Anda di halaman 1dari 13

Tugas Dr.dr. Wayan Suranadi, Sp.

An (KIC)
dr. Made Supradnyawati
Vasopressor dan Inotropik
Saat terjadi keadaan hipotensi meskipun pemberian cairan telah kita lakukan, agent
vasopressor sering kita gunakan.1 Tujuan penggunaan agent vasopressor adalah untuk
meningkatkan mean arterial pressure (MAP). Indikasi pemberian agent vasopressor adalah
pada keadaan septik syok yang refrakter terhadap resusitasi volume yang adekuat. Indikasi
lainnya meliputi penanganan vasodilatory shock saat cardiopulmonary bypass, anaphylaxis,
vascular surgery (carotid endarterectomy), drug overdoses (tricyclic antidepressant) dan
spinal cord trauma.2 Sedangkan agent inotropik merupakan agent yang memiliki efek
meningkatkan kontraktilitas jantung. Kontraktilitas jantung yang terganggu dapat
menurunkan cardiac output sehingga tidak dapat memberikan perfusi maupun hantaran
oksigen yang cukup ke jaringan.1
Perbedaan farmakologi dari masing-masing agent vasopressor dan inotropik ini
menjadi pertimbangan pemilihan agent ini dalam penggunaan klinis.
Phenylephrine
Phenylephrine merupakan noncatecholamine sintetik yang menstimulasi terutama
reseptor adrenergik secara langsung, hanya sebagian kecil bekerja secara tidak langsung
melalui pelepasan norepinephrine.1,3,4 Karena bukan derivat derivat catechol, tidak
diinaktifkan oleh COMT, memiliki masa kerja yang lebih panjang dibandingkan dengan
catecholamine. Phenylephrine ini bekerja langsung pada reseptor.4,5 Venokonstriksi yang
terjadi lebih besar daripada arterial konstriksi. Efek terhadap reseptor adrenergik minimal.3
Pada dosis yang sangat tinggi, baru terlihat adanya aktivitas . Phenylephrine merupakan
vasokonstriktor yang sangat poten, namun menyebabkan risiko penurunan aliran darah dan
perfusi jaringan. Pada pasien syok sepsis, phenylephrine menyebabkan penurunan aliran
darah splanchnic dan hantaran oksigen.1
Secara struktur phenylephrine adalah 3-hydroxyphenylethylamine, berbeda dengan
epinephrine pada tidak adanya struktur 4-hydroxyl pada cincin benzena. Secara klinis,
phenylephrine menyerupai efek norepinephrine namun kurang poten dan efek lebih lama.
Stimulasi CNS minimal.3

Phenylephrine 50-200 g intravena sering diberikan kepada orang dewasa untuk


mengatasi penurunan tekanan darah sistemik karena blokade sistem saraf simpatis akibat
anesthesi regional atau vasodilatasi perifer akibat kombinasi agent inhalasi dan intravena.
Berlawanan dengan agent simpatomimetik lainnya, phenylephrine bermanfaat pada pasien
coronary artery disease dan aortic stenosis karena phenylephrine meningkatkan tekanan
perfusi koroner tanpa efek samping kronotropik.3
Pemberian infus kontinyu 20-50 g/menit dapat mempertahankan tekanan darah
sistemik. Reflek vagal akibat phenylephrine dapat memperlambat heart rate pada pasien
supraventrikuler takidisritmia. Phenylephrine merupakan alternatif yang lebih aman untuk
keadaan maternal hipotensi sebab pH arteri umbilikal menjadi lebih tinggi dan menurunkan
insiden fetal asidosis dibandingkan ephedrine.3
Injeksi phenylephrine intravena secara cepat pada pasien coronary artery diseasae
menimbulkan vasokonstriksi perifer (tergantung dosis) dan peningkatan tekanan darah
sistemik, disertai penurunan cardiac output. Penurunan cardiac output ini mencerminkan
peningkatan afterload, namun cenderung berkaitan dengan reflek bradikardi yang dimediasi
baroreseptor sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah diastolik. Aliran darah renal,
splanchnic, dan cutaneus menurun, namun aliran darah koroner meningkat.3
Epinephrine (Adrenaline)
Epinephrine tergolong vasokonstriktor yang sangat kuat dan cardiac stimulant.4,5
Epinephrine merupakan catecholamine endogen yang dihasilkan oleh medulla adrenal dengan
aktivitas dan 1 yang poten, dan efek 2 yang sedang. Pada dosis yang rendah, efek
menunjukkan dominasi. Pada dosis yang lebih tinggi, efek menjadi lebih signifikan.
Epinephrine merupakan aktivator reseptor adrenergik yang paling kuat.3,5 Pada hipotensi
yang akut seringkali epinephrine lebih disukai dibandingkan dengan norepinephrine karena
efek adrenergik yang lebih kuat berperan dalam mempertahakan maupun meningkatkan
cardiac output.1
Fungsi alamiah dari epinephrine bekerja pada (a) kontraktilitas jantung, (b) heart rate,
(c) tonus otot polos vaskular dan otot bronkus, (d) sekresi kelenjar, (e) proses metabolisme
seperti glikogenolisis dan lipolisis. Pemberian secara oral tidak efektif, karena epinephrine
dimetabolisme secara cepat pada mukosa gastrointestinal dan hepar. Absorpsi epinephrine
setelah pemberian secara subkutan kurang baik, karena epinephrine menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat suntikan. Epinephrine juga kurang larut dalam lemak, sehingga
mencegah masuknya obat ke susunan saraf pusat dan minimnya pengaruh langsung pada
otak.3
2

Efek kardiovaskular yang ditimbulkan merupakan hasil dari stimulasi reseptor dan
reseptor adrenergik. Dosis kecil epinephrine (1-2 g/menit IV) bila diberikan pada pasien
dewasa akan menstimulasi reseptor 2 pada pembuluh perifer. Stimulasi reseptor 1 terjadi
pada dosis yang lebih besar (4 g/menit IV), pada dosis yang lebih besar (10-20 g/menit IV)
akan menstimulasi reseptor dan adrenergik dengan efek stimulasi yang lebih dominan
pada pembuluh darah, termasuk pembuluh darah perifer dan sirkulasi ginjal. Injeksi tunggal
epinephrine dengan dosis 0,2-0,8 g IV menyebabkan terjadinya stimulasi jantung yang
berlangsung selama 1-5 menit, umumnya tanpa peningkatan berlebihan pada tekanan darah
sistemik atau heart rate.3
Epinephrine menstimulasi reseptor 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan
sistolik, heart rate, dan curah jantung. Terjadi sedikit penurunan tekanan diastolik, hal ini
mencerminkan adanya vasodilatasi pada vaskularisasi otot rangka sebagai akibat stimulasi
reseptor 2.4 Sebagai hasil akhir adalah peningkatan tekanan nadi dan perubahan minimal
pada tekanan arteri rerata. Karena perubahan tekanan arteri rerata minimal maka kecil
kemungkinan untuk terjadinya refleks bradikardi akibat aktivasi baroreseptor. Epinephrine
meningkatkan heart rate dengan meningkatkan laju depolarisasi fase 4, yang juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya disritmia. Peningkatan curah jantung yang terjadi merupakan
akibat dari meningkatnya heart rate, kontraktilitas jantung, dan aliran darah balik.3
Epinephrine menstimulasi reseptor 1 secara dominan pada kulit, mukosa, vaskular
hepar dan ginjal menghasilkan vasokonstriksi kuat. Pada vaskular otot rangka, epinephrine
menstimulasi reseptor 2 secara dominan, menghasilkan vasodilatasi. Hasil akhirnya adalah
distribusi curah jantung ke otot rangka dan menurunkan tahanan vaskular sistemik. Aliran
darah ginjal akan menurun, walau tanpa perubahan pada tekanan darah sistemik. Sekresi
renin akan meningkat karena adanya stimulasi reseptor beta di ginjal. Pada dosis terapi,
epinephrine tidak memiliki efek vasokonstriksi yang signifikan pada arteri serebral. Aliran
darah koroner akan meningkat setelah pemberian epinephrine, walaupun pada dosis yang
tidak merubah tekanan darah sistemik.3
Otot polos bronkus akan mengalami relaksasi akibat stimulasi 2 epinephrine. Efek
bronkodilatasi ini akan menjadi bronkokonstriksi dengan adanya obat blokade adrenergik ,
yang menjelaskan stimulasi 1 oleh epinephrine. Dengan stimulasi 2 akan meningkatkan
konsentrasi seluler cAMP, menurunkan mediator vasoaktif yang sering dihubungkan dengan
terjadinya gejala asma bronkial.3
Epinephrine memiliki efek yang paling signifikan terhadap metabolisme
dibandingkan catecholamin lainnya. Stimulasi reseptor 1 oleh epinephrine meningkatkan
3

glikogenolisis dan lipolisis, stimulasi reseptor 1 menghambat pelepasan insulin.


Glikogenolisis di hepar sebagai akibat dari aktivasi enzim phosphorylase hepar. Lipolisis
hepar sebagai akibat dari aktivasi enzim lipase, yang mempercepat pemecahan trigliserida
menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Infus epinephrine akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol plasma, phospholipids, dan low density lipoproteins.3
Agonis selektif adrenergik 2 akibat infus epinephrine dosis rendah (0,05 g/kg/menit
intravena) diduga menyebabkan aktivasi pompa Na-K pada otot rangka, menyebabkan
perpindahan ion K ke sel. Observasi dengan cara mengukur kadar Kalium darah sesaat
sebelum dimulainya induksi anestesia dibandingkan dengan kadar kalium 1-3 hari
sebelumnya didapatkan kadar yang lebih rendah pada kadar serum kalium sesaat sebelum
induksi anestesia, hal ini menjelaskan adanya pelepasan epinephrine akibat stress. Untuk
memaksimalkan keputusan klinis berdasarkan pengukuran kadar serum kalium, sebaiknya
dipertimbangkan terjadinya hipokalemia akibat dari kecemasan preoperatif dan pelepasan
epinephrine.3
Hipokalemia akibat epinephrine dapat menyebabkan terjadinya disritmia yang sering
menyertai stimulasi sistem saraf simpatis. Diantara seluruh kelenjar endokrin, hanya kelenjar
keringat yang berespon secara signifikan terhadap epinephrine, menghasilkan sekresi yang
kental dan banyak. 3
Epinephrine menyebabkan kontraksi otot radilalis iris, menyebabkan midriasis.
Kontraksi dari otot orbita menghasilkan penampilan eksopthalmus seperti pada pasien dengan
hipertiroidisme. Hal tersebut kemungkinan sebagai akibat aktivasi reseptor adrenergik. 3
Akibat efek epinephrine terjadi relaksasi otot polos saluran gastrointestinal. Aktivasi
reseptor beta adrenergik menyebabkan relaksasi otot detrusor kandung kencing, sedangkan
aktivasi reseptor alpa adrenergik menyebabkan kontraksi otot trigonum dan otot sfingter
kandung kencing. 3
Koagulasi darah akan dipercepat oleh efek epinephrine, kemungkinan akibat dari
peningkatan aktivitas faktor V. Keadaan hiperkoagulasi saat intraoperatif dan postoperatif
kemungkinan karena pelepasan epinephrine akibat stress. Epinephrine meningkatkan jumlah
total leukosit namun pada saat bersamaan terjadi eosinopenia. 3
Pada keadaan gawat-darurat (syok dan reaksi alergi), epinephrine diberikan secara
bolus intravena 0,05-1 mg tergantung dari keparahan pada kardiovaskular. Untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan heart rate, diberikan dalam infus (1 mg dalam 250
ml Dekstrosa 5 %) [D5W ; 4 g/mL]. Dengan tetesan 2-20 g/menit. Beberapa larutan
anestetik lokal mengandung epinephrine dengan konsentrasi 1 : 200.000 (5 g/mL) atau 1 :
4

400.000 (2,5 g/mL) sehingga mengurangi absorpsi sistemik dan memperpanjang durasi
kerja anestetik lokal. Epinephrine tersedia dalam bentuk ampul dengan konsentrasi 1 : 1000
(1 mg/mL) dan pada prefilled syringes dengan konsentrasi 1 : 10.000 (0,1 mg/mL) [100
g/mL]. Untuk penggunaan pediatri tersedia konsentrasi 1 : 100.000 (100 g/mL). 3
Norepinephrine
Norepinephrine merupakan amine endogen dihasilkan oleh medulla adrenal dan end
terminal of post ganglionic nerve fibers. Norepinephrine menunjukkan dominasi aktivitas
adrenergik.1,3,5 Norepinephrine merupakan agonis yang poten, menimbulkan vasokonstriksi
hebat pada arterial dan vena.3 Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer dan tekanan
darah sistolik dan diastolik.4 Namun tidak seperti epinephrine, norepinephrine memiliki efek
agonis reseptor 2 yang kecil.3
Aktivitas adrenergik yang lemah dapat membantu mempertahankan cardiac output.
Rentang dosis intravena antara 0,05-2 g/kg/menit. Reflek kompensasi vagal cenderung
dapat mengatasi efek langsung kronotropik positif norepinephrine dan efek inotropik positif
jantung tetap dipertahankan.4
Pemberian Infus kontinyu 4-16 g/menit, digunakan untuk mengatasi hipotensi
refrakter. Campuran norepinephrine dengan larutan glukosa 5% memberikan derajat
keasaman yang cukup untuk mencegah oksidasi cathecolamine. Ekstravasasi yang terjadi
selama pemberian infus menyebabkan vasokonstriksi lokal dan bahkan nekrosis.3
Pemberian norepinephrine intravena menyebabkan vasokonstriksi hebat pada
vaskularisasi skeletal muscle, hepar, kidney, dan kulit.3 Meskipun terjadi vasokonstriksi yang
berlebihan pada penggunaan norepinephrine disertai dengan efek negatif pada aliran darah
khususnya sirkulasi hepatosplanchnic dan renal, namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa norepinephrine mampu meningkatkan tekanan darah tanpa menimbulkan penurunan
fungsi organ khususnya bila terjadi penurunan tonus vaskuler seperti pada syok septik.1
Vasokonstriksi perifer dapat menurunkan aliran darah jaringan sehingga terjadi asidosis
metabolik.3 Peningkatan afterload akibat vasokonstriksi akibat norepinephrine dapat
menambah beban jantung dan menyebabkan terjadinya gagal jantung, iskemi miokard, dan
oedem pulmonal.1
Terjadi peningkatan tahanan vaskular sistemik yang menurunkan venous return ke
jantung dan peningkatan tekanan darah sistolik, diastolik, dan mean arterial pressure.
Kombinasi antara turunnya venous return ke jantung dan reflek baroreseptor menurunnya
heart rate berkaitan dengan peningkatan mean arterial pressure cenderung menurunkan
cardiac output meskipun terdapat efek 1 dari norepinephrine.3
5

Pemberian infus kronis norepinephrine dapat menimbulkan peningkatan konsentrasi


catecholamine sirkulasi sehingga terjadi vasokonstriksi prekapiler dan kehilangan proteinfree fluid ke ruang ektraseluler.3
Dopamine
Dopamine merupakan immediate metabolic precursor dari norepinephrine yang
mengaktifkan reseptor D1 di vaskular sehingga menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi reseptor
prasinaptik D2 mampu menekan release norepinephrine. Dopamine dapat mengaktifkan
reseptor 1 di jantung. Pada dosis rendah, tahanan perifer dapat menurun. Namun pada
pemberian infus dengan kecepatan tinggi, dapat mengaktifkan reseptor pembuluh darah,
menyebabkan vasokonstriksi, termasuk di vaskuler ginjal, sehingga menyerupai efek
epinephrine.4,5
Dopamine memiliki efek dopaminergik dominan pada dosis sangat rendah (<3
/kg/menit intravena) dan mampu menimbulkan dilatasi pada sirkulasi hepatosplanchnic dan
renal. Efek adrenergik dopamine bervariasi berdasarkan dosis. Pada dosis rendah, 3-10
/kg/menit intravena, efek adrenergik mendominasi sehingga aliran darah meningkat secara
bersama-sama dengan tekanan darah. Pada dosis yang lebih tinggi, efek adrenergik menjadi
sangat poten, sehingga sangat berperan pada kasus-kasus hipotensi berat. Dopamine
meningkatkan tekanan arterial terutama dengan meningkatkan cardiac index, sebagai
konsekuensi meningkatnya stroke volume dan heart rate, dengan efek tahanan vaskuler
sistemik yang minimal. Dopamine juga memiliki kekurangan, diantaranya adalah dopamine
tergolong agen yang relatif lemah, sehingga membutuhkan epinephrine atau norepinephrine
untuk mengontrol keadaan hipotensi. Dopamine dapat meningkatkan aliran darah lebih
efektif dibandingkan dengan vasopressor lainnya, namun juga meningkatkan heart rate.1
Stimulasi dopaminergik menyebabkan efek endokrin yang tidak diharapkan pada
kelenjar hipotalamopituitari, sehingga terjadi efek imunosupressan akibat menurunnya
pelepasan prolactin.1
Ephedrine
Ephedrine merupakan non katekolamin sintetik yang bekerja secara tidak langsung
merangsang reseptor dan adrenergik. Efek farmakologinya secara tidak langsung
berkaitan dengan pelepasan norepinephrine endogen, atau secara langsung dengan
merangsang reseptor adrenergik. Ephedrine tidak dimetabolisme oleh MAO di saluran cerna
sehingga memungkinkan untuk diabsobsi utuh oleh sirkulasi sistemik setelah pemberian oral.
Pemberian ephedrine intramuskuler memungkinkan, namun dapat mengakibatkan
vasokontriksi lokal sehingga menghambat absorbsi sistemik. Lebih dari 40 % ephedrine
6

diekskresi di urine dalam bentuk utuh setelah pemberian dosis tunggal. Inaktivasi dan
ekskresinya yang lama dapat menyebabkan pemanjangan efek simpatomimetik.3
Ephedrine pada orang dewasa diberikan 10-25 mg i.v, untuk mendapatkan efek
simpatomimetik yang digunakan untuk meningkatkan tekanan darah bila dijumpai blokade
simpatis yang diakibatkan anestesi regional atau digunakan sebagai terapi hipotensi yang
ditimbulkan oleh anestesi intravena atau anestesi inhalasi. Ephedrine juga dapat digunakan
sebagai terapi oral pada asthma bronkial karena efek vasodilatas melalui aktivasi reseptor 2
adrenergik. Efek dekongestan dapat pula timbul setelah pemberian per-oral sehingga dapat
digunakan untuk menghilangkan gejala hidung tersembat ( acute coryza).3
Dibandingkan ephineprine, onset ephedrine lebih lambat. Ephedrine sebesar
0,5mg/kgBB intramuskuler memiliki efek antiemetik yang sama seperti droperidol dengan
efek sedasi minimal bila diberikan pada pasien laparoskopi dengan anestesi umum. Efek
kardiovaskuler berupa peningkatan tekanan darah sistemik oleh ephedrine tidak sehebat
ephinephrine, namun dapat bertahan hingga 10 kali lebih lama. Sekitar 250x ephedrine
diperlukan untuk menghasilkan peningkatan tekanan darah sistemik yang sama dengan
peningkatan tekanan darah yang ditimbulkan oleh ephinephrine.3
Pemberian ephedrine intravena mengakibatkan peningkatan tekanan darah sistolik dan
diastolik, nadi dan cardiac output. Aliran darah ke ginjal dan splanchnic menurun, sedangkan
aliran darah ke koroner dan otot skeletal meningkat. Tahanan vaskular sistemik mungkin
sedikit menurun oleh karena vasokontriksi pada beberapa pembuluh darah dengan
vasodilatasi pada bagian yang lain. Efek kardiovaskuler timbul karena reseptor merangsang
vasokontriksi arteri dan vena perifer. Peningkatan aktivitas miokard timbul karena aktivasi
reseptor 1.3
Efek peningkatan tekanan darah sistemik pada pemberian ephedrine dosis kedua tidak
sehebat pemeraian dosis pertama. Fenomena ini dikenal dengan nama tachyphylaxis yang
muncul pada beberapa obat perangsang simpatis, berkaitan dengan lama kerja obat tersebut.
Fenomena ini timbul karena persisten blokade pada reseptor adrenergik, atau kemungkinan
lainnya timbul karena penurunan kadar norepinephrine.3
Methoxamine
Methoxamine merupakan sintetik non cathecolamine bekerja langsung dan selektif
terhadap reseptor 1 adrenergik. Methoxamine memiliki efek farmakologis seperti
phenylephrine namun memiliki durasi kerja yang lebih panjang.3,4 Penggunaan dalam dosis
besar menimbulkan efek inhibisi pada reseptor sehingga menyebabkan bradikardi.
Methoxamine sebesar 5-10 mg intravena pada orang dewasa menyebabkan vasokonstriksi
7

arterial yang hebat sehingga terjadi peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, serta
terjadi penurunan cardiac output akibat reflek bardikardi yang dimediasi baroreseptor. Terjadi
venokonstriksi minimal setelah pemberian methoxamine. Aliran darah ginjal menurun setelah
pemberian norepinephrine dosis poten. Sebaliknya, aliran darah coroner meningkat sebagai
hasil peningkatan tekanan perfusi dan peningkatan waktu aliran darah coroner akibat reflek
bardikardi. Atropine dapat mencegah reflek bradikardi dan penurunan cardiac output.
Methoxamine memiliki efek antidisritmia namun mekanismenya belum diketahui.3
Methoxamine tersedia untuk penggunaan parenteral, namun aplikasi klinis jarang dan
terbatas pada keadaan hipotensi.4
Midodrine
Midodrine merupakan suatu prodrug, dengan bantuan enzim dihidrolisis menjadi
desglymidodrine, suatu agonis reseptor selektif 1.4 Midodrine mengaktifkan reseptor pada
arteriole dan vena untuk meningkatkan tahanan vaskuler sistemik. Setelah pemberian secara
oral, midodrine diabsorbsi secara luas dan mengalami hidrolisis enzimatik menjadi metabolit
aktif, desglymidodrine.3 Konsentrasi puncak desglymidodrine dicapai sekitar 1 jam setelah
midodrine diberikan.4 Indikasi penggunaan midodrine adalah untuk pengelolaan hipotensi
orthostatik neurogenik, khususnya akibat gangguan fungsi sistem saraf otonom (diabetes
melitus, amyloidosis).3 Midodrine memiliki efikasi menghilangkan penurunan tekanan darah
saat posisi berdiri, dan menyebabkan hipertensi saat posisi supine.4
Vasopressin dan Terlipressin
Vasopressin merupakan stress hormon endogen yang memiliki fungsi yang luas,
meliputi efek pada osmolalitas dan volume darah, suhu tubuh, pelepasan insulin dan
corticotropin, memori, serta tingkah laku. Sebagai vasokonstriktor otot polos vaskuler,
berperan dalam regulasi tekanan darah. Pasien dengan syok septik, menunjukkan defisiensi
vasopressin relatif. Defisiensi ini dapat disebabkan karena berkurangnya central store
vasopressin dan pemberian vasopressin dosis rendah untuk mengembalikan kadar vasopressin
normal dapat meningkatkan tekanan arterial dan menurunkan kebutuhan catecholamine
lainnya.1,2
Suatu penelitian dilakukan oleh Morales dan kawan-kawan menunjukkan manfaat
penggunaan vasopressin di awal, yaitu dapat menurunkan kebutuhan norepinephrine dan
memperpendek masa rawat di ICU. Mereka memberikan profilaksis vasopressin 0,03
U/menit intravena sebelum cardiopulmonary bypass untuk menghindari defisiensi
vasopressin.1

Penggunaan vasopressin untuk vasodilatory shock yang refrakter diberikan dalam


dosis 0,01-0,04 U/menit. Kecepatan infus melebihi 0,04 U/menit tidak meningkatkan efek,
namun meningkatkan risiko efek samping iskemia miokard dan splanchnic.2
Terlipressin merupakan analog vasopressin yang sudah tersedia sejak lebih dari 20
tahun yang lalu, namun masih menjalani uji klinis fase III di United States. Terlipressin
memiliki half life 6 jam, dan durasi kerja 2 -10 jam, sedangkan vasopressin memiliki half life
6 menit dan durasi kerja 30-60 menit.1
Baik vasopressin maupun terlipressin sama-sama meningkatkan mean arterial blood pressure
dan memperbaiki fungsi renal, namun terlipressin menyebabkan menurunnya catdiac output,
sehingga diperlukan inotropik dobutamine untuk mempertahankan cardiac output.
Terlipressin berperan untuk mengatasi hipotensi setelah dilakukan induksi anesthesia pada
pasien dengan pengobatan renin-angiotensin system inhibitors jangka panjang.1
Isoproterenol
Isoproterenol merupakan aktivator simpatomimetik terhadap reseptor 1 dan 2 yang
paling poten. Sekitar 2-3 kali lebih poten dibandingkan epinephrine dan 100 kali lebih aktif
dibandingkan norepinephrine. Pada dosis klinis, isoproterenol tidak memiliki efek agonis.
Metabolisme oleh COMT di hepar terjadi secara cepat, memerlukan infus kontinyu untuk
mempertahankan konsentrasi obat di dalam plasma. Uptake isoproterenol di postganglionik
sympathetic nerve endings minimal.3
Pemberian infus kontinyu isoproterenol 1-5 g/menit efektif menyebabkan
peningkatan heart rate, kontraktilitas miokard, dan cardiac automaticity. Akibatnya terjadi
peningkatan cardiac output yang umumnya cukup untuk menimbulkan peningkatan tekanan
darah sistolik. Vasodilatasi pada skeletal muscle menurunkan tahanan vaskular sistemik.
Mean arterial pressure akan menurun akibat turunnya tahanan vaskular sistemik dan turunnya
tekanan darah diastolik. Penurunan tekanan darah diastolik dapat menyebabkan penurunan
aliran darah koroner dan kebutuhan oksigen akan meningkat pada keadaan takikardi.
Kombinasi yang terjadi ini sangat buruk pada pasien dengan coronary artery disease.3
Pada pasien bradidisritmia, isoproterenol digunakan untuk mempertahankan
peningkatan heart rate sebelum pemasangan cardiac pacemaker. Penggunaan isoproterenol
sebagai obat inotropik semakin jarang dengan adanya dobutamine dan phosphodiesterase
inhibitor. Penggunaan isoproterenol sebagai bronkodilator telah digantikan oleh agonis 2
spesifik.3

Dobutamine
Dobutamine merupakan cathecolamine sintetik bekerja agonis selektif 1
adrenergik.3,4,5 Dobutamine merupakan agen inotropik pilihan pertama pada pasien dengan
cardiac output yang rendah dimana telah mendapatkan resusitasi cairan yang adekuat.
Meskipun memiliki dominasi aktivitas adrenergik, dobutamine juga memiliki efek
adrenergik yang membatasi peningkatan heart rate. Awal mula pemberian dengan dosis kecil
dapat meningkatkan cardiac output secara signifikan. Dobutamine mengalami metabolisme
secara cepat, sehingga pemberian infus kontinyu 2-10 /kg/menit diperlukan untuk
mempertahankan konsentrasi terapeutik plasma.3 Dosis besar melebihi 20 g/kg/menit
intravena jarang digunakan karena hanya memberi keuntungan minimal dengan efek
takikardi yang berlebihan. Dobutamine memiliki efek minimal terhadap tekanan darah
arterial. Tekanan darah arterial akan meningkat perlahan bila abnormalitas primer yaitu gagal
jantung telah diatasi. 1
Dobutamine menunjukkan efek agonis adrenergik poten pada dosis <5/kg/menit.
dobutamine meningkatkan kontraktilitas miokard (reseptor 1) dan menyebabkan vasodilatasi
perifer derajat sedang (reseptor 2). Isomer levorotatory dobutamine menstimulasi reseptor
1 pada dosis >5 /kg/menit dan mencegah terjadinya vasodilatasi yang lebih jauh.
Dobutamine digunakan untuk memperbaiki cardiac output pada pasien gagal jantung
kongestif, terutama bila heart rate dan tahanan vaskuler sistemik meningkat. Kombinasi
dengan obat-obatan lain bermanfaat dalam meningkatkan aktivitas dan memperbaiki
distribusi cardiac output.3
Penelitian terbaru De Backer dan kawan-kawan dengan menggunakan orthogonal
polarization spectral imaging menunjukkan bahwa dobutamine memperbaiki perfusi kapiler
pada pasien dengan syok septik, tanpa tergantung dari efek sistemik. Diduga bahwa
dobutamine memiliki efek spesifik pada aliran darah regional.1
Dobutamine menyebabkan peningkatan cardiac output yang tergantung dosis dan
penurunan tekanan pengisian arteri, tanpa peningkatan tekanan darah sistemik dan heart rate
yang signifikan. Peningkatan heart rate yang terjadi ini lebih rendah dibandingkan dengan
isoproterenol, menunjukkan aktivitas dobutamin terhadap sinoatrial node yang lebih kecil.
Berlawanan dengan dopamine, dobutamine tidak memiliki efek vasokonstriktor secara klinis
dan tahanan vaskular sistemik umumnya tidak mengalami perubahan besar. Dobutamine
tidak efektif bagi pasien yang memerlukan peningkatan tahanan vaskular sistemik
dibandingkan dengan peningkatan cardiac output untuk meningkatkan tekanan darah
sistemik. Dobutamine adalah vasodilator arteri koroner. Redistribusi cardiac output akibat
10

dobutamine menyebabkan peningkatan kehilangan panas tubuh melalui kutaneus, sehingga


terjadi penurunan suhu tubuh. Perbaikan aliran darah ginjal yang terjadi merupakan hasil dari
peningkatan cardiac output akibat dobutamine.3
Dopexamine
Dopexamine hydrochloride adalah catecholamine sintetik terbaru, memiliki struktur
yang mirip dopamine. Dopexamine memiliki aktivitas 2 adrenergik, dopaminergik, 1
adrenergik yang lemah, dan tidak memiliki efek adrenergik langsung. Bekerja dengan
menghambat neuronal uptake catecholamine endogen. Efek inotropik positif dopexamine
kombinasi dengan efek vasodilatasi menyebabkan dopexamine berperan dalam kondisi gagal
jantung kronik dengan eksaserbasi akut dan kondisi gagal jantung dalam pembedahan
jantung. Penggunaan dopexamine dibatasi akibat efek takikardi yang ditimbulkan, khususnya
pada penggunaan dosis tinggi. Suatu penelitian meta-analisis 21 randomized controlled
studies menunjukkan tidak terdapat bukti yang mendukung penggunaan dopexamine untuk
memperbaiki aliran darah hepatosplanchnic atau renal pada pasien kritis.1 Dopexamine
memperbaiki creatinine clearance dan menurunkan inflamasi sistemik tanpa merubah
oksigenasi splanchnic pada pasien yang menjalani cardiopulmonary bypass.3
Phosphodiesterase inhibitor
Phosphodiesterase (PDE) merupakan enzim yang berperan dalam degradasi cyclic
nucleotide, cAMP dan cyclic guanosine monophosphate (cGMP). PDE inhibitor
memperpanjang atau meningkatkan efek fisiologis yang diperantarai cAMP dan cGMP. Agen
PDE inhibitor, seperti enoximone dan milrinone memiliki efek inotropik dan vasodilatasi.
Obat ini ditoleransi buruk pada pasien dengan hipotensi arterial, dan pemberiannya sulit
karena half life yang panjang. Pemberian secara intermitten lebih disukai dibandingkan
dengan infus kontinyu. Pemberian dosis kecil PDEIII inhibitor dapat memperkuat efek
dobutamine. Pemberian PDEIII inhibitor menimbulkan komplikasi aritmia, khususnya pada
pasien dengan penyakit jantung iskemia, berkaitan dengan efek cAMP dan kadar Ca 2+.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa milrinone memiliki efek anti inflamasi dan
memiliki peran dalam perfusi hepatosplanchnic.1
Levosimendan
Levosimendan tergolong agen yang relatif baru, memiliki efek intropik dengan
meningkatkan sensitivitas kalsium miosit dengan berikatan dengan cardiac troponin C, dan
efek vasodilator dengan membuka (adenosine triphosphate) sensitif channel potassium pada
otot polos vaskuler. Harga Levosimendan tergolong mahal dan memiliki half life yang
panjang yang secara praktik akan membatasi kegunaannya. Levosimendan menunjukkan
11

perbaikan hemodinamik yang lebih efektif dibandingkan dobutamine dan dapat menurunkan
mortalitas pada pasien gagal jantung berat. Levosimendan juga dapat digunakan sebagai
inotropik support setelah iskemi miokard, setelah myocardial stunning, pada pembedahan
jantung, dan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kanan.1

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Vincent, J.L. (2008), Hemodynamic Support of the Critically Ill Patient, in:
Anesthesiology. Longnecker, D. E., editor. United States Of America: The McGrawHill Companies, Inc.
2. Haas, C.E., LeBlanc, J.M. (2005), Critical Care Pharmacologic Principles: Vasoactive
Drugs, in: Papadakos, P.J., Szalados, J.E., editor. Critical Care The Requisites in
Anesthesiology. 1st ed. United States of America: The Elsevier Mosby.
3. Stoelting, R.K., Hillier, S.C. (2006), Sympathomimetics, in: Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. United States of America: Lippincott
Williams & Wilkins.
4. Katzung, B.G. (2001), Adrenoceptor-Activating & Other Sympathomimetic Drugs,
in:. Katzung, B.G., editor. Basic & Clinical Pharmacology. 8th Ed. United States Of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc.
5. Morgan, Jr.G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. (2006), Adrenergic Agonists &
Antagonists, in: Morgan, Jr.G.E., Mikhail, M.S. & Murray, M.J., editors. Clinical
Anesthesiology. 4th Ed. United States of America: the McGraw-Hill Companies.

13

Anda mungkin juga menyukai