patients
diagnosed
with
acute
appendicitis.
This
Cloud's
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyeri abdomen akut di luar sebab trauma memberikan banyak
kemungkinan diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala sangat
sulit sehingga berdampak pada morbiditas penderita. Dombal (1990)
mengemukakan bahwa akcauasi diagnosis pada nyeri abdomen akut hanyalah
45-65%.
Penderita abdomen akut umumnya terlambat masuk ke Rumah Sakit,
sehingga biasanya sudah disertai macam-macam penyulit yang perlu diatasi
lebih dahulu dan memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Keterlambatan
selain dapat disebabkan oleh ketidaktahuan penderita dapat juga disebabkan oleh
dokter yang tidak melakukan diagnosis secara tepat atau bahkan membuat
diagnosis yang salah. Keterlambatan juga tidak jarang disebabkan oleh
penanggulangan yang lambat dan tidak adekuat di Rumah Sakit (Mantu, 1994).
Nyeri abdomen pada anak disebabkan oleh kecerobohan diet atau infeksi
saluran pencernaan, namun dokter harus selalu mempertimbangkan adanya
apendisitis akut karena hal tersebut merupakan kasus abdomen akut yang paling
penting dan paling banyak pada anak (Raffensperger, 1990; Ramirez, 1994; Oak,
2000).
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Pada anak sering terjadi
sekitar umur 6-10 tahun (Raffensperger, 1990). Ghoneimi (1994) mendapatkan
umur kejadian apendisitis akut 2-16 tahun dengan rerata 10 tahun sedangkan
Pearl (1995) melaporkan umur 6 bulan - 18 tahun dengan rerata 12 tahun dan
laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 1: 0,71. Oak
(2000) melaporkan perbandingan laki-laki dengan perempuan sebesar 1: 0,67.
Di Amerika Serikat diantara 60.000 kasus apendisitis akut setiap
tahunnya terdapat 20.000 kasus sudah menjadi apendisitis perforasi dan 100
kasus diantaranya meninggal (Cloud, 1993; Pearl, 1995).
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hat ini disebabkan sulitnya komunikasi antara
anak, orang tua. dan dokter. Sebagian besar anak belum mampu untuk
mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hat yang relatif lebih mudah pada
umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar
20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan
apendisitis (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Amri
dan Bermansyah (1997) mengenai skor Alvarado pada diagnosis apendisitis
akut, didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan akurasi
diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan sensitivitas: 71,43% dan
spesifisitas: 69,09% dengan akurasi diagnostik: 69,74%. Sedangkan Fenyo
melaporkan sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%.
Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah
klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
gejala klinis dan temuan durante operasi (Cloud, 1993).
Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut anak masih cukup tinggi. Hal
ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan pembedahan,
pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan perforasi.
Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor
Alvarado yang tinggi (Win et al., 2003).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah dapat dibuat suatu
rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan yang bermakr.a
antara temnan klinis berdasarkan skor Alvarado
dengan
temuan
durante
diagnosis apendisitis akut anak?, Apakah skor Alvarado yang lazim digunakan
pada kasus apendisitis akut dewasa bisa diterapkan pada apendisitis akut anak?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara temuan klinis (skor Alvarado) dengan
klasifikasi klinikopatologi Cloud pada kasus apendisitis akut anak.
2. Mengetahui apakah pada anak dengan apendisitis akut, skor Alvarado
menggambarkan tingkat keparahan klinis apendisitis durante operasi
(klinikopatologi Cloud).
D. Manfaat Penelitian
1. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas kasus apendisitis akut pada
anak.
2. Menentukan teknik operasi apendisitis akut anak berdasarkan skor
Alvarado.
3. Menerapkan skor Alvarado sebagai faktor risiko apendisitis akut anak.
superior (SIAS) yang ditarik garis lurus dari SIAS tersebut ke umbilikus. Titik
tersebut kemudian dikenal sebagai titik Mc Burney (Kozar dan Roslyn, 1999;
Lally, 2001).
A.
Anatomi
Apendiks pertamakali dapat dilihat selama perkembangan embriologi
pada minggu ke-6 kehidupan sebagai penonjolan bagian terminal sekum. Selama
perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi
kecepatan pertumbuhan apendiks, sehingga menggeser apendiks ke arah medial
di , depan katup ileosekal. Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif konstan,
sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal,
subsekal, preileal atau parakolika kanan (Kozar dan Roslyn, 1999).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi
berkisar antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial sekum
pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk
mencari basis apendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila
diproyeksikan ke dinding abdomen terletak di kuadran kanan bawah yang
disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita mempunyai apendiks
yang melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi
retroperitoneal di belakang kolon askenden. Apabila sekum gagal mengalami
rotasi normal mungkin apendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum
abdomen (Schwartz, 1990; Raffensperger 1990; Lally, 2001).
Apendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal,
mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini
memungkinkan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.
Namun pada anak-anak apendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa
oleh karena itu pada peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai
umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut
serta belum mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling of~ pada
perforasi, sehingga peritonitis umum karena apendisitis akut lebih umum terjadi
pada anak-anak daripada dewasa (Raffensperger, 1990).
persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X, karena itu nyeri visceral
pada apendiks bermula disekitar umbilikus (Sjamsuhidayat, 1997; Soybel,
2001).
B.
Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal
C. Apendisitis akut
1.
a.
Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dorninan dalam apendisitis
gejala,
namun
cukup
untuk
menimbulkan
risiko
terjadinya
perforasi
beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya (Lally, 2001).
Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama
Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme,
termasuk Proteus, IL'lebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan.
Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan
bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis (Raffensperger, 1990; Cloud,
1993).
2. Gambaran Klinis
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan
gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya
dicurigai menderita apendisitis (Doud, 1993).
Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri
abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk dengan
satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang
dimana yang nyeri. Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti
misalnya:
a. Bagaimana hebatnya nyeri ?
b. Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak
tinggal di tempat tidur saja ?
c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah ?
d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?
e. Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ? (Raffensperger,
1990).
Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang
dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam,
sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan
menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi
dari orang tuanya.. Perlu diperhatikan bahwa sebagian orang tua sering
membesarbesarkan keluhan anaknya.
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan
makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya
kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
apendiks yang mengalami peradangan (Raffensperger, 1990; Doud, 1993).
Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang
timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri
ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan vang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mulamula di daerah epigastrium dan periumbilikal (Forrest, 1995).
Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4 6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan
tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri
akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki (Forrest, 1995; Kozar dan
Roslyn, 1999).
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini
tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi. berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Penderita apendisitis akut juga
mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan
apendiks dekat dengan vesika urinaria (Kozar dan Roslyn, 1999).
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung,
apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks
retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri
spermatika dan ureter (Doud, 1993; Kozar dan Roslyn, 1999).
3.
Pemeriksaan Fisik
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada
tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang
diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak
karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan
tidak kooperatif. Kesalahan-kesalahan ini dapat diperbaiki kalau kita melakukan
kembali anamnesis dengan teliti dan pemeriksaan fisik yang baik (Mantu, 1994).
Perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak menunjukkan
ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil
melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri
(Kozar dan Roslyn, 1999).
Pada pemeriksaan abdomen seharusnya dengan permukaan tangan yang
mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup
dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan
yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi
sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan
palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang
tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hatihati dengan sedikit tekanan, dimulai
dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas,
kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah.
Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan
tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau
adanya tumor yang superfisial. Waktu melaklikan palpasi pada abdomen anak,
diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain,
sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar
karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak
mungkin dilakukan (Raffensperger, 1990; Doud, 1993). Pada palpasi didapatkan
titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan
tanda kunci diagnosis (Ein, 2000).
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila
kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan
oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan. Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. Psoas sign
terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi
pada apendiks. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan
dan dalam di titik Mc Burney. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi
kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Colok
dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada
anak kecil karena biasanya menangis terus menerus (Lally, 2001).
Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka
anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti
pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya
setelah satu jam dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat
membantu untuk melemaskan otot dinding abdomen sehingga memudahkan
penilaian keadaan intraperitoneal (Raffensperger, 1990). Gejala lain adalah demam
yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 - 38,5C tetapi bila suhu lebih
tinggi, diduga telah terjadi perforasi (Oak, 2000; Lally, 2001). Menurut Pearl (1995)
penderita apendisitis akut anak yang mengalami demam sebesar 19% kasus,
sedangkan untuk apendisitis perforasi sebesar 55% kasus.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,5C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000) d. Dehidrasi dan asidosis
d. Distensi
e. Menghilangnya bising usus
f. Nyeri tekan kuadran kanan bawah
Diagnosis
Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada
dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu
jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler.
Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh
dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara:
a. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear,
makrofag) pada tempat tersebut.
b. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
c. menetralisir dan mencairkan iritan.
d. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan
terbentuknya dinding jaringan granulasi.
Dari keseluruhan proses ini diharapkan akan muncul sinyal-sinyal dalam
pemeriksaan laboratorium. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik
yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah
adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari
18.000/mm3
maka
umumnya
sudah
terjadi
perforasi
dan
peritonitis
yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria,
pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 seUlapangan
pandang (Raffensperger, 1990; Doud, 1993).
6.
Pemeriksaan Radiologi
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak
membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah
yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus
(Doud, 1993). Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus
pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti
ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran
udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka
kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994).
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga
perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang
biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang
tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas
shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa
tempat adanya permukaan cairan udara (air fluid level) yang menunjukkan
adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994).
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan
pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis. Pemeriksaan dengan
Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara
intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks
lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami
ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya . apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi (Oak, 2000).
7.
Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai
8.
Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah
pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output
sebanyak 1 mUkgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen
suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 38 C pada saat masuk rumah
sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.
Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus
perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan
atau melihat kondisi klinis penderita. Tindakan pembedahan pada kasus
apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai
melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Iviantu, 1994; Ein, 2000).
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob
spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,Smg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis
terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan
komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif
dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih
murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin (Doud, 1993; Ein, 2000).
9.
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off)
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler
(Sjamsuhidayat, 1997).
Pada anak sering terjadi perforasi bebas, hal ini disebabkan oleh: (1)
dinding apendiks yang masih tipis, (2) anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna, (3)
perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Terjadinya
massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada massa periapendikuler yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi peiryebaran pus ke seluruh
rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis umum (Sjamsuhidayat, 1997).
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik (Way, 2003).
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah pembedahan
sebesar 20.
10.
Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami
rongga
peritoneum
jika
perforasi
diikuti
peritonitis
umum
(Sjamsuhidayat, 1997).
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik (Way, 2003).
Pro nosis
Meskipun secara teori dikatakan tidak ada kematian akibat apendisitis,
namun ternyata masih sering terjadi mortalitas akibat apendisitis. Faktor yang
mempengaruhi mortalitas apendisitis adalah perforasi terjadi sebelum penanganan
pembedahan dan umur penderita. Angka mortalitas apendisitis anak umur 2 tahun
sebesar 0,1%, pada bayi sebesar 10% dan neonatus sebesar 80% (Doud, 1993;
Kozar dan Roslyn, 1999). Angka morbiditas terjadi pada 1,2% penderita
apendisitis akut dan 6,4% pada penderita apendisitis perforasi (Pearl, 1995).
D.
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan
aperidisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi
migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,2C, lekositosis
dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis
mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masirrgmasing mempunyai nilai 1,
sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice,
1999).
Tabel 1. Skor Alvarado
Faktor Risiko
Gejala
- migrasi nyeri
- nausea dan vomitus
- anoreksia
Tanda
- nyeri kuadran kanan bawah
- nyeri lepas tekan
- temperatur > 37,2C
Laboratorium
- angka lekosit > 10.000
- persentase netrofil > 75%
Skoring
1
1
1
2
1
1
2
1
keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi, mendekati 10,
ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian
pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah,
mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis.
E. Klasifikasi Klinikopatologi Cloud
Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi
(Cloud, 1993):
1. Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak
adanya eksudat serosa.
2. Apendisitis Supurativa (grade II): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen
pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini
mungkin bisa tampak jelas adanya proses " Walling off " oleh omentum,
usus dan mesenterium didekatnya.
3. Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi .
didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,
kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
4. Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak
obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
5. Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,
abses terbentuk disekitar apendiks yang ruptur biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis
bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.
Insidensi dan prevalensi kasus apendisitis akut pada anak masih cukup
tinggi, hal ini menggambarkan bahwa kasus apendisitis akut memerlukan
perhatian khusus.
B.
C.
C. HIPOTESIS
1.
2.
A.
Rancangan Penelitian
Waktu
Tempat
H. Alur Penelitian
I. Analisa Data
Untuk data yang bersifat continuous seperti umur, hitung lekosit dan hitung
netrofil akan dianalisis dengan uji t .
Untuk data yang bersifat dichotomus atau discrete seperti jenis kelamin,
febris / tidak febris, migrasi nyeri / tidak migrasi nyeri, nausea dan vomitus/
tidak nausea dan vomitus, anoreksia / tidak anoreksia, nyeri kuadran kanan
bawah / tidak nyeri kuadran kanan bawah dan nyeri lepas tekan / tidak nyeri
lepas tekan akan dianalisis dengan uji x 2 dan untuk mengetahui peran variabel
terhadap terjadinya outcome dianalisis dengan Risiko relatif.
Uji korelasi dengan spearman corelation akan dilakukan untuk mencari
hubungan antara skor Alvarado dengan tingkat keparahan apendisitis durante
operasi (klinikopatologi Cloud).
HASIL PENELITIAN
Dari penelitian yang dilakukan selama empat tahun, yaitu dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2003 pada penderita apendisitis akut anak yang datang ke
RSUP. Dr. Sardjito, terdapat 76 penderita telah dilakukan operasi. Dari jumlah
tersebut 66 penderita mempunyai catatan medik lengkap, sedangkan sisanya 10
penderita mempunyai catatan medik yang tidak lengkap.
1. Karakteristik subyek
Tabel 2. Distribusi subyek penelitian
Karakteristik
Frekuensi
Persentase
<5
5-10
35
53
> 10
27
41
Laki-laki
35
53
Perempuan
31
47
Umur (tahun)
Jenis kelamin
Gejala
1
Frekuensi
Nausea / Vomitus
Ya
4
5
Persentase
66
100
Ya
37
56
Tidak
29
44
Ya
31
47
Tidak
Nyeri kuadran kanan
bawah
Ya
35
53
66
100
Ya
37
56,1
Tidak
39
43,9
Anoreksia
Migrasi nyeri
Febris
Ya
35
53 -
Tidak
31
47
< 10.000
16
32
> 10.000
50
68
< 75%
29
44
> 75%
37
56
Lekosit (per mm
3)
Netrofil
Dalam penelitian ini gejala Nausea atau vomitus dialami oleh semua
penderita apendisitis akut (100%).
Berbeda dengan gejala nausea / vomitus yang dilaporkan oleh semua
subyek, gejala anoreksia ternyata hanya dialami 56% penderita.
Gejala migrasi nyeri ditemukan pada 47% penderita sedangkan
selebihnya (53%) penderita tidak mengeluhkan adanya migrasi nyeri.
Seperti halnya nausea atau vomitus gejala nyeri abdomen kuadran
kanan bawah tampaknya juga merupakan gejala yang dom:nan karena dialami
oleh semua penderita (100%).
Lebih dari separo penderita menunjukkan adanya gejala nyeri lepas
tekan (56,1%) sedangkan selebihnya (43,9%) tidak menunjukkan gejala ini.
Berdasarkan adanya gejala febris terdapat 53% penderita mengalaminya dan
47% penderita tidak febris.
Dalam penelitian ini sebagian besar penderita apendisitis aicut (68%)
memiliki angka lekosit > 10.000/ mm 3 dan hanya sepertiga yang jumlah
lekositnya > 10.000/mm 3 ( 32%). Berdasarkzn jumlah lekosit didapatkan nilai
rentang antara 2000 -41.000/mm 3 dengan rerata 14.630 + 6.340.
Penderita apendisitis akut dengan jumlah netrofil >_ 75% sebesar 56%
dan jumlah netrofil < 75% sebesar 44%. Didapatkan nilai rentang antara 36 95% dengan rerata 74,8 + 13,56.
Tabel 4. Distribusi subyek berdasarkan Skor Alvarado
Skor Alvarado
3
4
5
6
7
8
9
10
Total 1
Frekuensi
2
2
10
8
13
1
11
9
66
Persentasi
3
3
15,2
12,1
19,7
16,7
16,7
13,6
100
Klinikopatologi Cloud
A endisitis Akut grade I
Apendisitis Akut grade II
Apendisitis Akut grade III
A endisitis Akut grade IV
Apendisitis Akut grade V
TOTAL
Frekuensi
6
21
17
10
12
66
persentasi
9,1
31,8
25,8
15,2
18,2
100
Dari tabel 6 didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
ratarata umur dengan klinikopatologi Cloud dimana p = 0,489 (p > 0,05). Pada tabel
di atas didapatkan rata-rata umur tertinggi terjadi pada apendisitis akut grade III
(10,53 3,43).
Tabe17. Hubungan antara jenis kelamir dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App rd I
App grd II
Aw rd III
App grd IV
App grd V
Jenis Kelamin
Laki-laki
perempuan
3(8,6%)
3(9,7%)
9(29%)
-12(34,3%)
11(31,4%)
6(19, 4%
5(14,3%)
5(16,1%)
8(25,8%)
0,558
Anoreksia
Ya
6(16,2%)
11(29,7%)
9(24,3%)
11 (29,7%)
Tidak
6(20,7%)
15(15,7%)
6(20,7%)
1(3,4%)
1(3,4%)
RR
IK 95
/o
3,04
(1,66-5,57)
< 0,001
Dari tabel 9 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala
anoreksia dan klinikopatologi Cloud p < 0,001. Risiko terjadinya apendisitis
komplikata (grade > 3) pada penderita dengan anoreksia 3 kali lebih besar
dibanding dengan penderita yang tidak anoreksia (risiko relative : 3,04;
interval kepercayaan 95%: 1,66 - 5,57). Penderita yang mengalami gejala
anoreksia ierbanyak adalah apendisitis akut grade III dan grade V masing-masing
RR
IK 95 o /o
Migrasi nyeri
Ya
2(6,5%)
7(22,6%)
5(16,1%)
6(19,4%)
11(35,5%)
Tidak
4(11,4%)
14(40%)
12(34,3%)
4(11,4%)
1(2,9%)
1,46
(0,97-2,20)
0 ,006
Tabel 10 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala migrasi
nyeri dan klinikopatologi Cloud dimana p = 0,006 (p < 0,05). Risiko terjadinya
apendisitis komplikata (grade > 3) pada penderita dengan migrasi nyeri 1,46 kali
lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak migrasi nyeri (risiko relatif.
1,46 ; interval kepercayaan 95%: 0,97 - 2,20). Penderita yang mengalami gejala
migrasi nyeri terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade V (35,5%), sedangkan
penderita yang tidak mengalami gejala migrasi nyeri terbanyak pada apendisitis
akut grade 11 (40%).
Tabel 11. Hubungan antara gejala nyeri abdomen kuadran kanan bawah dan
klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V
Nyeri kuadran
kanan bawah
Ya
6(9,1%)
21(31,8%)
17(25,8%)
10(15,2%)
12(18,2%)
(31,8%) dan yang mengalam: nyeri abdomen kuadran kanan bawah paling sedikit
terjadi pada apendisitis akut grade I (9,1%).
Tabel 12. Hubungan antara gejala nyeri lepas tekan dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V
RR
IK 95%
3,04
(1,66 - 5,57)
< 0,001
Dari tabel 12 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala nyeri
lepas tekan dan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. Risiko terjadinya
apendisitis komplikata (grade > 3) pada penderita dengan nyeri lepas tekan
3 kali lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak mengalami nyeri lepas
tekan (risiko relatif 3,04 ; interval kepercayaan 95%: 1,66 - 5,57). Penderita yang
mengalami gejala nyeri lepas tekan terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade III
dan grade V masing-masing 29,7%, sedangkan penderita yang tidak mengalami
gejala nyeri lepas tekan terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade II (15,7%).
Tabel 13. Hubungan antara Febris dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V
Febris
Ya
1(2,9%)
6(17,1%)
10(28,6%)
8(22,9%)
10(28,6%)
Tidak
5(16,1%)
15(48,4%)
7(22,6%)
2(6,5%)
2 (6,5%)
RR
IK 95%
2,25
(1,36 - 3,73)
0,003
Pada tabel 13 didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara febris dan
derajat klinikopatologi Cloud p = 0,003 (p < 0,05). Risiko terjadinya apendisitis
komplikata (grade > 3) pada penderita dengan febris 2,25 kali lebih besar dibanding
dengan penderita yang tidak febris ( risiko relatif: 2,25 ; interval kepercayaan 95%:
1,36 - 3,73). Penderita febris terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade III dan
Lekosit
Standar
Mean
Deviasi
9,37
1,62
11,68
4,35
17,51
7,11
17,89
4,08
15,67
7,70
4,64
0,002
Dari tabel 14 didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara rata-rata
jumlan lekosit dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p = 0,002 (p < 0,05).
Pada tabel di atas didapatkan rata-rata jumlah lekosit tertinggi terjadi pada
apendisitis akut grade IV (17,89 + 4,08), sedangkan rata-rata jumlah lekosit
terendah terjadi pada apendisitis akut grade I (9,37 + 1,62).
Tabel 15. Hubungan antara jumlah netrofil dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V
Netrofil
Standar
Mean
Deviasi
62,10
14,44
67,77
15,42
77,83
9,47
83,15
9,03
82,30
6,38
6,40
< 0,001
Dari tabel 15 didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rata-rata
jumlah netrofil dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. pada tabel
di atas didapatkan rata-rata jumlah netrofil tertinggi terjadi pada apendisitis akut
grade IV (83,15 + 9,03), sedangklan rata-rata jumlah netrofil terendah terjadi pada
apendisitis akut grade I (62,10 + 14,44).
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V
32,31
< 0,001
Dari tabel 16 didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rata-rata
skor Alvarado dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. Dari tabel di
atas didapatkan bahwa semakin tinggi grade apendisitis akut maka semakin besar
rata-rata skor Alvarado.
Tabel 17. Korelasi antara skor Alvarado dan klinikopatologi Cloud
Pearson Correlation
Alvarado
Sig. (2-tailled)
Cloud Class
0,792
0,000
66
66
Pearson Correlation
0,792
Sig. (2-tailed)
0,000
N
Cloud Class
Alvarado
1
66
66
temuan Raffensperger (1990) antara 6 - 10 tahun clan Ghoneimi (1994) antara 2 16 tahun. Sedangkan rerata umur juga mendekati temuan Ghoneimi (1994) yaitu
umur 10 tahun.
Pada tabel 6 didapatkan rata-rata umur terjadinya apendisitis akut grade III
(10,53 tahun), grade IV (9,40 tahun) dan grade V (9,75tahun) dimana apendisitis
akut pada grade III, IV, V ini sudah terjadi apendisitis perforasi, penelitian ini
mendekati penelitian yang dilakukan oleh Way (2003) dimana insidensi perforasi
pada apendisitis, terjadi pada anak yang berumur dibawah 10 tahun, hal ini
disebabkan dinding apendiks yang masih tipis dan omentum mayus yang masih
pendek. Menurut Cloud (1993) insidensi apendisitis perforasi terjadi pada anak
dibawah umur 6 tahun, sedangkan menurut Schwartz (1999) dan Pearl (1995)
insidensi apendisitis perforasi terjadi pada anak dibawah umur 8 tahun. Bila
dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud maka tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara umur-dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,489 (p>0,05).
Berdasarkan jenis kelamin (tabel 2) didapatkan penderita laki-laki (53%) dan
penderita perempuan (47%) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1 : 0,89,
perbandingan ini hampir sama dengan yang dilaporkan Pearl (1995) dengan
mendapatkan (L : P = 1 : 0,71) dan yang dilaporkan oleh Oak (2000) dengan
mendapatkan (L : P = 1 : 0,67)
Dari penelitian kami berdasarkan jenis kelamin (tabel 7) didapatkan bahwa
penderita laki-laki yang mengalami apendisitis perforasi (grade III, IV, V) sebesar
57,1%, sedangkan penderita perempuan yang mengalami apendisitis perforasi (grade
III, IV, V) sebesar 61,3%. Bila dilakukan analisis tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,558 (p>0,05).
Menurut Pearl (1995) apendisitis perforasi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Berdasarkan gejala nausea atau vomitus, pada penelitian kami semua penderita
apendisitis akut mengalaminya (tabel 3), hal ini disebabkan karena anamnesis
sebagian besar dilakukan terhadap orang tua penderita, karena anak belum mampu
mendiskripsikan keluhan secara jelas. Bila dihubungkan der~gan klinikopatologi
Cloud, data ini tidak bisa dianalisis karena semua penderita , mengalami gejala
nausea atau vomitus.
terjadi pada apendisitis akut grade III dan grade V masing-masing 29,7%,
sedangkan penderita yang tidak mengalami gejala nyeri lepas tekan terbanyak
yaitu apendisitis akut grade II (15,7%) pada penelitian ini risiko terjadinya
apendisitis komplikata (perforasi) pada penderita dengan nyeri lepas tekan 3 kali
lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak mengalami nyeri lepas tekan .
Bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud maka terdapat hubungan yang
bermakna antara gejala nyeri lepas tekan dan klinikopatologi Cloud dimana
p<0,001.
Pada tabel 13 didapatkan febris yang terja3i pada apendisitis perforasi
(grade III, IV, V) adalah sebesar 80%, sedangkan pada apendisitis simpel (grade
I, II) sebesar 20%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan Pearl (1995), yaitu sebesar 55% untuk apendisitis perforasi,
sedangkan untuk apendisitis simpel hasilnya hampir sama yaitu 19% clan risiko
terjadinya apendisitis komplikata (perforasi) pada penderita dengan febris 2,25
kali lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak febris. Bila dihubungkan
dengan klinikopatologi Cloud maka terdapat hubungan yang bermakna antara
febris dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,003 (p<0,05).
Pada penelitian kami berdasarkan jumlah lekosit, penderita apendisitis
akut dengan jumlah lekosit > 10.000/mm3 (lekositosis) sebesar 68% (tabel 3),
hasil ini mendekati hasil penelitian yang dilakukan oleh Goodman et al (1995)
sebesar 79% pada 367 penderita apendisitis akut yang mengalami lekositosis dan
penelitian Vermulen et al (1995) sebesar 83% pada 112 penderita apendisitis akut
dengan lekositosis.
Pada tabel 14 didapatkan bahwa penderita apendisitis perforasi (grade III,
IV, V) mempunyai rata-rata jumlah lekosit 17.000/mm 3, hasil ini mendekati
laporan dari Raffensperger (1990) yang menyatakan bahwa jika jumlah lekosit
lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
Penyebab terjadinya apendisitis perforasi pada penelitian kami kemungkinan
karena ketidaktahusn orangtua penderita atau penderita akan penyakitnya,
sehingga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan. Bila dihubungkan
dengan klinikopatologi Cloud maka didapatkan hubungan yang bermakna antara
jumlah lekosit dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,002 (p<0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Alvarado, A. 1986, A Practical score for the early diagnosis of Acute
Appendicitis, Ann. Emerg. Med, 15:5.
Amri, I dan Bermansyah. 1997, Sensitivitas dan Spesifisitas Penggunaan Skor
Alvarado pada Diagnosis Apendisitis Akut, Ropanasuri XXV, 3-4:40-3.
Cloud, D.T. 1993, Appendicitis in : Ashcraft, K.W., Holder, eds. Pediatric
Surgery 2"a ed. WB Saunder Company, Philadelphia, 470-7.
Datuk, S dan Arnold. 1995, Hitung jenis sebagai alat bantu diagnostik pada
penderita Apendisitis akut (suatu penelitian prospektif di RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo), kumpulan makalah seminar, Palembang.
Ein, S.H. 2000, Appendicitis in : Ashcraft, K.W., eds. Pediatric Surgery 3` d e d.
WB Saunders Company, Philadelphia, 571-8.
Forrest, Carter, Macleod. 1995, The Appendix, Principles and Practice of
Surgery 3`a ed. Churchill, Livingstone, 436-42.
Goodman, D.A., Goodman, C.B., Monk, J.S. 1995, Use of the Neutrophil :
Lymphocyte ratio in the Diagnosis of Appendicitis, Am Surg, 61(3): 257-9.
Kozar, R.A., Roslyn, J.J. 1999, Appendix in : Schwartz, S.L, Shires, G.T.,
Spencer, F.C., Doly, J.M., eds. Principles of Surgery 7` h ed. Mcgraw-Hill, New
York, 1383-93.
Lally, K.P., Cox, C.S., Andrassy, R.J. 2001, Appendix in : Towsend, C.M.,
Harris, J.W, eds. Sabiston textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern
Surgical Practise 16`h ed. WB Saunders Company, Philadelphia, 917-26.
Mantu, F.N. 1994, Catatan Kuliah Bedah Anak, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 145-51.
Oak, S.N. 2000, Appendicitis in : Oak, S.N., Chaubal, N.G., Pediatric Surgical
Diagnosis lst ed . Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, India, 51-3.
Pearl, R.H., Hale, D.A., Molly, M. 1995, Pediatric Appendectomy Journal of
Pediatric Surgery, 30(2):173-81.
Primatesta, P., Goldacre, M.J. 1994, Appendectomy for Acute Appendicitis and
for Other Conditions : an Epidemiological Study, International Journal of
Epidemiology, 23(1):155-9.
Raffensperger, J. 1990, Appendicitis in : Swenson's Pediatric Surgery 5` h ed
Appleton and Lange, 843-53.