v h = kecenderungan variabel vektor angin horisontal akibat difusi horisontal

12
Persamaan termodinamik, dinyatakan dengan

dT Rd Tv dp 1 ⎛⎜ ⎡ ∂J S ∂J q ⎤⎞
− C pd T (δ −1) v
1
= +

QR + QL + QD − ⎢ ⎥ ⎟⎟ + K T (II.12)
dt p C p dt C p ⎝ ρ ⎣ ∂z ∂z ⎦⎠
dimana:
Rd = konstansta gas untuk udara kering
Tv = temperatur virtual
Cp = panas spesifik udara basah pada tekanan konstan
QR = pemanasan yang disebabkan oleh radiasi
QL = pemanasan yang disebabkan oleh perubahan fasa internal (termasuk
evaporasi dan presipitasi)
QD = pemanasan yang disebabkan oleh disipasi energi kinetik internal
JS = fluks energi statik kering vertikal netto yang diparameterisasi
Cpd = panas spesifik udara kering pada tekanan konstan
δ = Cpv /Cpd
Cpv = panas spesifik uap air pada tekanan konstan
J qv = fluks kelembaban vertikal netto yang diparameterisasi

KT = pengaruh skala horisontal yang belum

Persamaan kelembaban, dinyatakan dengan


dq v 1 ∂J qv
= S qv − (II.13)
dt ρ ∂z
dq w 1 ∂J qw
= S qw − (II.14)
dt ρ ∂z
dimana:
S qv = perubahan qv disebabkan oleh kondensasi atau evaporasi

qv = rasio percampuran uap air


S qw = perubahan qw disebabkan oleh kondensasi, evaporasi atau presipitasi

qw = rasio percampuran kandungan air awan


J qw = fluks air awan vertikal netto yang diparameterisasi

Persamaan keadaan, dinyatakan dengan


p = ρ Rd Tv (II. 15)

13
Persamaan hidrostatik, dinyatakan dengan
∂p
=− g ρ (II.16)
∂z

Seperti halnya MPI-OM, parameterisasi juga diterapkan dalam REMO.


Parameterisasi kondisi radiasi pada lapisan batas atas diadopsi dari model
ECMWF, tetapi dengan sedikit modifikasi seperti penambahan gas-gas rumah
kaca (misalnya metan dan CFC) dan beberapa jenis aerosol. Parameterisasi yang
lain adalah fluks permukaan turbulen dihitung dari teori similiritas Monin-
Obukhov, dengan skema tertutup orde tinggi untuk koefisien transfer momentum,
panas, kelembaban, dan air awan didalam dan diatas lapisan batas planeter.

Perawanan dibagi menjadi jenis awan stratiform dan awan konvektif.


Parameterisasi awan konvektif didasarkan pada konsep fluks massa air, yang
memperhatikan konveksi penetratif, konveksi level menengah dan konveksi
dangkal. Kandungan air awan konvektif pada puncak awan cumulus digunakan
sebagai source pada persamaan kandungan air awan stratiform. Skema awan
stratiform didasarkan pada persamaan budget untuk menghitung kandungan air
awan, termasuk sources dan sinks yang disebabkan oleh perubahan fasa dan
pembentukan presipitasi oleh penggabungan tetes awan dan sedimentasi kristal es.

Dalam REMO, temperatur tanah dihitung dari persamaan difusi pada lima lapisan
tanah berbeda yang menutupi 10 m teratas dari permukaan tanah. Data global
permukaan daratan dibuat dari basis data ekosistim kompleks. Rata-rata
permukaan orografi dan variansinya dihitung dari data topografi USGS
GTOPO30 dengan resolusi horisontal 1 km. Semua parameter permukaan bernilai
konstan terhadap waktu dan tidak bervariasi secara bulanan ataupun musiman.
Versi REMO yang digunakan pada penelitian ini hanya memperbolehkan satu
jenis tutupan permukaan, yaitu antara lapisan tanah, air atau es.

REMO dapat dijalankan pada modus iklim ataupun peramalan, karena fungsi
model iklim regional adalah sebagai alat kaca pembesar kondisi iklim global.

14
Pada modus iklim, model dijalankan tanpa adanya proses reinisiasi dalam jangka
waktu tertentu, sementara pada modus peramalan, model diinisialisasi hanya pada
awalnya saja, yang bertujuan untuk menghilangkan catatan historis. Penggunaan
modus iklim lebih tepat digunakan untuk studi iklim dan simulasi untuk jangka
waktu yang panjang, sedangkan modus peramalan lebih baik jika digunakan untuk
melihat sensitivitas model terhadap parameter non fisis seperti parameter kimia.

II.6 Aplikasi Model Kopel


Sekarang ini, proses prediksi cuaca numerik sudah berjalan dengan baik, sehingga
dapat memberikan informasi nilai praktis harian yang baik pula. Tetapi
prediktabilitas deterministik aliran atmosfer dan cuaca tersebut tidak lebih dari
beberapa hari. Untuk memperluas prediktabilitas tersebut, dilakukan integrasi
ensambel model-model atmosfer, setidaknya secara statistik. Sedangkan untuk
memahami ataupun meramalkan, maka proses-proses dengan skala waktu yang
lebih panjang dari satu bulan atau lebih harus digabung dengan komponen-
komponen model prediksi sistim iklim. Dalam hal ini, laut lah yang memiliki
skala waktu yang lebih panjang, dan proses-proses laut-atmosfer yang dikopel
dapat menjadi bagian penting dalam variabilitas iklim dan perubahan skala waktu
mulai dari musiman hingga yang lebih lama lagi (Wood dan Bryan, 2001). Untuk
itulah dikembangkan model kopel baik antara laut dan atmosfer, darat dan
atmosfer, dan lain sebagainya.

Penelitian menggunakan model kopel ini telah cukup banyak dilakukan. Salah
satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Behera dkk (2005). Penelitian
menggunakan atmosphere-ocean coupled general circulation model (CGCM)
yang dikenal dengan model Scale Interaction Experiment-Frontier version 1
(SINTEX-F1), yang bertujuan untuk memahami variabilitas intrinsik Indian
Ocean Dipole (IOD) yang dihubungkan dengan El Niño-Southern Oscillation
(ENSO). Model atmsofer yang digunakan adalah ECHAM4, sedangkan model
laut menggunakan OPA8.2. Kedua model digabung dengan OASIS 2.4 coupler
(Ocean, Atmosphere, Sea, Ice, Soil). Mirip dengan MPI-OM, OPA8.2 juga
menggunakan grid Arakawa C dan menggunakan dua titik nodal diatas Amerika

15
Utara dan Eurasia sebagai pengganti Kutub Utara, yang berguna untuk
menghindari singularitas pada sistim koordinat. Penelitian dilakukan untuk dua
skenario. Skenario pertama dengan memasukkan variabilitas ENSO sebagai
model kontrol, sedangkan skenario kedua, variabilitas ENSO yang berasal dari
model atmosfer ditahan. Kondisi laut-atmosfer yang berhubungan dengan IOD
secara realistik tetap disimulasikan pada kedua skenario, termasuk karakteristik
eastwest dipole pada anomali SST. Perbandingan hasil kedua skenario
memperlihatkan bahwa IOD di Samudera Hindia terutama ditentukan oleh proses
intrinsik di dalam basin.

Contoh penggunaan model kopel lainnya adalah seperti yang dilakukan oleh
Zhang dkk (2006). Penelitian menggunakan empat simulasi Global Climate
Model (GCM) yang dikopel dan empat simulasi tanpa kopel. Penelitian bertujuan
untuk mengeksplorasi fenomena Madden-Jullian Oscillation (MJO) yang
disimulasikan dengan berbagai model iklim global, mengindentifikasi masalah-
masalah umum yang masih mengganggu simulasi MJO, serta mengukur dampak
kopel laut-atmosfer dan keadaan dasar simulasi MJO. Penelitian ini merupakan
kelanjutan dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya sebagai upaya
untuk memahami isu-isu yang berhubungan dengan MJO yang lebih realistis.
Simulasi model kopel yang digunakan adalah ACOM2 dengan BAM3C; MOM3
dengan GFS03C; SOM dengan CAM2RC; dan HOPE-G dengan ECHO-G. Nama
model yang disebut pertama merupakan model laut sedangkan yang disebut
belakangan merupakan model atmosfer, kecuali untuk ECHO-G yang merupakan
model iklim laut-atmosfer global yang sudah dikopel dengan ECHAM4.
Sementara simulasi model tanpa kopel menggunakan model atmosfer BAM3,
GFS03, CAM2R dan ECHAM4. Dari hasil simulasi model kopel diperoleh bahwa
efek kopling terhadap struktur horisontal, distribusi spasial, siklus musiman dan
variabilitas antartahunan simulasi MJO tidak konsisten pada keempat model
kopel. Ketidakkonsistenan ini mungkin berasal dari tiga sumber yaitu model-
model atmosfer, pendekatan penggabungan dan metoda diagnosa masing-masing
yang berbeda. Selain itu juga terdapat perbedaan penting antara model atmosfer
yang dikopel dengan model laut lapisan campur dan model laut global. Pada

16
model laut lapisan campur, interaksi laut-atmosfer terutama dibatasi pada skala
submusiman dan tidak secara signifikan mengubah keadaaan dasar. Sedangkan
pada model laut global, interaksi laut-atmosfer terjadi pada semua skala dan
mungkin secara signifikan mengubah keadaan dasar.

Baquero-Bernal dkk (2002) juga melakukan simulasi model kopel yang bertujuan
untuk mengkaji peran ENSO dan dinamika laut dalam membangkitkan
variabilitas SST antartahunan di Samudera Hindia, dengan menganalisis tiga
simulasi model kopel yang berbeda. Model kopel pertama adalah integrasi
extended range dengan model kopel laut-atmosfer GCM, yaitu ECHO-G, yang
juga digunakan sebagai integrasi kontrol. Simulasi model kopel kedua mirip
dengan model kopel pertama, tetapi variabilitas ENSO ditahan. Caranya dengan
mengganti SST aktual yang disimulasikan oleh komponen laut di Samudera
Pasifik dengan klimatologi, sebelum SST tersebut digunakan dalam model
atmosfer ECHAM4. Simulasi model kopel ketiga adalah dengan mengganti model
laut GCM dengan model lapisan campur dengan kedalaman tertentu. Model
lapisan campur ini memiliki kedalaman konstan 50 m dan tidak mempunyai
definisi dinamika laut apapun. Variasi pada fluks panas permukaan merupakan
satu-satunya mekanisme yang dapat menghasilkan anomali SST pada model
tersebut. Dari hasil simulasi model kopel diperoleh bahwa ketiganya
menunjukkan gambaran yang konsisten.

II.7 Kopel antara MPI-OM dan REMO


Penelitian yang dilakukan sekarang ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya oleh Aldrian dkk (2005), yaitu melakukan simulasi
model kopel antara model laut MPI-OM dengan model atmosfer REMO.
Penelitian Aldrian dkk (2005) bertujuan untuk menganalisis hasil model iklim
kopel yang resolusinya tinggi; untuk membandingkan hasilnya dengan
pengamatan; dan untuk mempelajari implikasi kopling atmosfer dan laut; serta
untuk melihat pentingnya resolusi model laut yang berbeda dan forcing batas
model. Forcing batas yang digunakan adalah data reanalsis ECMWF (ERA15)

17
dan data reanalisis National Centers for Environmental Prediction (NCEP), yang
disingkat dengan NRA.

Model laut dan model atmosfer tersebut digabung menggunakan OASIS coupler,
dalam hal ini OASIS coupler bertindak sebagai servernya. Coupler berfungsi
untuk mensinkronkan waktu selama kopling atau pertukaran data, dan bukan
untuk menginterpolasikan data antara sistim grid yang berbeda. Sinkronisasi ini
diperlukan karena kedua model dijalankan pada langkah waktu yang berbeda,
sehingga lama proses simulasi juga berbeda.

Selain langkah waktu, domain kedua model kopel juga berbeda. REMO hanya
melingkupi daerah sekitar BMI (sebagian daerah MPI-OM), sedangkan MPI-OM
meliputi seluruh muka bumi. Oleh karena itu, REMO membagi OGCM menjadi
dua subdomain: kopel (dalam domain REMO) dan tanpa kopel (diluar domain
REMO). Dengan perkataan lain, MPI-OM dijalankan dengan dua modus, yaitu
kopel dan sendiri (stand alone).

Dalam domain kopel, model laut menerima, pada frekuensi tertentu (langkah
waktu kopel), fluks panas, fluks air tawar dan fluks momentum yang dihitung
dalam REMO (Fremo), dan mengirim balik parameter permukaan laut ke model
atmosfer. Diluar domain kopel, model laut menerima juga, pada frekuensi tertentu
(langkah waktu forcing), parameter global serupa yang dihitung berdasarkan
parameter masukan menggunakan formula bulk (Fbulk). Dengan demikian, langkah
waktu kopel dan langkah waktu forcing dapat berbeda. Fluks, yang digunakan
sebagai forcing model laut (F), merupakan hasil dari formula berikut:
F = I ⋅ Fremo + (1– I ) Fbulk (II.17)
dimana:

I= {
1, didalam daerah kopling/RE MO
0, diluar daerah kopling/RE MO

Pada kondisi normal, kopling REMO/MPI-OM juga memasukkan parameter es.


Tetapi karena domain kopel terdapat di daerah tropis, maka komponen es
diabaikan. Jadi model laut hanya memberikan SST ke model atmosfer.

18
Interpolasi dari sistim grid model atmosfer ke sistim grid model laut dan
sebaliknya diselesaikan dalam model laut menggunakan interpolasi mosaic.
Sehingga OASIS coupler melihat kedua model dalam grid komputasi yang sama.
Dalam hal ini, yang digunakan adalah sistim grid REMO, karena lebih mudah dan
ukuran sistim gridnya lebih kecil serta merepresentasikan wilayah atau domain
kopel itu sendiri. Skema interpolasi dari MPI-OM ke REMO adalah sebagai
berikut:

F M
=
∑ F ⋅A
lm
R
lm ijlm
(II.18)
∑ A
ij
lm ijlm

dan dari REMO ke MPI-OM

F R
=
∑F
ij
M
ij ⋅ Aijlm
(II.19)

lm
A
lm ijlm

dimana secara berturutan, FijM , FlmR adalah parameter yang didefinisikan dalam

grid MPI-OM dan REMO, sedangkan Aijlm adalah matriks interpolasi.

Dari hasil penelitian Aldrian dkk (2005) diperoleh bahwa dibandingkan dengan
model tanpa kopel dan dari data pengamatan, ternyata model kopel menghasilkan
distribusi curah hujan yang lebih baik daripada model tanpa kopel terutama di atas
lautan. Dengan perkataan lain, model iklim kopel dapat dengan baik mengurangi
masalah-masalah pada pemodelan tanpa kopel. Selain itu, pada model kopel, fluks
air permukaan dan fluks panas untuk model laut bukan dihitung dari formula bulk,
melainkan langsung dari model atmosfer.

19

Anda mungkin juga menyukai