Azifa Naifa Khaira adalah nama untuk seorang gadis kecil. Mungkin lebih tepatnya
seorang anak atau bocah, yang jelas ia masih sangat belia. Seorang anak yang pada
usianya masih harus berlari dan terjatuh, menangis dan tertawa, merengek manja
kemudian merasa senang hanya karena sebatang permen. Ya, Azifa melakukannya.
Setiap matahari terbit dari ufuk timur hingga tenggelam dalam gulita malam, Azifa
melakukannya setiap hari. Mengejutkan seisi rumah dengan kabar gembira bahwa ia
telah bermimpi indah atau menangis kecewa karena mengalami mimpi buruk. Hanya
karena Azifa yang selalu riang itu, begitu banyak yang menyayangi. Hanya karena ia
masih sangat muda maka ia harus seperti itu.
Azifa gadis kecil bermata biru.
Siapa sangka bahwa gambaran indah tadi hanyalah memori semu dari seorang yang
tengah memerhatikannya dalam diam. Siapa sangka semua fakta kebalikan tadi
hanyalah kenangan tak pernah terjadi yang terbangkit dari orang itu. Memerhatikan
gadis kecil yang dengan begitu pilunya meronta pada jenazah mengenaskan, membuat
Abisali -kakaknya- tak bisa berpikir hal yang lebih baik selain membangun puingpuing impian.
Beberapa sibuk menenangkan, sebagian ikut merasa iba. Tapi bukan hanya Azifa saat
itu, bukan pula hanya Abisali yang hidupnya hancur sebagian. Namun ada banyak
korban lain yang jatuh karena pembantaian keji dari tentara musuh zionis. Ada banyak
anak lain yang terkulai lemah dan menangis, ada banyak darah, ada banyak air mata
dan kegaduhan yang terjadi disini. Semua terwarnai kekecewaan, kemarahan dan
kesedihan mendalam. Dan bukan hanya terjadi sekarang atau kemarin, tapi berpuluh
tahun sebelum hari ini semua terasa selalu berkabung.
Ketika manusia menemui ajalnya, sesungguhnya saat itulah ia terbangun dari
tidurnya
Abisali
Ya,, jawab remaja yang dipanggil Abisali itu, sedikit terkejut. Lamunannya
pun buyar seketika itu.
Bawalah adikmu pulang, tenangkan ia seperti biasa. Kau yang terbaik setelah
semua ujar wanita paruh baya sembari mengalihkan Azifa yang tengah tertidur di
pangkuannya, mungkin lelah karena seharian menangis.
Abisali menatap nyalang adiknya. Airmata menetes di kedua pipinya menyentuh
mulutnya dan terasa asin disana, tapi ia tidak mau menangis. Maka dihapus jejak air
matanya itu dan dengan segera menarik nafas panjang. Abisali khawatir, jika Azifa
tahu ia menangis itu mungkin akan memperburuk suasana. Biar hanya Abisali yang
menanggung perih karena menahan air mata. Biar sesakit apa pun itu.
Sebenarnya sudah tiga bulan yang lalu. Orang tua Azifa dan Abisali menjadi tawanan
untuk tuduhan tak beralasan. Bersama banyak orang lain di daerahnya, dan baru tadi
pagi mereka semua diketahui syahid. Abisali tentu bahagia kedua orang tuanya
syahid. Namun kenyataan bahwa dirinya sendirian membuatnya sangat terpukul.
Terlebih Azifa yang jelas belum pantas untuk mengalami hal seperti ini.
Walaupun kehilangan dan ditinggalkan terasa wajar sekarang, Abisali tetap tidak rela
membiarkan adiknya menanggung beban terlalu berat. Meski dirinya pun bukan orang
dewasa, meski masih remaja dan mungkin masih termasuk golongan anak-anak.
Namun kondisi kini membuat remaja berpendirian teguh itu berpikir melebihi
kapasitasnya, merasakan lebih dari yang seharusnya dan menjadi seorang bijaksana
lebih daripada usianya.
Kakak,, gumam Azifa yang terbangun dari tidurnya.
Tidurlah, kita dalam perjalanan pulang ujar Abisali menenangkan.
Kakak, mengapa Ummi dan Abi dibunuh? Abisali hanya bisa terdiam
mendengar lontaran pertanyaan polos dari adiknya. Abisali yang biasanya punya
segudang cara untuk menghibur kini hanya termenung lirih, matanya memandangi
langit yang masih biru kala itu, begitu indah. Bahkan di tempat yang kacau balau
seperti ini langit masih saja indah. Meski bom dan rudal-rudal peluru yang
mengancam tiap menit berdatangan. Meski bau mesiu dan anyir darah merebak.
Langit masih tetap biru. Sungguh, Allah Maha Besar.
Karena seringkali ketika terpejam dan tidur, serangan tiba-tiba muncul dan kita
harus berlari untuk sembunyi. Kakak aku takut
Tak perlu takut, kita sudah biasa menghadapinya bukan, di tempat ini akan
begitu penuh ancaman. Tapi jangan pernah khawatir tentang itu, hanya tidur dengan
baik
Azifa tidak lantas mengiyakan, beberapa menit kemudian tatkala jemari Abisali
mengelus lagi puncak kepala anak itu dengan penuh kasih sayang membuatnya
mengantuk dan melupakan perasaannya yang lalu Baiklah tuturnya.
Azifa terlelap, tentu setelah Abisali menuntunnya untuk membaca doa pengantar tidur.
Kapanpun itu, kapanpun serangan tiba dan merenggut nyawanya. Sungguh Abisali
sudah muak dengan semua. Sungguh, Abisali tidak takut lagi.
Barang siapa takut kematian maka kematian akan menguasainya
Walaupun dia lari dengan menggunakan tangga menuju tujuh langit
Kami memang tidak pernah menginginkan untuk hidup seperti ini, namun kami
bangga telah menjadi hamba Allah yang memperjuangkan agamanya. Percayalah,
sehancur apapun kami kelihatannya tapi semangat tengah membara dan akan terus
membara apa pun yang terjadi, sampai kapanpun.
-The End-
Profil Penulis
Gadis kelahiran Pandeglang, 13 Agustus 1994 ini memiliki hobi
menulis dan menggambar, hobinya tersebut ia salurkan memalui
mading suatu UKM di kampus Bumi Siliwangi, Gadis yang
ramah disapa Gesti Haeriah (Gege) ini sangat mengidolakan
Muhammad Al Fatih dan Abu Bakar Ash-Siddiq, bagi Gege
mengkaji ilmu Islam adalah yang paling utama.
Alamat
: 087802086658
: Gestihaeriah@gmail.com