Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI

SKENARIO 1

KELOMPOK A 1
MULTAZAM HANIF

(G0012141)

HANUGROHO

(G0012089)

RISNU ARDIAN W

(G0012189)

AZMI FARAH FAIRUZYA

(G0012039)

IVO ARYENA

(G0012099)

PUTRI NUR KUMALASARI

(G0012167)

ASTRID ASTARI AULIA

(G0012033)

CHRISANTY AZZAHRA Y

(G0012047)

IGA KUSTIN M

(G0012093)

MARTINA DWI ARIANDINI

(G0012127)

WIDORETNO PRABANDARI

(G0012229)

ARTRINDA A K S P

(G0012029)
Tutor :

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015

BAB I
PENDAHULUAN

ADUUH

NEK,

KAKEK

JATUH

TERJERUMUS

PARIT

Kakek Yoso, seorang pensiunan guru, yang masih bugar di usianya yang 60 tahun, tiba-tiba
merasa berkunang-kunang dan jatuh terjerumus parit pada saat jalan-jalan di pagi hari
bersama

istrinya.

Esok harinya nyeri lututnya kambuh kembali, bahkan sulit digerakkan dan minta dibawa ke
dokter, pemeriksaan dokter tekanan darah 190/100 mmHg. Hasil pemeriksaan laboratorium
UGD didapatkan GDS 200mg/dl, Hb 10.5 gr %, tidak ditemukan proteinuria, EKG dalam
batas

normal.

Kakek mengeluhkan mata kabur, pendengaran berkurang, dan sering lupa. Jika berjalan
merasa

tidak

stabil

dan

nggliyeng

(serasa

ingin

jatuh).

Sebelumnya beliau minum bisoprolol dan HCT secara rutin, kadang-kadang mengkonsumsi
juga antalgin dan meloxicam yang di beli di toko obat untuk meredam nyeri sendi.

BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI

Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam skenario.
1. Bisoprolol adalah obat golongan beta bloker untuk mengobati penyakit jantung dan
terutama diindikasikan untuk orang yang menderita hipertensi.
2. Meloxicam adalah obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang bersifat analgesik,
antipiretik dan anti inflamasi yang bekerja dengan menghambat COX 2. Tersedia
dalam sediaan 7,5 mg dan 15 mg.
3. Furosemid adalah obat anti hipertensi yang bersifat diuretik kuat, 1-0-0 berarti
diminum setiap pagi 1 tablet sekali sehari.
4. Antalgin adalah obat golangan metasulfat dan amidofirina yang bekerja mengurangi
rasa nyeri dan mempenruhi pusat pengatur suhu tubuh yang bekerja di SSP serta
memiliki efek antipiretik, analgetik, dan AINS.
5.

Proteinuria : kandungan protein dalam urine

Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1.mengapa

kakek

Yoso

2.Mengapa

nyeri

lutut

3.Bagaimana

tiba-tiba
kambuh

merasa
kembali?

interpretasi

berkunang-kunang
Dan

tak

bisa

dari

dan

jatuh?

digerakkan?
pemeriksaan?

4. Mengapa mata kakek Yoso kabur? Pendengaran berkurang dan sering lupa?
5.

Mengapa

kakek

Yoso

selalu

merasa

nggliyeng

seperti

ingin

jatuh?

6.

Apakah

ada

hubungan

keluhan

kakek

dengan

obat

yang

di

konsumsi?

sementara

mengenai

7. Bagaimana pemeriksaan penunjangnya?

Jump 3
Menganalisis

permasalahan

dan

membuat

pernyataan

permasalahan (tersebut dalam langkah 2).


1.Fisiologi

dan

anatomi

penuaan

2. Patofisiologi (jatuh, mata berkunang2, mata kabur, pendengaran berkurang, nggliyeng,


sering

lupa)

3.

DDx

(DM,OA,demensia,

4.

Pemeriksaan

hipertensi,

polifarmasi)
penunjang

5. Penatalaksanaan
A. TEORI-TEORI PROSES MENUA
1. Teori Genetic Clock
Tiap spesies mempunyai didalam nuclei (inti sel) nya suatu jam genetik yang telah diputar
menurut suatu replikasi tertentu. Jma ini akan menghitung mitosis dan mengehntikan
replikasi sel bila tidak dipuat, jadi bila jam itu menghentikan replikasi sel maka kita akan
meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit akhir yang
katastrofal.
2. Mutasi somatik (teori error Catastrophe)
Faktor-faktor penyebab terjadinya menua adalah faktor lingkungan yang menyebabkan
terjadinya mutasi somatik. Radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur, sebaliknya
menghindari terkenanya radiasi atau tercemar zat kimia yang bersifat karsinogenik atau
toksis, dapat memperpanjang umur. Menurut teori ini terjadinya mutasi yang progresif pada
DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel
tersebut.
Menurut hipotesis ini, menua disebabkan oleh kesalahan yang beruntun. Setelah
berlangsung dalam waktu lama, terjadi kesalahan transkipsi DNA menjadi RNA, amupun
dalam proses translasi RNA -> protein/enzim. Kesalahan tersebut akan menyebabkan

terbentuknya enzim yang salah sehingga akan terjadi proses metabolisme yang salah dan
kesalahan sintesis protein atau enzim.
3. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Jika mutasi somatik,
dapat menyebabkan kelaiann pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat
menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan sebagai zat
asing dan menghancurkannya (autoimun).
Dipihak lain, sistem imun tubuh sendiri, daya pertahanannya mengalami penurunan pada
proses menua, daya serangnya terhadap sel kanker menjadi menurun, sehingga sel kanker
leluasa membelah-belah.
4. Teori menua akibat metabolisme
Perpanjangan umur

berasosiasi dengan tertundanya proses degenerasi. Perpanjangan

kalori akibat penurunan jumlah kalori disebabkan karena menurunnya salah satu atau
beberapa proses metabolisme. Terjadi penurunan pengeluaran hormon yang merangsang
proliferasi sel, misalnya insulin dan hormon pertumbuhan. Pentingnya metabolisme sebagai
faktor penghambat umur panjang. Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan tersebut.
5. Kerusakan akibat radikal bebas
Untuk organisme aerobik, radikal bebas terutama terbentuk pada waktu respirasi di dalam
mitokondria karena 90% oksigen yang diambil tubuh, masuk ke dalam mitokondria. Waktu
terjadi proses respirasi tersebut oksigen dilibatkan dalam mengubah bahan bakar menjadi
ATP, melalui enzim respirasi di dalam mitokondria, maka radikal bebas akan dihasilkan
sebagai zat antara radikal bebas yang terbentuk adalah : superoksida, radikal bebas hidroksil ,
peroksida hidrogen. Radikal bebas bersifat merusak karena sangat reaktif. Walaupun telah
ada sistem penangkal, radikal bebas tetap akan lolos bahakan semakin lanjut usia semakin
banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses pengerusakan tetap terjadi. Kerusakan
organel sel makin lama makin banyak dan akhirnya mati.

B. PERUBAHAN PADA SEMUA SISTEM DAN IMPLIKASI KLINIK


a. Fisiologis penuaan
1.

Perubahan pada Sistem Sensoris

Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling berhubungan dengan


orang lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan baru, berespon terhadap bahaya,
dan menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.Pada lansia
yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk bersosialisasi
karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan
integrasi dari persepsi sensori.

2.

Penglihatan

Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat
penuan, dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak. Semakin
bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran
berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis,
biasanya ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:
a. Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi. Kerusakan
ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin
mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk
memusatkan penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam
membaca huruf huruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang
dekat.
b. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil mengalami
sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi
penglihatan perifer pada tingkat tertentu.

c. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat
enimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah penglihatan menjadi kabur yang
mengakibatkan

kesukaran

dalam

membaca

dan

memfokuskan

penglihatan,

peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari,


gangguan dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian
ketinggian), perubahan dalam persepsi warna.
d. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata berpotensi terjadi
sindrom mata kering.
4.

Pendengaran

Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat mempengaruhi


kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:
a. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi
karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik
sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan
pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan
ketidakmampuan dalam mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa
konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
b. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani,
pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku.
Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.
c. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis
dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk
serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.
5. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional apabila terdapat
gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan
sensasi taktil karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak
semenarik sewaktu muda dan tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari

masyarakat umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan
lansia.
6. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah
tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan
kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas
terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang.
7. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang
mudah menguap.

Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu

penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang
juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek,
influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah
penurunan sensitivitas terhadap bau.
8. Perubahan pada Sistem Integumen
Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-tonjolan
tulang, telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini
menyebabkan venavena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa
melanosit, lentigo, senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar mata hari,
biasanya permukaan dorsal dari tangan dan lengan bawah.Sedikit kolagen yang terbentuk
pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan elastik, mengakibatkan penampiln
yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar eksokrin lebih sedikit dan
penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi menyeluruh jaringan
penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan penurunan turgor
kulit.Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan massa lemak
2% per dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade.
9.Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau
denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat.
Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa
hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikroarsitektur berubah dan
seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.
10. Sistem Skeletal
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami penurunan.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua:
11. Penurunan tinggi badan secara progresif
Hal ini disebabkan penyempitan diskus intervertebral dan penekanan pada kolumna
vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah

postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan

penampilan barrelchest.

12. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular


Yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.
13. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat proses menua:
a. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini
adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif.
b.

Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi,


penyusustan

dan

sklerosis

tendon

dan

otot,

den

perubahan

degeneratif

ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi.


14. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua:
1. Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri,
inflamasi, penurunan mobilitas endi da deformitas.

2. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera.
15.

Perubahan pada Sistem Neurologis

Berat otak menurun 10 20 %. Berat otak 350 gram pada saat kelahiran, kemudian
meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50
tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang
rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak 20mengandung 100 million sel termasuk
diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf
pusat.Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan
signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat
otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit
dineuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif
terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear
and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria.
16. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun fungisional.
Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai dengan penurunan tingkat
aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi.Jumlah detak
jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidakada perubahan, namun detak jantung
maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan
jantung di bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun
menjadi 140-160 x/menit.
17. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan terhadap fungsi
kardiovaskuler.

Gaya hidup dan pengaruh lingkungan merupakan faktor penting dalam

menjelaskan berbagai keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit-terkait. Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasipada otot
jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid,
degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan
peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi
dan atrofi pada usia 30-70 tahun.

18. Perubahan pada Sistem Pulmonal


Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut berperan
dalam peningkatan kerja pernapasan

sekitar 20% pada usia 60 tahun. Penurunan

lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2 liter/dekade.


19. Perubahan pada Sistem Endokrin
Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar gula puasa yang
normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini adalah faktor diet, obesitas,
kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%,
sekitar 75% dari jumlah tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan apatheic
thyrotoxicosis.Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat
proses menua:
1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa darah puasa
140 mg/dL dianggap normal.
2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah kadar
glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini adalah
pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.
4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan waktu
paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap
stabil.
20. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan
sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi urine. Hal ini dapat
mengganggu

kemampuan

dalam

mengontrol

berkemih,

sehingga

dapat

mengakibatkaninkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.


21. Perubahan pada Sistem Renal
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan
memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade,

mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai
penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya
mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal.
22. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan gaya
hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain
perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.

23. Perubahan pada Sistem Reproduksi

Pria

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria akibat proses
menua:
1) Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
2) Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna
terdapat pada 75% pria >90 tahun.

Wanita

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses
menua:
1) Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan
payudara dan genital.
2) Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan
massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan
aterosklerosis
b. Perubahan- Perubahan Mental.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental.

o Perubahan fisik, khususnya organ perasa.


o Kesehatan umum
o Tingkat pendidikan
o Keturunan (Hereditas)
o Lingkungan

1.

Kenangan (Memory).
o Kenangan jangka panjang: Berjam-jam sampai berhari-hari yang lalu mencakup
beberapa perubahan.
o Kenangan jangka pendek atau seketika: 0-10 menit, kenangan buruk.

2.

IQ (Inteligentia Quantion).
o Tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan verbal.
o Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor, terjadi
perubahan pada daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari faktor waktu.

c.

Perubahan-perubahan Psikososial.
1.

Pensiun: nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas


dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas),
ia akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain :
o Kehilangan finansial (income berkurang).
o Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup tinggi, lengkap
dengan segala fasilitasnya).
o Kehilangan teman/kenalan atau relasi.
o Kehilangan pekerjaan/kegiatan.

2.

Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality)

3.

Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak lebih
sempit.

4.

Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).

5.

Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya biaya


pengobatan.

6.

Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

7.

Gangguan saraf pancaindra, timbul kebutaan dan ketulian.

8.

Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.

9.

Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan teman-teman dan


family.

10. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik: perubahan terhadap gambaran diri,
perubahan konsep diri. (Graf, 2006).

C. JATUH PADA LANSIA


1. Definisi
Jatuh adalah kejadian mendadak yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau
terduduk dilantai/tanah atau tempat lebih rendah tanpa disadari.
2. Prevalensi
Berdasarkan survai di masyarakat AS, sekitar 30% lansia umur lebih dari 65 tahun jatuh
setiap tahunnya, separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang.

3. Morbiditas
Kematian akibat jatuh sangat sulit untuk diidentifikasi karena sering tidak disarari oleh
keluarga. Komplikasi yang sering dialami adalah 1% fraktur kolum femoris, 5% fraktur
tulang iga,perlukaan jaringan lunak, subdural hematom, hemarthroses, memar, dan keseleo
otot.
4. Faktor resiko

Sistem sensorik

Yang berperan adalah visus, oendengaran, fungsi vestibuler, dan propioseptif. Semua
gangguan akan menimbulkan kerentanan jatuh pada lansia.
SSP
Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus.
Kognitif
Dementia diasosiasikan dengan faktor resiko jatuh
Muskuloskeletal
Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan, disebabkan oleh:
1) Kekuatan jaringan penghubung
2) Berkurangnya massa otot
3) Perlambatan konduksi saraf
4) Penurunan visus
5) Kerusakan propioseptif
Yang kesemuanya menyebabkan:
a) Penurunan ROM sendi
b) Penurunan kekuatan otot
c) Perpanjangan waktu reaksi
d) Kerusakan persepsi dalam
e) Peningkatan postural sway

Secara singkat, faktor risiko dibagi jadi 2, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
1. Faktro intrinsik

: kondisi fisik dan neuropsikiatrik, penurunan visus dan

pendengaaran, perubahan beuromuskuler, gaya berjalan, ddan reflek postural


2. Faktor ekstrinsik
: Obat-obat yang diminum, alat bantu berjalan, lingkungan
yang tidak mendukung
5. Penyebab jatuh pada lansia
Kecelakaan, misal kepleset, tersandung.
Nyeri kepala/ vertigo
Hipotensi orthostatic
Obat-obatan, seperti diuretik, antihipertensi, sedativa, psikotik, obat hipoglikemik,

alkohol
Proses penyakit, seperti penyakit kardivaskuler, neurologi.
Idiopatik
Sinkope

Faktor lingkungan uamg sering dihubungkan dengan kecelakaan pada lansia:


a. Alat perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil, atau tergeletak dibawah
b. Tempat tidur atau WC yang rendah
c. Tempat berpegangan yang tidak kuat/susah dipegang
6. Pendekatan diagnostik
Direkomendasikan untuk melakukan asesmen pada semua lansia yang meliputi
Semua lansia wajib kontrol rutin di puskesmas, atau tenaga medis lainnya untuk
ditanya tentang jatuh minimal setahun sekali

Semua lansia yang pernah dilaporkan jatuh satu kali wajib diobservasi dengan

meminta untuk melakukan the get up and go tes.


Pasien yang kesulitan untuk melakukan tes itu memerlukan kajian yang lbeih lanjut
D. Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan

diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah
dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien
beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang, atau paling sedikit selama
5 menit sampai 30 menit setelah merokok atau minum kopi (Kaplan, 2006). Kriteria
hipertensi menurut JNC VII (2007) :
KLASIFIKASI TEKANAN

TEKANAN DARAH SISTOL

TEKANAN DARAH

DARAH

(mmHg)

DIASTOL (mmHg)

Normal
Prehipertensi
Hipertensi Stage 1
Hipertensi Stage 2

<120
120-139
140-159
160 atau >160

<80
80-89
90-99
100 atau >100

Hipertensi didiagnosis berdasarkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik.


Ketika tekanan darah sistolik dan diastolik berada pada pada kategori yang berbeda, maka
dipilih kategori yang lebih tinggi untuk mengklasifikasikan tekanan darah individu. Menurut
Kaplan (2006) hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hipertensi Primer (essensial)
Onset hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun, sedangkan
usia di bawah 20 tahun jarang ditemukan. Patogenesis hipertensi essensial adalah
multifaktorial. Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis hipertensi essensial antara lain
faktor genetik, hipertaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek
natriuresis, natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi alkohol secara berlebihan
2.Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi sekunder apat
terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa disertai riwayat hipertensi dalam
keluarga. Individu dengan hipertensi pertama kali pada usia di atas 50 tahun atau yang
sebelumnya diterapi tapi mengalami refrakter terhadap terapi yang diberikan mungkin
mengalami hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme primer dan

sindroma chusing, feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obatobatan.


E. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defenisi produksi insulin oleh selsel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan kurang responsifnya sel-sel tubuh
terhadap insulin (Ditjen Bina Farmasi & ALKES, 2005).
Diabetes adalah suatu penyakit dimana metabolisme glukosa tidak normal, suatu
resiko komplikasi spesifik perkembangan mikrovaskular dan ditandai dengan adanya
peningkatan komplikasi perkembangan makrovaskuler. Secara umum, ketiga elemen diatas
telah digunakan untuk mencoba menemukan diagnosis atau penyembuhan diabetes
(Mogensen, 2007). Pada beberapa populasi tetapi bukan semuanya, defenisi diabetes oleh
distribusi glukosa adalah pendistribusian glukosa ke seluruh jaringan dimana berbeda
distribusi glukosa pada setiap individual dengan atau tanpa diabetes. Selain itu distribusi
glukosa juga dapat menjadi parameter untuk penyakit diabetes atau dengan kata lain, nilai
defenisi diagnosis untuk diabetes didasarkan pada nilai distribusi glukosa pada tingkat
populasi bukan sering atau tidaknya berolahraga. Besarnya komplikasi mikrovaskuler pada
retina dan ginjal spesifik menuju ke diabetes. Selain itu terjadinya komplikasi makrovaskuler
dapat menyebabkan kematian pada penderita diabetes. Hal ini ditunjukkan bahwa nilai
glukosa yang tidak normal seharusnya ditemukan sebagai peningkatan cepat dari nilai
glukosa,

yang

mana

diapresiasikan

dengan

peningkatan

resiko

penyakit

CVD

(kardiovaskuler) (Mogensen, 2007).


Gejala diabetes adalah adanya rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama
malam hari dan berat badan turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan
lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur,
gairah seks menurun, dan luka sukar sembuh. Pasien dapat terkena komplikasi pada mata
(pandangan kabur) hingga buta atau komplikasi lain seperti kaki busuk (gangren), komplikasi
pada ginjal, jantung, dll (Waspadji, dkk, 2002). Beberapa faktor yang dapat menunjang
timbulnya Diabetes mellitus yaitu obesitas dan keturunan, sedangkan gejala yang dapat
diamati adalah polidipsia, poliuria, dan polipfagia. Gejala-gejala ini perlu mendapat
tanggapan di dalam penyusunan diet penderita Diabetes mellitus (Tjokroprawiro, dkk, 1986).

Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit,
yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses
metabolisme itu insulin berperan sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel
untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau
hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas (Waspadji, dkk, 2002).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui dua bentuk Diabetes mellitus yaitu:
1. Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes
yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat rusaknya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Lagerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak
maupun orang dewasa.
Sampai saat ini diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah. Diet dan olah raga tidak bisa
menyembuhkan ataupun mencegah diabetes tipe 1. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1
memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu,
sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes
tipe ini, terutama pada tahap awal. Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes
tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi
autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan
pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah.
2. Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (Non-Insulin-Dependent Diabetes mellitus, NIDDM) merupakan
tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi
darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada
banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel , gangguan sekresi hormon
insulin, resistansi sel terhadap insulin terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap
insulin serta yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi
gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan
kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin,
yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi
dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun
semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang
menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral
diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin. Obesitas

ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2
kencing manis. Faktor lain meliputi sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah
terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak remaja dan anak-anak. Diabetes tipe 2
dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya,
diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan
karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan (Mogensen, 2007).
F. Osteoarthritis
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dengan etiologi dan patogenesis
yang belum jelas serta mengenai populasi luas. Pada umumnya penderita OA berusia di atas
40 tahun dan populasi bertambah berdasarkan peningkatan usia. Osteoartritis merupakan
gangguan yang disebabkan oleh multifaktorial antara lain usia, mekanik, genetik, humoral
dan faktor kebudayaan (Poole, 2001). Osteoartritis merupakan suatu penyakit dengan
perkembangan slo progressive, ditandai adanya perubahan metabolik, biokimia, struktur
rawan sendi serta jaringan sekitarnya, sehingga menyebabkan gangguan fungsi sendi.
Kelainan utama pad OA adalah kerusakan rawan sendi yang dapat diikuti dengan penebalan
tulang subkondral, pertumbuhan osteofit, kerusakan ligamen dan peradangan ringan pada
sinovium, sehingga sendi yang bersangkutan membentuk efusi (Setiyohadi, 2003).
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder.
Osteoartritis primer disebut idiopatik, disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas
kolagen sehingga mudah rusak. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang didasari kelainan
endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, mikro dan makro trauma, imobilitas yang
terlalu lama serta faktor risiko lainnya, seperti obesitas dan sebagainya (Altman, 2001).
Terjadinya OA tidak lepas dari banyak persendian yang ada di dalam tubuh manusia.
Sebanyak 230 sendi menghubungkan 206 tulang yang memungkinkan terjadinya gesekan.
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena
berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan berkurangnya
cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk meredam getar antar tulang. Tulang
rawan terdiri atas jaringan lunak kolagen yang berfungsi untuk menguatkan sendi,
proteoglikan yang membuat jaringan tersebut elastis dan air (70% bagian) yang menjadi
bantalan, pelumas dan pemberi nutrisi. Kondrosit adalah sel yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada rawan sendi. Osteoartritis terjadi akibat kondrosit gagal
mensintesis matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara degradasi dan
sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI dan X yang berlebihan
dan sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadi perubahan pada

diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang rawan,
sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik. Selain kondrosit,
sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi sinovitis, yang
menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami peradangan akan
menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai sitokin yang akan dilepaskan
ke dalam rongga sendi dan merusak matriks rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada
akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan
menghasilkan enzim proteolitik. Agrekanase merupakan enzim yang akan memecah
proteoglikan di dalam matriks rawan sendi yang disebut agrekan (Price et al., 1995).
Pada umumnya, gambaran klinis osteoartritis berupa nyeri sendi, terutama bila sendi
bergerak atau menanggung beban, yang akan berkurang bila penderita beristirahat. Nyeri
dapat timbul akibat beberapa hal, termasuk dari periostenum yang tidak terlindungi lagi,
mikrofaktur subkondral, iritasi ujung-ujung saraf di dalam sinovium oleh osteofit, spasme
otot periartikular, penurunan aliran darah di dalam tulang dan peningkatan tekanan intraoseus
dan sinovitis yang diikuti pelepasan prostaglandin, leukotrien dan berbagai sitokin. Selain
nyeri dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tidak digerakkan beberapa lama (gel
phenomenon), tetapi kekakuan ini akan hilang setelah sendi digerakkan. Jika terjadi kekakuan
pada pagi hari, biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit ( tidak lebih dari 30
menit) (Haq et al.,2003). Gambaran lainnya adalah keterbatasan dalam bergerak, nyeri tekan
lokal, pembesaran tulang di sekitar sendi, efusi sendi dan krepitasi. Keterbatasan gerak
biasanya berhubungan dengan pembentukan osteofit, permukaan sendi yang tidak rata akibat
kehilangan rawan sendi yang berat atau spasme dan kontraktur otot periartikular. Nyeri pada
pergerakan dapat timbul akibat iritasi kapsul sendi, periostitis dan spasme otot periartikular.
Beberapa penderita mengeluh nyeri dan kaku pada udara dingin dan atau pada waktu hujan.
Hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan tekanan intra artikular sesuai dengan
perubahan tekanan atmosfir. Beberapa gejala spesifik yang dapat timbul antara lain adalah
keluhan instabilitas pada penderita OA lutut pada waktu naik turun tangga, nyeri pada daerah
lipat paha yang menjalar ke paha depan pada penderita OA koksa atau gangguan
menggunakan tangan pada penderita OA tangan (Setiyohadi, 2003).
G. Demensia
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk

gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif. Demensia merupakan
kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran (Maramis,
2005).
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif
serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir ,
daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan
menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan
pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak (Depkes, 2003).
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia
sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun
prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia
diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen (Maramis, 2005).
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun
adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya.
Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 % diantaranya adalah demensia jisim Lewy (Lewy
body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal,
demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV)
atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan
penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan
metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi (Maramis, 2003).
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset) yang dimulai
pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering
berakhir dengan kematian. Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa
tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang
yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala
yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler,
endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia
akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara
mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam
perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien
untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan

benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat
agresif, atau perilaku psikotik (Tombon, 2003).
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan
bagian- bagian otak (self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat
untuk 25 beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada
demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan
normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia
bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga
demensia dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia
yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala) (Hardywinoto,
1999).
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi
untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga
harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut
(misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara
umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan.
Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang
digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit
Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin
sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang

pada gilirannya

menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang


dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal
yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik (Maramis, 2003).
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang
digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia
mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal
(GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun
dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif (Nugroho, 2003).

Jump 4
Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan secara
sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan pada
langkah 3.
Pria Geriatri
Usia 60 tahun

Keluhan
Utama:
Merasa
berkunang
kunang dan
Keluhan Lain:
- Nafsu makan dan minum
menurun
- Mata kabur
- Kurang dengar
- Sering lupa
- Nyeri lutut kambuh dan sulit
Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah 190/100
mmHg
Pemeriksaan penunjang:
- Gula darah sewaktu = 200
mg/dL
- Hb = 10,5 gr%
- Pemeriksaan urine =
proteinuria
Terapi sebelumnya:
- Meloxicam
- Antalgin
- Bisoprolol
- HCT

Jump 5
Merumuskan tujuan pembelajaran
1.Diagnosis Banding
a.
Osteoarthritis
b.
Diaberes Melitus
c.
Hipertensi
d.
Demensi
2.Polifarmasi
3.Penatalaksaaan

Jump 6
Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)
Jump 7
Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah diperoleh
H. Polifarmasi pada lansia
1. Perubahan pada lansia dalam hubungannya dengan obat
Pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ & sistema tubuh akan
mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Terjadi perubahan dalam hal farmakokinetik,
farmakodinamik, dan hal khusus lain yang merubah perilaku obat dalam tubuh.
2.

Farmakokinetik
Tabel 1. Perubahan farmakokinetik obat akibat proses menua

Parameter
Absorbsi

Perubahan akibat proses menua


Penurunan: permukaan absorbsi, sirkulasi darah splanchnic,

Distribusi

motilitas gastrointestinal.
Peningkatan pH lambung.
Penurunan: curah jantung, cairan badan total, massa otot

Metabolisme

badan, serum albumin.


Peningkatan lemak badan.
Peningkatan alfa-1 asam glikoprotein.
Perubahan pengikatan terhadap protein.
Penurunan: aliran darah hepar, massa hepar, aktivitas enzim,

Ekskresi

penginduksian enzim.
Penurunan: aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, sekresi

Sensitifitas jaringan

tubuler.
Perubahan pada jumlah reseptor, afinitas reseptor, fungsi
pembawa kedua, respon seluler dan nuklear.

Poin-poin yang harus diingat:


a. Dengan pemberian dosis yang lazim Kadar Obat Plasma (KOP) akan lebih tinggi
karena sistem eliminasi obat dalam hepar dan ginjal akan menurun.
b. Dengan KOP yang sama dapat terjadi Fraksi Obat Bebas (FOB) lebih tinggi dari
yang lazim karena kadar albumin pada lansia telah menurun terlebih-lebih waktu
sakit atau karena pengangsuran tempat (silent reseptor) dari ikatan albumin oleh obat
lain (polifarmasi).
3. Farmakodinamik
Adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Obat menimbulkan rentetan reaksi biokimiawi
dalam sel mulai dari reseptor sampai dengan efektor. Di dalam sel terjadi proses biokimiawi
yang menghasilkan respon seluler. Respon seluler pada lansia secara keseluruhan menurun.
Penurunan ini sangat menonjol pada mekanisme respon homeostatik yang berlangsung secara
fisiologis dan penurunan tidak dapat diprediksi dengan ukuran-ukuran matematis seperti pada
farmakokinetik.
4. Efek Samping Obat (ESO)
Kejadian pada lansia meningkat 2-3 kali lipat. Problem ini paling banyak menimpa
sistem gastrointestinal dan sistem haemopoetik. Penelitian atau pengukuran fungsi hepar,
ginjal, kadar obat dalam plasma darah terlebih-lebih dalam terapi polifarmasi sangat
membantu dalam mengendalikan atau menurunkan angka kejadian ESO.
5. Perubahan fisiologik dalam komposisi tubuh

a. Berat badan total: akan menurun pada usia lanjut akibat penurunan jumlah cairan
intraseluler sesuai dengan meningkatnya usia. Keadaaan ini akan berakibat
menurunnya distribusi obat yang sebagian terikat air (misalnya litium).
b. Penurunan massa otot: yang secara umum terdapat pada usia lanjut akan
menyebabkan distribusi obat yang sebagian besar terikat otot akan menurun,
misalnya digoksin (konsentrasi obat bebas meningkat).
c. Peningkatan kadar lemak tubuh: akan mengakibatkan peningkatan kadar obat yang
larut lemak (misalnya diazepam), terutama pada wanita lansia.
d. Penurunan kadar albumin: terutama pada penderita lansia yang sakit, menyebabkan
penurunan ikatan obat dengan protein, dan meningkatnya proporsi obat bebas di
sirkulasi (antara lain salisilat, tiroksin, warfarin dan obat AINS)
e. Kekambuhan penyakit yang sebelumnya laten: beberapa obat dapat membuat
kambuh berbagai penyakit yang sebelumnya tidak terlihat misalnya:
1) Menurunnya stabilitas postural yang meningkatkan kemungkinan jatuh, antara
lain akibat obat hipertensi, diuretika, hipnotika, sedativa dan vasodilator.
2) Konstipasi: antidepresan, antikolinergik, garam besi.
3) Hipotermia: fenotiasin, hipnotika, sedativa, dan antidepresan.
6. Rasionalisasi obat pada usia lanjut
a. Rejimen pengobatan: 1) periode pengobatan jangan dibuat terlalu lama; 2)
jumlah/jenis obat harus dibuat seminimal mungkin; 3) obat harus diberikan atas
diagnosis pasti; 4) harus diketahui dengan jelas efek obat, mekanisme kerja, dosis
dan efek samping yang mungkin timbul; 5) apabila diperlukan pemberian
polifarmasi, prioritaskan pemberian obat yang ditujukan untuk mengurangi
gangguan fungsional; 6) pemberian obat harus dimulai dari dosis kecil, kemudian
dititrasi setelah berapa hari (kecuali anti-infeksi harus dosis optimal; 7) frekuensi
pemberian obat diupayakan sesedikit mungkin, kalau mungkin sekali sehari.
b. Pengurangan dosis: dosis awal obat adalah kira-kira lebih sedikit dari separuh
dosis yang diberikan pada usia muda.
c. Peninjauan ulang: perlu dilaksanakan pada setiap kunjungan ulang atau bila
terjadi episode penyakit akut.
d. Kepatuhan penderita: harus diupayakan penjelasan pada penderita, pemilihan
preparat dan wadah obat yang tepat, diberi label, bantuan mengingat, dan
pengawasan minum obat oleh keluarga dan lain-lain. Setiap efek samping
hendaknya harus diminta untuk dilaporkan.

PATOFISIOLOGI HIPERTENSI PADA LANSIA

1. Meningkatnya usia akan menurunkan elastisitas dan meregangkan pada arteri besar
2. Perubahan aktivitas sistem saraf simpatis akan menambahkan jumlah norephinephrin
sehingga menurunkan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergic, dan akan
menurunkan fungsi relaksasi otot pembuluh darah.
DIABETES MELITUS
Gangguan metabolism karbohidrat pada lansia:
1. Resistensi insulin
Disebabkan factor-faktor:
a. Perubahan kompiosisi tubuh
Masa otot lebih sedikit dan jarangan lemak lebih banyak
b. Menurunnya aktivitas fisik
Menurunnya jumlah reseptor insulin yang siap berikatan dengan insulin
c. Perubahan pola makan
Karena berkurangnya jumlah gigi akan membuat orang tua banyak mengkonsimsi
makanan karbohidrat sehingga terjadi perubahan neurohormonal terutama IGF-1
dan dehidroepiandosteron plasma dan akan menurunkan ambilan glukosa.
2. Hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga terjadi lonjakan awal insulin
postprandial tidak terjadi pada lansia dengan Diabetes Mellitus
3. Tingginya kadar glukosa postprandial dengan kadar gula glukosa puasa normal
HUBUNGAN DIABETES MELLITUS DENGAN HIPERTENSI
Hipertensi pada penderita diabetes mellitus berhubungan dengan resistensi insulin dan
abnormalitas pada sistem rennin-angiotensin dan konsekuensi metabolic.
Dikarenakan abnormalitas metaboliknya mengakibatkan disfungsi endotel.
Sel endotel sendiri mensinteis substansi bioaktif kuat yang mengatur struktur fungsi
pembuluh darah seperti nitrid oksida yang akan menghambat atherogenesis dan
melindungi pembuluh darah, prostaglandin, endotelin, dan angiotensin II.
Pada Diabetes Mellitus, hiperglikemi akan menghambat produksi endothelium
mengakibatkan sintesis superoksid anion yang akan merusak formasi nitrid oksida.
Kondisi resistensi insulin juga akan menghambat produksi nitrid oksida sehingga
terjadi pelepasan asam lemak berlebihan.
PATOFISIOLOGI BERKUNANG-KUNANG, NGGLIYENG

Bisa juga akibat adanya hipertensi akan meningkatkan tekanan darah di pembuluh
darah arteri sehingga akan menghambat suplai oksigen dan zat gizi yang dibawa oleh
darah ke jaringan tubuh.
ANEMIA
PATOFISIOLOGI
1. Lansia secara progresif kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan
menyebabkan

distorsi

metabolic

degenerative. Banyaknya

dan

structural

yang

disebut

penyakit

distorsi dan cadangan sistem fisiologis akan

menyebabkan gangguan sistem hematopoiesis.


2. Menurunnya kinerja sumsum tulang sehingga daya replikasi sumsum tulang
berkurang. Akan menyebabkan stroma oleh pertumbuhan dan perkembangan selsl induk (pluripoten) maupun kecepatan diferensiasi sel-sel progenitor untuk
mencapai maturitas berkurang sehingga mengakibatkan sintesis sel darah merah
berkurang.
3. Penyakit kronis
Manifestasi dari penyakit kronis adalah pendarahan. Karena imunitas berkurang
sehingga penyembuhan akan semakin lama mengakibatkan pendarahan menjadi
semakin lama dan terjadilah anemia.
4. Berkurangnya sintesi eritropoietin
Lansia mengalami penurunan fungsi ginjal termasuk fungsinya eritropoietin
sehingga akan menyebabkan progenitor eritroid tidak mengalami mengalami
diferensiasi jadi sel darah merah, dan pada akhirnya jumlah sel darah merah akan
berkurang
5. Proses autoimun
Sel-sel parietal lambung akibat autoimun akan menjadi atrofi dan mengakibatkan
lambung menjadi tipis dengan infiltrasi sel plasma dan limfosit sehingga
mengakibatkan menurunnya cadangan factor intrinsic di parietal lambung. Ileum
akan menyerap sedikit vitamin B12 dan terjadi anemia megaloblastik atau
pernisiosa.
6. Berkurangnya intake makanan.
DEMENSIA
Sindroma klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan/memori
sehingga menyebabkan disfungsi sehari-hari.
Garis besar manifetasi klinisnya:
1. Perjalanan penyakit yang bertahap (bulan atau tahun)
2. Tidak terdapat gangguan kesadaran (penderita tetap sadar)
Demensia pada usia lanjut dikategorikan sebagai:
1. Dementia degenerative primer (50-60%)

2. Dementia multi-infark (10-20%)


3. Dementia yang reversible atau sebagian reversible (20-30%)
4. Gangguan lain (terutama neurologic) 5-10%
Penyebab demensia
D drugs (obat-obatan)
E emotional (gangguan emosi, missal depresi, dan lain lain)
M metabolic atau endokrin
E eye and ear (disfungsi mata dan telinga)
N Nutritional
T tumor dan trauma
I infeksi
A arteriosklerosis 9komplikasi penyakit aterosklerosis, missal infark miokard, gagal
jantung,dan lain-lain) dan alcohol
a. Dementia degenerative Primer
Dikenal dengan tipe Alzheimer, keadaan yang meliputi perubahan jumlah,
struktur, dan fungsi neuron tertentu di korteks otak. Terjadi kekusutan dan fungsi
neurofibriler dan plak-plak neuritdan perubahan aktivitas kholinergik di daerahdaerah tertentu di otak. Terdapat factor genetic atau kromosom, usia, riwayat
keluarga, radikal bebas, toksin amiloid, pengaruh logam alumunium, akibat virus,
atau pengaruh lingkungan.
Terdapat 3 Fase:
1. Fase I ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk, dan
gangguan visuo-spatial
2. Fase II. Tanda yang mengarah ke kerusakan fokal-kortikal, tidak terlihat pola
deficit yang khas
3. Fase III. Pembicaraan terganggu berat, sama sekali hilang. Pemderita tidak
mengenali diri sendiri atau orang yang dikenalnya.
b. Dementia multi-infark
Didapatkan sebagai akibat/gejala sisa dari stroke kortikal atau subkortikal yang
berulang.
c. Dementia dengan badan Lewy
Akibat adanya badan Lewy di subkorteks serebri.
Selalu terdapat 2 dari 3 gambaran:
1. Fluktuasi kognisi
2. Halusinasi visual
3. Parkinsonisme
Gambaran yang mendukung: jatuh, sinkope, hilang kesadaran sepintas,
sensitivitas neuroleptik, delusi, dan halusinasi.
d. Dementia Fronto-Temporal
Diakibatkan proses degenerative korteks anterior otak. Terdapat pencitraan
neurologic fungsional yang menunjukkan penurunan metabolism otak di daerah

lobus temporal anterior dan frontal. Gambaran klinis menggambarkan distribusi


topografik dengan korteks temporal yang terkena, bisa uni maupun bilateral.
e. Dementia pada penyakit neurologic
Penyakir neurologic yang sering disertai gejala dementia adalah:
1. Sindrom Parkinson
2. Khorea Huntington
3. Hidrosefalus bertekanan normal
Diagnosa

Banding

Dva

dgn

Demensia

Degeneratif

Skor Iskemik Hachinski


Riwayat dan gejala

Ya

Tidak

1. Awitan (onset) mendadak

2. Deteriorasi bertahap

3. Perjalanan klinis berfluktuasi

4. Kebingungan malam hari

5. Kepribadian relatif tidak terganggu

6. Depresi

7. Keluhan somatik

8. Emosi tidak stabil

9. Riwayat hipertensi

10. Riwayat penyakit serebrovaskuler

11. Arteriosklerosis penyerta

12. Keluhan neurologi fokal

13. Gejala neurologi fokal

Interpretasi Skor iskemik Hachinski


Skor iskemik Hachinski berguna untuk membedakan Dva dan AD:
Demensia degeneratif bila jumlah skor kurang dari atau sama dengan 4 ( 4)
Demensia Vaskuler (Dva) bila jumlah skor lebih atau sama dengan ( 7)

(Sumber: PERDOSSI)
Gambaran klinis

VaD

Awitan

Mendadak

AD
atau

Gradual

gradual
Progresifitas

Bertahap,

Kontinu

fluktuasi
Gait

Terganggu

pada

stadium dini

Kondisi kardiovaskuler

Faktor

Normal

sampai

stadium lanjut

resiko

Jarang ditemukan

kardiovaskuler:

(sering pada tipe

stroke sebelumnya

campuran)

atau TIA

Neurologis

Defisit fokal

Tanpa defisit fokal

Pencitraan otak

Infark multipel

Normal

kecuali

atropi

Mini mental state examination (MMSE)


Berguna dalam memperkirakan beratnya gangguan kognisi secara kuantitatif
pemeriksaan serial dalam mendeteksi perubahan kognisi
Pemeriksaan penapisan yang memberikan gambaran sepintas dan objektif tentang

fungsi kognitif
Bukan merupakan tes diagnostik.
Dapat dilakukan dalam 10-15menit, dengan skor 0-30
Item

Tes

Nilai
mak.

Nilai

ORIENTASI
1

Sekarang

(tahun),

(musim),

---

---

---

---

---

---

(bulan), (tanggal), hari apa?


2

Kita berada dimana? (negara),


(propinsi), (kota), (rumah sakit),
(lantai/kamar)
REGISTRASI

Sebutkan 3 buah nama benda


( Apel, Meja, Koin), tiap benda 1
detik, pasien disuruh mengulangi
ketiga nama benda tadi. Nilai 1
untuk tiap nama benda yang benar.
Ulangi

sampai

pasien

dapat

menyebutkan dengan benar dan


catat jumlah pengulangan
ATENSI DAN KALKULASI
4

Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1


untuk tiap jawaban yang benar.
Hentikan setelah 5 jawaban. Atau
disuruh mengeja terbalik kata
WAHYU (nilai diberi pada huruf
yang benar sebelum kesalahan;
misalnya uyahw=2 nilai)
MENGINGAT

KEMBALI

(RECALL)
5

Pasien disuruh menyebut kembali


3 nama benda di atas
BAHASA

Pasien disuruh menyebutkan nama


benda yang ditunjukkan ( pensil,
buku)

Pasien disuruh mengulang kata-

---

---

---

---

---

30

---

kata: namun, tanpa, bila


8

Pasien

disuruh

melakukan

perintah: Ambil kertas ini dengan


tangan anda, lipatlah menjadi dua
dan letakkan di lantai.
9

Pasien

disuruh

membaca

dan

melakukan perintah Pejamkanlah


mata anda
10

Pasien disuruh menulis dengan


spontan

11

Pasien

disuruh

menggambar

bentuk di bawah ini

Total

24-30 Tidak ada gangguan kognisi


17-23
Probable gangguan kognisi
0-16 Definite gangguan kognsi
Clock Drawing Test (CDT)
Tes yang sensitif dalam membedakan lansia normal dari pasien demensia Alzheimer
Sensitif menilai kemampuan visuospasial dan kontruksional praksis
Menilai kemampuan konsep waktu, angka dan hubungan waktu dan angka
Dapat membedakan kelainan konstruksional dan konseptual
Letak sehelai kertas ukuran letter dan sebuah pensil (tanpa penghapus) di hadapan

pasien .
Katakan, Gambar sebuah jam dinding bulat berikut angka-angkanya dalam posisi
yang benar
Setelah selesai digambar, katakan Gambarlah jarum jam yang menunjukkan pukul
sebelas lewat sepuluh menit

OA
1. OA
Proses terjadinya :
a. Kerusakan kartilago sendi -- kematian kondrosit - kerusakan substansi dasar
b. Kerusakan lebih dalam ke tulang sub kondral

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Kehilangan Kartilago
Degenerasi matriks
Fragmen Kartilago terlepas dalam celah sendi
Menstimulasi sitokin
Terbentuk osteofit
Tulang menonjol ke luar

A. Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena
sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik ( Soeroso, 2006 ).
Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang
menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi
G. TATALAKSANA TERAPI
Saat ini masih belum ditemukan terapi yang dapat menyembuhkan osteoartritis. Terapi yang
saat ini diberikan hanya ditujukan untuk mengurangi nyeri, memperbaiki pergerakan sendi,
dan membatasi kerusakan sendi. Terapi yang biasa diberikan yaitu :
1. Terapi Non Farmakologi
Terapi ini meliputi :
a. Konseling, Informasi dan Edukasi Pasien
Pemberian informasi dan edukasi pasien diperlukan agar pasien mengerti tentang
kondisi penyakit yang dihadapi dan dapat melakukan perubahan gaya hidup
kearah yang positif.
b. Latihan Kekuatan dan Senam Aerobik
Latihan bermanfaat untuk menguatkan otot sekitar sendi yang akhirnya akan
membantu pengurangan berat badan. Berenang, jalan kaki, bersepeda stasioner
atau latihan beban ringan sangat dianjurkan karena terbukti mampu mengurangi
rasa nyeri dan memperbaiki kekakuan sendi.
c. Penurunan Berat Badan
Berkurangnya berat badan mengurangi beban yang disangga oleh sendi sehingga
mengurangi nyeri sendi dan memperbaiki fungsi sendi.
d. Penggunaan Alat Bantu
Alat bantu seperti sepatu penyerap goncangan, tongkat dll dipertimbangkan
sebagai tambahan terapi untuk mengurangi rasa nyeri saat beraktivitas.
2. Terapi Farmakologi
a. AINS Topikal

AINS Topikal lebih disarankan dibanding AINS oral. Menurut hasil sebuah meta
analisis menunjukkan bahwa AINS Topikal terbukti efektif mengurangi nyeri dan
kekakuan sendi.4 Beberapa sediaan AINS Topikal seperti ibuprofen, Na.
Diklofenak, salisilamid dalam bentuk salep, krim, atau gel lebih dianjurkan
dibanding koyo karena berdasar penelitian yang ada menunjukkan hasil yang tidak
signifikan pada koyo dibandingkan plasebo untuk penyakit osteoartritis.
b. Paracetamol
Pedoman terapi menganjurkan penggunaan paracetamol sebagai pilihan utama
analgesik untuk pasien osteoartritis dengan pembatasan pemakaian 500 mg untuk
satu kali minum dan tidak lebih dari 4 g dalam sehari.

c. Kapsaisin
Penggunaan kapsaisin topikal dapat digunakan pada penderita osteoartritis lutut
atau tangan. Meskipun seringkali menimbulkan sensasi terbakar dan kemerahan
pada area yang dioleskan, namun tidak perlu penghentian terapi.
d. AINS Oral
Prinsip
penggunaan
AINS
Oral
adalah
sebagai

berikut

- Jika AINS Topikal atau Paracetamol tidak cukup kuat mengatasi nyeri
- Penggunaan AINS Oral dimulai dari dosis efektif terkecil dan lama pemberian
sesingkat mungkin
e. Operasi Joint Arthroplasty
Operasi dilakukan jika penatalaksanaan secara farmakologis gagal dan jikak
ditemukan deformitas sendi yang mengganggu

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Terjadinya berbagai proses patologi pada lansia memiliki banyak penyebab. Penyebab
yang multifaktorial seperti faktor fisik, sosial, psikologis, biologis, dapat
bermanifestasi menjadi berbagai gejala /sindrom geriatri.
2. Secara molekuler, proses penuaan terjadi akibat produksi hasil metabolisme sel
berupa ROS (Reactive Oxygen Species). ROS menyebabkan mutasi sel, translasi
protein non fungsional, metabolisme sel terganggu, sehingga menyebabkan penuaan
hingga kematian sel
3. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit majemuk
(multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani, kondisi sosial yang
bermasalah, sehingga kejadian jatuh pada pasien geriatri merupakan
kegawatdaruratan yang perlu dievaluasi
4. Pasien geriatri pada skenario diatas mengalami tekanan darah dan kadar gula darah
tinggi sehingga didiagnosis menderita hipertensi dan Diabetes Melitus serta perlu
pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis diabetes melitus dan reumatik.

B. SARAN
1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya diawasi
dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi, toksisitas obat,
dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat yang tidak sesuai
dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta ketidakpatuhan menggunakan
obat sesuai dengan aturan pemakaiannya.

2. Faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh pada pasien geriatri dalam skenario
sebaiknya diperhatikan dan diatasi agar tidak terjadi berulangnya peristiwa jatuh.
Sebaiknya pasien geriatri dirawat oleh keluarga dan tidak tinggal sendirian di
rumah.
3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan penatalaksanaan
yang tepat bagi pasien.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Altman R.D (1991). Criteria for the Classification of Osteoarthritis. Journal of
Rheumatology: 27 (suppl) : 10 12.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pelayanan Medik, pp: 49-67.
Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes
Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. pp 9-43.
Haq I., Murphy E., Dacre J (2003). Osteoarthritis Review. Postgrad Med J, 79 : 377 383.
Hardywinoto (1999). Panduan gerontologi tinjauan dari berbagai aspek : menjaga
keseimbangan kualitas hidup para lansia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Kaplan N.M. (2006).Primary Hypertension: Pathogenesis,Mechanism.Of Hypertension with
Obesity in: Kaplans Clinical Hypertension edisi ke-9. Philadelphia, USA: Lippincott W
Maramis WF (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga
University Press. p: 193

Martono H, Nasution I (2010). Penggunaan obat secara rasional pada usia lanjut. Dalam:
Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri edisi ke-4. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 779-789.
Mogensen, C. (2007). Pharmacotherapy of Diabetes: New Developments. New York:
Springer Science, Business Media LLC. pp: 9-10
Nugroho,Wahjudi (2003). Keperawatan Gerontik. Edisi ke-2. Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC, pp: 54-65.
Price Sylvia A., Wilson Lorraine M (1995). Patofisiologi, Konsep Klinis proses Penyakit.
Edisi ke-4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, pp: 1218 - 1222.
Poole A.R. Cartilage in Health and Disease. In : Arthritis and Allied Conditions. Text Book of
Rheumatology. Edisi ke 4. Editor : Koopman W.J. Lippincot Williams & Wilkins (2001).
Philadelphia, pp: 226 284.
Setiyohadi Bambang (2003). Osteoartritis Selayang Pandang. Dalam Temu Ilmiah
Reumatologi. Jakarta.
Tjokroprawiro H.A, (1986). Diabetes Mellitus Aspek Klinik dan Epidemiologi. Surabaya:
Airlangga University Press. pp: 27, 51
Tombon DA (2003). Buku saku psikiatri (psychiatry). Alih Bahasa : Martina W. Ed: Tiara M.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai