Anda di halaman 1dari 12

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA SELAMA MENJALANI PROSES HUKUM

DISUSUN OLEH

ADLINA PUTRIANTI
1102011010

BLOK ELEKTIF
BIDANG KEPEMINATAN : DOMESTIC VIOLENCE
KELOMPOK : 4
TUTOR : dr. Yenni Zulhamidah M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI


2014 - 2015

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


SELAMA MENJALANI PROSES HUKUM

ABSTRACT
Objective : Domestic violence can be described as the power misused by one adult in a relationship to control
another. It is the establishment of control and fear in a relationship through violence and other forms of abuse. The
safety of the victims are often being the reason of the case to move forward. Government have to take a higher
priorities to ensure the safety of the victims of domestic violences Method : The method used in this report is a case
study utilizing data observation and exploration from several sources like articles and books. Design : A woman
becomes a victim of domestic violence committed by her husband causing her to sustain some injuries on her parts
of her body and also experienced shock that makes her needing a protection. Discussion and Conclusion :
Violence experienced by women could become a traumatic event which is not easily surmountable, and if it is
insurmountable healthily, the victim might suffer from psychological trauma. In order to overcome such an event,
the victim who, according to the discussion on the case report are women- need a safe place or facilities to whom
they can file their complain and ask for protection. Giving the victim strength to keep going with her case so the
perpetrator can be executed is needed as well as shelter for the victims to stay.
Keyword : domestic violence, victim, women, protection, safe house

LATAR BELAKANG
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat dideskripsikan sebagai kekuatan yang
disalahgunakan seseorang untuk mengatur orang lain. Munculnya rasa takut dan rasa
mengendalikan dalam suatu hubungan dengan kekerasan atau bentuk lainnya adalah tanda
adanya KDRT. Bentuk dari KDRT bisa seperti kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekearasan
social, kekerasan finansial, atau pelecehan sosial. ( Kaur & Garg, 2008 )
Menurut UU KDRT NOMOR 23 TAHUN 2004 Pasal 1 Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Iingkup rumah tangga.
Kekerasan yang dialami oleh perempuan dapat menjadi peristiwa traumatik yang tidak
dapat diatasi dengan mudah, bahkan jika hal tersebut tidak dapat teratasi secara sehat maka
korban tersebut dapat mengalami gangguan trauma psikologis. Namun sebaliknya, apabila
masalah tersebut dapat diatasi secara sehat dan efektif maka trauma psikologis dapat dipulihkan
juga akan membuka kemungkinan untuk tumbuhnya kemampuan individu dalam
meminimalisasi dan mengatasi dampak buruk suatu bencana (resiliensi). Oleh sebab itu penting
bagi korban KDRT khususnya perempuan maupun anak untuk mendapat pendampingan dan
perlindungan baik secara hukum, medis dan psikologis. ( Herdiana, 2012 )
Perlindungan dan penanganan inilah yang akan selanjutnya dibahas dalam case report
ini untuk memberikan informasi terhadap korban korban KDRT terutama perempuan agar
kedepannya korban KDRT bisa mendapat dukungan untuk menjalani proses hukum dan
melanjutkan kehidupannya lebih baik.

DESKRIPSI KASUS
1

Senin, 18 Agustus 2014 pada pukul 14.00 siang, Ny. AM ( Pelapor ) saat itu berjanji
bertemu dengan Tn. A ( Terlapor ), suami pelapor, di rumah tante terlapor di daerah Jl. Pinang
II no. 32 Kel. Pondok Labu Jakarta Selatan. Saat itu pelapor ingin bertemu untuk menagih
hutang terlapor karena telah merusak HP pelapor pada pertengkaran sebelumnya.
Pelapor baru menikah pada bulan Februari 2014, dan semenjak menikah, terlapor
sudah mulai melakukan kekerasan terhadap pelapor. Pelapor mengaku tidak pernah mendapat
nafkah selama menikah.
Lalu pada saat terjadi pertengkaran suami korban marah dan memukul korban dengan
tangan kosong, Korbanpun segera keluar rumah tetapi kemudian tangan korban ditarik dan
terlapor berkata mau apa kamu? Kembali ke mantan suamimu itu? sambil memegang
handphone Ny. AM, Kau saja sana yang kembali pada mantan istrimu yang sudah mati! balas
Ny. AM. Seketika emosi pelapor meningkat dan membanting handphone korban.
Ketika bertemu di rumah tante Tn. A, korban meminta ganti handphonenya sejumlah
1.300.000 rupiah tetapi terlapor berkata ia tidak punya uang dan hanya bisa mengganti
sejumlah 500.000 rupiah. Korban lalu meminta tv terlapor sebagai jaminan. Terlapor marah dan
mulai berteriak Lo pikir harga TV berapa? lalu mencekik leher korban dan menampar kedua
sisi pipi korban lalu mencengkram tangan korban. Tante terlapor yang saat itu sedang membuat
minuman, kemudian dating karena suara teriakan terlapor dan melerai keduanya.
Korban lalu langsung melapor ke Polres Jakarta Selatan, dan saat ini tinggal bersama
orang tua korban, karena takut untuk kembali ke rumah.

DISKUSI
Harus diakui, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
merupakan terobosan progressif dalam sistem hukum pidana, tetapi dalam pelaksanaannya masih
menitikberatkan pada penghukuman pelaku. Kalau ini terjadi pada suami maka pihak korban
(isteri) akan berfikir panjang untuk meneruskan tuntutannya karena relasi suami isteri yang ada
diantara mereka. Di samping itu, aparat penegak hukum masih memandang KDRT sebagai delik
aduan sehingga selalu diarahkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Sikap nonreporting korban, khususnya perempuan sangat erat dengan posisi korban
sebagai subordinasi dalam rumah tangga, yang tidak dengan segera mengambil keputusan
meskipun hal tersebut untuk menolong dirinya sendiri. Dalam paktiknya penafsiran hakim
terhadap bentuk kekerasan, sangat ditentukan oleh apa yang terlihat saja, sehingga kekerasan
psikis juga diukur dengan kondisi fisik korban sehari-hari. Beberapa kendala dalam Penanganan
Korban KDRT, meliputi:
Pertama, kasus KDRT yang dilaporkan korban, kerapkali tidak ditindaklanjuti karena
korban ragu-ragu atau tidak mengerti bahwa hal yang dilaporkan itu adalah tindak pidana.
Demikian halnya terhadap kasus yang telah diproses pihak Kepolisian pun acapkali ditarik
kembali dengan berbagai macam alasan, misalnya karena korban merasa sudah memaafkan
2

pelaku, ketergantungan ekonomi terhadap pelaku, KDRT masih dianggap sebagai aib keluarga;
Kedua, beda pemahaman antar penegak hokum terhadap bentuk KDRT; tentang mekanisme
pemberian perlindungan dan belum semua pihak mendukung upaya perlindungan terhadap
korban KDRT; Ketiga, lamanya rentang waktu antara kejadian dan visum, sehingga hasil visum
menjadi kurang mendukung terhadap proses hukum; Keempat, masalah penganggaran untuk
sosialisasi ke daerah yang sulit dijangkau, sehingga frekuensi tidak memadai, dan pendanaan
shelter baik untuk bangunan maupun operasionalnya; Kelima, penanganan kasus KDRT belum
dianggap prioritas, sehingga pembentukan PPT masih tersendat; Keenam, substansi pemidanaan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 44 dan Pasal 49 UU PKDRT belum mengandung
efek jera. Dalam beberapa kasus (khusunya KDRT psikis) hakim menjatuhkan pidana cukup
ringan karena hanya melihat kondisi luar korban tanpa mencoba menggali penderitaan korban (di
dalam). ( Abdurrahman, 2010 )
Data yang didapatkan dari LBH APIK mengenai kasus KDRT sepanjang 2011
menunjukkan bahwa kecenderungan korban mengalami beberapa jenis kekerasan dalam waktu
yang bersamaan adalah sangat besar.
Tabel 1. Data Kasus KDRT Tahun 2011
N

Jenis Kekerasan

Jumah

Presentase

1
2
3
4
5
6
7
8

Fisik, Psikis
Fisik, Psikis, Ekonomi
Fisik, Psikis, Ekonomi, seksual
Fisik, Psikis, Seksual
Psikis
Psikis, Ekonomi
Psikis, Ekonomi, Seksual
Psikis, Seksual
TOTAL

30
29
5
3
35
37
5
3
147

20,4
19,7
3,4
2,0
23,8
25,2
3,4
2,0
100

o.

Sumber : website LBH APIK (http://www.lbh-apik.or.id/Laporan%20Catahu


%202011%20-%20LBH%20APIK%20Jkt%20-%20revisi.pdf)
Dengan adanya UU PKDRT, isu kekerasan di dalam rumah tangga menjadi isu publik.
Hal ini juga dapat dilihat dengan peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan. Catatan
tahunan Komnas Perempuan sejak tahun 2001 s.d. 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan
adalah sebanyak 5 kali lipat. Sebelum UUPKDRT, yaitu dalam rentang 2001-2004, jumlah yang
dilaporkan adalah atau sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UUPKDRT,2005-2007,
terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.

Gb.1 grafik pelaporan kasus kdrt sebelum dan sesudah lahirnya UU PKDRT.

Sumber : dari http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2009/02/catatantahun-kekerasan-terhadap-perempuan-2007.pdf

Perlindungan Korban KDRT


Statistik Mitra Perempuan Womens Crisis Centre tahun 2011 (hingga 10 Desember)
mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 209 orang perempuan dan
anak-anak yang mengalami kasus kekerasan, terutama 90,43% merupakan kasus-kasus
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor
dan wilayah lainnya sebagaimana dilarang dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam UU PKDRT dikenal dua perlindungan:
(1) Perlindungan Sementara,
(2) Perlindungan Pengadilan (PP)
Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian
dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perlindungan dari
pengadilan. Sementara itu PP adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban (Pasal 1 ayat 6).
Walaupun sudah tertulis dalam UUPKDRT, Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu didapatkan dan
bagaimana diberikan. Bagi korban yang status sosial ekonominya lebih tinggi atau institusi dan
lembaga selaku penegak hukum, tentu persoalan mendapatkan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan
dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan
terhadap korban KDRT.
UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.
Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi
melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh
institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi,
mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi atau meja sidang.
4

Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting
dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.5
Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang
bersifat sementara dan perlindungan
dengan penetapan pengadilan serta pelayanan.
Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya
masing-masing (LBH APIK Jakarta) :
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama 7
(tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib
meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara
oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan, sosial, relawan
pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pelayanan terhadap
korban KDRT ini harus menggunakan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan
sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.
Pemerintah dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu,
kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan
dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan
terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan
dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi
dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan
mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah perlindungan
yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan
penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh)
hari apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya
mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan
juga dapat memberikan perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin
timbul terhadap korban.
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap
pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil
pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian
atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai
alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan memberi
rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga
terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban untuk
mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban
memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara
psikologis dan fisik kepada korban.
5

7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan mengenai hak,
kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Bentuk perlindungan
dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum implementatif dan teknis oparasional yang
mudah dipahami, mampu dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas
pemerintah untuk merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan
pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh
dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah
apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor
pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.
Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40
1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan
merehabilitasi kesehatan korban.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.
Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun
2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah :
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik
secara fisik maupun psikis.
PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan pemulihan ialah:
Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT.
PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :
Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan
pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk
menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban.
Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik
nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam
melakukan upaya pemulihan korban KDRT.
PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban
meliputi :
a) Pelayanan kesehatan
6

b) Pendampingan korban
c) Konseling
d) Bimbingan rohani
e) Resosialisasi
Lembaga sosial
Lembaga sosial dalam hal ini ialah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap
masalah kekerasan dalam rumah tangga misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum (penjelasan
pasal 10 huruf a UUPKDRT). Pada dasarnya lembaga sosial ini bukanlah lembaga sosial yang
langsung memiliki fokus kegiatan kepada masalah kekerasan dalam rumah tangga tetapi
umumnya lembaga sosial ini terlebih dahulu memfokuskan kegiatannya kepada perempuan atau
dari aspek kehidupan lainnya.
Misalnya LBH-APIK (asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), salah satu lembaga
sosial yang memiliki fokus perhatian dalam bidang hukum. LBH-APIK memiliki kegiatan
seperti bantuan hukum, pendidikan dan penyadaran hukum yang semua kegiatan itu berfokus
kepada perempuan.
1.

2.
3.
4.
5.

1.
2.
3.
4.

Dalam hal ini perlindungan korban yang dilakukan oleh lembaga sosial berfungsi :
Untuk membantu korban KDRT menuntut yang menjadi haknya yaitu kompensasi (ganti rugi
bersifat keperdataan yang timbul karena permintaan korban, dibayar masyarakat yang
merupakan pertanggungjawaban masyakat/negara) dan restitusi (ganti rugi bersifat pidana,
timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar terpidana yang merupakan wujud
pertanggungjawaban terpidana).
Untuk memandirikan korban KDRT memenuhi kebutuhan ekonominya dan pemberian
skill/kemampuan yang dapat dimilikinya.
Untuk mengembalikan rasa percaya diri yang dialami korban KDRT agar mampu bersosialisasi
dengan masyakat.
Untuk membantu memulihkan keadaan korban KDRT.
Untuk mempersiapkan perempuan korban KDRT agar menjadi penolong bagi korban KDRT
lainnya.
Tujuan utama perlindungan korban dalam hal ini adalah menguatkan korban kekerasan
dalam rumah tangga agar lebih berdaya baik secara fisik maupun secara psikis dan kemampuan
ekonomi dan bersosialisasi serta mendapatkan ganti kerugian yang dialami korban kekerasan
dalam rumah tangga.
Manfaat yang diperoleh dalam perlindungan korban ini ialah:
Korban mendapat haknya sebagai ganti rugi yang dialaminya.
Korban KDRT mampu memenuhi kebutuhannya tanpa bergantung penuh kepada suami.
Korban KDRT dapat menjadi penolong bagi korban KDRT lainnya dan dapat mengurangi serta
melakukan upaya pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Korban KDRT mendapat kepercayaan diri dan tidak merasa malu untuk hidup dalam masyarakat.
Rumah aman untuk korban KDRT
Saat ini keberadaan rumah aman di Indonesia masih minim jumlahnya. Di Amerika
Serikat rumah aman ini banyak ditemui dan menampung korban KDRT yang biasanya adalah
perempuan yang tidak memiliki tempat tinggal lain. Sullivan mengatakan Lama maksimum
menginap di tempat penampungan kekerasan dalam rumah tangga di Amerika Serikat mulai 30
hari, meskipun sebagian besar program saat ini menawarkan ekstensi yang diperlukan, atau
7

memberikan lebih lama, mengingat kurangnya perumahan dan sumber daya lain yang tersedia di
masyarakat. Selama mereka tinggal, wanita disediakan dengan jauh lebih dari tempat tidur ,
makanan, dan fasilitas laundry. Penasihat advokat bekerja dengan korban untuk mengidentifikasi
dan memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Termasuk didalamnya, membuat pengaturan dengan
sekolah anak-anak mereka, mempertimbangkan masa cuti kerja, mencari kesempatan kerja atau
pelatihan, atau memperoleh layanan kesehatan. Warga penampungan yang juga diberi informasi
tentang hak-hak hukum mereka dan dibantu dalam memperoleh perintah perlindungan dan
bantuan hukum. Kebanyakan tempat penampungan juga mengadakan kelompok edukasi serta
kelompok-kelompok pendukung, di mana perempuan menerima baik informasi tentang layanan
yang tersedia dan kerangka konseptual untuk membantu mereka memahami apa yang telah
mereka lalui. Layanan formal ini dilengkapi dengan kesempatan untuk berbicara dengan
perempuan lain yang dapat bangkit dalam kegiatan normal sehari. Perencanaan keselamatan juga
merupakan inti layanan yang ditawarkan kepada perempuan dan anak-anak mereka di tempat
penampungan. Sebagian besar dari rumah aman ini gratis atau dipungut biaya yang sangat
minim.

SUDUT PANDANG AGAMA


Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan
surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
(QS 49;6)10
Perihal suami tidak boleh membenci istrinya dan tetap harus berlaku baik terhadap istrinya
walaupun dalam keadaan tidak menyukainya.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak
menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (An-Nisa`: 19)
Dalam tafsir Al-Jami li Ahkamil Qur`an (5/65), Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah

berkata: Firman Allah Subhanahu wa Taala:


(Kemudian bila kalian tidak
menyukai mereka), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek, bukan
karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka disenangi (dianjurkan) (bagi si suami) untuk
bersabar menanggung kekurangan tersebut. Mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa
anak-anak yang shalih yang diperoleh dari istri tersebut.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian
dengan tetap menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian tidak
menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma tentang ayat ini: Si suami
mengasihani (menaruh iba) istri (yang tidak disukainya) hingga Allah Subhanahu wa Taala
berikan rizki kepadanya berupa anak dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang
banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, jika ia tidak suka satu
tabiat/perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan tabiat/perangainya yang lain.
(HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini menunjukkan larangan (untuk
membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak membenci istrinya. Karena bila ia
menemukan pada istrinya satu perangai yang tidak ia sukai, namun di sisi lain ia bisa dapatkan
perangai yang disenanginya pada si istri. Misalnya istrinya tidak baik perilakunya, tetapi ia
seorang yang beragama, atau berparas cantik, atau menjaga kehormatan diri, atau bersikap lemah
lembut dan halus padanya, atau yang semisalnya. (Al-Minhaj, 10/58) (6)
Perihal suami diperintah untuk berlaku baik pada istrinya. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman:

Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut. (An-Nisa`: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas menyatakan: Yakni
perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) dan perbagus perbuatan serta penampilan
kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka
engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Taala berfirman dalam hal
ini:

Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf.
(Al-Baqarah: 228)
9

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarga (istri)nya. Dan aku adalah
orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)ku.2 (Tafsir Al-Qur`anil
Azhim, 2/173)
KESIMPULAN
Peranan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga sangat besar.Kerjasama antara segala pihak yang terkait dalam memberikan
perlindungan dan bantuan terhadap korban sangatlah penting. Peranan lembaga sosial dalam
memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT sangat besar. Untuk itu lembaga
membutuhkan kerjasama yang baik dari semua pihak yang terkait, termasuklah keluarga korban
dan masyarakat luas. Lembaga perlindungan korban KDRT yang masih minim jumlahnya
seharusnya diperbanyak, begitu juga dengan halnya rumah aman yang kedepannya akan sangat
membantu memulihkan psikis dan mental korban untuk dapat meneruskan hidupnya dengan
baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada bagian ini, penulis ingin berterima kasih kepada Polres Jakarta Selatan yang telah
memberikan kesempatan untuk berkunjung dan mengumpulkan data untuk laporan ini. Terima
kasih juga kepada dr.Yenni Zulhamidah M.Sc yang telah memberikan bimbingan dan waktunya
untuk menyelesaikan laporan kasus ini. Tak lupa terima kasih saya haturkan kepada
dr.Hj.RW.Susilowati, Mkes dan DR.Drh.Hj Titiek Djannatun sebagai koordinator blok elektif,
serta dr.Ferryal Basbeth, SpF sebagai dosen pengampu. Kepada semua anggota kelompok
Domestic Violence IV terima kasih atas dukungan dan kerja samanya.

10

Daftar Pustaka
1. Abdurrachman, Hamidah. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah

2.
3.
4.

5.
6.

Tangga Dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban, 2010,
Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17 Juli: 475 491
Anonim. Saling Mengasihi Sesama Muslim , Akses 14 November 2014, Dari
Http://Muslimin-Indonesia.Blogspot.Com/2010/10/Saling-Mengasihi-Sesama
Muslim.Html
Anonim. Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah
Tangga,
Akses
14
November
2014,
Dari
Http://Www.Djpp.Depkumham.Go.Id/Hukum-Pidana/
Assegaf, Salim. Islam Memuliakan Wanita, Akses 14 November 2014, Dari
Http://Akhwat.Web.Id/Muslimah-Salafiyah/Muslimah/Surat-An-Nisa-Satu-Bukti-IslamMemuliakan-Wanita/
Herdiana,Ike. Gambaran Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Indonesia, Akses 14
November 2014, Dari Http://Ike Herdiana-Fpsi.Web.Unair.Ac.Id/
Kaur, Ravneet dan Garg, Suneela. Addressing Domestic Violence Against Women: An
Unfinished Agenda, 2008, Indian J Community Med. Apr 2008; 33(2): 7376

7. Laporan tahun 2011 LBH APIK, Akses 14 november 2014 Dari http://www.lbhapik.or.id/Laporan%20Catahu%202011%20-%20LBH%20APIK%20Jkt%20-%20revisi.pdf

8. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Dan Kerjasama


Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
9. Sullivan, Cris M. Domestic Violence Shelter Services A Review of the Empirical Evidence, 2012,
Domestic
Violence
Evidence
Project
(http://www.dvevidenceproject.org/wpcontent/themes/DVEProject/files/research/DVShelterResearchSummary10-2012.pdf)

11

Anda mungkin juga menyukai