Anda di halaman 1dari 19

Perkembangan UMKM Singkong di Indonesia, Peningkatan

Nilai Jual dan Potensi Pasar Singkong


Makalah ini ditujukan untuk tugas mata kuliah Ekonomi Koperasi
Dosen Pengantar : M. Azrul Tanjung, SE, M.Si

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8:

Dhio Rizky Chandra


Zakiyah
Fernanndo Eriawan
Sofian Alem Khoeri
Ririn Annisa Priliani

:
:
:
:
:

1109082000051
1110082000127
1110082000129
1110082000134
1110082000136

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Potensi salah satu komoditas

pangan yang

patut dipertimbangkan untuk

dikembangkan di Indonesia khusunya di pulau jawa adalah umbi-umbian seperti


singkong atau ubi kayu. Singkong / Ubi kayu merupakan pangan lokal yang telah lama
diminati oleh masyarakat. Pada zaman perang, saat masuknya Jepang ke Indonesia, beras
sangat langka dan sulit didapat, tetapi masyarakat tidak kurang akal. Kita semua
memanfaatkan singkong sebagai pengganti nasi. Dalam sumber pangan lokal sebagai
cadangan pangan akan menimbulkan efek positif, seperti terhidupinya para petani dan
tumbuhnya industri pangan lokal, seperti industri pengolahan pangan non beras yang
berbasis lokal termasuk tepung singkong dan mengurangi ketergantungan pada produk
pangan impor. Dipilihnya singkong juga sangat tepat mengingat manfaat dan kegunaan
singkong cukup luas, terutama untuk industri makanan dan juga sebagai produk antara.
Banyaknya manfaat dan kegunaan dari singkong, memungkinkan singkong lebih
ditumbuhkembangkan di daerah daerah sentra produksi singkong.
Berbagai jenis produk olahan langsung terdiri dari produk olahan kering (misalnya
keripik singkong dan kerupuk singkong) dan produk olahan semi basah (contohnya tape,
getuk dan makanan tradisional lainnya). Untuk produk awetan olahan singkong dapat
dijadikan produk tapioka dan turunanya, gaplek dengan produk turunannya (antara lain
tiwul, nasi rasi (beras singkong), serta tepung singkong sebagai bahan baku untuk tiwul
instan dan juga berbagai aneka kue, misalnya Brotel (Brownies Tela), Sirobak (Singkong
Roti Bakar) dan lain sebagainya.
Berdasarkan sumber data perdagangan internasional produk olahan singkong
dibedakan menjadi tiga jenis, namun FAO hanya mencatatnya sebagai cassava. Data
FAO terbaru (tahun 2007), yang keluar pada awal Desember 2009 ini, menunjukkan
bahwa Indonesia berada pada ranking keempat sebagai penghasil kasava. Menurut FAO,
lima besar negara penghasil kasava adalah 1. Nigeria 34,4 juta ton; 2. Thailand 26,9; 3.
Brasil 26,5; 4. Indonesia 19,9; dan 5. Republik Demokrasi Kongo 15 juta ton. Potensi
Indonesia masih bisa lebih ditingkatkan lagi, mengingat budi daya singkong terhitung
mudah dan murah, dibanding dengan serealia. (Sumber data: media, terkait, data FAO
dan rubrik, data diolah F. Hero K. Purba). Berhasil atau tidaknya dalam potensi olaha
produk singkong (cassava) pencapaian tujuan usaha tergantung pada orang-orang dalam

bidang pemasaran, produksi, dan keuangan. Jadi banyak peluang yang bias dilakukan
dari tanaman singkong yang bernilai ekonomis dan sekarang bagaimana strategi untuk
mempromosikannya agar pemanfaatan singkong untuk pangan ini dapat lebih baik
ditingkatkan.
B. Rumusan Masalah
Dalam melakukan analisis ini kami menemukan beberapa permasalahan yang kami
temukan, diantaranya:
1) Bagaimana sejarah singkong di Indonesia dan manfaat yang terdapat dalam singkong
itu sendiri?
2) Bagaimana perkembangan UMKM singkong di Indonesia?
3) Apa saja kendala yang dihadapi UMKM singkong Indonesia?
4) Apa usaha yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pemanfaatan singkong di
Indonesia?
5) Apa contoh pemanfaatan singkong yang sudah sukses di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan kami untuk menulis makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui sejarah dan manfaat singkong
2) Untuk mengetahui perkembangan UMKM singkong di Indonesia
3) Untuk mengetahui kendala yang ada pada UMKM singkong di Indonesia
4) Untuk mengetahui cara yang bisa meningkatkan pemanfaatan singkong di Indonesia
D. Metode Penulisan
Penyusunan makalah ini menggunakan referensi-referensi dari beberapa media atau
literatur baik dari buku, koran, majalah, maupun internet yang telah kami baca, edit,
maupun kami unduh dan disusun secara sistematis sesuai kerangka dasar yang telah
kami sepakati bersama

E. Sistematika Penulisan
Kami menyusun makalah ini dengan sistematika yang telah kami diskusikan bersama
berupa bab 1 tentang pendahuluan dimana latar belakang penulisan, masalah dan
hipotesa yang kami miliki, tujuan kami menulis dan menyusun makalah, dan lain
sebagainya kami tulis disini.
Dan dalam bab 2, kami mencoba menggunakan referensi dari berbagai sumber yang
telah kami temukan untuk membahas makalah kami dan menjelaskan masalah yang
kami temui juga memperkuat hipotesa yang kami miliki.

Terakhir dalam bab 3, kami menyimpulkan apa saja yang telah kami dapatkan baik
berupa solusi dalam makalah dan juga beberapa hipotesa kami yang ternyata salah duga.
Dan diikuti dengan Daftar Pustaka.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Manfaat Singkong
a. Sejarah Singkong di Indonesia
Singkong berasal dari benua Amerika, tepatnya Brazil dan Paraguay. Penyebarannya
hampir ke seluruh negara termasuk Indonesia. Singkong ditanam di wilayah Indonesia
sekitar tahun 1810 yang diperkenalkan oleh orang Portugis dari Brazil. Singkong
merupakan tanaman yang penting bagi negara beriklim tropis seperti Nigeria, Brazil,
Thailand, dan juga Indonesia. Keempat negara tersebut merupakan negara penghasil
singkong terbesar di dunia.
Di Indonesia, singkong menjadi salah satu tanaman yang banyak ditanam hampir di
seluruh wilayah dan menjadi sumber karbohidrat utama setelah beras dan jagung.
Daerah penghasil singkong terbesar di Indonesia terletak di daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur.
b. Manfaat Singkong
1) Manfaat dari kandungan singkong
Singkong atau yang sering disebut dengan ketela pohon atau ubi kayu berasal dari
keluarga

Euphorbiaceae dengan nama latin

Manihot esculenta. Singkong

merupakan jenis tanaman perdu yang dapat hidup sepanjang tahun. Singkong

mudah ditanam dan dibudidayakan, dapat ditanam di lahan yang kurang subur,
resiko gagal panen 5% dan tidak memiliki banyak hama. Tanaman ini mempunyai
umur rata rata 7 hingga 12 bulan.
Singkong mempunyai umbi atau akar pohon berdiameter rata-rata 5-10 cm lebih
dan panjang 50-80 cm. Daging umbinya ada yang berwarna putih atau kekuningkuningan. Kandungan Kadar (per 100 g) yaitu : Air 63 g, Pati 34,7 g, Protein 1,2
g, Lemak 0,3 g, Kalsium 33 mg, Posfor 40 mg, Vitamin C 30 mg. Singkong
mengandung senyawa sianogenik yang dikenal dengan linamarin (93%) dan
lotaustralin (7%) (Okigbo, 1980). Kadar senyawa sianogenik tersebut dapat
berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman, umur tanaman, dan kondisi
lingkungan seperti kondisi tanah, kelembaban, suhu, dan yang lainnya.
Berdasarkan perbedaan kandungan sianogenik, singkong terbagi menjadi dua,
yaitu singkong manis dan singkong pahit. Pada singkong manis mengandung
senyawa sianogenik sekitar 20 mg HCN/kg singkong, sedangkan pada singkong
pahit kadar sianogenik 50 kali lipat lebih banyak dibandingkan singkong manis,
yaitu sekitar 1 g HCN/kg singkong ,Singkong pahit mempunyai batang cukup
besar, dengan kulit batang, daun, tangkai daun, dan pucuk tanaman berwarna hijau
gelap (hijau tua). Singkong jenis ini dapat memperoleh hasil singkong yang tinggi
dengan kandungan pati yang juga tinggi.
2) Manfaat singkong dari sisi ekonominya
Karena banyak gizinya, singkong sebenarnya mempunyai pangsa pasar yang
potensial, karena singkong ini dikonsumsi semua kalangan. Dari penanaman
singkong

yang

menghasilkan

singkong

mentah,

para

petaninya

sudah

mendapatkan keuntungan yang besar, contohnya: Para petani singkong kita ratarata mengeluarkan modal kerja sekitar Rp 500.000,- per hektar per musim tanam.
Setelah 9 bulan sampai 1 tahun, mereka akan panen sekitar 10 ton singkong segar.
Kalau di saat panen harga singkong jatuh hingga tinggal Rp 100,- per kg, petani
masih akan memperoleh pemasukan sebesar Rp 1.000.000,- Keuntungan mereka
sebesar 100% dari modal kerja dalam kurun waktu 1 tahun. Apalagi jika setelah
diolah menjadi produk makanan, ini akan mendapatkan keuntungan berkali-kali
lipat, contoh produknya adalah kripik Ma icih, kripik singkong super pedas ini
laris dipasaran dengan berbagai level kepedasan, dan dijual dengan harga yang
jauh lebih tinggi dari harga singkong mentah, dan masyarakatpun berani

membelinya, karena jika ada kreasi walaupun dari bahan yang dianggap rendah,
masyarakatpun akan menyukainya.
B. Perkembangan UMKM Singkong di Indonesia
Potensi dan Peluang Pasar untuk Singkong
Peluang pengembangan usaha budi daya singkong sangat terbuka, hal ini tidak lain
karena kebutuhan produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar singkong
seperti Gaplek, Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti
industri makanan dan minuman (kerupuk, sirup), industri textile, industri bahan
bangunan (gips dan keramik), industri kertas, industri pakan ternak, sedagkan untuk
pangsa pasar luar negeri dengan tujuan eksport adalah Negara Masyarakat Ekonomi
Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, Jerman, dengan pemanfaatan untuk bahan
baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan baku industri kertas, dan bahan baku
industri pakan ternak.
UNIDO (UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang
Pembangunan Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan
tentang potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama di negara
berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan memungkinkan, karena
permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk gaplek, tepung gaplek, dan
terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari data UNIDO sejak tahun 1982, terbesar ke-3 (13.300.000 ton) Indonesia tercatat
sebagai negara penghasil setelah Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand (13.500.000
ton), serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India (6.500.000
ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun. Walau
dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton, kalau
dibandingkan dengan India (17,57 ton), Angola (14,23 ton), Thailand (13,30 ton), Cina
(13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia untuk budidaya singkong
cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran rendah serta lahan di dataran tinggi
berdekatan dengan kawasan hutan.
Diversifikasi Olahan Singkong
Dirut Perum Bulog Mustafa mengungkapkan konsep diversifikasi pangan yang
bertumbuh pada sumber pangan lokal lemah dalam implementasinya. Oleh karena itu
Perum Bulog akan mendorong implementasinya dengan tepung singkong dijadikan
sebagai bahan baku pangan alternatif utama guna mensubstitusi tepung terigu. Meskipun

nilai protein dan lemaknya memang lebih rendah hanya 0,6 gram dan 31 mg dari beras,
singkong dapat diolah menjadi makanan pelengkap dengan cara mengkombinasikannya
dengan pangan lain yang mempunyai nilai gizi lebih tinggi sehingga akan sangat
bermanfaat sebagai bahan pangan.
Keluarga umbi-umbian yang sebelumnya cenderung diabaikan lantaran nilai ekonomi
rendah ini, belakangan malah menjelma bak primadona. Dengan beberapa tahapan
pengolahan, singkong bukan hanya memberikan nilai tambah ekonomi lebih tinggi, tapi
juga mampu memberi kontribusi yang cukup menjanjikan terhadap dua bidang strategis
sekaligus: ketahanan pangan nasional dan energi.
Di bidang ketahanan pangan, singkong bisa menjadi salah satu andalan diversifikasi,
agar konsumsi pangan rakyat Indonesia tidak hanya bergantung pada beras. Sedangkan di
bidang energi, singkong juga bisa menjadi salah satu sumber bahan bakar atau minyak
nabati, untuk mengurangi konsumsi bahan bakar minyak bumi yang ketersediaannya
makin menipis. Naiknya pamor singkong, memang dipengaruhi oleh goyahnya krisis
pangan dan energi, yang beberapa kali sempat menggoyang Indonesia, dengan pemicu
dari dalam dan luar negeri. Ketika harga beras melambung tinggi, pemerintah sibuk
mempropagandakan diversifikasi pangan, sambil mencari komoditi yang layak
dikembangkan sebagai sumber karbohidrat alternatif selain beras. Singkong pun tampil
sebagai salah satu kandidat potensial.
Pengolahan singkong menjadi tepung, memang merupakan merupakan pilihan paling
strategis, jika bicara diversifikasi pangan. Setelah beras, asupan pangan rakyat Indonesia
adalah produk yang terbuat dari tepung terigu, yaitu mie dan roti. Namun, mengandalkan
pengganti nasi dengan produk terbuat dari gandum yang seratus persen impor,
dampaknya malah bisa lebih buruk. Setiap tahun, rakyat Indonesia mengonsumsi tepung
terigu (dari gandum) sekitar 5 juta ton.
Secara alamiah, tepung singkong, memang sulit menyamai tepung terigu, terutama
soal kandungan proteinnya. Namun, dengan teknologi, kendala tersebut mungkin saja
bisa diatasi. Lagi pula, sudah ada sejumlah pengusaha makanan, yang berhasil
menggantikan tepung terigu dengan tepung singkong, untuk jenis makanan tertentu.
Namun, langkah ini masih terlalu kecil untuk membendung penggunaan tepung terigu,
antara lain karena unggul dari segi kepraktisan.
Perkembangan Pengolahan dan Pembudidayaan Singkong

Pada umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan


dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau
tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya
merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk panenan daun/pucuknya
yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun makanan lainnya. Sedang dari ubinya,
merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan, baik dalam bentuk keripik,
goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus, opak, sampai ke bubuy
singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan menjadi makanan yang lebih
"bergengsi" kalau menjadi "misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro" (oncom di
jero), dan sebagainya.
Ekspor singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang
dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat
bersaing, seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di
Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu bersaing dengan produk sejenis dari
beberapa negara di Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rata-rata dengan harga 6575 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang
sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara di Afrika, hanya mencapai 60
dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton.
Akan tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai
penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical
grade atau produk bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada tahun 1980an jatuh menjadi kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari negara-negara Afrika,
apalagi dari India dan Thailand. Masalahnya adalah, bahwa di dalam tepung tapioka hasil
Indonesia terdapat residu (sisa) pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang
batas.
Memang budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia, tidak menggunakan
pestisida, terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa
pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya
berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan pabrik, sejak
mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan "larutan" tapioka dari parutan
sampai ke pengendapan dan memisahkan larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan
yang keluar dari kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper)
penggunaan pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata dua kilogram

(kg) per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm (part
per million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau sisa/residu tersebut akan
terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka, sedangkan persyaratan WHO harus
kurang dari 0,05 ppm.
Tahun 1980-an, ekspor produk singkong Indonesia, terutama dalam bentuk gaplek dan
tepung tapioka, umumnya ke negara-negara Eropa. Sedangkan yang membutuhkan
produk singkong Indonesia, banyak negara di luar Eropa. Akibatnya keluar semacam SK
Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri tahun 1990, yang menyatakan bahwa
eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke luar Eropa akan dapat rangsangan 1:2, yaitu
dalam bentuk mereka akan dapat jatah ekspor ke Eropa sebesar dua kali jumlah
ekspornya ke non-Eropa.
Makin menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong
Indonesia, misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini
disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam bentuk
singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan digaplekkan hanya
sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi (perubahan) dari ubi singkong segar
menjadi gaplek sekitar 30 persen saja. Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut
anjlok, yaitu dari sekitar 790.000 ton ke masyarakat Eropa dan 657.104 ke luar Eropa
hanya menjadi 122.845 ton (tahun 1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait
dengan banyak petani singkong yang sudah tidak mau lagi menanam singkong;
disebabkan antara lain karena "tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama
penanaman tidak pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam
bentuk pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain,
banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para petani
kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi kehitam-hitaman
ataupun membusuk. Juga singkong untuk bahan baku tapioka berbeda dengan singkong
konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih tinggi dan terasa pahit.
Bagi petani, kendala ini bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk
budidaya singkong yang menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena
pemasaran yang bertahap, sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar,
dan para pengumpul menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap
daerah/desa banyak bermunculan pabrik pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih
payah mereka banyak membantu pendapatan. Bahwa bertani singkong menguntungkan,

banyak dialami petani di beberapa daerah di Jawa Barat, mulai dari Kabupaten
Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis, Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada
lahan yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng
pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman
singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan seperti halnya untuk
tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga selama penanaman, tidak perlu
pemupukan dan pemberantasan hama atau penyakit.
Ternyata hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan
dapat diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6
ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak banyak
pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (hama). Tentu saja kalau hal ini
dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik lagi. Padahal bibit singkong yang mereka tanam
masih jenis tradisi, yang hanya memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang, seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung,
Sulawesi Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari
500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya
merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 16
ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 20 ton/ha, Basiorao (berasal
dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara (berasal dari Bogor) dengan hasil
rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan,
sekarang ada pula jenis unggul dan genjah (cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan
produksi antara 45-59 ton/ha atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata
antara 34 - 35 ton/ha.
Semakin banyak petani berdasi saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas
tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena permintaan
produk, terutama dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung tapioka, terus
meningkat dengan tajam. Serta produk olahan singkong Indonesia, terutama dalam bentuk
gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara di
Afrika, juga dari Thailand dan India.
C. Kendala UMKM Singkong di Indonesia
1) Sulit memperoleh modal usaha

Sudah seringkali kita dengar banyaknya UMKM gulung tikar karena modal yang
dibutuhkan tidak mencukupi biaya produksinya. Hal ini juga merupakan resiko
terbesar bagi UMKM produk singkong, walaupun singkong harga di pasaran cukup
murah. Tapi biaya produksi singkong ini menjadi olahan yang bermutu baik biasanya
membutuhkan modal yang cukup besar. Kita ambil contoh UMKM yang produksinya
kripik singkong, mereka membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak untuk
membuat produksinya tidak putus. Mereka juga harus menyediakan ber-puluh-puluh
tabung gas, baik yang 3 kg maupun yang 12 kg, harus menyiapkan berliter-liter
minyak goreng agar kripik singkongnya tetap terlihat bagus. Belum peralatan masak
dan lain sebagainya.
2) Tidak adanya larangan impor singkong
Di Indonesia, banyak data produksi suatu hasil bumi tidak diketahui secara pasti dan
jumlah yang dibutuhkan oleh masyarakat di Indonesia, termasuk data produksi
tanaman singkong di Indonesia, ditambah lagi tidak adanya sinergi antardepartemen,
sehingga jika ada permintaan singkong, maka akan langsung dibeli atau diimpor
singkong dari negara lain tanpa memeriksa atau melihat singkong dari dalam negeri.
Pada semester II tahun 2011, Indonesia memang sempat memberhentikan impor
singkong. Namun di semester berikutnya Indonesia kembali mengimpor singkong.
pada bulan April dan Mei 2012, sebanyak 5.057 ton singkong asal China dengan nilai
US$ 1,3 juta masuk ke tanah air. Impor ini kemudian berhenti pada bulan Mei.
Kmudian, pada Mei impor singkong dilakukan dari Vietnam, sebanyak 1.342 ton
dengan nilai US$ 340 ribu. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juni, terlihat
ada impor singkong sebesar 2,7 ton dengan nilai US$ 20,6 ribu dari Italia. Hal ini
tentunya sangat merugikan petani-petani dalam negeri dan tentunya membuang-buang
uang negara. Padahal, singkong sangat mudah ditanam di tanah Indonesia, dan bahkan
di beberapa daerahpun singkong dijadikan sebagai makanan pokok.
3) Adanya PPn Singkong
Pada saat ini, tepung singkong masih mayoritas diproduksi oleh petani-petani kecil,
sehingga pengadaan PPn 10% terhadap tepung singkong tentunya sangat
memberatkan para petani ini. Yang kemudian akan menyebabkan para petani ini lebih
memilih untuk menanam padi kembali, karena padi disubsidi pemerintah. Dan inilah
yang akhirnya membuat tingkat kesejahteraan para petani tidak naik-naik, karena
semakin lama produksi padi itu sebenarnya semakin sulit, karena lahan bertani
semakin kurang dan cuaca sekarang yang kurang bisa diprediksi.

4) Mindset masyarakat bahwa singkong adalah makanan kampung


Sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa singkong itu bukan komoditas
yang memiliki nilai jual tinggi, karena singkong itu dianggap sebagai makanan kelas
bawah. Sehingga hasil produksi singkong yang berlebih menjadi sia-sia dan tak
termanfaatkan. Padahal, banyak olahan makanan yang berasal dari singkong dan
untuk beberapa daerah di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok mereka.
5) Dukungan pemasaran masih lemah
Masalah ini adalah kendala yang paling kuat, yaitu pemasaran produk atau yang lebih
sering kita dengar sebagai promosi. Cap singkong sebagai makanan kalangan
bawah merupakan kendala besar yang menghujam UMKM. Karena dimasa saat ini
dimana budaya-budaya luar masuk ke Indonesia dan dianggap keren dan gaul, banyak
anggapan bahwa makan singkong sama dengan kampungan, tidak gaul, dan lain
sebagainya. Disinilah kreativitas UMKM untuk membuat produknya menarik
perhatian konsumen. Mungkin dengan desain bungkusnya, variasi rasa, atau iklan.
Iklan tidak perlu sampai menggunakan televisi ataupun radio yang tarifnya mahal,
cukup modal internet, UMKM bisa mempromosikan produknya lewat blog dan
jejaring sosial seperti Facebook maupun Twitter yang dewasa ini banyak warga
Indonesia memiliki akunnya. Contohnya saja Maichi. Walaupun bukan produk
UMKM, cara promosi Maichi bisa menjadi panutan bagi semuanya.
D. Upaya Peningkatan Pemanfaatan Singkong
1) Peningkatan nilai singkong
Singkong terkenal dengan makanan kampung yang mudah didapat, sehingga
harga dari tanaman singkong pun menjadi murah dan kurang elit atau kurang unik
dalam pasarannya. Agar singkong ini mempunyai ciri khas yang bisa menarik minat
masyarakat sekarang dan menambah nilai jualnya, maka diperlukan diferensiasi
singkong. Berikut contoh diferensiasi singkong yang punya potensi pasar yang besar:
Singkong diolah menjadi singkong goreng modern, balado, keripik, kue bolu

gulung, brownies, sawut singkong.


Membuat tepung singkong atau tepung mokaf
Membuat tepung terigu sekarang tidak hanya bisa terbuat dari gandum tapi
ternyata bisa juga dibuat dari fermentasi singkong. Namanya sekarang populer
dengan 'Tepung Mocaf' atau modified cassava flour hasil penelitian pertama
dari Dr. Achmad Subagio staf pengajar di Universitas Negeri Jember Jawa
Timur. Hanya tepung terigu ini tidak ada glutennya seperti halnya tepung

terigu yang dari gandum. Tapi dengan tidak adanya gluten ini, justru tepung
mocaf baik untuk anak-anak penderita autis. Tidak hanya itu. Tepung mocaf
sudah terbukti sebagai bahan pangan yang bisa dipakai untuk bahan baku
membuat segala macam jajanan pasar, roti, biscuit, brownies, mie, dan lainlain hampir seluruh makanan yang biasanya dibuat dari tepung terigu, bisa
digantikan dengan tepung mocaf (hampir 100%).
2) Pengadaan subsidi petani singkong
Singkong memiliki potensi yang besar dan menambah penghasilan masyarakat.
Namun, petani singkong mengalami kesulitan dalam memperoleh pupuk yang
berkualitas dengan harga yang murah. Hal ini menyebabkan para petani enggan
menanam singkong dan beralih ke menanam padi. Padahal singkong lebih mudah
ditanam. Jika saja pemerintah mau memberikan dana subsidi kepada petani yang ingin
menanam singkong, tentu masyarakat petani akan lebih sejahtera dibanding petani
padi, karena padi lebih sulit penanamannya dan hasilnya pun terkadang gagal panen
jika musim kemarau atau hujan yang berkepanjangan. Sedangkan singkong tidak
terpengaruh musim, cukup dengan tanah yang baik maka singkong akan dengan cepat
panen, walaupun secara harga masih lebih mahal padi. Negara Indonesia yang
disebut-sebut sebagai negara agraris ternyata hanya mengalokasikan 1,3 % dari
jumlah APBN untuk sektor pertanian. Dalam tahun 2012 saja, subsidi pertanian hanya
sebesar hanya Rp17,8 triliun. Hal ini tentunya tidak sebanding dengan luasnya
wilayah Indonesia dan banyaknya bidang pertanian di Indonesia.
3) Perbaikan penanaman singkong lewat penanaman organik
Ada sisi negatif dari penanaman singkong yaitu singkong rakus akan unsur hara
tanah. Jika singkong ditanam secara terus-menerus di sebuah areal, maka tanah
tersebut akan menjadi miskin hara, sehingga akhirnya tanah tersebut akan mati dan
tak bisa digunakan untuk menanam lagi. Untuk mengatasi masalah tersebut, dapat
dilakukan penanaman organik. Yang dimaksud dengan penanaman organik sendiri
adalah kegiatan usaha tani secara menyeluruh dari proses produksi sampai proses
pengolahan hasil yang dikelola secara alami dan ramah lingkungan tanpa penggunaan
bahan kimia sintetis dan rekayasa genetik sehingga menghasilkan produk yang sehat
dan bergizi.
Yang perlu dilakukan untuk penanaman organik singkong adalah seperti:
1) Tidak menanam singkong dengan bibit yang berasal dari hasil rekayasa genetika

2) Perlindungan tanaman singkong tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tapi


berupa sistem pengaturan tanam / pola tanam, pestisida nabati, dan bahan alami
lainnya.
3) Pengaturan pemberian air. Pemberian air harus diatur dengan menggunakan
saluran pengairan keliling pematang dan saluran bedengan sehingga
keadaan tanah tidak tergenang, tapi hanya lembab dengan tujuan menghemat air,
memberikan kesempatan pada akar untuk mendapatkan udara sehingga dapat
berkembang lebih dalam, mencegah terjadinya keracunan besi (Fe), dan mencegah
penimbunan asamorganik yang dapat menghambat perkembangan akar
4) Melakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan sesuai kebutuhan agar tidak
terjadi kompetisi anatara gulma dengan tanaman

E. Contoh Pemanfaatan dan Pengembangan Singkong di Indonesia


Singkong yang selama ini banyak digunakan sebagai makanan ternak, dapat menjadi
sumber penghasilan untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Salah satu hasil olahan
tanaman singkong yaitu kripik singkong mempunyai potensi pasar yang luas dan dapat
sejajar dengan makanan ringan lainnya, dan bahkan dapat diekspor ke sejumlah negara.
Banyak petani-petani di Sulawesi Selatan memanfaatkan singkong sebagai hasil tani
untuk penghasilan mereka. Saat ini, banyak pelaku UMKM di Sulawasi Selatan yang
memproduksi kripik singkong menjual sendiri hasil produksinya ke Vietnam dan
beberapa negara tetangga.
Hantiar misalnya, seorang pelaku UMKM asal Indonesia tidak menjual produknya di
dalam negeri karena persaingan sudah terlalu ketat. Ia selama ini mengekspor kripik
singkong ke Inggris. Sejak awal tahun ini perusahaan Hantiar sudah mengekspor sekitar
7-8 kontainer kripik singkong per bulan ke Inggris, dengan total volume produk sebesar
35 ton dan nilai Rp 90 juta per kontainer. Bahkan dia sudah mendapatkan kontrak sampai
tahun 2014.
Para Pelaku UMKM yang lainpun masih bisa mengisi peluang pasar di Vietnam
sebagai negara dengan 80 juta lebih penduduk, terutama yang menghasilkan produk
kripik singkong. Vietnam suka singkong, tapi tidak menghasilkan singkong seperti
Indonsia.

Di Jawa Tengah juga sedang diadakan ekspansi besar-besaran Singkong Dewo (gede
dowo). Koperasi Serba Usaha (KSU) Berkah Baru Kabupaten Magelang akan
memperluas lahan penanaman singkong Dewo sampai 7.000 hektare di Magelang,
Yogayakarta, dan di sejumlah daerah di Jawa Timur, dan Jawa Tengah yang ditargetkan
akan tercapai di akhir tahun 2012 ini, . Ekspansi besar-besaran ini dilakukan juga untuk
memenuhi permintaan ekspor yang mencapai 10.000 ton per bulan, yang terdiri dari
negara Cina dan Taiwan.
Keuntungan bertani singkong Dewo rata-rata mencapai sekitar Rp 45 hingga Rp 50
juta per hektare per tahun. Untuk membantu permodalan petani, Koperasi Berkah Baru
menjalin kerja sama dengan Bank Jateng. Bank Jateng ini yang nantinya akan
menyediakan kredit modal usaha. Koperasi Berkah Baru ini membuka kesempatan
kepada masyarakat untuk menanamkan investasi dengan luas lahan minimal 1.000 meter.
Dengan besaran investasi hanya Rp 3 juta.
Ini membuktikan singkong yang selama ini hanya dipandang sebagai makanan
kampung tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Singkong ini sudah bisa menjadi
komoditas Indonesia yang terkenal sampai ke luar negeri, dan tentunya menjadi sumber
penghasilan dari banyak petani di Indonesia. Dan jika petani-petani di Indonesia dapat
meniru para petani di Sulsel dan Jateng ini, maka tentunya kehidupan para petani akan
lebih sejahtera dan juga dapat membawa nama Indonesia di dunia intrnasional saat
mengekspor singkong tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia merupakan salah satu penghasil singkong terbesar di dunia dengan
produksinya pada tahun 2011 sekitar 24,08 juta ton. Dengan begitu banyak hasil olahan
singkong, seperti kripik singkong, gaplek, tepung, dan lain sebagainya, seharusnya
singkong ini bisa menjadi salah satu komoditas penting Indonesia. Dengan penanaman
yang benar dan budidaya yang baik, singkong ini bisa menjadi sumber penghasilan yang
baik bagi para petani di Indonesia, dan mengenalkan nama Indonesia di dunia
internasional mengingat luasnya potensi pasar singkong dan besarnya permintaan dari
mancanegara, seperti Vietnam, Inggris, dan Taiwan.
Walaupun di tahun 1980-an Indonesia mengalami penurunan jumlah singkong yang
diekspor dan kualitas singkong itu sendiri, karena penggunaan pestisida yang berlebihan

dan penanaman singkong mudah membuat tanah menjadi mati dan tak bisa ditanami lagi,
dengan teknologi yang benar dan permintaan yang terus meningkat, seharusnya di tahun
2012 ini Indonesia sudah bisa mengatasi kendala-kendala yang dihadapi tanaman
singkong di tahun 1980-an tersebut. Seperti ekspansi besar-besaran singkong dewo yang
dilakukan di pulau Jawa.
B. Saran
Dengan banyaknya kelebihan tanaman singkong yang sudah dipaparkan sebelumnya,
seharusnya pemerintah sangat mendukung pembudiayaan singkong ini. Namun yang
terjadi adalah pemerintah menjadi salah satu kendala dalam peningkatan pemanfaatan
singkong ini. Kurangnya dana yang disiapkan untuk pertanian (hanya 17 triliun), terutama
singkong, dan tidak adanya sosialisi tentang manfaat-manfaat singkong yang tidak
ditemukan di tanaman-tanaman lain. Padahal pasar singkong ini sangat luas, di dalam
negeri maupun di dunia internasional. Bahkan, di beberapa wilayah di Indonesia
dijadikan makanan sehari-sehari atau makanan pokok.
Jika saja tanaman singkong ini dibudidayakan dengan benar, maka petani Indonesia
tentunya akan lebih sejahtera dan devisa negara juga akan meningkat. Untuk mewujudkan
hal ini, koperasi diharapkan dapat membantu para petani dan umkm-umkm dalam
pengadaan modal dan bahan baku, juga sosialisasi dan pelatihan dalam mengolah
singkong menjadi komoditas yang bernilai tinggi, mengingat dukungan pemerintah dalam
pembudidayaan singkong ini sangat kurang. Sehingga umkm-umkm singkong di
Indonesia dapat berkembang, bahkan sampai luar negeri, dan ikut memajukan
perekonomian di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://cakham.files.wordpress.com
http://cakrawalaberita.com/catatan-cakrawala/kripik-singkong-berpotensi-ekspor
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/08/12/singkong-saja-kok-harus-impor/
http://foragri.blogsome.com/menguntungkankah-menanam-singkong/
http://id.berita.yahoo.com/msi-harapkan-pemerintah-hapus-ppn-produksi-singkong-153859161-finance.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong

http://news.cobadulu.com/2012/02/07/singkong-kandungan-dan-manfaatnya-bagi-kesehatan/
http://singkonggajah.wordpress.com/2011/07/08/cara-budidaya-singkong/
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/06/30/122805/KSU-Berkah-Baru
Akan-Perluas-Lahan-Penanaman-Singkong-Dewo

Anda mungkin juga menyukai