Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL

SKENARIO 1
BLOK PEDIATRI

Persalinan Normal dan Persalinan


dengan Indikasi Asfiksia

Disusun oleh:
Kelompok 17
Yuniarida Dwijayanti (G0008124)
Agung Nugroho (G0008144)
Dea Alberta (G0008174)
Dwi Prasetyo (G0008188)
Elsa Rosalina (G0008190)
Nurotus Saniyah (G0008148)
Rakryan N.W (G0008152)
Riani Aqmarina (G0008156)
Yohana Endrasari (G0008186)
Atika Zulfa (G0008202)
Rheza Setiawan (G0008236)
Nama Tutor : Dr Ari Probandari MPH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit pada periatri adalah ilmu yang mempelajari tentang
kesehatan anak. Merupakan penyakit yang umum terjadi pada neonatus, bayi
dan anak baik yang bersifat mekanis ataupun neurologis. Pediatri tercakup
dalam ilmu kesehatan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi angka
kejadian lahir dengan normal dan persalinan dengan indikasi tertentu adalah
dengan menentukan faktor-faktor tentang pendidikan ibu yang rendah , status
ekonomi keluarga yang rendah ,paritas > 3 dan jarak kelahiran < 2 tahun
sedangkan variabel frekuensi ANC.
Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat
menurunkan O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat
buruk dalam kehidupan lebih lanjut. Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi
jika terdapat gangguan perlukaran gas atau pengangkutang O2 dari ibu
kejanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau
segera setelah lahir. Hampir sehagian besar asfiksia bayi baru lahir
merupakan kclanjutantan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama
kehamilan dan persalinan. memegang peran penting untuk keselamatan bayi
atau kelangsungan hidup yang sempurna tanpa gejala sisa.
Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman mengenai ilmu
penyakit anak

sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejadian,

melakukan prosedur diagnostik, beserta penatalaksanaan pada pasien dengan


keadaan patologis dengan tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Pertumbuhan dan perkembangan janin
2. Pemeriksaan fisik pada neonatus
3. Bagaimana penanganan neonatus

4. Patofisiologi gejala yang timbul pada bayi kedua


5. Bagaimanakah cara melakukan penegakkan diagnosis berdasarkan gejala
dan hasil pemeriksaan pasien?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan laporan kelompok ini bertujuan untuk membahas mengenai
penyakit penyakit yang berhubungan dengan anak

beserta gambaran

klinisnya, sehingga mahasiswa dapat memahami tidak hanya 1 jenis penyakit


pada anak namun seluruh penyakit yang dapat terjadi pada anak sesuai
dengan tujuan pembelajaran pada blok pediatri ini, baik yang bersifat mekanis
maupun neurologis.
D. Manfaat Penulisan
Mahasiswa diharapkan mampu mengenal dan memahami keadaan-keadaan
patologis pada anak yang dikaitkan dengan adanya komplikasi baik itu
sistemik ataupun lokal, beserta penanganan sehingga terapinya dapat
dilakukan dengan baik dan sesuai dengan porsinya.
E. Hipotesis
Dilihat dari manifestasi klinis yang timbul, pasien pertama diduga kelahiran
pada bayi tersebut normal dan pada pasien kedua diduga bayi tersebut
menderita asfiksia neonatorum berat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin
Pertumbuhan dan perkembangan janin dapat dibagi dalam lima periode,
yaitu :
1. Periode embrionik
Pada periode ini terjadi pembentukan organ-organ. Pemakaian obat
tertentu dan beberapa penyakit misalnya rubela yang diderita ibu dapat
menyebabkan kelainan kongenital atau abortus.
2. Periode janin dini
Pada periode ini implantasi hasil konsepsi pada dinding uterus telah
sempurna. Organogenesis telah selesai dan mulai terjadi akselerasi
pertumbuhan. Organ-organ tubuh mulai berfungsi walaupun imatur.
Bahaya abortus berkurang.
3. Periode janin akhir
Terdapat pertumbuhan yang cepat dari janin sehingga didapat pertambahan
berat badan maksimal. Dalam periode ini terjadi penyelesaian persiapan
untuk hidup di luar uterus. Bahaya utama yang dihadapi adalah infeksi,
partus prematuritas, dismaturitas, asfiksia, dan kematian janin intrauterin.
4. Periode parturien
Janin telah siap hidup di luar uterus. Bahaya utama adalah hipoksia,
infeksi, dan trauma kelahiran.
5. Periode neonatal
Periode ini dimulai dari bayi baru lahir hingga umur 28 hari. Dibagi
menjadi periode neonatal dini: baru lahir hingga 7 hari post partum dan
periode neonatal lanjut: 8 hari post partum hingga 28 hari post partum.
Dalam periode ini terjadi adaptasi kehidupan intrauterin ke kehidupan
ekstrauterin.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007; Meadow dan Newwel,
2002).
B. Fisiologi Fetus
1. Sistem sirkulasi
Jantung manusia mulai berdenyut selama minggu keempat setelah
fertilisasi, berkontraksi dengan kecepatan 65 denyut/menit. Frekuensi

denyut jantung meningkat menjadi 140kali/menit sebelum lahir. Sel darah


merah berinti mulai dibentuk di yolk sac dan lapisan mesotelium plasenta
sekitar minggu ketiga perkembangan fetus. Pada minggu ke-4 sampai ke-5,
pembentukan sel darah merah tidak berinti dilakukan oleh mesenkim dan
endotel pembuluh darah fetus. Pada minggu ke-6, hati mulai membentuk
sel darah dan dalam bulan ke-3 limpa dan jaringan limfoid juga
membentuk sel darah. Akhirnya, sejak bulan ke-3, sumsum tulang menjadi
sumber utama sel darah merah dan kebanyakan sel darah putih.
2. Sistem pernapasan
Pernapasan tidak terjadi selama kehidupan fetus karena tidak ada udara
untuk bernapas pada kantung amnion. Pertukaran udara berlangsung
melalui plasenta.
3. Sistem saraf
Sebagian besar refleks pada fetus termasuk medulla spinalis dan batang
otak terbentuk pada bulan ke-3 sampai ke-4 kehamilan. Akan tetapi, fungsi
susunan saraf yang mencakup korteks serebri masih dalam perkembangan
awal. Selain itu perkembangan saraf dan mielinisasi sempurna setelah 2
tahun kelahiran.
4. Sistem pencernaan
Pada pertengahan masa kehamilan, fetus mulai mencerna dan mengabsopsi
sejumlah besar cairan amnion, dan selama 2-3 bulan terakhir, fungsi
gastrointestinal mendekati fungsi normal neonatus. Pada saat itu, sejumlah
kecil mekoneum telah dibentuk dan diekskresikan dari anus ke cairan
amnion.
5. Ginjal
Ginjal fetus mulai mengekskresi urin selama kehamilan trimester kedua.
Urin fetus menyumbang 70-80% cairan amnion. Walaupun ginjal telah
membentuk urin, sistem kontrol ginjal dalam mengatur keseimbangan
volume cairan elektrolit ekstrasel fetus hampir tidak ada sampai akhir
kehidupan fetus.
6. Metabolisme fetus
Fetus terutama menggunakan glukosa untuk energi, dan memiliki
kemampuan yang tinggi untuk menyimpan lemak dan protein.
(Guyton and Hall, 2007)
C. Fisiologi Neonatus

1. Sistem pernapasan
Pengaruh paling nyata dari kelahiran pada bayi adalah hilangnya hubungan
plasenta dengan ibu, yang berarti hilangnya dukungan terhadap
metabolisme. Salah satu penyesuaian segera yang paling penting adalah
mulai bernapas. Biasanya anak akan mulai memiliki pernapasan yang
normal kurang dari 1 menit setelah lahir. Hal tersebut mungkin disebabkan
oleh keadaan asfiksia ringan pada proses kelahiran dan impuls sensorik
karena pendinginan kulit yang tiba-tiba. Tubuh bayi yang tidak bernapas
dengan segera akan menjadi lebih hipoksik dan hiperkapnik, yang
memberikan

stimulus

tambahan

terhadap

pusat

pernapasan

dan

menyebabkan pernapasan dalam waktu beberapa menit selanjutnya.


2. Sirkulasi
Hilangnya aliran darah yang amat besar melalui plasenta yang akan
melipatgandakan resistensi pembuluh sistemik saat lahir. Hal ini
meningkatkan tekanan aorta serta tekanan di ventrikel kiri dan atrium kiri.
Selain itu, resistensi vaskular paru sangat menurun sebagai akibat
pengembangan paru. Akibatnya, aliran darah yang melalui paru meningkat
lima kali lipat. Perubahan lain pada sirkulasi neonatus adalah penutupan
foramen ovale, duktus arteriosus, dan duktus venosus.
3. Nutrisi
Sebelum kelahiran, fetus memperoleh energi dari glukosa yang diperoleh
dari darah ibu. Setelah lahir, jumlah glukosa dalam tubuh bayi hanya
cukup untuk menyuplai kebutuhan bayi beberapa jam saja. Oleh karena itu,
konsentrasi glukosa darah bayi sering turun dalam hari pertama sampai
serendah 30-40mg/dl plasma.
(Guyton and Hall, 2007)
D. Perawatan Neonatus di Kamar Bersalin
Setelah dilahirkan lengkap, segera keringkan seluruh badan dan kepala
bayi. Ganti kain basah dengan kain yang kering dan telah dihangatkan

untuk mengalasi meja.


Bersihkan jalan napas dengan kateter mulai dari mulut, kemudian hidung.
Penilaian skor Apgar menit pertama dan kelima berguna untuk
menentukan perlu tidaknya pengawasan ketat pada neonatus.

Sebagai pencegahan infeksi, tali pusat dan daerah sekitarnya diolesi

bakterisid serta bayi dibersihkan dengan lap kering dan hangat.


Berikan injeksi vitamin K1 untuk mencegah defek koagulasi.
(Mansjoer dkk, 2000)
Skor APGAR (Appeareance, Pulse rate, Grimace, Activity, Respiration)
digunakan untuk menilai keadaan umum bayi tepat setelah lahir dan respon
bayi terhadap resusitasi. Yang dinilai adalah frekuensi jantung, usaha
bernafas, tonus otot, warna kulit, dan reaksi tehadap rangsangan. Setiap
penilaian diberi angka 0, 1 dan 2. Dengan penilaian tersebut dapat diketahui
apakah bayi normal (vigoous baby nilai APGAR 7-10), asfiksia sedang
(nilai APGAR 4-6), asfiksia berat (nialai APGAR 0-3). Nilai APGAR
dipengaruhi oleh usia kehamilan, obat yang dikonsumsi ibu selama
kehamilan, resusitasi, kardiorespirasi, dan kondisi neurologi. Jika diterapkan
secara benar, skor APGAR dapat dijadikan standart untuk penilaian bayi baru
lahir (Chairperson dkk., 2006).
E. Pemeriksaan Fisik Bayi Baru Lahir
Tujuan memeriksa neonatus setelah lahir adalah untuk menemukan
kelainan yang segera memerlukan pertolongan dan sebagai dasar untuk
pemeriksaan selanjutnya.
1. Keadaan umum
Keaktifan. Bila bayi diam mungkin bayi sedang tidur nyenyak atau ada
depresi susunan saraf pusa. Bila bayi bergerak aktif, harus diperhatikan
apakah gerakan itu simetris atau tidak. Keadaan yang asimetris misalnya
pada patah tulang, kerusakan saraf, dan luksasio.
Keadaan gizi. Dapat dinilai dari berat badan, panjang badan, kerut kulit,
dan ketegangan kulit.
Rupa. Kelainan congenital tertentu dapat dilihat pada rupa neonatus,
misalnya pada Sindrom Down, kretinisme, dan agenesis ginjal bilateral.
Posisi. Yang biasa adalah dalam keadaan fleksi tungkai dan lengan.
Kulit. Kulit yang normal berwarna kemerah-merahan dan dilapisi oleh
vernik kaseosa. Warna pucat terdapat pada anemia dan renjatan. Warna
biru ditemukan pada asfiksia livida, kelainan jantung congenital dengan
pirau kanan ke kiri.

Warna kuning terdapat pada sepsis serta inkompatibilitas antara


darah ibu dan bayi. Warna kuning juga menandakan bahwa bayi ikterus.
Sekitar 50% bayi baru lahir terlihat ikterus selama minggu pertama
setelah kelahiran. Mekanisme yang paling sering terjadi adalah
fisiologis dan mencerminkan kekurangan sementara dalam sistem
konjugasi (Meadow dan Newwel, 2002).
Namun pada bayi cukup bulan terjadi pemanjangan waktu ikterik
pada neonatus yang berlangsung selama 2 minggu dan 3 minggu pada
bayi prematur. Pemanjangan waktu ikterik pada neonatus dapat di
kelompokkan menjadi dua kategori, yaitu : yang terkonjugasi dan tidak
terkonjugasi.

Beberapa

penyebab

pemanjangan

waktu

ikterik

terkonjugasi adalah hiperbilirubinemia akibat obstrusi hepatobilier,


infeksi, gangguan metabolik dan genetik. Sedangkan penyebab
pemanjangan

waktu

ikterik

yang

tidak

terkonjugasi

adalah

hiperbilirubinemia akibat ikterik fisiologis yang memanjang, breast


milk jaundice, Crigler Najjar Syndrome, haemolytic disorders,
hipothyroidisme dan infeksi termasuk sepsis dan hepatitis (Ogundele
dkk., 2010).
2. Kepala dan leher
Tulang kepala sering menunjukkan moulage, yaitu tulang parietal
biasanya berhimpitan dengan tulang oksipital dan frontal.
Mata tidak jarang menunjukkan perdarahan konjungtiva atau retina.
Pada telinga tidak jarang ditemukan papiloma preaurikuler. Membran
timpani mudah dilihat dengan otoskop dan biasanya tampak suram.
Hidung sering tersumbat oleh mucus.
Pada mulut diperhatikan kemungkinan kelainan congenital labiognatopalatoskizis.
3. Toraks
Pernapasan bayi baru lahir biasanya diafragmatik dengan frekuensi
berkisar antara 30-100/menit bergantung akitivitasnya.
Frekuensi nadi berkisar antara 70-180/menit dengan rata-rata 120130/menit.
Tekanan darah normal neonatus adalah 85/60 mmHg.
4. Abdomen

Hepar biasanya teraba, sedangkan lien dan ginjal kadang-kadang juga


dapat diraba. Kelainan yang tersering ditemukan adalah kelainan traktus
urogenitalis, embrioma ginjal, kista ovarium dan duplikasi intestinal.
5. Genitalia
Genitalia dan kelenjar mamma dipengaruhi oleh hormon ibu yang
melalui plasenta. Sering terlihat pembesaran kelenjar mamma disertai
sekresi air susu pada neonatus wanita maupun pria. Pada bayi wanita
terlihat sekresi vaginal yang kadang-kadang berdarah. Pada pria
skrotum terlihat besar, perhatikan kemungkinan hidrokel atau hernia.
Urin biasanya dikeluarkan segera setelah lahir.
Mekoneum biasanya dikeluarkan dalam 12 jam pertama.
6. Ekstremitas
Adanya tulang patah, kelumpuhan saraf, atau luksasio dapat diketahui
dengan memperhatikan pergerakan spontan neonatus.
7. Refleks
Refleks Moro berupa gerakan seperti memeluk bila ada rangsangan,
misalnya dengan menarik kain tempat neonatus berbaring.
Refleks isap dapat ditimbulkan dengan meletakkan suatu benda di mulut
bayi.
Refleks rooting, yaitu bayi akan mencari benda yang diletakkan di dekat
mulutnya kemudian akan menghisapnya.
Refleks plantar dan refleks grasp ditimbulkan dengan meletakkan suatu
benda pada telapak kaki atau tangan dan akan terjadi gerakan fleksi dari
jari-jari.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007).
F. Bayi Normal
Kriteria Bayi Normal
1. Masa gestasi cukup bulan: 37 40 minggu.
2. Berat lahir 2500-4000 gram.
3. Lahir tidak dalam keadaan asfiksia (lahir menangis keras, napas

spontan dan teratur). Skor APGAR menit pertama lebih dari 7.


4. Tidak terdapat kelainan kongenital berat.
Manajemen Bayi Baru Lahir Normal
1. perawatan neonatal esensial pasca persalinan yang bersih dan aman,
serta inisiasi pernapasan spontan (resusitasi), dilanjutkan dengan:

- Stabilisasi suhu dengan membungkus badan dengan kain yang kering


dan hangat, memakai tutup kepala, segera meletakkan pada dada atau
puting ibu.
- Pemberian ASI dini dan eksklusif, dimulai dari 30 menit pertama.
- pencegahan terhadap infeksi dan pemberian imunisasi
2. pemberian vitamin K secara intramuskular atau oral
3. perawatan mata dengan pemberian tetes mata antibiotika tetrasiklin
atau kloramfenikol.
4. perawatan tali pusat dengan menjaga kebersihan dan menjaga agar tali

pusat tetap kering


5. pemberian vaksin polio dan hepatitis B pertama
Rawat Gabung
Setelah manajemen bayi baru lahir telah selesai, maka ibu dan bayi dapat
dirawat gabung. Namun tidak semua bayi atau ibu dapat dirawat gabung.
Syaratnya adalah:
1. usia kehamilan lebih dari 34 minggu dan berat lahir >1800 gram,
berarti reflek menelan dan menghisap sudah baik.
2. Nilai APGAR pada lima menit lebih atau sama dengan 7.
3. tidak ada kelainan kongenital yang memerlukan perawatan khusus.
4. tidak ada trauma lahir atau morbiditas lain yang berat.
5. bayi yang lahir dengan seksiosesaria dengan pembiusan general, rawat
gabung dilakukan setelah ibu dan bayi sadar, misal 4-6 jam setelah
operasi selesai. Apabila pembiusan secara spinal, bayi dapat segera
disusui. Apabila ibu masih mendapat infus, bayi tetap disusui dengan
bantuan petugas.
6. ibu dalam keadaan sehat.
Kontraindikasi:
Bagi ibu:
1. ibu dengan kelainan jantung yang ditakutkan akan terjadi gagal
jantung
2. ibu dengan eklampsia atau preeklampsia berat.
3. ibu dengan penyakit akut yang berat
4. ibu dengan karsinoma payudara
5. ibu dengan psikosis
Bagi bayi:
1. bayi dengan berat lahir sangat rendah
2. bayi dengan kelainan kongenital yang sangat berat

Apabila rawat gabung tidak dapat dilakukan, air susu ibu diperah dan
diberikan pada bayi dengan cara lain, misalnya dengan sendok, cangkir,
pipet, atau dengan sonde lambung sesuai dengan kemampuan bayi.
(Prawirohardjo, 2008)
ASI dalam jumlah cukup merupakan makanan terbaik pada bayi dan
dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama 4 bulan pertama. ASI
merupakan makanan alamiah yang pertama dan utama bagi bayi sehingga
dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal (Siregar A., 2004).
Penyusuan secara eksklusif selama 6 bulan ini dapat dicapai bila
seluruh rumah sakit, rumah sakit bersalin, dan tempat-tempat pelayanan
ibu bersalin lainnya telah melaksanakan rawat gabung. Usaha-usaha yang
terus-menerus untuk memasyarakatkan penyusuan dini dan rawat gabung
diharapkan dapat menunjang tercapainya 100% penyusuan eksklusif pada
tahun 2010 untuk bayi Indonesia (Lubis U, 2009).
G. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernapas secara spontan dan teratur dalam 1 menit setelah lahir. Biasanya
terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan komplikasi, misalnya DM,
preeklampsia berat, eritroblastosis fetalis, kelahiran kurang bulan, kelahiran
lewat waktu, plasenta previa, gawat janin, serta pemberian anestesi atau
narkotik sebelum kelahiran (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004).
Pada penelitian yang dilakukan di Inggris, sebagian besar kasus asfiksia
pada bayi disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi yang rendah. Keadaan
ekonomi ini berpengaruh pada kemampuan orang tua untuk melakukan
kontrol terhadap kehamilan serta pencukupan gizi untuk kehamilannya.
Selain kondisi sosial ekonomi, terdapat beberapa penyebab lain, diantaranya :
solusio plasenta, kontraksi uterus yang berlebih, dan asfiksia pada ibu
(Thomas dkk., 2003).
Manifestasi klinis
Distress pernapasan (apneu atau megap-megap), detak jantung kurang
dari 100kali/menit, refleks bayi lemah, tonus otot menurun, serta warna kulit
biru atau pucat.
Penatalaksanaan

Dengan melakukan resusitasi secepat mungkin tanpa menunggu


penghitungan skor Apgar.
(Mansjoer dkk, 2007)
H. Resusitasi Neonatus
Resusitasi neonatus merupakan suatu prosedur yang diaplikasikan untuk
neonatus yang gagal bernapas secara spontan.
1. Langkah awal resusitasi
Tempatkan bayi di bawah pemanas radian / infant warmer
Letakkan bayi telentang pada posisi setengah tengadah untuk membuka

jalan napas.
Bersihkan jalan napas atas dengan mengisap mulut terlebih dahulu
kemudian hidung, dengan menggunakan bulp syringe, alat pengisap

lendir, atau kateter penghisap.


Keringkan, stimulasi dengan

rangsangan

taktil

yang

lembut

(pemukulan kaki atau penggosokan punggung), ganti kain basah

dengan yang kering, dan reposisi kepala


Tindakan yang dilakukan sejak bayi lahir sampai reposisi kepala tidak

boleh lebih dari 30 detik


Menilai pernapasan. Jika bayi mulai bernapas secara teratur dan
memadai, periksa denyut jantung. Jika denyut jantung > 100 kali/menit
dan bayi tidak sianosis, hentikan resusitasi. Akan tetapi, jika terjadi

sianosis, berikan oksigen


2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
Jika tidak terdapat pernapasan atau bayi megap-megap, VTP diawali
dengan menggunakan balon resusitasi dan sungkup, dengan frekuensi

40-60 kali/menit.
Intubasi endotrakea diperlukan jika bayi tidak berespon terhadap VTP
dengan menggunakan balon dan sungkup. Lanjutkan VTP dan bersiap

untuk memindahkan bayi ke Neonatal Intensif Care Unit (NICU).


3. Kompresi dada
Jika denyut jantung masih <60kali/menit setelah 30 detik VTP yang

memadai, kompresi dada harus dimulai.


Kompresi dilakukan pada sternum di proksimal prosesus sifoideus.
Kedua ibu jari petugas yang meresusitasi digunakan untuk menekan

sternum, sementara jari lain mengelilingi dada. Sternum dikompresi

sedalam 1/3 tebal antero-posterior dada.


Kompresi dada diselingi ventilasi secara sinkron terkoordinasi dengan

rasio 3:1. Kecepatan kombinasi kegiatan tersebut harus 120/menit.


Setelah 30 detik, evaluasi respon. Jika denyut jantung > 60 denyut/
menit, kompresi dada dapat dihentikan dan VTP dilanjutkan hingga

denyut jantung mencapai 100 kali/menit dan bayi bernapas efektif.


4. Pemberian obat
Epinefrin harus diberikan jika denyut jantung tetap <60kali/menit

setelah 30 detik VTP dan 30 detik lagi VTP + kompresi dada.


Dosis epinefrin adalah 0,1 0,3 ml/kg berat badan larutan 1:10.000
secara intravena, melalui vena umbilical. Bila diberikan melalui pipa

endotrakeal, dosis adalah 0,3-1,0 ml/kg berat badan.


5. Perawatan Lanjutan
Catat skor Apgar untuk menit pertama dan kelima dalam rekam medik.
Jika bayi memerlukan asuhan intensif, rujuk ke rumah sakit terdekat

untuk memantau dan memberikan perawatan.


Jika bayi dalam keadaan stabil, pindahkan ke ruang neonatal untuk
dipantau dan ditindaklanjuti. Tindakan yang dilakukan, yaitu
pemeriksaan fisik, monitoring tanda vital, sirkulasi, perfusi, status
neurologik, dan jumlah urin, serta pemberian minum ditunda
disesuaikan dengan kondisi. Sebagai ganti pemberian minum secara
oral, berikan glukosa 10% intravena. Uji laboratorium, seperti analisis

gas darah, glukosa, dan hematokrit harus dilakukan.


Jika tidak terdapat komplikasi selama 24 jam, neonatus dapat keluar

dari unit neonatal.


(Rohsiswatmo dan Dharmasetiawani, 2008; Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2004).

BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan skenario diatas, Santi, seorang mahasiswi kedokteran,
sedang menjalankan rotasi klinik di bagian pediatri. Ia masuk dalam stase
neonatologi dan menemukan dua kasus bayi baru lahir. Kasus pertama, di ruang
bersalin, ia mendapati seorang bayi laki-laki dengan berat 3,6 kg, panjang 50cm.
Skor APGAR menit pertama 8, menit kelima 9, dan menit kesepuluh 10. Skor ini
digunakan untuk menilai kondisi bayi baru lahir sesaat setelah kelahiran yang
terdiri dari penilaian warna kulit, denyut jantung, respon reflex, tonus otot, dan
pernapasan. Penilaian ini dilakukan pada menit ke-1 untuk memberi kesempatan
bayi memulai perubahan serta pada menit ke-5 dan ke-10 dilakukan untuk
memberi indikasi morbiditas masa mendatang. Pada kasus tersebut, berat badan
dan panjang badan bayi masih dalam batas normal yaitu sekitar 2500-4000 gr dan
panjang badan rata-rata 48 cm. Skor APGAR normal yaitu antara 7-10. Terdapat

peningkatan skor APGAR karena adanya penyesuain beberapa organ dari


lingkungan intrauterin ke ekstrauterin pada bayi baru lahir.
Dengan bimbingan dosennya, santi melakukan pemeriksaan fisik lengkap
pada bayi yang baru lahir tersebut dan semuanya normal. Pemeriksaan fisik pada
bayi baru lahir diantaranya yaitu menilai keadaan umum yang tujuannya untuk
menemukan kelainan yang segera perlu pengobatan. Pemeriksaan ini terdiri dari
keadaan umum yang meliputi keaktifan bayi (diam atau bergerak aktif), keadaan
gizi (BB, TB, kerut pada kulit, tegangan kulit, dan edema), rupa (adanya kelainan
atau tidak seperti Sindrom Down), dan kulit (normalnya kemerahan, dilapisi
verniks kaseosa, dilapisi lalugo, sel peridermal, dan debris). Kemudian dia
diminta melihat catatan riwayat kesehatan ibu serta riwayat persalinan. Santi
mendapati bahwa bayi tersebut dilahirkan secara spontan pada umur kehamilan
39 minggu. Ketuban pecah 3 jam sebelum bayi lahir, warna ketuban jernih, tidak
ada mekoneum. Mekoneum merupakan feses yang pertama kali dikeluarkan oleh
bayi baru lahir yang berwarna hijau tua dan berlendir. Jika mekoneum keluar
pada saat masih dalam kandungan, maka terjadi inspirasi mekoneum oleh janin.
Cairan mekoneum tersebut dapat masuk ke paru-paru dan melekat pada alveolus,
sehingga ketika bayi lahir dapat menyebabkan asfiksia neonatorum. Catatan
kesehatan ibu menunjukkan bahwa tanda vital ibu normal, pemeriksaan TORCH
negatif, HbsAg negatif, gula darah normal, dan HIV negatif. Salah satu
pemeriksaan tanda vital yaitu tekanan darah. Jika ditemukan tekanan darah ibu
meningkat, maka dapat menyebabkan hipertensi gravidarum. Pemeriksaan
TORCH terdiri dari Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes
simpleks. Bila pemeriksaan TORCH pada ibu positif, maka bisa menyebabkan
kelainan kongenital pada bayi atau mengidap penyakit yang sama seperti ibunya.
Selanjutnya bayi dan ibunya dibawa ke ruang perawatan untuk dirawat di ruang
gabung. Rawat gabung dapat dilakukan apabila kondisi kesehatan ibu dan bayi
normal. Manfaat dari rawat gabung antara lain menghindari infeksi silang dengan
bayi lain, menumbuhkan kedekatan antara ibu dan anak, dan merangsang
keluarnya ASI pada ibu. Dengan diberikannya ASI, dapat meningkatkan

kekebalan tubuh bayi karena ASI mengandung imunoglobulin A. Oleh karena itu,
sebaiknya ASI diberikan secara eksklusif selama 6 bulan.
Kasus kedua, Santi diminta membantu di ruang operasi. Di sana ada
seorang ibu 27 tahun dengan umur kehamilan 40 minggu yang sedang menjalani
sectio caesaria yaitu cara melahirkan bayi dengan sayatan pada dinding uterus
melalui dinding depan perut. Sectio caesaria dilakukan berdasarkan indikasi
seperti disproporsi sevalopelvik, gawat janin, eklamsia, hipertensi, plasenta
previa, kelainan his, janin sungsang, hidrosefalus, dan panggul sempit. Pada
kasus tersebut indikasinya yaitu detak jantung janin melemah. Keadaan ini bisa
disebabkan akibat ibu yang mengalami hipoksia, dimana keadaan ini dapat
mengurangi pasokan oksigen pada janinnya. Akibatnya, janin kekurangan
oksigen dan energi. Keadaan ini menyebabkan cadangan glikogen berkurang
sehingga organ-organ vital seperti jantung kekurangan energi. Hal ini
menyebabkan detak jantung janin melemah. Dan saat operasi, ibu tersebut
mendapatkan anestesi general. Tindakan anestesi ini bisa membahayakan
kehidupan fetus karena efek anestesi bisa berpengaruh pada fetus sehingga pusat
pernapasan dan pusat saraf pusat bisa tertekan dan mengakibatkan hipoksia yang
berlangsung lama sehingga terjadi keterlambatan bernafas saat bayi baru lahir.
Pada kasus ini, anastesi general memperberat keadaan bayi. Keterlambatan
pernafasan ini juga bisa disebabkan akibat kompresi tali pusat, trauma saat
persalinan, his yang berlebihan, dan tali pusat yang terputus sebelum waktunya.
Keterlambatan nafas yang tidak tertangani dapat mengakibatkan asfiksia.
Oleh karena itu, segera setelah bayi lahir, Santi mendapati bahwa bayi
tersebut tidak menangis, apneu, dan berwarna kebiruan. Apneu pada bayi
menyebabkan terjadinya hipoksia. Karena adanya hipoksia, menyebabkan Hb
lebih banyak mengikat CO2

daripada O2. Keadaan ini menyebabkan bayi

berwarna kebiruan dan tidak menangis. Dengan bimbingan dosennya, Santi


segera membawa bayi ke meja resusitasi dan bayi segera dikeringkan,
distimulasi, diberi ventilasi tekanan positif, pijat jantung, dan injeksi epinefrin.
Setelah resusitasi didapatkan skor APGAR 6 yang berarti bayi mengalami

asfiksia sedang dan diperlukan resusitasi. Kemudian bayi segera dipindahkan ke


ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) untuk perawatan lebih lanjut.

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan pada ibu dan bayi
tersebut maka pada bayi yang pertama lahir normal dan dirawat gabung,
sedangkan pada pemeriksaan ibu dan bayi pada pasien yang kedua dengan
ciri-ciri denyut jantung lemah dan dengan indikasi cesio sesarina dan juga
didukung oleh pemberian anastesi general mengakibatkan janin mengalami
asfiksia neonatum berat maka penatalaksanaannya adalah dengan resusitasi
dan dirawat di NICU segera.
B. SARAN

Pada bayi yang kedua harus selalu dipantau perkembangan dan


pertumbuhannya

DAFTAR PUSTAKA
Guyton A.C and Hall J.E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC
Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani I.W., Setiowulan W. 2007. Kapita Selekta
Kedokteran edisi ketiga Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Rohsiswatmo R. dan Dharmasetiawani N. 2008. Resusitasi Neonatus. Dalam :
Saifuddin A.B. (ed). Ilmu Kebidanan edisi keempat. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Perinatalogi dalam Buku
Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
Meadow R. dan Newwel S. 2002. Lecture Notes Pediatrika edisi 7. Jakarta :
Erlangga.
Chairperson, Adamkin, Batton, Bell. 2006. The Apgar Score. J PEDIATRICS
2006; Volume 117, pp:1444-1447.
Michael O. Ogundele, Jane Halliday, and Patricia Weir. 2010. Implementation of
a prolonged neonatal jaundice protocol supported by electronic software.
Clinical Governance: An International Journal (CGIJ) 2010; Vol. 15 No.
3, pp. 179-190.
Prawirohardjo, S. 2008. Penggunaan Air Susu Ibu dan Rawat Gabung dalam
Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Lubis U, 2009. ASI Eksklusif Menjelang Indonesia Sehat 2010. Medika Jurnal
Kedokteran Indonesia 2009; Edisi No 10 Vol XXXV.
Thomas dkk. 2003. Responding to Variations in Mortality due to Intrapartum
Asphyxia. CGIJ vol 8 nomer 4 pp : 296-299
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
IDAI 2004.
Siregar, A. 2004. Pemberian Asi Eksklusif dan Faktor yang Mempengaruhinya.
USU digital library Article 2004.

Anda mungkin juga menyukai