Anda di halaman 1dari 30

Penetapan Kadar Parasetamol dalam Plasma

dengan Metode Chafetz


A. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menetapkan kadar parasetamol dalam darah dengan
metode chafetz.
2. Mahasiswa dapat memahami parameter-parameter yang dibutuhkan untuk
melakukan validasi suatu penelitian.

B. Dasar Teori
Parasetamol atau asetaminofen adalah senyawa turunan para-aminofenol
yang memiliki rumus bangun seperti di bawah ini:

HO

NHCOCH3

N-(4-Hydroxy-phenyl)-acetamide

Parasetamol berupa serbuk hablur atau serbuk putih yang tidak berbau dengan
rasa agak pahit. Kelarutan parasetamol yakni larut dalam air mendidih dan dalam
NaOH 1 N, serta mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995). Parasetamol
merupakan obat asam lemah dengan pKa 9,5 (Katzung, 1989).
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang
sama dan digunakan sejak tahun 1893. Efek antipiretiknya ditimbulkan oleh
gugus aminobnezen. Efek analgesik parasetamol serupa dengan asam salisilat,
yaitu menghilangkan nyeri ringan sampai sedang dengan mekanisme yang diduga
berdasarkan efek sentralnya. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin yang lemah. Dalam plasma, 25 % parasetamol terikat pada protein
plasma. Sebagai analgesik, parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama
karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995).
Plasma adalah bagian bening yang terdapat pada lapisan bagian atas darah
yang telah diberi antikoagulan dan telah disentrifugasi. Jika sebelum

disentrifugasi, tidak dilakukan penambahan antikoagulan (darah dibiarkan


membeku) maka bagian beningnya disebut serum. Pada darah normal, jumlah
plasma mencapai 55% dari volume darah. Plasma tersebut mengandung 90% air
dan 7% protein (albumin, globulin, fibrinogen), dan 3% zat terlarut yang lain
(garam-garam, oksigen, gas, glukosa, hormon, metabolit, nutrient dan zat-zat lain)
(Stalcup et al., 1995). Dalam plasma, protein yang terbanyak ditemukan adalah
albumin (Montgomery et al., 1992).
Dua fungsi utama albumin adalah untuk transport molekul kecil dalam
plasma dasn cairan ekstraseluler, dan untuk mempertahankan tekanan osmotik
dalam kapiler nonspesifik (Montgomery et al., 1992) yang memiliki 2 tempat
ikatan pada setiap molekulnya (Rang et al., 2003).
Pengikatan molekul kecil pada protein dapat dituliskan dengan persamaan
umum sebagai berikut: [P] + [A] [PA], dimana [P] = protein yang tidak
membentuk kompleks dengan molekul kecil, [A] = kadar molekul kecil yang tidak
terikat, dan [PA] = kadar kompleks protein-molekul kecil (Montgomery et al.,
1992).
Spektrofotometri UV-Vis adalah salah satu teknik analisis fisika kimia
yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi
elektromagnetik pada panjang gelombang 190-380 nm (UV) dan 380-780 nm
(Vis) dengan memakai instrument spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).
Sedangkan kolorimetri mencakup pengubahan senyawa tidak berwarna menjadi
senyawa berwarna dan penentuan fotometrinya dilakukan dalam daerah sinar
tampak (400-800 nm) (Roth dan Blaschke, 1981).
Metode Chafest sangat spesifik untuk parasetamol meskipun dipengaruhi
oleh salisilat (Chamberlain, 1995). Asam salisilat akan memberikan reaksi yang
mirip dengan parasetamol, tetapi di dalam plasma asam salisilat baru akan
memberikan intensitas warna yang mirip dengan 20 g/ml parasetamol jika kadar
asam salisilat di dalam plasma 1000 g/ mL. Sampel yang terkontaminasi oleh
heparin yang mengandung kresol sebagai pengawet dapat memberikan hasil yang
semu sebesar 200 g/ mL (Widdop, 1986).

Cincin aromatis dari parasetamol akan dinitrasi oleh asam nitrit menjadi 2nitro-4-asetamidofenol. Produk ini kemudian dilarutkan dalam natrium hidroksida
sehingga suasananya menjadi basa. Dalam suasana inilah larutan akan
memberikan kromofor yang kuat sehingga absorbansi dapat terbaca pada

430

nm (Chafetz et al., 1971).


OH

OH

OH
NO2

HNO2 [O]
H+

NHCOCH3

NO2

OH -H2O

NHCOCH3

NHCOCH3

Gambar Reaksi Parasetamol dengan Asam Nitrit

(Chafetz et al., 1971).


Namun, metode ini tidak dapat mengukur dengan tepat konsentrasi
parasetamol dalam plasma di bawah 50 g/ mL sehingga pada konsentrasi
tersebut biasanya digunakan metode kromatografi (Widdop, 1986). Dalam klinik,
metode ini biasanya digunakan untuk penetapan kadar parasetamol plasma pada
kasus overdosis (Chambers dan Jones, 1976).
Parameter kesahihan (validasi) metode analisis antara lain akurasi, presisi,
spesivitas, linearitas, sensitivitas, dan ruggedness. Akurasi yang baik untuk
bioanalisis rentang akurasi 80-120 % masih bisa diterima. Untuk bioanalisis CV=
15-20 % masih diterima. Linearitas yang bisa diterima jika memenuhi nilai
koefisien korelasi (r) > 0,999 (Mulja dan Hanwar, 2003).
Sensitivity metode analisis adalah kemampuan metode analisis untuk
memisahkan perbedaan kecil dalam konsentrasi analit. Ada dua faktor yang
mempengaruhi sensitivitas yaitu slope kurva baku dan keterulangan (Skoog,
1994).

Ruggedness digunakan untuk melihat reprodusibilitas hasil analisis


menggunakan sampel yang sama dengan berbagai macam kondisi percobaan
seperti laboratorium, analisis, instrument, waktu yang berbeda dan lain-lain
(Anonim b, 1995).
Dalam penetapan kadar obat dalam darah (cairan tubuh), metode yang
digunakan harus tepat dan dalam pengerjaannya diperlukan suatu ketelitian yang
cukup tinggi agar diperoleh hasil yang akurat. Sehingga nantinya dapat
menghindari kesalahan yang fatal. Dalam analisis ini, kesalahan hasil tidak boleh
lebih dari 10 %, akan tetapi hal ini tergantung pula pada alat yang digunakan
(Ritschel, 1976).
Dalam sebuah analisis obat dalam cairan hayati, ada hal-hal penting dalam
farmakokinetika yang digunakan sebagai parameter- parameter antara lain :
Tetapan laju invasi atau tetapan absorpsi.
Volume distribusi : menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan
konsentrasi obat (C) di dalam darah atau plasma.
Ikatan protein.
Laju eliminasi dan waktu paruh dalam plasma (t1/2)
Clearence ginjal, ekstrarenal dan total
Luas dibawah kurva dalam plasma (AUC)
Ketersediaan hayati
Parameter di atas diperoleh dari perubahan konsentrasi bahan obat dan
metabolitnya dalam cairan darah (darah, plasma, serum) dan dalam urin terhadap
waktu. Kedua cairan tersebut mudah dilewati dan konsentrasi dalm darah yaitu
alat transportnya, mencerminkan proses kinetika dalam organisme (Mutschler,
1991).

C. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah labu takar 100 mL, pipet
volume, tabung reaksi, pipet ukur 0.5mL, 1mL, 5mL, spektrofotometer, skalpel,
sentrifuge, stopwatch, kalkulator, dan kertas grafik numerik.
Bahan yang digunakan dalam percobaan kali ini adalah Asam
trikloroasetat (TCA) 20%, Natrium Nitrit 10%, Amonium sulfamat 15%,
Parasetamol, Natrium Hidroksida 10%, HCl 6N, antikoagulan, dan darah.

D. Cara Kerja
Pembuatan Larutan Stok
Ditimbang 100 mg parasetamol dan dilarutkan dengan aquadest panas
secukupnya.

Dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL kemudian di-add aquades sampai tanda.

Penetapan OT
Dipipet 4 mL dari larutan stok, kemudian di-add hingga 10 mL, sehingga
diperoleh larutan intermediet 400 g/mL.

Diambil sebanyak 250 L plasma ditambah 250 L larutan intermediet, sehingga


diperoleh larutan parasetamol dengan konsentrasi 200 g/mL.

Dicampur homogen lalu ditambah 2 mL TCA 20%, dihomogenkan dengan vortex,


lalu di-sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.
Diambil sebanyak 1,5 mL, dimasukkan dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 0,5
mL HCl 6 N
Ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO210 % dan dihomogenkan dengan vortex.
Didiamkan selama 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 45 menit, untuk pengukuran OT.
Ditambahkan 1 mL Amonium Sulfat 15 %.

Ditambahkan 3,5 mL NaOH 10% di-add aquadest hingga 10 m dan didegasing 10


menit.
Baca absorbansi pada panjang gelombang teoritis (430 nm), untuk pengukuran OT
Penetapan max

Dipipet 4 mL dari larutan stok, kemudian di-add hingga 10 mL, sehingga


diperoleh larutan intermediet 400 g/mL.

Diambil sebanyak 250 L plasma ditambah 250 L larutan intermediet, sehingga


diperoleh larutan parasetamol dengan konsentrasi 200 g/mL.

Dicampur homogen lalu ditambah 2 mL TCA 20%, dihomogenkan dengan vortex,


lalu di-sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm.

Diambil sebanyak 1,5 mL, dimasukkan dalam labu ukur 10 mL, ditambahkan 0,5
mL HCl 6 N
Ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO2 10 % dan dihomogenkan dengan vortex.
Didiamkan selama OT.
Ditambahkan 1 mL Amonium Sulfat 15 %.

Ditambahkan 3,5 mL NaOH 10% di-add aquadest hingga 10 m dan didegasing 10


menit.
Discan max pada range 400-480 nm, untuk pembacaan

max.

Pembuatan Kurva Baku


Dari larutan stok yang ada, dipipet sebanyak 3; 3,5; 4; 5; 7 mL dan kemudian diadd 10 mL.

Diperoleh seri kadar larutan intermediet 300, 350, 400, 500, 700 g/mL.
Masing-masing intermediet diambil sebanyak 250 L, kemudian ditambah 250 L
plasma.

Kemudian didapatkan seri larutan baku dengan konsentrasi 150, 175, 200, 250,
350 g/mL

Dicampur homogen dan ditambah sebanyak 2 mL TCA, di-vortex, lalu disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Diambil 1,5 mL, kemudian di-add aquades 10 mL.

Ditambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO2 10 %,


dihomogenkan dengan vortex, lalu didiamkan OT.
Ditambah 1,0 mL Amonium Sulfamat 15 %, ,.

Ditambah 3,5 mL NaOH 10 % add aquadest hingga tanda, di-degassing 10 menit


Dibaca absorbansi pada

max.

Pembuatan Blanko
Diambil sebanyak 250 L aquades dan 250 L plasma.

Dicampur homogen dan ditambah sebanyak 2 mL TCA, di-vortex, lalu disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.
Diambil 1,5 mL, kemudian di-add aquades 10 mL.

Ditambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO2 10 %,


dihomogenkan dengan vortex, lalu didiamkan OT.

Ditambah 1,0 mL Amonium Sulfamat 15 %, ,.


Ditambah 3,5 mL NaOH 10 % add aquadest hingga tanda, di-degassing 10 menit

Dibaca absorbansi pada

max.

Pembuatan dan Penetapan Kadar Sampel

Stok sampel dibuat dengan cara: ditimbang 50 mg parasetamol dan dilarutkan


dengan aquadest panas secukupnya.

Dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL kemudian di-add aquades sampai tanda.

Untuk mendapatkan larutan intermediet untuk sampel, dipipet sebanyak 3, 4, dan


7 mL dari larutan stok, kemudian di-add hingga 10 mL.
Masing-masing larutan intermediate diambil 250

L kemudin ditambahkan

dengan 250 L plasma sehingga didapatkan kadar larutan intermediet sebesar 150,
200, 350 g/mL.
Dicampur homogen dan ditambah sebanyak 2 mL TCA, di-vortex, lalu disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 5 menit.

Diambil 1,5 mL, kemudian di-

add aquades 10 mL.

Ditambahkan 0,5 mL HCl 6 N dan ditambahkan (perlahan) 1 mL NaNO2 10 %,


dihomogenkan dengan vortex, lalu didiamkan OT.
Ditambah 1,0 mL Amonium Sulfamat 15 %, ,.

Ditambah 3,5 mL NaOH 10 % add aquadest hingga tanda, di-degassing 10 menit


Dibaca absorbansi pada

max.

Dihitung :
Perolehan Kembali (recovery) =
Kesalahan Sistematik = 100 P%
Kesalahan Acak =

E. Data dan Analisis Data

x 100% = P %

1. Penetapan Operating Time (OT) dan Penentuan max Parasetamol


Penimbangan Parasetamol untuk Penentuan OT dan Penentuan max
Berat Kertas
Berat Kertas + Zat
Berat Kertas + Sisa
Berat

0,3908 g
0,4969 g
0,3967 g
0,1002 g = 100,2 mg

Konsentrasi Stok :

Penetapan Operating Time (OT)


Waktu (menit)
Absorbansi
5
0,103
10
0,104
15
0,110
20
0,086
25
0,104
30
0,119
35
0,122
45
0,172
Berdasarkan data di atas, tidak diperoleh absorbansi yang stabil sehingga
operating time yang digunakan adalah operating time teoritis parasetamol,
yaitu 15 menit.
A

= 0,0811

= 1,4677 x 10-3

= 0,7669

= 1,46877 x 10-3 x + 0,081

Kurva Baku Waktu vs Absorbansi


0.2
0.18
y = 0.0015x + 0.0811
R = 0.5882

0.16
Absorbansi

0.14
0.12

0.1

Series1

0.08

Linear (Series1)

0.06
0.04
0.02
0
0

10

20

30

40

50

Waktu (menit)

Penetapan max Parasetamol


Scanning menggunakan panjang gelombang 425-450 nm. Dari hasil scanning
diperoleh panjang gelombang maksimum 432,5 nm dengan absorbansi 0,117.

2. Pembuatan Seri Larutan Baku Parasetamol


Penimbangan Larutan Stok Parasetamol
Berat Kertas

0,3908 g

Berat Kertas + Zat

0,4969 g

Berat Kertas + Sisa

0,3967 g

Berat

0,1002 g = 100,2 mg

Konsentrasi Stok :

Seri Larutan Intermediet Parasetamol (g/mL)


C1.V1 = C2.V2

C1.V1 = C2.V2

1002 g/mL . 3 mL = C2 . 10 mL

1002 g/mL . 5 mL = C2 . 10 mL

C2 = 300,6 g/mL

C2 = 501 g/mL

C1.V1 = C2.V2

C1.V1 = C2.V2

1002 g/mL . 3,5 mL = C2 . 10 mL

1002 g/mL . 7 mL = C2 . 10 mL

C2 = 350,7 g/mL

C2 = 701,4 g/mL

C1.V1 = C2.V2
1002 gmL . 4 mL = C2 . 10 mL
C2 = 400,8 g/mL

Seri Larutan Baku Internal Parasetamol(g/mL)


C1.V1 = C2.V2

C1.V1 = C2.V2

300,6 g/mL . 250 L = C2 . 500 L

501 g/mL . 250 L = C2 . 500 L

C2 = 150,3 g/mL

C2 = 250,5 g/mL

C1.V1 = C2.V2

C1.V1 = C2.V2

350,7 g/mL . 250 L = C2 . 500 L

701,4 g/mL . 250 L = C2 . 500 L

C2 = 175,35 g/mL

C2 = 350,7 g/mL

C1.V1 = C2.V2
400,8 g/mL . 250 L = C2 . 500 L
C2 = 200,4 g/mL

3. Pengukuran Absorbansi Seri Larutan Baku Parasetamol


Kelompok A1 :
Kadar Terhitung (g/mL)
150,3
175,35
200,4
250,5
350,7
Blangko
A = 0,1287
B = 2,6647 x 10-4

Absorbansi
0,269
0,109
0,127
0,194
0,245
0

r = 0,2999
y = 2,664 x 10-4x + 0,1287

Kurva Baku Konsentrasi (g/mL) vs Absorbansi A1


0.3
y = 0.0003x + 0.1287
R = 0.09

Absorbansi

0.25
0.2
0.15

Series1

0.1

Linear (Series1)

0.05
0
0

100

200
Kadar (g/mL)

300

400

Kelompok A2 :
Kadar Terhitung (g/mL)
150,3
175,35
200,4
250,5
350,7
Blangko

Absorbansi
0,115
0,128
0,133
0,162
0,199
0

A = 0,0522
B = 4,2216 x 10-4
r = 0,9960
y = 4,2216 x 10-4 x + 0,0522 (kurva baku yang digunakan)

Kurva Baku Konsentrasi (g/mL) vs Absorbansi A2


0.25
y = 0.0004x + 0.0522
R = 0.992

Absorbansi

0.2
0.15

Series1

0.1

Linear (Series1)
0.05
0
0

100

200
Kadar (g/mL)

Kelompok A3
Kadar Terhitung (g/mL)
150,3
175,35
200,4
250,5
350,7
Blangko
A = 0,0238
B = 6,7066 x 10-4
r = 0,9872
y = 6,7066 x 10-4 x + 0,0238

Absorbansi
0,134
0,141
0,154
0,180
0,266
0

300

400

Kurva Baku Konsentrasi (g/mL) vs Absorbansi A3


0.3
y = 0.0007x + 0.0238
R = 0.9746

Absorbansi

0.25
0.2
0.15

Series1

0.1

Linear (Series1)

0.05
0
0

100

200
Kadar (g/mL)

300

400

4. Pengukuran Kadar Parasetamol dalam Sampel


Kelompok A1
Penimbangan Parasetamol (g/mL)
Berat kertas
Berat kertas + zat
Berat kertas + sisa
Berat zat

0,3994 g
0,4496 g
0,3998 g
0,0498 g = 49,8 mg

Konsentrasi larutan stok sampel:


Cinduk =
Konsentrasi larutan intermediet:
V1 x C1

= V2 x C2

3 mL x 996 g/mL = 10 mL x C2
= 298,8 g/mL

C2

Konsentrasi larutan 250 L sampel + plasma 250 L:


V1 x C1

= V2 x C2

250 L x 298,8 g/mL = 500 L x C2


= 149,4 g/mL (kadar teoritis)

C2

Sampel

Absorbansi

Kadar Teoritis Kadar Sebenarnya Recovery

CV(%)

(g/mL)
Replikasi I

0,090

Replikasi II

0,084

Replikasi III

0,087

149,4

(g/mL)

(%)

89,5395

59,9327%

75,3269

50,4196%

82,4332

55,1762%

82,4332

55,1762%

SD =

7.1063

% CV =

x 100% = 8,6207 %

% Recovery Sampel 1 =

x 100%= 59,9327%

% Recovery Sampel 2 =

x 100%= 50,4196%

% Recovery Sampel 3 =

x 100%= 55,1762%

Kesalahan sistematis sampel 1= 100% - 59,9327% = 40,0673%


Kesalahan sistematis sampel 2 = 100% - 50,4196% = 49,5804%
Kesalahan sistematis sampel 3= 100% - 55,1762% = 44,8238%

Kelompok A2
Penimbangan Parasetamol (g/mL)
Berat kertas
Berat kertas + zat
Berat kertas + sisa
Berat zat

0,3998 g
0,4555 g
0,4013 g
0,0541 g = 54,1 mg

Konsentrasi larutan stok sampel:


Cinduk =
Konsentrasi larutan intermediet:
V1 x C1

= V2 x C2

4 mL x 1082 g/mL = 10 mL x C2
= 432,8 g/mL

C2

Konsentrasi larutan 250 L sampel + plasma 250 L:


V1 x C1

= V2 x C2

250 L x 432,8 g/mL = 500 L x C2

x
100% =
8,6207%

= 216,4 g/mL (kadar teoritis)

C2

Sampel

Absorbansi

Replikasi I

0,124

Replikasi II

0,150

Replikasi III

0,154

Kadar
Kadar Teoritis
Sebenarnya
(g/mL)
(g/mL)
216,4
g/mL

Recovery
(%)

170,0777

78,5941

231,6657

107,0544

241,1408

111,4329

214,2947

99,0271

SD =

38.5850

% CV =

x 100% = 18,0056%

% Recovery Sampel 1 =

x 100%= 78,5941%

% Recovery Sampel 2 =

x 100%= 107,0544%

% Recovery Sampel 3 =

x 100%= 111,4329%

Kesalahan sistematis sampel 1= 100% - 78,5941% = 21,4059%


Kesalahan sistematis sampel 2 = 100% - 107,0544% = -7,0544%
Kesalahan sistematis sampel 3= 100% - 111,4329% = -11,4329%

Kelompok A3
Penimbangan Parasetamol (g/mL)
Berat kertas
Berat kertas + zat
Berat kertas + sisa
Berat zat

0,4038 g
0,4535 g
0,4033 g
0,0502 g = 50,2 mg

Konsentrasi larutan stok sampel:


Cinduk =
Konsentrasi larutan intermediet:
V1 x C1

= V2 x C2

7 mL x 1004 g/mL

= 10 mL x C2

C2

= 702,8 g/mL

CV(%)

100%
= 18,0056%

Konsentrasi larutan sampel + plasma 250 L:


V1 x C1

= V2 x C2

250 L x 702,8 g/mL = 500 L x C2


= 351,4 g/mL (kadar teoritis)

C2
Sampel
Replikasi I

Absorbansi

Kadar Teoritis Kadar Sebenarnya Recovery


(g/mL)
(g/mL)
(%)

0,266

Replikasi II

0,257

Replikasi III

0,274

351,4
g/mL

506,443

114,121

485,124

138,055

525,393

149,514

505,653

133,897

SD =
% CV =

14.607
x 100% = 2,8887%

% Recovery Sampel 1 =

x 100% = 114,121%

% Recovery Sampel 2 =

x 100% = 138,055%

% Recovery Sampel 3 =

x 100% = 149,514%

Kesalahan sistematis sampel 1= 100% - 114,121% = -14,121%


Kesalahan sistematis sampel 2 = 100% - 138,055% = -38,055%
Kesalahan sistematis sampel 3= 100% - 149,514% = -49,514%

CV(%)
x
100%
= 2,8887%

Perhitungan Kadar Sebenarnya Parasetamol dalam Sampel


149,4 g/mL
Replikasi Kadar Sebenarnya :
y =4,2216 x 10-4x + 0,0522
1
0,090 = 4,2216 x 10-4 x +
0,0522
x
= 89,5395 g/mL
Replikasi Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
2
0,084 = 4,2216 x 10-4 x +
0,0522
x
= 75,3269 g/mL
Replikasi Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
3
0,087 = 4,2216 x 10-4 x +
0,0522
x
= 82,4332 g/mL

216,4 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,124 = 4,2216 x 10 -4 x +
0,0522
x
= 170,0777 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,150 = 4,2216 x 10 -4 x +
0,0522
x
= 231,6657 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,154 = 4,2216 x 10 -4 x +
0,0522
x
= 241,1408 g/mL

351,4 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,266 =4,2216 x 10-4 x +
0,0522
x
= 506,443 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,257 = 4,2216 x 10-4x +
0,0522
x
= 485,124 g/mL
Kadar Sebenarnya :
y = 4,2216 x 10-4x + 0,0522
0,274 = 4,2216 x 10-4x +
0,0522
x
= 525,393 g/mL

F. Pembahasan
Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk menentukan kadar
parasetamol dalam plasma dengan metode Chafetz (secara kolorimetri). Prinsip
dari kolorimetri adalah pengukuran absorbansi dari zat yang semula tak berwarna
diubah menjadi berwarna (direaksikan dengan zat tertentu) yang kemudian diukur
serapannya pada daerah tampak/visible (diantara 400-800 nm). Pengukuran ini
sendiri didasarkan pada hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert menyatakan
bahwa intensitas sinar keluar akan menurun secara eksponensial sesuai dengan
kenaikan tebal dari zat penyerap. Hukum Beer menyatakan bahwa intensitas sinar
keluar menurun secara eksponensial sesuai dengan kenaikan konsentrasi zat
penyerap. Secara matematis, Hukum Lambert-Beer dapat dituliskan menjadi :
A=bc
dimana:
A = absorbansi
= daya serap molar
b = tebal zat penyerap
c = konsentrasi zat penyerap
Penggunaan spektrofotometri visibel (untuk pengukuran absorbansi
kolorimetri) merupakan jenis spektrofotometri serap yang mengukur serapan
radiasi elektromagnetik pada tertentu yang sempit (mendekati monokromatik)
yang diserap oleh zat. Prinsip dasar dari spektrofotometri visible adalah senyawa
uji yang dikenai radiasi elektromagnetik (REM) berupa cahaya tampak ( diantara
400-800 nm), bila energi REM sesuai dengan energi yang dibutuhkan untuk
transisi ke excited state dari ground state, maka elektron akan tereksitasi. Di
tingkat eksitasi, elektron akan berada pada keadaan yang tak stabil dan cenderung
akan kembali ke ground state sambil melepaskan energi emisi. Cahaya yang
dipancarkan ke senyawa, ada yang diabsorbsi dan ada juga yang diteruskan, oleh
detektor dengan sistem read out, akan diperoleh angka absorbansi zat uji tersebut.
Perbedaan kolorimetri dengan spektrofotometri lainnya adalah:

Perbedaan

Kolorimetri

Spektrofotometri

Spektrofotometri

Visibel
Ada atau tidaknya Senyawa
warna

yang Senyawa

dari diukur

senyawa

yang Senyawa

yang

diukur dari asalnya diukur merupakan

yang merupakan

diuji

UV

senyawa

sudah

memiliki senyawa yang tak

yang warna.

tak

berwarna,

yang

kemudian

memiliki warna.

dibuat berwarna,
baru diukur.
yang digunakan
Kuvet

400-800 nm

yang Kuvet

digunakan

Ada/tidaknya OT

400-800 nm

yang Kuvet

200-400 nm

yang Kuvet

yang

digunakan

digunakan terbuat digunakan terbuat

terbuat dari gelas

dari gelas

Adanya

OT Tidak

dari kuarsa

dibutuhkan Tidak

(Operating Time) OT

dibutuhkan

OT

untuk
mengetahui
absorbansi yang
dihasilkan sudah
stabil/tidak.

Kriteria analisis kolorimetri yang baik adalah:


1. Kesebandingan antara warna dan konsentrasi: intensitas warna hendaknya
meningkat secara linear dengan naiknya konsentrasi zat yang akan ditetapkan.
2. Kestabilan warna: warna yang dihasilkan hendaknya cukup stabil untuk
memberikan hasil pengukuran yang tepat.
3. Reprodusibilitas: hasil yang didapat harus dapat diulang jika dilakukan pada
kondisi yang sama.
4. Kejernihan larutan: larutan harus bebas dari endapan agar tidak terjadi
penghamburan cahaya maupun menyerap cahaya, yang akan mengganggu hasil
pengukuran.

5. Kepekaan tinggi: diharapkan reaksi warna sangat peka walaupun pada zat
dengan konsentrasi/ kuantitas yang kecil, namun menyerap kuat pada daerah
tampak, bukan pada daerah UV.
Asetaminofen/parasetamol dapat diukur kadarnya dengan berbagai
metode, antara lain spektrofotometri UV, kromatografi gas dan HPLC. Meskipun
sudah terdapat metode kromatografi untuk penetapan kadarnya, metode
spektrofotometri masih sering digunakan di dalam laboratorium. Hal ini
dikarenakan metode ini relatif mudah, ekonomis, dan cepat dalam pengerjaannya
(dibandingkan dengan metode kromatografi). Metode kolorimetri untuk
parasetamol atau yang dikenal dengan metode Chafetz merupakan salah satu
metode penetapan kadar parasetamol secara spektrofotometrik. Metode ini
didasarkan pada reaksi nitrasi pada cincin benzen dari parasetamol.
Reaksi nitrasi merupakan reaksi pembentukan warna pada parasetamol
yang merupakan reaksi substitusi aromatik elektrofilik (SAE). Dalam reaksi
nitrasi, yang digunakan sebagai agen penitrasi merupakan HNO2/asam nitrit.
HNO2 merupakan gas pada suhu kamar. Oleh karenanya, untuk mendapatkan
HNO2 dengan mudah, garam NaNO2 direaksikan dengan HCl yang kemudian
didiamkan beberapa saat agar reaksi berjalan dengan sempurna. Reaksi yang
terjadi:

Gambar 1. Mekanisme pembentukan ion nitrosonium

Elektofil yang terbentuk kemudian akan menyerang cincin benzen dari


parasetamol yang bersifat nukleofil. Gugusan nitro kemudian dapat masuk pada
posisi orto marupun para pada cincin benzen. Hal ini dikarenakan pada
parasetamol terdapat dua gugusan bersifat aktivator (gugus OH dan NH2) yang
mengarahkan substituen ke arah para ataupun orto untuk substitusi berikutnya.
Namun karena pada posisi para telah terisi oleh gugus amida (NH-CO), maka
gugus nitro kemudian akan masuk pada posisi orto dari cincin benzen.

Gambar 2. Mekanisme reaksi nitrasi pada parasetamol. (A) struktur dari


asetaminofen (p-asetamidofenol); (B) 2-nitro-4-asetamidofenol, terbentuk
dari hasil nitrasi dengan asam nitrit; dan (C) anion 2-nitro-4asetamidofenol yang merupakan gugusan kromofor yang memberikan
warna kuning dengan serapan maksimum pada 430 nm (Balley, 1982).

Pada gambar, terlihat bahwa gugus kromofor dari parasetamol mengalami


perpanjangan. Pemanjangan gugus kromofor ini akan memperpanjang panjang
gelombang yang dapat diserap oleh parasetamol. Pemanjangan ini dinamakan
dengan pergesaran batokromik. Pada reaksi, penambahan asam sulfamat bertujuan
untuk menghilangkan sisa HNO2 yang mungkin terbentuk pada reaksi :

Oleh karena pada reaksi terbentuk gas N2, maka sebelum dilakukan
pengukuran, perlu dilakukan degassing untuk menghilangkan gas yang terbentuk
dengan memberikan getaran ultrasonik pada larutan. Hal ini dilakukan agar N 2
yang terbentuk tidak mengganggu saat pengukuran absorbansi dari larutan yang
diuji.
Pada percobaan digunakan plasma yang berasal dari darah tikus. Darah
tikus tersebut diambil dari daerah sinus orbitalis (mata) dan harus ditambahkan
antikoagulan untuk mencegah penggumpalan darah, antikoagulan yang digunakan
adalah heparin. Setelah penambahan heparin, darah disentrifuge untuk
memisahkan plasma (cairan yang berwarna jernih/supernatan) dari sel-sel darah.
Plasma lebih dipilih untuk digunakan daripada serum karena dalam plasma
terdapat protein (yang mengikat obat) yang tidak ikut mengendap sehingga obat
masih ada di dalam plasma yang nantinya akan diukur kadarnya. Tujuan
sentrifugasi yaitu untuk mempercepat pengendapan protein sehingga plasma lebih
mudah diperoleh, prinsip sentrifugasi ini yaitu pemisahan zat berdasarkan bobot
molekulnya. Plasma yang didapat ditambahkan TCA 20% untuk merusak struktur
sekunder dan tersier protein yaitu dengan merusak sulfida yang merupakan
pembentuk kedua struktur tersebut, akibatnya protein akan mengendap sementara
obat tetap berada di dalam plasma. Jika tidak diendapkan maka protein plasma
yang dapat berikatan dengan parasetamol akan membentuk molekul yang lebih
besar, sehingga dapat mengganggu analisis. Reaksi TCA dengan protein plasma
adalah sebagai berikut :

TCA merupakan asam kuat yang memiliki keelektronegatifan yang besar


sehingga mampu menarik protein membentuk suatu ikatan. Ikatan ini bersifat
reversible karena ikatan yang terjadi antara obat dengan protein plasma adalah
ikatan lemah (Van der Walls). Selain itu, karena ikatan obat dengan protein
bersifat non-spesifik artinya satu tempat bisa ditempati oleh banyak senyawa

dengan cara mendesak senyawa lain. Oleh karena itu setelah penambahan TCA,
larutan kemudian divortex untuk menghomogenkan campuran ini.
Supernatan yang diperoleh kemudian diukur kadar parasetamolnya dengan
menggunakan metode Chafetz (metode kolorimetri). Plasma darah ini direaksikan
dengan HCl 6N, HCl 6N berfungsi menghidrolisis parasetamol dan memberikan
suasana asam. Hasil hidrolisis parasetamol akan bereaksi dengan Na nitrit
(NaNO2) 10% dan membentuk garam diazonium, larutan campuran parasetamol
HCl 6N dan Na nitrit (NaNO2 ) 10% didiamkan selama 15 menit agar
pembentukan garam diazonium berlangsung sempurna.
Kemudian setelah pendiaman selama Operating Time (15 menit)
ditambahkan Asam sulfamat 15 % untuk menghentikan reaksi antara NaNO 2
(Natrium nitrit) dengan parasetamol dalam pembentukan garam diazonium yaitu
dengan cara menghilangkan NaNO2 yang berlebihan. Lalu dilakukan penambahan
NaOH tujuannya untuk memperpanjang gugus kromofor sehingga warna yang
terbentuk akan semakin jelas.

Penetapan Operating Time Dan Panjang Gelombang Maksimum


Pada saat akan dilakukan penetapan kadar, sebelumnya harus dilakukan
penetapan OT dan max. Tujuan dari penetapan OT adalah untuk mengetahui
waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh serapan yang stabil/ konstan dan
maksimal. Hal ini menunjukkan reaksi pembentukan senyawa berwarna yang
terbentuk sudah stabil/ sempurna, sehingga dihasilkan pembacaan absorbansi yang
maksimal juga.
Setelah didapatkan OT dari reaksi, dilakukan penetapan max. Panjang
gelombang maksimum (max) merupakan panjang gelombang dimana serapan
yang terjadi adalah maksimum. Pengukuran absorbansi dilakukan pada max
karena dengan perubahan konsentrasi yang kecil, dapat memberikan absorbansi
yang berbeda dengan signifikan (lebih sensitif). Hal ini menyebabkan pengukuran
menjadi lebih peka dan teliti.
Pada percobaan yang telah dilakukan, pada saat penetapan OT, tidak
diperoleh serapan yang konstan. Serapan yang dihasilkan memberikan nilai yang
fluktuatif. Hal ini membuat praktikan menggunakan OT sebesar 15 menit, sesuai

dengan OT teoritis yang terdapat pada metode Chafetz. Untuk pengukuran max
sendiri diperoleh nilai sebesar 432,5 nm ( teoritis sebesar 430 nm).

Kurva Baku Parasetamol


Kurva baku parasetamol dibuat dengan membuat seri larutan baku dari
larutan stok parasetamol. Digunakan 5 seri konsentrasi parasetamol yaitu 150,
175, 200, 250, 350 g/mL. Pengukuran larutan tersebut dilakukan pada panjang
gelombang maksimum parasetamol yaitu 432,5 nm. Dari hasil pengukuran,
absorbansi yang diperoleh secara berturut-turut yaitu 0,269; 0,109; 0,127; 0,194;
0,245. Dari hasil absorbansi masing-masing seri larutan, didapatkan persamaan
regresi linier y = 2,664 x 10-4x + 0,1287 dengan nilai r = 0,2999. Persamaan kurva
baku tersebut tidak digunakan untuk menghitung kadar parasetamol dalam
sampel, tetapi digunakan regresi linear milik kelompok A2, yaitu y = 4,2216 x 10-4
x + 0,0522 dengan nilai r = 0,9960.
Pada penetapan kadar sampel, secara teoritis diperoleh kadar rata-rata
sampel I = 149,4 g/mL; sampel II = 216,4 g/mL; dan sampel III = 351,4
g/mL. Sedangkan dari hasil pengukuran diperoleh kadar rata-rata Sampel
konsentrasi I = 82,4332 g/mL; Sampel konsentrasi II = 214,2947 g/mL dan
Sampel konsentrasi III = 505,653 g/mL.

Menentukan Perolehan Kembali, Kesalahan Acak Dan Kesalahan Sistematik


Berdasarkan hasil percobaan diperoleh rata-rata % recovery larutan
parasetamol dalam plasma dengan konsentrasi 149,4 g/mL = 55,1762%;
216,4 g/mL = 99,0271%; dan 351,4 g/mL = 133,897%. Menurut Munja dan
Hanwar (2003), akurasi yang baik untuk kadar kecil adalah 90%-100%, untuk
kadar obat yang lebih besar yaitu 95%-105%, akurasi untuk bahan baku biasanya
98%-102%, sedangkan rentang akurasi untuk bioanalisis yang masih dapat
diterima yaitu 80%-120%, nilai % recovery tidak ada yang memenuhi
persyaratan, kecuali pada konsentrasi 200 g/mL. Hal ini terjadi kemungkinan
karena banyak sampel yang hilang selama preparasi (pada konsentrasi
149,4 g/mL) dan karena masih terdapat kandungan zat lain sehingga % recovery
terlalu besar (pada konsentrasi 351,4 g/mL)

Untuk kesalahan sistematik dari larutan parasetamol dalam plasma


diperoleh pada replikasi I = 40,0673%; replikasi II = 49,5804%; replikasi III =
44,8238%. Semua kesalahan sistematik tersebut tidak memenuhi syarat karena
menurut Munja dan Hanwar (2003), kesalahan sistematik yang baik yaitu kurang
dari 10%. Kesalahan sistematis merupakan selisih antara 100% kadar dengan %
recovery.
Untuk persen kesalahan acak masing-masing sampel yaitu Sampel
konsentrasi I = 8,6207 %, Sampel konsentrasi II = 18,0056 % dan Sampel
konsentrasi III = 2,8887 %. Menurut Munja dan Hanwar (2003), harga CV
(kesalahan acak) yang baik adalah kurang dari 2%, sedangkan untuk bioanalisis
CV dengan rentang 15-20% masih dapat diterima. Dari hasil perhitungan, %CV
yang didapat dari semua sampel memenuhi persyaratan.
Untuk linearitas, dari percobaan diperoleh persamaan kurva baku
kelompok A1: y = 2,664 x 10 -4 x + 0,1287; A2: y = 4,2216 x 10 -4 x + 0,0522; A3:
y = 6,7066 x 10-4 x + 0,0238 dengan nilai koefisien korelasi (r) berturut-turut (dari
A1 hingga A3) adalah 0,2999; 0,9960; 0.9872. Persamaan ini selanjutnya
digunakan dalam penentuan kadar terukur dari sampel. Salah satu jaminan suatu
metode dikatakan memenuhi syarat linearitas, nilai yang diharapkan adalah untuk
b mendekati 0 dan r = 1 tergantung arah garisnya. Suatu metode dikatakan
memenuhi syarat linearitas jika nilai r tidak kurang dari 0,999. Dari tiga kelompok
yang ada, nilai r yang didapatkan kurang dari 0,999 maka dari itu dapat
disimpulkan bahwa untuk paramater linearitas, baik kelompok A1 hingga A3,
ketiganya masih belum memenuhi parameter linearitas.

G. Kesimpulan
1. Prinsip penetapan kadar parasetamol dengan metode Chafetz (metode
kolorimetri) adalah pengukuran absorbansi dari zat yang semula tak
berwarna diubah menjadi berwarna (direaksikan dengan zat tertentu) yang
kemudian diukur serapannya pada daerah tampak/visible (diantara 400800 nm).
2. Persamaan kurva baku yang diperoleh kelompok A1: y = 2,664 x 10-4x +
0,1287; A2: y = 4,2216 x 10-4 x + 0,0522; A3: y = 6,7066 x 10-4 x +
0,0238 dengan nilai koefisien korelasi (r) berturut-turut (dari A1 hingga
A3) adalah 0,2999; 0,9960; 0,9872. Persamaan yang digunakan untuk
melakukan perhitungan adalah regresi kelompok A2.
3. Hasil recovery (perolehan kembali) yang didapat untuk sampel kadar
149,4 g/mL adalah 59,9327% (replikasi I), 50,4196% (replikasi II),
55,1762% (replikasi III); 216,4 g/mL adalah 78,5941% (replikasi I),
107,0544% (replikasi II), 111,4329% (replikasi III); dan 351,4 g/mL
adalah 114,121% (replikasi I), 138,055% (replikasi II), 149,514%
(replikasi III).
4. Hasil kesalahan sistematik yang didapat untuk sampel dengan kadar 149,4
g/mL adalah 40,0673% (replikasi I), 49,5804% (replikasi II), 44,8238%
(replikasi III); 216,4 g/mL adalah 21,4059% (replikasi I), -7,0544%
(replikasi II), -11,4329% (replikasi III); dan 351,4 g/mL adalah -14,121%
(replikasi I); -38,055% (replikasi II), -49,514% (replikasi III).
5. Hasil kesalahan acak yang didapat untuk sampel dengan kadar 149,4
g/mL adalah 8,6207%; 216,4 g/mL adalah 18,0056% dan 351,4 g/mL
adalah 2,8887%.

H. Daftar Pustaka
Anonim a, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 765, Depkes RI, Jakarta
Anonim b, 1995, United States of Pharmacopeica, 23rd ed, 1932-1983, New York,
United State of America
Chafetz et al., 1971, Selective Colorimetric Determination of Acetaminophen,
J.Pharm. Sci.,60 93), 463-466
Chamberlain, J., 1995, The Analysis of Drugs in Biological Fluids, 2 rd ed., 39-40,
84, CRC Press Inc, New York
Chambers dan Jones, 1976, Comparison of a Gas Chromatographic and
Colorimetric Method for the Determination of Plasma Paracetamol. Ann.
Clinn. Biochem., 13(4),433-4
Katzung, 1989, Basic and Clinical Pharmacology, diterjemahkan oleh Binawati,
H.K., Budi, I., Christianto, S., Hermawan, S., Yurita, H.H., Gunadi, B.,
Petrus, A., edisi 3, 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Montgomery et al., 1992, BioChemistry: A Case Oriented Approach, Alih bahasa
Staff Pengajar FKUI. Edisi V, Jilid I, 80-91, Binarupa Aksara, Jakarta
Mulja, M., Hanwar , D., 2003, Prinsip-Prinsip Cara Laboratorium yang Baik,
Majalah Farmasi Airlangga, Volume VI, 73, Airlangga University Press,
Surabaya
Mulja, M., dan Suharman, 1995, Analisis Instrumental, Cetakan Pertama, 6-9,
Airlangga University Press, Surabaya
Mutschler, Ernst, 1991, Dinamika Obat, ed. V, hal 16-17, 36 , 90, Pnenrbit ITB,
Bandung
Rang et al., 2003, Pharmacology, 5th Ed., 96-97, Chorchill Livingstone, Ednburg,
London, New York, Oxford, Philadelphia, St Louis, Sydney, Toronto
Ritschel, W. A, 1976, Handbook of Basic Pharmacokinetics, 1st edition, hal 78,
Drug Inteligence Publication Inc. Hamillton, USA
Roth, H.J., Blaschke, 1981, Pharmaceutical Analysis, diterjemahkan oleh sarjoko
Kisman dan Slamet Ibrahim, 359-361, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Skoog, A., D., West, M., Donald, J., F., 1994, Analytical Chemistiy, 6rh ed, 161195, Saunde College Publishing, United Stated of America
Stalcup et al., 1995, Medwork: Anatomy and Physiology, Chapter 13, section 2.2,
page 2 of 2, Victory Technology Inc.

Widdop, B., 1986, Hospital Toxicology and Drug Abuse Screening, in Moffat A.
C.,Jackson J.V., Moss, M.S., Widdop, B.,Greenfield, E.S., (Eds) Clarkes
Isolation and Identification of Drug in Pharmaceutical, Body Luids, and
Post Mortem Material, 2nd Ed., 23, The Pharmaceutical Press, London
Wilmana, P.F., 1995, Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid
dan Obat Pirai, dalam Ganiswara, S.G., Farmakologi dan Terapi, Edisi IV,
214, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai