Shalat 5 Wktu

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

Dalam Injil Barnabas ada ungkapan mengenai kelima waktu sembahyang dan Uraian

mengenai Allah dan sifat-sifatnya yang dengan jelas kita ketahui sebagai hasil teologi Islam.
Saya rasa tidaklah tepat kalau Kelima waktu sembahyang dianggap sebagai hasil teologi Islam.
Beberapa waktu yang lalu saya sempat kirimkan kebbrp teman by email: tentang shalat dalam
kristen yang telah dikenal sejak jaman gereja mula2 dan tradisi ini berlanjut pada jaman Luther
dan hingga sekarang Gereja Katolik Roma,Gereja Melkite di Palestina, Gereja2 Orthodox masih
melakukan sholat, walaupun telah disesuaikan dengan keadaan jaman saat ini.
Saya postingkan ulang tentang shalat dalam Kristem :
Shalat dalam Kristen
Pelecehan terhadap doa yang dirumuskan, sebagaimana kadang-kadang terjadi dilingkungan
Kristen, tidak memiliki dasar dalam Alkitab dan tradisi, tetapi merupakan suatu produk dari
subyektivisme dan individualisme modern ( E.H. Van Olst, Alkitab dan Liturgi / Jakarta : BPK.
Gunung Mulia, 1996 hal.68-69)
Dalam komunitas Kristen yang berbahasa Arab. Doa-doa harian atau Brevir (Latin : De Liturgia
Horanum) lebih populer disebut Sabu ash shalawat (Shalat Tujuh Waktu). Liturgia Horanum
adalah doa-doa harian yang dilakukan pada saat-saat tertentu, yang didasarkan atas penghayatan
jam-jam peristiwa Yesus, khususnya Jalan Salib-Nya (Latin :Via Dolorosa, Arab : Tarkh alAlam).
Brevir atau doa-doa harian ini sifatnya non-sakramental, dalam bilangan tujuh waktu secara
lengkap, saat ini masih dilaksanakan di seluruh gereja-gereja Timur, khususnya oleh para rahib di
biara-biara. Tetapi pemeliharaan waktu-waktu shalat, lengkap dengan adab qiyam (berdiri), ruku
dan sujud, terutama dilestarikan di Gereja Orthodox Syria.
Karena kekunoannya, tentu saja tidak dapat dikatakan tatacara ini dipengaruhi islam, seperti
yang sering dituduhkan orang Kristen di Indonesia. Model doa-doa harian seperti ini, bukan
hanya waktu-waktunya yang dapat dilacak dari ayat-ayat Alkitab sendiri, tetapi juga dokumendokumen gereja kuno, masa-masa menjelang kelahiran Islam, hingga pada zaman sekarang ini.
Pola-Pola doa seperti ini, khususnya dalam Gereja Katolik ritus latin, sudah banyak mengalami
penyesuaian akibat tuntutan hidup modern.
Al-Qudds al-Ilah dan Sabush Shalawt:
Dua corak Ibadah Gereja Mula-mula
Sejarah gereja mula-mula, sebagaimana disebutkan dalam Perjanjian Baru, dengan jelas
mencatat bahwa sejak awal mula orang-orang Kristen awal : . bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu menjalankan shalat-shalat dan
merayakan ekaristi (Kis 2:42, Peshitta)
Ayat ini mencatat kedua corak ibadah gereja kuno, yakni ibadah sakramental (Arab : Al-Qudds
al-Ilah/Perjamuan Kudus) dan ibadah non-sakra-menta, antara lain ibadah-ibadah harian dengan
waktu-waktu tertentu ( cf: waktu sembahyang Kis 3:1)

Ternyata dua corak ibadah ini hanya meneruskan dari kedua corak ibadah Yahudi : Hag (jamak :
Hagigah) dan Siddur.
Hagigah ialah perayaan besar yang harus diselenggarakan 3 kali dalam setahun di kota suci
Yerusalem. Kata yang diterjemahkan perayaan. Perlu dicatat pula, kata Ibrani Hag (yang
seakar dengan kata Arab : hajj), yang sejak dibangunnya Bet hammigdas (Arab: Bait al-Magdis)
di Yerusalem, perayaan 3 kali dalam setahun ini dipusatkan di kota suci itu (Kel 23:14 ; Mzm
122:4). Perayaan besar atau hag ke Yerusalem ini, dalam kacamata Iman Kristen sudah digenapi
dengan kedatangan Yesus Sang Mesiah, dan satu dari antara ketiga hag yang terbesar, yaitu Hag
ha-Pesah (Perayaan Paskah) yang dahulu menjadi puncak perayaan-perayaan Yahudi, sekarang
dimengerti dalam makna yang baru.
Kalau Paskah Yahudi adalah perayaan pembebasab Bani Israil dari perbudakan Firaun di Mesir,
maka Paskah Kristen adalah perayaan pembebasan umat manusia dari belenggu dosa berkat
penebusan Kristus.
Teologi penebusan sendiri ternyata lebih dilatar belakangi konsep Yahudi mengenai Kippur
(Arab : Kaffarat), yang artinya penebusan atau penggantian, kurban yang menjadi puncak
seluruh peribadatan Yahudi, dilanjutkan dan digenapi dalam kurban Perjamuan Kudus (Aram :
Qurban Qadiss, Arab : Al-Qudds al-Ilah). Dan apabila Paskah Yahudi itu dirayakan dengan
roti tidak beragi, maka dalam ekaristi umat memecah-mecahkan roti, yang secara teologis
diimani sebagai tubuh dan darah Kristus. Karena kedatangan Kristus sudah menggenapi Taurat
dan Kitab Nabi-nabi, tidak lagi mewajibkan ber-hag ke Yerusalem, melainkan memecahmecahkan roti dirumah masing-masing (Kis 2:46).
Perlu diketahui, peristiwa nuzulnya Firman Allah menjadi manusia (Kalimatullah alMutajjasad) : Kelahiran, Kebangkitan dan miraj-Nya ke Surga, menjiwai seluruh ibadah
Kristen ; baik ke tujuh sakramen gereja, khusunya Perjamuan Kudus, maupun Ibadah-Ibadah
non-sakramental seperti Shalat Tujuh Waktu.
Pembagian waktu shalat ini mula-mula berasal dari pembagian waktu-waktu menurut
perhitungan Yahudi kuno. Begitu juga unsur-unsur doa dipanjatkan, kendati dimengerti dalam
makna baru yang berpusat pada permenungan atas peristiwa Kristus.
Shalt dan Shalawt dalam
Komunitas Kristen Arab dan Islam
Istilah dalam bahasa Arab Shalt berasal dari bahasa Aram Tselta. Ungkapan ini, misalnya dapat
dibaca dalam Kis 2:42, teks Peshitta waminin hu be syulfana de shliha we mish-tautfin hwo ba
tselta we baqtsaya de eukaristiya Artinya : Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan
dalam persekutuan. Dan mereka selalu melaksanakan tselta dan merayakan ekaristi.
Dalam bahasa Arab, kedua ibadah itu disebut kasril khubzi wa Shalawt, maksudnya
memecah-mecahkan roti dan doa-doa.
Istilah shalt di negara-negara Timur Tengah digunakan baik oleh umat Islam maupun Kristen,
meskipun dalam pemakaiannya kata ini agak berbeda.
Dalam Islam memang dibedakan pengertian shalt secara bahasa (lughawi) sebagai doa yang
sebaik-baiknya (ad-duau bi al-khair), dan maknanya secara syariah Islam (syari) sebagai doa
menurut tertib waktu dan ritual tertentu. Dalam makna demikian, Islam membedakan istilah

shalt dengan doa-doa pada umumnya yang bisa dilakukan disembarang waktu.
Sedangkan dalam Kristen, kata ini diterapkan baik untuk doa-doa yang dikanonisasikan (AshShalt al-Fardhiyyah) menurut waktu-waktu dan cara tertentu, maupun doa-doa pada umumnya
(contohnya : Ash-Shalt ar-Rabbaniyah, Doa Bapa kami)
Dalam Kristen, kata Shalt juga kadang-kadang diterapkan untuk menyebut Al-Qudds (Misa
atau Perjamuan Kudus) pada hari-hari perayaan tertentu. Perjamuan Kudus yang biasanya
disebut Al-Quddas al-Ilahi, juga disebut shalt Al-Qudds.
Sedangkan ibadah-ibadah perayaan, terutama Perayaan Natal (Id al-Mld) dan Perayaan Paskah
(Id al-Fashha) juga lazim disebut Shalt al-Id, berbeda dengan Islam, kata Shalt dalam
komunitas Kristen dipakai dalam makna lebih luas.
Selain kata Shalt ini, dalam bahasa Arab juga acap kali dipakai juga dalam bentuk jamaj
shalawt. Kedua bentuk ini sama-sama muncul baik dalam al-Quran, maupun dalam Alkitab
berbahasa Arab dan tradisi gereja-gereja Arab
Secara etimologis, perubahan bentuk dari bahasa Suryani/Aram Tselta menjadi bahasa Arab
Shalt, bisa dilacak dari proses korespondensi bunyi (the phonetic corespondence).
Dalam rumpun bahasa-bahasa semitik, aksara Aram ts sering berubah menjadi aksara Ibrani sy,
dan menjadi aksara Arab sh,
Misalnya kata dasar Aram Tsela (Dan 6:11) bentuk Ibraninya syalu, sebagaimana kita jumpai
dalam dalam ayat : Syalu Syalom Yerusalem, Artinya:Berdoalah untuk keselamatan Yerusalem
Alkitab LAI Berdoalah untuk kesejahteraan Yerusalem (Mzm 122 :5).
P.K. Pilon mencatat ; banyak ahli menduga kata-kata selah, yang sering muncul dalam mazmurmazmur, mungkin berasal dari akar kata Aram ts-l yang artinya ruku atau membungkuk.
Kalau demikian, mungkin dapat diduga bahwa zaman dahulu, kata ini dimaksudkan sebagai
sebuah panggilan untuk ruku di sela-sela pendarasan ayat-ayat mazmur. Kata Aram tselta
sendiri, juga berasal dari akar kata yang sama. Jadi nomina tselta dalam bahasa Aram
merupakan nomen actionis, yang berarti ruku atau perbuatan membungkukan badan. Karena itu,
secara teknis tselta dalam dialek Aram digunakan arti ritus penyembahan.
Dari kata tselta inilah, bahasa Arab kemudian melestarikannya menjadi kata shalt. Istilah
shalt ini dipakai baik oleh umat Islam maupun gereja-gereja berbahasa Arab di Timur Tengah,
sedangkan kata Suryani tselta dipakai oleh seluruh gereja-gereja Suryani (Gereja Ortohodoz
Syria, Gereja Assyria, Gereja Maronit, Gereja Khaldea Kesatuan dan Gereja Katolik Syria),
berdampingan dengan kata Arab shalat tersebut sampai sekarang.
Ada sedikit perbedaan dalam pemakaian kedua bentuk kata Arab shalat dan shalawat dalam
komunitas Muslim dan Kristen berbahasa Arab.
Selanjutnya, Mar Igbatius Yaqub III menekankan bahwa orang-orang Kristen hanya
melanjutkan adab yang dilakukan orang-orang Yahudi dan bangsa-bangsa timur lainnya ketika
memuju Allah dalam praktek ibadah mereka (tabaan lamma kana yafalahu al-yahud wa
ghayrihim f al-syargi f atsna mumara-satihim al-ibadah). Perlu dicatat pula, bahwa pada
akhirnya pola ibadah ini telah dilestarikan pula oleh umat Muslim (wa qad iqtabasa al-Muslimin
aidhan buduruhum hadza al-naun min al-ibadah). Ritus shalat sebagai ibadah harian pada

waktu-waktu yang ditentukan, bukan hal baru dalam tradisi Kristen dan tidak bisa dimonopoli
oleh Islam saja.
Iddana Tselta : Waktu-Waktu Doa
Dari Yudaisme ke Kristenan Mula-Mula
Ketika merealisasikan misi keselamatan Allah di dunia, Kristus memanggil murid-muridnya
yang berasal dari bangsa Yahudi. Ketika beribadah di Bait Allah dan sinagoge-sinagoge, mereka
tidak mempunyai cara lain kecuali cara Yahudi.
Setelah kenaikan Yesus ke surga, umat Kristen perdana di Yerusalem masih meneruskan
kebiasaan Yahudi ini, yaitu sembahyang dengan waktu-waktu tertentu ( Kis 3:1 ; 10:9 ; 10:30).
Serentak dengan itu, mereka juga menyadari bahwa kedatangan-Nya, Yesus telah menggenapi
hukum Taurat dan Kitab Nabi-Nabi (Mat 5:17)
Dalam konteks situasi seperti itulah, umat Kristen mula-mula melaksanakan ibadah mereka
kepada Allah. Dan untuk itu, gereja telah mengambil dari kaum Yahudi tilawah ayat-ayat
Mazmur, dan shalat-shalat yang ditentukan pada jam-jam tertentu (wa qad akhadzat badha alkanais ;an yahud tilawat mazamir wa shalawat muayyanat fi hadzihi as-saah). Fakta bahwa
umat Kristen mula-mula berdoa pada jam-jam tertentu, dengan jelas dinyatakan dalam kesaksian
kehidupan gereja perdana, seperti tercatat dalam Perjanjian Baru dan tulisan-tulisan bapa-bapa
rasuli (the apostolic fathers, murid-murid para rasul) terawal
Umat Kristen mula-mula jelas berakar pada adab keYahudian, sehingga tidak dapat disangkal
bahwa mula-mula sekali umat Kristen juga melakukan sembahyang 3 kali dalam sehari (Dan
6:11 ; Mzm 15:18). Mazmur 15:18 dengan jelas mencatat tiga waktu sembahyang Yahudi, yakni
pada waktu petang, pagi dan tengah hari. Dalam bahasa Ibrani, tiga waktu sembahyang tersebut
adalah : erev we boker we tsohorayim (Arab : masyaan wa shabhan wa dhuran).
Dalam kitab-kitab doa Yahudi, waktu petang (erev) sering disebut juga maariv (Arab :
Maghrib).
Doa pada waktu senja ini, dalam gereja-gereja berbahasa Arab disebut shalat ghurub (doa waktu
matahari tenggelam) atau shalat masya (doa sore hari). Menurut literatur Yahudi, Talmud
(Brakot 26b), setelah penghancuran Baitul Maqdis dan zaman pembuangan di Babel, ditetapkan
satu waktu doa lagi yaitu doa jam ke-sembilan (sa-at at-yisah). Menurut hitungan waktu Yahudi,
doa ini dilakukan kira-kira jam tiga petang (sejajar dengan waktu Asyar dalam Islam). Dalam
bahasa Ibrani, sembahyang ini disebut minhah (korban petang). Sembahyang Minhah inilah yang
disebut dalam Kis 3:1,dan dibedakan dengan waktu maariv yang disebutkan dalam Ezr 9:5 ;
Dan 9:21 ; Mzm 141:2.
Menurut sejarahwan Yahudi Flavius Josephus, penetapan sembahyang Minhah merupakan
reinterpretasi dari frasa antara kedua waktu petang yang disebut Yubelium 49:1. 10-12. yaitu
sebuah sumber ekstrakanonik Yahudi ini, Kis 3:1 mencatat kebiasaan Kristen mula-mula, yang
sering dengan jelas mengenal waktu sembahyang
Sebagaimana umat Kristen mewarisi batu-batu pondasi ritus umat Allah sebelumnya, tetapi
menafsirkannya dalam terang kedatangan Yesus sebagai Mesiah, maka waktu-waktu doa Yahudi

itu dipelihara, akan tetapi dengan penghayatan tersendiri yang berpusat pada Kristus
(Christocentris) khususnya merujuk kepada kurban akbar-Nya di Kalvari.
Waktu-waktu sembahyang ini dalam gereja purba ditentukan berdasarkan pembagian waktu
sehari menurut sitem Ibrani kuno. Berbeda dengan waktu modern yang dimulai pagi hari,
perhitungan waktu Ibrani dimulai dari sore hari, kira-kira saat setelah matahari terbenam. Lalu
12 jam pada siang hari-nya, yang dihitung pertiga jam. Dalam bahasa Ibrani, mulai dari: syaah
ha-ehad jam pertama (sejajar dengan pukul 06.00 pagi), syaah ha-syelisit jam ketiga (sejajar
dengan jam 09.00 pagi), syaah syisyit jam keenam (sejajar dengan pukul 12.00 siang), dan
syaah ha-tesiit jam kesembilan (sejajar dengan pukul 15.00 petang).
Berdasarkan perhitungan waktu seperti itulah, Kisah Rasu-rasul mencatat bagaiman para rasul
dan umat Kristen mula-mula dengan setia menunaikan waktu-waktu sembahyang. Dalam Alkitab
bahasa Indonesia (LAI 1974), penyebutan waktu-waktu ini sudah disesuaikan dengan
perhitungan waktu modern. Misalnya, Kis 3:1 mencatat : Pada suatu hari menjelang
sembahyang, yaitu jam ke sembilan (epiten hooran tes prsekees ten ennaten), naiklah Petrus dan
Yohanes ke Bait Allah untuk berdoa, Kis 2 :1-5 mencatat pula bahwa pada hari Pentakosta
(Ibrani : hag hasy syavuot) Roh Kudus turun saat mereka yang berkumpu pada jam ke tiga
(estin gar hoora tritee tes emeras).
Petrus dan Silas dikisahkan juga mempunyai kebiasaan berdoa pada tengah malam (shalt allail), sebagaimana dilakukan nabi-nabi pada zaman dulu ( Mzm 119:62 ; Kis 16:25).
Rujukan paling dini mengenai kebiasaan sembahyang harian ini, bisa dibaca dalam kitab
Didache (tahun 95 M) yang menganjurkan agar dalam sembahyang kita doa Bapa Kami dibaca 3
kali dalam sehari. Tiga kali sehari ini jelas masih menunjuk waktu-waktu sembahyang Yahudi,
dimana gerja mula-mula berasal.
Klemens ar-Rumani, salah seorang murid Rasul Petrus yang menjadi uskup Roma (yang
namanya juga disebut Rasul Petrus dalam Filipi 4:3), tahun 90 Masehi menulis surat kepada
orang-orang Kristen di Roma : Kebangkitan Rohani kita adalah dengan melaksanakan ibadah
harian pada waktu-waktu yang telah ditetapkan.
Selain itu, kita juga membaca karya kuno lain, antara lain ditulis Klemens al-Iskandari (tahun
150-215 Masehi), dalam satu suratnya menyebut: waktu-waktu yang ditetapkan para
bapa gereja kita, yang kita pelihara dengan melaksanakannya secara rutin dari hari ke hari.
Sesungguhpun kita boleh bersyukur kepada Allah, tulis Basilius al-Kabir setiap waktu. Kita
tidak boleh melalaikan waktu-waktu doa yang telah ditetapkan rasul-rasul di Yerusalem.
Hampir semua bapa-bapa gereja, baik di barat maupun di timur, mereka menulis pentingnya
ibadah harian ini. Di gereja wilayah timur, misalnya Mar Yuhanna Dahabi al-fam/Yohanes
Chrystomos (354-420), dan di gereja wilayah barat dapat disebut St. Agustinus (340-420).
Refrensi terlengkap tentang sembahyang harian, lengkap dengan makna teologis masing-masing
waktu, dijumpai dalam sebuah dokumen kuno al-Dasquiliyah : Taalm ar-Rusul (Latin:
Didascalia Apostolorum, Konstitusi Rasuli), yang editing terdininya telah rampung dikerjakan
oleh Hypolitus tahun 215 M.

Dari Yerusalem ke Timur : Makna


Teologis Perubahan Kiblat
Sejak zaman dahulu hingga kini seluruh umat Yahudi berdoa dengan menghadap ke Baitul
Maqdis (Ibrani: Beyt ham-Migdash), di Yerusalem. Sinagoge-sinagoge Yahudi di luar Tanah Suci
Israel mempunyai arah kiblat (Ibrani: mizrah) ke Yerusalem.
Alkitab mencatat kebiasaan berdoa nabi Daniel (Dan 6:11) yang berkibkat ..ke arah
Yerusalem, tiga kali ia berlutut dengan kakinya berdoa (Aram: negel Yerusyalem, we zimnin
talatah beyyoma hu barek al birkohi ume tsela). Kebiasaan ini diikuti oleh umat Kristen mulamula, sampai kehancuran kota Yerusalem tahun 70 Masehi.
Setelah kehancuran Bait Allah, kemanakah umat Tuhan menghadap muka untuk menyembahNya? Umat Yahudi tetap berkiblat ke sana hingga sekarang, sambil meratapi ke arah tembok
sebelah Bait Allah yang masih tersisa (Arab: Haithun al-Mubakka/ Tembok Ratapan). Tetapi
umat Kristiani teringat pada sabda Yesus yang memang sudah me nubuatkan kehancuran Bait
Allah itu (Mrk 13:1-2) .saatnya akan tiba, kata Yesus kepada wanita samaria di sumur
Yakub, kamu akan menyembah Bapa, bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem (Yoh
4:21)
Berdasarkan refleksi mendalam yang diterangi Roh Kudus, umat beriman mulai berpikir Yesus
sendirilah kiblat yang sejati. Mengapa? Karena tubuh kebangkitan-Nya telah menjadi shekinah
(tempat kehadiran) Allah, untuk menggantikan Bait Allah yang fana itu (Yoh 2:19-21). Tetapi
dimanakah sekarang Kristus? Ia sudah terangkat ke surga, dan duduk disebelah kanan Allah
(Kol 3:1).
Pergumulan ini akhirnya mengantarkan mereka menemukan kembali kiasan kuno mengenai
firdaus: di sebelah timur (Kej 2:8). Mereka juga menemukan bahwa tempat kudus di Baitul
maqdis, kiblat mereka dahulu waktu menyembah, yang ternyata juga menghadap ke timur
(Yeh 44:1), sungguh Kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur (Yeh 43:2).
Pada akhirnya, umat Kristen perdana itu melaksanakan ibadah mereka dengan mencontoh
langsung pola peribadatan Baitu Maqdis yang menghadap ke timur. Mereka tidak lagi mengikuti
pola ibadah sinagoge-sinagoge yang menghadap ke Baitul Maqdis, dengan penghayatan yang
bersifat Kristosentris.
Makna Teologis Shalat Tujuh Waktu
L.E. Philips, berdasarkan penelitian arkeologisnya menulis bahwa umat Kristen paling awal
sudah melaksanakan ibadah-ibadah harian pada waktu pagi, tengah hari, malam dan tengah
malam.
P.T. OBrien dalam Prayer in Luke-Acts, lebih terperinci lagi, menurut OBrien waktu
tsohorayim (tengah hari) menurut Mzm 55:18, yang tetapi tidak masuk dalam doa Yahudi waktu
itu dan waktu tengah malam ditambahkan ke dalam waktu-waktu sembahyang Yahudi. Jadi
selain 3 waktu sembahyang Yahudi: saharit (subuh), minchah (asyar) dan maariv (maghrib),
umat Kristen mula-mula juga mengenal sembahyang tengah hari dan tengah malam.

Bagaimanakah deskripsi waktu-waktu shalat, makna dan urut-urutannya, menurut sumbersumber gereja-gereja purba sendiri, khususnya Gereja Orthodoks Syria? Menurut Mar Gregorius
Yuhanna Ibn al-Ibri, dalam bukunya Al-Itsiqun (The Ethicon), kanonisasi tujuh waktu shalat ini
merupakan penggenapan Mazmur 119:164.
Tujuh waktu sembahyang tersebut, sesuai dengan urutan-urutannya :
1. Shalt al-Masa atau al-Ghurub (shalat maghrib)
2. Shalt al-Naum (shalat malam)
3. Shalt Nishfu al-lail (shalat tengah malam)
4. Shalt Subuh (shalat subuh)
5. Shalt Saat ats-Tsalitsah (shalat jam ketiga)
6. Shalt Saat as- Sadisah (shalat jam keenam)
7. Shalt Saat At- Tsiah (shalat jam kesembilan)
Mengapa waktu-waktu sembahyang diawali dari waktu terbenamnya matahari? Menurut Mar
Yaqub al-Barthila, dalam bukunya Al-Mausum al-Kanuz, penentuan waktu maghrib sebagai
permulaan waktu sembahyang didasarkan atas tradisi eklesiastikal (Arab: thuqs) Gereja
Ortodoks Syria yang mengikuti kebiasaan Yahudi pada zaman rasul-rasul Kristus.
Urutan ini pula yang diikuti oleh dokumen gereja kuno, At-Taalm al-Rusul (Didascalia)
BabXXXVII, mengenai Auqt Shalt (waktu-waktu sembahyang).
Menurut tradisi ritus Gereja Syria tersebut, setelah shalt maghrib, shalt naum, shalt nishfu
lail, dan shalt subuh, ketiga waktu sembahyang terakhir disebut shalawt as-saah yaitu (saat
ats-tsalitsah, saat as-sadisah, dan saat at-tasi-ah).
Hal ini agak berbeda dengan ritus Ortodoks Koptik yang memasukan sembahyang subuh sebagai
shalat saah al-awwal (shalat jam pertama). Jadi kalau tradisi Syria memasukan shalat ini sebagai
urutan terakhir dalam 12 jam paro waktu siangnya.
Salah satu sebab, mungkin pelaksanaan waktu sembahyang ini di biara-biara Koptik lebih
lambat, sehingga mereka menyebutnya Shalat Bakir atau sembahyang waktu bangun tidur.
Sedangkan dalam Taalim ar-Rusul (The Arabic Didascalia), perhitungan waktu awalnya justru
mulai dari shalat al-Naum (sembahyang malam), seperti disebutkan dalam Bab XXXVII sebagai
berikut : ..mengenai pembagian waktu-waktu untuk Shalat, yakni: diawali pada malam
menjelang tidur (awwala al-laili inda al-naum), dan pada waktu tengah malam (nishfu al-lail),
lalu awal waktu hari siangnya: jam ketiga (tsalitsu saah), jam keenam (sdisu saah), jam
kesembilan (tsiu saah) dan sore hari (al-masa).
Tetapi perbedaan-perbedaan kecil ini, sama sekali tidak mengurangi makna teologis waktu-waktu
shalat, yang terutama berdasarkan penghayatan mendalam gereja mula-mula atas Jalan salibNya. Dalam makna Kristosenris itulah, gereja-gereja purba memberikan makna ketujuh ibadah
harian ini.
Dibawah ini kutipan waktu-waktu shalat dan maknanya berdasarkan sumber Gereja Ortodks
Syria, yang akan dibandingkan disana-sini dengan sumber gereja-gereja lain, baik sumber
ortodoks maupun katolik ;

Shalt Maghrib
(Shalt al-Ghurub)
Shalat ini pada saat bersamaan dengan matahari terbenam, kira-kira pukul 06.00 petang ; untuk
kita bersyukur kepada Allah, yang telah memberikan waktu malam kepada kita untuk beristirahat
setelah kita bekerja (li nasykurillahi alladzi athina al-layli li nastarii fihi min atabi al-nahari).
Menurut Agabia Gereja Ortodoks Koptik, sembahyang yang meneruskan kebiasaan doa Maariv
Yahudi ini, juga untuk mengingatkan kita diturunkannya tubuh Kristus dari kayu salib, dikafani
dan dibaringkan serta diberinya wewangian (tadzkarn li nuzli jasad as-Sayid al-Mash min
ala ash-shalb wa takfiyanihi wa wadhau al-hanuth alaihi). Sembahyang ini di Gereja Katolik
dikenal dengan Verpers atau ibadah sore.
Shalt Waktu Tidur
(Shalt an-Naum)
Waktu shalat ini setelah berlalunya waktu maghrib, kira-kira sejajar dengan shalat Isya dalam
Islam. Dengan bersembahyang waktu naum, kita memohon perlindungan Allah dari kejahatan
kegelapan, supaya dipelihara tidur kita pada waktu malam, dan dapat bangun kembali laksana
di alam keabadian (raqadna masaa fa satayaqna fi alam al-abdiyah).
Maksudnya, pada jam ini gereja mengajak kita untuk mengingat berbaringnya tubuh Kristus
dalam kubur (Rutibat tadzkrn liwadhii as-sayid al-Mash fi al-qubri). Bukan hanya waktu ini
ditentukan untuk istirahat kita, tetapi supaya dengan tidur kita untuk mengingat kematian, dan
dengan mengingat kematian kita mengingat Allah, karena sesungguhnya saat tidur adalah
laksana kematian kecil (f nahrihi, bi itibri anna al-nama huwa al-mauti ash-shagh). Dalam
gereja Katolik Roma, waktu ini disebut Vigil (Latin: Vigilae, tirakatan).
Shalt Tengah Malam
(Shalt Nishfu al-Lail)
Sembahyang tengah malam ini didalam gereja-gereja kuno disebut dengan berbagai nama. Selain
disebut Shalat Nishfu al-Lail (Shalat tengah malam), ada yang menyebut Shalat saat Hajib
Dhulmat (Shalat berjaga waktu malam). Waktu tengah malam sangat penting, karena
mengajarkan kepada kita agar kita selalu berjaga dan berdoa untuk dilepaskan dari kejahatan
iblis dan bala tentaranya (li yalimina an nushari wa nushali da iman li najji min asy-syirir wa
junudihi).
Karena itu, sembahyang ini dalam bahasa Suryani disebut ; tselota shahra (sembahyang waktu
berjaga). Karena lebih dari itu, kita harus senantiasa berjaga-jaga, sebab Yesus akan datang
sewaktu-waktu.
Lihatlah! kata Yesus dalam Why 16:15, Aku datang seperti pencuri, Berbahagialah ia yang
berjaga-jaga. Rasul-rasul mempunyai kebiasaan berdoa tengah malam (Kis 16:25).
Pada masa sekarang, wa huwa khshatun bi al-Asqifat wa al-kahanat wa ar-Ruhbn (shalat ini
khususnya dilaksanakan oleh Episkop (Uskup), Abuna (Romo), atau Pendeta, dan para Rahib
(Biarawan)

Shalt Subuh
(Shalt As-Subuh)
Di Gereja Ortodoks Koptik lebih dikenal dengan Shalat Bkir, ada pula yang menyebut Shalat
Saah al-Awwal (Sembahyang jam pertama). Waktu sembahyang adalah saat fajar menyingsing,
kira-kira pukul 05.00-06.00 pagi menurut waktu kita.
Sebelum Kristus, dalam Perjanjian Lama sembahyang ini disebut dalam bahasa Ibrani: Saharit
(Mzm 5:4-7), sedangkan sampai sekarang dalam Gereja Katolik lebih dikenal dengan Laudes
Matutinae (pujian pagi).
Shalat ini untuk mengingat dimana Tuhan kita Yesus Kristus Bangkit dari kematian. Itulah doa
pada waktu pagi ketika kita bangun dari tidur untuk mengucap syukur kepada Allah karena Ia
sedah mengaruniakan hari baru bagi kita, dan untuk memuliakan kebangkitan Kristus (Rutibat
tadzkarn lis sati llat qma fha al-Masih min baina al-amwt. Tutal al-qiyam min al-nam
syukrn li llahi li badi hayati al-nahri al-jadd wa tamajidn ala qiymatihi).
Shalt Jam Ketiga
(Shalt As-Sat Ats- Tslitsah)
Waktu sembahyang ini kira-kira sejajar dengan pukul 09.00 pagi menurut waktu kita, atau
sebanding dengan Shalat Dhuha; dalam Islam.
Kita sembahyang pada jam ketiga, karena pada jam ini Pontius Pilatus telah menjatuhkan
hukuman kepada Kristus (Fnmitsali hadzihi as-sati hakama Bilthus ala As-Sayid al-Mash)
Mrk 15:25. Pada jam sembahyang ini, kita juga merefleksikan makna penderitaan Kristus, dan
mengucap syukur karena Yesus sudah menggantikan kita, yang semestinya kita sendiri yang
harus menanggungnya pada hari pengadilan akhirah (yaum ad-dn).
Selain itu, Pada jam ini juga Roh Kudus telah turun atas para murid Yesus yang suci (wa
aidhan f mitsali hadzihi as-sati hala ar-Rh al-Quddus ala at-talmid ath-thhr). Dan turunnya
Roh Kudus ini, menurut Alkitab dan catatan sejarah gereja Purba, juga menandai berdirinya
gereja Kristus pertama Yerusalem (Kis 2:1-15),
Gereja Kristus adalah Israel sejati, yaitu penggenapan umat Allah yang baru.
Shalt Jam Kesembilan
(Shalt As-Sat At-Tsiah)
Menurut Injil, tepat pada jam kesembilan, yang kira-kira sejajar jam 3 petang ini Yesus
menyerahkan nyawa-Nya (Mrk 15:33). Sebagaimana kematian-Nya memberikan Kaffarat
(penebusan) bagi setiap orang yang beriman, sebagai orang-orang tebusan-Nya kita memohon
agar nantinya Dia mengumpulkan kita bersama kematian kaum mukminin di jalan kaum yang
duduk disebelah kanan-Nya (yandhamna maa amwatina al-Muminina fi salaki ashhabi aljanibi al-yamin).
Pada waktu itu juga seorang pencuri yang berada disebelah kanan-Nya memohon supaya Yesus
kelak mengingatnya di kerajaan-Nya, dan Kristus lalu memberikan keselamatn kepadanya (wa
fiha saala al-lashshu al-yaminu an yadzkurahu fi malakutihi, fa athihu al-kalashu saalahu).
Pada jam shalat ini, sebagaimana Ia telah mengampuni pencuri itu, maka kitapun sebagai orang

berdosa memohon rahmat dan ampunan-Nya. Rasul- rasul Kristus dengan tekun mengikuti
sembahyang yang dikenal orang Yahudi sembahyang minhah ini (Kis 3:1 ; 10:30).
Dalam hal ini, gereja perdana memberikan makna baruatas sembahyang yang sudah dikenal
sebelumnya ini. Selain mencatat kematian-Nya tepat pada sembahyang kurban petang Yahudi
(minhah) ini, Injil juga mencatat sabda Kristus; Sesudah mengatakan demikian Ia menyerahkan
nyawa-Nya. Maka terbelahlah tirai Baitul Maqdis (wa lamma qala hadza aslama ar-ruh, faa
ansyaqa hijab al-haykali min wasathah). Terbelahnya tirai Bait Allah ini menandakan sudah
tergenapi syariat kurban dengan kematian Syahid-Nya.
De Liturgia Horanum :
Dari Ritus Gereja Latin Hingga Reformasi Protestan
Sejarah mencatat, bahwa seluruh gereja purba mula-mula memelihara waktu-waktu sembahyang,
terutama dipertahnkan di biara-biara, dan menganjurkan kepada umat awam untuk
melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak seperti agama Yahudi, Kekristenan bukanlah
agama yuridis, sehingga konsep ibadah harian ini bukan semata-mata dipandang sebagai
kewajiban secara syari, melainkan pelaksanaannya lebih didorong oleh keinsyafan batin,
sebagai ucapan syukur karena penebusan Allah melalui pengurbanan Putra-Nya.
Karena itu, sesuai dengan keyakinan Kristen bahwa keselamatan manusia bukan semat-mata
karena amal, melainkan karena kasih karunia Ilahi yang mendahului perbuatan baik, maka
ibadah-ibadah harian ini bukan menjadi pusat dalam ibadah Kristen.
Puncak ibadah Kristen adalah Quddas al-Ilahi atau Perjamuan Kudus, dimana melalui tubuh dan
darah suci Kristus kita dilibatkan dalam kehidupan ilahi-Nya yang kekal. Karena keselamatan itu
dikerjakan Yesus melalui Jalan Sengsara-Nya, maka ibadah-ibadah harian ini merupakan refleksi
umat Allah secara terus menerus untuk selalu mengingat pengurbanan Kristus bagi kita.
Dalam pemahaman inilah seluruh gereja-gereja purba mengenalkan Sabu ash-Shalawat
(Sembahyang Tujuh Waktu). Tak terkecuali Gereja Katolik di Barat dan juga Gereja Protestan
pada perkembangan awalnya.
Dalam bahasa Latin, penyebutan waktu-waktu sembahyang juga mengikuti tradisi Yahudi kuno:
Laudes, Hora Tertia, Hora Sexta, Hora Nona, Verper, Vigil dan Completorium (waktu Pagi, Jam
Ketiga, Jam Keenam, Jam Kesembilan, Senja, Malam dan Penutup).
Namun tuntutan hidup modern, penyesuaian demi penyesuaian terus dilakukan oleh Gereja
Katolik.
Perubahan-perubahan itu terus dilakukan dengan seizin Paus, misalnya dilakukan zaman Paus
Pius V, Paus Sixtus V, Paus Klement VIII, Paus Urbanus VIII, Paus Klement IX, yang akhirnya
tinggal 2 waktu yang ditekankan: Laudes (pagi) dan Vesper (sore).
Pada waktu Reformasi Martin Luther terjadi pada waktu Gereja Katokik mengintruksikan kedua
waktu sembahyang itu. Karena itu Martin Luther masih mengikuti kedua ibadah harian ini dalam
bukunya The Small Cathechism. Kendatipun demikian Martin Luther mengikuti kedua waktu
sembahyang ini dengan beberapa revisi, tetapi banyak adab berdoa kuno masih dipertahankan,
misalnya membuat tanda salib yang dikenal seluruh gereja zaman kuno, yang sudah hilang dari
aliran-aliran gereja kontemporer sekarang.

Pengaruh Liberalisme dan Individualisme sunguh-sungguh sulit dielak-kan di Barat, yang


kemunculannya berbarengan dengan era Reformasi. Salah satu dampaknya, bukan hanya
menolak warisan ibadah gereja-gerja kuno itu, tetapi juga ada kecenderungan untuk menolak
kata-kata dalam doa tersebut yang dikuduskan oleh pola ibadah gereja sepanjang abad.
Inilah yang disesalkan oleh E.H. van Olst seorang teolog Calvinis dari Belanda.
Menurut E.H. van Olst, hal ini salah satunya disebabkan karena para reformator sendiri tidak
menguasai tradisi gereja purba dan sejarah liturgi dengan baik. Dari ketiga reformator awal,
dapat kita catat bahwa Zwingli adalah orang pertama yang melangkah jauh, sampai-sampai
simbol-simbol sebagai ekspresi ibadah otentik selama ratusan tahun dibuangnya.
Akibatnya, postur-postur badaniah dalam ibadah yang terbukti mempunyai kesinambungan
historis tanpa putus sejak zaman rasuli dihilangkan, dan simbol-simbol lain ditekankan dalam
taraf yang sangat minim. Dari fakta ini dapat dipahami, diperkenalkannya bentuk ibadah
Kekristenan yang berbasis budaya Timur Tengah ini di Indonesia, bukan hanya aneh di mata
umat Islam yang selama ini berinteraksi dengan gereja-gereja Barat, tetapi malahan juga
dipandang dengan mata curiga oleh orang-orang Kristen sendiri, karena jarak kultural dalam
rentangan sejarah perkembangan yang panjang itu.
Banjarmasin, 23 Januari 2009.
Sumber :
Institute for Syriac Christian Studies
Bambang Noorsena, SH, MA
(Sejarah dan Makna Teologis Shalat Tujuh Waktu dan Pararelisasinya Dengan Islam)
E.H. van Olst, Alkitab dan Liturgi
(Jakarta, BPK Gunung Mulia 1996)
Marthen Luther Small Catechism VII:1

Anda mungkin juga menyukai