Anda di halaman 1dari 19

Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar
tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung dengan koana, ke depan berhubungan
dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui additus laring, dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam ke luar) selaput lender, fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian
fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasifaring, orofaring, dan laringofaring
(hipofaring).
Otot-otot faring tersusun dalalm lapisan melingkat (sirkuler) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m.konstriktor faring superior,
media, dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat yang disebut rafe
faring (raphe pharynges). Kerja otot kontriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersarafi oleh n. vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m. stilofaring dan m. palatofaring. Letak
otot-otot ini di sebelah dalam. M. stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan
menarik laring, sedangkan m. palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan
menaikkan bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai
elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan. M. stilofaring dipersarafi
oleh n. IX sedangkan m. palatofaring dipersarafi oleh n. X (Soepardi et al, 2012)
Bagian-bagian penting faring
1. Nasopharynx
a. Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii, merupakan lubang yang
menghubungkan antara nasopharynx dengan cavum tympani Auris Media.
b. Torus Tubarius, merupakan pendesakan dari pars cartilagine tubae. Bangunan
ini terletak pada superior dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditivae Eustachii.
c. Plica salpyngipharyngea, merupakan pendesakan dari m. salpingopharyngeus.
d. Torus Levatorius, merupakan pendesakan dari m. levator velli palatine.
Bangunan ini terletak di inferios dari Ostium Pharyngeum Tubae Auditiva
Eustachii.

e. Recessus pharyngeus (Fossa rossenmulleri), terletak di bagian belakang dari


nasopharynx. Bangunan ini merupakan tempat sering terjadinya perubahan
epitel kolumner menjadi skuamous sehingga merupakan predisposisi
terjadinya Ca nasopharynx.
f. Tonsila pharyngea, merupakan jaringan limfoid terletak di nasopharynx bagian
superoposterior.
2. Oropharynx
a. Tonsila palatina, merupakan jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris.
Tonsila palatine, tonsila lingualis, dan tonsila pharingea membentuk suatu
bangunan yang disebut annulus waldeyers.
b. Plica salpingopalatina, merupakan pendesakan dari m. salpingopalatina.
c. Membrana glossoepiglottica. Bangunan ini menghubungkan epiglottis dengan
glossus. Bangunan ini akan menebal menjadi plica glossoepiglottica mediana
dan laterale dimana diantaranya terdapat

suatu cekungan yang disebut

vallecula epiglottica yang berfungsi sebagai tempat menampung benda-benda


tumpul.
Oropharynx dihubungkan dengan cavum oris melalui isthmus faucium.
3. Laringopharynx
a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan pharynx dengan
larynx.
b. Fossa piriformis, merupakan tempat yang berfungsi menampung benda-benda
tajam.

Vaskularisasi Faring

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak


beraturan. Yang utama berasal dari cabang a. karotis eksterna (cabang faring
ascendens dan cabang fausial) serta cabang a. maksila interna yakni cabang palatine
superior (Rusmarjono et al, 2007).
Anatomi Laring
Larynx merupakan organ yang tersusun atas cartilage-cartilago. Ada yang
bersifat tunggal dan berpasangan. Cartlag tyroidea, epiglottica, dan crycoidea
merupakan cartilage tunggal sedangkan cartilage arytenoidea, corniculatadan
cuneiforme merupakan cartilage yang berpasangan.
Bangunan-bangunan penting di larynx:
a. Adytus laryngis, merupakan celah yang menghubungkan larynx dengan
pharynx.
b. Vestibulum laryngis, merupakan ruangan yang terletak dibelakang adytus
laryngis.
c. Plica ventricularis/plica vestibuli, merupakan pita suara palsu
d. Rima vestibule merupakan celah diantara plica vestibule atau ventriculi
e. Ventricularis laryngis, merupakan ruangan dibelakang plica vestibule yang
didalamnya terdapat suatu kantung yang disebut sacculus ventriculi yang
berfungsi untuk lubrikasi saat fonasi.
f. Plica ovale, berfungsi sebagai pita suara sejati.
g. Rima glottidis merupakan celah diantara plica ovale.
h. Cavitas infraglottica merupakan ruangan dibawah plica ovale.
Larynx ini nanti akan berlanjut menjadi trachea.

Anatomi Oesophagus
Oesophagus merupakan saluran dari systema digestive yang berfungsi
menyalurkan makanan dari mulut ke gaster, pada oesophagus terdapat 3 penyempitan
yaitu pada faringoesophageal junction, kemudian pada saat menyilangi arcus aorta
dan pada gastrooesophageal junction (Moore, 2010)

Histologi Faring dan Laring


Histologi Faring
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya
torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringfaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan
tidak bersilia. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial.
Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lender yang terletak di atas silia
dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lender ini berfungsi
untuk menangkap partikel kotoran y ang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lender
ini mengandung enzim lysozyme yang penting untuk proteksi (Soepardi et al, 2012)
Faring dilapisi oleh sel psudokompleks kolumner dengan silia dan sel goblet,
silia dari laring akan bergerak menuju ke orofaring, sedankan silia dari nasofaring
bergerak turun ke orofaring (Eroschenko, 2010).

Histologi Laring

Laring merupakan saluran kaku penghubung antara laringofaring dengan


trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (pada tiroid, cricoidea, dan
arytenoidea inferior) dan kartilago elastis (corniculata, cuneiforme, arytenoid superior
dan epiglottis). Dinding bagian lateralnya terdapat lipatan yang disebut plica
vestibularis. Plica ini memiliki epitel respiratorik dan dikelilingi banyak kelenjar
seromukous. Selain itu, terdapat sistem pertahanan tubuh berupa MALT (Mucous
Associated Lymphoid Tissue). Di bagian bawahnya, terdapat lipatan lagi yang disebut
plica vocalis, merupakan pita suara sejati yang dilapisi epitel skuamous kompleks
dengan serat elastis parallel sebagai ligamentum vocalis. Di sekitarnya terdapat
musculus vocalis.
Epiglotis memiliki dua permukaan: (1) facies lingualis dan bagian apeks facies
trakealis dengan epitel skuamous kompleks non-kornifikasi, yang nantinya masih
terdapat kontak dengan makanan; (2) bagian basal facies trakealis dilapisi epitel
pseudokompleks kolumnair dan banyak terdapat kelenjar mukosa dan serosa di
lamina proprianya (Mescher, 2009).

Fisiologi Faring dan Laring


Fisiologi Menelan
Deglutisi atau menelan menurut Guyton dan Hall (2007) terdiri dari tiga tahap:
1. Tahap volunter: secara sadar, makanan ditekan dan digulung ke posterior
faring oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum.
2. Tahap faringeal: secara involunter, membantu jalan makanan melalui faring ke
esophagus. Daerah epitel reseptor menelan terletak di sekeliling pintu faring
dan akan menimbulkan kontraksi otot faringeal, sebagai berikut:
a.
palatum mole tertarik ke atas menutupi nares posterior untuk
mencegah refluks ke hidung
b.
plica palatopharyngeus tertarik ke medial dan membentuk celah untuk
lewatnya makanan yang sudah cukup terkunyah.
c.
plica vocalis berdekatan dan laring tertarik ke atas dan anterior oleh
otot leher sehingga epiglottis ke arah bawah dan mencegah makanan masuk ke
hidung dan trakea. Selain itu, epiglottis mencegah makanan agar tidak
mendekati pita suara sehingga tidak terjadi kerusakan.
d.
laring ke atas sehingga esophagus melebar, kemudian sfingter
esophagus atas (sfingter faringoesofageal) relaksasi sehingga makanan dapat
masuk ke dalam esophagus.

e.

laring ke atas dan sfingter relaksasi kemudian otot faring berkontraksi

dari superior ke inferior menimbulkan gerakan peristaltik.


3. Tahap esofageal: berupa peristaltik primer kelanjutan dari peristaltik faring
ataupun peristaltik sekunder yang dihasilkan oleh peregangan esophagus dan
relaksasi reseptif dari gaster.
Menelan adalah suatu aksi fisiologis yang kompleks, terutama karena faring
pada hampir setiap saat melakukan beberapa fungsi lain di samping menelan dan
hanya diubah dalam beberapa detik ke dalam traktus untuk mendorong makanan.
Yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu akibat menelan. Pada
umumnya menelan dapat dibagi menjadi (1) tahap volunter, yang mencetuskan proses
menelan, (2) tahap faringeal, yang bersifat involunter dan membantu jalannya
makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3) tahap esofageal, fase involunter
lain yang mempermudah jalannya makanan dari faring ke lambung (Guyton, 2002).
Proses menelan secara otomatis diatur dalam urutan yang teratur oleh daerahdaerah neuron di batang otak yang didistribusikan ke seluruh substantia retikularis
medula dan bagian bawah pons. Impuls motorik dari pusat menelan ke faring dan
esofagus bagian atas yang menyebabkan penelanan dijalarkan oleh saraf kranial ke-5
(n. Trigeminus), ke-9 (n. Glossofaringeus), ke-10 (n. Vagus), dan ke-12 (n.
Hypoglossus) serta bahkan beberapa saraf servikal superior seperti tampak pada
Gambar 1. Ringkasnya tahap faringeal dari penelanan pada dasarnya merupakan suatu
refleks (Guyton, 2002).

Gambar : Innervasi Proses Menelan.


Sewaktu gelombang peristaltik esofagus berjalan ke arah lambung, timbul
suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus,

mendahului peristaltik. Selanjutnya seluruh lambung akan sedikit lebih luas, bahkan
duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir
esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan
yang akan didorong ke bawah esofagus selama proses menelan (Guyton, 2002).

Fungsi Faring dalam Proses Bicara


Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat melibatkan mula-mula m.
salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. levator veli palatine bersama-sama
m. kontriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m levator veli
palatine menarik palatum mole ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding
belakang faring (Soepardi et al, 2012).
Fisiologi Laring
Laring memiliki banyak fungsi terutama dalam respirasi. Dalam respirasi
laring merupakan jalur utama dalam perlewatan udara pernapasan. Selain itu fungsi
laring yaitu sebagai pertahanan dalam respirasi. Dalam laring terdapat bangunan plica
vocalis yang berperan utama dalam proses terjadinya batuk. Sebelum terjadinya batuk
plica vocalis menutup dan menahan udara pada saluran di bawahnya. Setelah itu
terjadi pembukaan secara tiba-tiba dari plica vocalis dan menyemburkan udara keluar
dari saluran napas. Terjadinya batuk ini merupakan salah satu sistem pertahanan yang
dimiliki oleh sistem pernapasan. (Soepardi et al., 2012)

Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang

terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal
(Ruiz JW, 2009).

Gambar : Anatomi Tonsil

Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan
panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke
dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang
kosong diatasnya dikenalsebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:

Lateral muskulus konstriktor faring superior

Anterior muskulus palatoglosus

Posterior muskulus palatofaringeus

Superior palatum mole

Inferior tonsil lingual (Wanri A, 2007)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga

melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah


jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma
jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian
penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur
pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan
pusat germinal (Anggraini D, 2001).

Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan

limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa
Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masingmasing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 37 tahun kemudian akan mengalami regresi (Hermani B, 2004).

Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S,
2007).

Etiologi:
Sering batuk pilek

Faktor resiko: Sering


batuk pilek

4. Langkah IV: Menginventarisasi


secara sistematis
penjelasan
yang didapatkan
Keluhan:
Pemeriksaan
faring: mukosa
odinofagia,
terdapat
granulma
dan
pada langkah 3
hiperemis, tonsil fibrosis dan
Sistematika permasalahan : demam,
benjolan nyeri
detritus, plika vokalis edema
tekan, disfonia,
dan hiperemis
mengorok kalau
Pemeriksaan Lab: ASTO (+)
tidur

Pemeriksaan

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang

diagnosis

Faringitis

Laringitis

Tonsilitis
akut

Tonsilitis
kronik

Diagnosis banding
komplikasi

Diagnosis
kerja

penatalaksanaan

pencegahan

invasif

Follow up

medikament
osa

a. Sifat Streptococcus Beta-Haemoliticus


Infeksi Streptococcus Grup A
Infeksi Streptococcus pyogens, bakteri -hemolitik yang tergolong dalam
serogrup A menurut klasifikasi Lancefield dan sering dikenal sebagai Group A
streptocci (GAS), dapat menyebabkan berbagai penyakit pada manusia. S pyogens
merupakan bakteri tersering yang menyebabkan akut faringitis pada anak-anak (1530%) dan dewasa (5-10%).
S. pyogenes, juga dikenal sebagai Grup A Streptococcus (GAS), adalah agen
penyebab dalam berbagai Grup A infeksi streptokokus. Infeksi ini mungkin noninvasif atau invasif. Infeksi non-invasif cenderung lebih umum dan kurang parah.
Yang paling umum dari infeksi ini termasuk streptokokus faringitis (radang
tenggorokan) dan impetigo. Scarlet demam juga merupakan non-invasive infection,
tapi belum sebagai umum dalam beberapa tahun terakhir.
Infeksi invasif menyebabkan oleh Grup A streptokokus -hemolitik cenderung
lebih berat dan kurang umum. Hal ini terjadi ketika bakteri dapat menginfeksi daerah
di mana tidak biasanya ditemukan, seperti darah dan organ. Penyakit yang mungkin
disebabkan sebagai akibat dari ini termasuk streptokokus toxic shock syndrome
(STSS), necrotizing fasciitis (NF), pneumonia, andbacteremia.
Streptococcus merukan suatu grup besar dari coccus gram positif, non motil,
tidak memproduksi spora, yang berukuran 0.5-1.2m. Bakteri ini sering tumbuh
berpasangan dan dalam bentuk rantai dan menunjukkan reaksi negatif dengan
oksidase dan katalase.
Antigen dinding sel bateri ini mengandung polisakarida kapsul (subtansi C),
peptidoglikan dan asam lipoteikoat, protein R dan T, dan beberapa protein permukaan
seperti protein M, protein fimbria, fibronektin terikat protein (protein F), streptokinase
terikat sel.
Substansi C tersusun oleh polimer bercabang dari L-rhamnose dan N-acetylD-glucosamine yang berperan dalam peningkatan kapasitas invasif dari bakteri
sedangkan protein R dan T digunakan sebagai epidemiologic marker dan belum
diketahui secara pasti perannya dalam infeksi.
Protein M, faktor virulensi utama, merupakan makromolekul yang tergabung

dengan fimbria

yang nampak pada membran sel dan terproyeksi pada dinding

bakteri. Hal ini merupakan antigenic shift dan antigenic drift pada GAS.
Protein M mengikat fibrinogen host dan melakukan blokade pada pengikatan
komplemen dengan peptidoglikan utama. Hal ini menyebabkan bakteri mampu
bertahan dari fagositosis neutrofil maupun makrofag.
Karakteristik spesial lain yang dimiliki oleh bakteri ini adalah kemampuannya
untuk menginvasi sel epitel. Menurut studi yang telah dilakukan, kegagalan penicillin
untuk mengeradikasi S pyogens dari tenggorokan pasien terutama mereka yang
merupakan carrier dari bakteri ini adalah kurang efektifnya penicillin untuk masuk ke
dalam sel epitel (Khan, 2012).
Produk toksin streptococcus
Streptococcus memiliki beberapa toksin dan produk ekstrasel menurut Khan
(2013), yaitu:
1. Hemolisin: terdapat dua jenis, yaitu streptolisin O dan streptolisin S.
Streptolisin O berperan dalam kerusakan jaringan dan berbagai macam sel,
termasuk miokardium. Toksin ini sangat imunogenik sehingga digunakan
dalam pemeriksaan titer ASTO (Anti-Streptococcus O). Streptolisin S berperan
dalam kerusakan leukosit polimorfonuklear dan organela subsel, sifatnya
kurang imunogenik.
2. Eksotoksin pirogenik atau Streptococcal Pyrogenic Exotoxins (SPEs), terdapat
4 tipe yaitu A, B, C, dan F. Toksin ini berperan dalam timbulnya bercak-bercak
pada demam Scarlett. SPE B merupakan prekusor dari protease sistein, yang
menjadi salah satu faktor virulensi bakteri ini. Toksin pirogenik dapat
menginduksi respon febril, proliferasi limfosit T, dan sintesis dan pelepasan
berbagai macam sitokin (TNF, IL-1, IL-6).
3. Nuklease (A, B, C, D) berperan dalam membantu mencairkan pus dan
menghasilkan substrat untuk tumbuh.

Komplikasi tambahan mungkin disebabkan oleh GAS, yaitu demam rematik


akut dan glomerulonefritis akut. Demam rematik, penyakit yang mempengaruhi sendi,
ginjal, dan katup jantung, merupakan konsekuensi dari radang diobati infeksi A bukan
disebabkan oleh bakteri itu sendiri. Demam rematik disebabkan oleh antibodi yang
dibuat oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan infeksi silang bereaksi dengan
protein lain dalam tubuh. Ini "reaksi silang" menyebabkan tubuh dasarnya serangan
itu sendiri dan menyebabkan kerusakan di atas. Secara global, GAS telah diperkirakan

menyebabkan lebih dari 500.000 kematian setiap tahun, membuatnya menjadi salah
satu patogen terkemuka di dunia. Grup A Streptococcus infeksi umumnya didiagnosis
dengan Strep Rapid Test atau budaya. (Cohen-Poradosu et al., 2007)

b. Differential Diagnosis dan cara penegakan diagnosis


Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Soepardi et al, 2007).
a) Faringitis Akut
Faringitis Viral
Gejala dan TandaDemam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit
menelan.Faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan
cytomegalovirus tidak menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat
menimbulkan lesi vasikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala konjungtivitis
terutama pada anak selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV)
menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran
kelenjar limfe, terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Soepardi
et al 2007).
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,
nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat
eksudat, limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah.
Terapi istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat,
analgetika jika perludan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus
metisoprinol (Soepardi et al 2007).
Faringitis Bakterial
Infeksi grup A Streptococcus hemolitikus penyebab faringitis akut pada
dewasa (15%) dan anak (30%) (Soepardi et al 2007).
Gejala dan Tanda Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi,
jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil
hiperemis terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada palatum dan
dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dannyeri
pada penekanan.
Terapi antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid
dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic
(Soepardi et al, 2007).

Laringitis
Laringitis Akut
Radang akut laring umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis, yang
disebabkan oleh bakteri (menyebabkan peradangan lokal) atau virus (menyebabkan
peradangan sistemik) (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan TandaTerdapat gejala radang umum, seperti demam, malaise,serta
gejala lokal seperti suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau bicara, serta gejala
sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan kemudian disertai dengan dahak
kental (Hermani et.al, 2007).
Pada pemeriksaan mukosa laring hiperemis, membengkak, terutama diatas dan
dibawah pita suara. Biasanya juga terdapat tanda radang akut di hidung atau sinus
paranasal atau paru (Hermani et.al, 2007).
TerapiIstirahat bicara dan bersuara 2-3 hari. Menghindari udara lembab dan
iritasi pada faring dan laring. Antibiotik diberikan bila peradangan berasal dari paru.
Bila terdapat sumbatan laring dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau
trakeostomi (Hermani et.al, 2007).
Laringitis Kronis
Sering disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip
hidung atau bronkitis kronis, atau oleh penyalahgunaan suara seperti berteriak atau
berbicara keras (Hermani et.al, 2007).
Gejala dan tanda seluruh mukosa

laring hiperemis

dan menebal,

permukaannya tidak rata dan hiperemis, dan terkadang terdapat metaplasi skuamosa.
Terdapat gejala suara parau menetap, rasa tersangkut di tenggorok, sehingga pasien
sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang menebal (Hermani
et.al, 2007).
Terapi yaitu mengobati peradangan di hidung, faring, serta bronkus yang
mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien diminta untuk tidak banyak
berbicara (vocal rest) (Hermani et.al, 2007).
Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring/ Gerlachs tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne

droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak
(Soepardi et al, 2007).
a) Tonsilitis akut
Tonsillitis Viral
Gejalanya lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab paling sering adalah virus Epstein-Barr.Hemofilus
Influenza merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Gejala: Common cold disertai nyeri tenggorok. Pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil
pada palatum dan tonsil.
Tonsilitis Bakterial
Etiologi nya kuman grup A Streptococcus haemolitikus yang dikenal
sebagai

strept throat, pneumokokus,

Streptokokus

viridian, dan

Streptococcus pyogenes.
PatofisiologiInfiltrasi bakteri pada lapisan epitel menimbulkan reaksi
radang berupa keluarnya leukosit PMN sehingga terbentuk detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri mati, dan epitel yang
terlepas. Bentuk tonsillitis akut dengan detritus yang jelas disebut
tonsillitis folikularis. Bila bercak menjadi satu membentuk alur akan
terjadi tonsillitis lakunaris. Bercak detritus juga dapat melebar
membentuk pseudomembran yang menutup tonsil (Soepardi et al, 2007).
Gejala dan TandaMasa inkubasi 2-4 hari. Sering ditemukan nyeri
tenggorok dannyeri waktu menelan, demam tinggi, rasa lesu, nyeri sendi,
tidak nafsu makan dan otalgia. Otalgia terjadi karena nyeri alih melalui N.
IX. Tonsil tampak membengkak, hiperemis dan terdapat detritus
berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh pseudomembran. Kelenjar
submandibula bengkak dan nyeri tekan.
TerapiAntibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik
danobat kumur yang mengandung desinfektan(Soepardi et al, 2007).
b)

Tonsilitis Kronik
Proses radang berulang menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid
terkikis, sehingga diganti dengan jaringan parut yang mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar, yang kemudian diisi dengan detritus.
Proses ini berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan melekat
dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak disertai dengan
pembengkakan kelenjar submandibular.

Gejala dan tanda, tonsil membesar, permukaan tidak rata, kriptus melebar,
diisi oleh detritus. Rasa tenggorok mengganjal, kering, napas berbau.
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
isap. Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al
2007).
Epidemiologi
Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau adenovirus) dan
bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya adalah pada usia 4-7 tahun dan
apabila disebabkan oleh Streptococcus grup A jarang terjadi pada usia di bawah 3
tahun (Acerra, 2013).
Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun. Sedangkan,
tonsillitis yang disebabkan Streptococcus banyak terjadi pada usia 5-15 tahun.
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada anak-anak yang lebih
muda (Shah, 2013).
Faktor Resiko
Faktor resiko dari faringitis dan tonsillitis adalah:
a) Merokok atau terpapar asap rokok
b) Alergi
c) Infeksi sinus berulang
d) Usia
e) Hygiene oral
f) Jenis makanan
g) Cuaca
h) Terapi yang tidak adekuat (Rusmarjono et al, 2007)

c. Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun
berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
a) Komplikasi sekitar tonsil
i. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
ii.

trismus dan abses.


Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil.
Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang
mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari

iii.

infeksi gigi.
Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah


bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil,
faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os
iv.

mastoid dan os petrosus.


Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang

v.

retrofaring masih berisi kelenjar limfe.


Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh
jaringan fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada
tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan

vi.

multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam
jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.

b)

Komplikasi Organ jauh


i. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
ii. Glomerulonefritis
iii.
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
iv. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
v. Artritis dan fibrositis (Efiaty, 2001).\

Selain itu, komplikasi dari infeksi streptococcus dapat dibedakan menjadi berikut:
Upper respiratory tract:

Tonsillopharyngitis
Otitis media
Sinusitis

Lower respiratory tract:

Pneumonia
Empyema

Skin and soft tissue

Impetigo
Cellulitis
Erysipelas

Cardiovascular

Endocarditis
Myocarditis
Pericarditis
Phlebitis

Musculoskeletal

Septic arthritis
Osteomyelitis

Pyomyositis
Lymphatic

Lymphadenitis

Central nervous system

Meningitis
Brain abscess

Systemic

Septicemia

(Pichichero, 2003)

d. Penatalaksanaan dan Pencegahan


Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis secara umum, menurut Firman S :
a) Jika penyebabnya bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)
selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam
b)

bentuk suntikan.
Pengangkatan tonsil (tonsilektomi) dilakukan jika :
i. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
ii. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun
iii.

waktu 2 tahun.
Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun

iv.

waktu 3 tahun.
Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

Menurut Mansjoer, A penatalaksanan tonsillitis adalah:


a)

Penatalaksanaan tonsilitis akut


i. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan
obat kumur atau obatisap dengan desinfektan, bila alergi dengan
ii.

diberikan eritromisin atau klindomisin.


Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder,
kortikosteroid untuk mengurangi edema pada laring dan obat

iii.

simptomatik.
Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari
komplikasi kantungselama 2-3 minggu atau sampai hasil

iv.

b)

usapan tenggorok 3x negatif.


Pemberian antipiretik.

Penatalaksanaan tonsilitis kronik


i. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap yaitu
antibiotik dan analgesik

Indikasi Tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck
Surgery ( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
a) Indikasi absolut
i. Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas
atas,disfagia berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi
ii.

b)

kardiopulmonal.
Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik

dan drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.


iii.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
iv. Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.
Indikasi relatif
i. Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak
ii.

diberikan pengobatan medik yang adekuat.


Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

iii.

pengobatan medik.
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten
terhadap -laktamase (Efiaty, 2011)

Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan
kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci
tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai