Januari 2012
Agussalim
Prolog
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu, bahwa jumlah
penduduk miskin di Sulawesi Selatan meningkat, sungguh mengejutkan. Dari hasil
kalkulasi BPS, jumlah penduduk miskin meningkat dari 832.910 orang pada Maret
2011 menjadi 835.510 orang pada September 2011 atau bertambah sebesar 2.600
orang (0,31%) dalam enam bulan terakhir. Jika menggunakan perspektif linearitas,
tentu saja peningkatan ini sungguh tidak terduga mengingat jumlah penduduk miskin
di Sulawesi Selatan dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun secara
konsisten.
Meskipun dari segi persentase penduduk miskin cenderung menurun, yaitu dari 10,29
persen menjadi 10,27 persen (ini akibat total penduduk meningkat lebih cepat
ketimbang jumlah penduduk miskin), peningkatan jumlah penduduk miskin secara
absolut tetap harus direspon dengan serius. Sedikitnya ada empat alasan mengapa
respon semacam itu diperlukan. Pertama, adagium yang terkenal luas di kalangan
para ekonomi bahwa pasang naik air laut akan mengangkat semua perahu
tampaknya tidak sepenuhnya berlaku di Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi
yang cukup impresif pada tahun 2010 dan triwulan I-III tahun 2011 ternyata tidak
mampu mengangkat taraf hidup semua kelompok penduduk. Taraf hidup kelompok
penduduk miskin justru tampak semakin memburuk yang diindikasikan oleh
bertambahnya jumlah penduduk miskin.
miskin, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh
kelompok penduduk menengah-atas. Jika pertumbuhan ekonomi lebih bias ke
kelompok penduduk klas menengah-atas ketimbang kelompok penduduk klas bawah,
maka dapat dipastikan bahwa distribusi pendapatan cenderung semakin melebar dan
timpang. Angka koefisien gini yang membesar, dari 0,36 pada tahun 2008 menjadi
0,40 pada tahun 2010, sesungguhnya hanya sekedar mengkonfirmasi fakta ini. Di
1
Policy paper ini dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menyusun
dan mendesain kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan daerah.
2
Penulis adalah Ketua Program Magister Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas Hasanuddin dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan
Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, Makassar.
1
Agussalim
Seluruh angka kemiskinan ini didasarkan atas hasil perhitungan BPS. Garis kemiskinan yang
digunakan oleh BPS untuk mengidentifikasi penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah Rp 185.736
per bulan per orang. Angka ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan yang
digunakan secara Nasional, yaitu Rp 243.729 per bulan per orang atau setara dengan US$1,2 (PPP)
per orang per hari. Jika kita menggunakan kriteria Bank Dunia saat ini, US$2 (PPP) per orang per hari,
angka kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Nasional tentu saja akan jauh lebih besar.
2
Agussalim
kecil, namun peningkatan tersebut telah memberi citra dan persepsi kurang baik bagi
efektifitas penanganan kemiskinan di Sulawesi Selatan.4 Peningkatan ini juga
berpotensi memunculkan kesangsian atas berbagai klaim keberhasilan pembangunan
ekonomi oleh pemerintah daerah.
Gambar 1 Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan,
2007-2011
1,000,000
800,000
16.00
1,083,400
1,031,700
14.11
14.00
963,570
13.34
913,430
12.31
832,910 835,510
12.00
11.61
10.29
10.2710.00
600,000
8.00
6.00
400,000
4.00
200,000
2.00
1,200,000
0.00
2007
2008
2009
2010
Jumlah
2011-Mar 2011-Sept
Persentase
Fenomena ini cenderung melahirkan pandangan terbelah. Sebagian pihak, terutama pemerintah
daerah, mempertanyakan dan meragukan data publikasi BPS tersebut. Namun sebagian lainnya,
terutama pemerhati masalah kemiskinan, menganggap bahwa realitas tersebut seharusnya semakin
memacu pemerintah daerah untuk bekerja lebih keras memerangi kemiskinan.
3
Agussalim
Gambar 2 Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin di Pulau Sulawesi, 2011
832,910
800,000
15.83
700,000
13.89
600,000
500,000
14.56
423,640
10.29
400,000
330,010
8.51
300,000
194,900
200,000
20.00
18.00
16.00
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
18.75
164,870
198,270
100,000
0
900,000
Agussalim
Gambar 3 Penyebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011
20.00
Toraja Utara
18.00
Enrekang
Luwu Utara
Luwu
Maros
Tana Toraja
16.00
Tingkat Kemiskinan (%)
Jeneponto
Pangkep
Selayar
14.00
12.00
Bone
Soppeng
Barru Sinjai
Kota Palopo
Takalar
Bantaeng Wajo
Pinrang
Luwu Timur
Bulukumba
Sidrap
Kota Parepare
10.00
8.00
6.00
Gowa
Kota Makassar
4.00
2.00
0.00
0
20,000
40,000
60,000
Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
80,000
100,000
15.99%
84.01%
perkotaan
perdesaan
Fakta yang paling menarik adalah bahwa pembengkakan jumlah penduduk miskin di
Sulawesi Selatan dikontribusi oleh wilayah perdesaan. Berbeda kontras dengan
wilayah perkotaan yang mengalami penurunan baik jumlah maupun persentase
penduduk miskin, wilayah perdesaan justru menunjukkan peningkatan jumlah dan
persentase penduduk miskin pada periode Maret s/d September 2011. Akibatnya,
proporsi penduduk miskin di perdesaan cenderung semakin membesar. Secara
implisit fakta ini menegaskan bahwa penduduk miskin di wilayah perdesaan tidak
memperoleh manfaat dari kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Sulawesi Selatan.
Agussalim
Gambar 5 perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan
Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2011-Sept
3.00
2.60
2.50
P1
2.44
P2
2.08
1.91
2.00
1.61
1.59
1.50
1.00
0.68
0.67
0.55
0.49
0.50
0.40
0.39
0.00
2007
2008
2009
2010
2011-Mar 2011-Sept
Fakta berikutnya yang juga menarik untuk diamati adalah pergerakan Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi
Selatan. Sampai dengan Maret 2011, baik P1 maupun P2, menunjukkan penurunan
yang konsisten, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Ini mengindikasikan
bahwa, baik jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin ke garis kemiskinan
maupun ketimpangan (gap) pengeluaran antara penduduk miskin itu sendiri, semakin
membaik. Namun pada September 2011, P1 dan P2 menurun di wilayah perkotaan,
tetapi justru meningkat di wilayah perdesaan. Artinya, secara rata-rata pengeluaran
penduduk miskin semakin menurun dan ketimpangan pengeluaran antara penduduk
miskin semakin memburuk di wilayah perdesaan.
tampaknya belum bergeser dari apa yang akan dilakukan menuju apa yang akan
dicapai. Pembahasan intensif masih terpusat pada grand design dan master plan
penanganan, formulasi strategi dan kebijakan, rumusan program dan kegiatan, yang
kesemuanya itu mengarah pada paradigma apa yang akan dilakukan. Sebaliknya,
6
Agussalim
pembahasan mengenai sasaran dan target yang mau dicapai, validasi kelompok
sasaran, ketepatan sasaran, akurasi intervensi, efektifitas penanganan, yang
merupakan bagian dari paradigma apa yang akan dicapai, belum mendapat ruang
pembahasan yang memadai. Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal, The
Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa satu dari tujuh
kebiasaan orang yang sangat efektif adalah bekerja dengan sasaran, sejak dari awal
kegiatannya (start with the end in mind).
kemiskinan yang valid dan akurat. Tampak jelas, penanganan kemiskinan masih
bertumpu pada resep. Padahal kita semua tahu bahwa mujarabnya resep sangat
tergantung pada keakuratan diagnosis. Dengan kata lain, tidak mungkin resep
akan bekerja optimal ketika diagnosis tidak akurat. Mal praktek dalam dunia
kedokteran, selalu terjadi karena kesalahan melakukan diagnosis.6
Ulasan di atas kian menegaskan perlunya diinjeksi perspektif dan pendekatan baru
dalam penanganan kemiskinan di Sulawesi Selatan. Perspektif dan pendekatan baru
dimaksud antara lain:
Pergeseran paradigma. Pertumbuhan ekonomi konvensional (kenaikan PDRB riil)
tampaknya tidak bisa lagi sepenuhnya diandalkan untuk menurunkan angka
kemiskinan. Hubungan korelasional antara pertumbuhan ekonomi konvensional di
satu sisi dan pengentasan kemiskinan, perbaikan distribusi pendapatan, dan
perbaikan taraf hidup masyarakat di sisi lain, seperti yang dipahami dalam paradigma
efek menetes ke bawah (trickle down effect), ternyata juga tidak terbukti.
Pertumbuhan ekonomi konvensional semakin diragukan efektifitasnya seiring dengan
terjadinya divergensi antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup
masyarakat klas bawah. Pada titik ini, kesangsian atas pertumbuhan ekonomi
konvensional, termasuk angka statistik yang menyertainya, menjadi tak terelakkan.
Pertumbuhan ekonomi konvensional yang bertumpu pada variabel makro-ekonomi,
terutama arus penanaman modal dan peningkatan ekspor, memang seringkali tidak
memiliki kaitan yang kuat dengan pengentasan penduduk miskin. Kaitan tersebut
menjadi semakin lemah, ketika arus penanaman modal tersebut lebih banyak
bergerak pada usaha padat modal (misalnya, industri telekomunikasi) dan sektorsektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang rendah (misalnya,
sektor lembaga keuangan; hotel dan restoran; listrik, air bersih dan gas).
Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif (inclusive growth) ataupun pertumbuhan
berkualitas (the quality of growth) ataupun pertumbuhan yang berpihak kepada
kaum miskin (pro-poor growth), sebagai sebuah terminologi baru dalam wacana
pembangunan dewasa ini, perlu didorong dan diintensifkan di Sulawesi Selatan, baik
pada tingkatan rencana maupun pada tingkatan implementasi. Konsep ini lebih
mementingkan dampak ketimbang sekedar angka statistik. Pertumbuhan ekonomi
dikatakan inklusif, berkualitas atau berpihak kepada kaum miskin jika mampu
mengurangi angka kemiskinan, menurunkan angka pengangguran, memperbaiki
6
Pandangan-pandangan
pembangunan daerah.
ini
didasarkan
atas
hasil
7
olahan
sejumlah
dokumen
perencanaan
Agussalim
Agussalim
Agussalim
lagi bertumpu pada apa yang akan dilakukan melainkan apa yang mau dicapai.
Dalam ranah perencanaan, ini disebut dengan perencanaan berbasis sasaran, atau
biasa juga disebut perencanaan berbasis kinerja (performance based planning).
Cara kerja pendekatan ini, pertama kali, menetapkan sasaran-sasaran terukur yang
ingin dicapai. Dalam konteks kemiskinan, sasaran dimaksud dapat berupa, misalnya,
jumlah penduduk miskin menurun sebesar 10.000 orang, pendapatan penduduk
miskin meningkat sebesar 25 persen, 100 rumah tangga miskin memulai usaha mikro
keluarga, 50 persen penduduk miskin memiliki rumah yang layak huni, dsb. Tentu
saja, sasaran-sasaran terukur ini hanya bisa ditetapkan jika perencana memiliki
pemahaman yang utuh dan informasi yang akurat mengenai kondisi penduduk
miskin.
Setelah sasaran yang ditetapkan sudah clear, langkah berikutnya adalah merancang
bentuk intervensi dan upaya untuk mencapai sasaran. Dalam dunia perencanaan,
bentuk intervensi dimaksud diformulasi ke dalam bentuk strategi-kebijakan-programkegiatan. Namun perumusan strategi-kebijakan-program-kegiatan dimaksud
sebaiknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan (stakeholder), termasuk kaum miskin.
Tahapan berikutnya adalah implementasi strategi-kebijakan-program-kegiatan.
Dalam tahapan ini harus betul-betul bisa dipastikan bahwa strategi-kebijakanprogram-kegiatan tersebut sungguh-sungguh fokus ke kelompok sasaran, tidak bias
ke non-miskin, tidak terjadi kebocoran anggaran, benar-benar sesuai dengan
kebutuhan penduduk miskin, dst.
Tahapan terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Tahapan ini deperlukan untuk
memastikan bahwa strategi-kebijakan-program-kegiatan dan anggaran kemiskinan
benar-benar efektif bekerja bagi kaum miskin. Tahapan ini juga diperlukan untuk
memberi umpan balik (feed back) bagi pengambil kebijakan dalam rangka merevisi,
memperbaharui, dan merekonstruksi penanganan kemiskinan di masa yang akan
datang.
Perubahan metodologi. Kerangka konseptual dan metodologi pengukuran
kemiskinan seyogyanya tidak melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak
memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang
dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Cara pandang baru ini tidak lagi
melihat apa yang tidak dipunyai orang miskin melainkan lebih menekankan pada
apa yang dimiliki orang miskin. Asset perseorangan dan sosial merupakan potensi
penting yang dimiliki kaum miskin, dan oleh karena itu, penanganan kemiskinan
harus diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas asset tersebut.
Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi yang kuat bahwa
pendidikan dan kesehatan merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki asset kaum
miskin. Diyakini bahwa dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas asset
tersebut akan sanggup memperbaiki taraf hidup mereka dalam jangka panjang.
Mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan
proporsi yang memadai, dianggap sebagai salah satu strategi terbaik untuk
mereduksi kemiskinan. Dengan strategi ini diharapkan pengeluaran kaum miskin
10
Agussalim
Patut dicatat bahwa cara pandang ini masih menyimpan kelemahan karena masih melihat kemiskinan
sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran
dan indikator yang digunakannya terfokus pada kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan faktorfaktor ekonomi yang dominan. Pendekatan ini juga belum menjangkau variabel-variabel yang
menunjukkan dinamika kemiskinan.
8
Penjelasan lebih jauh mengenai konsep ini dapat ditelusuri pada Joseph E. Stiglitz, Economics of the
Public Sector, Third Edition, W.W. Norton and Company, New York/London, 2000.
11
Agussalim
Agenda Kebijakan
Jika pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki keinginan kuat untuk
menekan angka kemiskinan ke level yang lebih rendah, maka agenda kebijakan
harus difokuskan pada:
digeser dari sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang rendah
(misalnya, sektor lembaga keuangan, telekomunikasi, hotel dan restoran) ke sektor
yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi (misalnya, sektor
pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan). Implikasinya,
seluruh desain kebijakan pembangunan daerah harus berorientasi pada upaya
mendorong dan menfasilitasi berkembangnya sektor-sektor ekonomi yang disebutkan
terakhir. Melalui upaya semacam ini, diharapkan kesempatan kerja bisa ditingkatkan
dan angka pengangguran bisa ditekan, sehingga pada gilirannya angka kemiskinan
dapat diturunkan. Bersamaan dengan upaya tersebut, tingkat kenaikan harga
(inflasi), terutama untuk barang-barang konsumsi rumah tangga penduduk miskin,
perlu terus dikendalikan. Ini penting, bukan hanya untuk mempertahankan daya
beli masyarakat miskin, tetapi juga untuk menjaga posisi nilai tukar penduduk
miskin atas barang-barang konsumsi.
Fakta empiris membuktikan bahwa konflik dan kerusuhan sosial ( social unrest) di berbagai belahan
dunai seringkali mengalami ekskalasi luas karena dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan sosial.
12
Agussalim
dan partisipasi multi-pihak. Lembaga donor internasional juga perlu digiring dan
diarahkan untuk bekerja pada ranah pemberdayaan masyarakat miskin.
dalam perspektif jangka menengah dan jangka panjang harus bertumpu pada upaya
peningkatan kemampuan dan kapabilitas penduduk miskin untuk mengakses
sumberdaya ekonomi. Dalam persepktif ini, pengentasan kemiskinan perlu
dikorelasikan dengan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Upaya
semacam ini akan sanggup memperbaiki produktivitas, mengurangi ketergantungan,
menekan kerentanan, dan meningkatkan kemandirian penduduk miskin.
Epilog
Dengan menggunakan kerangka evaluatif, pertanyaan yang patut diajukan kemudian
adalah apakah desain strategi-kebijakan-program-kegiatan pembangunan daerah
selama ini, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, sudah diarahkan untuk
memperbaiki indikator-indikator kesejahteraan. Apakah strategi dan kebijakan
pembangunan daerah sudah didesain sedemikian rupa untuk lebih berpihak pada
wilayah perdesaan-pertanian-tradisional yang merupakan wilayah konsentrasi
penduduk miskin. Apakah anggaran pemerintah daerah sudah dialokasikan dan
distribusikan sedemikian rupa untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat klas
bawah. Apakah sudah terbangun persepsi yang sama di kalangan para pemangku
kepentingan (eksekutif, legislatif, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, lembaga
donor, organisasi kemasyarakatan, dsb.) bahwa manusia harus menjadi muara dari
keseluruhan tindakan yang mengatasnamakan pembangunan.
13
Agussalim
Jika kita sudah menyediakan jawaban cerdas atas seluruh pertanyaan di atas, dan
pada saat yang sama, seluruh agenda kebijakan yang ditawarkan di atas sudah dapat
direalisasikan secara konsisten dan berkelanjutan, maka sangat boleh jadi kita semua
akan semakin yakin, sebagaimana keyakinan Nelson Mandela, bahwa ternyata
kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diberantas.
Daftar Bacaan
Agussalim, 2011. Pengentasan Kemiskinan di Sulawesi Barat; Sebuah Pencapaian
yang Impresif. Makalah yang Disampaikan pada Forum Bappeda Provinsi
Sulawesi Barat, 18 Juli 2011, di Wonomulyo, Polewali Mandar.
Agussalim, 2010. Merekonstruksi Penanganan Kemiskinan di Provinsi Gorontalo.
Policy Paper untuk Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tidak Dipublikasikan.
Agussalim, 2010. Kemiskinan: Bencana Bisu Kemanusian. Makalah yang Disampaikan
pada Seminar Nasional Review Kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Hotel Quality
Gorontalo. 17 Februari 2010.
Agussalim. 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru untuk Indonesia.
Penerbit: Nala Cipta Litera dan PSKMP UNHAS. Makassar. Januari 2009.
Agussalim. 2009. Reducing Poverty. Majalah Bakti News. ISSN 1979-777X. Vol. IV
April 2009 Edisi 45.
Agussalim. 2007. Pengentasan Kemiskinan; Sebuah Proposal Baru untuk Nanggroe
Aceh Darussalam. Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional
Pembangunan Aceh Kedua From A Bitter Past Towards A Better Prospect.
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. 29-30 Desember 2007.
Agussalim. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pengurangan Angka Kemiskinan.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas
Surabaya. ISSN: 1410-9204 (Akreditasi B). Volume 9. Nomor 2. Juni 2007.
Hal. 169-184.
Agussalim. 2006. Kemiskinan dan Gender: Perspektif Perencanaan dan
Penganggaran. Makalah yang Disampaikan pada Seminar dan Workshop
Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengarusutamaan Gender. kerjasama
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan UNDP. Hotel Marannu
Makassar, 4 dan 8 Mei 2006.
Agussalim. 2005. Sanggupkah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki Ketimpangan dan
Mereduksi Kemiskinan. Makalah Terpilih pada Calls for Papers Simposium Riset
Ekonomi II: Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan.
ISEI Surabaya. Surabaya, 23-24 November 2005.
Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan
Pembangunan, Majalah Simpul Perencana. Pusbindiklatren BAPPENAS. ISSN
1656-4229. Volume 5. Tahun 3. Juni 2005. Hal. 28-32.
14
Agussalim
15