Anda di halaman 1dari 33

ISTRI BERORGANISASI (Fatwa Muhammadiyah)

Pertanyaan Dari:
Yoeny Wahyu Hidayatie, SE., KTAM 853174,
Nasyiah di Harjo Barat Tersono Batang
(disidangkan pada Jumat, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)
Pertanyaan:
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Seorang istri di dalam keluarga memang berkewajiban mengurus suami dan
anaknya. Teman saya sebetulnya aktivis tetapi selalu terbentur dengan kepentingan
suaminya, ia sangat patuh dan perhatian kepada suaminya. Ia selalu ingin menyambut
suaminya ketika pulang kerja. Teman tadi sampai tidak mau shalat jamaah di mushalla
karena menunggu suaminya pulang. Sikap teman tadi sesungguhnya sangat bagus dan
saya acungi jempol. Tetapi andaikan semua anggota dan khususnya Pimpinan Nasyiatul
Aisyiyah seperti itu, pastilah kegiatan organisasi tidak berjalan. Mohon penjelasan,
bagaimana sebetulnya posisi istri dalam permasalahan ini.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Jawaban:
Menurut agama Islam, pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki derajat
yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:






[97 :16 ].

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun


perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. [QS. anNahl (16): 97]








[71 :9 ].



Artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi

rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [QS. atTaubah (9): 71]
Sungguhpun demikian, dalam hal hubungan antara suami dan isteri, satu dengan
yang lain masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri. Berikut ini
kami uraikan jawaban atas pertanyaan yang saudara sampaikan.
I. Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
A. Kewajiban Suami terhadap Istri
1. Suami wajib menjaga, melindungi dan memimpin isterinya. Allah berfirman:











. . .









[34 :4 ]

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum


wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. [QS. an-Nisa (4): 34]
2. Bergaul dengan cara yang baik terhadap isteri. Allah
berfirman:

... [19 :4 ]. . .




Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. [QS.


an-Nisa (4): 19]
Dalam hadits dijelaskan:










].


Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:


Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang lebih
sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya
dan sebaik-baik kamu adalah orang yang terbaik terhadap
isterinya. [HR. at-Tirmidzi]
3. Memberi nafkah kepada isteri. Allah berfirman:

...





[233 :2 ]. . .

Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian


kepada para ibu dengan cara yang makruf. [QS. al-Baqarah
(2): 233]

. . .












[6 :65 ]

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu


bertempat tinggal menurut kemampuanmu. [QS. ath-Thalaq
(65): 6]
















].








[7 :65

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
[QS. ath-Thalaq (65): 6]
B. Kewajiban Isteri terhadap Suami
Dalam Putusan Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976
tentang Adabul Marah fil Islam, antara lain diputuskan:
1. Dalam pergaulan sehari-hari, wanita yang menjadi isteri harus bersikap
patuh, taat serta senantiasa hormat terhadap suaminya. Hal itu supaya benarbenar dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas, baik di hadapan suami maupun
di kala suami berada di tempat yang jauh.
2. Senantiasa bersikap sopan santun, bermanis muka, ramah tamah, dengan
menampakkan kecintaan dan kepercayaan yang penuh terhadap suami.
3. Seorang isteri hendaklah senantiasa berusaha untuk memiliki gaya dan daya
penarik serta tambatan hati bagi suaminya. Isteri supaya menjadi pelipur lara
di kala suami menghadapi kesusahan, menjadi penenang hatinya di kala
gelisah, dan menimbulkan harapan di saat suami berputus asa. Sabda Nabi:

].



[ [

Artinya: Sebaik-baik isteri adalah yang dapat menyenangkan hatimu bila


kamu melihatnya, taat kepadamu bila kamu suruh, serta dapat menjaga
kehormatan dirinya dan hartamu, di kala kamu sedang tidak di rumah.
[HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Abdullah Ibnu Salam]
4. Bertanggung jawab di rumah suaminya, untuk kebahagiaan seluruh keluarga.
Allah berfirman:

...









[34 :4 ]. . .

Artinya: ... Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka) ... [QS. an- Nisa
(4): 34]

...










[ ] . . .

Artinya: Dan istri bertanggung jawab di rumah suaminya dan ia akan


diminta pertanggungjawabannya. [HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar]
5. Mengatur rumah tangga, bersolek dan berhias dalam ukuran yang wajar dan
pantas, yakni tidak berlebih-lebihan merupakan kewajiban bagi setiap wanita
Islam. Sedang bagi seorang isteri, bersolek dan merias diri untuk suaminya
dianjurkan oleh Islam.
Allah berfirman:










[33 :(33) ]...

Artinya: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu


berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu. [QS.
al-Ahzab (33): 33]
Sikap tabarruj adalah sikap keterlaluan dalam memperlihatkan pakaian dan
perhiasan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah.
Allah berfirman:




...






:21 ]. . .


[31

Artinya: ... dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,


dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. [QS. an-Nur (21) :31]
C. Kewajiban Istri terhadap Anak.
Menurut Syariat Islam, anak adalah amanah Allah (kepada Ibu dan
Bapaknya). Sabda Nabi saw:




] . . .





[
Artinya: Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang
menjadikan anak-anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi. [HR. alBukhari dari Abu Hurairah]
Setiap amanah Allah harus dijaga dan dipelihara sedemikian rupa sesuai
dengan ajaran Islam, sebagai sebuah kewajiban kepada kedua orang tua.
Demikian pula terhadap pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang
tua, sebagaimana tersirat dalam firman Allah:


... ].






[24 :17

Artinya: ... dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya,


sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. [QS. al-Isra
(17): 24]
Oleh karena itu, suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam
pengasuhan dan pendidikan anak sebagai amanah Allah yang diberikan kepada
mereka berdua.
D. Kewajiban Istri terhadap Orang Tua.
Menghormati orang tua sendiri dan orang tua suami adalah kewajiban
utama yang dipikulkan kepda setiap wanita Islam. Allah berfirman:













-23 :(17) ].





[24

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemelharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan
kepada keduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai
Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil. [QS. al-Isra (17): 23-24]
II. Istri shalat berjamaah di masjid.

Berikut ini akan kami tuliskan beberapa hadits yang berkaitan dengan
perempuan pergi ke masjid.












[ ] .

Artinya: Diriwayatkan dari IbnuUmar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:


Apabila isteri-isterimu minta ijin kepadamu pergi ke masjid, maka ijinkanlah.
[HR. al-Jamaah kecuali Ibnu Majah]
























[ ] .

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:


Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid di waktu
malam. [HR. Ahmad]












[ ] .

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dari Nabi saw, beliau besabda:
Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid,
sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. [HR. Ahmad dan Abu
Daud]


].








[

Artinya: Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Rasulullah saw, bahwa Nabi
saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan ialah ruang dalam dari rumah
mereka. [HR. Ahmad]












[ ] .

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda:
Janganlah kamu menghalang-halangi perempuan-perempuan ke masjid-masjid
Allah. Dan hendaklah mereka keluar tanpa dengan bau-bau yang harum. [HR.
Ahmad dan Abu Daud]






















[ ] .

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:


Siapa saja perempuan yang memakai dupa, maka janganlah menyertai kami dalam
shalat isya. [HR. Muslim, Abu Daud dan an-Nasai]












].










[

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Andaikata Rasulullah saw


menyaksikan para wanita sebagaimana yang kita saksikan, pastilah beliau akan
melarang wanita pergi ke masjid, sebagaimana Bani Israil melarang perempuanperempuannya. [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dari hadis-hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa perempuan-perempuan
lebih baik shalat di rumah apabila dengan perginya ke masjid berkemungkinan besar
akan menimbulkan fitnah. Untuk itu dituntunkan agar perempuan yang akan pergi
ke masjid hendaknya berpakaian yang sewajarnya dan tidak menggunakan wangiwangian secara berlebih-lebihan, sehingga menutup kemungkinan timbulnya fitnah.
Dalam keadaan yang demikian, perempuan shalat di masjid berjamaah bersama
kaum lelaki adalah lebih utama. Dalam hal yang seperti ini wajib terhadap lelaki
(suami) memberi ijin kepada perempuan (isterinya) yang akan menunaikan shalat
berjamaah di masjid. (Periksa asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, 1994, hal. 162).
III. Isteri berorganisasi dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dawah Amar Maruf Nahi Munkar
dan Tajdid bersumber pada al Quran dan as Sunnah; dengan tujuan menegakkan
dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya. Pelaksanaan tujuan tersebut didorong oleh firman Allah:









[104 :(3) ] .



Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat


yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung. [QS. Ali Imran (3): 104]
Untuk mewujudkan tujuan tersebut berbagai amal usaha telah
dilaksanakan oleh Muhammadiyah, misalnya dalam bidang
dakwah telah dilaksanakan kajian-kajian ajaran Islam dan tabligh
ke masyarakat; di bidang pendidikan, telah diselenggarakan
pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi; di

bidang kesehatan, telah didirikan poliklinik dan rumah sakit; di


bidang ekonomi telah didirikan BMT dan BPRS serta amal usaha di
bidang lainnya.
Amar maruf nahi munkar dengan berbagai amal usaha
tersebut, merupakan sebagian dari berbagai bentuk ajaran Agama
Islam yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dihukumi fardlu
kifayah. Dengan demikian mengambil bagian dalam kegiatan
persyarikatan Muhammadiyah dapat dikategorikan melaksanakan
ajaran Agama Islam dalam kategori fardlu kifayah. Perbuatan ini
menjadi sangat penting, karena jika tidak seorang pun yang mau
aktif dalam gerakan dakwah dan amar maruf nahi munkar, maka
menjadi berdosa semua umat Islam di tempat gerakan dakwah itu
berada.
Dengan demikian hendaknya menjadi perhatian bagi setiap
umat Islam setempat, baik laki-laki maupun perempuan (termasuk
yang telah bersuami dan beristeri) untuk mengambil bagian
(berpartisipasi) dalam gerakan dawah ini. Bentuk partisipasi dapat
diwujudkan dengan langsung menjadi salah seorang pimpinan
atau pengurus, atau memberi dukungan baik moril maupun
materiil kepada pimpinan atau pengurus agar kegiatan amar
maruf nahi munkar dapat berhasil secara maksimal.
Dalam tataran pelaksanaan, tidak jarang menghadapi kendala
yang berupa benturan dengan tugas atau pekerjaan-pekerjaan
pribadi yang merupakan kewajibannya, seperti tugas mencari
nafkah, belajar, termasuk di dalamnya adalah tugas seorang isteri
terhadap suaminya, dan lain-lain. Menghadapi benturan semacam
ini hendaklah dapat disiasati sedemikian rupa tanpa
mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan yang lain, atau
setidak-tidaknya meminimalisir kemungkinan terjadi pengorbanan
salah satu kepentingan yakni dengan memilih pengorbanan yang
terkecil atau dengan kata lain mendahulukan kegiatan yang
mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar. Dalam Qaidah
Fiqhiyyah disebutkan:


Artinya: Dipilih
paling ringan dari dua kejelekan.



.

Artinya: Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat
(kerusakan), diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya di
antara keduanya itu, dengan dikerjakan yang lebih ringan di
antara keduanya.
Menjawab pertanyaan saudara, tentang posisi isteri dalam
menghadapi benturan dua kepentingan yakni antara kepentingan
organisasi dan kepentingan keluarga, dapat disarankan:

Pertama, usahakan dua kepentingan itu tetap berjalan tanpa


mengorbankan salah satu kepentingan. Misalnya jika kegiatan
organisasi yang sifatnya rutin bersamaan dengan kepentingan
keluarga yang juga sifatnya rutin, hendaklah kegiatan organisasi
digeser sehingga tidak bersamaan waktu dengan kegiatan
keluarga.
Kedua, jika kegiatan organisasi bersifat insidental --karena ada
kepentingan yang lebih besar atau mendadak-- diprioritaskan
kepentingan organisasi dari pada kepentingan keluarga, sepanjang
kepentingan keluarga tidak termasuk kepentingan yang pokok,
misalnya dengan menggeser waktu bagi kepentingan keluarga.
Dalam hal ini hendaknya isteri minta ijin atau memberi tahu
kepada suami. Dalam pada itu suami hendaknya memahami
kepentingan organisasi ( umat) adalah merupakan tuntutan yang
dihukumi dengan fardlu kifayah yang akan mengakibatkan
berdosa kepada umat Islam setempat --termasuk dirinya-- jika
tidak ada yang melaksanakan tugas tersebut. Suami yang shalih
yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab umat sebagai
kewajiban fardlu kifayah, --dengan baik sangka-- suami akan
dengan ikhlas mengijinkan bahkan memberi dorongan kepada
isterinya.
Ketiga, jika kepentingan keluarga bersifat insidental, --karena ada
kepentingan yang lebih besar atau yang mendadak-- diprioritaskan
dari pada kegiatan organisasi yang sifatnya rutin.
Keempat, jika benturan itu antara kepentingan keluarga dan
kepentingan organisasi yang keduanya bersifat insidental, maka
kembalikan kepada qaidah fiqhiyyah di atas, yakni dengan
memprioritaskan melaksanakan kegiatan yang lebih kecil
kerugiannya atau dengan kata lain dengan melaksanakan yang
lebih besar manfaatnya.
Yang dikemukakan di sini adalah sekedar contoh, kami yakin
masih banyak kiat lain yang dapat dipilih untuk mecari solusi dari
problem ini.
Sebagai penutup, perlu kami informasikan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah
telah sejak lama menerbitkan buku Adabul Marah fil Islam, yang merupakan hasil
Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976. Oleh sebab itu, sebagai sarana menambah
wawasan dan meningkatkan ilmu, kami sarankan saudara untuk membaca buku
tersebut.
Wallahu alam bish shawab. *dw)
Perlu diketahui bahwa selama ini, dalam memutuskan hukum Muhammadiyah
selalu berpegang pada pokok-pokok manhaj sebagai berikut:
1. Dalam beristidlal, selalu menggunakan sumber pokok, yaitu al-Quran dan asSunnah as-Shahihah (maqbulah=diterima). Ijtihad dapat dilakukan apabila masalah
yang dibahas tidak berkaitan dengan taabbudi.
2. Setiap keputusan harus dilakukan dengan cara musyawarah (ijtihad jamaiy).

10

3. Muhammadiyah tidak mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab yang ada,
tetapi pendapat para imam mazhab dapat dijadikan sebagai pertimbangan, selama
tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah.
4. Jika dalil-dalil yang dipergunakan tampak adanya taarud (pertentangan), maka
harus dilakukan al-jamu wa at-taufiq atau dilakukan tarjih.
Demikanlah sebagian manhaj yang harus diketahui dan dipergunakan dalam
mengambil keputusan.

APA SAJA YANG BOLEH DIKERJAKAN WANITA?

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN
Bagaimana hukum wanita bekeria menurut syara'? Maksudnya:
bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh
bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan, dan
kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus
menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas
apa pun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam
memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan
kepadanya jauh beberapa abad sebelum bangsa Barat
mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak
dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air
mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak
menjadi barang dagangan yang diperjualbelikan seenaknya
ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat?
Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah
kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita Barat,
untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya,
agar dapat mengurus dirinya sendiri, dan ikut andil dalam
memajukan masyarakat?
Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas
yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk
dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan
orang-orang ekstrem yang tidak menghendaki kaum wanita
belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid

11

sekalipun. Juga jauh dari orang-orang yang menghendaki agar


wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga
menjadi barang murahan di pasar-pasar.
Kami ingin mengetahui hukum syara' yang benar mengenai
masalah ini dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak
mengurang-ngurangkan.
JAWABAN
Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita
merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan
bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al-Qur'an:
"... sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain
..." (Ali Imran: 195}
Manusia merupakan makhluk hidup yang diantara tabiatnya
ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak
demikian, maka bukanlah dia manusia.
Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan manusia agar mereka
beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk
menguji siapa diantara mereka yang paling baik amalannya.
Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal
sebagaimana laki-laki - dan dengan amal yang lebih baik
secara khusus - untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa
Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfirman:
"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan
berfirman), 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki
maupun perempuan...'" (Ali Imran: 195)
Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala
di akhirat dan balasan yang baik di dunia:
"Barangsiapa yang mengeryakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya
akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
(an-Nahl: 97}
Selain itu, wanita - sebagaimana biasa dikatakan - juga
merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak
pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota
masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas

12

dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya, dan tidak diberi


sesuatu pun.
Hanya saja tugas wanita yang pertama dan utama yang tidak
diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi-generasi baru.
Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik
secara fisik maupun mental, dan tugas yang agung ini tidak
boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan
kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat
menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini,
yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannya
pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan
yang berupa manusia (sumber daya manusia).
Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu
Hafizh Ibrahim, ketika ia berkata:
Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan
Jika Anda mempersiapkannya dengan baik
Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik
pokok pangkalnya.
Diantara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya
membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang
tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga
terkenal dalam peribahasa, "Bagusnya pelayanan seorang
wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fi
sabilillah."
Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar
rumah itu diharamkan syara'. Karena tidak ada seorang pun
yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara'
yang sahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya.
Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan
itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita
bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan
kadang-kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib
apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda
atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau
keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya, dan dia
sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya
dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain.
Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita
untuk bekerja, seperti membantu suaminya, mengasuh
anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil,

13

atau membantu ayahnya yang sudah tua - sebagaimana kisah dua


orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang
menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al-Qur'an
surat al-Qashash:
"... Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumi
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu
memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang
tua yang telah lanjut umurnya.'" (al-Qashash: 23)
Diriwayatkan pula bahwa Asma' binti Abu Bakar - yang
mempunyai dua ikat pinggang - biasa membantu suaminya Zubair
bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian untuk
dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas
kepalanya dari kebun yang jauh dari Madinah.
Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan
wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang
wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang
memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah
wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan
laki-laki.
Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja
pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam
kondisi darurat yang seyogianya dibatasi sesuai dengan
kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum.
Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib
diikat dengan beberapa syarat, yaitu:
1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya,
pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu
yang haram, seperti wanita yang bekerja untuk melayani
lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris khusus bagi
seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang
nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja
di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras - padahal
Rasulullah saw. telah melaknat orang yang menuangkannya,
membawanya, dan menjualnya. Atau menjadi pramugari di kapal
terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan,
bepergian jauh tanpa disertai mahram, bermalam di negeri
asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita
maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.
2. Memenuhi adab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam

14

berpakaian, berjalan, berbicara, dan melakukan gerak-gerik.


"Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, 'Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) tampak daripadanya ...'" (an-Nur: 31 )
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan ..." (an-Nur: 31 )
"... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik" (al-Ahzab 32)
3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan
kewajibankewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti
kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya yang merupakan
kewajiban pertama dan tugas utamanya.
Wabillahi aufiq.
MASALAH KELUARGA BERENCANA (Fatwa Muhammadiyah)
Mutamar Majlis Tarjih Muhammadiyah setelah mempelajari :
1. Prasaran tentang keluarga berencana dikemukakan oleh sdr, Dr. H. Kusnadi dan
H. Djarnawi Hadikusuma.
2. Pembahasan-pembahasan daripada Mutamirin.
Berdasarkan pada
1. Firman Allah :

{72 }

Dan Allah telah menjadikan bagimu beberapa jodoh dari kamu dan telah menjadikan
bagimu anak-anak dan cucu-cucu dari perjodohanmu serta memberikan kamu rezeki
yang baik-baik. Apakah mereka percaya (menggunakan) kepada barang-barang yang
batal sedang dengan kenikmatan Allah mereka sama inkar? (Al-Quran surat An-Nahl
ayat 72).
2. Sabda Rasulullah :
} :
{
Dari Anas r.a Nabi bersabda: Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak
anak yang penyayang; sesungguhnya aku merasa bangga akan banyaknya jumlahmu
terhadap para Nabi kelak di hari Qiyamat. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dishahihkan
oleh Ibnu Habban. Dan kesaksian hadits ini ada pada Abu Dawud. Nasai dan Ibnu
Hibban juga dari Maqil bin Yasar).
{ } :

15

Dan hadits bahwasannya lebih baik kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya,
daripada kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada kamu tinggalkan
mereka yang menjadi beban yang minta-minta kepada orang banyak. (Muttafaq alaih
atau diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
}: : :
{
Hadist dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Orang Mumin
yang kuat itu lebih baik dan lebih disayang oleh Allah, daripada orang Mumin yang
lemah. (Diriwayatkan oleh Mukmin).
Berkesimpulan :
1. Bahwa menurut ajaran Islam, maksud perkawinan itu antara lain untuk
memperoleh keturunan.
2. Bahwa Islam mengajarkan untuk memperbanyak keturunan.
3. Bahwa Islam menganjurkan agar kehidupan anak keturunan jangan sampai
terlantar sehingga menjadi beban tanggungan orang lain.
Memutuskan :
1. Mencegah kehamilan adalah berlawanan dengan ajaran agama Islam. Demikian
pula keluarga berencana yang dilaksanakan dengan cegahan kehamilan.
2. Dalam keadaan darurat dibolehkan sekedar perlu dengan syarat persetujuan
suami-istri dan tidak mendatangkan mudlarat jasmani dan rohani.
PENJELASAN DARI MAJLIS TARJIH
1. Ayat Quran dan Hadits-hadits yang disebut dalam konsideran: mengjadi
pengantar konsideran berikutnya.
2. Keseimbangan antara maksud perkawinan untuk memperoleh keturunan,
anjuran untuk memperbanyak keturunan, berusaha agar anak keturunan kita
jangan menjadi beban orang lain dan berusaha agar ummat Islam merupakan
ummat yang kuat, menjadi kebulatan pandangan dalam perumusan keputusan
Keluarga Berencana.
3. Anjuran memperbanyak keturunan sebagaimana disebutkan dalam hadits :
Berkawinlah kamu kepada wanita yang berbakat banyak anak. Seterusnya
hadits dari Anas tersebut di atas, diartikan merupakan anjuran untuk ummat
Islam sebagai ummat, bukan sebagai individu. Hingga setiap individu masih
dapat mempertimbangkan situasinya, apakah padanya ada kemampuan untuk
melaksanakan anjuran tersebut, ataukah tidak.
4. Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah ;
sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niyat segan mempunyai
keturunan, atau dengan cara merusak/merobah organisme yang bersangkutan,
seperti: memotong, mengikat dan lain-lain.
5. Penjarakan kehamilan dapat dibenarkan sebagai kondisi dlarurat atas dasar
kesehatan dan pendidikan dengan persetujuan suami-isteri dengan pertimbangan
dokter ahli dan ahli agama.
6. Yang dimaksud dalam kriteria darurat ialah :

16

1.

Mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu karena mengadung


atau melahirkan, bila hal itu diketahui dengan pengalaman atau keterangan
dokter yang dapat dipercaya seseuai dengan ajaran ayat/firman Allah :
{195 }

2.

1.

Janganlah kamu menjerumuskan dirimu dalam kerusakan (AlQuran surat Baqarah ayat 195).
{29 : }

2.

Dan janganlah kamu bunuh diri-dirimu, sesungguhnya Allah itu


kasih saying kepada kamu. (Al-Quran surat Nisaayat 22).

Mengkhawatirkan keselamatan agama, akibat faktor-faktor kesempitan


penghidupan, seperti kekhawatiran akan terseret menerima hal-hal yang
haram atau menjalankan/melanggar larangan karena terdorong oleh
kepentingan anak-anak, sejalan dengan firman Allah saw dan hadits Nabi:
{185 : }
1.

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki


kesulitan bagimu. (Al-Quran surat Baqarah ayat 185).
{6 : }

2.

Tidaklah Allah menghendaki membuat kesusahan atas kamu


sekalian. (Al-Quran surat Maidah ayat 6).
{ }

3.
3.

Kafakiran itu mendekati kekafiran. (Diriwayatkan oleh Abu Naim


dalam kitab Hilyah dari Anas).

Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran


terlalu rapat.
{ } :
Jangan bahayakan (dirimu) dan jangan membahayakan (orang
lain). (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas oleh Ibnu Majah dari Ubbadah).

7. Pertimbangan dlarurat bersifat individu dan tidak dibenarkan keluarnya UndangUndang, sebab akan bersifat memaksa. Oleh karenanya, persutujuan bulat antara
suami-isteri benar-benar diperlukan.

Hukum KB (Fatwa Yusuf Qardhawi)


Tidak syak lagi, bahwa tujuan pokok perkawinan ialah demi kelangsungan jenis
manusia. Sedang kelangsungan jenis manusia ini hanya mungkin dengan

17

berlangsungnya keturunan. Islam sendiri sangat suka terhadap banyaknya keturunan dan
memberkati setiap anak, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun di balik itu Islam
juga memberi perkenan (rukhshah) kepada setiap muslim untuk mengatur keturunannya
itu apabila didorong oleh alasan yang kuat.
Cara yang masyhur yang biasa dilakukan oleh orang di zaman Nabi untuk menyetop
kehamilan atau memperkecil, yaitu azl (mengeluarkan mani di luar rahim ketika terasa
akan keluar).
Para sahabat banyak yang melakukan azl ketika Nabi masih hidup dan wahyupun masih
terus turun, yaitu seperti yang tersebut dalam riwayat di bawah ini:
"Dari Jabir r.a. ia berkata: kami biasa melakukan azl di masa Nabi s.a. w. sedang alOuran masih terus turun." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Di riwayat lain ia berkata:
"Kami biasa melakukan azl di zaman Nabi s.a.w. maka setelah hal demikian itu sampai
kepada Nabi, beliau tidak melarang kami." (Riwayat Muslim)
Diriwayatkan juga, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi lantas ia berkata:
"Ya Rasulullah! Sesungguhnya saya mempunyai seorang hamba perempuan (jariyah)
dan saya melakukan azl daripadanya, karena saya tidak suka kalau dia hamil dan saya
ingin seperti apa yang biasa diinginkan oleh umumnya orang laki-laki, sedang orangorang Yahudi berceritera: bahwa azl itu sama dengan pembunuhan yang kecil. Maka
bersabdalah Nabi s.a.w.: dusta orang-orang Yahudi itu! Kalau Allah berkehendak untuk
menjadikannya (hamil), kamu tidak akan sanggup mengelakkannya." (Riwayat
Ashabussunan)
Yang dimaksud oleh Nabi, bahwa persetubuhan dengan azl itu, kadang-kadang ada
setetes mani masuk yang menyebabkan kehamilan sedang dia tidak mengetahuinya.
Di zaman pemerintahan Umar, dalam satu majlis orang-orang banyak berbincang
masafah azl. Kemudian ada salah seorang laki-laki yang berkata: bahwa orang-orang
Yahudi beranggapan, azl itu berarti pembunuhan yang kecil. Kemudian Ali r.a. ber kata:
"Tidak dinamakan pembunuhan, sehingga mani itu berjalan tujuh tahap, yaitu: mulamula sari tanah, kemudian menjadi nuthfah (mani), kemudian menjadi darah yang
membeku, kemudian menjadi segumpal daging, kemudian daging itu dilengkapi dengan
tulang-belulang, kemudian dililiti dengan daging dan terakhir menjadi manusia." Lantas
Umar menjawab: betul engkau, ya Ali! Semoga Allah memanjangkan umurmu!

Alasan yang Mendorong Keluarga Berencana (Fatwa Yusuf Qardhawi)


Di antara sekian banyak alasan yang mendorong dilakukannya keluarga berencana,
yaitu:
Pertama: Mengkawatirkan terhadap kehidupan atau kesehatan si ibu apabila hamil atau
melahirkan anak, setelah dilakukan suatu penelitian dan cheking oleh dokter yang dapat
dipercaya. Karena firman Allah:
"Jangan kamu mencampakkan diri-diri kamu ke dalam kebinasaan." (al-Baqarah: 195)
Dan firman-Nya pula:

18

"Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah maha
belaskasih kepadamu." (an-Nisa': 28)
Kedua: Kawatir akan terjadinya bahaya pada urusan dunia yang kadang-kadang bisa
mempersukar beribadah, sehingga menyebabkan orang mau menerima barang yang
haram dan mengerjakan yang terlarang, justru untuk kepentingan anak-anaknya. Sedang
Allah telah berfirman:
"Allah berkehendak untuk memberikan kemudahan kepadamu, bukan berkehendak
untuk memberi kesukaran kepadamu." (al-Baqarah: 185)
"Allah tidak berkehendak untuk menjadikan suatu kesukaran kepadamu." (al-Maidah: 6)
Termasuk yang mengkawatirkan anak, ialah tentang kesehatan dan pendidikannya.
Usamah bin Zaid meriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi s.a.w. kemudian ia berkata: ya Rasulullah!
Sesungguhnya saya melakukan azl pada isteriku. Kemudian Nabi bertanya: mengapa
kamu berbuat begitu? Si laki-laki tersebut menjawab: karena saya merasa kasihan
terhadap anaknya, atau ia berkata: anak-anaknya. Lantas Nabi bersabda: seandainya hal
itu berbahaya, niscaya akan membahayakan bangsa Persi dan Rum." (Riwayat Muslim)
Seolah-olah Nabi mengetahui bahwa situasi individu, yang dialami oleh si laki-laki
tersebut, tidaklah berbahaya untuk seluruh bangsa, dengan dasar bangsa Persi dan Rum
tidak mengalami bahaya apa-apa, padahal mereka biasa melakukan persetubuhan waktu
hamil dan menyusui, sedang waktu itu kedua bangsa ini merupakan bangsa yang terkuat
di dunia.
Ketiga: Keharusan melakukan azl yang biasa terkenal dalam syara' ialah karena
mengkawatirkan kondisi perempuan yang sedang menyusui kalau hamil dan melahirkan
anak baru.
Nabi menamakan bersetubuh sewaktu perempuan masih menyusui, dengan ghilah atau
ghail, karena penghamilan itu dapat merusak air susu dan melemahkan anak. Dan
dinamakannya ghilah atau ghail karena suatu bentuk kriminalitas yang sangat rahasia
terhadap anak yang sedang disusui. Oleh karena itu sikap seperti ini dapat dipersamakan
dengan pembunuhan misterius (rahasia).
Nabi Muhammad s.a.w. selalu berusaha demi kesejahteraan ummatnya. Untuk itu ia
perintahkan kepada ummatnya ini supaya berbuat apa yang kiranya membawa maslahah
dan melarang yang kiranya membawa bahaya. Di antara usahanya ialah beliau bersabda:
"Jangan kamu membunuh anak-anakmu dengan rahasia, sebab ghail itu biasa dikerjakan
orang Persi kernudian merobohkannya." (Riwayat Abu Daud)
Tetapi beliau sendiri tidak memperkeras larangannya ini sampai ke tingkat haram, sebab
beliau juga banyak memperhatikan keadaan bangsa yang kuat di zamannya yang
melakukan ghilah, tetapi tidak membahayakan. Dengan demikian bahaya di sini satu hal
yang tidak dapat dielakkan, sebab ada juga seorang suami yang kawatir berbuat zina
kalau larangan menyetubuhi isteri yang sedang menyusui itu dikukuhkan. Sedang masa
menyusui itu kadang-kadang berlangsung selama dua tahun bagi orang yang hendak
menyempurnakan penyusuan.
Untuk itu semua, Rasulullah s.a,w. bersabda:

19

"Sungguh saya bermaksud akan melarang ghilah, kemudian saya lihat orang-orang Persi
dan Rum melakukannya, tetapi ternyata tidak membahayakan anaknya sedikitpun."
(Riwayat Muslim)
Ibnul Qayim dalam menerangkan hubungan antara hadis ini dengan hadis sebelumnya,
mengatakan sebagai berikut: "Nabi s.a.w. memberitakan pada salah satu segi: bahwa
ghail itu berarti memperlakukan anak seperti orang-orang Persi mengadu kudanya, dan
ini salah satu macam yang menyebabkan bahaya tetapi sifatnya bukan membunuh dan
merusak anak, sekalipun kadang-kadang membawa bahaya anak kecil. Oleh karena itu
Nabi s.a.w. membimbing mereka supaya meninggalkan ghail kendati bukan
melarangnya. Kemudian beliau berazam untuk melarangnya guna membendung bahaya
yang mungkin menimpa anak yang masih menyusu. Akan tetapi menutup pintu bahaya
ini tidak dapat menghindari mafsadah yang juga mungkin terjadi sebagai akibat
tertahannya jima' selama dalam menyusui, lebih-lebih orang-orang yang masih berusia
muda dan syahwatnya sangat keras, yang tidak dapat diatasi melainkan dengan
menyetubuhi isterinya. Itulah sebabnya beliau mengetahui, bahwa maslahah dalam
masalah ini lebih kuat daripada menolak mafsadah. Kemudian beliau melihat dua
bangsa yang besar dan kuat (Romawi dan Persi) di mana mereka itu juga mengerjakan
ghilah dan justru karena kekuatannya itu, mereka samasekali tidak ada sara kawatir apa
yang mungkin terjadi sebab ghilah. Oleh karena itulah beliau tidak jadi melarangnya.17
Di zaman kita ini sudah ada beberapa alat kontrasepsi yang dapat dipastikan
kemaslahatannya, dan justru maslahah itulah yang dituju oleh Nabi Muhammad s.a.w.,
yaitu melindungi anak yang masih menyusu dari mara-bahaya termasuk menjauhi
mafsadah yang lain pula, yaitu: tidak bersetubuh dengan isterinya selama menyusui, di
mana hal itu sangat memberatkan sekali.
Dengan dasar inilah, kita dapat mengira-ngirakan jarak yang pantas antara dua anak,
yaitu sekitar 30 atau 33 bulan, bagi mereka yang ingin menyempurnakan susuan.
Imam Ahmad dan lain-lain mengikrarkan, bahwa hal yang demikian itu diperkenankan
apabila isteri mengizinkannya, karena dialah yang lebih berhak terhadap anak, di
samping dia pula yang berhak untuk bersenang-senang.
Sedang Umar Ibnul-Khattab, dalam salah satu riwayat berpendapat, bahwa azl itu
dilarang, kecuali dengan seizin isteri.
Demikianlah perhatian Islam terhadap hak-hak perempuan, di mana waktu itu dunia
tidak mengenal dan tidak mengakuinya.

20

Tentang rumah (Fatwa Yusuf Qardhawi)


RUMAH adalah tempat yang dipakai seseorang untuk melindungi kebiasaan-kebiasaan
tabiat dan dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan masyarakat sehingga dengan
demikian tubuh ini bisa istirahat dan jiwa bisa tenang.
Untuk itulah Allah berfirman
kenikmatannya kepada manusia:

dalam

hubungannya

dengan

mengetengahkan

"Allah menjadikan untuk kamu rumah-rumah kamu sebagai tempat ketenangan." (anNahl: 80)
Rasulullah s.a.w. senang sekali rumah yang luas, dan dimasukkan sebagai unsur
kebahagiaan duniawi.
Maka sabdanya:
"Empat hal yang membawa kebahagiaan, yaitu perempuan salehah, rumah yang luas,
tetangga yang baik dan kendaraan yang enak." (Riwayat Ibnu Hibban)
Dan doa yang sering diucapkan Nabi ialah:
"Ya Allah! Ampunilah dosaku, luaskanlah rumahku, berilah barakah dalam rezekiku!
Kemudian beliau ditanya: Mengapa doa ini yang banyak engkau baca, ya Rasulullah?
Maka jawab Nabi: Apa ada sesuatu yang lain yang kamu cintai?" (Riwayat Nasa'i dan
Ibnu Sunni)
Rasulullah juga memerintahkan supaya rumah-rumah kita itu bersih, agar nampak syiar
Islam yang diantaranya ialah bersih, dan agar merupakan tanda yang dapat membedakan
seorang muslim dengan orang lain yang menurut penilaian agamanya, bahwa kotor itu
merupakan salah satu wasilah untuk berkorban kepada Allah.
Sabda Rasulullah s.a.w.:

21

"Sesungguhnya Allah itu baik, Dia suka kepada yang baik. Dia juga bersih, suka kepada
yang bersih. Dia juga mulia, suka kepada yang mulia. Dia juga dermawan, sangat suka
kepada yang dermawan. Oleh karena itu bersihkanlah halaman rumahmu, jangan kamu
menyerupai orang-orang Yahudi." (Riwayat Tarmizi)

Lukisan (Fatwa Yusuf Qardhawi)


Demikianlah pendirian Islam terhadap gambar yang bertubuh, yakni yang sekarang
dikenal dengan patung atau monumen. Tetapi bagaimanakah hukumnya gambar-gambar
dan lukisan-lukisan seni yang dilukis di lembaran-lembaran, seperti kertas, pakaian,
dinding, lantai, uang dan sebagainya itu?
Jawabnya: Bahwa hukumnya tidak jelas, kecuali kita harus melihat gambar itu sendiri
untuk tujuan apa? Di mana dia itu diletakkan? Bagaimana diperbuatnya? Dan apa tujuan
pelukisnya itu?
Kalau lukisan seni itu berbentuk sesuatu yang disembah selain Allah, seperti gambar alMasih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu dan sebagainya,
maka bagi si pelukisnya untuk tujuan-tujuan di atas, tidak lain dia adalah menyiarkan
kekufuran dan kesesatan. Dalam hal ini berlakulah baginya ancaman Nabi yang begitu
keras:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat ialah orangorang yang menggambar." (Riwayat Muslim)
Imam Thabari berkata: "Yang dimaksud dalam hadis ini, yaitu orang-orang yang
menggambar sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia mengetahui dan
sengaja. Orang yang berbuat demikian adalah kufur. Tetapi kalau tidak ada maksud
seperti di atas, maka dia tergolong orang yang berdosa sebab menggambar saja."
Yang seperti ini ialah orang yang menggantungkan gambar-gambar tersebut untuk
dikuduskan. Perbuatan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, kecuali
kalau agama Islam itu dibuang di belakang punggungnya.
Dan yang lebih mendekati persoalan ini ialah orang yang melukis sesuatu yang tidak
biasa disembah, tetapi dengan maksud untuk menandingi ciptaan Allah. Yakni dia
beranggapan, bahwa dia dapat membuat dan menciptakan jenis terbaru seperti ciptaan
Allah. Orang yang melukis dengan tujuan seperti itu jelas telah keluar dari agama
Tauhid. Terhadap orang ini berlakulah hadis Nabi yang mengatakan:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya ialah orang-orang yang menandingi
ciptaan Allah." (Riwayat Muslim)
Persoalan ini tergantung pada niat si pelukisnya itu sendiri.
Barangkali hadis ini dapat diperkuat dengan hadis yang mengatakan:

22

"Siapakah orang yang lebih berbuat zalim selain orang yang bekerja membuat seperti
pembuatanku? Oleh karena itu cobalah mereka membuat biji atau zarrah." (Riwayat
Bukhari dan Muslim)
Allah mengungkapkan firmanNya di sini dengan kata-kata "dzahaba yakhluqu
kakhalqi" (dia bekerja untuk membuat seperti pembuatanku), ini menunjukkan adanya
suatu kesengajaan untuk menandingi dan menentang kekhususan Allah dalam
ciptaannya dan keindahannya. Oleh karena itu Allah menentang mereka supaya
membuat sebutir zarrah. Ia memberikan isyarat, bahwa mereka itu benar-benar
bersengaja untuk maksud tersebut. Justru itu Allah akan membalas mereka itu nanti dan
mengatakan kepada mereka: "Hidupkan apa yang kamu cipta itu!" Mereka dipaksa
untuk meniupkan roh ke dalam lukisannya itu, padahal dia tidak akan mampu.
Termasuk gambar/lukisan yang diharamkan, yaitu gambar/lukisan yang dikuduskan
(disucikan) oleh pemiliknya secara keagamaan atau diagung-agungkan secara
keduniaan.
Untuk yang pertama: Seperti gambar-gambar Malaikat dan para Nabi, misalnya Nabi
Ibrahim, Ishak, Musa dan sebagainya. Gambar-gambar ini biasa dikuduskan oleh orangorang Nasrani, dan kemudian sementara orang-orang Islam ada yang menirunya, yaitu
dengan melukiskan Ali, Fatimah dan lain-lain.
Sedang untuk yang kedua: Seperti gambar raja-raja, pemimpin-pemimpin dan senimanseniman. Ini dosanya tidak seberapa kalau dibandingkan dengan yang pertama tadi.
Tetapi akan meningkat dosanya, apabila yang dilukis itu orang-orang kafir, orang-orang
yang zalim atau orang-orang yang fasik. Misalnya para hakim yang menghukum dengan
selain hukum Allah, para pemimpin yang mengajak umat untuk berpegang kepada
selain agama Allah atau seniman-seniman yang mengagung-agungkan kebatilan dan
menyiarnyiarkan kecabulan di kalangan umat.
Kebanyakan gambar-gambar/lukisan-lukisan di zaman Nabi dan sesudahnya, adalah
lukisan-lukisan yang disucikan dan diagung-agungkan. Sebab pada umumnya lukisanlukisan itu adalah buatan Rum dan Parsi (Nasrani dan Majusi). Oleh karena itu tidak
dapat melepaskan pengaruhnya terhadap pengkultusan kepada pemimpin-pemimpin
agama dan negara.
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Abu Dhuha pernah berkata sebagai berikut: Saya
dan Masruq berada di sebuah rumah yang di situ ada beberapa patung. Kemudian
Masruq berkata kepadaku: Apakah ini patung Kaisar? Saya jawab: Tidak! Ini adalah
patung Maryam.
Masruq bertanya demikian, karena menurut anggapannya, bahwa lukisan itu buatan
Majusi dimana mereka biasa melukis raja-raja mereka di bejana-bejana. Tetapi akhirnya
ketahuan, bahwa patung tersebut adalah buatan orang Nasrani.
Dalam kisah ini Masruq kemudian berkata: Saya pernah mendengar Ibnu Mas'ud
menceriterakan apa yang ia dengar dari Nabi s.a.w., bahwa beliau bersabda:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di sisi Allah, ialah para pelukis."
Selain gambar-gambar di atas, yaitu misalnya dia menggambar/melukis makhlukmakhluk yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, laut, gunung,
matahari, bulan, bintang dan sebagainya. Maka hal ini sedikitpun tidak berdosa dan
tidak ada pertentangan samasekali di kalangan para ulama.

23

Tetapi gambar-gambar yang bernyawa kalau tidak ada unsur-unsur larangan seperti
tersebut di atas, yaitu bukan untuk disucikan dan diagung-agungkan dan bukan pula
untuk maksud menyaingi ciptaan Allah, maka menurut hemat saya tidak haram. Dasar
daripada pendapat ini adalah hadis sahih, antara lain:
"Dari Bisir bin Said dari Zaid bin Khalid dari Abu Talhah sahabat Nabi, bahwa
Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk rumah yang di
dalamnya ada gambar." (Riwayat Muslim)
Bisir berkata: Sesudah itu Zaid mengadukan. Kemudian kami jenguk dia, tiba-tiba di
pintu rumah Zaid ada gambarnya. Lantas aku bertanya kepada Ubaidillah al-Khaulani
anak tiri Maimunah isteri Nabi: Apakah Zaid belum pernah memberitahumu tentang
gambar pada hari pertama? Kemudian Ubaidillah berkata: Apakah kamu tidak pernah
mendengar dia ketika ia berkata: "Kecuali gambar di pakaian."
Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Utbah, bahwa dia pernah masuk di rumah
Abu Talhah al-Ansari untuk menjenguknya, tiba-tiba di situ ada Sahal bin Hanif.
Kemudian Abu Talhah menyuruh orang supaya mencabut seprei yang di bawahnya
(karena ada gambarnya). Sahal lantas bertanya kepada Abu Talhah: Mengapa kau cabut
dia? Abu Talhah menjawab: Karena ada gambarnya, dimana hal tersebut telah dikatakan
oleh Nabi yang barangkali engkau telah mengetahuinya. Sahal kemudian bertanya lagi:
Apakah beliau (Nabi) tidak pernah berkata: "Kecuali gambar yang ada di pakaian?" Abu
Talhah kemudian menjawab: Betul! Tetapi itu lebih menyenangkan hatiku." (Kata
Tarmizi: hadis ini hasan sahih)
Tidakkah dua hadis di atas sudah cukup untuk menunjukkan, bahwa gambar yang
dilarang itu ialah yang berjasad atau yang biasa kita istilahkan dengan patung? Adapun
gambar-gambar ataupun lukisan-lukisan di papan, pakaian, lantai, tembok dan
sebagainya tidak ada satupun nas sahih yang melarangnya.
Betul di situ ada beberapa hadis sahih yang menerangkan bahwa Nabi menampakkan
ketidak-sukaannya, tetapi itu sekedar makruh saja. Karena di situ ada unsur-unsur
menyerupai orang-orang yang bermewah-mewah dan penggemar barang-barang
rendahan.
Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Zaid bin Khalid al-Juhani dari Abu Talhah alAnsari, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Saya
(Zaid) kemudian bertanya kepada Aisyah: Sesungguhnya ini (Abu Talhah)
memberitahuku, bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda. Malaikat tidak akan masuk
rumah yang di dalamnya ada anjing dan patung. Apakah engkau juga demikian? Maka
kata Aisyah: Tidak! Tetapi saya akan menceriterakan kepadamu apa yang pernah saya
lihat Nabi kerjakan, yaitu: Saya lihat Nabi keluar dalam salah satu peperangan,
kemudian saya membuat seprei korden (yang ada gambarnya) untuk saya pakai
menutup pintu. Setelah Nabi datang, ia melihat korden tersebut. Saya lihat tanda marah
pada wajahnya, lantas dicabutnya korden tersebut sehingga disobek atau dipotong
sambil ia berkata: Sesungguhnya Allahi tidak menyuruh kita untuk memberi pakaian
kepada batu dan tanah. Kata Aisyah selanjutnya: Kemudian kain itu saya potong
daripadanya untuk dua bantal dan saya penuhi dengan kulit buah-buahan, tetapi
Rasulullah sama sekali tidak mencela saya terhadap yang demikian itu." (Riwayat
Muslim)

24

Hadis tersebut tidak lebih hanya menunjukkan makruh tanzih karena memberikan
pakaian kepada dinding dengan korden yang bergambar.
Imam Nawawi berkata: hadis tersebut tidak menunjukkan haram, karena hakikat
perkataan sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita itu tidak dapat dipakai untuk
menunjukkan wajib, sunnat atau haram.
Yang semakna dengan ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dari jalan Aisyah pula,
ia berkata:
"Saya mempunyai tabir padanya ada gambar burung, sedang setiap orang yang masuk
akan menghadapnya (akan melihatnya), kemudian Nabi berkata kepadaku:
Pindahkanlah ini, karena setiap saya masuk dan melihatnya maka saya ingat
dunia."(Riwayat Muslim)
Dalam hadis ini Rasulullah s.a.w. tidak menyuruh Aisyah supaya memotongnya, tetapi
beliau hanya menyuruh memindahkan ke tempat lain. Ini menunjukkan ketidaksukaan
Nabi melihat, bahwa di hadapannya ada gambar tersebut yang dapat mengingatkan
kebiasaan dunia dengan seluruh aneka keindahannya itu; lebih-lebih beliau selalu
sembahyang sunnat di rumah. Sebab seprai-seprai dan korden-korden yang bergambar
sering memalingkan hati daripada kekhusyu'an dan pemusatan menghadap untuk
bermunajat kepada Allah. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
jalan Anas, ia mengatakan: Bahwa korden Aisyah dipakai untuk menutupi samping
rumahnya, kemudian Nabi menyuruh dia dengan sabdanya:
"Singkirkanlah korden itu dariku, karena gambar-gambarnya selalu tampak dalam
sembahyangku." (Riwayat Bukhari)
Dengan demikian jelas, bahwa Nabi sendiri membenarkan di rumahnya ada tabir/korden
yang bergambar burung dan sebagainya.
Dari hadis-hadis itu pula, sementara ulama salaf berpendapat: "Bahwa gambar yang
dilarang itu hanyalah yang ada bayangannya, adapun yang tidak ada bayangannya tidak
menqapa."27
Pendapat ini diperkuat oleh hadis Qudsi yang mengatakan: "Siapakah yang terlebih
menganiaya selain orang yang bekerja untuk membuat seperti ciptaanKu? Oleh karena
itu cobalah mereka membuat zarrah, cobalah mereka membuat beras belanda!"
(Riwayat Bukhari).
Ciptaan Allah sebagaimana kita lihat, bukan terlukis di atas dataran tetapi berbentuk dan
berjisim, sebagaimana Dia katakan:
"Dialah Zat yang membentuk kamu di dalam rahim bagaimanapun Ia suka." (ali-Imran:
6)
Tidak ada yang menentang pendapat ini selain hadis yang diriwayatkan Aisyah, dalam
salah satu riwayat Bukhari dan Muslim, yang berbunyi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Aisyah membeli bantal yang ada gambar-gambarnya, maka setelah Nabi
melihatnya ia berdiri di depan pintu, tidak mau masuk. Setelah Aisyah melihat ada tanda
kemarahan di wajah Nabi, maka Aisyah bertanya: Apakah saya harus bertobat kepada
Allah dan RasulNya, apa salah saya? Jawab Nabi: Mengapa bantal itu begitu macam?
Jawab Aisyah: Saya beli bantal ini untuk engkau pakai duduk dan dipakai bantal. Maka
jawab Rasulullah pula: Yang membuat gambar-gambar ini nanti akan disiksa, dan akan
dikatakan kepada mereka: Hidupkanlah apa yang kamu buat itu. Lantas Nabi

25

melanjutkan pembicaraannya: Sesungguhnya rumah yang ada gambarnya tidak akan


dimasuki Malaikat. Dan Imam Muslim menambah dalam salah satu riwayat Aisyah, ia
(Aisyah) mengatakan: Kemudian bantal itu saya jadikan dua buah untuk bersandar,
dimana Nabi biasa bersandar dengan dua sandaran tersebut di rumah. Yakni Aisyah
membelah bantal tersebut digunakan untuk dua sandaran." (Riwayat Muslim)
Akan tetapi hadis ini, nampaknya, bertentangan dengan sejumlah hal-hal sebagai
berikut:
1) Dalam riwayat yang berbeda-beda nampak bertentangan. Sebagian menunjukkan
bahwa Nabi s.a.w. menggunakan tabir/korden yang bergambar yang kemudian
dipotong-potong dan dipakai bantal. Sedang sebagian lagi menunjukkan, bahwa beliau
samasekali tidak menggunakannya.
2) Sebagian riwayat-riwayat itu hanya sekedar menunjukkan makruh. Sedang
kemakruhannya itu karena korden tembok itu bergambar yang dapat menggambarkan
semacam berlebih-lebihan yang ia (Rasulullah) tidak senang. Oleh karena itu dalam
Riwayat Muslim, ia berkata: ''Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi
pakaian pada batu dan tanah."
3) Hadis Muslim yang diriwayatkan oleh Aisyah itu sendiri menggambarkan di
rumahnya ada tabir/korden yang bergambar burung. Kemudian Nabi menyuruh
dipindahkan, dengan kata-katanya: "Pindahkanlah, karena saya kalau melihatnya selalu
ingat dunia!" Ini tidak menunjukkan kepada haram secara mutlak.
4) Bertentangan dengar: hadis qiram (tabir) yang ada di rumah Aisyah juga, kemudian
oleh Nabi disuruhnya menyingkirkan, sebab gambar-gambarnya itu selalu tampak
dalam shalat. Sehingga kata al-Hafidh: "Hadis ini dengan hadis di atas sukar sekali
dikompromikan (jama'), sebab hadis ini menunjukkan Nabi membenarkannya, dan
beliau shalat sedang tabir tersebut tetap terpampang, sehingga beliau perintahkan
Aisyah untuk menyingkirkannya, karena melihat gambar-gambar tersebut dalam shalat
dan dapat mengingatkan yang bukan-bukan, bukan semata-mata karena gambarnya itu
an sich.
Akhirnya al-Hafidh berusaha untuk menjama' hadis-hadis tersebut sebagai berikut:
hadis pertama, karena terdapat gambar binatang bernyawa sedang hadis kedua gambar
selain binatang ... Akan tetapi inipun bertentangan pula dengan hadis qiram yang jelas
di situ bergambar burung.
5) Bertentangan dengan hadis Abu Talhah al-Ansari yang mengecualikan gambar dalam
pakaian. Karena itu Imam Qurthubi berpendapat: "Dua hadis itu dapat dijama' sebagai
berikut: hadis Aisyah dapat diartikan makruh, sedang hadis Abu Talhah menunjukkan
mubah secara mutlak yang sama sekali tidak menafikan makruh di atas." Pendapat ini
dibenarkan oleh al-Hafidh Ibnu Hajar.
6) Rawi hadis namruqah (bantal) ada seorang bernama al-Qasim bin Muhammad bin
Abubakar, keponakan Aisyah sendiri, ia membolehkan gambar yang tidak ada
bayangannya, yaitu seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Aun, ia berkata: "Saya masuk
di rumah al-Qasim di Makkah sebelah atas, saya lihat di rumahnya itu ada korden yang
ada gambar trenggiling dan burung garuda."28
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata; Barangkali al-Qasim berpegang pada keumuman hadis
Nabi yang mengatakan kecuali gambar dalam pakaian dan seolah-olah dia memahami
keingkaran Nabi terhadap Aisyah yang menggantungkan korden yang bergambar dan

26

menutupi dinding. Faham ini diperkuat dengan hadisnya yang mengatakan:


"Sesungguhnya Allah tidak menyuruh kita supaya memberi pakaian batu dan tanah."
Sedang al-Qasim adalah salah seorang ahli fiqih Madinah yang tujuh, dia juga termasuk
orang pilihan pada zaman itu, dia pula rawi hadis namruqah itu. Maka jika dia tidak
memaham rukhsakh terhadap korden yang dia pasang itu, niscaya dia tidak akan
menggunakannya.29
Tetapi di samping itu tampaknya ada kemungkinan yang tampak pada hadis-hadis yang
berkenaan dengan masalah gambar dan pelukisnya, yaitu bahwa Rasulullah s.a.w.
memperkeras persoalan ini pada periode pertama dari kerasulannya, dimana waktu itu
kaum muslimin baru saja meninggalkan syirik dan menyembah berhala serta
mengagung-agungkan patung. Tetapi setelah aqidah tauhid itu mendalam kedalam jiwa
dan akar-akarnya telah menghunjam kedalam hati dan pikiran, maka beliau memberi
perkenan (rukhshah) dalam hal gambar yang tidak berjasad, yang hanya sekedar ukiran
dan lukisan. Kalau tidak begitu, niscaya beliau tidak suka adanya tabir/korden yang
bergambar di dalam rumahnya; dan ia pun tidak akan memberikan perkecualian tentang
lukisan dalam pakaian, termasuk juga dalam kertas dan dinding.
Ath-Thahawi, salah seorang dari ulama madzhab Hanafi berpendapat: Syara' melarang
semua gambar pada permulaan waktu, termasuk lukisan pada pakaian, karena mereka
baru saja meninggalkan menyembah patung. Oleh karena itu secara keseluruhan gambar
dilarang. Tetapi setelah larangan itu berlangsung lama, kemudian dibolehkan gambar
yang ada pada pakaian karena suatu darurat. Syara' pun kemudian membolehkan
gambar yang tidak berjasad karena sudah dianggap orang-orang bodoh tidak lagi
mengagungkannya, sedang yang berjasad tetap dilarang.30
Patung Dilarang
Islam mengharamkan dalam rumahtangga Islam meliputi masalah patung. Sebab adanya
patung dalam suatu rumah, menyebabkan Malaikat akan jauh dari rumah itu, padahal
Malaikat akan membawa rahmat dan keridhaan Allah untuk isi rumah tersebut.
Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Sesungguhnya Malaikat tidak akan masuk suatu rumah yang di dalamnya ada patung."
(Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama berkata: Malaikat tidak mau masuk rumah yang ada patungnya, karena
pemiliknya itu menyerupai orang kafir, dimana mereka biasa meletakkan patung dalam
rumah-rumah mereka untuk diagungkan. Untuk itulah Malaikat tidak suka dan mereka
tidak mau masuk bahkan menjauh dari rumah tersebut.
Oleh karenanya, Islam melarang keras seorang muslim bekerja sebagai tukang pemahat
patung, sekalipun dia membuat patung itu untuk orang lain.
Sabda Rasulullah s.a.w.:
"Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya nanti di hari kiamat, yaitu orangorang yang menggambar gambar-gambar ini. Dalam satu riwayat dikatakan: Orangorang yang menandingi ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan Rasulullah s.a.w. memberitahukan juga dengan sabdanya:

27

"Barangsiapa membuat gambar (patung) nanti di hari kiamat dia akan dipaksa untuk
meniupkan roh padanya; padahal dia selamanya tidak akan bisa meniupkan roh itu."
(Riwayat Bukhari)
Maksud daripada hadis ini, bahwa dia akan dituntut untuk menghidupkan patung
tersebut.
Perintah ini sebenarnya hanya suatu penghinaan dan mematahkan, sebab dia tidak
mungkin dapat.

Ruksah Patung Boneka


Kalau macam daripada patung itu tidak dimaksudkan untuk diagung-agungkan dan
tidak berlebih-lebihan serta tidak ada suatu unsur larangan di atas, maka dalam hal ini
Islam tidak akan bersempit dada dan tidak menganggap hal tersebut suatu dosa.
Misalnya permainan anak-anak berupa pengantin-pengantinan, kucing-kucingan, dan
binatang-binatang lainnya. Patung-patung ini semua hanya sekedar pelukisan untuk
permainan dan menghibur anak-anak.
Oleh karena itu kata Aisyah:
"Aku biasa bermain-main dengan anak-anakan perempuan (boneka perempuan) di sisi
Rasulullah s.a.w. dan kawan-kawanku datang kepadaku, kemudian mereka
menyembunyikan boneka-boneka tersebut karena takut kepada Rasulullah s.a.w., tetapi
Rasulullah s.a.w. malah senang dengan kedatangan kawan-kawanku itu, kemudian
mereka bermain-main bersama aku." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam salah satu riwayat diterangkan:
"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu hari bertanya kepada Aisyah: Apa ini?
Jawab Aisyah: Ini anak-anak perempuanku (boneka perempuanku); kemudian
Rasulullah bertanya lagi: Apa yang di tengahnya itu? Jawab Aisyah: Kuda. Rasulullah
bertanya lagi: Apa yang di atasnya itu? Jawab Aisyah: Itu dua sayapnya. Kata
Rasulullah: Apa ada kuda yang bersayap? Jawab Aisyah: Belumkah engkau mendengar,
bahwa Sulaiman bin Daud a.s. mempunyai kuda yang mempunyai beberapa sayap?
Kemudian Rasulullah tertawa sehingga nampak gigi gerahamnya." (Riwayat Abu Daud)
Yang dimaksud anak-anak perempuan di sini ialah boneka pengantin yang biasa dipakai
permainan oleh anak-anak kecil. Sedang Aisyah waktu itu masih sangat muda.
Imam Syaukani mengatakan: hadis ini menunjukkan, bahwa anak-anak kecil boleh
bermain-main dengan boneka (patung). Tetapi Imam Malik melarang laki-laki yang
akan membelikan boneka untuk anak perempuannya. Dan Qadhi Iyadh berpendapat
bahwa anak-anak perempuan bermain-main dengan boneka perempuan itu suatu
rukhsah (keringanan).

28

Termasuk sama dengan permainan anak-anak, yaitu patung-patungan yang terbuat dari
kue-kue dan dijual pada hari besar (hari raya) dan sebagainya kemudian tidak lama kuekue tersebut dimakannya.

Hukum Musik (Fatwa Muhammadiyah)


Ayi Abdul Rozak,
Tanjung Gading, Asahan, Sumatra Utara
Pertanyaan :
1. Sejauh mana pandangan Islam tentang Seni Budaya (musik, tari,
dan MTQ yang
selalu diperlombakan itu) ?
2. Apakah suara wanita termasuk aurat, halalkah atau haramkah
mendengar nyanyian
serta apakah hukumnya bagi kita yang menyaksikannya ?
Jawaban :
1. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa yang dikatakan
kebudayaan itu
adalah hasil cipta budi dan daya ummat manusia sendiri. Masyarakat
tumbuh oleh
kebudayaan, tak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat dan
tiap masyarakat
melahirkan kebudayaannya sendiri. Sedangkan kesenian itu, baik
musik, tari, lukis, dan
sebagainya ialah penjelmaan rasa keindahan umumnya, rasa
keharuan khususnya, untuk
kesejahteraan hidup. Rasa itu disusun dan dinyatakan oleh pikiran,
sehingga ia menjadi
bentuk-bentuk yang dapat disalurkan dan dimiliki.
Keindahan dalam segala hal, dan bagi kehidupan ummat manusia
dituntut oleh
agama Islam untuk mencintai keindahan itu, dan itu telah menjadi
fithrah manusia.
Rasulullah SAW bersabda:

29



(
)
Artinya: Empat perkara termasuk dalam kategori kebahagiaan: wanita yang
shalihah, rumah yang luas/lapang, tetangga yang baik, dan kendaraan yang
menyenangkan. (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).
Di dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab
Shahihnya, Rasulullah SAW bersabda:


( )
Artinya: Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, ia menyukai keindahan. (HR.
Muslim).
Di dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan oleh Imam AlBukhari
dan Iman
Abu Dawud, Nabi SAW bersabda:


(

)
Artinya: Hiasilah AlQuran itu dengan suaramu. Bukanlah ia golongan kami,
Siapasiapa yang tidak melagukan (bacaan) AlQuran.
(HR. AlBukhari dan Abu Dawud).
Di dalam kitab Fathul Bari, Syarah Shahih AlBukhari, disebutkan:

30








(
)
Artinya: Dari Aisyah r.a., beliau menjelaskan, telah masuk kepadaku Rasulullah
SAW sementara bersama saya terdapat dua orang gadis sedang bernyanyi dengan
Buats, lalu Rasulullah SAW berbaring di atas tikar sambil memalingkan mukanya.
Dan masuklah Abu Bakar, lalu ia membentak aku sambil berkata: Serunai syaithan di
sisi Nabi SAW? Lalu Rasulullah menghadapkan mukanya kepada Abu Bakar, sambil
berkata: Biarkanlah mereka bernyanyi (hai Abu Bakar). Dan manakala Rasulullah
SAW tidak ada perhatiannya lagi, keduanya saya singgung (sentuh), lalu mereka
keluar. (HR. Bukhari).
Di dalam riwayat yang lain disebutkan dengan redaksi:


Artinya: Kedua gadis itu bernyanyi dengan memukul rebana.
Dengan memperhatikan dalildalil tersebut di atas, maka seni budaya
(yang baik),
baik berupa musik atau taritarian yang sopan yang tidak
mengundang atau
membangkitkan nafsu syahwat, dibolehkan dalam Islam. Apalagi
musabaqah tilawah AlQuran, lebihlebih lagi diperbolehkan, apalagi
kalau hal itu dipakai sebagai sarana
untuk mendakwahkan agama Islam.
2. Sebelum menjawab pertanyaan saudara yang kedua, di bawah ini
kami
sebutkan hadits berikut ini:

31






( )










Artinya: Dari Aisyah, beliau berkata: Sebenarnya saya pernah melihat
Rasulullah SAW pada suatu hari (berdiri) di pintu kamarku, sementara orangorang
Habsyi sedang melakukan pertunjukan di masjid. Rasulullah menutupi saya dengan
selendangnya sambil memperhatikan (menonton) permainan mereka.
Hadits ini diriwayatkan oleh AlBukhari.
Dalam suatu riwayat lain: Adalah hari itu Hari Raya, dimana orangorang
hitam (Habsyi) itu sedang bermainmain dengan perisai dan
tombak. Adakala saya bertanya (sesuatu) kepada Rasulullah SAW dan adakala beliau
bertanya: Anda suka melihatnya. Ya, jawab aku. Lalu beliau menegakkan saya
dibelakangnya, pipi saya bersentuh dengan pipi beliau sambil beliau bersabda:
Teruskan hai anak Arfadah, sehingga bila saya telah bosan. Rasulullah bersabda:
Cukup? Ya, jawab aku. Pergilah, sabda beliau.
Dalam hadits lain lagi disebutkan:

32

(
)
Artinya: Dari Aisyah bahwa beliau mempertandingkan seorang wanita dengan
seorang lakilaki dari kaum Anshar, lalu berkata Nabi SAW: Hai Aisyah, apakah ada
padamu permainan, karena kaum Anshar amat suka kepada permainan.

Dalam kaitan hadits tersebut di atas, diriwayatkan oleh AsSarraj dari


Hasyal
bahwa Nabi SAW pernah bersabda



Artinya: Supaya orangorang Yahudi mengetahui bahwa agama kita (Islam)
adalah lapang, sungguh aku diutus untuk membawa agama yang lapang (mudah) bagi
manusia.

Dari kedua hadits tersebut di atas, maka jelas kepada kita bahwa
suara perempuan
itu bukan aurat, dan kita boleh mendengar nyanyian yang
dinyanyikan oleh orang
perempuan (biduwanita), asal penampilannya sopan, menutup aurat,
tidak
mempertontonkan bodinya dengan pakaian yang seronok, serta
nyanyian yang
dinyanyikannya tidak bersifat porno dan mengumbar hamwa nafsu
birahi.
Dalam kaitan itu, maka tidak dapat disalahkan kalau ada ulama yang
mengharamkan nyanyian, tarian, musik, dan semisalnya, karena
disebabkan oleh faktafakta dari luar ( aridly) yang bertentangan
dengan jiwa agama, bukanlah haram zatnya, yaitu musik, lagu, dan
tari itu sendiri. Bahkan akhirakhir ini tayangantayangan
lewat media elektronik banyak yang bersifat merusak, destruktif.
Misalnya penayangan filmfilm kartun (walaupun itu boneka), karena
ditayangkan tepat pada waktu maghrib,
sehingga melalaikan anakanak dari melakukan shalat.
Sebagai penutup uraian untuk saudara, barangkali ada baiknya kami
sebutkan di
sini apa yang ditulis Imam AlGhazali dalam kitab Ihya Ulumiddin Juz 2
halaman 284
yang maksudnya kurang lebih sebagai berikut: Bahwa permainan itu
gunanya untuk menyenangkan hati, meringankan bebanbeban berat yang terpendam
dalam pikiran manusia. Hati (akal) itu apabila terus menerus dipaksakan untuk
berpikir, ia akan menjadi buta. Membuat kesenangan kepada hati/pikiran serta jiwa
sebenarnya satu pertolongan baginya untuk dapat bergiat kembali.
Tidaklah berlebihan, hiburanhiburan itu adalah obat hati terhadap
penyakit letih,
lesu, bosan, dan jemu, maka seharusnyalah hiburan berupa nyanyian,
musik, tarian, itu
menjadi mubah hukumnya. *(th)__

33

Anda mungkin juga menyukai