Anda di halaman 1dari 48

HUBUNGAN ANTARA TEMUAN KLINIS DAN DLTRANTE OPERASI

APENDISITIS AKUT PADA ANAK DI BAGIAN BEDAH ANAK RSUP Dr


SARDJITO
2000-2003
Abstrak
Latar Belakang Masalah :Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah
ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sebagian besar
anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami. Keadaan ini
menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar
20 - 30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen
skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan
dengan mudah, cepat dan kurang invasif. Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut
anak masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan keterlambatan diagnosis dan
penanganan pembedahan, pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan
dengan perforasi. Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi
mempunyai skor Alvarado yang tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui hubungan antara temuan klinis
(skor Alvarado) dengan klasifikasi klinikopatologi Cloud pada. kasus apendisitis
akut anak.
Metode Penelitian: Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam
medik pada penderita apendisitis akut yang telah menjalani operasi di RSUP Dr
Sardjito antara Januari 2000 sampai Desember 2003. Data yang diambil meliputi
gejala apendisitis akut berdasarkan skor Alvarado. Data kemudian dikelompokkan
menjadi dua grup yang telah di skoring penegakkan diagnosisnya dengan skor
Alvarado dan temuan klinikopatologi Cloud. Data dikumpulkan dan dianalisa
dengan hubungan kemaknaan antar variabel yang berpengaruh.
Hasil : Dari data yang terkumpul diperoleh hasil 66 penderita. Penderita laki-laki
sebanyak 35 dan perempuan 31 penderita. Dari hasil analisa dengan korelasi
Pearson didapatkan hubungan positif bermakna antara skor Alvarado clan
klinikopatologi Cloud dimana t=0,792 ; p=0,001 (p<0,05).
Kesimpulan : Ada hubungan yang bermakna antara temuan klinis (skor Alvarado)
dan temuan durante operasi (klinikopatologi Cloud) apendisitis akut anak, sehingga
klinikopatologi Cloud dan skor Alvarado bisa diterapkan pada kasus apendisitis
akut anak.
Kata kunci : Skor Alvarado, klinikopatologi Cloud, Apendisitis akut anak.

THE ASSOCIATION BETWEEN CLINICAL FINDING AND


INTRAOPERATIF FINDING ON ACUTE APPENDICITIS IN PATIENTS
AT PEDIATRIC SURGERY DIVISION Dr SARDJITO GENERAL
HOSPITAL 2000-2003
Abstract
Background. The diagnosis of acute appendicitis in pediatric patients is not easily
established when only based on clinical manifestations, because most of them are
not able to describe the symptoms. The situation resulted in a negative
appendectomy rate of 20% and perforation rate of 20 - 30%. One of the efforts to
maintain the qualified medical service is to establish a true diagnosis. Many ways
has been stated to reduce the negative appendectomy incidence, one of them is by
using Alvarado score. Alvarado score is a simple scoring system which can be
done easily, immediately and minimaly invasive,. The morbidity and mortality of
pediatric acute appendicitis have still been high, which were caused by late
diagnosis and late operative treatment, a late operative treatment may be related
with perforation. Most of the patients with a risk of perforated appendicitis had
high Alvarado score.
The aim of this study is to recognise the association between clinical findings
(Alvarado score) and Cloud's clinicopatological stage on acute appendicitis in
pediatric patients.
Method. Retrospective data were collected from medical records of acute
appendicitis patients who had undergone operations at Dr. Sardjito General
Hospital in period of January 2000 until December 2003. data which were
collected comprised the symptoms of acute appendicitis based on Alvarado score,
and then they were classified into two groups which had previously been scored
of diagnosis establishment by Alvarado score and Cloud's clinicopatological stage
their significance of influencing intervariable corelation were analyzed.
Result. We obtained 66 patients from collected data, consisted of 35 males and 31
females. Analysis by Pearson's corellation resulted in significant positive
correlation between Alvarado score and Cloud's clinicopatological stage (r =
0,792; p = 0,001 (p<0,05).

Conclusion. There was a significant correlation between clinical findings


(Alvarado score) and intraoperative findings (Cloud's clinicopatological stage) on
pediatric

patients

diagnosed

with

acute

appendicitis.

This

Cloud's

clinicopatological stage and Alvarado score can be applied on pediatric acute


appendicitis cases.
Keyword. Alvarado score, Cloud's clinicopatolo-teal stage, pediatric acute
appendicitis.

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nyeri abdomen akut di luar sebab trauma memberikan banyak
kemungkinan diagnosis. Untuk menetapkan diagnosisnya kadangkala sangat
sulit sehingga berdampak pada morbiditas penderita. Dombal (1990)
mengemukakan bahwa akcauasi diagnosis pada nyeri abdomen akut hanyalah
45-65%.
Penderita abdomen akut umumnya terlambat masuk ke Rumah Sakit,
sehingga biasanya sudah disertai macam-macam penyulit yang perlu diatasi
lebih dahulu dan memerlukan penanganan yang lebih kompleks. Keterlambatan
selain dapat disebabkan oleh ketidaktahuan penderita dapat juga disebabkan oleh
dokter yang tidak melakukan diagnosis secara tepat atau bahkan membuat
diagnosis yang salah. Keterlambatan juga tidak jarang disebabkan oleh
penanggulangan yang lambat dan tidak adekuat di Rumah Sakit (Mantu, 1994).
Nyeri abdomen pada anak disebabkan oleh kecerobohan diet atau infeksi
saluran pencernaan, namun dokter harus selalu mempertimbangkan adanya
apendisitis akut karena hal tersebut merupakan kasus abdomen akut yang paling
penting dan paling banyak pada anak (Raffensperger, 1990; Ramirez, 1994; Oak,
2000).
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua umur. Pada anak sering terjadi
sekitar umur 6-10 tahun (Raffensperger, 1990). Ghoneimi (1994) mendapatkan
umur kejadian apendisitis akut 2-16 tahun dengan rerata 10 tahun sedangkan
Pearl (1995) melaporkan umur 6 bulan - 18 tahun dengan rerata 12 tahun dan
laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan 1: 0,71. Oak
(2000) melaporkan perbandingan laki-laki dengan perempuan sebesar 1: 0,67.
Di Amerika Serikat diantara 60.000 kasus apendisitis akut setiap
tahunnya terdapat 20.000 kasus sudah menjadi apendisitis perforasi dan 100
kasus diantaranya meninggal (Cloud, 1993; Pearl, 1995).
Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hat ini disebabkan sulitnya komunikasi antara
anak, orang tua. dan dokter. Sebagian besar anak belum mampu untuk

mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hat yang relatif lebih mudah pada
umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar
20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang
bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan
apendisitis (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Amri
dan Bermansyah (1997) mengenai skor Alvarado pada diagnosis apendisitis
akut, didapatkan sensitivitas: 90,90% dan spesifisitas: 75,75% dengan akurasi
diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan sensitivitas: 71,43% dan
spesifisitas: 69,09% dengan akurasi diagnostik: 69,74%. Sedangkan Fenyo
melaporkan sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%.
Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak adalah
klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan
gejala klinis dan temuan durante operasi (Cloud, 1993).
Morbiditas dan mortalitas apendisitis akut anak masih cukup tinggi. Hal
ini disebabkan oleh keterlambatan diagnosis dan penanganan pembedahan,
pembedahan yang terlambat mungkin tetap berhubungan dengan perforasi.
Sebagian besar penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor
Alvarado yang tinggi (Win et al., 2003).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah dapat dibuat suatu
rumusan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan yang bermakr.a
antara temnan klinis berdasarkan skor Alvarado

dengan

temuan

durante

operasi berdasarkan klasifikasi klinikopatologi Cloud pada penderita dengan

diagnosis apendisitis akut anak?, Apakah skor Alvarado yang lazim digunakan
pada kasus apendisitis akut dewasa bisa diterapkan pada apendisitis akut anak?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara temuan klinis (skor Alvarado) dengan
klasifikasi klinikopatologi Cloud pada kasus apendisitis akut anak.
2. Mengetahui apakah pada anak dengan apendisitis akut, skor Alvarado
menggambarkan tingkat keparahan klinis apendisitis durante operasi
(klinikopatologi Cloud).
D. Manfaat Penelitian
1. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas kasus apendisitis akut pada
anak.
2. Menentukan teknik operasi apendisitis akut anak berdasarkan skor
Alvarado.
3. Menerapkan skor Alvarado sebagai faktor risiko apendisitis akut anak.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Epidemiologi Apendisitis
Apendisitis akut dapat terjadi pada semua umur, tetapi yang paling
banyak adalah selama akhir masa anak-anak dan permulaan dewasa. Pada anak
paling sering terjadi sekitar umur 6-10 tahun (Raffensperger, 1990). Ghoneimi
(1994) mendapatkan umur kejadian apendisitis 2-16 tahun dengan rerata 10
tahun sedangkan Pearl (1995) melaporkan umur 6 bulan-18 tahun dengan rerata
12 tahun dan laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan perbandingan
1 : 0,71. Oak (2000) melaporkan perbandingan laki-laki dengan perempuan
sebesar 1 : 0,67
Di Amerika Serikat diantara 60.000 kasus apendisitis akut setiap
tahunnya terdapat 20.000 kasus sudah menjadi apendisitis ruptur dan 100 kasus
diantaranya meninggal (Cloud, 1993; Pearl, 1995).
B. Apendiks Vermiformis
Apendiks sebagai bagian dari sistem pencernaan mulai diteraagkan
secara tersendiri pada awal abad 16. Adalah seorang pelukis Italia terkenal yang
bernama Leonardo da Vinci yang pertamakali menggambarkan apendiks sebagai
organ tersendiri. Pada waktu itu disebutnya orecchio yang berarti telinga.
Sebelumnya apendisitis hanya dapat dibuktikan dengan dilakukannya bedah
jenasah. Pada tahun 1736 oleh Amyand, seorang dokter bedah Inggris, berhasil
dilakukan operasi . pengangkatan apendiks pada saat melakukan operasi hernia
pada anak laki-laki. Dialah yang dikenal sebagai orang yang pertamakali
melakukan operasi apendektomi (Soybel, 2001).
Istilah apendisitis pertamakali digunakan oleh Reginal Fitz, 1886,
seorang profesor patologi anatomi dari Harvard, untuk menyebut proses
peradangan yang biasanya disertai ulserasi dan perforasi pada apendiks. Tiga
tahun kemudian (1889), Charles Mc Burney seorang profesor bedah dari
universitas Columbia menemukan titik nyeri tekan maksimal dengan melakukan
penekanan pada satu jari yaitu tepat di 1,5-2 inchi dari

spina iliaca anterior

superior (SIAS) yang ditarik garis lurus dari SIAS tersebut ke umbilikus. Titik

tersebut kemudian dikenal sebagai titik Mc Burney (Kozar dan Roslyn, 1999;
Lally, 2001).
A.

Anatomi
Apendiks pertamakali dapat dilihat selama perkembangan embriologi

pada minggu ke-6 kehidupan sebagai penonjolan bagian terminal sekum. Selama
perkembangan antenatal dan postnatal, kecepatan pertumbuhan sekum melebihi
kecepatan pertumbuhan apendiks, sehingga menggeser apendiks ke arah medial
di , depan katup ileosekal. Hubungan pangkal apendiks ke sekum relatif konstan,
sedangkan ujung dari apendiks bisa ditemukan pada posisi retrosekal, pelvikal,
subsekal, preileal atau parakolika kanan (Kozar dan Roslyn, 1999).
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya bervariasi
berkisar antara 2-22 cm. Letak basis apendiks berada pada posteromedial sekum
pada pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda untuk
mencari basis apendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan, bila
diproyeksikan ke dinding abdomen terletak di kuadran kanan bawah yang
disebut dengan titik Mc Burney. Kira-kira 5% penderita mempunyai apendiks
yang melingkar ke belakang sekum dan naik (ke arah kranial) pada posisi
retroperitoneal di belakang kolon askenden. Apabila sekum gagal mengalami
rotasi normal mungkin apendiks bisa terletak di mana saja di dalam kavum
abdomen (Schwartz, 1990; Raffensperger 1990; Lally, 2001).
Apendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal,
mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi apendiks berbentuk kerucut,
lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini
memungkinkan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur tersebut.
Namun pada anak-anak apendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada dewasa
oleh karena itu pada peradangan akan lebih mudah mengalami perforasi. Sampai
umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis, pendek dan lembut
serta belum mampu membentuk pertahanan atau pendindingan (walling of~ pada
perforasi, sehingga peritonitis umum karena apendisitis akut lebih umum terjadi
pada anak-anak daripada dewasa (Raffensperger, 1990).

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar


submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina ncrosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal maka tidak tertutup oleh
peritoneum viscerale (Soybel, 2001).
Menurut Wakeley (1997) lokasi apendiks adalah sebagai berikut:
retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan
postileal serta parakolika kanan (0,4%) (Schwartz, 1990).

Pada 65% kasus apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan apendiks


memungkinkan bergerak dalam ruang geraknya tergantung pada panjangnya
mesoapendiks. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal yaitu di
belakang sekum, dibelakang kolon askenden atau tepi lateral kolon askenden.
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak dari apendiks (Sjamsuhidayat,
1997).
Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan
end arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat maka apendiks akan
mengalami iskemik dan kemudian berlanjut menjadi gangren (Lally, 2001;
Sjamsuhidayat, 1997).
Persarafan apendiks, parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis. Sedangkan

persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X, karena itu nyeri visceral
pada apendiks bermula disekitar umbilikus (Sjamsuhidayat, 1997; Soybel,
2001).

B.

Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan


aliran dalam muara apendiks berperan besar dalam patogenesis apendisitis.
Jaringan limfoid pertamakali terlihat di submukosa apendiks sekitar 2
minggu setelah kelahiran. Jumlah jaringan limfoid meningkat selama pubertas,
dan menetap dalam waktu 10 tahun berikutnya, kemudian mulai menurun dengan
pertambahan umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid yang
terdapat di submukosa apendiks (Kozar dan Roslyn, 1999; Way, 2003).
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan termasuk
apendiks adalah Ig A. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung infeksi.
Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh,
sebab jaringan limfoid disini kecil jika dibandingkan jumlah di saluran
pencernaan dan seluruh tubuh (Sjamsuhidayat, 1997).

C. Apendisitis akut
1.

Etiologi dan Patogenesis

a.

Peranan Lingkungan: diet dan higiene


Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi


akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis (Sjamsuhidayat, 1997).
Diet memainkan peran utama pada pembentukan sifat feses, yang mana
penting pada pembentukan fekalit. Kejadian apendisitis relatif jarang di negara
yang sedang berkembang, karena adanya faktor diet dengan tinggi serat
sehingga konsistensi feses lebih lembek. Kolitis, divertikulitis dan karsinoma
kolon adalah penyakit yang sering terjadi di daerah dengan diet rendah serat dan
menghasilkan feses dengan konsistensi keras (Ein, 2000).
b.

Peranan Obstruksi
Obstruksi lumen merupakan faktor penyebab dorninan dalam apendisitis

akut. Fekalit merupakan penyebab terjadinya obstruksi lumen apendiks pada


20% anakanak dengan apendisitis, terjadinya fekalit berhubungan dengan diet
rendah serat (Raffensperger, 1990; Oak, 2000). Frekuensi obstruksi meningkat
sesuai dengan derajat proses inflamasi. Fekalit ditemukan 40% pada kasus
apendisitis sederhana (simpel), sedangkan pada apendisitis akut dengan gangren
tanpa ruptur terdapat 65'/0 dan apendisitis akut dengan gangren disertai ruptur
terdapat 90% (Kozar dan Roslyn, 1999). Jaringan limfoid yang terdapat di
submukosa apendiks akan mengalami edema dan hipertrofi sebagai respon
terhadap infeksi virus di sistem gastrointestinal atau sistem respiratorius, yang
akan menyebabkan obstruksi lumen apendiks. Megakolon kongenital terjadi
obstruksi pada kolon bagian distal yang diteruskan ke dalam lumen apendiks dan
hal ini merupakan salah satu alasan terjadinya apendisitis pada neonatus.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa
apendiks karena parasit seperti Entamuba hystolityca dan benda asing mungkin
tersangkut di apendiks untuk jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan

gejala,

namun

cukup

untuk

menimbulkan

risiko

terjadinya

perforasi

(Raffensperger, 1990; Ein, 2000).


Secara patogenesis faktor terpenting terjadinya apendisitis adalah adanya
obstruksi lumen apendiks yang biasanya disebabkan oleh fekalit. Sekresi
mukosa yang terkumpul selama adanya obstruksi lumen apendiks menyebabkan
distensi lumen akut sehingga akan terjadi kenaikkan tekanan intraluminer dan
sebagai akibatnya terjadi obstruksi arterial serta iskemia. Akibat dari keadaan
tersebut akan terjadi ulserasi mukosa sampai kerusakan seluruh lapisan dinding
apendiks (Raffensperger, 1990), lebih lanjut akan terjadi perpindahan kuman
dari lumen masuk kedalam submukosa. Dengan adanya kuman dalam
submukosa maka tubuh akan bereaksi berupa peradangan supurativa yang
menghasilkan pus, keluarnya pus dari dinding yang masuk ke dalam lumen
apendiks akan mengakibatkan tekanan intraluminer akan semakin meningkat,
sehingga desakan pada dinding apendiks akan bertambah besar menyebabkan
gangguan pada sistem vasa dinding apendiks (Lally, 2001).
Mula-mula akan terjadi penekanan pada vasa limfatika, kemudian vena
dan terakhir adalah arteri, akibatnya akan terjadi edema dan iskemia dari
apendiks, infark seterusnya melanjut menjadi gangren. Keadaan ini akan terus
berlanjut dimana dinding apendiks akan mengalami perforasi, sehingga pus akan
tercurah kedalam rongga peritoneum dengan akibat terjadinya peradangan pada
peritoneum parietale (Forrest, 1995).
Hasil akhir dari proses peradangan tersebut sangat tergantung dari
kemampuan organ dan omentum untuk mengatasi infeksi tersebut, jika infeksi
tersebut tidak bisa diatasi akan terjadi peritonitis umum. Pada anak-anak omentum
belum berkembang dengan sempurna, sehingga kurang efektif untuk mengatasi
infeksi, hal ini akan mengakibatkan apendiks cepat mengalami komplikasi
(Forrest, 1995; Lally, 2001).
c.

Peranan Flora Bakterial


Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya

beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam
apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya (Lally, 2001).

Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama
Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme,
termasuk Proteus, IL'lebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan.
Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar
penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan
bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis (Raffensperger, 1990; Cloud,
1993).
2. Gambaran Klinis
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan
gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami apendektomi seharusnya
dicurigai menderita apendisitis (Doud, 1993).
Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan jelas permulaan gejala nyeri
abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat. Anak dapat menunjuk dengan
satu jari tempat permulaan nyeri, dimana saja yang pernah nyeri dan sekarang
dimana yang nyeri. Setelah itu dilanjutkan dengan anamnesis terpimpin seperti
misalnya:
a. Bagaimana hebatnya nyeri ?
b. Apakah nyerinya mengganggu anak sampai tidak mau main atau anak
tinggal di tempat tidur saja ?
c. Apakah nyerinya sampai menyebabkan anak tidak mau masuk sekolah ?
d. Apakah anak dapat tidur seperti biasa semalam ?
e. Apakah pagi ini makannya baik dan cukup seperti biasa ? (Raffensperger,
1990).
Beberapa anak dapat menentukan dengan tepat waktu mulainya nyeri yang
dihubungkan dengan peristiwa tertentu, umpamanya nyeri sesudah makan malam,
sesudah berolah raga atau sesudah bangun tidur. Anak dapat menunjukkan dan
menceritakan perjalanan rasa nyeri, kadang-kadang perlu juga bantuan informasi
dari orang tuanya.. Perlu diperhatikan bahwa sebagian orang tua sering
membesarbesarkan keluhan anaknya.
Perasaan nyeri pada apendisitis biasanya datang secara perlahan dan
makin lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya

kontraksi apendiks, distensi dari lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding
apendiks yang mengalami peradangan (Raffensperger, 1990; Doud, 1993).
Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang
timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri
ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus
mempunyai persarafan vang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mulamula di daerah epigastrium dan periumbilikal (Forrest, 1995).
Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi beberapa jam (4 6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan bawah dan pada keadaan
tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietale dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri
akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki (Forrest, 1995; Kozar dan
Roslyn, 1999).
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita apendisitis akut, bila hal ini
tidak ada maka diagnosis apendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi. berat dan
kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Penderita apendisitis akut juga
mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita
mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan
apendiks dekat dengan vesika urinaria (Kozar dan Roslyn, 1999).
Variasi lokasi anatomi apendiks akan menjelaskan keluhan nyeri somatik
yang beragam. Sebagai contoh apendiks yang panjang dengan ujung yang
mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, apendiks retrosekal akan menyebabkan nyeri flank atau punggung,
apendiks pelvikal akan menyebabkan nyeri pada supra pubik dan apendiks
retroileal bisa menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri
spermatika dan ureter (Doud, 1993; Kozar dan Roslyn, 1999).

3.

Pemeriksaan Fisik
Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak pada

tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah. Kadang-kadang
diagnosis salah pada anak prasekolah, karena anak dengan anamnesis yang tidak
karakteristik dan sekaligus sulit diperiksa. Anak akan menangis terus-menerus dan
tidak kooperatif. Kesalahan-kesalahan ini dapat diperbaiki kalau kita melakukan
kembali anamnesis dengan teliti dan pemeriksaan fisik yang baik (Mantu, 1994).
Perhatikan posisi anak yang terbaring pada meja periksa. Anak menunjukkan
ekspresi muka yang tidak gembira. Anak tidur miring ke sisi yang sakit sambil
melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri
(Kozar dan Roslyn, 1999).
Pada pemeriksaan abdomen seharusnya dengan permukaan tangan yang
mempunyai suhu yang sama dengan suhu abdomen anak. Biasanya cukup
dipanaskan dengan menggosok-gosok tangan dengan pakaian penderita. Tangan
yang dingin akan merangsang otot dinding abdomen untuk berkontraksi
sehingga sulit menilai keadaan intraperitoneal. Terkadang kita perlu melakukan
palpasi dengan tangan anak itu sendiri untuk mendapatkan otot abdomen yang
tidak tegang. Abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi
dinding abdomen dengan ringan dan hatihati dengan sedikit tekanan, dimulai
dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Umpamanya mulai dari kiri atas,
kemudian secara perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah.
Palpasi dengan permukaan dalam (volar) dari ujung-ujung jari tangan, dengan
tekanan yang ringan dapat ditentukan adanya nyeri tekan, ketegangan otot atau
adanya tumor yang superfisial. Waktu melaklikan palpasi pada abdomen anak,
diusahakan mengalihkan perhatiannya dengan boneka atau usaha yang lain,
sambil memperhatikan ekspresi wajahnya. Hindari gerakan yang cepat dan kasar
karena hal ini akan menakuti anak dan membuat pemeriksaan nyeri tekan tidak
mungkin dilakukan (Raffensperger, 1990; Doud, 1993). Pada palpasi didapatkan
titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc Burney dan ini merupakan
tanda kunci diagnosis (Ein, 2000).
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah, apabila
kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan

oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan. Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut
menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. Psoas sign
terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi
pada apendiks. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan
secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan
dan dalam di titik Mc Burney. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh
lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi
kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Colok
dubur juga tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis pada
anak kecil karena biasanya menangis terus menerus (Lally, 2001).
Pada anak kecil atau anak yang iritabel sangat sulit untuk diperiksa, maka
anak dimasukkan ke rumah sakit dan diberikan sedatif non narkotik ringan, seperti
pentobarbital (2,5 mg/kg) secara suppositoria rektal. Setelah anak tenang, biasanya
setelah satu jam dilakukan pemeriksaan abdomen kembali. Sedatif sangat
membantu untuk melemaskan otot dinding abdomen sehingga memudahkan
penilaian keadaan intraperitoneal (Raffensperger, 1990). Gejala lain adalah demam
yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 - 38,5C tetapi bila suhu lebih
tinggi, diduga telah terjadi perforasi (Oak, 2000; Lally, 2001). Menurut Pearl (1995)
penderita apendisitis akut anak yang mengalami demam sebesar 19% kasus,
sedangkan untuk apendisitis perforasi sebesar 55% kasus.
Apendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi dengan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam
b. Demam tinggi lebih dari 38,5C
c. Lekositosis (AL lebih dari 14.000) d. Dehidrasi dan asidosis
d. Distensi
e. Menghilangnya bising usus
f. Nyeri tekan kuadran kanan bawah

g. Rebound tenderness sign


h. Rovsing sign
i. Nyeri tekan seluruh lapangan abdominal
Insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah umur 6 tahun lebih dari 50%,
ini berhubungan dengan dinding apendiks yang lebih tipis dan omentum mayus yang
berkembang belum sempurna dibanding anak yang lebih besar (Doud, 1993; Oak,
2000). Dalam penelitiannya Schwartz (1999) melaporkan bahwa anak di bawah umur
8 tahun mempunyai angka perforasi dua kali lebih besar daripada anak yang lebih
besar. Sedang menurut Way (2003) insidensi perforasi apendiks pada anak di bawah
umur 10 tahun sebesar 50%. Perforasi apendiks paling sering terjadi di distal
obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi antimesenterium (Kozar dan Roslyn, 1999).
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di kuadran
kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi abses
yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Lally,
2001).
4.

Diagnosis
Apendisitis akut adalah diagnosis klinis. Penegakkan diagnosis terutama

didasarkau pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan


hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis.
Diagnosis akan mudah ditegakkan bila mempunyai gejala klasik.
Diagnosis klinis apendisitis mungkin masih salah, berupa apendektomi
negatif sekitar 20% kasus. Angka insidensi apendektomi negatif dari 10-15%
dinyatakan masih bisa diterima untuk menghindari kemungkinan penundaan
diagnosis yang menyebabkan peningkatan morbiditas perforasi apendiks
(Ramachandran, 1996). Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak mempunyai apendiks
normal daripada laki-laki dal-am kasus apenciektomi (Pearl, 1995). Primatesta
(1994) melaporkan bahwa perempuan tiga kali lebih banyak dibanding laki-laki
dalam insidensi kasus apendektomi negatif. Hal ini dapat disadari mengingat
perempuan yang masih sangat muda sering timbul gejala mirip apendisitis akut
terutama penyakit ginekologis.

Hal-hal penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis


akut adalah bahwa apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat.
Dalam beberapa jam sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena
nyeri, penderita biasanya cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak.
Penderita tampak apatis dan menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat,
penderita segera dibawa ke rumah sakit.
5.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada

dasarnya inflamasi merupakan reaksi lokal dari jaringan hidup terhadap suatu
jejas. Reaksi tersebut meliputi reaksi vaskuler, neurologik, humoral dan seluler.
Fungsi inflamasi di sini adalah memobilisasi semua bentuk pertahanan tubuh
dan membawa mereka pada tempat yang terkena jejas dengan cara:
a. mempersiapkan berbagai bentuk fagosit (lekosit polimorfonuklear,
makrofag) pada tempat tersebut.
b. pembentukan berbagai macam antibodi pada daerah inflamasi.
c. menetralisir dan mencairkan iritan.
d. membatasi perluasan inflamasi dengan pembentukan fibrin dan
terbentuknya dinding jaringan granulasi.
Dari keseluruhan proses ini diharapkan akan muncul sinyal-sinyal dalam
pemeriksaan laboratorium. Pada anak dengan keluhan dan pemeriksaan fisik
yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah
adanya lekositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis
menunjukkan pergeseran kekiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari
18.000/mm3

maka

umumnya

sudah

terjadi

perforasi

dan

peritonitis

(Raffensperger, 1990). Menurut Ein (2000) pada penderita apendisitis akut


ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3 dan bila terjadi perforasi
atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3. Pearl (1995)
melaporkan bahwa jumlah lekosit lebih dari 10.00aimm3 ditemukan pada 62%
penderita dengan apendiks normal dan 91% pada penderita dengan apendisitis
akut dan perforasi.
Urinalisa sangat penting pada anak dengan keluhan nyeri abdomen untuk
menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing. Apendiks

yang mengalami inflamasi akut dan menempel pada ureter atau vesika urinaria,
pada pemeriksaan urinalisis ditemukan jumlah sel lekosit 10-15 seUlapangan
pandang (Raffensperger, 1990; Doud, 1993).
6.

Pemeriksaan Radiologi
Pada apendisitis akut, pemeriksaan foto polos abdomen tidak banyak

membantu. Mungkin terlihat adanya fekalit pada abdomen sebelah kanan bawah
yang sesuai dengan lokasi apendiks, gambaran ini ditemukan pada 20% kasus
(Doud, 1993). Kalau peradangan lebih luas dan membentuk infiltrat maka usus
pada bagian kanan bawah akan kolaps. Dinding usus edematosa, keadaan seperti
ini akan tampak pada daerah kanan bawah abdomen kosong dari udara. Gambaran
udara seakan-akan terdorong ke pihak lain. Proses peradangan pada fossa iliaka
kanan akan menyebabkan kontraksi otot sehingga timbul skoliosis ke kanan.
Gambaran ini tampak pada penderita apendisitis akut (Mantu, 1994).
Bila sudah terjadi perforasi, maka pada foto abdomen tegak akan tampak
udara bebas di bawah diafragma. Kadang-kadang udara begitu sedikit sehingga
perlu foto khusus untuk melihatnya. Kalau sudah terjadi peritonitis yang
biasanya disertai dengan kantong-kantong pus, maka akan tampak udara yang
tersebar tidak merata dan usus-usus yang sebagian distensi dan mungkin tampak
cairan bebas, gambaran lemak preperitoneal menghilang, pengkaburan psoas
shadow. Walaupun terjadi ileus paralitik tetapi mungkin terlihat pada beberapa
tempat adanya permukaan cairan udara (air fluid level) yang menunjukkan
adanya obstruksi (Raffensperger, 1990; Mantu, 1994).
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium enema hanya digunakan
pada kasus-kasus menahun. Pemeriksaan radiologi dengan barium enema dapat
menentukan penyakit lain yang menyertai apendisitis. Pemeriksaan dengan
Ultrasonografi (USG) pada apendisitis akut, ditemukan adanya fekalit, udara
intralumen, diameter apendiks lebih dari 6 mm, penebalan dinding apendiks
lebih dari 2 mm dan pengumpulan cairan perisekal. Apabila apendiks mengalami
ruptur atau perforasi maka akan sulit untuk dinilai, hanya . apabila cukup udara
maka abses apendiks dapat diidentifikasi (Oak, 2000).

7.

Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding, diantaranya adalah berasal dari saluran pencernaan seperti


gastroenteritis, ileitis terminale, tifoid, divertikulitis meckel tanpa perdarahan,
intususepsi dan konstipasi. Gangguan alat kelamin perempuan termasuk
diantaranya infeksi rongga panggul, torsio kista ovarium, adneksitis dan
salpingitis. Gangguan saluran kencing seperti infeksi saluran kencing, batu ureter
kanan. Penyakit lain seperti pneumonia, demam dengue dan campak (Doud, 1993;
Oak, 2000).

8.

Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah

apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan


apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%.
Pada apendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah. Penderita anak
perlu cairan intravena untuk mengoreksi dehidrasi ringan. Pipa nasogastrik
dipasang untuk mengosongkan lambung dan untuk mengurangi bahaya muntah
pada waktu induksi anestesi. Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada
semua anak dengan apendisitis, antibiotika profilaksis mengurangi insidensi
komplikasi infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam
selesai pembedahan. Pembedahannya adalah dengan apendektomi, yang dapat
dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Doud, 1993).
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena
perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan anak
sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah, sekuestrasi cairan
dalam rongga abdomen dan febris. Anak memerlukan perawatan intensif
sekurang-kurangnya 4-6m sebelum dilakukan pembedahan. Pipa nasogastrik
dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah. Kalau anak dalam keadaan syok hipovolemik maka diberikan
cairan ringer laktat 20 mUkgBB dalam larutan glukosa 5% secara intravena,

kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi. Setelah
pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan dan
kekurangan cairan. Sebelum pembedahan, anak harus memiliki urin output
sebanyak 1 mUkgBB/jam. Untuk menurunkan demam diberikan acetaminophen
suppositoria (60mg/tahun umur). Jika suhu di atas 38 C pada saat masuk rumah
sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan untuk mengontrol demam.
Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum ada biakan kuman.
Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat berguna untuk kasus-kasus
perforasi apendisitis . Antibiotika diberikan selama 5 hari setelah pembedahan
atau melihat kondisi klinis penderita. Tindakan pembedahan pada kasus
apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai
melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Iviantu, 1994; Ein, 2000).
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan anaerob
spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan. Kombinasi ampisilin
(100mg/kg), gentamisin (7,Smg/kg) dan klindamisin (40mg/kg) dalam dosis
terbagi selama 24 jam cukup efektif untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan
komplikasi apendisitis perforasi. Metronidasol aktif terhadap bakteri gram negatif
dan didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan. Obat ini lebih
murah dan dapat dijadikan pengganti klindamisin (Doud, 1993; Ein, 2000).
9.

Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami

perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi yang
paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling off)
sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler
(Sjamsuhidayat, 1997).
Pada anak sering terjadi perforasi bebas, hal ini disebabkan oleh: (1)
dinding apendiks yang masih tipis, (2) anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang sempurna, (3)
perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Terjadinya
massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi

pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada massa periapendikuler yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi peiryebaran pus ke seluruh
rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis umum (Sjamsuhidayat, 1997).
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik (Way, 2003).
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah pembedahan
sebesar 20.
10.

Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat mengalami

perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi


yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami pendindingan (Walling
off) sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan mesoapendiks, apendiks,
sekum dan lengkung usus yang disebut sebagai massa periapendikuler
(Sjamsuhidayat, 1997).
Pada anak sering terjadi perforasi bebas, hal ini disebabkan oleh: (1)
dinding apendiks yang masih tipis, (2) anak kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan proses pendindingan kurang s;,mpurna, (3)
perforasi berlangsung cepat dan omentum anak belum berkembang. Terjadinya
massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum dan lengkung usus. Pada massa periapendikuler
yang pendindingam-iya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke
seluruh

rongga

peritoneum

jika

perforasi

diikuti

peritonitis

umum

(Sjamsuhidayat, 1997).
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu merupakan
thrombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan abses
hepatik (Way, 2003).

Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya adalah


infeksi. Beberapa tahun yang lalu insidensi infeksi setelah pembedahan sebesar
20, 40%, insidensi ini mengalami penurunan sampai sekitar 5% setelah
digunakannya tripel antibiotika. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada
apendisitis perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah
lokasi, infeksi yang terletak di lokasi pembedahan yang paling sering, yaitu pada
luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua komplikasi ini
bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur penderita, kondisi fisiologis
dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal bisa terjadi setelah pembedahan pada
kasus apendisitis, hal ini disebabkan oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau
adhesi. Infertilitas dapat terjadi pada perempuan dengan apendisitis perforasi
(Doud, 1993; Lally, 2001).
11.

Pro nosis
Meskipun secara teori dikatakan tidak ada kematian akibat apendisitis,

namun ternyata masih sering terjadi mortalitas akibat apendisitis. Faktor yang
mempengaruhi mortalitas apendisitis adalah perforasi terjadi sebelum penanganan
pembedahan dan umur penderita. Angka mortalitas apendisitis anak umur 2 tahun
sebesar 0,1%, pada bayi sebesar 10% dan neonatus sebesar 80% (Doud, 1993;
Kozar dan Roslyn, 1999). Angka morbiditas terjadi pada 1,2% penderita
apendisitis akut dan 6,4% pada penderita apendisitis perforasi (Pearl, 1995).
D.

Sistem skor Alvarado

Diagnosis apendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya


berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak,
orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka apendektomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi
sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996).
Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis
ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk
menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah dengan
instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang

bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan
Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi
ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan
aperidisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi
migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen
kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,2C, lekositosis
dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis
mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masirrgmasing mempunyai nilai 1,
sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice,
1999).
Tabel 1. Skor Alvarado
Faktor Risiko
Gejala
- migrasi nyeri
- nausea dan vomitus
- anoreksia
Tanda
- nyeri kuadran kanan bawah
- nyeri lepas tekan
- temperatur > 37,2C
Laboratorium
- angka lekosit > 10.000
- persentase netrofil > 75%

Skoring
1
1
1
2
1
1
2
1

Penelitian yang dilakukan oleh Amri dan Bermansyah (1997) mengenai


skor Alvarado pada diagnosis apendisitis akut dengan skor pembatas (cut off
point) 6 , didapatkan sensitivitas: 90,90% aan spesifisitas: 75,75% dengan
akurasi diagnostik: 83,33%, Tranggono (2000) melaporkan dengan memakai
skor pembatas (cut off point) 7 didapatkan sensitivitas: 71,43% dan spesifisitas:
69,09% dengan akurasi diagnostik 69,74%. Sedangkan Fenyo melaporkan
sensitivitas: 90,20% dan spesifisitas: 91,40%.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam sistem
skor Alvarado seperti tertulis di atas maka dapat diasumsikan bahwa semakin
lengkap gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau

keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin tinggi, mendekati 10,
ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi. Demikian
pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado semakin rendah,
mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan apendisitis.
E. Klasifikasi Klinikopatologi Cloud
Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari Cloud,
klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan durante operasi
(Cloud, 1993):
1. Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum tampak
adanya eksudat serosa.
2. Apendisitis Supurativa (grade II): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen
pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini
mungkin bisa tampak jelas adanya proses " Walling off " oleh omentum,
usus dan mesenterium didekatnya.
3. Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda supurasi .
didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna keunguan,
kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah
terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen
dengan bau busuk.
4. Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak
obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
5. Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,
abses terbentuk disekitar apendiks yang ruptur biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis
bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud apendisitis akut grade I dan II


belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut grade III,
IV dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS


A. LANDASAN TEORI
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapat disusun landasan teori sebagai
berikut:
A.

Insidensi dan prevalensi kasus apendisitis akut pada anak masih cukup
tinggi, hal ini menggambarkan bahwa kasus apendisitis akut memerlukan
perhatian khusus.

B.

Diagnosis apendisitis akut anak tidak mudah ditegakkan, hal ini


disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter serta
sebagian besar anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami. Keadaan ini akan bisa menghasilkan apendektomi negatif.

C.

Skor Alvarado yang lazim digunakan pada apendisitis akut dewasa


mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi , hal ini bisa
diterapkar. pada apendisitis akut anak.
B. KERANGKA KONSEP

C. HIPOTESIS
1.

Skor Alvarado tinggi merupakan faktor risiico apendisitis akut anak


perforasi.

2.

Skor Alvarado tinggi menggambarkan keparahan klinik apendisitis


durante operasi (klinikopatologi Cloud).

BAB IV. METODOLOGI

A.

Rancangan Penelitian

Desain penelitian adalah studi deskriptif analitik dengan rancangan cross


sectional, melibatican semua kasus apendisitis akut yang dilakukan apendektomi
pada anak. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medik
penderita apendisitis akut yang menjalani operasi di RSUP Dr. Sardjito selama
kurun waktu penelitian.
B.

Waktu

Waktu penelitian antara Januari 2000 sampai Desember 2003.


C.

Tempat

Sub Bagian Bedah Anak RSUP Dr Sadjito Yogyakarta.


D. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah semua penderita anak yang didiagnosis apendisitis
akut selama periode penelitian, dengan demikian semua penderita apendisitis
akut yang dilakukan operasi pada kurun waktu penelitian diikutsertakan sebagai
subyek penelitian.
E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Inklusi : 1. Penderita anak (umur 1-14 tahun)
2.Didiagnosis apendiksis akut dan dilakukan operasi
Eksklusi : 1. Catatan medis tidak lengkap
2. Misalnya: temuan durante operasi tidak lengkap, data variable
Alvarado tidak lengkap
F. Variabel
Variabel bebas : variabel Alvarado yang meliputi anoreksia, nausea,
vomitus, febris, rrugrasi nyeri, nyeri kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan,
lekositosis, dan konfigurasi lekosit bergeser ke kiri (netrvfilia).

Variabel tergantung : klasifik2si klinikopatologis Cloud yang- meliputi


apendisitis simple (grade I), apendisitis supurativa (grade II), apendisitis ganggren
(grade III), apendisitis ruptur (grade IV) dan apendisitis abses (grade V).
Batasan operasional pada penelitian ini :
1. Anoreksia :
Riwayat tidak nafsu makan selama sakit yang tercatat dalam rekam
medik.
2. Nausea/Vomitus :
riwayat muaUmuntah 1-2 kali, muntah tidak proyektil maupun
temuan muaUmuntah yang tercatat dalam rekam medik.
3. Febris :
riwayat demam dengan suhu lebih dari 37,2C maupun temuan
febris pada pemeriksaan fisik yang tercatat dalam rekam medik.
4. Migrasi nyeri :
perpindahan rasa nyeri dari periumbilikal atau epigastrium dan
menetap di abdomen kanan bawah yang tercatat dalam rekam
medik.
5. Nyeri kuadran kanan bawah:
nyeri menetap di abdomen kanan bawah yang tercatat dalam rekam
medik.
6. Nyeri lepas tekan :
nyeri di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setellah sebelumnya dilakukan penekanan yang
perlahan dan dalam di titik Mc Burney yang tercatat dalam rekam
medik.
7. Lekositosis :
jumlah lekosit di atas 10.000 /milimeter kubik darah yang tercatat
dalam rekam medik.
8. Konfigurasi lekosit bergeser ke kiri (netrofilia)

jumlah netrofil lebih dari 75 % yang tercatat dalam rekam medik.

9. Apendisitis Simpel (grade I) :


Stadium ini meliputi apendisitis dengan apendiks tampak normal
atau h:peremi ringan dan edema, belum tampak adanya eksudat
serosa.
10. Apendisitis Supurativa (grade II):
Sering didapatkan adanya obstruksi, apendiks dan mesoapendiks
tampak edema, kongesti pembuluh darah, mungkin didapatkan
adanya petekhie dan terbentuk eksudat fibrinopurulen pada serosa
serta terjadi kenaikan jumlah cairan peritoneal. Pada stadium ini
mungkin bisa tampak jelas adanya proses pendindingan (Walling
off) oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.
11. Apendisitis Gangrenosa (grade III):
Selain didapatkan tanda-tanda supurasi didapatkan juga adanya
dinding apendiks yang berwarna keunguan, kecoklatan atau merah
kehitaman (area gangren). Pada stadium ini sudah terjadi adanya
mikroperforasi, kenaikan cairan peritoneal yang purulen dengan bau
busuk.
12. Apendisitis Ruptur (grade IV):
Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur apendiks, umumnya
sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak obstruksi. Cairan
peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
13. Apendisitis Abses (grade V):
Sebagian apendiks mungkin sudah hancur, abses terbentuk disekitar
apendiks yang ruptur biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari
sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga pelvis bahkan
mungkin seluruh rongga abdomen.
G. Sumber Data
Sumber data adalah rekam medik penderita apendisitis akut anak yang
nenjalani operasi di RSUP Dr. Sardjito selama kurun waktu januari 2000
sampai iengan desember 2003.

H. Alur Penelitian

I. Analisa Data
Untuk data yang bersifat continuous seperti umur, hitung lekosit dan hitung
netrofil akan dianalisis dengan uji t .
Untuk data yang bersifat dichotomus atau discrete seperti jenis kelamin,
febris / tidak febris, migrasi nyeri / tidak migrasi nyeri, nausea dan vomitus/
tidak nausea dan vomitus, anoreksia / tidak anoreksia, nyeri kuadran kanan
bawah / tidak nyeri kuadran kanan bawah dan nyeri lepas tekan / tidak nyeri
lepas tekan akan dianalisis dengan uji x 2 dan untuk mengetahui peran variabel
terhadap terjadinya outcome dianalisis dengan Risiko relatif.
Uji korelasi dengan spearman corelation akan dilakukan untuk mencari
hubungan antara skor Alvarado dengan tingkat keparahan apendisitis durante
operasi (klinikopatologi Cloud).

BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A.

HASIL PENELITIAN

Dari penelitian yang dilakukan selama empat tahun, yaitu dari tahun 2000
sampai dengan tahun 2003 pada penderita apendisitis akut anak yang datang ke
RSUP. Dr. Sardjito, terdapat 76 penderita telah dilakukan operasi. Dari jumlah
tersebut 66 penderita mempunyai catatan medik lengkap, sedangkan sisanya 10
penderita mempunyai catatan medik yang tidak lengkap.
1. Karakteristik subyek
Tabel 2. Distribusi subyek penelitian
Karakteristik

Frekuensi

Persentase

<5

5-10

35

53

> 10

27

41

Laki-laki

35

53

Perempuan

31

47

Umur (tahun)

Jenis kelamin

Dari 66 subyek yang diteliti tampak frekuensi kejadian apendisitis akut


terbanyak pada umur 5 - 10 th yaitu 53%. Berdasarkan umur didapatkan termuda 3
th dan tertua 14 th dengan rerata 9,59 + 2,95.

Tabel 1.3 Gejala Apendistis berdasarkan skor Alvarado

Gejala
1

Frekuensi

Nausea / Vomitus
Ya

4
5

Persentase

66

100

Ya

37

56

Tidak

29

44

Ya

31

47

Tidak
Nyeri kuadran kanan
bawah
Ya

35

53

66

100

Ya

37

56,1

Tidak

39

43,9

Anoreksia

Migrasi nyeri

Nyeri lepas tekan

Febris
Ya

35

53 -

Tidak

31

47

< 10.000

16

32

> 10.000

50

68

< 75%

29

44

> 75%

37

56

Lekosit (per mm

3)

Netrofil

Dalam penelitian ini gejala Nausea atau vomitus dialami oleh semua
penderita apendisitis akut (100%).
Berbeda dengan gejala nausea / vomitus yang dilaporkan oleh semua
subyek, gejala anoreksia ternyata hanya dialami 56% penderita.
Gejala migrasi nyeri ditemukan pada 47% penderita sedangkan
selebihnya (53%) penderita tidak mengeluhkan adanya migrasi nyeri.
Seperti halnya nausea atau vomitus gejala nyeri abdomen kuadran
kanan bawah tampaknya juga merupakan gejala yang dom:nan karena dialami
oleh semua penderita (100%).
Lebih dari separo penderita menunjukkan adanya gejala nyeri lepas
tekan (56,1%) sedangkan selebihnya (43,9%) tidak menunjukkan gejala ini.
Berdasarkan adanya gejala febris terdapat 53% penderita mengalaminya dan
47% penderita tidak febris.
Dalam penelitian ini sebagian besar penderita apendisitis aicut (68%)
memiliki angka lekosit > 10.000/ mm 3 dan hanya sepertiga yang jumlah
lekositnya > 10.000/mm 3 ( 32%). Berdasarkzn jumlah lekosit didapatkan nilai
rentang antara 2000 -41.000/mm 3 dengan rerata 14.630 + 6.340.
Penderita apendisitis akut dengan jumlah netrofil >_ 75% sebesar 56%
dan jumlah netrofil < 75% sebesar 44%. Didapatkan nilai rentang antara 36 95% dengan rerata 74,8 + 13,56.
Tabel 4. Distribusi subyek berdasarkan Skor Alvarado
Skor Alvarado
3
4
5
6
7
8
9
10
Total 1

Frekuensi
2
2
10
8
13
1
11
9
66

Persentasi
3
3
15,2
12,1
19,7
16,7
16,7
13,6
100

Penelitian ini menunjukkan bahwa 2/3 penderita apendisitis akut pada


anak (66,7%) memiliki skor Alvarado > 7, sedangkan skor Alvarado 5 dan 6

ditemukan pada 27,3% subyek. Meskipun kecil proporsinya (6%) ada 4


penderita yang skor Alvaradcnya hanya 3 dan 4.
Tabel 5. Distribusi subyek berdasarkan klinikopatologi Cloud
No
1
2
3
4
5

Klinikopatologi Cloud
A endisitis Akut grade I
Apendisitis Akut grade II
Apendisitis Akut grade III
A endisitis Akut grade IV
Apendisitis Akut grade V
TOTAL

Frekuensi
6
21
17
10
12
66

persentasi
9,1
31,8
25,8
15,2
18,2
100

Dari tabel 5 tampak bahwa sebagiari besar subyek (59,2%) tergolong


sebagai apendisitis akut grade III - V, sedangkan yang tergolong sebagai grade II
sebanyak 31,8%. Meskipun kecil prosentasenya (9,1%) beberapa penderita
termasuk dalam kategori grade I
2. Uji kemaknaan masin - masing karakteristik
Tabe16. Hubungan antara umur dan klinikopatologi Cloud

Dari tabel 6 didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
ratarata umur dengan klinikopatologi Cloud dimana p = 0,489 (p > 0,05). Pada tabel
di atas didapatkan rata-rata umur tertinggi terjadi pada apendisitis akut grade III
(10,53 3,43).
Tabe17. Hubungan antara jenis kelamir dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App rd I
App grd II
Aw rd III
App grd IV
App grd V

Jenis Kelamin
Laki-laki
perempuan
3(8,6%)
3(9,7%)
9(29%)
-12(34,3%)
11(31,4%)
6(19, 4%
5(14,3%)
5(16,1%)
8(25,8%)

0,558

Dari tabel 7 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin tidak ditemukan


adanya perbedaan bermakna dari klinikopatologi Cloud antara laki-laki dan
perempuan p = 0,558 (p > 0,05). Dari tabel di atas didapatkan bahwa penderita lakilaki terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade II (34,3%), sedangkan penderita
perempuan terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade 11 (29%).
Tabel 8. Hubungan antara gejala nausea atau vomitus dan klinikopatologi
Cloud
Klinikopatologi
Nausea atau Vomitus
p
Cloud
ya
A: vi rd I
6(9,1%)
App grd II
21(31,8%)
A rd III
17(25,8%)
App grd IV
10(15,2%)
I App grd V
12(18,2%)
Dari table 8 menunjukkan bahwa semua penderita apendisitis akut mengalami
gejala nausea / vomitus. Penderita yang mengalami gejala nausea / vomitus
terbanyak adalah penderita apendisitis akut grade II (31,8%) dan yang
mengalami gejala nausea / vomitus paling sedikit adalah penderita apendisitis
akut grade I (9,1 %).
Tabe1 9. Hubungan antara gejala anoreksia dun kl:nikapatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Anoreksia
Ya
6(16,2%)
11(29,7%)
9(24,3%)
11 (29,7%)

Tidak
6(20,7%)
15(15,7%)
6(20,7%)
1(3,4%)
1(3,4%)

RR
IK 95
/o
3,04
(1,66-5,57)

< 0,001

Dari tabel 9 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala
anoreksia dan klinikopatologi Cloud p < 0,001. Risiko terjadinya apendisitis
komplikata (grade > 3) pada penderita dengan anoreksia 3 kali lebih besar
dibanding dengan penderita yang tidak anoreksia (risiko relative : 3,04;
interval kepercayaan 95%: 1,66 - 5,57). Penderita yang mengalami gejala
anoreksia ierbanyak adalah apendisitis akut grade III dan grade V masing-masing

29,7%, sedangkan penderita yang tidak mengalami gejala anoreksia terbanyak


terjadi pada apendisitis akut grade II (15,7%).
Tabel 10. Hubungan antara gejala migrasi nyeri dan klinikopatologi Cloud.
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

RR
IK 95 o /o

Migrasi nyeri
Ya
2(6,5%)
7(22,6%)
5(16,1%)
6(19,4%)
11(35,5%)

Tidak
4(11,4%)
14(40%)
12(34,3%)
4(11,4%)
1(2,9%)

1,46
(0,97-2,20)

0 ,006

Tabel 10 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala migrasi
nyeri dan klinikopatologi Cloud dimana p = 0,006 (p < 0,05). Risiko terjadinya
apendisitis komplikata (grade > 3) pada penderita dengan migrasi nyeri 1,46 kali
lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak migrasi nyeri (risiko relatif.
1,46 ; interval kepercayaan 95%: 0,97 - 2,20). Penderita yang mengalami gejala
migrasi nyeri terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade V (35,5%), sedangkan
penderita yang tidak mengalami gejala migrasi nyeri terbanyak pada apendisitis
akut grade 11 (40%).
Tabel 11. Hubungan antara gejala nyeri abdomen kuadran kanan bawah dan
klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Nyeri kuadran
kanan bawah
Ya
6(9,1%)
21(31,8%)
17(25,8%)
10(15,2%)
12(18,2%)

Dari tabel 11 menunjukkan bahwa semua penderita apendisitis akut mengalami


gejala nyeri abdomen kuadran kanan bawah. Penderita yang mengalami nyeri
abdomen kuadran kanan bawah terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade iI.

(31,8%) dan yang mengalam: nyeri abdomen kuadran kanan bawah paling sedikit
terjadi pada apendisitis akut grade I (9,1%).
Tabel 12. Hubungan antara gejala nyeri lepas tekan dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Nyeri Lepas Tekan


Ya
Tidak
6(20,7%)
6(16,2%)
15(15,7%)
11(29,7%)
6(20,7%)
9(24,3%)
1(3,4%)1-1(29,7%)
1(3,4%)

RR
IK 95%
3,04
(1,66 - 5,57)

< 0,001

Dari tabel 12 menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara gejala nyeri
lepas tekan dan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. Risiko terjadinya
apendisitis komplikata (grade > 3) pada penderita dengan nyeri lepas tekan
3 kali lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak mengalami nyeri lepas
tekan (risiko relatif 3,04 ; interval kepercayaan 95%: 1,66 - 5,57). Penderita yang
mengalami gejala nyeri lepas tekan terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade III
dan grade V masing-masing 29,7%, sedangkan penderita yang tidak mengalami
gejala nyeri lepas tekan terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade II (15,7%).
Tabel 13. Hubungan antara Febris dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Febris
Ya
1(2,9%)
6(17,1%)
10(28,6%)
8(22,9%)
10(28,6%)

Tidak
5(16,1%)
15(48,4%)
7(22,6%)
2(6,5%)
2 (6,5%)

RR
IK 95%
2,25
(1,36 - 3,73)

0,003

Pada tabel 13 didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara febris dan
derajat klinikopatologi Cloud p = 0,003 (p < 0,05). Risiko terjadinya apendisitis
komplikata (grade > 3) pada penderita dengan febris 2,25 kali lebih besar dibanding
dengan penderita yang tidak febris ( risiko relatif: 2,25 ; interval kepercayaan 95%:
1,36 - 3,73). Penderita febris terbanyak terjadi pada apendisitis akut grade III dan

grade V masing-masing 28,6%, sedangkan penderita yang tidak febris terbanyak


pada apendisitis akut grade 11 (48,4%).
Tabe114. Hubungan antara jumlah lekosit dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Lekosit
Standar
Mean
Deviasi
9,37
1,62
11,68
4,35
17,51
7,11
17,89
4,08
15,67
7,70

4,64

0,002

Dari tabel 14 didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara rata-rata
jumlan lekosit dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p = 0,002 (p < 0,05).
Pada tabel di atas didapatkan rata-rata jumlah lekosit tertinggi terjadi pada
apendisitis akut grade IV (17,89 + 4,08), sedangkan rata-rata jumlah lekosit
terendah terjadi pada apendisitis akut grade I (9,37 + 1,62).
Tabel 15. Hubungan antara jumlah netrofil dan klinikopatologi Cloud
Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

Netrofil
Standar
Mean
Deviasi
62,10
14,44
67,77
15,42
77,83
9,47
83,15
9,03
82,30
6,38

6,40

< 0,001

Dari tabel 15 didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rata-rata
jumlah netrofil dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. pada tabel
di atas didapatkan rata-rata jumlah netrofil tertinggi terjadi pada apendisitis akut
grade IV (83,15 + 9,03), sedangklan rata-rata jumlah netrofil terendah terjadi pada
apendisitis akut grade I (62,10 + 14,44).

Tabel 16. Hubungan antara skor Alvarado dan klinikopatologi Cloud


Skor alvarado
Standar
Mean
Deviasi
4,67
0,82
5,81
1,29
7,76
0,97
8,90
1,29
9,08
0,79

Klinikopatologi
Cloud
App grd I
App grd II
App grd III
App grd IV
App grd V

32,31

< 0,001

Dari tabel 16 didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara rata-rata
skor Alvarado dengan derajat klinikopatologi Cloud dimana p < 0,001. Dari tabel di
atas didapatkan bahwa semakin tinggi grade apendisitis akut maka semakin besar
rata-rata skor Alvarado.
Tabel 17. Korelasi antara skor Alvarado dan klinikopatologi Cloud
Pearson Correlation
Alvarado

Sig. (2-tailled)

Cloud Class
0,792
0,000

66

66

Pearson Correlation

0,792

Sig. (2-tailed)

0,000

N
Cloud Class

Alvarado
1

66

Dari tabel 17 didapatkan korelasi positif antara skor Alvarado dengan


klinikopatologi Cloud dimana r = 0,792; p < 0,001.
B. PEMBAHASAN
Penelitian selama empat tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2003
di sub unit Bedah Anak FK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta terdapat 66
penderita apendisitis akut anak yang telah dilakukan operasi dan masuk kriteria
inklusi.
Dari 66 subyek yang diteliti frekuensi kejadian apendisitis akut terbanyak
pada umur 5 - 10 tahun yaitu 53%. Berdasarkan umur didapatkan termuda 3 tahun
clan tertua 14 tahun dengan rerata 9,59 + 2,95. Rentang umur ini mendekati

66

temuan Raffensperger (1990) antara 6 - 10 tahun clan Ghoneimi (1994) antara 2 16 tahun. Sedangkan rerata umur juga mendekati temuan Ghoneimi (1994) yaitu
umur 10 tahun.
Pada tabel 6 didapatkan rata-rata umur terjadinya apendisitis akut grade III
(10,53 tahun), grade IV (9,40 tahun) dan grade V (9,75tahun) dimana apendisitis
akut pada grade III, IV, V ini sudah terjadi apendisitis perforasi, penelitian ini
mendekati penelitian yang dilakukan oleh Way (2003) dimana insidensi perforasi
pada apendisitis, terjadi pada anak yang berumur dibawah 10 tahun, hal ini
disebabkan dinding apendiks yang masih tipis dan omentum mayus yang masih
pendek. Menurut Cloud (1993) insidensi apendisitis perforasi terjadi pada anak
dibawah umur 6 tahun, sedangkan menurut Schwartz (1999) dan Pearl (1995)
insidensi apendisitis perforasi terjadi pada anak dibawah umur 8 tahun. Bila
dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud maka tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara umur-dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,489 (p>0,05).
Berdasarkan jenis kelamin (tabel 2) didapatkan penderita laki-laki (53%) dan
penderita perempuan (47%) dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 1 : 0,89,
perbandingan ini hampir sama dengan yang dilaporkan Pearl (1995) dengan
mendapatkan (L : P = 1 : 0,71) dan yang dilaporkan oleh Oak (2000) dengan
mendapatkan (L : P = 1 : 0,67)
Dari penelitian kami berdasarkan jenis kelamin (tabel 7) didapatkan bahwa
penderita laki-laki yang mengalami apendisitis perforasi (grade III, IV, V) sebesar
57,1%, sedangkan penderita perempuan yang mengalami apendisitis perforasi (grade
III, IV, V) sebesar 61,3%. Bila dilakukan analisis tidak didapatkan hubungan yang
bermakna antara jenis kelamin dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,558 (p>0,05).
Menurut Pearl (1995) apendisitis perforasi tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Berdasarkan gejala nausea atau vomitus, pada penelitian kami semua penderita
apendisitis akut mengalaminya (tabel 3), hal ini disebabkan karena anamnesis
sebagian besar dilakukan terhadap orang tua penderita, karena anak belum mampu
mendiskripsikan keluhan secara jelas. Bila dihubungkan der~gan klinikopatologi
Cloud, data ini tidak bisa dianalisis karena semua penderita , mengalami gejala
nausea atau vomitus.

Kozar dan Roslyn (1999) melaporkan bahwa hampir 75% penderita


apendisitis akut disertai dengan nausea atau vomitus, namun jarang berlanjut menjadi
berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
Berdasarkan munculnya gejala anoreksia terdapat 56% penderita mengalaminya dan
44% penderita tidak anoreksia (tabel 3). Menurut Kozar dan Roslyn (1999) bahwa
anoreksia terjadi lebih dari 95% penderita apendisitis akut. Pada penelitian ini risiko
terjadinya apendisitis komplikata (perforasi) pada penderita dengan anoreksia 3 kali
lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak anoreksia, tidak terjadinya
anoreksia kemungkinan disebabkan karena anak belum mampu mendiskripsikan
keluhan secara jelas.
Dari gejala anoreksia bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud
terdapat hubungan yang bermakna antara gejala anoreksia dan klinikopatologi
Cloud dimana p < 0,001.
Dari tabel 3 berdasarkan munculnya gejala migrasi nyeri terdapat 47%
penderita apendisitis akut mengalaminya, hasil ini sedikit berbeda dengan yang
dilaporkan oleh Forrest (1995) dimana penderita apendisitis akut yang mengalami
migrasi nyeri sebesar 66%. Pada penelitian ini risiko terjadinya apendisitis
komplikata (perforasi) pada penderita dengan migrasi nyeri 1,46 kali lebih besar
dibanding dengan penderita yang tidak mengalami migrasi nyeri. Bila dihubungkan
dengan klinikopatologi Cloud maka terdapat hubungan yang bermakna antara
gejala migrasi nyeri dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,006 (p<0,05).
Berdasarkan gejala nyeri kuadran kanan bawah, pada penelitian kami semua
penderita apendisitis akut mengalaminya (tabel 3), temuan ini mendekati hasil
penelitian dari Pearl (1995) dimana lebih dari 95% penderita apendisitis akut anak
mengalami nyeri kuadran kanan bawah. Menurut Raffensperger (1990) dan Ein
(2000) bahwa kunci diagnosis apendisitis akut adalah ditemukannya nyeri pada
kuadran kanan bawah. Bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud, data ini
tidak biasa dianalisis karena semua penderita mengalami gejala nyeri kuadran
kanan bawah.
Pada table 3, berdasarkan gejala nyeri lepas tekan didapatkan 56,1%
penderita mengalaminya dan 43,9% penderita tidak nyeri lepas tekan. Dari tabel
12 didapatkan penderita yang mengalami gejala nyeri lepas tekan terbanyak

terjadi pada apendisitis akut grade III dan grade V masing-masing 29,7%,
sedangkan penderita yang tidak mengalami gejala nyeri lepas tekan terbanyak
yaitu apendisitis akut grade II (15,7%) pada penelitian ini risiko terjadinya
apendisitis komplikata (perforasi) pada penderita dengan nyeri lepas tekan 3 kali
lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak mengalami nyeri lepas tekan .
Bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud maka terdapat hubungan yang
bermakna antara gejala nyeri lepas tekan dan klinikopatologi Cloud dimana
p<0,001.
Pada tabel 13 didapatkan febris yang terja3i pada apendisitis perforasi
(grade III, IV, V) adalah sebesar 80%, sedangkan pada apendisitis simpel (grade
I, II) sebesar 20%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan Pearl (1995), yaitu sebesar 55% untuk apendisitis perforasi,
sedangkan untuk apendisitis simpel hasilnya hampir sama yaitu 19% clan risiko
terjadinya apendisitis komplikata (perforasi) pada penderita dengan febris 2,25
kali lebih besar dibanding dengan penderita yang tidak febris. Bila dihubungkan
dengan klinikopatologi Cloud maka terdapat hubungan yang bermakna antara
febris dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,003 (p<0,05).
Pada penelitian kami berdasarkan jumlah lekosit, penderita apendisitis
akut dengan jumlah lekosit > 10.000/mm3 (lekositosis) sebesar 68% (tabel 3),
hasil ini mendekati hasil penelitian yang dilakukan oleh Goodman et al (1995)
sebesar 79% pada 367 penderita apendisitis akut yang mengalami lekositosis dan
penelitian Vermulen et al (1995) sebesar 83% pada 112 penderita apendisitis akut
dengan lekositosis.
Pada tabel 14 didapatkan bahwa penderita apendisitis perforasi (grade III,
IV, V) mempunyai rata-rata jumlah lekosit 17.000/mm 3, hasil ini mendekati
laporan dari Raffensperger (1990) yang menyatakan bahwa jika jumlah lekosit
lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis.
Penyebab terjadinya apendisitis perforasi pada penelitian kami kemungkinan
karena ketidaktahusn orangtua penderita atau penderita akan penyakitnya,
sehingga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan. Bila dihubungkan
dengan klinikopatologi Cloud maka didapatkan hubungan yang bermakna antara
jumlah lekosit dan klinikopatologi Cloud dimana p=0,002 (p<0,05).

Berdasarkan jumlah netrofil didapatkan bahwa penderita apendisitis akut


dengan jumlah netrofil > 75% sebesar 56% (tabel 3), hasil ini berbeda dengan
hasil penelitian Datuk dan Arnold (1995) yang mendapatkan jumlah netrofilia
sebesar 88,3%. Bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud maka didapatkan
hubungan yang bermakna antara jumlah netrofil dan klinikopatologi Cloud
dimana p<0,001.
Berdasarkan hubungan antara skor Alvarado dan klinikopatologi Cloud
pada tabel 16 didapatkan bahwa semakin tinggi grade apendisitis akut maka
semakin besar skor Alvarado, hasil ini sesuai dengan penelitian dari Win et al
(2003) bahwa penderita dengan risiko apendisitis perforasi mempunyai skor
Alvarado yang tinggi. Bila dihubungkan dengan klinikopatologi Cloud didapatkan
hubungan yang bermakna antara skor Alvarado dan klinikopatologi Cloud dimana
p<0,001.
Dengan analisa korelasi Pearson didapatkan hubungan positif bermakna
antara skor Alvarado dan klinikupatologi Cloud dimana r=0,?92; p<0,001.

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
1. Ada hubungan yang bermakna antara temuan klinis (skor Alvarado) dan
temuan durante operasi (klinikopatologi Cloud) apendisitis akut anak.
2. Klinikopatologi Cloud dan skor Alvarado bisa diterapkan pada kasus
apendisitis akut anak.
B. Saran
Perlu penelitian prospektif untuk mendapatkan data yang akurat dan uji
diagnostik untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas skor_ Alvarado pada
diagnosis apendisitis anak.

DAFTAR PUSTAKA
Alvarado, A. 1986, A Practical score for the early diagnosis of Acute
Appendicitis, Ann. Emerg. Med, 15:5.
Amri, I dan Bermansyah. 1997, Sensitivitas dan Spesifisitas Penggunaan Skor
Alvarado pada Diagnosis Apendisitis Akut, Ropanasuri XXV, 3-4:40-3.
Cloud, D.T. 1993, Appendicitis in : Ashcraft, K.W., Holder, eds. Pediatric
Surgery 2"a ed. WB Saunder Company, Philadelphia, 470-7.
Datuk, S dan Arnold. 1995, Hitung jenis sebagai alat bantu diagnostik pada
penderita Apendisitis akut (suatu penelitian prospektif di RSUP Dr. Cipto
Mangunkusumo), kumpulan makalah seminar, Palembang.
Ein, S.H. 2000, Appendicitis in : Ashcraft, K.W., eds. Pediatric Surgery 3` d e d.
WB Saunders Company, Philadelphia, 571-8.
Forrest, Carter, Macleod. 1995, The Appendix, Principles and Practice of
Surgery 3`a ed. Churchill, Livingstone, 436-42.
Goodman, D.A., Goodman, C.B., Monk, J.S. 1995, Use of the Neutrophil :
Lymphocyte ratio in the Diagnosis of Appendicitis, Am Surg, 61(3): 257-9.
Kozar, R.A., Roslyn, J.J. 1999, Appendix in : Schwartz, S.L, Shires, G.T.,
Spencer, F.C., Doly, J.M., eds. Principles of Surgery 7` h ed. Mcgraw-Hill, New
York, 1383-93.
Lally, K.P., Cox, C.S., Andrassy, R.J. 2001, Appendix in : Towsend, C.M.,
Harris, J.W, eds. Sabiston textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern
Surgical Practise 16`h ed. WB Saunders Company, Philadelphia, 917-26.
Mantu, F.N. 1994, Catatan Kuliah Bedah Anak, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 145-51.
Oak, S.N. 2000, Appendicitis in : Oak, S.N., Chaubal, N.G., Pediatric Surgical
Diagnosis lst ed . Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi, India, 51-3.
Pearl, R.H., Hale, D.A., Molly, M. 1995, Pediatric Appendectomy Journal of
Pediatric Surgery, 30(2):173-81.
Primatesta, P., Goldacre, M.J. 1994, Appendectomy for Acute Appendicitis and
for Other Conditions : an Epidemiological Study, International Journal of
Epidemiology, 23(1):155-9.
Raffensperger, J. 1990, Appendicitis in : Swenson's Pediatric Surgery 5` h ed
Appleton and Lange, 843-53.

Ramachandran, P., Sivit, C.J, Newman, K.D. 1996, Ultrasonography an Adjunct in


the Diagnosis of Acute Appendicitis, Journal of Pediatric Surgery, 31(1):164-9.
Ramirez, J.M., Deus, J. 1994, Practical Score to Aid Decision Making in doubtful
cases of Appendicitis, Br. J. Surg, 81(5):680-3.
Rice, H.E., Arbesman, M., Martin, D.J. 1999, Does Early Ultrasonography Affect
Management of Pediatric Appendicitis? A Prospective Analysis, Journal of
Pediatric Surgery34(5):754-9.
Schwartz, S.I. 1990, Appendix in : Schwartz, S.L, Ellis, H., Husser, W.C, eds.
Maingot's Abdominal Operations 9th ed Connecticut : Appleton and Lange USA,
1307-17.
Seleem, MI, Al-Hashemy, A. Apprasial of The Modified Alvarado Score for Acute
Appendicitis in The Adults,
.
Sjamsuhidayat, R., De Jong, W. 1997, Usus, Kolon dan Anorektum dalam buku
ajar Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 865-75.
Soybel, D.I. 2001, Appendix in : Norton, J.A., Bolinger, R., Chang, A.E., Lowry,
S.F., Mulvihill, S.C., eds. Surgery: Basic Science and Clinical Evidence. New
York USA, 647-663.
Tranggono, U. 2000, Akurasi sistem skor Alvarado dalam menegakkan diagnosis
apendisitis akut, SMFBagian Bedah RSUP Dr. Sardjito/FK UGM, Yogyakarta.
Vermulen, B., Morabia, A., Unger, P.F. 1995, Influence of White Cell Count on
Surgical Decision Making in Patients with Abdominal Pain in the Right Lower
Quadrant, Eur J Surg, 161 (7):483-6.
Way, L. W. 2003, Appendix in : Way, L. W., Doherty, G.M, eds. Current Surgical
Diagnosis and Treatment 11`h ed. A Lange Medical book, McGraw-Hill, 668-72.
Winn, R.D., Laura, S., Douglas, C., Davidson, P., Gani, J.S. 2004, Protocol Based
Approach to Suspected Appendicitis, Incorporating The Alvarado Score and out
Patient Antibiotics, ANZ Journal of Surgery, 74(5):3249.

Anda mungkin juga menyukai