Anda di halaman 1dari 20

Quality of life janda pasca kemoterapi dan radioterapi

Wenny Halim dan Henny Wirawan


Universitas Tarumanagara
w3nny_h4l1m@yahoo.com

As a concept, Quality of life is quiet known in relation to patient with chronic


diseases. Quality of life measurement is considered to be an important factor,
which should not be skipped, in order to treat chronic diseases patients
including head and neck cancer patient. Having such a good quality of life is
sometimes considered to be spirits to give purposes to life and could give hope
to survive if patients have cancer reoccurrence in the future. This research aim
to give reflection and explanations about the quality of life of widows after
chemotherapy and radiotherapy. From this research we could see that subject
having changes in their quality of life. Changes in physics and functional well
being is the biggest changes, but they are having a lot of new positive view in
psychological well being.
Keywords: quality of life, head and neck cancer, widows, after chemotherapy and
radiotherapy.
Kanker adalah salah satu penyakit yang paling mematikan. Kata kanker dapat meliputi
lebih dari seratus keadaan medis yang melibatkan pembelahan sel secara abnormal dan
berlebihan. Kanker sering disebut sebagai penyakit yang sangat berbahaya. Jumlah kematian
penderita kanker sering kali juga dilebih-lebihkan (Barraclough, 2000). Data American
Cancer Association menunjukkan 450 kasus baru per 100.000 populasi yang muncul setiap
tahunnya (diperkirakan paling sedikit 1.130.000 total kasus baru sejak tahun 1992), dan
angka kematian setiap tahun diperkirakan sekitar 205 kasus per 100.000 populasi
(diperkirakan lebih dari 520.000 total kematian sejak tahun 1992). Kanker menjadi
penyebab kematian kedua terbesar setelah penyakit jantung (American Cancer Association,
dikutip dalam Chen, Andrew, & Wu, 1997).
Barraclough (2000) menggolongkan kanker dalam sepuluh area utama, yaitu: area perut,
otak dan sistem saraf pusat, payudara, cervix, paru-paru, prostat, kelainan darah, leher dan
kepala, pankreas, dan area yang tidak dapat dideteksi. Penelitian ini dibatasi pada area

kanker leher dan kepala. Kanker leher dan kepala dapat diobati jika dideteksi pada stadium
awal. Pada stadium yang telah lanjut, perawatan intensif dapat memberikan perpanjangan
usia 5 hingga 10 tahun. Kombinasi perawatan seperti operasi, radiasi, dan kemoterapi dapat
memberikan kesembuhan atau perpanjangan usia. Onkolog biasanya akan menyarankan
kombinasi kemoterapi dengan radioterapi apabila kanker telah memasuki stadium II B.
Kemungkinan kesembuhan untuk kombinasi kedua tindakan ini dapat mencapai 80%
(Study Examines Changes in Quality of Life After Head and Neck Cancer Treatment,
2008).
Menurut peneitian Ronis (dikutip dalam The U.S. National Institutes of Health, 2008),
pasien kanker leher dan kepala melaporkan bahwa mereka mengalami perubahan quality of
life setelah menjalani tindakan. Pasien mengatakan keluhan fisik, seperti: sakit pada area
leher dan kepala, menurunnya daya penglihatan, gangguan indera pengecapan dan
penciuman, kurangnya nafsu makan karena nyeri pada leher, rambut rontok, mulut terasa
pahit, dan sulit menelan. Pasien juga melaporkan keluhan fisik dan fungsional seperti
depresi. Keluhan ini dialami pasien selama satu hingga duabelas bulan setelah menjalani
perawatan.
Pada awalnya para onkolog hanya memperhatikan quality of life pada saat pasien
menjalani perawatan kemoterapi. Setelah tahun 2000 para ahli kanker menyadari perlunya
pengukuran quality of life setelah pasien menjalani kemoterapi dan radioterapi. Kesadaran
onkolog tentang pentingnya pengukuran quality of life setelah pasien menjalani kemoterapi
dan radioterapi meningkat setelah banyaknya pasien mengeluhkan penurunan quality of life
karena efek samping (Coons & Kaplan, dikutip dalam Taylor, 2003).
Menurut American Society of Clinical Oncology, pengukuran quality of life bagi pasien
kanker pasca tindakan sangat diperlukan untuk melihat sejauh mana kemoterapi
mempengaruhi kehidupan pasien. Di kemudian hari para ahli yang bergerak dalam bidang
kesehatan dapat lebih membantu

pasien

dalam meningkatkan quality of life dengan

memberikan pelayanan yang lebih memperhatikan kesejahteraan pasien. Pengukuran quality


of life juga memberikan gambaran tentang aspek-aspek yang dirasakan terganggu atau
bermasalah bagi pasien setelah menjalani kemoterapi dan radioterapi. Informasi mengenai
aspek-aspek yang mengganggu pasien dapat memberikan jalan untuk meningkatkan quality
of life (Taylor, 2003).

Menurut Cella dan King (1990) dalam mengukur quality of life dibutuhkan pengukuran
dalam berbagai dimensi yang secara langsung memberikan kontribusi bagi seseorang dalam
mendefinisikan quality of life. Aspek-aspek dalam quality of life adalah: (a) physical well
being, (b) functional well being, dan (c) emotional well being (Halim, 2004). Peningkatan
quality of life dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas keseimbangan pada tiap aspek
yang membentuknya.
Seorang pasien kanker setelah menjalani kemoterapi dan radiasi sangat membutuhkan
dukungan dalam meningkatkan aspek-aspek quality of life. Dukungan keluarga menempati
urutan pertama dalam pemulihan kesehatan dan quality of life pasca kemoterapi dan radiasi
(Family Support After Cancer Treatment, 2008). Menurut Kuijer (2000) dukungan
keluarga dapat mempengaruhi pemulihan fisik dan mental seorang wanita. Dukungan
keluarga dapat membuat reaksi yang menstimulasi sel tubuh untuk pulih (Francis &
Satiadarma, 2004).
Penelitian ini secara khusus difokuskan pada quality of life janda dewasa madya pasca
kemoterapi dan radioterapi. Wanita pada usia dewasa madya memiliki tugas perkembangan
yang berat, beragam, dan tuntutan peran yang besar. Kehilangan pasangan atau tidak
mendapatkan dukungan pasangan setelah menjalani pengobatan kanker akan membawa
penderitaan yang mendalam dan membutuhkan penyesuaian yang tidak mudah (Wagman &
Ferguson, 1996). Pasangan merupakan pendukung terbesar baik secara emosional maupun
fungsional bagi wanita dewasa madya yang didiagnosis kanker. Diagnosis dan pengobatan
kanker dapat menciptakan perasaan takut, cemas, stress, dan depresi. Kehilangan pasangan
dan tindakan kanker dapat menjadi hal yang sangat menyakitkan yang akan mempengaruhi
quality of life seorang janda seumur hidupnya (Middle age and Cancer,2007).
Quality of life
Quality of life merupakan konsep yang meliputi berbagai dimensi. Quality of life kemudian
diukur dengan multidimensi. Quality of life didefinisikan sebagai penilaian individu atas
kepuasan pada keadaan yang dialami yang kemudian dibandingkan dengan persepsi ideal
yang mungkin dapat dicapai. Persepsi keadaan yang dialami dapat bervariasi dan faktor
yang mempengaruhi keterbatasan seseorang dapat berbeda-beda (Cella, dikutip dalam
Halim, 2003)
Menurut Cella (1990) dalam mengukur quality of life dibutuhkan pengukuran dalam
berbagai dimensi yang secara langsung memberikan kontribusi bagi seseorang dalam

mendefinisikan quality of life. Aspek-aspek dalam quality of life adalah: (a) Physical well
being, (b) functional well being, dan (c) emotional well being (Halim, 2004).
Cella dan Tunsky (1990) mengatakan quality of life menunjukkan perbedaan antara
kemampuan sebenarnya dalam menjalani hidup dan standar ideal yang diinginkan
seseorang. Quality of life dapat diartikan sebagai penilaian seseorang akan derajat
kepuasannya dengan tahap kemampuan seseorang dalam menjalankan kehidupan yang
dibandingkan dengan yang dipersepsikan. Hal-hal yang dipersepsikan meliputi hal-hal yang
mungkin dicapai dan hal-hal ideal yang diinginkan (Halim, 2004).
Menurut Clinch dan Schipper (1993) quality of life sebagai suatu persepsi pada diri
seseorang mengenai pengaruh dari penyakit yang dideritanya. Quality of life dapat
dipersepsikan secara subyektif dan dipersepsikan menurut definisi kultural yang menyatu
pada keseharian seseorang. Hal ini berarti quality of life menurut masing-masing individu
akan berbeda-beda menurut pandangan diri masing-masing dan dipengaruhi oleh ikatan
budaya (Sundari, 2005).
Quality of life dapat didefinisikan sebagai suatu penilaian mengenai well-being yang
diukur secara multidimensi. Penilaian mengenai quality of life meliputi derajat kepuasan
seseorang atas dimensi-dimensi penting dalam hidupnya. Quality of life bersifat abstrak,
kompleks, dan dinamis. Quality of life berdasarkan penilaian seseorang akan dimensidimensi yang penting dalam hidup individu tersebut (Cella & Tulsky, dikutip dalam Halim,
2003).
Pada awalnya quality of life hanya meliputi pengukuran atas lamanya seseorang dapat
bertahan dari penyakit yang dideritanya dan simtom-simtom yang dialami. Konsep
mengenai quality of life sebelumnya tidak memasukkan konsep-konsep dimensi psikososial
dari sakit dan tindakan yang dijalani (Taylor & Aspinwall, dikutip dalam Taylor, 2003).
Quality of life sekarang ini disepakati sebagai konsep yang diukur melalui berbagai
dimensi. Konsep ini kemudian memasukkan komponen-komponen seperti physical
functioning, psychological status, social functioning, dan gejala yang terkait dengan
penyakit dan kondisi setelah tindakan (Coons & Kaplan, dikutip dalam Taylor, 2003). Para
ahli masing-masing memiliki dimensi dan definisi masing-masing dalam melukiskan quality
of life. Menurut King dan Cella secara umum quality of life dapat dilukiskan dalam tiga
domain

utama,

yaitu:

(a)

physical

well-being,

(b)

functional

well-being,

(c)

Emotional/psychological well-being (Halim, 2003). Penelitian ini menggunakan tiga


dimensi milik King dan Cella.

Dimensi physical well-being mengacu pada persepsi dan observasi diri atas fungsi dan
hal-hal yang mengganggu secara fisik. Physical well-being mewakili persepsi atas
kombinasi dari gejala penyakit yang dialami, efek samping tindakan dan kondisi medis
tubuh secara umum yang dipersepsikan oleh pasien. Physical well-being dapat
dipersepsikan secara berbeda-beda (Cella, dikutip dalam Halim, 2004). Pasien yang dapat
menggabungkan pengalaman tindakan pada suatu kesimpulan yang positif akan memiliki
pemahaman physical well-being yang lebih baik. Penghayatan persepsi yang positif ini akan
menghindarkan pasien dari ketidakpahaman gejala sebagai efek samping yang
membahayakan (Reginald,1997).
Physical well-being terkait dengan cara seseorang menangggapi dan menerima keadaan
fisiknya. Penderita kanker setelah menjalani kemoterapi dan radioterapi akan mengalami
kerontokan rambut, infertilitas, kelelahan fisik, dan keterbatasan dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari. Keterbatasan dan efek samping ini sering membawa beban fisik bagi
penderita. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi physical well-being, yaitu: aktivitas
seksual, perubahan body-image, speech problems, dan loss of role yang terkait dengan
perubahan fisik. Seorang pasien yang menanggapi perubahan fisiknya secara negatif setelah
menjalani kemoterapi akan merasa tidak puas dengan keadaan fisiknya dan akan
menurunkan quality of life (Barraglough, 2000). Penyesuaian tersebut merupakan proses
panjang yang membutuhkan waktu paling tidak satu tahun setelah menjalani kemoterapi
(Taylor, 2003).
Status fungsional mengacu pada kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan kebutuhan, ambisi, atau peran sosial yang diinginkan olah pasien. Pada
tahap yang paling dasar mengacu pada kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
seperti makan sendiri, memakai pakaian sendiri, berjalan, mandi atau berangkat ke kantor
(King & Cella, dikutip dalam Halim, 2003). Definisi functional well-being menurut
Reginald (1997) adalah kemampuan personal individu untuk melakukan kegiatan yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan. Functional well-being juga berarti kemampuan
individu untuk terus bekerja dan mempertahankan karirnya. Functional well being juga
terkait dengan kemampuan membina hubungan dengan individu lain dan menjalankan
perannya.
Emotional-psychological well being secara umum tampak seperti konsep yang bipolar.
Konsep ini dapat mencerminkan efek positif atau efek negatif. Psychological well being
merupakan masalah utama para profesional kesehatan. Psychological well being sering
dipersepsikan secara keliru dalam memperkirakan keadaan pasien. Perawat, pekerja sosial,

dan psikolog sebaiknya bekerja lebih baik dalam memberikan evaluasi keadaan emosi dan
psikologis pasien daripada penyedia bantuan kesehaan lain (Halim, 2004)
Konsep emotional/psychological well-being memiliki perbedaan dengan physical wellbeing. Emotional/psychological well being berhubungan dengan mood pasien yang sering
berubah-ubah. Mood pasien tersebut dipengaruhi oleh perawatan yang dijalani. Emotionalpsychological well-being meliputi keadaan mood pasien yang dapat merasakan stres atau
merasa penuh harapan dan percaya diri terhadap hasil yang dicapai dalam terapi (Corsini,
2002).
Menurut Keyes, Ryff dan Shmothkin (2002), terdapat enam dimensi yang menjadi
indikator psychological well-being, antara lain: self acceptance, positive relation with
others, autonomy, environmental mastery, purpose in life, dan personal growth. Indikator
pertama adalah self acceptance. Self acceptance dikarakteristikkan sebagai inti dari
kesehatan mental yang merupakan salah satu karakteristik dari aktualisasi diri, fungsi diri
secara optimal, dan kedewasaan. Individu yang dapat menerima dan memahami aspek diri
yang beragam, baik hal yang baik maupun buruk, serta memandang positif pengalaman
masa lalu dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik. Individu yang kurang dapat
menerima diri akan menampilkan ketidakpuasan terhadap diri dan akan merasa terganggu
terhadap aspek diri tertentu sepanjang hidupnya.
Individu yang memiliki penghayatan psychological well being yang baik dipercaya
mampu menjalin hubungan positif dengan orang lain. Hubungan positif dengan orang lain
mencakup hubungan antar pribadi yang hangat dan berdasarkan rasa percaya. Indikator
individu dapat menjalin hubungan positif dengan orang lain adalah mampu menunjukkan
kehangatan, kepuasan, kepercayaan, kepedulian, memperhatikan kesejahteraan orang lain,
berempati, dan menunjukkan kasih sayang terhadap orang lain. Indikator keempat adalah
autonomy. Autonomy adalah kemampuan individu dalam menentukan nasib sendiri, menjadi
mandiri, dan mengatur perilaku secara internal. Individu yang mandiri adalah yang mampu
mengatasi tekanan sosial, mengatur perilaku diri, serta mampu melakukan evaluasi diri
berdasarkan standar pribadi (Ryff, 1989).
Environmental mastery merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku internal
dalam membentuk psychological well being. Environmental mastery merupakan
kemampuan individu dalam memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi
psikis yang dapat dikatakan sebagai karakteristik dari kesehatan mental. Keterlibatan
individu dalam kegiatan eksternal merupakan karakteristik dalam kualifikasi pembentuk
psychological well being. Indikator kelima dari psychological well-being adalah tujuan

hidup (purpose in life). Individu yang memiliki tujuan hidup berarti memiliki keyakinan
bahwa hidup memiliki tujuan tertentu dan memiliki makna. Ciri lain individu yang memiliki
tujuan hidup adalah memaknai pengalaman masa kini dan masa lalu dengan keyakinan
pengalaman tersebut akan memberi makna dan tujuan obyektif yang dapat menuntun
kelangsungan hidup masa depan. Individu yang kurang memiliki tujuan dalam hidup
menunjukkan perasaan bahwa hidup tanpa memiliki arah, tanpa tujuan, serta menghayati
pengalaman masa lalu sebagai penghambat mencapai masa depan (Keyes, Ryff, &
Shmothkin 2002).
Personal growth merupakan indikator yang terakhir psychological well being menurut
Ryff (2002). Personal growth mencakup kemampuan individu untuk mengembangkan
potensi diri secara berkesinambungan untuk bertumbuh dan berkembang menjadi individu
yang lebih baik. Individu yang memiliki kemampuan ini akan merasa bahwa ia mengalami
perkembangan yang berkesinambungan, seperti: membuka diri untuk hal baru; menyadari
potensi dalam diri; serta mampu merefleksikan efektivitas pengalaman diri.
Kanker Laher dan kepala (Head and Neck cancer)
Para onkolog banyak menemukan kesulitan dalam melakukan analisis, diagnosis, dan
terapi pada tumor ganas leher dan kepala. Hal ini disebabkan area leher dan kepala yang
sempit, saling berdekatan, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Tumor yang tumbuh
pada salah satu strukturnya dapat dengan cepat mempengaruhi, mendesak, dan merusak
struktur bagian lainnya. Penegakan diagnosis dan terapi kanker atau tumor pada area leher
dan kepala merupakan proses yang kompleks dan rumit (Nasar, 1985).
Kanker leher dan kepala secara umum mengacu pada adanya kumpulan kanker secara
biologis berasal dari area saluran makan (digestive tract) dan saluran pernafasan, bibir,
mulut, rongga hidung, rongga paranasal (rongga yang menghubungkan hidung dengan
kepala), larynx, dan pharynx. Sebagian besar kanker kepala dan leher adalah jenis squamous
cell carsinomas yang dipercaya berasal dari jaringan lendir (ephitelium). Sel-sel yang
mengganas akan mudah dan cepat menyebar melalui peredaran lendir pada area ini (Iro &
Waldfahrer, 1998).
Tindakan Terhadap Kanker dan efek samping
Pada dasarnya ada tiga tindakan dasar utama dalam kanker, yaitu: (a) operasi, (b) radiasi,
dan (c) kemoterapi (Williams, 1990). Pasien dapat menerima perawatan dengan satu metode
atau kombinasi metode. Jenis perawatan yang diberikan bergantung pada jenis dan tahapan
kanker yang diderita pasien (Prayoga, 2006).

Cara bekerja radioaktif hampir sama dengan kemoterapi. Radioterapi menggunakan


radiasi energi tinggi untuk menghancurkan jaringan yang tidak diinginkan dan penggunaan
utamanya adalah untuk pengobatan kanker. Radioterapi radikal akan diberikan dalam upaya
mengobati kanker yang didiagnosis sangat peka terhadap sinar radiasi. Radioterapi adjuvant
digunakan untuk mengurangi risiko kemunculan setelah operasi, seperti pada kanker
payudara serta area leher dan kepala (Williams, 1990). Radioterapi memiliki efek pada sel
tubuh yang sehat yang abnormal. Area tubuh yang menjadi area radioterapi dapat teriritasi,
terbakar dan terganggunya fungsi sumsum tulang belakang (Anderson, Karkson, AndersonTewfik, dikutip dalam Cameron, 1994).
Radioterapi dapat membawa efek samping karena terapi ini bekerja dengan
menghancurkan sel yang normal dan abnormal. Efek samping jangka pendek dan jangka
panjang tidak dapat dihindari tetapi dapat diprediksi untuk mengurangi penderitaan pasien
(Barraclough, 2000). Efek jangka pendek yang paling sering terjadi adalah kerusakan pada
jaringan epithelial. Jaringan ephitelial seperti kulit, mulut, pharyngeal, dinding lidah,
urathelium, dan area hidung dapat dengan mudah rusak oleh sinar radiasi. Pasien juga akan
mengalami gangguan saluran makan. Saluran tenggorokan akan terasa terbakar, perih, dan
sakit saat menelan makanan (Prayoga, 2006).
Menurut Bennet (2003), efek samping dan jangka menengah hingga panjang antara lain:
fibrosis, kerontokan rambut, kekeringan, sakit kepala dalam waktu lama, kanker, dan
penyakit jantung. Fibrosis adalah gejala pada bagian jaringan tubuh yang mengalami
pengurangan elastisitas dan mungkin mengalami luka yang sulit pulih. Pada kasus kanker
leher dan kepala, pasien sering melaporkan kekeringan terutama pada area mulut, mata
(xerophtalmia), dan hidung. Kekeringan ini terjadi karena radiasi mengurangi keaktifan
jaringan air mata dan air liur. Pasien juga melaporkan berkurangnya sensitivitas indra
pengecapan. Radioterapi jangka panjang dapat menyebabkan kanker. Dosis dan jangka
waktu yang panjang dapat menyebabkan malignancy pada sel tubuh lain (Chen, Andrew &
Wu, 1997).
Kemoterapi secara umum diartikan sebagai perawatan dengan menggunakan obatobatan. Dunia onkologi menggunakan istilah kemoterapi untuk menyebut cytotoxic
chemotherapy. Kemoterapi sering diterapkan bersama dengan imunoterapi dengan
menggunakan interferon dan interleukin, bahkan terapi hormon untuk mencapai
keberhasilan dan meminimalkan efek samping. Penggunaan berbagai terapi obat dalam
pengobatan kanker kemudian disingkat dengan nama kemoterapi (Barraclough, 2000).

Obat-obatan kemoterapi secara spesifik ditujukan untuk membunuh mikro-organisme


dan sel kanker. Antineoplastik adalah obat yang paling sering digunakan untuk membunuh
sel kanker. Obat ini digunakan dengan kombinasi obat lainnya pada pengobatan standar
untuk kanker lainnya (Regato, 1985). Menurut Williams (1990), pasien akan menerima
obat-obatan keras yang dapat dilakukan secara oral atau melalui injeksi. Obat-obatan
diberikan secara berkala untuk membunuh sel yang bertambah jumlahnya secara cepat.
Target utama dari kemoterapi adalah sel yang ganas, sel yang mampu memperbanyak diri
secara tidak terkontrol (Sarafino, 2004).
Kemoterapi merupakan pengobatan sistemik, sebagian besar diberikan dengan cara
injeksi ke dalam pembuluh vena, sebagian kecil dapat berupa tablet atau kapsul. Pada
beberapa kanker akut diberikan suntikan intratekal. Suntikan intratekal diberikan dengan
injeksi ke dalam sistem saraf. Apabila pasien diberikan suntikan intravena, seringkali
digunakan selang plastik dalam vena untuk mencegah kerusakan vena serta mempermudah
injeksi. Kemoterapi diberikan diberikan secara siklit, dapat secara mingguan, dua hingga
tiga minggu. Pasien yang mendapatkan kemoterapi dosis tinggi perlu menjalani rawat inap
di rumah sakit (Prayoga, 2006).
Kemoterapi merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan memberikan zat/ obat yang
mempunyai khasiat membunuh sel kanker dan diberikan secara sistematik. Obat anti kanker
yang artinya penghambat kerja sel. Kemoterapi dapat menggunakan satu jenis sitostika.
Pada sejarah awal penggunaan kemoterapi digunakan satu jenis sitostika, namun dalam
perkembangannya kini umumnya dipergunakan kombinasi sitostika atau disebut regimen
kemoterapi, dalam usaha untuk mendapatkan manfaat lebih besar (Bassien, 1997).
Menurut Lane (dikutip dalam Prayoga, 2006) obat-obatan kemoterapi memiliki
beberapa efek samping seperti: (a) gangguan pencernaan, (b) gangguan kinerja sumsum
tulang belakang, (c) alophecia, (d) jaringan reproduksi, (e) sistem imun, (f) reaksi lokal
pada tubuh, (g) reaksi alergi, dan (h) reaksi metabolisme. Gangguan pencernaan dapat
dialami setelah kemoterapi dapat disebabkan oleh kerasnya obat yang dimasukkan ke dalam
tubuh. Pada dasarnya sel-sel pada saluran cerna juga cepat membelah, sehingga obat-obatan
kemoterapi akan merusak sel pada saluran cerna. Pasien akan merasa tidak nafsu makan,
mual muntah, serta sariawan, dan diare akibat rusaknya selaput lendir mulut dan usus.
Kerusakan pada sel pencernaan yang parah juga dapat mengakibatkan pendarahan pada usus
(Lane, dikutip dalam Prayoga, 2006).
Kerangka Berpikir

Kanker dapat digolongkan dalam sepuluh area utama, yaitu lain: area perut, otak dan
sistem saraf pusat, payudara, cervix, paru-paru, prostat, kelainan darah, leher dan kepala,
pankreas, dan area yang tidak dapat dideteksi. Dari sepuluh area utama kanker, kanker leher
dan kepala adalah kanker yang memiliki angka bunuh diri paling tinggi. Kanker leher dan
kepala dapat diobati jika dideteksi pada stadium awal. Pada stadium yang telah lanjut,
perawatan intensif dapat memberikan perpanjangan usia 5 hingga 10 tahun. Kombinasi
perawatan seperti operasi, radiasi, dan kemoterapi dapat memberikan kesembuhan atau
perpanjangan usia.
Penggabungan perawatan kemoterapi dan radioterapi pada kanker stadium lanjut
menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan, tetapi kedua tindakan ini juga banyak
mengakibatkan efek samping. Pasien kanker dengan tindakan jangka waktu yang lama akan
mengalami efek fisik, fungsional, maupun psikologis. Efek samping kemoterapi dan
radioterapi dapat mengakibatkan ketidakmampuan, baik secara emosi maupun fisik.
Seringkali efek samping jangka panjang dianggap sebagai harga yang harus dibayar dalam
mengobati kanker.
Pengukuran quality of life bagi pasien kanker pasca tindakan sangat diperlukan untuk
melihat sejauh mana kemoterapi mempengaruhi kehidupan pasien. Kemudian hari para ahli
yang bergerak dalam bidang kesehatan dapat lebih membantu pasien dalam meningkatkan
quality of life dengan memberikan pelayanan yang lebih memperhatikan kesejahteraan
pasien. Aspek-aspek dalam quality of life adalah: (a) physical well being, (b) functional well
being, dan (c) emotional-psychological well being. Peningkatan quality of life dapat
dilakukan

dengan

meningkatkan

kualitas

keseimbangan

pada

tiap

aspek

yang

membentuknya.
Pasien kanker setelah menjalani kemoterapi dan radiasi sangat membutuhkan dukungan
dalam meningkatkan aspek-aspek quality of life. Dukungan keluarga menempati urutan
pertama dalam pemulihan kesehatan dan quality of life pasca kemoterapi dan radiasi.
Kehilangan pasangan atau tidak mendapatkan dukungan pasangan setelah menjalani
pengobatan kanker akan membawa penderitaan yang mendalam dan membutuhkan
penyesuaian yang tidak mudah. Pasangan merupakan pendukung terbesar baik secara
emosional maupun fungsional bagi wanita dewasa madya yang didiagnosis kanker.
Diagnosis dan pengobatan kanker dapat menciptakan perasaan takut, cemas, stress, dan
depresi. Kehilangan pasangan dan tindakan kanker dapat menjadi hal yang sangat
menyakitkan yang akan mempengaruhi quality of life seorang janda seumur hidupnya

Permasalahan
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimana quality of life dari janda pasca
kemoterapi dan radioterapi?
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif.
Wawancara semi terstruktur digunakan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan mengenai
quality of life janda pasca kemoterapi dan radioterapi. Penelitian ini juga menggunakan
observasi bersamaan dengan pelaksanaan wawancara. Wawancara mendalam (in depth
interview) dan observasi terhadap tiga orang subyek penelitian berlangsung selama empat
bulan, yaitu sejak Desember 2008 hingga Maret 2009.
Subyek Penelitian
Subyek yang diteliti memiliki kriteria: berada antara usia empat puluh hingga enam
puluh tahun, memiliki latar belakang pernah menderita penyakit kanker leher dan kepala,
dan telah menjalani kemoterapi. Subyek berasal dari golongan ekonomi menengah, berlatar
belakang pendidikan minimal setingkat sekolah menengah pertama. Subyek berstatus janda
dan telah memiliki anak. Subyek memiliki latar belakang suami yang meninggal pada saat
subyek menjalani tindakan atau setelah subyek menjalani tindakan.

Tabel 1
Data Demografis

Subyek I

Subyek II

Subyek III

Inisial nama

RM

SH

Usia

50 tahun

52 tahun

55 tahun

Domisili

Jakarta Utara

Jakarta Barat

Jakarta Utara

Pendidikan

SMA

S1 Akuntansi

SMP

Pekerjaan

Ibu Rumah

Karyawati

Ibu Rumah tangga

Tangga
Agama

Buddha

Buddha

Buddha

Anak ke

2 dari 5

8 dari 10

5 dari 6

Suku bangsa

Tionghua

Tionghua

Tionghua

Hasil penelitian
Gambaran Quality of life per-subyek
Subyek Pertama. Subyek I berinisial RM berusia sekitar 50 tahun. RM memiliki
hubungan yang dekat dengan keluarga dan memiliki keluarga yang harmonis. Hubungan
subyek dengan almarhum suami sangat baik dan sangat dekat. Ia juga memiliki hubungan
yang sangat dekat dengan putra bungsunya. Riwayat kesehatan RM adalah didiagnosis
kanker hidung (nasofaring) stadium 2B pada akhir 2007. Tindakan yang dijalani RM adalah
kemoterapi dan radioterapi, ia menjalani perawatan kanker di Singapura. Kehidupan RM
sebelum menjanda dan tindakan kanker adalah kehidupan biasa layaknya wanita dewasa
madya pada umumnya. RM menjalankan peran sebagai ibu, dengan dua orang putra yang
telah memasuki usia dewasa awal. RM memiliki hubungan yang dekat dengan anakanaknya, khususnya putra bungsunya. RM juga memiliki karir yang baik di bidang
kecantikan. RM kehilangan suami setelah beberapa bulan selesai melakukan tindakan

kanker. Suami RM meninggal karena kanker hati yang telah memasuki stadium lanjut dan
kanker tumbuh pada area sel batang sehingga sulit untuk dilakukan tindakan.
Setelah menjalani tindakan kemoterapi dan radioterapi RM mengeluh mengalami
keletihan, gangguan sistem otot, masalah pada mulut, gangguan indera pengecapan dan
pendengaran, kerusakan pada gigi, gangguan pada suara, dan penurunan berat badan secara
drastis. RM memiliki hubungan yang sangat baik dengan suami sehingga ia merasa sangat
kehilangan ketika suaminya meninggal. RM mengatakan sangat kehilangan suaminya dan
sering merasa kesepian pada awalnya, akan tetapi subyek mengaku secara berangsur-angsur
dapat menerima kematian pasangan.
RM mengalami banyak peningkatan penghayatan emotional-psychological well being
terutama pada dimensi: self acceptance, positive relation with others, environmental
mastery, purpose in life dan personal growth. Penghayatan self acceptance RM terlihat
terutama pada kemampuan untuk bersikap lapang dada dan menerima keadaan baik secara
fisik maupun mental. Subyek menganggap kejadian yang dialaminya dan keluarga
merupakan kejadian yang memiliki berkah tersendiri. RM mengatakansangat bersyukur
dengan keadaannya sekarang ini walaupun dengan menurunnya keadaan fisik karena efek
samping pasca kemoterapi dan radioterapi.
RM banyak merasakan perubahan pada dimensi positive relation with others. RM merasa
pandangan dirinya terhadap orang lain dan sesama banyak mengalami perubahan. Ia
merasakan dirinya menjadi lebih terbuka dengan orang lain. Kehilangan suami secara tibatiba merupakan kejadian yang paling mempengaruhi pandangan subyek terhadap sesama, ia
merasa segala yang terjadi di dunia ini hanya sementara dan manusia hidup tidak akan lama
sehingga ketika hidup manusia perlu menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya.
Pada RM, dimensi positive relation with others dapat dikatakan berhubungan dengan
dimensi environmental mastery. RM mengatakan setelah membuka pikirannya tentang
pentingnya menjalin hubungan dengan orang lain maka ia menjadi ingin bergabung dengan
kegiatan dan perkumpulan agama. Kegiatan keadaan keagamaan memberikan RM perasaan
yang lebih baik dan memberikan arti bagi kehidupannya. RM juga mengatakan bahwa ia
menjadi lebih sabar dan mampu mengelola emosi melalui agama.
Perubahan yang paling besar dari penghayatan emotional-psychological well being pada
diri RM adalah dimensi purpose in life. RM mengatakan tujuan hidupnya sekarang ini lebih
banyak ke arah yang lebih spiritual. Sebelum menjalani tindakan nasofaring dan kehilangan

suami, RM mengatakan dirinya adalah pribadi yang sangat berambisi dan kurang peka
terhadap orang lain. Akan tetapi setelah menjanda dan pasca tindakan, subyek memiliki
pandangan tentang tujuan hidup yang lebih baik yaitu dengan membantu sesama dan
menikmati sisa kehidupannya dengan keluarga. Perubahan lainnya pada diri RM adalah
pada dimensi personal growth, subyek menjadi pribadi yang lebih mandiri, berlapang dada,
tabah serta lebih berempati terhadap penderitaan sesama.
Subyek kedua, SH berusia kira-kira 52 tahun, ia bekerja sebagai akuntan perusahaan
keluarga yang bergerak dalam bidang bahan baku kertas. SH memiliki hubungan yang
cukup baik dengan keluarga. Ia melukiskan hubungan dengan almarhum suaminya
sebagai hubungan yang sangat dekat selayaknya sahabat. SH memiliki 3 orang anak
yang berada pada usia remaja dan dewasa awal. Almarhum suami SH meninggal karena
kanker pankreas yang telah memasuki stadium lanjut.
SH mengalami beberapa efek samping secara fisik. Efek samping yang dialami oleh
subyek antara lain: kesulitan makan dan menelan, gangguan fungsi penciuman, sakit
pada gigi, penurunan kelenturan kulit dan penurunan berat badan yang tajam. Ia juga
mengalami kesulitan untuk menaikkan berat badan setelah kemoterapi. Efek samping
yang dirasakan membuat SH mengalami keterbatasan adalam menjalani kegiatannya
sebagai ibu rumah tangga maupun bekerja, SH mengaku menjadi cepat lelah.
SH mengatakan bahwa ia mengalami kehidupan sulit dengan banyaknya kejadiankejadian yang terjadi dalam hidup. Akan tetapi melalui kejadian-kejadian sulit dalam
hidupnya, ia belajar untuk lebih menerima diri dan kehidupannya serta bersyukur dengan
kehidupannya (self acceptance). SH juga belajar untuk menjalani hidup sahari-hari dengan
mandiri (autonomy). Kemandirian SH dapat dilihat dari kemampuannya dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari dan mengatur rumah tangga. SH mampu kambali bekerja sekaligus
mengurus rumah tangga.
Paca menjalani tindakan, SH menjalin hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan
sesama. Pada awalnya perubahan sisi emosional membawa perubahan terhadap relasi
terhadap anak-anaknya. Subyek yang pada awalnya menjadi sangat emosional pasca
tindakan dan kematian suami kemudian berangsur-angsur memperbaiki emosinya agar dapat
berhubungan lebih baik dengan anak. Kemampuan mempertahankan hubungan baik dengan
sesama (positive relation with others) kemudian memberikan pandangan baru untuk
bergabung dengan organisasi kanker. SH senang mengikuti acara berkumpul dan bercerita-

cerita mengenai pengalaman hidup dengan pasien kanker dan senang dapat membagikan
pengalamannya dengan sesama. Hal ini dapat dikatakan sebagai indicator penghayatan pada
indikator environmental mastery.
Indikator lain dalam penghayatan psychology well being yang dialami oleh SH adalah
adanya personal growth dan purpose in life. SH mengatakan tujuan hidupnya sekarang
adalah untuk dijalani bersama kelaurga dan membentuk keluarga yang bahagia. SH juga
mengalami hal yang sama, pertumbuhan pribadi SH juga adalah perasaan perlunya
menghargai hidup dan tidak menuntut kepada anak-anak.
Subyek ketiga C. C berusia kira-kira 55 tahun. C memiliki latar belakang memiliki
hubungan yang kurang harmonis dengan almarhum suami. Suami C meninggal karena sakit
jantung yang menyerang secara tiba-tiba. Subyek kehilangan suami pada saat sedang
menjalani kemoterapi dan radioterapi. C didiagnosis kanker larynx stadium 2B pada April
2008 tetapi baru menjalani tindakan pada bulan Agustus 2008. C tidak langsung menjalani
tindakan kanker karena keadaan keuangan yang menyulitkan. Setelah menjalani tindakan, C
mengalami beberapa efek samping seperti: kehilangan suara (gangguan pada pita suara),
penurunan berat badan yang tajam, kesulitan menelan makanan, gangguan pengecapan, dan
gangguan pada lambung serta berkurangnya kelenturan kulit.
C mengatakan mengalami kelelahan fisik yang mengakibatkan keterbatasan menjalankan
aktivitas. Ia mengatakan menjadi cepat lelah dan otot menjadi kaku karena efek dari
tindakan yang dijalani. C juga mengalami perubahan pada aspek penampilan (body image,
facial disfigurement dan pengurangan kelenturan kulit). C juga merasakan penurunan berat
badan yang menyebabkan perubahan body image Meskipun demikian, penurunan berat
badan yang menyebabkan perubahan pada body image tidak menjadi beban yang berat yang
sangat menggangu. C menganggapnya sebagai hal yang wajar dan masih dapat dimengerti.
Perubahan pada dimensi functional well being yang paling dirasakan oleh C adalah
kemampuan dalam berfungsi secara sosial. Pasca menjalani tindakan dan kematian suami, C
menjadi lebih terbuka dengan keluarga. Hubungan antara C dengan keluarga besar yang
sebelum tindakan kanker tidak harmonis menjadi lebih baik. Ia menjadi lebih dekat dengan
keluarga dan anak-anak. Akan tetapi subyek menuturkan dirinya sering kelelahan ketika
menjalankan aktifitas mengurus rumah tangga.
Pada dimensi psychological well being, C banyak mengalami perubahan terutama pada
dimensi positive relation with others. Pasca kemoterapi dan radioterapi, C menjadi lebih

dekat dengan keluarga suami. Ia menjadi sosok yang lebih memahami orang lain dan
mengubah pemikirannya mengenai keluarga suaminya. C memperbaiki hubungan dengan
keluarganya yang sebelumnya kurang baik menjadi hidup yang lebih harmonis dengan
keluarga. Berbeda dengan RM dan SH, C adalah satu-satunya subyek yang enggan untuk
bergabung dengan perkumpulan keagamaan atau perkumpulan aktifis kanker. Walaupun
demikian dapat dikatakan C tetap memiliki penghayatan environmental mastery karena C
memilih meluangkan waktu bersama lingkungan keluarga yang membuat dirinya merasa
bahagia.
C juga tumbuh menjadi sosok yang lebih mandiri (autonomy) setelah kematian suami
dan tindakan kanker. Subyek mampu menjalankan kegiatan sehari-harinya dan memimpin
rumah tangga. Sedangkan pada sisi self acceptance, Ia mengatakan bahwa ia banyak
mengalami perubahan, terutama pada sisi fisik. Akan tetapi ia menjadi belajar menghargai
hidup setelah tindakan dan meninggalnya suami. Ia dapat menerima dan menghayati
perubahan fisik yang terjadi sebagai sesuatu yang biasa terjadi dalam pengobatan kanker
sehingga ia tidak terlalu terbebani dalam hal tersebut. C juga mengalami pertumbuhan
pribadi, C merasa perlu mensyukuri hidup, mengerti dan membina hubungan baik dengan
orang lainj terutama keluarga.
Diskusi
Penulis mendapatkan setiap subyek memiliki penghayatan quality of life yang berbeda
antara sebelum dan sesudah menjalani tindakan. Penghayatan quality of life sebelum
didiagnosis kanker leher dan kepala lebih terfokus pada dimensi functional well being dan
physical well being. Sedangkan fokus quality of life pasca menjalani tindakan adalah
dimensi psychological well being. Perubahan dimensi psychological well being yang positif
ditunjukkan secara nyata pada aspek self acceptance, positive relation with others, dan
penemuan tujuan hidup (Ryff & Shmothkin, 2002). Setiap subyek mengalami penghayatan
quality of life secara positif dengan mendapatkan pandangan baru melalui agama yang
kemudian memberikan pandangan baru mengenai tujuan hidup, penerimaan diri, dan
berelasi dengan sesama.
Ketiga subyek mengalami penurunan fisik yang tajam pasca tindakan. Penurunan fisik
ini kemudian menyebabkan keterbatasan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari yang
dapat membawa efek buruk dalam pekerjaan dan karir. Penurunan fisik merupakan hal
serius yang perlu diperhatikan pasca menjalani tindakan karena dapat menyebabkan

individu enggan kembali bekerja karena ragu akan kemampuannya dan keadaan fisiknya
tidak optimal dalam menjalankan pekerjaan. SH dan RM sama-sama mengalami kendala
dalam menjalankan pekerjaan. RM kemudian memutuskan untuk berhenti bekerja karena
khawatir keadaan fisiknya yang terbatas akan mengganggu kinerja perusahaan. Sedangkan
SH membutuhkan waktu beberapa bulan untuk beristirahat memulihkan keadaan fisiknya.
Setelah kembali bekerja, SH tidaklah seproduktif sebelum menjalani tindakan. SH menjadi
cepat lelah dan lebih banyak menyerahkan pekerjaannya pada bawahannya (King & Cella,
2003).
Simpulan
Dari hasil wawancara dengan ketiga subyek, penulis mendapatkan ketiga subyek
mengalami perubahan quality of life pasca kemoterapi dan radioterapi. Perubahan quality of
life semakin dirasakan setelah kematian suami. Perubahan quality of life yang paling
mencolok adalah perubahan pada dimensi physical well being, khususnya perubahan pada
aspek body image, facial disfigurement, masalah elastisitas kulit, kelelahan fisik, dan speech
problem. Perubahan pada aspek-aspek tersebut dapat menimbulkan keterbatasan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Perubahan secara fisik terutama kelelahan fisik
menyebabkan keterbatasan dalam menjalankan fungsi pekerjaan. SH memutuskan untuk
mengambil cuti selama beberapa bulan dengan alasan kelelahan fisik yang dialami. SH
khawatir keadaan fisiknya akan mempengaruhi pekerjaannya. Sedangkan RM berhenti
bekerja karena khawatir keadaan fisiknya akan mengganggu pekerjaannya dan dapat
mempengaruhi perusahaan.
Perubahan lainnya yang dirasakan adalah perubahan pada dimensi functional well being.
Perubahan functional well being adalah efek dari penurunan fisik yang dialami pasca
menjalani tindakan. Secara umum subyek dapat menjalankan kegiatan sehari-hari seperti
makan sendiri, memakai pakaian sendiri, melakukan kegiatan sehari-hari bahkan tetap dapat
dengan lancar menjalankan peran sebagai seorang ibu. Ketiga subyek menuturkan tetap
dapat melakukan peran sosial bersama dengan teman, sahabat, keluarga, dan lingkungan
sekitarnya. RM dan SH merasakan keterbatasan dalam menjalankan pekerjaan. RM merasa
kemampuan yang dimiliki menjadi menurun karena keletihan fisik sedangkan SH
menuturkan membutuhkan waktu yang lebih panjang dalam menyelesaikan pekerjaan,
karena fisiknya yang menurun dan mudah lelah.

Dari ketiga dimensi yang diukur dalam penelitian ini, dimensi psychological well being
adalah dimensi yang mengalami perubahan secara nyata dan positif. Penulis menemukan
ketiga subyek menunjukkan perubahan positif pada setiap aspek yang diukur dalam quality
of life. Ketiga subyek menunjukkan self acceptance, positive relation with others,
environmental mastery, dan menemukan tujuan hidup kembali.
Saran
Selama proses penelitian, penulis menemukan adanya keterkaitan antara peningkatan
penghayatan psychological well being dengan aspek spiritualitas dan agama. Psychological
well being sebagai salah satu dimensi terpenting dalam quality of life ternyata memiliki
kaitan dengan agama dan kepercayaan. Penulis menyarankan mengenai penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh aspek spiritualitas terhadap penghayatan psychological well
being, dan quality of life.
Penulis juga menyarankan dilakukannya penelitian lanjutan yang tidak hanya terfokus
pada wanita janda pengidap kanker leher dan kepala pasca menjalani tindakan tetapi juga
pengaruh kanker leher dan kepala dan meninggalnya anggota keluaga terhadap anggota
keluarga lain. Diskusi dengan pakar juga penting dilakukan oleh peneliti lanjutan dalam
memperluas pengetahuan mengenai pengaruh kanker leher dan kepala terhadap quality of
life seluruh anggota keluarga.
Daftar Pustaka
Barraclough, J. (2000). Cancer and emotion (3rd ed). New York: John Willey.
Bassien, K. V. (1996). High dose chemotherapy on solid tumors. Book of proceedings of
Jakarta International cancer conference 95 (pp. 11-40). Jakarta: UI press.
Bennet, L., & Feist, J., (2000). Health psychology (4th ed). Belmont, CA: R.R. Donelly &
sons.
Cameron, R. B. (1994). Practical oncology. Appleton, CT: Prentice Hall.
Chen, V. W., Andrew, P., & Wu, A. C. (1997). Present and future trends of the most
prevalent cancer in tropical countries. Book of proceedings of Jakarta International
cancer conference 95 (pp.11-40). Jakarta: UI Press.

Francis, S., & Satiadarma, M. P. (2004). Pengaruh dukungan keluarga terhadap kesembuhan
ibu yang mengidap kanker payudara. Arkhe, 9, 39-50.
Halim, M. S. (2003). Quality of life and breast cancer: a general concept. Jurnal psikologi,
12, 13-21.
Halim, M. S. (2004). Quality of life and breast cancer: from research to future issues.
Jurnal psikologi, 12, 1-11.
Iro, H., & Waldfahrer, F. (1998). Evaluation of the newly updated TNM classification of
head and neck carcinoma with data from 324 patients, cancer, 83, 2201-2207.
Nasar I. M. (1985) Tumor leher dan kepala: diagnosis dan treatment. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Prayoga, N. (2008). Kemoterapi akibat dan manfaatnya. Diambil 20 januari, 2006 dari
http://dharmais.com/2006/20/01/kemoterapi.
Regato, D., Spjut, J. A., & Cox, J. D. (1985) Ackerman Regatos cancer medication (6th ed).
Saint Louis, MO: CV Mosby Company.
Reginald, H. C. S. (1997). Cancer management based on quality of care and quality of life.
Book of proceedings of Jakarta International cancer conference95 (pp. 184-294).
Jakarta: UI Press.
Ronis. (2008). Study examines changes in quality of life after head and neck cancer
treatment. Retrieved August 20, 2008, from http://www.medscape.com/quality of
life/08/20/08.
Ryff, C. D., Keyes, C.L.M., & Shmothkin, D. (2002). Optimizing well being: the empirical
encounter of two tradition. Journal of personality and psychology, 12,1007-1022.
Sundari, S. (2005). Kesehatan mental dalam kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta.
Taylor, S. E. (2003). Health psychology (5th ed.). Boston: Mc Graw-Hill.
The

middle

age

and

cancer.

(2007).

Retrieved

August

http://www.wikipedia.com/middle age/cancer/09/19/2007.

19,

2007,

from

Williams, J. R. (1990). Radiotherapy physics in practice. Manchester, England: Oxford


University Press.

Anda mungkin juga menyukai