Patogenesis Herpes Zoster 2a4
Patogenesis Herpes Zoster 2a4
PENDAHULUAN
Herpes zoster merupakan penyakit yang terjadi karena reaktivasi dari
Varicella zoster virus (VZV) yang mengenai kulit dan mukosa dengan lesi berupa
erupsi vesikular yang pada umumnya bersifat dermatomal dan unilateral. Infeksi
primer VZV menyebabkan penyakit varisela.1-5
Reaktivasi VZV yang berdiam di ganglion posterior terjadi secara sporadik
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penekanan atau penurunan sistim imun
tubuh, radiasi pada spinal, tumor pada ganglion, trauma lokal, manipulasi bedah pada
spinal serta sinusitis frontalis sebagai faktor presipitasi pada herpes zoster oftalmikus.
Namun yang paling penting adalah respon imun selular yang menurun terhadap VZV
seiring dengan meningkatnya usia.1-5
Hubungan antara herpes zoster dengan varisela pertama kali digambarkan oleh
Bokay pada tahun 1888. Dimana dalam pengamatannya ditemukan varisela pada
anak-anak setelah kontak dengan penderita herpes zoster. Herpes zoster biasanya
terjadi pada individu yang pernah mengalami infeksi primer VZV sebelumnya. 5
Herpes zoster muncul di seluruh dunia secara sporadik tanpa dipengaruhi
faktor musim. Berbeda dengan varisela yang insidennya meningkat saat musim hujan.
Hal ini berhubungan dengan daya tahan virus terhadap panas, dimana VZV menjadi
tidak aktif pada suhu 56-600 C dan jika ada kerusakan pada envelope virus. Faktor
yang paling berperan adalah usia tua serta imunitas tubuh. Usia tua meningkatkan
kemungkinan menderita herpes zoster serta menderita komplikasi yang lebih berat
dibandingkan dengan penderita usia muda.3,4,6,
1.1. Epidemiologi
Herpes zoster ditemukan pada lebih kurang 20% dewasa sehat dan lebih
kurang 50% pada orang dengan imunokompromais yang pernah terinfeksi VZV.
Kebanyakan kasus berumur lebih dari 45 tahun dan insidennya meningkat sesuai
dengan pertambahan usia. Insiden herpes zoster pada individu kurang dari 50 tahun
ratio insidennya 2,5/1000, pada individu lebih tua (60-79 tahun) adalah 6,5/1000,
sedangkan pada usia di atas 80 tahun meningkat menjadi 101/1000.6
Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak-anak usia di bawah 10
tahun, dengan insiden 0,74 per 1000 anak. Adanya herpes zoster pada anak
1
disebabkan infeksi primer VZV selama tahun-tahun pertama kehidupan atau infeksi
intra uteri dari ibu selama kehamilan.6
Di Indonesia insiden kasus herpes zoster belum ada yang dipublikasikan. Data
dari Sub Bagian Dermatologi Umum Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FKUI / RSCM selama tahun 2000 tercatat sejumlah 122 pasien. 4 Sedangkan insiden di
Poli Kulit RS dr M Djamil Padang tahun 2002 2006 berkisar lebih kurang 1,01%
dari total pasien baru. Dimana pada tahun 2002 sebanyak 95 kasus dari 9311 pasien
(1,02%), tahun 2003 sebanyak 89 kasus dari 9512 pasien (0,93%), tahun 2004
sebanyak 80 kasus dari 9032 pasien (0,88%), tahun 2005 sebanyak 105 kasus dari
9353 pasien (1,12%) dan tahun 2006 sebanyak 98 kasus dari 9380 pasien (1,14%).7
1.2. Gejala klinis
Gejala prodormal
Manifestasi klinis herpes zoster didahului dengan gejala prodormal diawali
dengan nyeri pada daerah lesi. Keadaan ini berlangsung 1 4 hari sebelum erupsi
kulit. Nyeri bersifat segmental sesuai dermatom bervariasi secara intermiten. Kadangkadang subjektifnya berupa rasa gatal, kesemutan, panas, pedih bahkan sampai rasa
ditusuk- tusuk. Gejala umum berupa malaise, sefalgia, nausea yang mana keadaan ini
hilang setelah erupsi kulit muncul.1-4
Erupsi kulit
Kemudian diikuti dengan erupsi kulit pada daerah yang nyeri tersebut. Lesi
awal berupa makula eritem dan papula eritem yang dalam 12 - 24 jam menjadi vesikel
berkelompok terletak pada satu sisi (unilateral) dan dapat berkembang menjadi pustul
dalam 3 hari. Lesi akan mengering dan menjadi krusta dalam 7 10 hari. Krusta
biasanya bertahan selama 2 3 minggu kemudian mengelupas. Pada individu normal,
lesi baru tetap muncul dalam 1 4 hari. Lesi lebih berat dan bertahan lebih lama pada
penderita usia tua dan lebih ringan serta lebih singkat pada anak-anak.1-4
Ciri khas herpes zoster adalah lesi yang berlokasi dan terdistribusi hampir
selalu unilateral, tidak melewati garis tengah tubuh dan biasanya terbatas pada daerah
yang dipersarafi oleh ganglion sensorik.1-4
1.3. Variasi klinis
Secara klinis manifestasi herpes zoster antara lain :
Zoster sine herpete : Adanya nyeri dermatom yang jelas tanpa disertai dengan
erupsi kulit. Hal ini disebabkan gagalnya penyebaran VZV ke kulit saat fase
reaktivasi.4,5,8,9
Sindrom Ramsay Hunt : Herpes zoster pada liang telinga eksterna atau
membran timpani, terdapat paralisis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan
mengecap pada 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo dan tuli. Pada keadaan
ini virus menyerang nervus fasialis dan nervus auditorius.4,5,8,9
Herpes zoster pada pasien imunokompromais : Lesi cukup berat bisa multi
dermatom, ditemukan bula hemoragik, nyeri hebat, dapat mengenai organ
dalam dengan gejala prodormal hebat dan erupsi kulit yang berlangsung lebih
lama.10
1.4. Komplikasi
Komplikasi herpes zoster secara garis besar bisa dikelompokan pada
komplikasi di kulit, organ viseral dan neurologik.3,9
Infeksi sekunder oleh bakteri memperlambat proses penyembuhan. Pada
erupsi kulit yang disertai infeksi sekunder dapat meninggalkan bekas berupa jaringan
parut, dan pada penderita dengan bakat keloid dapat terjadi keloid. Pada keadaan
dengan gangguan imunitas dapat terjadi herpes zoster dengan lesi kulit yang luas yang
dikenal dengan herpes zoster diseminata.3,4,9
Komplikasi terhadap organ viseral yang sering dijumpai adalah pneumonitis,
hepatitis, pericarditis dan lain-lain. Sedangkan komplikasi neurologik yang paling
sering ditemui adalah neuralgia paska herpetik (NPH), meningoensefalitis, myelitis
transversa, komplikasi pada mata berupa keratitis akut, skleritis, uveitis, glaukoma
sekunder, ptosis, korioretinitis, neuritis optika dan parese otot penggerak bola
mata.3,4,5,9
Pada NPH nyeri menetap 1 - 3 bulan atau lebih sesudah lesi herpes
menyembuh. Terjadinya NPH ini sangat erat hubungannya dengan umur penderita
saat timbulnya herpes zoster. NPH menimbulkan gejala nyeri hebat yang kadang sulit
diatasi sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sesudah herpes zoster
menghilang. Hal ini disebabkan karena kerusakan neuron yang terjadi pada fase akut
menjadi permanen karena daya regenerasi sel neuron yang rendah.3,8,11
Tabel 1 : Komplikasi herpes zoster
1.5. Pengobatan
Untuk gejala ringan pengobatan cukup dengan analgetik, seperti asam
mefenamat 3x500mg / hari, parasetamol 3x500mg / hari yang dikombinasikan dengan
kodein 3x10mg / hari atau dengan tramadol 3x50mg / hari. Kodein merupakan
analgetik yang bekerja secara sentral di susunan saraf pusat untuk memperkuat efek
analgetik parasetamol yang bekerja di perifer.5
Pada lesi luas dan berat selain analgetik juga diberikan antivirus seperti
asiklovir oral 5x800mg / hari selama 7 hari, atau valasiklovir oral 3x1000mg / hari
selama 5-7 hari, atau alternatif lain famsiklovir oral 3x250mg / hari. Terapi antivirus
memberikan hasil optimal jika diberikan pada 3 hari pertama sejak erupsi kulit
muncul.5
BAB II
HUMAN HERPES VIRUS
2.1. Klasifikasi
Varicella zoster virus adalah 1 dari 8 vrus dalam famili Herpesviridae yang
menyerang manusia, dikenal dengan human Herpes virus (HHV). Famili
Herpesviridae ini dibedakan lagi atas 3 sub-famili yaitu Alfaherpesvirus,
Betaherpesvirus dan Gammaherpesvirus. Pembagian ini berdasarkan kepada properti
biologis, seperti kemampuan menjadi laten pada sel-sel tertentu dan manifestasi klinis
yang ditimbulkan. Akan tetapi saat ini sudah ditetapkan pembagian virus berdasarkan
kepada kandungan gen dan kemiripan susunan gen tersebut.12,13
Tabel 2. Klasifikasi virus Herpes
cepat,
Saat ini sudah ditetapkan juga pembagian virus berdasarkan kandungan gen
dan kemiripan susunan gen tersebut. Gen virus herpes mempunyai kestabilan genetik
dengan sedikit perbedaan nukleotida dari isolasi virus dari penderita yang sama.
Varicella zoster virus memperlihatkan variasi nukleotida yang paling sedikit
dibanding virus herpes lainnya, dengan estimasi sekitar 0,05%-0,06%. Tampak bahwa
variasi nukleotioda ini 10 kali lebih rendah dibanding HSV, HHV8, CMV, dan PRV
dengan estimasi 0,32-0,81%, 1,5-2%, 2,5% dan 2-3%. Dari perbandingan tersebut
terlihat bahwa VZV mempunyai varian yang lebih sedikit dibanding HHV
lainnya.12,13,14
Meskipun VZV mempunyai kehomogenan genome, strain VZV masih bisa
dibedakan melalui analisis terhadap berbagai tipe mutasi yang terjadi pada susunan
genetik virus tersebut. Pembedaan tersebut dilakukan dengan berbagai cara, seperti
analisis
masuknya virus ke sel host, pembentukan virion, penyebaran virus dari sel host ke sel
host lainnya dan berfungsi sebagai target respon imun sel host. Antara lipid envelope
dan nucleocapsid terdapat tegumen, suatu amorfik yang kaya protein yang berfungsi
dalam memulai dan mengontrol transkripsi gen virus.13
Gambar 1 : Struktur Varicella Zoster Virus
Masuknya virus
Masuknya virus kedalam sel host dimulai dengan perlengketan antara
envelope virus dengan membran sel host. Perlengketan ini dilakukan dengan interaksi
antara mannose 6 phosphat (M6P); suatu molekul di bagian luar envelope virus
dengan heparan sulphate, yaitu suatu proteoglycan yang terdapat di permukaan
membran sel host yang berfungsi sebagai reseptor terhadap virus.13
Kemudian dilanjutkan dengan fusi membran sel host dengan envelope virus
yang terjadi melalui interaksi residu mannose 6 phosphate yang terdapat di
ektodomain virus pada permukaan envelope virus dengan reseptor mannosa 6
phosphate (heparan sulfat) di permukaan sel host. Glikprotein virus yang berperanan
dalam proses perlengketan ini adalah gB, gC dan gD.12-16
Proses selanjutnya berupa penetrasi virus yang terjadi dengan masuknya
protein tegumen virus ke dalam sitosol sel host. Kemudian tegumen ini menuju
nukleus sel host, dilanjutkan pembukaan nucleocapsid sehingga terjadi fusi gen DNA
virus ke nukleus sel host. Saat fusi tersebut protein-protein yang terdapat dalam
tegumen berikatan dengan DNA virus.12-16
Gambar 2 : Proses perlengketan virus
Sintesis protein
Setelah gen virus berada dalam nukleus sel host, ekspresi gen virus ini
dikontrol oleh berbagai protein dalam tegumen yang berikatan dengan DNA virus.
Sintesis protein VZV ini terdiri dari tahapan yaitu ; ekspresi gen immediate early (IE)
yang menghasilkan protein yang berfungsi dalam regulator dan mengaktivasi proses
9
transkripsi. Salah satu gen terpenting sebagai regulator dalam proses transkripsi
adalah gen IE62. Gen IE62 berfungsi dalam mensinergiskan protein virus dan protein
sel host pada awal proses transkripsi. Gen IE lainnya adalah IE61 yang berfungsi
menekan proses aktivasi transkripsi DNA virus ketika virus memasuki tahapan
berikutnya (replikasi DNA virus), dan IE17 dengan fungsi host shut-off, yaitu gen
yang berperanan terjadinya kematian sel host setelah terinfeksi VZV.12,13,16
Proses selanjutnya adalah sintesis early (E) protein. Dimana di sintesis
protein-protein seperti DNA helicase / primase, DNA polymerase, dan rantai tunggal
DNA, merupakan protein-protein yang berperanan dalam replikasi DNA virus.12,13,16
Tahap yang ketiga adalah sintesis late (L) protein. Merupakan protein-protein
yang dibutuhkan dalam pembentukan struktur virion (virus imatur yang belum
infeksius) seperti protein nucleocapsid dan glikoprotein virus M, L, I dan E.12,13,16
Replikasi DNA
Replikasi DNA virus terjadi dalam nukleus dimulai dengan terjadinya jarak
antara rantai-rantai DNA virus, sehingga rantai DNA terpisah. Pemisahan ini
disebabkan oleh suatu binding protein yang dikenal dengan Ul9 ori. Kemudian
dilanjutkan dengan pemutusan rantai DNA tersebut yang disebabkan adanya komplek
enzim polimerase / Ul42. Proses selanjutnya adalah pembentukan rantai DNA virus
yang baru melalui mekanisme perputaran lingkaran rantai DNA. Dimana rantai DNA
berubah bentuk menjadi lingkaran yang berputar dan menghasilkan satu rantai DNA
baru pada setiap satu kali putarannya.13,16
Pembentukan virus
Pembentukan nucleocapsid
Primer nucleocapsid dibentuk di dalam nukleus sel host dimana pada fase ini
Pembentukan virion
Proses selanjutnya adalah pembentukan envelope virus primer terjadi di
10
dari retikulum endoplasma melalui trans-Golgi network (TGN). Dalam TGN terjadi
re-envelope virion sehingga virion menjadi matur dan infeksius.13,16
11
Pada sel host yang setipe penyebaran terjadi dengan cara fusi antara sel-sel
yang terinfeksi virus dengan sel-sel di sekitarnya yang belum terinfeksi. Pada kulit
manusia terdapat respon imun alami dan respon imun didapat yang mengontrol
penyebaran virus dari sel yang sudah terinfeksi ke sel belum terinfeksi.12,13
Bukti keterlibatan respon imun alami tampak dari ditemukannya keratinosit
dan sel Langerhans dan adanya sel raksasa berinti banyak pada lesi infeksi virus
Varicella zoster. Keterlibatan antibodi dalam melawan infeksi VZV didasari adanya
glikoprotein virus yang menjadi antigen pada permukaan membran sel host. Adanya
glikoprotein tersebut karena telah terjadi fusi antara membran sel virus dengan
membran sel host saat proses perlengketan di awal infeksi VZV. Glikoprotein yang
berperanan ditemukan pada membran sel host antara lain glikoprotein H, L, B dan E
(gH, gL, gB, gE). Bagaimana persisnya keempat glikoprotein ini menyebabkan
terjadinya fusi antara sel host masih belum diketahui. Penelitian terhadap glikoprotein
E memperlihatkan bahwa protein ini mempunyai cadherin E (suatu domain ekstra
seluler) yang berfungsi sebagai protein adhesi terhadap sel host yang sudah terinfeksi
dan yang belum terinfeksi.12,13,16
.
12
BAB III
PATOGENESIS HERPES ZOSTER
Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan
perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah
diketahui bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang diketahui
dengan peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi.3,6
Hal ini biasa dijumpai pada orang dewasa yang sudah pernah menderita
varisela, tetapi mempunyai kontak serumah dengan penderita varisela. Salah satu
penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan 64% asimtomatik pada individu
imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi VZV sampai 4 kali lipat.
Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar 13% pada kelompok
imunokompeten dan 19% pada kelompok imunokompromais.6,8
Faktor-faktor yang diduga memungkinkan timbulnya infeksi ulang dengan
gejala klinis adalah : (1) usia muda (kurang dari 12 bulan), (2) infeksi primer yang
terlalu ringan sehingga tidak bisa memproduksi respon sel memori yang adekuat
untuk melawan infeksi berikutnya, (3)
ditemukannya 45% individu dengan infeksi ulang dengan gejala klinis mempunyai 1
atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita varisela berulang.6,8
Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi primernya yaitu varisela.
Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga dibicarakan perjalanan
penyakit yang dimulai dari munculnya varisela.
3.1. Patogenesis varisela
3.1.1. Infeksi primer Varicella zoster virus
Infeksi primer VZV 90% terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun
dan 5% pada usia di atas 15 tahun. Pada anak imunokompetan gejala klinis biasanya
ringan, dapat sembuh sendiri dan jarang terjadi komplikasi. Pada sebagian individu,
infeksi VZV tidak menimbulkan gejala klinis.6,8
Manusia akan terinfeksi oleh VZV ketika virus berkontak dengan mukosa
traktus respiratorius bagian atas atau konjungtiva. Varicella zoster virus tersebut bisa
berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian atas, cairan vesikel penderita
varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster. Dari mukosa traktus respiratorius
bagian atas VZV menuju kelenjar limfe regional dan mengalami replikasi pertama.6,8
13
14
seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada viremia
sekunder virus terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron ganglion dorsalis
untuk menjadi infeksi laten. Varicella zoster virus dibawa ke kulit oleh sel
mononukleus darah perifer yang sudah terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di kulit.
Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel endotel kapiler, fibroblas, epitel kulit dan
menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil, degenerasi sel-sel epitel kulit yang
bermanifestasi sebagai lesi varisela.6,12
Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia sekunder
ini, sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya varisela yang luas
dan varisela pada organ viseral seperti paru yang dikenal dengan varisela pneumonia.
Respon imun seluler yang berperan dalam menghambat penyebaran VZV adalah
natural killer cells, dengan cara membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya
komplikasi varisela mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan
replikasi dan penyebaran virus.6,8,10,11,12
Gambar 5 : Skema viremia sekunder
15
17
Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal ini
disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi herpes
yang terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien imunokompromais
18
seperti penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan dengan imunosupresan atau
sitostatik.21
Hal ini bertolak belakang dengan variasi klinis herpes zoster lainnya seperti
pada zoster sine herpete dimana klinis hanya berupa rasa nyeri pada dermatom yang
terkena tanpa disertai munculnya erupsi kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun
dapat mencegah penyebaran virus ke kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak
muncul. Herpes zoster abortif dimana klinis yang muncul sangat ringan dan
berlangsung sebentar disebabkan sistim imun dapat menekan perkembangan lebih
lanjut virus sehingga tidak menimbulkan lesi yang lebih berat.21
3.2.3 Patogenesis nyeri pada herpes zoster dan neuralgia paska herpetik
Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster. Khususnya
pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa menetap sampai
beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh. Nyeri kronis yang
menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan dengan nyeri yang
menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih dari 4 minggu, tanpa
melihat derajat perbaikan.3,6,21,22
Tidak seperti nyeri yang menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH
tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas
jaras spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri
neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut
merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf
pusat.23
Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh herpes
zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini
menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang saraf
sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik dan motorik dari
dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion posterior
menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi peningkatan
sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor taktil yang dikenal
dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini terjadi pelepasan sitokin-sitokin
yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada herpes tidak disebabkan oleh
kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi disebabkan oleh gangguan fungsi
19
transmisi pada serat saraf sensorik setelah rangsangan taktil pada nosireseptor di
kulit.21-23
Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada
herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami
hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau
hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan yang
terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai konsekuensi rangsangan pada
nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan gangguan
impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula spinalis
menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis terhadap
semua rangsangan (wind up mechanism). 21,23
Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula
spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron.
Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor Nmetil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di kornu
posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan neurotransmiter
yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat proses peradangan. 24 Akibat
gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis terjadi sensitisasi sentral
temporer bahkan permanen meskipun tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor.23
Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang
susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri
sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter
timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf. Hipersensitifitas dan sensitisasi
sel neuron terjadi dalam beberapa menit, remodeling sel-sel neuron terjadi dalam
beberapa jam, responstruktural terjadi dalam beberapa hari atau dalam beberapa
bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih
lanjut selama dilakukan pada fase akut.23
20
BAB IV
KESIMPULAN
Varicella zoster virus bisa berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian
atas, cairan vesikel penderita varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster.
Varicella zoster virus dari luar yang berkontak dengan mukosa traktus
respiratorius bagian atas kemudian ke kelenjar getah bening regional.
Di liver dan limfa VZV mengalami replikasi ke dua dalam jumlah yang lebih
banyak mengalami viremia sekunder ke kulit muncul lesi varisela dan akhirnya ke
ganglion posterior atau saraf kranialis menjadi laten.
Nyeri pada herpes zoster disebabkan terjadinya sensitisasi perifer dan sentral pada
saraf sensorik.
21