Anda di halaman 1dari 16

Konsep-konsep Dasar Epidemiologi Veteriner

Iwan Willyanto
Bagian Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Epidemiologi Veteriner
Epidemiologi Veteriner adalah suatu ilmu yang mempelajari kejadian penyakit dalam suatu
kelompok atau populasi hewan. Epidemiologi Veteriner menggunakan pendekatan holistik untuk
mencari, mengumpulkan dan menganalisa informasi tentang persamaan dan perbedaan antara
kelompok individu yang memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih tinggi dan mereka yang
memiliki tingkat kejadian penyakit yang lebih rendah, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya,
dalam suatu populasi hewan. Hasil yang diperoleh dari proses ini kemudian digunakan untuk
mengendalikan dan mencegah pengaruh faktor-faktor tersebut serta kecepatan penyebaran
penyakitnya, bahkan sebelum agen penyebab penyakitnya dapat ditentukan dengan pasti. Hal ini
mungkin dilakukan karena pendekatan epidemiologi terhadap penyakit tidak tergantung pada
kemampuan untuk mengidentifikasi agen penyebab penyakitnya secara akurat, melainkan
berdasarkan pada pengamatan tentang perbedaan dan persamaan antara kelompok hewan
penderita dan non-penderita dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang
dapat meningkatkan atau menurunkan resiko terjadinya penyakit.
Dalam penerapannya, Epidemiologi Veteriner digunakan untuk mencari solusi tentang masalahmasalah kesehatan dan penyakit yang terjadi di populasi hewan dengan cara mencari,
mengumpulkan dan menganalisa data yang diperoleh dari populasi hewan tersebut. Namun,
sebelum terbenam dalam kompleksitas analisa data, sebaiknya dimengerti dahulu konsep-konsep
dasar Epidemiologi Veteriner itu. Tanpa didasari oleh pengertian tentang konsep yang benar, kita
tidak akan dapat mengetahui apakah yang diukur dan dianalisa tersebut benar dan masuk akal.
Adapun konsep-konsep dasar itu meliputi: konsep segitiga epidemiologik, spektrum kehebatan
penyakit (gradien infeksi), konsep fenomena gunung es, konsep stabilitas endemik, konsep
kekebalan kelompok, konsep rasio reproduktif dasar, kurva epidemik dan konsep jejaring kausal.

Konsep Segitiga Epidemiologik (Epidemilogic Tiangle (Triad))


Penyakit adalah hasil dari interaksi kompleks (ketidak seimbangan) antara tiga faktor, yaitu agen,
host (induk semang) dan lingkungan (Gambar 1). Komponen-komponen dari interaksi ini
berbeda-beda tergantung pada kondisi spesifik dari masing-masing kelompok hewan. Pada hewan
ternak, ketiga faktor ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor peternakan dan manajemennya,
yang seringkali justru memegang peranan yang paling penting. Pada penyakit yang ditularkan
oleh vektor, peranan vektor tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang berbagai komponen dari ketiga faktor di atas penting, karena dapat dipakai
sebagai sarana untuk mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit melalui pengendalian pada
titik-titik tertentu dalam siklus penularannya. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang
adalah memusatkan perhatian hanya pada salah satu dari ketiga faktor tersebut pada waktu
mengendalikan atau mencegah penyakit.

Pendidikan dan Pelatihan Epidemiologi dan Infolab. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Regional VI, Denpasar, Bali. 25-30 April 2006

Gambar 1. Hubungan Antar Faktor-faktor dalam Segitiga Epidemiologik

Komponen-komponen dari masing-masing faktor adalah sebagai berikut:


Agen

Dosis
Kondisi lingkungan
Virulensi (mikroba)
Infektifitas(mikroba)
Toksisitas (toksin)

Host

Resistensi alamiah (misalnya, barier mukosa lambung, mekanisme transport mukosilier)


Penularan sebelumnya
Status kekebalan pasif (neonatal)
Status vaksinasi dan respon
Umur
Jenis kelamin
Tingkah laku (misalnya, kebiasaan saling membersihan diri, dominasi, pica)
Status produksi (misalnya, laktasi vs non-laktasi)
Status reproduksi (misalnya, bunting vs tidak bunting, steril vs fertil)
Genetik

Faktor host ini dapat dibedakan antara yang bersifat intrinsik (tidak dapat diubah dalam diri
individu hewan) dan ekstrinsik (dapat diubah dalam diri individu hewan).

3
Faktor intrinsik. Sebagai faktor intrinsik, umur memegang peranan yang sangat penting
karena banyak penyakit berubah resikonya akibat berubahnya kondisi fisiologis hewan
dengan bertambahnya umur hewan tersebut. Misalnya, hewan yang baru lahir sangat peka
terhadap berbagai infeksi saluran pencernaan dan pernafasan, tetapi resisitensinya akan
meningkat apabila hewan makin dewasa. Sebaliknya pada waktu fungsi kekebalan tubuh
menurun dengan bertambahnya umur, kepekaan hewan terhadap penyakit akan meningkat.
Akibat perbedaan faktor genetik dari tiap ras hewan, terdapat perbedaan resiko terhadap
penyakit. Demikian pula, beberapa ras hewan tertentu lebih peka terhadap penyakit infeksi
akibat adanya kelainan genetik.
Faktor ekstrinsik. Faktor ekstrinsik ini juga berperanan cukup besar terhadap kemungkinan
terjadinya penyakit. Misalnya, anjing yang tidak diovariohisterektomi, akan beresiko lebih
tinggi dari pada yang mengalami operasi ovariohisterektomi terhadap pyometra dan tumor
mammae. Anjing tersebut cenderung lebih suka berkeliaran mencari pasangannya dan
beresiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksi yang menular (misalnya, canine distemper)
dan tertabrak mobil.
Vaksinasi dapat meningkatkan resistensi individu terhadap penyakit, tetapi proteksinya tidak
berlaku absolut untuk semua vaksin.
Lingkungan
Kepadatan kelompok hewan
Perpindahan hewan dalam kelompok
Kandang (misalnya, ventilasi, sanitasi)
Keadaan lingkungan (misalnya, suhu, kelembaban, kecepatan angin, presipitasi)
Nutrisi (protein, energi dan kecukupan makromineral maupun mikromineral)
Banyak agen infeksius yang peka terhadap sinar ultraviolet matahari dan kekeringan.
Sebaliknya mereka lebih tahan hidup dalam jangka lama dalam lingkungan yang lembab.
Intervensi oleh manusia seringkali berpengaruh besar terhadap perubahan faktor lingkungan
ini. Contohnya:
Peningkatan kepadatan hewan dalam suatu kelompok akan meningkatkan jumlah
mikroba yang ada dalam lingkungan tersebut
Pemasangan atap akan mencegah paparan sinar ultra violet yang dapat mematikannya
Kurangnya ventilasi akan meningkatkan kelembaban yang mempengaruhi efisiensi
pernafasan hewan, meningkatkan daya tahan hidup mikrooganisme, meningkatkan
jumlah mikroorganisme dan bahkan pada gilirannya akan menulari lebih banyak
hewan.

Spektrum Kehebatan Penyakit (Gradien Infeksi)


Karena setiap anggota dari kelompok hewan dipengaruhi oleh salah satu atau beberapa faktor dari
Segitiga Epidemiologik, penyakit dalam suatu kelompok hewan seringkali bermanifestasi sebagai
spektrum yang berkisar mulai dari tanpa gejala klinis  subklinis  klinis  fatal (Gambar 2).
Subklinis berarti gejala penyakit tidak dapat dideteksi tanpa penggunaan uji spesifik, sedangkan
dikatakan klinis apabila gejala penyakit dapat dideteksi pada waktu pemeriksaan klinis rutin.

4
Kehebatan penyakit selalu berubah setiap saat, karena adanya reaksi dari tubuh setiap individu
terhadap penyakit. Selama proses perkembangan penyakit dalam suatu kelompok hewan,
individu-individu yang terpapar pada saat yang berbeda akan berada posisi yang berbeda pula
dalam riwayat perjalanan penyakitnya. Tabel 1 memuat contoh faktor-faktor yang menyebabkan
manifestasi kehebatan penyakit pada tiap hewan berbeda.

Tabel 1. Faktor-faktor yang menyebabkan manifestasi kehebatan penyakit berbeda pada


tiap hewan.

Lower in Severity Spectrum

Higher in Severity Spectrum

Dosis lebih rendah

Dosis lebih tinggi

Dewasa

Neonatal atau tua

Stres lebih rendah

Stres lebih tinggi

Cukup Cu, Se, Vitamin A dan E

Kurang Cu, Se, Vitamins A atau E

Tidak adanya penyakit lain

Adanya penyakit metabolik atau penyakit


lainnya

Tingkat dominasi sosial yang lebih tinggi

Tingkat dominasi sosial yang lebih rendah

Tingkat produksi lebih rendah

Tingkat produksi lebih tinggi

Kekebalan spesifik lebih tinggi

Kekebalan spesifik lebih rendah

Pengertian yang benar tentang perbedaan antara status paparan (exposure), status infeksi dan
status penyakit juga penting (Gambar 2). Kesalahan umum yang sering terjadi adalah mencampur
adukkan antara hasil-hasil uji diagnostik, yang sebenarnya digunakan untuk menentukan status
infeksi (misalnya, uji serologis), dengan uji untuk menentukan status penyakit (misalnya, uji
biokimiawi).
Pengetahuan tentang manifestasi spektrum penyakit dalam suatu kelompok hewan ini penting,
karena posisi individu hewan dalam spektrum berpengaruh sangat besar pada keakuratan uji
diagnosa pada individu tersebut dan dalam keseluruhan kelompoknya. Biasanya, hasil uji akan
semakin akurat bila dilakukan pada hewan-hewan yang berada pada tingkat kehebatan penyakit
yang lebih tinggi.

Status
Paparan
Status Infeksi

Status
Penyakit

Tidak
terpapar

Terpapar
Tidak
terinfeksi

Terinfeksi
Subklinis
(Tidak terlihat
sakit)

Sembuh

Klinis (Terlihat sakit)

Morbiditas

Mortalitas

Ringan

Fatal

Berat

Gambar 2. Status dan Spektrum Kehebatan Penyakit

Konsep Fenomena Gunung Es (Iceberg)


Pada keadaan wabah dari sebagian besar penyakit, selalu dapat dijumpai kasus klinis (puncak
gunung es) maupun subklinis (bagian gunung es yang berada di bawah permukaan laut). Bagi
sebagian besar agen infeksius, khususnya yang bersifat pandemik, terdapat lebih banyak kasus
infeksi bersifat subklinis daripada yang bersifat klinis (Gambar 3). Perkecualiannya hanya pada
kasus seperti rabies, dimana hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali kasus subklinis dan
hampir semua atau bahkan semua kasusnya bersifat klinis dan berakhir dengan kematian.. Konsep
fenomena gunung es tentang distribusi kehebatan penyakit ini juga berlaku untuk kebanyakan
penyakit non-infeksius yang teradi dalam kelompok hewan, misalnya, hypomagnesemia, ketosis
dan hypocalcemia. Penyakit yang terlihat pada satu individu seringkali merupakan bukti dari
adanya fenomena serupa yang terjadi dalam kelompoknya, karena faktor-faktor penyebab
penyakit pada individu tersebut biasanya mengenai individu-individu lainnya juga.

Gambar 3. Fenomena Gunung Es dari penyakit pada kelompok hewan


Pada umumnya, respon terhadap interaksi agen-host-lingkungan yang menyebabkan terjadinya
penyakit biasanya tidak bersifat hitam-putih, melainkan berupa suatu rangkaian yang tidak
terputus-putus, dimana setiap individu menunjukkan derajat kehebatan penyakit yang berbedabeda pada waktu yang berbeda pula, sesuai dengan besarnya pengaruh kombinasi faktor resiko
agen-host-lingkungan yang dialaminya. Bagi setiap masalah wabah, bentuk dari gunung es
(proporsi yang tertular, proporsi yang menunjukkan gejala klinis dan proporsi yang mati) pada
suatu titik waktu yang tertentu, tergantung pada kombinasi spesifik dari agen, host, lingkungan,
vektor (jika ada) dan manajemen peternakan yang berlangsung pada waktu itu.
Karena faktor-faktor ini selalu berubah dari waktu ke waktu (misalnya, respon kekebalan hewan,
respon hewan untuk mengeleminasi infeksinya, perubahan manajemen yang dilakukan oleh
manusia, perubahan lingkungan yang bersifat musiman - dari hari ke hari atau dari tahun ke
tahun), maka bentuk gunung es-nya berubah dari waktu ke waktu. Hal ini akan menyebabkan
usaha penyidikan dan pengendalian wabah menjadi semakin rumit dan menantang kemampuan
dokter hewan untuk mengatasinya.
Mengingat kasus sublinis dari kebanyakan penyakit biasanya lebih banyak daripada kasus klinis,
maka kerugian ekonomis akibat penyakit subklinis biasanya juga lebih besar dari pada kasus
klinis (Gambar 4). Atas dasar itu, komponen penting dari kedokteran hewan populasi pada ternak
produksi adalah berupa penggunaan teknik pengambilan contoh dan uji secara strategis dan
terencana (misalnya, pengambilan contoh pH rumen, uji pH urin, biakan kuman dari susu segar
baik secara individu maupun setelah terkumpul dalam tangki penampungan) untuk mengukur
prevalensi individu yang terkena infeksi subklinis dalam kelompok tersebut yang berpengaruh
pada tingkat produksinya.

Gambar 4. Perbandingan kerugian ekonomis kasus klinis dan subklinis dalam suatu
kelompok hewan produksi.
Selain itu, marginal cost (kerugian yang timbul untuk setiap peningkatan satu unit infeksi) dari
penyakit subklinis biasanya lebih besar dari pada marginal cost penyakit klinis. Hal ini berarti
bahwa kerugian ekonomi dari seekor hewan dari kondisi sehat (infeksi unit 0) ke satu tingkatan
sakit (infeksi unit 1) akan lebih besar daripada dari setiap kenaikan tingkat unit penyakit setelah
hewan terkena sakit (Gambar 5). Terbukti pula bahwa semakin tinggi tingkat produksi awal suatu
kelompok hewan, akan semakin besar marginal cost pada hewan-hewan yang terkena penyakit
dalam kelompok tersebut.

Gambar 5. Marginal cost per unit infeksi

8
Pada waktu menerapkan konsep fenomena gunung es ini, hendaknya dihindari beberapa
kesalahan serius yang timbul akibat dari kesalahmengertian tentang ide dasar konsepnya, yaitu:

Hanya memusatkan perhatian pada hewan-hewan yang secara klinis sakit pada
pertengahan periode wabah. Akibatnya, penderita kasus subklinis (yang tidak terlihat
sakit) akan diabaikan dan dapat menjadi sumber penularan bagi hewan hewan yang sehat.
Sebaiknya semua intervensi (pengobatan, isolasi, pengafkiran) ditujukan tidak hanya
pada hewan yang secara klinis sakit, tetapi pada semua hewan peka yang mungkin
tertular dalam kelompok tersebut.
Menganggap bahwa tidak adanya kasus klinis sebagai tidak adanya penyakit dalam
bentuk apapun atau tidak adanya infeksi (dalam kasus penyakit infeksius). Infeksi
dapat masuk ke dalam suatu kelompok hewan melalui berbagai cara, misalnya, dengan
masuknya hewan subklinis kronik yang menjadi carrier, yang akhirnya akan
menimbulkan kasus klinis, setelah menyebar beberapa saat. Kerugian ekonomis akibat
menurunnya produktifitas biasanya sulit dideteksi atau dibuktikan, sehingga tindakan
untuk mengatasinya baru dilakukan apabila kasusnya berubah menjadi klinis.
Menganggap adanya infeksi bersamaan dengan ditemukannya suatu agen penyakit
sebagai bukti bahwa agen tersebutlah penyebab penyakitnya, tanpa penelitian yang
lebih cermat. Misalnya, pada pertengahan wabah, dokter hewan mengambil contoh
hanya dari hewan yang secara klinis sakit. Bersamaan dengan itu, ditemukan pula bukti
langsung dari adanya infeksi (misalnya, isolasi agen penyebab penyakitnya) atau tidak
langsung (misalnya, titer serologinya). Walaupun demikian, sebaiknya kita tidak gegabah
mengambil kesimpulan bahwa penyakitnya disebabkan oleh agen tersebut atas dasar hasil
isolasi agen penyakitnya saja, kecuali jika (1) agennya selalu bersifat virulen (jarang
sekali terjadi), (2) terdapat bukti bahwa agen ini lebih jarang dijumpai pada hewan yang
tidak sakit daripada yang sakit, atau (3) adanya bukti-bukti spesifik, misalnya, gambaran
histopatologi atau gejala klinis yang patognomonik (khas). Perlu diingat bahwa infeksi
bersamaan dengan agen ubiquitus (yang selalu ada di lingkungan tersebut secara alamiah)
tidak jarang dijumpai. Wabahnya akan terjadi dalam kelompok-kelompok dimana agen
ubiquitusnya beredar diantara hewan-hewan yang peka, misalnya, hewan-hewan yang
baru saja dikelompokkan.
Menganggap bahwa berkurangnya kasus klinis dengan berjalannya waktu sebagai
bukti bahwa intervensi medik veteriner atau manajemen berlangsung efektif.
Hendaknya diingat bahwa penurunan ini dapat terjadi secara alamiah pada sebagian besar
wabah penyakit infeksius tanpa adanya intervensi. Biasanya, jumlah tertinggi kasus
klinis dijumpai pada awal periode wabah. Selanjutnya jumlahnya akan menurun karena
hewan sudah mampu memberikan respon terhadap infeksinya dan jumlah hewan peka
makin berkurang. Kasus klinis dapat menghilang samasekali, walaupun infeksinya masih
menyebar luas dalam kelompok tersebut. Penurunan alamiah ini sering disalah artikan
sebagai bukti efektifitas vaksinasi atau pengobatan yang telah diberikan. Pada sebagian
besar kejadian wabah, sering juga dilakukan perubahan manajemen pada saat wabah
terjadi sehingga sulit untuk memastikan mana intervensi yang efektif dan mana yang
tidak efektif hanya berdasarkan observasi.

Konsep Stabilitas Endemik (Endemic Stabilty)


Pada kondisi penularan dan infeksi yang normal (infeksi dengan dosis rendah pada host yang
sudah memiliki kekebalan), banyak agen-agen infeksi penyakit endemik yang tidak menimbulkan
penyakit klinis pada host yang baru terinfeksi untuk pertama kalinya. Penyakit seringkali timbul

9
akibat rusaknya keseimbangan antara agen-host-lingkungan (misalnya, dosis tinggi oleh agen
yang sangat infeksius, host mengalami stress, kegagalan transfer kekebalan pasif). Timbulnya
penyakit dalam kondisi endemik jarang terjadi sebagai akibat masuknya strain baru yang lebih
infeksius atau virulen. Apabila infeksi endemik semacam itu tidak segera diatasi, maka proporsi
hewan peka akan menjadi lebih besar dari normal, yang pada gilirannya akan mempermudah
timbulnya wabah. Selain itu, perubahan-perubahan lain juga dapat mengacaukan stabilitas
endemik, sehingga dapat menimbulkan wabah penyakit klinis.
Kesalahan yang umum dilakukan orang adalah menganggap bahwa munculnya kasus klinis
secara mendadak merupakan indikasi bahwa suatu agen infeksi baru masuk ke dalam kelompok
tersebut, padahal yang sebenarnya terjadi adalah adanya perubahan ekologi yang tidak disadari
yang menyebabkan timbulnya kasus klinis akibat infeksi oleh agen infeksius ubiquitus yang telah
berada di kelompok tersebut sepanjang waktu. Infeksi oleh sebagian besar agen ubiquitus dapat
terjadi pada suatu saat dalam kehidupan hewan. Asalkan hewan memiliki resistensi yang cukup,
kebanyakan infeksi ini bersifat subklinis dan hewan membentuk kekebalan terhadapnya.
Walaupun demikian, jika dosis agen yang diterima hewan cukup tinggi, maka akan timbul kasus
klinis dan wabah akan terjadi jika lebih banyak hewan peka terinfeksi dari pada hewan normal
(Gambar 6).
Bagi kebanyakan agen infeksius, hewan penderita kasus klinis akan menyebarkan agen dalam
kadar yang lebih tinggi dan lebih lama daripada hewan subklinis. Jadi, dosis infeksinya seringkali
meningkat dengan bertambahnya kasus klinis dan lingkungan hewan akan menjadi makin
terkontaminasi. Akibatnya, semakin banyak infeksi terjadi pada hewan-hewan yang sebenarnya
resisten terhadap infeksi dengan dosis yang lebih rendah dan semakin banyak pula kasus klinis
yang timbul. Kecuali jika kemungkinan penyebarannya dapat dikurangi, jumlah agen penyakitnya
dapat diturunkan, resitensi hewan lainnya ditingkatkan atau jumlah hewan peka habis samasekali,
maka wabahnya akan meningkat seperti lingkaran spiral (Gambar 7).

Gambar 6. Kemungkinan yang terjadi akibat dari suatu tingkatan dosis agen infeksius

10

Gambar 7. Perkembangan Wabah yang Membentuk Lingkaran Spiral

Konsep Kekebalan Kelompok (Herd Immunity)


Penularan kebanyakan penyakit menular infeksius dalam suatu kelompok hewan tidak akan
berlangsung terus apabila proporsi hewan yang resisten dalam kelompok tersebut berada di atas
nilai ambang, yaitu sekitar 70-80%. Batas nilai ambang ini tergantung pada agennya dan faktorfaktor yang mempermudah terjadinya penularan, misalnya, kepadatan hewan dan jumlah agen
penyakitnya. Resistensi dapat berupa kekebalan pasif (antibodi perolehan), kekebalan aktif
(penularan sebelumnya atau imunisasi) atau resistensi alamiah. Sebaliknya, jika kepadatan hewan
atau jumlah agennya sangat tinggi, semua individu dalam suatu populasi pada dasarnya akan peka
terhadap infeksi, walaupun telah mendapat vaksinasi yang secukupnya.
Kesalahan yang umumnya terjadi adalah adanya anggapan bahwa karena suatu vaksin sudah
diakui oleh pemerintah dan dipasarkan secara legal, maka vaksin tersebut akan efektif.
Kenyataannya adalah ada beberapa vaksin hewan yang efektifitasnya meragukan (bisa efektif
atau tidak) atau sama sekali tidak efektif. Banyak orang tidak menyadari, bahwa di beberapa
negara (bahkan di USA) bukti efektifitas vaksin di lapangan tidak merupakan prasyarat untuk ijin
peredaran vaksin dan apabila vaksinnya terbukti tidak efektif di lapangan, jarang sekali hal itu
menyebabkan vaksinnya harus ditarik dari peredaran.

Konsep Rasio Reproduktif Dasar (Basic Reproductive Ratio)


Rasio Reproduktif Dasar (R Zero atau R0) adalah jumlah rata-rata hewan peka yang tertular
oleh setiap hewan penular. Ini merupakan suatu ukuran tentang seberapa mudahnya penularan
oleh suatu agan infeksius.
Agar penularan infeksi terus berlanjut, rata-rata setiap hewan tertular harus dapat menulari satu
atau lebih hewan peka. Apabila setiap hewan dapat menulari lebih dari satu, maka wabah akan

11
meningkat secara ekponensial. Sebaliknya, jika rata-rata setiap hewan menulari kurang dari satu
hewan lain, maka wabahnya akan mereda. Jika rata-rata setiap hewan hanya menulari seekor
hewan lainnya, maka, dalam suatu populasi yang besar, wabahnya akan berkembang dengan
kecepatan yang konstan.
Dalam jangka panjang, diperlukan R0 yang sama atau lebih besar dari satu (R0 1) agar suatu
agen infeksius dapat bertahan hidup dalam kelompok hewan tersebut. Jika rasio tersebut dapat
diturunkan sampai kurang dari satu inilah yang kita kehendaki, maka lama kelamaan agen
penyakitnya akan dapat dibasmi dari kelompok tersebut. Tujuan utama dari strategi pengendalian
dan pencegahan penyakit infeksius adalah untuk menurunkan R0 sampai di bawah satu, bahkan
kalau mungkin sampai nol.
Penurunan R0 dapat dilakukan pada setiap titik dari siklus penularan dengan cara:
Mengurangi atau menghilangkan kemungkinan penyebaran agen oleh hewan yang
tertular. Misalnya, dengan cara mengobati atau menyingkirkan hewan tertular.
Walaupun demikian, deteksi hewan-hewan tertular ini tidak selalu mudah, terutama jika
mereka selalu dalam kondisi subklinis.
Mengurangi jangka waktu kehidupan agen di lingkungan. Misalnya, dengan menjaga
sanitasi, menjemur di bawah sinar matahari atau mengeringkan lingkungan.
Mengurangi atau menghilangkan kontaminasi sarana tranportasi dan penularan
oleh bahan-bahan yang berasal dari kandang yang tertular. Misalnya, mencegah
kontaminasi oleh pakan dan air serta tindakanan sanitasi yang memadai terhadap bahanbahan yang bersentuhan dengan mulut hewan atau lubang-lubang pengeluaran yang lain.
Pada umumnya kita harus menerapkan tindakan pengamanan pakan (food safety) secara
benar untuk semua pakan hewan, karena banyak diantara mereka dapat mendukung
terjadinya perkembang biakan food-borne pathogen apabila cukup lembab dan panas.
Bahan-bahan berasal dari kandang, seperti truk pengangkut ternak, seringkali kurang
diwaspadai sebagai sumber penularan penyakit.
Mengurangi populasi vektor atau mencegah terpaparnya hewan peka terhadap
vektor (pada penyakit yang ditularkan oleh vektor). Misalnya, dengan penggunaan
pestisida, menyingkirkan hewan dari lokasi perkembang biakan vektor. Perlu diingat
bahwa banyak vektor yang cepat menjadi resisten terhadap pestisida dan pestisida juga
membunuh banyak serangga yang menguntungkan. Untuk mengurangi populasi vektor
penyebab penyakit dalam jangka panjang, sebaiknya digunakan cara yang dapat merusak
beberapa titik dalam siklus hidup vektor daripada hanya satu titik seperti yang biasanya
dipakai orang saat ini.
Mengurangi kemungkinan terpaparnya hewan-hewan peka. Misalnya, dengan
menurunkan tingkat kepadatan hewan (untuk agen yang ditularkan secara kontak),
meningkatkan ventilasi kandang tertutup (untuk agen yang ditularkan melalui udara),
mencegah kontaminasi pakan dan air, isolasi hewan tertular selama periode sakit klinis
dan carrier, mengusahakan agar umur hewan dalam satu kelompok seragam. Usaha
pengendalian dan pencegahan semacam ini sering mensyaratkan adanya perubahan
manajemen peternakan dan perkandangan, yang biasanya sulit atau enggan untuk
dilakukan.
Meningkatkan resistensi hewan-hewan peka. Misalnya, vaksinasi dengan vaksin yang
efektif, memaksimalkan terjadinya transfer antibodi maternal, pemberian nutrisi
seimbang (khususnya mikromineral dan vitamin yang berperanan penting dalam sistem
kekebalan tubuh).

12
Peternakan modern dan perubahan lingkungan yang berkaitan dengannya seringkali dapat
meningkatkan R0 secara dramatis, khususnya bagi agen-agen infeksius yang mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang sangat drastis tersebut.
Pada waktu yang lampau, tindakan vaksinasi terlalu ditekankan sebagai satu-satunya cara untuk
mengendalikan dan mencegah wabah penyakit, dan perhatian kurang diarahkan pada manajemen,
seperti desain kandang, pengendalian kontak antar hewan dan praktek sanitasi dasar yang benar.
Pemutusan rantai siklus penularan suatu penyakit atau rantai penyebab penyakit pada beberapa
titik kritisnya akan meningkatkan biosekuritas kelompok hewan, karena jika usaha intervensi di
salah satu titik gagal, pengendalian masih dapat dilakukan melalui intervensi di titik-titik lainnya.
Walaupun kebanyakan vaksin dapat mengurangi jumlah kasus klinis dan jumlah infeksi yang
mungkin terjadi pada waktu wabah, pencegahan ini tidaklah bersifat mutlak. Sebagian besar
vaksin tidak mencegah semua penularan, melainkan hanya mengurangi jumlah hewan yang
tertular, menurunkan jumlah kasus klinis dan mengurangi jumlah dan lamanya penyebaran bibit
penyakit dari hewan tertular.

Kurva Epidemik (Epidemic curves)


Kurva epidemik adalah gambaran dari jumlah atau proporsi hewan tertular pada suatu kelompok
hewan dalam suatu periode waktu tertentu. Kurva epidemik berguna untuk menentukan jenis
paparan dan jenis penularan yang terjadi pada suatu wabah. Informasi semacam ini berguna untuk
menentukan kemungkinan penyebab wabahnya dan usaha apakah yang mungkin dilakukan untuk
menghentikannya.
Terdapat 4 bentuk standar kurva epidemik, yaitu sporadik, endemik, propagating epidemic dan
point epidemic. Pada wabah yang bersifat sporadik, hanya sejumlah kecil kasus yang muncul
dalam waktu yang singkat. Hal ini menandakan bahwa proses penyakitnya tidak menular. Pada
keadaan endemik, kasus penyakit selalu dijumpai sepanjang waktu.
Propagating epidemic muncul apabila hewan tertular menyebarkan infeksinya ke hewan peka.
Dalam keadaan ini, penularan pada hewan peka tidak terjadi seketika, melainkan dalam suatu
periode waktu tertentu. Wabahnya berlangsung dalam kelompok tersebut selama periode waktu
yang jauh lebih panjang daripada periode inkubasi pada umumnya. Adanya suatu perubahan
keseimbangan faktor agen-host-lingkungan akan meningkatkan R0 dan infeksinya sehingga
kasusnya berubah dari keadaan subklinis menjadi klinis. Karena kasus-kasus klinis biasanya
menyebarkan lebih banyak agen infeksinya daripada kasus subklinis, tingkat kontaminasi
lingkungan akan meningkat, yang selanjutnya akan meningkatkan dosis infeksi ke individuindividu lainnya dalam kelompok tersebut. Dengan semakin banyak kasus klinis, maka semakin
meningkat pula wabahnya (Gambar 8).
Pada point source epidemic sejumlah besar kasus muncul dalam jangka waktu yang relatif
singkat, tetapi penyakitnya akan menghilang setelah itu. Bila agen penyebabnya bersifat
infeksius, infeksinya harus terjadi dengan dosis yang cukup tinggi sehingga mampu menimbulkan
penyakit klinis pada sebagian besar hewan peka. Jadi, indeks Rasio Reproduktif Dasar (R0)
awalnya sangat tinggi. (Gambar 8).

13

Gambar 8. Kurva Propagating Epidemic dan Point Source Epidemic

Konsep Jejaring Kausa (Causal Web)


Dasar dari penyelidikan epidemiologi adalah asumsi bahwa penyakit tidak terjadi secara acak.
Karena itu penyelidikan epidemiologi ditujukan untuk mengidentifikasi hubungan sebab-akibat
dan faktor-faktor resikonya. Biasanya, penyakit terjadi bukan sebagai akibat dari satu penyebab
tunggal, melainkan oleh suatu rangkaian penyebab yang bekerja secara bersamaan atau
berinteraksi satu dengan yang lain melalui suatu mekanisme yang kompleks. Agar hal tersebut
dapat dimengerti dengan jelas, maka diperlukan suatu cara yang dapat menggambarkan interaksi
yang terjadi dalam bentuk suatu jejaring yang disebut jejaring kausa. Pada dasarnya, jejaring
kausa ini berupa suatu kerangka berpikir tentang hubungan antara penyebab-penyebab dan antara
penyebab dan akibatnya, yang nantinya dapat dipakai sebagai acuan untuk mengembangkan
strategi pengendalian dan pencegahan penyakitnya. Peranan dari setiap komponen dalam jejaring
tersebut tergantung pada faktor-faktor yang terlibat pada suatu situasi yang tententu. Tugas dari
penyelidikan epidemiologi adalah untuk memilah-milah faktor-faktor manakah yang memegang
peranan paling penting pada situasi tertentu dan manakah diantara faktor-faktor utama ini yang
paling mudah untuk diubah. Sebagai contoh adalah jejaring-jejaring kausa bronchopneumonia
yang terjadi di USA di bawah ini, yang menunjukkan bahwa, walaupun mekanisme patofisiologi
dasar antara keduanya serupa, tetapi critical control points-nya sangat berbeda antara pedet yang
dipelihara dalam kandang-kandang dalam ruang tertutup (Gambar 9) dan pedet yang dipelihara di
padang feedlot terbuka (Gambar 10).

14

Gambar 9. Jejaring Kausa dari Faktor-faktor Resiko Bronchopneumonia pada Pedet yang
Dipelihara di Kandang dalam Ruang Tertutup

15

Gambar 10. Jejaring Kausa dari Faktor-faktor Resiko Bronchopneumonia pada Pedet yang
Dipelihara di Feedlot

Penutup
Pada waktu menghadapi wabah penyakit dalam kelompok hewan di lapangan, kita harus berpikir
secara luas. Kita harus mempertimbangkan segala faktor yang mungkin mempengaruhi kejadian
dan tingkah laku penyakitnya. Hal ini tidak selalu mudah, karena kita terbiasa untuk menganggap
bahwa penyakit bermanifestasi hanya menurut cara yang tertentu saja. Kita sering lupa bahwa
sistem peternakan tidaklah konstan, melainkan dinamis (selalu berubah). Meskipun kebanyakan
penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit yang biasa terjadi di tempat itu, selalu terdapat
kemungkinan bahwa bibit penyakit baru muncul atau bibit penyakit yang ada berevolusi terus
menerus menjadi semakin virulen dan kuat dalam usahanya untuk dapat bertahan hidup.
Lingkungan alamiah maupun buatan manusia berubah, demikian pula hewan yang hidup di
dalamnya. Tidaklah heran jika faktor-faktor penyebab dan kejadian penyakitnya juga selalu
berubah. Untuk dapat mengatasi hal itu, tidak ada jalan lain bahwa pendekatan kita terhadap

16
penyakit juga harus berubah. Disinilah pengetahuan tentang konsep-konsep dinamika penyakit
dalam kelompok hewan berperan penting.

Kepustakaan
Gay, J.M. (2005). Epidemiology Concepts for Disease in Animal Groups. College of Veterinary
Medicine,
Washington State University.
http://www.vetmed.wsu.edu/coursesjmgay/EpiMod2.htm.
Martin, S.W. (1990). Concepts of Epidemiology and Its Role in Health Management. In:
Kennedy, D. (Editor). Epidemiological Skills in Animal Health. Refresher Course for
Veterinarians. Proceedings 143. Post Graduate Committee in Veterinary Science,
University of Sydney, Sydney, Australia. pp. 19-25.
Martin, S.W., Meek, A.H. and Willeberg, P. (1987). Veterinary Epidemiology. Iowa State
University Press, Ames, Iowa, U.S.A.
Pfeiffer, D.U. (2002). Veterinary Epidemiology An Introduction. Epidemiology Division,
Department of Veterinary Clinical Sciences, The Royal Veterinary College, University of
London, UK.
Stevenson, M. (2005). An Introduction to Veterinary Epidemiology. EpiCentre, IVABS, Massey
University, New Zealand.
Thrushfield, M. (1995) Veterinary Epidemiology. 2nd Edition. Blackwell Science, Oxford,
England.

Anda mungkin juga menyukai