Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia (LSDI) dan Kode Etik Kebidanan
Indonesia (KODEKI) telah tercantum secara garis besar perilaku dan tindakantindakan yang layak atau tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan
profesinya. Namun ada saja dokter yang tega melakukan pelanggaran etik bahkan
pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal), terlebih dalam lingkungan
masyarakat yang sedang mengalami krisis akhir-akhir ini. Kenyataan menunjukkan
pula bahwa sanksi yang diberikan oleh atasan atau oleh organisasi profesi kebidanan
selama ini terhadap pelanggaran etik itu tidak tegas dan konsisten. Hal ini disebabkan
antara lain belum dimanfaatkannya organisasi profesi kebidanan oleh masyarakat
untuk menyampaikan keluhan-keluhannya dan tidak jelasnya batas-batas antara yang
layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter terhadap pasien, teman sejawat dan
masyarakat umumnya. Inilah bedanya etik dengan hukum. Hukum lebih tegas dan
lebih objektif menunjukkan hal-hal yang merupakan pelanggaran hukum, sehingga
jika terjadi pelanggaran dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dalam makalah ini dibahas tentang perbedaan etik dengan hukum, contohcontoh pelanggaran etik murni dan pelanggaran etikolegal, termasuk contoh-contoh
dalam bidang Obstetri Ginekologi, prosedur penanganan dan sanksi-sanksi yang
dapat diberikan terhadap pelaku pelanggaran etik dan etikolegal profesi kebidanan.

BAB II
PEMBAHASAN
Issue adalah salah satu bentuk corporate action yang dilakukan oleh
perusahaan saat hendak melepaskan / menjual saham ke publik (Initial Public
Offering = IPO). Mekanismenya, perusahaan tersebut menjual hak beli kepada
publik/pemegang saham yang sudah ada, sehingga si pemegang hak beli tersebut
pada periode yang telah ditetapkan berhak melakukan pembelian saham sesuai
dengan harga yang telah ditetapkan.
Etika kebidanan merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kebidanan
dalam hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya
serta merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan
medik ditinjau dari segi norma-norma / nilai-nilai moral.
Hukum merupakan peraturan perundang-undangan baik pidana, perdata
maupun administrasi. Hukum kesehatan merupakan peraturan perundang-undangan
yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan kesehatan, jadi menyangkut
penyelenggara pelayanan kesehatan dan penerima pelayanan kesehatan.
Perbedaan etik dengan hukum adalah :
1. Etik berlaku untuk lingkungan profesi. Hukum berlaku untuk umum.
2. Etik disusun berdasarkan kesepakatan anggota profesi. Hukum dibuat oleh suatu
kekuasaan atau adat.
3. Etik tidak seluruhnya tertulis. Hukum tercantum secara terinci dalam kitab
undang-undang / lembaran negara.
4. Sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya berupa tuntunan. Sanksi terhadap
pelanggaran hukum berupa tuntutan.
5. Pelanggaran etik diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Etik Kebidanan (MKEK)
yang dibentuk oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan kalau perlu diteruskan
kepada Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika Kebidanan (P3EK), yang
dibentuk oleh Departemen Kesehatan (DepKes). Pelanggaran hukum diselesaikan
melalui pengadilan.

6. Penyelesaian pelanggaran etik tidak selalu disertai bukti fisik. Penyelesaian


pelanggaran hukum memerlukan bukti fisik.
Pelanggaran etik murni
Pelanggaran terhadap butir-butir LSDI dan/atau KODEKI ada yang
merupakan pelanggaran etik murni, dan ada pula yang merupakan pelanggaran
etikolegal. Pelanggaran etik tidak selalu merupakan pelanggaran hukum, dan
sebaliknya,

pelanggaran

hukum

tidak

selalu

berarti

pelanggaran

etik.

Yang termasuk pelanggaran etik murni antara lain :


1. Menarik imbalan jasa yang tidak wajar dari klien / pasien atau menarik
imbalan jasa dari sejawat dokter dan dokter gigi beserta keluarga
kandungnya.
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya.
3. Memuji diri sendiri di depan pasien, keluarga atau masyarakat.
4. Pelayanan kebidanan yang diskriminatif.
5. Kolusi dengan perusahaan farmasi atau apotik.
6. Tidak pernah mengikuti pendidikan kebidanan berkesinambungan.
7.

Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.


Perilaku dokter tersebut di atas tidak dapat dituntut secara hukum tetapi perlu

mendapat nasihat / teguran dari organisasi profesi atau atasannya.


Contoh-contoh kasus etikolegal
Pelanggaran di mana tidak hanya bertentangan dengan butir-butir LSDI
dan/atau KODEKI, tetapi juga berhadapan dengan undang-undang hukum pidana
atau perdata (KUHP/KUHAP). Misalnya :
1. Pelayanan kebidanan di bawah standar (malpraktek)
2. Menerbitkan surat keterangan palsu.
3. Membocorkan rahasia pekerjaan / jabatan dokter.
4. Pelecehan seksual.
5. (dan sebagainya)

Etik kebidanan dan hukum kesehatan dalam obstetri ginekologi


Masalah-masalah yang berhubungan dengan reproduksi manusia merupakan
masalah yang sangat khusus dan paling rumit ditinjau dari segi etik, agama, hukum
dan sosial, terlebih dengan begitu pesatnya perkembangan dalam bidang obstetri
ginekologi dalam tiga dekade terakhir ini.
Masalah-masalah kontrasepsi, aborsi, teknologi reproduksi buatan, operasi
plastik selaput dara dan sebagainya, memerlukan perhatian penuh pihak profesi
kebidanan, hukum, agama dan masyarakat luas.
1. Pelayanan kontrasepsi
Sejak program Keluarga Berencana (KB) menjadi program nasional pada
tahun 1970, berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB di
Indonesia, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pil, suntikan, susuk KB),
IUD/AKDR, dan kontrasepsi mantap (Kontap). Seorang dokter harus memberikan
konseling kepada pasangan suami istri (pasutri) atau calon akseptor, dengan
penjelasan lebih dahulu tentang indikasi kontra, efektifitas dan efek samping atau
keamanan setiap jenis kontrasepsi, dan akhirnya pasutri lah yang menentukan
pilihannya.
Dari cara-cara kontrasepsi tersebut di atas, maka cara AKDR dan kontap
menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan
hukum. Mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontrasepsi dan juga kontranidasi,
sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter. Seorang dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insani (KODEKI, pasal 10), bahkan
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan (LSDI, butir 9). Jadi
pemasangan AKDR dapat dianggap mengupayakan pemusnahan telur yang telah
dibuahi. Karena LSDI telah dikukuhkan dengan PP no.26 tahun 1960, maka seorang
dokter yang melanggar sumpah tersebut berarti telah melanggar peraturan
pemerintah, sehingga dapat diancam hukuman sesuai peraturan yang berlaku.
Namun, KB merupakan program nasional, sehingga sanksi terhadap pelanggaran
tersebut agaknya tidak diberlakukan.
Cara kontap baik pada pria maupun pada wanita telah banyak dilakukan di
Indonesia, baik atas indikasi medik maupun indikasi sosial-ekonomi dengan tujuan
kontrasepsi yang permanen. Peraturan perundang-undangan tentang kontap belum

ada di Indonesia. Pendapat tokoh-tokoh agama beraneka ragam dan kenyataannya


lebih banyak yang menentang cara kontrasepsi itu karena mengurangi harkat dan
kodrat seseorang. Dari segi etik kebidanan, cara kontap dapat dibenarkan sesuai
dengan KODEKI butir 10, yaitu dengan tujuan melindungi hidup insani dan
mengutamakan kesehatan penderita. Namun tidaklah etis menawarkan kontap pada
saat ibu sedang mengalami persalinan patologik. Dari segi hukum, kontap dapat
dianggap melanggar KUHP pasal 534 yang melarang usaha pencegahan kehamilan
dan melanggar pula pasal 351 karena tindakan tersebut merupakan mutilasi alat
tubuh. Juga dapat dituduh melakukan penganiayaan, sehingga dapat dikenakan
hukuman atau dituntut ganti rugi. Namun, dengan terbitnya UU RI no.10 tahun 1992
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera,
penyelenggaraan Keluarga Berencana dapat dibenarkan dengan memperhatikan
butir-butir berikut :
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan
berhasil guna serta dapat diterima oleh pasangan suami istri sesuai dengan
pilihannya.
(2) Penyelenggaraan pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang dianut
penduduk yang bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan
martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang
berlaku di dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap alat, obat dan cara yang
dipakai sebagai pengatur kehamilan harus aman dari segi medik dan dibenarkan
oleh agama, moral dan etika.
Pasal 18
Setiap pasangan suami istri dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan
mengatur jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada

kesadaran dan tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun generasi


mendatang.
Pasal 19
Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang
sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Penjelasan
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara yang
akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan sepihak
dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian hari. Kewajiban yang sama
antara keduanya berarti juga, bahwa apabila isteri tidak dapat memakai alat, obat dan
cara pengaturan kelahiran, misalnya karena alasan kesehatan, maka suami
mempergunakan alat, obat dan cara yang diperuntukkan bagi laki-laki.
2. Abortus Provokatus
Masalah aborsi telah dibahas di berbagai pertemuan ilmiah dalam lebih dari 3
dekade terakhir ini, baik di tingkat nasional maupun regional, namun hingga waktu
ini Rancangan Pengaturan Pengguguran berdasarkan Pertimbangan Kesehatan belum
terwujud. Secara umum hal ini telah dicantumkan dalam undang-undang kesehatan,
namun penjabarannya belum selesai juga. Kehampaan hukum itu menyangkut pula
tindakan abortus provokatus pada kasus-kasus kehamilan karena perkosaan,
kehamilan pada usia remaja putri (usia kurang dari 16 tahun, yang belum mempunyai
hak untuk menikah), kehamilan pada wanita dengan gangguan jiwa, kegagalan
kontrasepsi dan wanita dengan grande multipara.
Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
hidup insani (KODEKI pasal 10). Undang-undang no.23 tahun 1992 tentang
kesehatan menyatakan bahwa dalam keadaan darurat, sebagai upaya menyelamatkan
jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medik tertentu dan ini
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian, dengan persetujuan ibu
hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya dan dilakukan pada sarana
kesehatan

tertentu.

Dalam KUHP secara rinci terdapat pasal-pasal yang mengancam pelaku abortus
ilegal sebagai berkut :
a. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau menyuruh orang lain
melakukannya (KUHP pasal 346, hukuman maksimum 4 tahun).
b. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seijinnya (KUHP pasal
347, hukuman maksimum 12 tahun dan bila wanita itu meninggal, hukuman
maksimum 15 tahun).
c. Seorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seijin wanita tersebut
(KUHP pasal 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan dan bila wanita itu
meninggal, hukuman maksimum 7 tahun).
d. Dokter, Bidan atau Juru Obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP pasal
349, hukuman ditambah sepertiganya dan pencabutan hak pekerjaannya).
Dalam pasal 80 UU Kesehatan tercantum, bahwa Barang siapa dengan
sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak dalam
keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang
dikandungnya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana
denda paling banyak Rp.500.000.000,- (limaratus juta rupiah).
3. Teknologi Reproduksi Buatan
Pada tahun 1978, Steptoe & Edwards melahirkan bayi tabung pertama Louise
Brown di Inggris, hasil Fertilisasi In Vitro (FIV) dan Pemindahan Embrio (PE). Ini
merupakan terobosan yang telah mengubah dunia kebidanan terutama di bidang
reproduksi manusia. Di Indonesia, bayi tabung pertama lahir 10 tahun kemudian
(1988) hasil upaya Tim Melati RSAB Harapan Kita Jakarta. FIV dan PE merupakan
upaya terakhir untuk menolong pasutri memperoleh keturunannya, karena upaya ini
memerlukan biaya yang besar, keberhasilan take home baby yang rendah dan
menyebabkan distres pada pasutri yang bersangkutan. Selain cara FIV dan PE telah
dikembangkan pula teknologi reproduksi buatan lainnya seperti Tandur Alih Gamet
atau Embrio Intra Tuba dan Suntikan Sperma Intra Sitoplasmik.
Dari segi hukum, di Indonesia telah terdapat peraturan perundang-undangan
tentang kehamilan di luar cara alami itu, yaitu bahwa cara tersebut hanya dapat

dilakukan pada pasangan suami istri yang sah, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada sarana kesehatan yang
memenuhi syarat (UU Kesehatan, pasal 16). Dengan demikian, masalah donasi oosit,
sperma dan embrio, masalah ibu pengganti adalah bertentangan dengan hukum yang
berlaku dan juga etik kebidanan.
Dalam pasal 82 ayat (2) UU Kesehatan tersebut dinyatakan bahwa Barang
siapa melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
4. Bedah Plastik Selaput Dara
Wanita yang meminta dilakukan bedah plastik selaput dara umumnya
berdasarkan berbagai motif. Ada yang ingin memberi kesan kepada suaminya bahwa
dirinya masih perawan, sehingga bertujuan menyelamatkan hidup bersama suaminya,
padahal pasien pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan pria lain.
Di Indonesia, masalah keperawanan di malam pertama pengantin baru dianggap
penting, walaupun hal ini sebenarnya tidak adil dalam kedudukan wanita dan pria.
Ada pula wanita yang minta bedah plastik selaput dara dengan tujuan komersialisasi
keperawanan, dengan mengharapkan imbalan yang besar. Dalam hal ini hati nurani
dokterlah yang menentukan sikapnya dalam menghadapi godaan dari pasien
bersangkutan. Jika robeknya selaput dara disebabkan trauma atau akibat tindakan
dilatasi dan kuretase yang dilakukan karena indikasi medik (misalnya pada kasuskasus perdarahan uterus disfungsional yang menyebabkan anemia berat dan tidak
tanggap terhadap terapi medikamentosa), maka dalam hal ini bedah plastik selaput
dara masih dapat dibenarkan.
Prosedur penanganan pelanggaran etik kebidanan
Pada tahun 1985 Rapat Kerja antara P3EK, MKEK dan MKEKG telah
menghasilkan pedoman kerja yang menyangkut para dokter antara lain sebagai
berikut :

1. Pada prinsipnya semua masalah yang menyangkut pelanggaran etik diteruskan


lebih dahulu kepada MKEK.
2. Masalah etik murni diselesaikan oleh MKEK.
3. Masalah yang tidak murni serta masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh
MKEK dirujuk ke P3EK propinsi.
4. Dalam sidang MKEK dan P3EK untuk pengambilan keputusan, Badan Pembela
Anggota IDI dapat mengikuti persidangan jika dikehendaki oleh yang
bersangkutan (tanpa hak untuk mengambil keputusan).
5. Masalah yang menyangkit profesi dokter atau dokter gigi akan ditangani bersama
oleh MKEK dan MKEKG terlebih dahulu sebelum diteruskan ke P3EK apabila
diperlukan.
6. Untuk kepentingan pencatatan, tiap kasus pelanggaran etik kebidanan serta
penyelesaiannya oleh MKEK dilaporkan ke P3EK Propinsi.
7. Kasus-kasus pelanggaran etikolegal, yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK
Propinsi, diteruskan ke P3EK Pusat.
8. Kasus-kasus yang sudah jelas melanggar peraturan perundang-undangan dapat
dilaporkan langsung kepada pihak yang berwenang.
Pedoman penilaian kasus-kasus pelanggaran etik kebidanan
Etik lebih mengandalkan itikad baik dan keadaan moral para pelakunya dan
untuk mengukur hal ini tidaklah mudah. Karena itu timbul kesulitan dalam menilai
pelanggaran etik, selama pelanggaran itu tidak merupakan kasus-kasus pelanggaran
hukum. Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran etik kebidanan, MKEK berpedoman
pada :
1. Pancasila
2. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
3. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi
4. Tradisi luhur kebidanan
5. LSDI
6. KODEKI
7. Hukum kesehatan terkait
8. Hak dan kewajiban dokter

9. Hak dan kewajiban penderita


10. Pendapat rata-rata masyarakat kebidanan
11. Pendapat pakar-pakar dan praktisi kebidanan senior.
Selanjutnya, MKEK menggunakan pula beberapa pertimbangan berikut, yaitu :
1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2. Manfaat bagi kesembuhan penderita
3. Manfaat bagi kesejahteraan umum
4. Penerimaan penderita terhadap tindakan itu
5. Preseden tentang tindakan semacam itu
6. Standar pelayanan medik yang berlaku
Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik,
pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat, yang berpedoman
pada :
1. Akibat terhadap kesehatan penderita
2. Akibat bagi masyarakat umum
3. Akibat bagi kehormatan profesi
4. Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran
5. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka
Bentuk-bentuk sanksi
Dalam pasal 6 PP no.30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Sipil
terdapat uraian tentang tingkat dan jenis hukuman, sebagai berikut :
1. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari :
a. Hukuman disiplin ringan
b. Hukuman disiplin sedang, dan
c. Hukuman disiplin berat
2. Jenis hukuman disiplin ringan terdiri dari :
a. Teguran lisan
b. Teguran tulisan, dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis

10

3. Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari :


a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu
tahun, dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun
4. Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari :
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama
satu tahun
b. Pembebasan dari jabatan
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai
Negeri Sipil, dan
d. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, di samping pemberian hukuman
sesuai peraturan tersebut di atas, maka selanjutnya diproses ke pengadilan.

11

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Bidang Obstetri Ginekologi merupakan bidang yang demikian terbuka untuk


kemungkinan penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma, sehingga
rawan untuk timbulnya pelanggaran etik kebidanan bahkan pelanggaran hukum.
Karena itu diperlukan pedoman etik dan peraturan perundang-undangan terkait
yang menuntun para dokter / SpOG untuk berjalan di jalur yang benar.

Sanksi terhadap pelanggaran etik kebidanan hendaknya diberikan secara tegas


dan konsisten sesuai dengan berat ringannya pelanggaran, bersifat mendidik dan
mencegah terulangnya pelanggaran yang sama pada masa depan baik oleh yang
bersangkutan maupun oleh para sejawatnya.

IDI bersama-sama organisasi profesi dokter spesialis dan organisasi kebidanan


seminat lainnya, hendaknya dapat meningkatkan komunikasi, informasi dan
edukasi secara berkesinambungan, sehinggat setiap anggotanya dan masyarakat
umumnya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan etika kebidanan.

B. SARAN
Profesi kebidanan adalah profesi kemanusiaan, oleh karena itu etika
kebidanan harus memegang peranan sentral bagi para dokter dalam menjalankan
tugas-tugas pengabdiannya untuk kepentingan masyarakat.

12

DAFTAR PUSTAKA
FIGO Committee Report for the Ethical Aspects of Human Reproduction and
Womens Health Cairo, 1998.
Prof.dr. Ratna Suprapti Samil. Guru besar Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/12/etika-profesi-dalam-kesehatan
reproduksi/

13

Anda mungkin juga menyukai